Anda di halaman 1dari 27

ILMU LINGKUNGAN

“ASAS-ASAS DASAR LINGKUNGAN”

Oleh
KELOMPOK 2
KELAS: IV B

NI PUTU CINTYA RAHMAWATI 1713071014


NI LUH PUTU PRADNYA PARAMITA DEWI 1713071025
NI LUH PUTU OKTIYANA RISTA AYUNI 1713071035
NI KADEK IMA IRNAYANI 1713071046

PENDIDIKAN IPA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Pengetahuan manusia terus berkembang sejalan dengan perkembangan


ilmu pengetahuan, untuk itu dibutuhkan penggalian ilmu secara terus menerus,
sehingga diperlukan daya cipta, daya khayal, keinginan tahu manusia dan inisiatif.
Ilmu Lingkungan merupakan salah satu ilmu yang mengintegrasikan
berbagai ilmu yang mempelajari jasad hidup (termasuk manusia) dengan
lingkungannya, antara lain dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian,
sehingga ilmu ini dapat dikatakan sebagai suatu poros, tempat berbagai asas dan
konsep berbagai ilmu yang saling terkait satu sama lain untuk mengatasi masalah
hubungan antara jasad hidup dengan lingkungannya.
Asas di dalam suatu ilmu pada dasarnya merupakan penyamarataan
kesimpulan secara umum, yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk
menguraikan gejala (fenomena) dan situasi yang lebih spesifik. Asas dapat terjadi
melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi secara terus menerus dan
matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan secara meluas. Tetapi ada
pula asas yang hanya diakui oleh segolongan ilmuwan tertentu saja, karena asas ini
hanya merupakan penyamarataan secara empiris saja dan hanya benar pada situasi
dan kondisi yang lebih terbatas, sehingga terkadang asas ini menjadi bahan
pertentangan. Namun demikian sebaliknya apabila suatu asas sudah diuji berkali-
kali dan hasilnya terus dapat dipertahankan, maka asas ini dapat berubah statusnya
menjadi hukum. Begitu pula apabila asas yang mentah dan masih berupa dugaan
ilmiah seorang peneliti, biasa disebut hipotesis Hipotesis ini dapat menjadi asas
apabila diuji secara terus menerus sehingga memperoleh kesimpulan adanya
kebenaran yang dapat diterapkan secara umum. Untuk mendapatkan asas baru
dengan cara pengujian hipotesis ini disebut cara induksi dan kebanyakan
dipergunakan dalam bidang-bidang biologi, kimia dan fisika. Disini metode
pengumpulan data melalui beberapa percobaaan yang relatif terbatas untuk
membuat kesimpulan yang menyeluruh. Sebaliknya cara lain yaitu dengan cara
deduksi dengan menggunakan kesimpulan umum untuk menerangkan kejadian
yang spesifik. Asas baru juga dapat diperoleh dengan cara simulasi komputer dan
penggunaan model matematika untuk mendapatkan semacam tiruan keadaan di
alam (mimik). Cara lain juga dapat diperoleh dengan metode perbandingan
misalnya dengan membandingkan antara daerah yang satu dengan yang lainnya.
Cara-cara untuk mendapatkan asas tersebut dapat dikombinasikan satu dengan yang
lainnya.
Asas di dalam suatu ilmu yang sudah berkembang digunakan sebagai
landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model seperti
pada ilmu lingkungan. Untuk menyajikan asas dasar ini dilakukan dengan
mengemukakan kerangka teorinya terlebih dahulu, kemudian setelah dipahami pola
dan organisasi pemikirannya baru dikemukakan fakta-fakta yang mendukung dan
didukung, sehingga asas-asas disini sebenarnya merupakan satu kesatuan yang
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (sesuai dengan urutan
logikanya).
BAB II
PEMBAHASAN

Sebagai pegangan di dalam menghadapi permasalahan lingkungan, maka


dalam kaitan ini akan diuraikan asas dasar Ilmu Lingkungan. Menurut
Soeriaatmadja, ada 14 asas dasar di dalam Ilmu Lingkungan yang merupakan hasil
kajian secara deduktif maupun induksi.

A. Asas I : ”Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup


populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai sumber energi yang
tersimpan atau terlepaskan. Energi dapat dirubah dari satu bentuk ke
bentuk lain, tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan atau diciptakan.”

Asas ini mengingatkan kita pada Hukum Thermodinamika I atau Hukum


Konservasi Energi. Melalui hukum ini dijelaskan bahwa semua energi yang masuk
dalam organisme, populasi atau suatu ekosistem dianggap sebagai energi yang
tersimpan atau dilepaskan atau dapat diartikan bahwa sistem kehidupan dapat
dianggap sebagai sumber pengubah energi. Hal ini adalah penting nantinya bila kita
akan mengusahakan suatu tranformasi energi. Suatu organisme senantiasa akan
melawan lingkungan sekitarnya, untuk mempertahankan eksistensinya. Bila
organisme atau suatu populasi dapat mengendalikan lingkungan sekitarnya, maka
mereka selanjutnya dimungkinkan untuk meningkatkan populasinya. Sebagai
contoh dapat digambarkan pada peningkatan jumlah penduduk dunia, peningkatan
pertumbuhan enceng gondok. Namun begitu tingkat pertumbuhannya sampai pada
suatu puncaknya, maka eksistensinya mulai terancam karena tidak lagi
dimungkinkan oleh keadaan lingkungan sekitarnya yang mengalami diskonkruensi.
Bila asas tadi digambarkan secara matematik dapat dibuat sebagai berikut.
ΔE = ΔH – ΔW
Dimana ΔE adalah pertambahan energi suatu sistem, ΔH adalah pertambahan panas
atau entalpi sistem itu, ΔW adalah jumlah kerja atau usaha yang dilakukan sistem
itu.
Seluruh sistem kehidupan merupakan pengubah energi. Dalam tiap tingkat
kehidupan, proses yang berlangsung menyalurkan energi untuk berbagai kegiatan
seefesien mungkin. Temperatur tubuh seekor mamalia, jumlah populasi dalam
komunitas, perkembangbiakan, pertumbuhan dan perkembangan tergantung pada
jumlah energi yang tersedia untuk itu. Hukum ini berlaku umum, baik untuk reaksi-
reaksi biologik seperti fotosintesis, kerja otot, maupun saraf.
Ternyata energi yang masuk kedalam tubuh hewan mengalami pemisahan
ke dalam beberapa komponen untuk maksud yang berbeda-beda :
1. Pertama , pemisahan karena adanya energi yang tak terasimilasi
2. Keuda, pemisahan karena ada energi yang digunakan sebagai
bahan bakar, dan ada pula yang digunakan untuk membentuk
materi bahan hidup
3. Pemisahan energi karena ada yang diambil oleh hewan
pengekspotasi, seperti parasit pemangsa.
4. Energi terpisah menjadi bagian energi yang bergabung dengan
bahan yang dapat digunakan untuk tumbuh dan berbiak (dalam
bentuk protein) dan yang tersimpan sebagai lemak untuk
digunakan di hari kemudian.
5. Pemisahan energi untuk tumbuh dan berbiak.
6. Pemisahan energi untuk bahan bakar berbagai kegiatan, dan untuk
menjalankan metabolisme dasar.

Dalam tipe pemisahan energi terdapat sejumlah energi yang masuk ke


dalam kotak, yang memudian terbagi menjadi dua bentuk keluaran (output). Dapat
saja dianggap, bahwa nampaknya setiap spesies jasad hidup itu melakukan sejenis
bentuk permainan melawan alam lingkungannya.

