Anda di halaman 1dari 25

Jurnal 1

TRAUMATIC BRAIN INJURY


Pembimbing:
dr. Nurmala Dewi Maharani, Sp.An

Departemen Anastesiologi dan Terapi Intensif


RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2020
http://www.free-powerpoint-templates-design.com
Traumatic Brain Injury (TBI)

Epidemiologi
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah penyebab utama kematian dan
kecacatan pada orang dewasa muda di negara maju, salah satunya inggris.

Inggris  sekitar 1,4 juta pasien per tahun menderita cedera


kepala. Sekitar 10,9% diklasifikasikan sebagai cedera kepala
sedang atau berat.
Menurut WHO
Penyebab tersering di seluruh dunia pada tahun 2020 ialah karena
kecelakaan lalu lintas.
Tingkat keparahan TBI ditentukan berdasarkan pada klasifikasi tingkat kesadaran s
ebagaimana dinilai oleh Glasgow Coma Scale (GCS) setelah dilakukannya r
esusitasi. Kemampuan menilai pembukaan mata dan respons verbal dipengaruhi o
leh obat penenang atau intubasi trakea pada saat membuka jalan napas.

Perawatan pra-rumah sakit termasuk penilaian stimultan, stabilisasi dan intervensi t


erapeutik yang prioritasnya untuk mencegah terjadinya hipoksia dan hipotensi yang
merupakan temuan umum setelah terjadi trauma.

Keadaan seperti hipoksia, hipotensi, hiper atau hipokapnia, hiper atau hipoglikemia
semuanya telah terbukti dapat memperparah TBI atau meningkatkan risiko
terjadinya cedera otak sekunder.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale Skor
Mata
Membuka mata secara spontan 4
Membuka mata dengan rangsang suara 3
Membuka mata dengan rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Verbal
Orientasi baik 5
Bingung 4
Hanya berkata-kata saja 3
Bersuara tidak jelas 2
Tidak bersuara 1
Motorik
Mematuhi perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Menarik anggota tubuh yang dirangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak bergerak 1
Tabel 2. Ringkasan Target Manajemen pada Cedera Otak Traumatik
Sistem Target Manajemen
Jaluran Napas Intubasi trakeal awal jika GCS ≤ 8 atau tidak mampu
mempertahankan target respirasi
Pernapasan Menghindari hipoksia, mempertahankan SpO2 > 97%, PaO2
> 11 kPa
Hiperventilasi, PaCO2 senilai 4.5 – 5.0 kPa
Kardiovaskular Menghindari hipotensi, pertahankan MAP>80 mmHg
Mengganti volume intravascular
Menghindari cairan hipotonik dan glukosa
Gunakan darah bila diperlukan, mengembalikan koagulopati
Agen vasopressor bila diperlukan untuk mempertahankan
CPP
Otak Pantau TIK, hindari TIK > 20 mmHg
Pertahankan CPP > 60 mm Hg
Sedasi yang adekuat dan berikan analgesic
Terapi hiperosmolar, pertahankan Na+ < 155 mmol l-1,
Posm < 320 mosm l-1
Drainase CSF
Tangani kejang
Koma barbiturat, kraniektomi dekompresi, hipotermia,
semua dilakukan untuk pencegahan peningkatan TIK selain
penanganan medis lain
Metabolik Pantau gula darah, pertahankan target GDS 6 – 10 mmol l-1
Hindari hipertermia
Berikan tromboprofilaksis DVT
Manajemen di Departemen Gawat Darurat

Agen bius harus memudahkan pengendalian cepat saluran napas dan


mengurangi peningkatan TIK dan mempertahankan stabilitas hemodinamik.
Propofol dan thiopental sering digunakan namun dapat menyebabkan
hipotensi.

Etomidate memberikan keuntungan dalam stabilitas kardiovaskular, namun


kemungkinan mensupresi kelenjar adrenal.

Ketamine sering digunakan pada pasien trauma


Untuk intubasi cepat, suc-cinylcholine atau rocuronium boleh digunakan
Manajemen di Departemen Gawat Darurat

Resusitasi di rumah sakit dimulai dengan Advanced Trauma


Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan ABCDE.

Penilaian status neurologis menggunakan GCS, respon


pupil, dan tanda pemeriksaan fisik lokal.
Intubasi trakeal masih menjadi standar baku untuk
manajemen jaluran napas pada pasien dengan GCS ≤8.
Manajemen di Departemen Gawat Darurat

• Brain Trauma Foundation (BTF) menyarankan target PaO2 > 8 kPa


untuk mencegah hipoksia
• European Brain Injury Consortium (EBIC) menargetkan PaO2 > 10
kPa
• Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland (AAGBI)
>13 kPa
• Target arterial blood pressure (ABP) juga bervariasi di tiap panduan.
BTF dan EBIC menyarankan tekanan darah rerata 90mm Hg,
sementara AAGBI menargetkan >80 mm Hg
Manajemen di Departemen Gawat Darurat

