Epidemiologi
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah penyebab utama kematian dan
kecacatan pada orang dewasa muda di negara maju, salah satunya inggris.
Keadaan seperti hipoksia, hipotensi, hiper atau hipokapnia, hiper atau hipoglikemia
semuanya telah terbukti dapat memperparah TBI atau meningkatkan risiko
terjadinya cedera otak sekunder.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale Skor
Mata
Membuka mata secara spontan 4
Membuka mata dengan rangsang suara 3
Membuka mata dengan rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Verbal
Orientasi baik 5
Bingung 4
Hanya berkata-kata saja 3
Bersuara tidak jelas 2
Tidak bersuara 1
Motorik
Mematuhi perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Menarik anggota tubuh yang dirangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak bergerak 1
Tabel 2. Ringkasan Target Manajemen pada Cedera Otak Traumatik
Sistem Target Manajemen
Jaluran Napas Intubasi trakeal awal jika GCS ≤ 8 atau tidak mampu
mempertahankan target respirasi
Pernapasan Menghindari hipoksia, mempertahankan SpO2 > 97%, PaO2
> 11 kPa
Hiperventilasi, PaCO2 senilai 4.5 – 5.0 kPa
Kardiovaskular Menghindari hipotensi, pertahankan MAP>80 mmHg
Mengganti volume intravascular
Menghindari cairan hipotonik dan glukosa
Gunakan darah bila diperlukan, mengembalikan koagulopati
Agen vasopressor bila diperlukan untuk mempertahankan
CPP
Otak Pantau TIK, hindari TIK > 20 mmHg
Pertahankan CPP > 60 mm Hg
Sedasi yang adekuat dan berikan analgesic
Terapi hiperosmolar, pertahankan Na+ < 155 mmol l-1,
Posm < 320 mosm l-1
Drainase CSF
Tangani kejang
Koma barbiturat, kraniektomi dekompresi, hipotermia,
semua dilakukan untuk pencegahan peningkatan TIK selain
penanganan medis lain
Metabolik Pantau gula darah, pertahankan target GDS 6 – 10 mmol l-1
Hindari hipertermia
Berikan tromboprofilaksis DVT
Manajemen di Departemen Gawat Darurat
Studi MRI jarang digunakan pada orang yang sakit akut, karena secara
lebih kompleks dan membutuhkan waktu lebih lama
Dikarenakan cedera otak berkembang dari waktu ke waktu, pencitraan
berulang biasanya diindikasikan dan selalu diperlukan jika ada penurunan
klinis atau peningkatan ICP.
Rujukan
GCS 8
Tingkat kesadaran yang secara signifikan memburuk (misal penurunan skor motorik > 2 poin)
Manajemen ICP
Pada pedoman konsensus merekomendasikan pada ICP >20–25 mmHg.
Konsensus saat ini adalah target 60 >mm Hg , ICP dapat dikendalikan
dengan berbagai metode.
Hiperventilasi
Hiperventilasi telah terbukti memperburuk hipoperfusi serebral dan dapat
menyebabkan iskemia. Pengurangan dalam Paco2 menyebabkan
vasokonstriksi serebral, mengurangi CBV(cerebral blood volume) dan ICP.
Paco2 diantara 4.0-4.5 kPa pada pasien yang memiliki hipertensi intrakranial
yang tidak tertahankan dan harus dipandu oleh pemantauan seperti saturasi
oksigen vena jugularis untuk memastikan oksigenasi otak yang memadai.
Terapi hyperosmolar
Ini sangat berguna pada peningkatan ICP akut. Mannitol paling umum digunakan
dosis efektifnya 0,25–1 g kg-1, diberikan sebagai cairan 20% secara bolus intermiten.
Namun, perawatan harus diambil untuk mencegah osmolaritas serum meningkat di
atas 320 mOsm-1, karena hal ini telah dikaitkan dengan komplikasi neurologis dan
ginjal.
Hipotermia
• Hipotermia telah terbukti sebagai neuroprotektif pada studi yang dilakukan pada
hewan dan telah banyak ditemukan manfaat secara teori. Namun, hasil studi
tidak menunjukan bahwa hipotermi secata konsisten dan statistik dapat menurun-
kan angka mortalitas
• Penelitian yang dilakukan oleh Eurotherm3235, menemukan efek dari hipotermia,
dengan suhu 32-35oC dapat menurunkan tekanan intra kranial <20 mmHg.
Barbiturat
• IV barbiturat menurunkan tekanan intra kranial akan tetapi masih
terdapat sedikit bukti bahwa pemberian barbiturat meningkatkan
outcome. Barbiturat berhubungan signifikan dengan ketidakstabilan
kardiovaskuler dan dapat menyebabkan kesulitan penanganan
hipertensi intrakranial.
Intervensi Neurosurgical
Drainase cairan serebrospinal degan cara external ventricular drain merupakan
metode yang paling efektif untuk menurunkan tekanan intra kranial. Untuk kesulitan
decompressive craniectomy.
Berlawanan dengan yang diharapkan, outcome secara signifikan lebih jelek pada
craniectomy hanya diberikan sebagai jalan terakhir kepada pasien apabila metode-
Pasien dengan traumatic brain injury memiliki risiko yang signifikan untuk
mengalami kejadian thrombo-embholic. Pilihan untuk pencegahannya ada
beberapa, diantaranya mekanikal (kompresi stoking bertingkat atau
kompresi pneumatik intermiten), farmakologik (low-dose heparin),
profilaksis, ataupun kombinasi. Kebanyakan akan menghindari pemberian
farmakologi trombofilaksis dalam 24 jam setelah intervensi neurosurgical.
Penanganan tambahan yang dapat dilakukan adalah profilaksis ulkus
peptikum, fisioterapi dan full hygiene care.
KESIMPULAN
Traumatic brain injury sering terjadi dan merupakan masalah besar di dunia
kesehatan. Meskipun penurunan angka mortalitas secara progresif dan signifikan
belum ditemukan suatu tatalaksana yang efektif untuk meningkatkan outcome.
Tatalaksana lanjutan berfokus pada pencegahan secondary injuries dan
pemeliharaan CPP. National guidelines and management algorithms tampaknya
berhubungan dengan keberlangsungan hidup yang lebih baik akan tetapi
mengesampingkan variabel individual pasien dan faktor spesifik cedera.
TERIMA
KASIH