Energi Terbuang tak


Hewan makan 1 terasimilasi

Disimilasi

Produksi materi
kehidupan

Energi diambil
3 oleh
pengeksploitasi
Energi dibakar
dan energi diubah Energi disimpan
sebagai lemak 6
sebagai panas

Energi digunakan untuk


5 menyokong berbagai kegiatan,: 4 Pertumbuhan
lari, berenang, terbang, dsb.

Energi digunakan untuk menyokong Pembiakan


metabolisme dasar, misalnya: denyut jantung,
pernafasan, mempertahankan suhu tubuh dsb.

Pemisahan Energi yang masuk menjadi dua komponen


Jumlah energi yang masuk dan keluar dari suatu pemisahan atau suatu
proses, berupa materi
Jumlah energi yang masuk dan keluar dari suatu pemisahan atau suatu
proses, berupa tenaga atau panas
Gambar 1. Aliran Energi dalam Tubuh Hewan

Miller (1986) menyebutkan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak
dapat dimusnahkan, yang ada adalah perubaham bentuk yang satu ke bentuk yang
lainnya. Energi itu hilang oleh suatu sistem atau terkumpul dalam suatu materi
tertentu. Energi yang masuk sama dengan energi yang keluar dalam bentuk yang
lain. Outpun dapat berupa sampah, polusi, atau limbah.

(sumber:miller,1986)
Keterangan: A= Energi Berkualitas Tinggi, B= Materi, C= Satu atau beberapa
Cara Masyarakat, D= Panas Energi Berkualitas Rendah, E= Limbah Materi dalam
Udara, Air, dan Tanah
Gambar 2. Salah satu atau beberapa Cara Masyarakat yang Ditemukan di
Suatu Negara Industri Dilandasi oleh Pemaksimalan Laju Aliran Energi dan
Materi. Dalam Pengubahan Cepat terhadap Mineral dan Sumber Daya
Energi Dunia Menghasilkan Sampah, Polusi, dan Limbah Panas.

B. ASAS 2. Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien.

Asas ini tak lain adalah hukum termodinamika kedua yang banyak
digunakan dan berlaku dalam fisika. Ini berarti, meskipun energi itu tak pernah
hilang dari alam raya, tetapi energi tersebutakan terus diubah kedalam bentuk yang
kurang bermanfaat. Seumpamanya saja, energi yang diambil oleh hewan untuk
keperluan hidupnya adalah dalam bentuk makanan yang padat dan bermanfaat.
Tetapi, panas yang keluar dari tubuh hewan karena lari, terbang, atau berenang
terbuang tanpa guna. Memang ada kecenderungan secara universal diatas planet
kita ini, yaitu hampir semua bentuk energi berdegradasi kedalam bentuk panas
tanpa kembali lagi, dan kemudian beradiasi ke angkasa lepas.
Semua sistem biologi, adalah kurang efisie, dalam arti kata, hanya sebagian
saja dari input energi kedalam suatu jasad hidup, populasi, atau ekosistem yang
tersedia dapat dipindahkan dan digunakan oleh organisme hidup, populasi, atau
ekosistem yang lain. Oleh karena itu, pemkaian energi yang sebaik-baiknya oleh
jasad hidup merupakan suatu hala yang sangat penting. Pada tabel 1 dibawah ini
terlihat bagaimana energi itu terbuang dalam piramida makanan=, dari tumbuhan
ke herbivora, dan seterusny, makin naik tingkat makanannya, makin kurang
biomassanya. Dan yang paling ujung atau puncak menerima energi paling sedikit.
Tabel 1. Aliran energi dalam ekosistem daratan
Komponen Konsumsi Pernafasan Ri Ri/(lamda)per Efisiensi per
Ekosistem (lamda) kalori hektar tahun
Dalam kalori
Matahari 47,1 x 108 8,76 x 106 0,150 0,012
3
(energi 170 x 10 0,680 0,004
matahari yang 5434 0,933 0,023
tiba di bumi)
Vegetasi 58,3 x 106
Herbivore 250 x 103
Karnivora 5824
Sehubungan dengan pemisahan-6 (lihat gambar 5) dapat diperhatikan dalam
tabel 1, kolom 4, bahwa proporsi pernafasan naik, semakin kita menaiki piramida
makanan. Sebabnya ialah tumbuhan tidak perlu bergerak untuk membentuk bahan
makanan, karena tumbuhan mudah diperoleh. Tetapi hewan karnivora harus
mengeluarkan energi yang lebih banyak untuk mendapatkan makanan.
Tabel 1 sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai perhitungan
penting, sehubungan dengan kaitan antara organisme hidup dengan lingkungannya.
Misalnya kita mengambil suatu populasi minimum sebanyak 1000 individu
daripada spesies X. Kemudian dalam tabel 1 ini dapat dilihat berapa banyak sinar
matahari perlu diterima oleh lingkungan untuk menyokong sekian banyak individu.
Jika lingkungan itu tidak cukup luas untuk menerima sekian banyak sinar matahari
sebagai sumber energi yang masuk, maka spesies X tak akan dapat berkembang,
bahkan tak mungkin dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ituylah
sebabnya mengapa sebuah kolam atau danau tak dapat menampung penuh sekian
banyak anggota populasi ikan, meskipun nampaknya tempat tersebut sesuai dengan
kehidupan mereka. Itulah pula sebabnya orang sering keliru oleh kemampuan laut
yang dianggap sebagai sumber bahan makanan yang tidak akan habis. Ada dua
alasan yang sangat kuat untuk ditunjukkan, bahwa pendapat demikian itu keliru.
Pertama, lautan di permukaan bumi ini relatif sangat miskin akan mineral.
Bagian laut yang paling produktif ialah bagian dangkalnya saja.
Disini endapan mineral oleh proses gerakan air laut secara tegak dapat naik
kembali ke permukaan, yang kemudian digunakan oleh fito-plankton untuk
membentuk jaringan hidup. Produktivitas biologi semacam ini nampak sangat
menguntungkan di sepanjang pantai Peru, misalnya dimana produksi perikanan,
khasnya ‘anchovy’ sangat terkenal.
Keduan, produktivitas lautan rendah, karena cara kita mengambil produksi
lautan hampir serupa dengan jika kita memerlukan harimau atau singa, sebagian
bahan makanan di darat. Ikan laut yang kita sukai biasanya dihasilkan oleh puncak
piramida-makanan yang jauh lebih kompleks daripada di darat. Padahal tiap tingkat
piramida itu menggambarkan banyak sekali energi yang harus terbuang, karena
sistem biologi yang tidak efisien seperti diterangkan sebelumnya. Bahkan dengan
luas permukaan lautan yang begitu terbentang di muka bumi, energi yang dapat kita
manfaatkan relatif sangat terbatas.
Apabila berbincang mengenai ‘energi yang dapat kita manfaatkan’, atau
tentang tumbuhan, hewan, ikan, dan sebagainya pada hakekatnya kita tertarik oleh
sumber alam. Nampak dalam sekilas saja, bahwa sumber alam itu sangat
bermanfaat, tetapi dapatkah gunanya ini diukur, dan apakah sebetulnya batasan
sumber alam itu? Satu ukuran biologi yang penting untuk menunjukkan kegunaan
sumber alam, ialah kesan terhadap daya pembiakan. Makin banyak suatu sumber
alam dijumpai di daerah biasanya tak begitu cukup memiliki sumber alam tersebut,
makin meningkat daya pembiakan hewan atau tumbuhan yang menggunakan
sumber alam tersebut. Meskipun demikian, banyak peristiwa yang dapat terjadi
selama masa hidup suatu jenis hewan atau tumbuhan, sejak lahir hingga beranjak
dewasa dan siap untuk membiak lagi.
Oleh sebab itu kelebihan suatu sumber alam dalam suatu masa hidup
sejenishewan atau tumbuhan mungkin tak nampak berkesan, karena tersembunyi
oleh peristiwa atau kejadian lain yang berlaku di sepanjang masa hidupnya. Dengan
demikian pengukuran pengaruh suatu sumber alam terhadap suatu sistem
kehidupan perlu dilakukan dengan melihat kesan pengubahan energi, bukan dengan
kesannya terhadap pembiakan.
Dalam prakteknya, pengukuran daya perubahan energi dalam sebuah sistem
biologi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Boleh diukur dengan jalan
menentukan bahan makanan yang dimakan (oleh hewan), mengamati tinjanya,
menentukan kadar kalori dlam suatu bahan melalui pembakaran (kalorimeter), dan
sebagainya. Daya perubahan energi suatu proses metabolisme dapat diukur dengan
menggunakan pengamatan radio isotop.
Misalnya, untuk proses fotosintesa pada tumbuhan dapat ditentukan berapa
banyak karbon radioaktif C14 dibentuk menjadi jaringan tumbuhan. Walau
bagaimanapun juga, sumber alam tak akan mempunyai kesan positif sepanjang
masa. Pengaruh positif hanya terjadi sewaktu sumber alam itu mencapai tingkat
jumlah optimum. Oleh karena itu sumber alam dapat didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang diperlukan oleh organisme hidup, populasi, atau ekosistem yang
pengadaanya hingga ketingkat yang optimum atau yang mencukupi, akan
meningkatkan daya pengubahan energi.
C. Asas 3 : “ materi , energi , ruang , waktu , dan keanekaragaman ,
semuanya termasuk kategori sumber alam. “