• Karena penyebab tersering hipotensi setelah trauma adalah perdarahan,


maka terapi awalnya adalah resusitasi.
• Untuk kebanyakan pasien, cairan isotonis seperti normal saline sudah cukup.
• Terdapat bukti bahwa saline hipertonik bisa digunakan sebagai cairan
resusitasi, dengan sebuah penelitian menunjukkan peningkatan angka
keberhasilan pada subkelompok pasien dengan COT dan GCS <8.
• Namun, uji klinis yang definitive masih belum ada.
• Cairan hipotonis harus dihindari.
• Koloid tidak memberikan manfaat, dan pada penelitian Saline or Albumin for
Fluid Resuscitation in Patients with Traumatic Brain Injury (SAFE)
menemukan peningkatan risiko kematian pada pasien yang menerima
albumin daripada saline.
Tabel 3. Kriteria CT scan kepala segera pada orang dewasa

GCS <13 pada penilaian awal di departemen darurat


GCS <15 pada dua jam setelah cedera pada penilaian di gawat darurat
Patah tulang tengkorak terbuka atau tertekan
Tanda-tanda fraktur tengkorak basal (haemotympanum, 'panda' eyes, kebocoran cairan serebrospinal dari telinga
atau hidung, Battle sign)
Kejang setelah trauma
Defisit neurologis fokal
Lebih dari satu episode muntah
Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kecelakaan
Selain itu, pasien dewasa yang mengalami kehilangan kesadaran atau amnesia sejak cedera dan:
  Usia> 65 tahun
  Koagulopati (riwayat perdarahan, gangguan pembekuan, pengobatan dengan warfarin)
  Mekanisme cedera berbahaya (pejalan kaki atau pengendara sepeda ditabrak kendaraan bermotor, penderita
 The British Committee for Standards in Haematology merekomendasikan
bahwa pasien yang menggunakan warfarin dengan kecurigaan kuat
perdarahan intrakranial setelah COT harus segera diberi dengan
protrombin complex (PCC) sebelum menunggu hasil INR atau CT scan.

 Vitamin K intravena dianjurkan sebagai tambahan.


Imaging

 Pemeriksaan penunjang pilihan adalah CT scan


Insidensi kelainan radiologis meningkat sesuai dengan keparahan cedera

Studi MRI jarang digunakan pada orang yang sakit akut, karena secara
lebih kompleks dan membutuhkan waktu lebih lama
Dikarenakan cedera otak berkembang dari waktu ke waktu, pencitraan
berulang biasanya diindikasikan dan selalu diperlukan jika ada penurunan
klinis atau peningkatan ICP.
Rujukan

 Resusitasi awal dan stabilisasi pasien harus diselesaikan sebelum dirujuk


 Harus ada sarana komunikasi dengan pusat bedah saraf dan rumah sakit,
kendaraan yang sesuai, pemantauan penuh, termasuk tekanan arteri invasif,
kapnografi dan kateter urin, peralatan resusitasi, obat yang diperlukan, dan
cadangan jika ventilator rusak.
 Prioritas manajemen tetap mempertahankan oksigenasi dan ABP dan
meminimalkan peningkatan ICP.
 Pasien dengan GCS kurang dari sama dengan 8 harus diintubasi dan di
ventilasi, dengan tujuan PaO2 > 13 kPa dan nilai PaCO2 4,5-5,0 kPa dengan
sedasi, analgesia, dan muscle relaxant yang adekuat.
Anestesi pada Trauma Kraniotomi

Hematoma subdural akut pada pasien dengan COT berat


memiliki mortalitas 90% jika evakuasi bedah terjadi> 4 jam
setelah cedera dibandingkan dengan 30% untuk mereka
yang dievakuasi sebelumnya.
Tabel 4. Indikasi untuk intubasi dan ventilasi untuk rujukan setelah
cedera otak

GCS  8
Tingkat kesadaran yang secara signifikan memburuk (misal penurunan skor motorik > 2 poin)

Hilangnya refleks laring


Hipoksemia (PaO2 <13 kPa pada oksigen)
Hypercarbia (PaCO2 > 6 kPa)
Hiperventilasi spontan menyebabkan PaCO2 < 4,0 kPa
Fraktur mandibula bilateral
Pendarahan berlebihan ke dalam mulut (misal dari fraktur dasar kranium)
Kejang
Pemantauan penting pada pasien :
 EKG
 SpO2
 Kapnografi
 Suhu
 Urin output
 ICP pada pasien TBI
 ABP
 Gas darah dan glukosa arteri
Tujuan anestesi

 Optimalisasi tekanan perfusi otak (CPP) dan pencegahan hipertensi intrakranial;


 anestesi dan analgesia yang adekuat;
 pencegahan resiko sekunder dengan oksigenasi yang memadai, juga
normocapnia (arterial carbon dioxide), dan menghindari hiper atau hipoglikemia
dan hipertermia.