Memang jelas dalam asas fisika dan kimia , bahwa pengubahan energi oleh
sistem biologi harus berlangsung pada kecepatan yang sebanding dengan adanya
materi dan energi di alam lingkungannya. Tetapi apakah ruang juga dapat
digolongkan sebagai sumber alam ? kalau ruang begitu sempit bagi sesuatu populasi
yang tinggi kepadatannya, ada kemungkinan terjadinya gangguan terhadap proses
pembiakan. Individu jantan berkelahi berebut betina, menimbulkan gangguan
terhadap pertemuan antara jantan dan betina dalam proses pembiakannya. Tetapi,
sebaliknya ruang yang terlalu luas, berakibat jarak antara individu dalam sebuah
populasi menjadi terlalu jauh. Dalam hal ini prospek si jantan untuk bertemu dengan
si betina dalam proses pembiakan kecil sekali. Ruang dapat juga memisahkan jasad
hidup dari sumber bahan makanan yang dibutuhkannya, yang jauh dekatnya
menentukan perkembangan populasi jasad hidup itu. Oleh karena itu pengaruh
ruang secara asas adalah beranalogi dengan materi dan energi sebagai sumber
alam.
Waktu sebagai sumber alam juga tidak merupakan besaran yang berdiri
sendiri. Misalnya, hewan mamalia dipadang pasir. Pada saat musim kering tiba,
persediaan air akan berkurang di alam lingkungannya , mereka harus berpindah ke
tempat yang ada sumber air. Berhasil atau tidaknya hewan itu berimigrasi,
bergantung pada adanya cukup waktu dan energi untuk menempuh jarak antara
tempat semula dan tempat tujuan. Di alam terbuka memang soal waktu amatlah
penting. Seekor singa sering harus ‘menahan lapar’ yang cukup lama dalam
melakukan pengintaian, sebelum betul-betul yakin, bahwa ia dapat berhasil
menerkam mangsanya.
Seorang pengamat Trimmer, 1962) memperhatikan tiga ekor singa betina
dewasa yang mencari mangsanya. Mereka memerlukan waktu sampai 45 menit
sejak mereka melihat seekor kerbau sampai kepada saat yang tepat untuk
menerkamnya. Waktu ternyata merupakan sumber alam yang sangat berharga.
Keanekaragaman juga sering merupakaan sumber alam. Misalnya, makin
beranekaragam jenis makanannya suatu spesies semakin berkurang bahayanya bagi
spesies itu menghadapi perubahan lingkungan yang dapat memusnahkan sumber
makanannya musna oleh sesuatu sebab yang terjadi di lingkungannya. Untuk seekor
hewan yang mempunyai 100 jenis makanan, sedikit sekali kemungkinannya
keseratus jenis makanan itu musna semuanya dalam waktu yang sama. Manusia
adalah jasad hidup yang dapat makan hampir segala macam makanan, maka ia
dapat hidup unggul dimana-mana. Sebaliknya, beruang koala di Benua Australia
yang hanya dapat makan daun pohon kayu putih (Eucaltyptus), disamping jumlah
populasinya terbatas, penyebarannyapun hanya di kawasan hutan Eucaltyptus di
Australia saja.
Dibawah ini disajikan beberapa gambar yang menujukkan pengaruh energi,
materi, ruang, waktu, dan keanekaragaman dalam hubungan dengan manusia dan
lingkungannya.

Gambar 3. Pengaruh Materi

Gambar 4. Pengatur Suhu (Energi Panas)

Gambar 5. Pengaruh Waktu

Gambar 6. Pengaruh Waktu


Gambar 7. Pengaruh Keanekaragaman
Pencemar (pollutant) adalah suatu sumber alam yang konsentrasinya jauh
melebihi tingkat optimum. Jadi, nampaknya terdapat suatu batas kemampuan
lingkungan habitat untuk menyokong suatu materi. Batas tertinggi untuk
menyokong suatu spesies tertentu dikenal sebagai kapasitas bawa (carrying
capacity). Menurut Harper dan White (1971) kapasitas bawa suatu lingkungan
bagi beranekaragam spesies tumbuhan dapat ditentukan dengan rumus: 𝐶 =
𝑊. 𝑝3/2
Keterangan: C = kapasitas bawa
W = berat rata-rata individu dalam populasi
P = kepadatan atau kerapatan populasi
Ini berarti, karena C tertentu kemampuannya, kita masih dapat
meningkatkan berat rata-rata individu dalam populasi atau kepadatannya. Tentu
saja dapat kedua-duanya ditingkatkan. Jadi, kalau kita menambahkan berat rata-rata
ukuran pohon ditanam, sebagai kompensasi-kepadatan populasi akan menurun.
Asas yang sama berlaku untuk jenis hewan. Oleh karena itu, dalam praktek tidak
benar kita menanam lebih banyak bibit, baik pertanian dan kehutanan, maupun
perikanan dan peternakan, untuk maksud meningkatkan berat hasil individu
melebihi ukuran yang dikehendaki.
Asas 3 yang sederhana ini juga mempnyai implikasi penting bagi masa
depan kesejahteraan hidup manusia. Misalnya hubungan manusia dengan energi.
Pada masa awal sejarah kelahirannya di muka bumi, secara langsung atau tak
langsung manusia bergantung kepada matahari sebagai sumber energi. Kemudian
ia mengalihkan ketergantungan dirinya kepada minyak dan gas bumi sebagai
sumber energi untuk meningkatkan kapasitas bawanya. Kapasitas bawa tersebut
akan segera menurun dengan sangat tragis, apabila minyak dan gas bumi habis
persedian di dalam tanah. Sudah diramalkan, bahwa ketergantungan manusia
kepada minyak dan gas bumi ini tidak akan berumur terlalu panjang.
Kini, waktu adalah sumber alam yang amat berharga bagi manusia
sehubungan dengan pencarian ganti sumber energi minyak dan gas bumi. Usaha
memang sedang dilakukan untuk memanfaatkan sumber energi nuklir sebagai
pengganti minyak bumi. Tetapi timbullah pertanyaan, apakah kita punya persediaan
waktu? Lebih rumit lagi adalah masalah meningkatkan kesejahteraan hidup di
Negara yang sedang berkembang (termasuk Indonesia). Energi dan materi, di satu
pihak banyak disedot untuk menyokong populasi yang tinggi, yang penyebarannya
di kota, desa dan pulau tidak merata. Jarak, merupakan faktor yang turut
menentukan pembagian sumber alam ini secara merata.
Di pihak lain, Negara yang sedang berkembang diburu oleh waktu untuk
menciptakan teknologi baru yang mandiri, untuk mengejar kekurangannya dari
Negara yang sudah maju. Tanpa meningkatkan taraf kemajuan ilmu dan teknologi,
sejajar dengan Negara yang sudah maju, keseimbangan arus materi dan energi yang
mengalir ke dua arah, pada dasarnya tetap akan menguntungkan Negara yang sudah
maju (lihat Asas 11). Pendidikan para ahli di berbagai lapangan ilmu dan teknologi
dalam hal ini mutlak perlu. Kedua-duanya mengandung bobot prioritas yang
sebetulnya sama kuat.

D. Asas 4 untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah


mencapai optimum, pengaruh unti kenaikannya sering menurun
dengan penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat
maksimum. Melampaui batas maksimum ini tak aka nada pengaruh
yang menguntungkan lagi.

Untuk semua kategori sumber alam (kecuali keanekaragaman dan waktu)


kenaika pengadaannya yang melampaui batas maksimum, bahkan akan
berpengaruh merusak karena kesan peracunan. Ini adalah asa penjenuhan. Untuk
banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh
pengadaan sumber alam sudah mendekati batas maksimum.
Asas ini dapat diterapkan, misalnya dengan batas suhu maksimum
membatasi berbagai kegiatan di dalam sistem biologi. Melampaui batas suhu
optimum, sampai mendekati suhu maksimum, bahkan mengurangi daya
pengubahan enrgi oleh sistem biologi tersebut. Dalam Asas di atas terkandung arti,
bahwa pengadaan sumber alam mempunyai batas optimum, yang berarti pula batas
maksimum, maupun batas minimum pengadaan sumber alam akan mengurangi
daya kegiatan sistem biologi.
Dari sini dapat ditarik suatu konsekuensi yang penting, yaitu karena adanya
ukuran optimum pengadaan sumber alam bagi suatu populasi, maka naik turunnya
jumlah individu populasi itu bergantung pula kepada penggadaan sumber alam itu
pada suatu jumlah tertentu. Di sini dapat diterangkan pula, mengapa di dalam suatu
keadaan lingkungan yang sudah stabil, populasi tumbuhan dan hewannya
cenderung naik turun, bukan terus naik, atau terus turun. Dalam arti kata lain, akan
terjadi pengitesifan perjuangan hidup, kalau persedian sumber alam itu berkurang,
dan sebaliknya, akan mendapat ketenangan, kalau sumber alam itu bertambah.
Akibatnya, kepadatan populasi yang berlebihan akan membawa penurunan jumlah
anggota populasi, demikian pula sebaliknya. Gejala inilah yang kemudian dikenal
dengan pengaturan populasi karena factor yang bergantung pada kepadatan
(density-dependent factor).

E. Asas 5 ada dua jenis sumber alam dasar, yaitu sumber alam yang
pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang
tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.

Ada dua hal pada 5 ini. Di suatu pihak dapat kita bayangkan suatu keadaan
atau situasi, dengan jenis sumber alam tidak akan menimbulkan rangsangan untuk
penguanaannya lebih lanjut. Dipihak lain dapat juga kita bayngakan adanya paling
sedikit dua situasi yang mempunyai kesan merangsang itu.

Gambar 8. (hubungan antara sumber daya makanan dan kepadatan


pemangsanya.
Sumberdaya makanan tak merangsang pemakaian lebih lanjut.
Dalam gambardalam bambar tesebut hubungan antara suatu jenis parasite
(Nasonia vitrivenis) dengan kepompong lalat Musca domestica yang diserangnya.
Dalam hal ini kepompong merupakan makanan (sumber alam) bagi parasite
tersebut. Jadi, dalam gambar dilukiskan beberapa banyak kepompong yang
diserang parasit dibandingkan dengan kepadatannya. Dalam arti kata lain, jumlah
penggunaan sumber alam dibandibandingkan dengan pengadaan sumber alamnya.
Ternyata penambahan jumlah kepompong yang diserang tak menunjukkan kesan
merangsang penggunaan, karena memang parasite sebagai penggunanya Nampak
tak belajar bagaimana menaikkan daya guna sumber makanannya. Pada gambar
selanjutnya ditunjukkan bagaimana jumlah suatu jenis kepompong serangga lain
meningkat drastic penggunaanya oleh sejenis tikus sebagai sumber makanannya
sebagai akibat tambahnnya kepadatan kepompong. Disini tikus berhasil
meningkatkan daya guna kepompong tersebut sebagai sumber alam. Tetapi kalau
kepada tikus itu diperkenalkan sejenis makanan (sumber alam) lain, maka daya
guna kepompong oleh tikus tidak mempunyai kesan merangsang pendayagunaan
lagi.
Contoh lain lagi tentang kesan merangsang pendaya-gunaan sumber alam,
ialah, misalnya kalau ada suatu jenis hewan sedang mencari berbagai sumber bahan
makanan. Kalau kemudian diketahui, bahwa suatu jenis makanan tiba-tiba menjadi
sangat banyak jumlah di alam maka hewan tersebut akan memusatkan perhatiannya
kepada pengguanaan jenis makanan itu. Jadi, kenaikan pengadaan sumber alam
(makanan) merangsang kenaikan pendaya-gunaannya.

F. Asas 6 Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan


daripada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya
itu.

Gambar 8. Hubungan antara kepadatan sumberdaya makanan dan


kepadatan pemangsa sumberdayamakanan merangsang penggunaan lebih
lanjut
Asas ini sebenarnya adalah pernyataan teori Darwin dan Wallace. Apabila
pada jasad hidup terdapat factor lingkungan fisik atau biologi, dan kemudian timbul
kenaikkan kepadatan populasinya sehingga timbul persaingan, maka jasad hidup
yang kurang mampu beradaptasilah, yang akan kalah dalam persainga tadi. Jadi,
dengan beberapa kekecualian, dapat selalu diharapkan, bahwa jasad hidup yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkunganlah yang akan lebih berhasil daripada
mereka yang tak dapat menyesuaikan diri. Dalam hal ini dapat diartikan juga,
bahwa jasad hidup yang adaptif itu akan mamu pula menghasilka lebih banyak
keturunan daripada yang non-adaptif. Individu yang lebih adaptif itu adalah mereka
yang mempunyai lebih banyak kesan `merusak` kepada yang lain, daripda yang lain
kepadanya. Atau mereka itu paling adaptifterhadap pengadaan makanan, terhadap
penyakit atau keadaan lingkungan umumnya. Pendek kata, spesies yang paling
adaptif menggunakan sumber alamnya yang ada si sekitar lingkungannya seefisien
mungkin.
Umumnya, suatu spesies atau komunitas yang dapat bertahan dalam suatu
keadaan lingkungan tertentu, ialah yang dalam keseimbangan alam secara
keseluruhan mempunyai daya pembiakan yang lebih tinggi daripada spesies atau
komunitas yang ingin mencoba untuk mengambil alih.
Meskipun demikian, kalau kemudian keadaan lingkungan berubah,
beberapa spesies lain mungkin akan lebih adaptif daripada spesies yang sudah ada
sebelumnya. Sebagai contoh ialah, kalau mula-mula di bukit pasir di tepi pantai
atau dibongkahan batu lava masuk tumbuhan pelopor, maka tumbuhan pelopur itu
berhasil mengubah situasi keadaan lingkungan. Pada perkembangan berikutnya,
serangkaian spesies lain yang lebih adaptif dengan keadaan lingkungan barulah
yang datang mengganti, dan tumbuhan pelopor kemudian tersisihkan. Proses
penggantian spesies secara berurutan inilah yang dikenal sebagai proses suksesi.
Individu spesies dan ekosistem mempunyai cara serta mekanisme untuk
melakukan proses evolusi, sehingga mereka dapat mendaya-gunakan energi yang
ada disekitarnya seefisien mungkin. Ikan yang memangsa ikan jenis lain
mempunyai mulut tepat di bagian depan kepalanya. Ikan yang memangsa serangga
yang hidup dipermukaan air mempunya mulut di bagian atas kepalanya. Ikan yang
memangsa fauna di dasar perairan mempunyai mulut di bagian bawah kepalanya.
Ikan yang mencari makan hewan yang tersembunyi di batu-batu karang mempunyai
mulut yang runcing. Hewan yang hidup di lingkungan padang rumput tinggi
mempunyai kaki yang kuat untuk mudah meloncat-loncat seperti kangguru,
antelop, kelinci liar, dan sebagainya.
Implikasi yang penting bagi manusia mengenai semua gejala alam yang
diurakan di atas, ialah bahwa kita harus berhati-hati dalam memperkenalkan jenis
tumbuhan atau hewan baru ke suatu tempat atau wilayah. Hewan ternak dan
tanaman pertanian baru, dari luar daerah, belum tentu akan selalu menguntungkan
dan sesuai dengan keadaan lingkungan di daerah kita. Seringkali kali hal itu dapat
menurunkan produk hewan atau tanaman asal. Contohnya yaitu, pernah terjadi di
Amerika Serikat, orang mengenlkan jenis domba Australia ke daerah ternak
sapinya. Kemudian diketahui cara domba memakan rumput sedemikianrupa
pendeknya, sehingga sapi tak dapat turun makan. Tentu saja hal itu mengakibatkan
jatuhnya produksi ternak sapi. Di Afrika ternyata diketahui, ternak dengan susah
payah diimport dari daerah yang lain mempunyai produksi jauh lebih rendah
daripada ternak asalnya. Dihitung dalam kilogram per hektar per tahun.

G. Asas 7 Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di


alam lingkungan yang mudah ‘diramal’.

Dalam Asas 7 artinya ialah adanya keteraturan yang pasti pada pola factor
lingkungan dalam suatu periode yang relative lama. Perlu diakui, bahwa memang
terdapat fluktasi turun-naiknya kondisi lingkungan di semua habitat, tetapi besarnya
dan sukar mudahnya untuk diramal, berbeda-beda dari suatu habitat ke habitat lain.
Dengan adanya keadaan optimum pada factor lingkungan bagi kehidupan suatu
spesies, maka erlu kita ketahui berapa lama keadaan tersebut dapat bartahan. Di tiap
lingkungan dapat kita harapkan adanya penyebaran spesies yang berbeda-beda
kepadatannya, dari yang paling padat sampai kepada yang jarang sekali. Kalau
factor lingkungan berubah sedemikian rupa (sampai tak dapat diramal lagi),
sehingga terjadi pengaruh pengurangan jumlah individum akan terancamlah spesies
yang populasinya jarang. Bahaya ancaman itu dapat sampai menghapus kehadiran
spesies itu lebih lanjut.
Pendeknya lingkungan yang stbil secara fisik merupakan sebuah lingkungan
yang terdiri dari banyak spesies, dari yang umum sampai yang jarang dijumpai.
Semua itu dapat melakukan penyesuaian (secara evolusi) kepada tingkat optimum
keadaan lingkungannya. Sedangkan lingkungan yang tak stabil, hanya dihuni oleh
spesies yang relative sedikit jumlahnya, dengan kepadatan rata-rata yang kurang
lebih serupa.
ini telah diterangkan panjang lebar oleh Valentine (1969) berdasarkan
beberapa bukti fosil, dan dikenal sebagai hipotesis waktu-stabilitas Sanders (1969).
Ditemukan olehnya, bahwa di dalam komunitas fauna dasar laut, keanekaragaman
spesies yang terbesar (varitas spesies per sampel dalam suatu luas tertentu) dijumpai
pada habitat yang stabil sepanjang masa yang lama sekali. Slobodkin dan Sanders
(1969) menginterpretasikan hal ini sebagai pengaruh lingkungan yang mudah
diramal (stabil) terhadap spesies. Maksudnya ialah, makin lama suatu lingkungan
dalam keadaan stabil, maka makin banya keanekaragaman spesies yang muncul
sebagai akibat berlangsungnya proses evolusi. Hal ini tak usah diartikan, bahwa
keadaan lingkungan itu harus mempunyai iklim yang bersuhu hangat dengan
fluktasi naik-turunnya suhu yang tidak besar setiap hari selama satu tahun, atau dari
tahun ketahun seperti di Indonesi. Bisa saja suhu sangat rendah dengan keadaan
rendah seperti suhu di dasar lautan, asalh stabil.
Keadaan iklim yang stabil sepanjang waktu yang lama sekali tidak saja akan
melahirkan keanekaraaman spesies yang tinggi, tetapi juga akan menimbulkan
keanekaragaman pola penyebaran kesatuan populasi (Pielou, 1969).

H. Asas 8 Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh kenekaragaman


takson, bergantung kepada bagaimana nicia dalam lingkungan hidup
itu dapat

Memang cukup wajar untuk mengharapkan bahwa kelompok taksonimi


tertentu daripada suatu jasad ditandai oleh keadaan lingkungannya yang khas
(nicia). Jadi, setiap spesies mempunyai nicia tertentu.
Dengan demikian, spesies itu dapat hidup berdampingan dengan spesias lain
tanpa persaingan, karena masing-masing mempuyai keperluan dan fungsi yang
berbeda di alam. Tetapi, jika ada suatu kelompok taksonomi lain yang terdiri atas
spesies dengan cara makan serupa, dan toleran tehadap lngkungan yang bermacam-
macam serta luas, maka jelas alam lingkungan itu hanya ditempati oleh spesies yang
kecil saja keanekaragamannya.
Whittaker (1969) mencatat, bahwa reaksi nicia burung terhadap sifat
struktur komunitas relative luas, juga mempunyai kesamaan keperluan akan jenis
makanannya. Oleh karena itu burung dapat hidup dalam suatu lingkungang yang
luas dengan spesies yang kurang beranekaragam. Sebaliknya, tumbuhan dan
serangga mempunyai kebutuhan amat terbatas dalam suat keadaan lingkungan.
Banyak spesies serangga, misalnya hanya memakan beberapa jenis tumbuhan. Hal
ini disebebkan karena gerakannya terbatas, sehingga hanya dpat memanfaatkan
bahan makanan yang khas dijumpai di lingkungan tempat mereka hidup.
Oleh sebab itu tumbuhan dan serangga leih responsive terhadap lingkungan
yang terbatas (mikro) dibandingkan dengan burung. Jadi dalam ligkungan
tumbuhan dan serangga, perbedaan biokimia yang halus saja, menyebabkan
perbedaan tersebut dapat terus berkembang secara berlebihan yang kemudian dapat
membawa perbedaan genetic dalam perjalanan evolusinya. Jadi, dalam waktu yang
lama keanekaragaman tumbuhan dan serangga itu meningkat, yang kemudian hidup
dalam bermacam bentuk nicia suatu lingkunga.

I. Asas 9 Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan


biomasa dibagi produktivitas.

Morowitz (1968) merasa yakin adanya hubungan antara biomasa, aliran


energi, dan keanekaragaman dalam suatu sistem biologi. Seandainya suatu sistem
menyimpan sejumlah materi B (untuk biomasa), dan mengandung aliran energi
malalui materi itu P (untuk produktivitas, suatu ukuran aliran energi dalam jangka
waktu tertentu). Apabila aliran energi itu telah berasosiasi sebanding dengan aliran
materinya, dan juga meteri itu bebas tukar-menukar dengan materi yang tersimpan,
maka jumlah waktu rata-rata yang diperlukan bagi pengguna materi dalam sistem
itu dapat dinyatakan dengan rumus:
𝐵
t̅ = 𝐾
𝑃
Keterangan : K = koefisien tetapannya
Keanekaragaman atau kompleksitas organisasi suatu sistem (D) sebenarnya
juga sebanding dengan t̅ , sebab D ialah ukuran jumlah rata-rata waktu yang
diperlukan oleh energi pada sistem itu sampai ke tujuan akhirnya (Hukum
Termodinamika). ini mengandung arti, bahwa efisiensi penggunaan aliran energi
dalam sistem biologi akan meningkat dengan meningkatnya kompleksitas
organisasi sistem biologi itu dalam suatu komunitas.

J. Asas 10 pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomasa


𝑩
dengan produktivitas (𝑷) dalam perjalanan waktu naik mencapai
sebuah asimtot.

Ini merupakan kelnjutan 7 dan 9. Kalau dalam perjalanan waktu serta


𝐵 𝐵
habitat yang stabil D meningkat sebnading dengan 𝑃 , berarti 𝑃 meningkat pula.
Dalam 10 tersimpul bahwa sistem biologi menjelini evolusi yang mengarah
kepada peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam lingkungan fisik yang
stabil, yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman. Dengan arti kata
lain, kalau kemungkinan P maksimum sudah ditetapkan oleh energi matahari yang
masuk kedalam ekosistem, sedengakan D dan B masih dapat meningkat dalam
perjalanan waktu, maka kuantum (jumlah) energi yang tersisa dalan sistem biologi
itu dapatdigunakan untuk menyokong biomasa yang leih besar melalui
kompleksitas organisasinya.
Banyak contoh yang menunjukkan adanya maksimasi efisiensi penggunaan
energi dan minimasi pemburusan energi dalam perjalanan evolusi organisme hidup
(ekosistem).
Hukum Bergmann menyatakan, bahwa hewan homoioterm dari lingkungan
beriklim dingin cenderung lebih besar ukurannya, jadi mempunyai rasio las
permukaan atau berat yang lebih rendah, dibandingkan dengan hewan serupa di
daerah yang lebih hangat.
Hukum Allen menyatakan pula adanya kecenderungan pemendekan anggota
tubuh dibandingkan dengan berat tubuh hewan di daerah dingin untuk menurunkan
rasio luas permukaan atau berat tubuh itu.
Gate (1969) behkan mengembangkan suatu teori ruangan-iklim (suhu,
udara, angina, radiasi matahari) yang bagaimana, agar secara termodinamika suatu
jenis hewan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya didasarkan kepada
sifat intrinsiknya.
Kalau ini benar, maka dapat kita harapkan bahwa dalam komunitas yang
sudah berkembang lanjut dalam proses suksesi, rasio biomasa/produktivitas akan
lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas yang masih muda. Dalam kenyataan
di alam, memang demikianlah halnya, sebab spesies memang bertambah, dan
terdapat juga tumbuhan dalam bentuk pohon berkayu besar yang dapat menyokong
bentuk komunitas tumbuhan yang berlapis-lapis (berstratifikasi).
Implikasi 10 ini ada beberapa yang penting untuk dikemukakan disini.
Sebuah komunitas (atau tingkat-makanan) dapat dibuat tetap muda dengan
memperlakuakn fluktuasi iklim atau ‘cuaca’ yang tak teratur, atau dengan
pemungutan hasil panen dari komunitas itu oleh manusia (seperti dalam komunitas
tanaman pertanian) atau dengan eksplotasi oleh hewan untuk keperluan
makanannya, atau oleh banjir yang sewaktu-waktu melanda secara tak teratur, dan
sebagainya.
Dari pengamatan Margalef (1968), diketahui bahwa hewan yang terdapat di
ujung rantai makanannya lebih cermat dalam memanfaatkan energinya daripada
yang lebih dekat kepangkal rantai makanan. Hal ini memang dapat diharapkan,
terlebih-lebih bila diketahui, bahwa hewan bertubuh besar memang lebih tahan
terhadap fluktuasi keadaan lingkungan. Akibatnya, hewan yang hidup di puncak
piramida makanan dapat hidup lebih stabil daripada hewan herbivore, dan hidup
lebih lama di dalam suatu tingkat kestabilan tertentu. Selain itu, energi memang
jarang dapat diperoleh di ujung suatu rantai makanan, oleh karena itu efisiensi
penggunaannya memang suatu hal yang penting harus dilakukan.
Pada umumnya, sesorang dapat mengharapkan, bahwa dalam populasi atau
ekosistem alam misalnya, hutan belantara akan terdapat bentuk organisasi jasad
hidup yang menekan pengeluaran energi untuk bergerak dalam kegiatannya sehari-
hari hingga minimum.
Kalau kita meninjau penerapan 10 ini pada fenomena kemanusiaan, akan
ternyata bahwa kita sudah melanggarnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Apabila
suatu masyarakat (manusia) berkembang makin maju, memang secara keseluruhan
ada penurunan harga energi per unit produksi kotor nasional (gross national
product), tetapi pada waktu yang sama produksikotor nasional per kapita naik
dengan sangat cepat, sehingga terdapat peningkatan pengeluaran energi per orang.

K. ASAS 11 Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengekpoitasi sistem


yang belum mantap (belum dewasa)

Hal ini berarti ekosistem, populasi atau tingkat makanan yang sudah dewasa
memindahkan energi, biomassa, dan keanekaragaman tingkat organisasi ke arah
yang belum dewasa. Dengan kata lain, energi materi dan keanekaragaman mengalir
melalui suatu kisaran yang menuju ke arah organisasi yang lebih kompleks atau
dari subsistem yang rendah keanekaragamannya. Asas ini meneruskan 5 Asas yang
menyatakan, bahwa pengadaan yang meningkat daripada suatu sumber alam
(seperti juga halnya keanekaragaman) mungkin dapat merangsang lebih banyak
penggunaan sumber alam tersebut. Kemudian diikuti oleh Asas 9 yang mengatakan,
bahwa keanekaragaman yang meningkat dalam sebuah sistem berarti meningkatkan
pula efisiensi. Penggunaan energi satu cara untuk meningkatkan kecermatan
penggunaan energi, ialah dengan mengeksplotasi sistem lain yang menghabiskan
energinya untuk mengumpulkan energi dan materi yang dibutuhkan.
Margelaf (1963, 1968) telah menunjukkan, bahwa kejadian serupa itu
sangat umum dan sering dapat digunakan untuk menerangkan berbagai gejala.
Energi plankton dalam komunikasi perairan misalnya, memasang Asas ini juga
dapat dipakai untuk menerangkan bagaiamana banyak orang muda dari ladang,
kampung, dan kota kecil mengalir berkelana ke kota besar, karena keanekaragaman
kehidupan kota besar yang melebihi tempat asalnya. Jadi, keahlian dan bakat
mengalir dari daerah yang kurang ke daerah yang lebih beranekaragam corak
kehidupannya. Asas ini jugalah yang dapat menjelaskan bahwa hampir semua
transaksi ekonomi antara negara yang sedang berkembang dan negara yang sudah
maju, meskipun seharusnya menolong negara yang berlum berkembang, tetapi hasil
akhirnya akan tetap akan menguntungkan negara yang sudah maju.
Di daerah reklamasi pasang surut di Sumatra dan di Kalimantan, Asas ini
juga dapat menerangkan bagaimana hama beruk, tikus, dan serangga dari hutan
rawa (yang lebih stabil dan beranekaragam) menyerang tanaman pertanian yang
diolah transmigran, yang ternyata masih rawan dan hanya ditumbuhi oleh tanaman
pertanian yang sangat kurang keanekaragaman jenisnya. Disini mau tidak mau,
energi mengalir dari daerah pertanian pasang surut htan rawa. Para petani harus
berusaha sekuat tenaga melawan tantangan alam ini.

L. ASAS 12 Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung


pada kepentingan relatifnya didalam keadaan suatu lingkungan.
Asas ini merupakan kelanjutan Asas 6 dan 7. Jika pemilihan (seleksi)
berlaku, tetapi keanekaragaman terus meningkat di lingkungan yang sudah stabil,
maka dalam perjalanan waktu dapat diharapkan adanya perbaikan terus-menerus
dalam sifat adaptasi terhadap lingkungan.
Jadi, dalam sebuah ekosistem yang sudah mantap dalam habitat
(lingkungan) yang sudah stabil, sifat responsif terhadap fluktuasi faktor alam yang
tak diduga-duga ternyata tak diperlukan. Yang berkembang justru adaptasi peka
dari perilaku dan biokimia lingkungan sosial dan biologi dalam habitat itu. Adaptasi
semacam ini lebih jelas terlihat, terutama pada serangga atau ikan yang berwarna
semarak di daerah tropika yang kaya akan keanekaragaman.
Evolusi dalam lingkungan yang sukar ditebak perubahan faktor alamnya
cenderung memelihara daya plastis anggota populasi. Sedangkan evolusi dalam
lingkungan mantap, jadi secara biologi kompleks (beranekaragam), cenderung
menggunakan kompleksitas itu untuk bereaksi terhadap bermacam-ragam
kemungkinan perubahan.
Implikasi yang penting daripada Asas ini adalah, bahwa sesungguhnya tak
ada sebuah strategi evolusi yang terbaik dan mandiri di muka bumi ini. Semua lebih
bergantung pada keadaan lingkungan fisik.
Kesimpulan Asas 12 ini ialah, bahwa populasi dalam ekosistem yang belum
mantap, kurang beraksi terhadap perubahan lingkungan fisiokimia dibandingkan
dengan populasi dalam ekosistem yang sudah mantap. Populasi dalam lingkungan
dengan kemantapan fisiokimia yang cukup lama tak berlu berevolusi untuk
meningkatkan kemampuannya beradaptasi dengan keadaan yang tidak stabil.
Sungguhpun demikian, jika terjadi suatu perubahan yang drastis dan ketastrofik,
ekosistem yang telah mantap akan lebih terancam bahaya, karena secara genetik
populasinya sangat kaku terhadap perubahan. Jadi kerugian hidup di tempat atau
lingkungan yang stabil, menyebabkan perubahan tak berbalik bagi sifat
populasinya, sebab tekanan seleksi menempatkan pengutamaan kepada
kesempurnaan, tetapi kaku sifatnya.

M. ASAS 13 Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan


terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem
yang mantap, yang kemudian dapat menggalakkan kemantapan
populasi lebih jauh lagi.

Ada empat jalur perbincangan dalam Asas sebelumnya yang dapat


menyokong lahirnya Asas 13 ini. Pertama Asas 7 mengemukakan, bahwa
kekompleksan organisasi makin meningkat pada lingkungan fisik yang mantap.
Maksudnya ialah, bahwa akan terjadi kenaikan jumlah spesies dan varietas pada
rantai makanan dalam komunitas. Artinya dalam komunitas yang mantap, jumlah
jalur energi yang masuk melalui ekosistem meningkat. Bila sesuatu buruk terjadi
pada satu jalur, maka kemungkinan jalur lain mengambil alih lebih besar
dibandingkan dengan komunitas yang belum mantap itu, sehingga kemantapan
lebih terjaga.
Kedua, Asas 13 ini menyusun Asas 7 untuk alasan yang lain. Kalau
kemantapan lingkungan fisik merupakan syarat bagi penimbunan kompleksitas
organisasi dan keanekaragaman biologi, maka kemantapan faktor fisik itu sendiri
akan mendukung kemantapan populasi dalam ekosistem yang mantap.
Ketiga, hal yang menyokong kebenaran Asas 13 ini berhasil dari Asas 12
yang menyatakan, bahwa adaptasi yang peka dan kompleks, serta system control
akan berevolusi sebagai tanggapan terhadap lingkungan biologi dan social daripada
komunitas yang mantap. Komunitas mantap mempunyai sistem kontrol umpan-
balik yang sangat kompleks.
Akhirnya, yang keempat, Asas 9 nampaknya menyokong juga Asas 13,
yaitu yang menyangkut hubungan antara kemantapan (kedewasaan,
keanekaragaman yang tinggi) dengan efisiensi penggunaan energi. Efisiensi
penggunaan energi berarti pemborosan yang minimum, serta amplitude yang luas
daripada fluktuasi populai dilakukan dengan peninggian biomasa pembalikan
keturunan (tum-over, daya kelahiran kurang dari daya kematian) yang merupakan
ukuran pemborosan. Jadi, amplitudo yang luas daripada naik-turunnya populasi
boleh terjadi dalam habitat yang sederhana di tempat yang jauh dari katulistiwa atau
di gunung yang tinggi, atau dikawasan tropika yang telah diganggu manusia.
Asas 13 ini telah dikemukakan pula oleh seseorang pengarang arsitektur
Jane Jacobs (1969) tanpa tahu-menahu tentang dasar ekologi (tumbuhan dan
hewan) murni menjadi ilmu lingkungan, yang memiliki batas yang lebih luas. Jane
Jacobs menunjukkan kontras antara kota model Manchester (di Inggris) dan Detroit
(di Amerika Serikat), dengan Birmingham dan Cambrigde (di Inggris),
Massachusetts atau Palo Alto (di Amerika Serikat).
Ekonomi kota yang disebut terdahulu dikuasai oleh sejumlah kecil industri
besar, oleh karena itu mudah terancam oleh ketidakmantapan kondisi pemasaran
industri tersebut. Sedangkan kota yang disebut kemudian mempuyai industri kecil
yang relatif banyak sekali, yang oleh Den Boer (1968) disebut dapat menaburkan
risiko, dan barangkali dalam jangka waktu yang lama membawa akibat kematian.
Penelaahan Jane Jacobs ini ternyata tepat sekali. Ketika, misalnya, perusahaan
kapal terbang yang besar sekali (Boeing) terpaksa harus mengurangi produksinya
karena ancaman embargo minyak oleh Negara Arab terhadap Amerika Serikat,
maka kota Seattle hampir lumpuh sama sekali, karena banyak kaum penganguran.
Meskipun demikian, lingkungan hidup manusia ini tidak begitu tetap serupa dengan
keadaan lingkungan alam. Dalam dunia manusia, kota dengan sedikit industri besar
mempunyai kecermatan yang besar sekali dalam penggunaan energi, sebab skala
ekonominya memungkinkan mereka berbuat demikian. Sedang dalam dunia
tumbuhan dan hewan, kecermatan yang tinggi dalam penggunaan energi
berhubungan erat dengan kekakuan, ketidak berbalikan dan kemudah-terancaman
oleh perubahan yang bersifat bencana.
Perubahan ketergantungan manusia dari aliran energi (sinar matahari) ke
persendian energi (minyak dan gas bumi, tenaga atom, dan sebagainya),
memisahkan manusia dari dunia tumbuhan dan hewan alam. Sekaligus pula telah
mengubah cara berfikir manusia untuk tidak khawatir menggunakan energi
semaunya, karena kurang kesadaran, bahwa pada suatu ketika persediaan energi itu
dapat habis. Cara berfikir itulah yang membuat manusia ingin menghasilkan
produksi sebanyak-banyaknya dalam jangka waktu yang singkat tanpa terlalu
peduli akan akibatnya dimasa yang akan datang bagi sejarah kemanusiaan.
Sedangkan apa yang berlaku dalam dunia alam adalah hasil jalinan keseimbangan
alam yang berlangsung dalam perjalanan masa yang lama sekali (evolusi).
Jika bercermin pada keadaan lingkungan alam, memang kehidupan manusia
dimasa yang akan datang cukup mengkhawatirkan. Perhatikanlah, bagaimana
keanekaragaman spesies tumbuhan tinggi menurun pula sebagai akibat eksploitasi
manusia terhadap hutan didalam lingkungan hidupnya. Hewan mamalia, burung,
dan jenis hewan lain juga banyak yang terancam bahaya kemusnahan. Bahkan
jumlah spesies serangga juga menurun sebagai akibat kegiatan mnusia dimuka
bumi itu.
Inilah sebagian penjelasan, apa sebab sering timbul serangan hama yang
tiba-tiba dan eksplosif di daerah monokukltur (pertanian) yang luas sekali. Parasit
pemangsa alam hama berada pada kepadatan populasi yang rendah sekali
dibandingkan dengan hama itu sendiri. Jadi, kalau usaha memberantas hama
dilakukan dengan tujuan membunuh katakanlah jumlah populasi hama tersebut
99% - maka yang pasti habis terbunuh adalah parasit dan pemangsa hama, dan
bukan hama itu. Inilah salah satu sebab yang kemudian menimbulkan peledak
(outbreak) hama.

L. ASAS 14 Derajat pola keteraturan turun-naiknya populasi


bergantung kepada jumlah keturunan dalam sejarah populasi
sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu.
Populasi yang berlainan memang mempunyai pola keteraturan naik-turun
yang berbeda. Asas 14 ini sebenarnya merupakan kebalikan Asas 13. Tidak adanya
keanekaragaman yang tinggi pada rantai makanan dalam ekosistem yang belum
mantap, menimbulkan derajat ketidakstabilan populasi yang tinggi. Jika keadaan
tersebut sedemikian rupa, sehingga jumlah kecil spesies antara satu sama lain dalam
satu cara tertentu sampai terjadi perpanjangan waktu, maka fluktuasi populasi yang
sangat tinggi mungkin saja berlaku. Misalnya burung elang sangat bergantung pada
tikus tanah sebagai makanan utamanya, dan tikus tanah sangat bergantung pada
suatu spesies tumbuhan, tumbuhan tersebut juga bergantung pada jenis tanah
tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Andaikan tikus tanah kemudian menjadi
sangat padat populasinya pada tahun t, sehingga terjadi bahaya kelaparan yang
hebat, dan terjadi penurunan jumlah tikus tanah pada tahun t + 1. Penurunan ini
dapat menaikkan jumlah bahan makanan pada tahun t + 3 dan menaikkan
produktivitas tumbuhan pada tahun t + 4. Kenaikan produktivitas tumbuhan dapat
meningkatkan populasi tikus pada tahun t + 5, serta meningkatkan populasi burung
elang pada tahun t + 6 atau t + 7.
Inilah yang dimaksud dengan ketidakstabilan atau turun-naiknyua populasi
(burung elang) itu berada dalam pengaruh perpanjangan waktu atau suatu derajat
tinggi momentum, atau enersia suatu sistem. Sama saja dengan seorang ahli niaga
atau ahli ekonomi yang menaikkan atau menurunkan harga hasil produksinya, ia
harus melakukan analisa serta memerhatikan dulu naik-turunnya harga bahan
mentah yang membentuk hasil produksinya.
BAB ini diakhiri oleh sebuah gambar alir yang menunjukkan hubungan
berlogika antara suatu Asas dengan Asas yang lain. Jika gambar ini belum
meyakinkan kebenarannya, masalahnya ialah karena belum banyak data, bukti, dan
ujian yang dilakukan pada setiap Asas. Hal inilah yang mendorong ilmu lingkungan
terus berkembang.
HUBUNGAN ANTARA ASAS SATU DENGAN ASAS LAINNYA

Sumber alam ialah


segala sesuatu ASAS 5. ASAS 14.
yang Peningkatan Derajat pola
memungkinakan pengadaan suatu keturunan
organisme hidup sumber alam fluktuasi populasi
untuk memungkinkan bergantung pada
meningkatkan dapat merangsang pengaruh sejarah
pengubahan penggunaan populasi itu
energi. sumber alam sebelumnya.
ASAS 11.
tersebut. Sistem yang
mantap (dewasa)
ASAS 3. mengeksploitasi ASAS 13.
Materi, energi, ASAS 9. sistem yang belum Lingkungan fisik
ruang, waktu, dan Keanekaragaman dewasa. yang mantap
keanekaragaman sebanding dengan memungkinkan
adalah kategori biomassa/produkti keanekaragaman
sumber alam. vitas. biologi berlaku
dalam ekosistem
mantap, yang
kemudia
ASAS 1. menggalakkan
Energi tak pernah kemantapan
hilang, hanya populasi yang
berubah. lebih jauh lagi.
ASAS 8.
Tingkat makanan
ASAS 2. atau takson ASAS 10.
Semua proses menjadi jenuh oleh Biomassa/produkti
pengubahan energi keanekaragaman, vitas meningkat
todak cermat. dengan kecepatan dalam lingkungan
yang ditentukan yang mantap.
oleh sifat mic.
diferensiasi.
ASAS 4.
Mengenal
kejenuhan dan
ketidakjenuhan. ASAS 7.
Keanekaragaman ASAS 12.
yang kekal lebih Kesempurnaan
tinggi pada adaptasi tiap
ASAS 6. lingkungan yang tabiat/sifat
Keturunan stabil. bergantung pada
(genotip) dengan kepentingan
daya pembiakan relatifnya dalam
tertinggi akan suatu lingkungan
sering dijumpai tertentu.
pada generasi
berikutnya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pengetahuan Lingkungan memiliki beberapa asas dalam


pengembangannya. Asas-asas tersebut diantaranya yaitu:

Asas I : ”Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup populasi


atau ekosistem dapat dianggap sebagai sumber energi yang tersimpan atau
terlepaskan. Energi dapat dirubah dari satu bentuk ke bentuk lain, tetapi tidak dapat
hilang, dihancurkan atau diciptakan.”

Asas 2. Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien.

Asas 3 : “ materi , energi , ruang , waktu , dan keanekaragaman , semuanya


termasuk kategori sumber alam. “

Asas 4 untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah


mencapai optimum, pengaruh unti kenaikannya sering menurun dengan
penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas
maksimum ini tak akan ada pengaruh yang menguntungkan lagi.
Asas 5 ada dua jenis sumber alam dasar, yaitu sumber alam yang
pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang tak mempunyai
daya rangsang penggunaan lebih lanjut.
Asas 6 Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan
daripada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya itu.
Asas 7 Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam
lingkungan yang mudah ‘diramal’.
Asas 8 Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh kenekaragaman takson,
bergantung kepada bagaimana nicia dalam lingkungan hidup itu dapat
Asas 9 Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomasa
dibagi produktivitas.
Asas 10 pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomasa dengan
𝐵
produktivitas (𝑃 ) dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot.
Asas 11 Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengekpoitasi sistem yang
belum mantap (belum dewasa)
Asas 12 Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung pada
kepentingan relatifnya didalam keadaan suatu lingkungan.
Asas 13 Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan terjadinya
penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang
kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.
Asas 14 Derajat pola keteraturan turun-naiknya populasi bergantung
kepada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan
mempengaruhi populasi itu.
DAFTAR PUSTAKA
Soeriaatmadja, E. 1997. Ilmu Lingkungan. Bandung: Penerbit ITB,
Wijana, Nyoman. 2014. Ilmu Lingkungan Edisi 2.Yogyakarta: Graha Ilmu

Anda mungkin juga menyukai