Manajemen ICP
Pada pedoman konsensus merekomendasikan pada ICP >20–25 mmHg.
Konsensus saat ini adalah target 60 >mm Hg , ICP dapat dikendalikan
dengan berbagai metode.
Hiperventilasi
Hiperventilasi telah terbukti memperburuk hipoperfusi serebral dan dapat
menyebabkan iskemia. Pengurangan dalam Paco2 menyebabkan
vasokonstriksi serebral, mengurangi CBV(cerebral blood volume) dan ICP.
Paco2 diantara 4.0-4.5 kPa pada pasien yang memiliki hipertensi intrakranial
yang tidak tertahankan dan harus dipandu oleh pemantauan seperti saturasi
oksigen vena jugularis untuk memastikan oksigenasi otak yang memadai.

Terapi hyperosmolar
Ini sangat berguna pada peningkatan ICP akut. Mannitol paling umum digunakan
dosis efektifnya 0,25–1 g kg-1, diberikan sebagai cairan 20% secara bolus intermiten.
Namun, perawatan harus diambil untuk mencegah osmolaritas serum meningkat di
atas 320 mOsm-1, karena hal ini telah dikaitkan dengan komplikasi neurologis dan
ginjal.
Hipotermia

• Hipotermia telah terbukti sebagai neuroprotektif pada studi yang dilakukan pada
hewan dan telah banyak ditemukan manfaat secara teori. Namun, hasil studi
tidak menunjukan bahwa hipotermi secata konsisten dan statistik dapat menurun-
kan angka mortalitas
• Penelitian yang dilakukan oleh Eurotherm3235, menemukan efek dari hipotermia,
dengan suhu 32-35oC dapat menurunkan tekanan intra kranial <20 mmHg.

Barbiturat
• IV barbiturat menurunkan tekanan intra kranial akan tetapi masih
terdapat sedikit bukti bahwa pemberian barbiturat meningkatkan
outcome. Barbiturat berhubungan signifikan dengan ketidakstabilan
kardiovaskuler dan dapat menyebabkan kesulitan penanganan
hipertensi intrakranial.
Intervensi Neurosurgical
 Drainase cairan serebrospinal degan cara external ventricular drain merupakan

metode yang paling efektif untuk menurunkan tekanan intra kranial. Untuk kesulitan

penanganan hipertensi intra kranial saat tatalaksana medis, dapat dilakukan

decompressive craniectomy.

 Berlawanan dengan yang diharapkan, outcome secara signifikan lebih jelek pada

pasien yang secara acak mendapatkan decompressive craniectomy dibandingkan

pasien yang mendapatkan penanganan standar. Karena itu, decompressive

craniectomy hanya diberikan sebagai jalan terakhir kepada pasien apabila metode-

metode yang lainnya gagal.


Manajemen Lanjutan
 Tujuan dilakukannya manajemen lanjutan untuk mendapatkan kemungkinan brain recovery
yang optimal. Pemantauan oksigenasi, normocapnia, dan stabilitas hemodinamik sangat
esensial. Sedasi dan analgetik yang adekuat untuk mengurangi nyeri, cemas dan agitasi,
serta ketersediaan ventilasi mekanik. Pemantauan multimodalitas pada brain injury berguna
untuk penyesuaian penanganan pada masing-masing pasien. Pemantauan lanjutan seperti
oksigenasi otak, nilai CBF, mikrodialisi, dan pemantauan electrophysiological.
 Suport nutrisi dini dapat memperbagus outcome pemberian secara enteral lebih dianjurkan.
Hiperglikemia dapat menyebabkan secondary ischaemic injury. Namun, dengan penanganan
perioperatif, range target glukosa yang sering digunakan adalah 6–10.0 mmol l -1.
 Kejadian kejang umum ditemui pada onset cepat ataupun lambat setelah traumatic brain
injury. Kejang meningkatkan CMRO2 dan berhubungan dengan peningkatan tekanan intra
kranial, walaupun ada sedikit bukti untuk antikonvulsan profilaktik, penggunannya dianjurkan
pada grup yang berisiko tinggi seperti depressed skull fractures.
Manajemen Lanjutan

Pasien dengan traumatic brain injury memiliki risiko yang signifikan untuk
mengalami kejadian thrombo-embholic. Pilihan untuk pencegahannya ada
beberapa, diantaranya mekanikal (kompresi stoking bertingkat atau
kompresi pneumatik intermiten), farmakologik (low-dose heparin),
profilaksis, ataupun kombinasi. Kebanyakan akan menghindari pemberian
farmakologi trombofilaksis dalam 24 jam setelah intervensi neurosurgical.
Penanganan tambahan yang dapat dilakukan adalah profilaksis ulkus
peptikum, fisioterapi dan full hygiene care.
KESIMPULAN

Traumatic brain injury sering terjadi dan merupakan masalah besar di dunia
kesehatan. Meskipun penurunan angka mortalitas secara progresif dan signifikan
belum ditemukan suatu tatalaksana yang efektif untuk meningkatkan outcome.
Tatalaksana lanjutan berfokus pada pencegahan secondary injuries dan
pemeliharaan CPP. National guidelines and management algorithms tampaknya
berhubungan dengan keberlangsungan hidup yang lebih baik akan tetapi
mengesampingkan variabel individual pasien dan faktor spesifik cedera.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai