Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH SENI TARI INDONESIAPerjalanan dan bentuk seni tari di Indonesia sangat terkait dengan

perkembangan kehidupanmasyarakatnya, baik ditinjau dari struktur etnik maupun dalam lingkup
negara kesatuan.Jika ditinjau sekilas perkembangan Indonesia sebagai negara kesatuan, maka
perkembangantersebut tidak terlepas dari latar belakang keadaan masyarakat Indonesia pada
masalalu.James R. Brandon (1967), salah seorang peneliti seni pertunjukan Asia Tenggara asal
Eropa,membagi empat periode budaya di Asia Tenggara termasuk Indonesia yaitu:1) periode pra-
sejarah sekitar 2500 tahun sebelum Masehi sampai 100 Masehi (M)2) periode sekitar 100 M sampai
1000 M masuknya kebudayaan India,3) periode sekitar 1300 M sampai 1750 pengaruh Islam masuk,
dan4) periode sekitar 1750M sampai akhir Perang Dunia II.Pada saat itu, Amerika Serikat dan Eropa
secara politis dan ekonomis menguasai seluruh AsiaTenggara, kecuali Thailand.Menurut Soedarsono
(1977), salah seorang budayawan dan peneliti seni pertunjukanIndonesia, menjelaskan bahwa,
³secara garis besar perkembangan seni pertunjukan Indonesiatradisional sangat dipengaruhi oleh
adanya kontak dengan budaya besar dari luar [asing]´.Berdasarkan pendapat Soedarsono tersebut,
maka perkembangan seni pertunjukan tradisionalIndonesia secara garis besar terbagi atas periode
masa pra pengaruh asing dan masa pengaruhasing. Namun apabila ditinjau dari perkembangan
masyarakat Indonesia hingga saat ini,maka masyarakat sekarang merupakan masyarakat Indonesia
dalam lingkup negara kesatuan.Tentu saja masing-masing periode telah menampilkan budaya yang
berbeda bagi senipertunjukan, karena kehidupan kesenian sangat tergantung pada masyarakat
pendukungnya.Perkembangan masyarakat dan keseniannya tidak merupakan perkembangan yang
terputussatu sama lain, melainkan saling berkesinambungan. Edi Sedyawati (1981: 112-
118)menggambarkan secara vertikal perkembangan tari di Indonesia dalam lima tahapan
yaitutahap:1. kehidupan yang terpencil dalam wilayah-wilayah etnik,2. masuknya pengaruh-
pengaruh luar sebagai unsur asing,3. penembusan secara sengaja atas batas-batas kesukuan
[etnik],4. gagasan mengenai perkembangan tari untuk taraf nasional,5. kedewasaan baru yang
ditandai oleh pencarian nilai-nilai.Setiap wilayah etnik di Indonesia belum tentu telah mengalami
tahapan tersebut, bahkandalam wilayah-wilayah tertentu mungkin masih dalam tahapan pertama.
Jika ditinjau sekilasperkembangan Indonesia sebagai negara kesatuan, maka tahapan perkembangan
tari tersebutterkait dengan perubahan struktur masyarakat.MASA PRA-KERAJAANPada masa ini
dapat diidentikkan pula dengan masa pra-Hindu atau pra pengaruh asing.Bentuk-bentuk seni
pertunjukan pada masa ini, masih banyak terdapat di daerah pedalamanyang terpencil yang
diwarnai oleh kepercayaan animisme. Menurut pengamatan Soedarsono(Op.Cit) sisa-sisa
pertunjukan yang berbau animisme, penyembahan nenek moyang danbinatang totem, masih bisa
dijumpai di Irian Jaya, pedalaman Kalimantan, pedalamanSumatra, pedalaman Sulawesi, beberapa
daerah di Bali yang disebut Bali Aga atau Bali Mula,seperti Trunyan dan Tenganan, serta di Jawa.
Perwujudan tari pada masa itu didugamerupakan refleksi dari satu kebulatan kehidupan masyarakat
agraris yang terkait dengan

adat istiadat, kepercayaan, dan norma kehidupannya secara turun temurun.Oleh karena itu, tari
merupakan bentuk seni fungsional atau “utilitas” bagi masyarakatnya.Tema dan pengungkapan
lewat gerak tidak terpisahkan dari kepentingan menyeluruh “sangKosmos” (Umar Kayam, 1981).
Biasanya penyajian tari terkait dengan upacara ritual yangbersifat magis dan sakral. Untuk itu maka
diperlukan tempat dan perhitungan waktu tertentu.Jika mengikuti sistem keadatan, maka pelaku
tariannya pun tertentu pula.Beberapa sisa tarian pada masa itu yang kini masih bisa diamati, baik
dalam upacara maupundalam bentuk tontonan, seperti Tari Kuda Kepang atau Tari Jathilan di Jawa
Tengah, TariTopeng Hudoq dari Kalimantan, menampilkan gerak tari yang sederhana dan
mengutamakanekspresi spontan dari pelakunya. Ciri-ciri tersebut tampaknya merupakan kondisi
dasar yanghampir sama di wilayah-wilayah etnik yang agraris.CIRI-CIRI TARI AGRARISContoh lain
pertunjukan tari yang mempunyai ciri-ciri di atas adalah drama bertopengBerutuk di Desa Trunyan,
Bali Utara sekitar Danau Batur Propinsi Bangli (Bandem anddeBoer, 1981). Drama bertopeng
tersebut berfungsi untuk memperingati nenek moyangmereka yang disebut Batara Berutuk. James
Danandjaja (1980: 120-407), salah seorangantropolog dan etnolog Indonesia, menjelaskan bahwa
upacara ritual ini merupakan upacarakesuburan yang dilambangkan oleh adegan percintaan atau
perkawinan (sekelompok pemudayang memerankan) Ratu Sakti Pancering Jagat dan permaisurinya
Ratu Ayu Pingit DalamDasar. Drama bertopeng ini masih dilaksanakan hingga kini oleh
masyarakatnya.Di Jawa, tarian yang terkait dengan upacara kesuburan adalah tayuban. Tarian ini
merupakantari berpasangan yang diwujudkan oleh ekspresi hubungan romantis antara wanita
(penariledhek atau ronggeng) dengan pria (pengibing) (Soedarsono, 1976, 1985). Meskipun padasaat
ini penyajian tayuban sulit untuk dipisahkan antara kepentingan upacara atau hiburankarena
pergeseran fungsi dan nilai dalam masyarakat, tampaknya masyarakat pendukungnyamasih
menempatkan tayuban sebagai pertunjukan yang masih mempunyai nilai sakral dalamacara
perkawinan dan pertanian. Situasi yang sama terdapat pula di Indramayu, Jawa Barat,pada upacara
tahunan yang disebut ngarot dalam bentuk pertunjukan ronggeng ketuk.MASA KERAJAANMasa
kerajaan ini ditandai oleh masuknya pengaruh luar sebagai unsur asing antara lain,kebudayaan Cina,
Hindu-Budha, Islam, dan Barat. Kebudayaan Cina kurang mendapatperhatian oleh para peneliti,
karena kemungkinan dasar kepercayaan yang hampir samadengan masyarakat pribumi, yaitu
percaya kepada roh-roh leluhur, sehingga kurang begitunyata pada perubahan sistem
kemasyarakatannya.Barangkali pula karena nenek moyang yang menghuni Indonesia oleh para
pakar kebudayaandikatakan imigran dari daratan Asia yaitu wilayah Cina bagian Selatan. Maka
pengaruhbudaya Cina ini berbeda dengan pengaruh asing lainnya terutama pengaruh Hindu, Islam,
danBarat. Pengaruh ini sangat nyata pada stratifikasi sosial yang hirarkis yang ditandai
denganadanya sistem kelas sosial, yaitu masyarakat adat atau rakyat dan masyarakat bangsawan
atauistana. Sistem ini cukup langgeng dari awal berdirinya kerajaan-kerajaan pada sekitar abadke-4
sampai awal abad ke-20. Dengan adanya dua kelas sosial ini maka muncul dua wajahtari yang
disebut tari rakyat dan tari istana atau tari klasik.Pengaruh kebudayaan India (atau Hindu/Budha)
semula berlangsung di Kalimantan dan

Sumatra, tetapi proses akulturasi sangat kuat di Jawa dan Bali (Soedarsono, 1977). Jika masapra-
Hindu manusia masih merupakan bagian dari kosmosnya, maka ketika masuk pengaruhHindu dan
berdirinya kerajaan-kerajaan titik berat pusat orientasi kosmos terletak padakedudukan sang raja
(Umar Kayam, Op.Cit).Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini.
Ternyata pada masakerajaan ini tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam lingkungan
rakyat tarianbersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan istana tarian mempunyai
standar,rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India
yangterdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan di Bali ditambah
dengangerak mata. Posisi tangan dan gerak mata pada tarian India mempunyai arti tertentu
yaituberarti kata benda, kata sifat, kata kerja, dan sebagainya, sedangkan posisi tangan dan gerak
mata pada tari Jawa dan Bali tampaknya sudah kehilangan makna aslinya, mungkin hanyauntuk
kepentingan estetis saja.TARI TEATER Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa,
adalah bentuk teater tari sepertiwayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan
pusaka raja Jawa. Namunselanjutnya wayang wong lebih berkembang di keraton Yogyakarta,
sedangkan bedhayaketawang berkembang di keraton Surakarta. Soedarsono (1990:54) menguraikan
dalam hasilpenelitiannya, bahwa “wayang wong was a state ritual strengthening the legitimation of
theSultan [Haméngkubuwono] as the true ruler of Mataram an the rightful heir of the firstlegendary
king of Java, Wisnu”. Jika ditinjau dari latar belakang sejarahnya, maka teater tariini telah hidup sejak
abad ke-9 jaman Mataram Kuno, dengan perbedaan nama sepertiWayang Wang, Atapukan, Raket,
Patapelan, dan Wayang Topeng sampai Wayang Wong.Yang dimaksud Wayang Wong adalah teater
tari yang mengambil sumber ceritera wayangseperti Ramayana, dan Mahabarata yang biasanya
dipentaskan dalam pertunjukan wayangkulit.Dalam teater ini ditampilkan oleh manusia sebagai
personifikasi boneka wayang, sedangkanWayang Topeng adalah teater tari yang penarinya
menggunakan penutup muka yang disebuttopeng. Teater tari ini tersebar di Jawa, Bali, dan Madura.
Puncak kemegahan teater tariWayang Wong di Jawa terjadi pada masa pemerintahan Hamengku
Buwono VIII (1939) diYogyakarta. Di Bali teater ini disebut Gambuh dengan sumber ceritera Panji.Di
luar istana Jawa pun, muncul teater tari yang disebut Langen Mandra Wanara dan LangenDriyan.
Teater tari ini membawakan ceritera Ramayana, yang dialognya berupa tembang ataunyanyian
berbahasa Jawa. Bentuk yang sama adalah Arja di Bali. Bentuk teater inimerupakan dramatari
Ramayana tertua gaya Yogyakarta yang melandasi perkembanganSendratari Ramayana atau
Ramayana Ballet di Yogyakarta (Soedarsono, 1974:17).TARI CIPTAAN SULTAN AGUNGBedhaya
Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan
berlatarbelakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama (PanembahanSenopati) dengan
Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia)(Soedarsono, 1990). Tarian ini
ditampilkan oleh sembilan penari wanita.Masuknya pengaruh Islam di Jawa cukup lentur, para
penyebar agama telah dipercayasebagai pengembang kesenian. Wayang topeng tidak berkembang
lagi di istana Jawa, tetapiteater ini telah dipergunakan oleh kaum missionari Islam (para wali) pada
masa lalu untuk menyebarkan agama dengan cara pentas keliling. Jalur perniagaan melalui daerah
pantai

merupakan wilayah para penyebaran teater wayang topeng, sehingga teater tari ini akhirnyamenjadi
seni yang berkembang di sepanjang pantai utara Jawa antara lain, Malang, Tegal,Cirebon dan
Indramayu.Dengan kepercayaan lama yang masih mengendap dalam ketidaksadaran kolektif
masyarakatJawa dan anggapan wali sebagai orang keramat, maka tari topeng di Cirebon (Jawa
Barat)telah dipergunakan sebagai acara ritual yang berhubungan dengan adat dan
kepercayaanseperti, penghormatan dan penyembahan nenek moyang (ngunjung), inisiasi atau
kedewasaananak (kasinoman, khitanan), perkawinan, dan pertanian. Kenyataan ini menunjukkan
bahwadi Jawa telah terjadi sinkretis kebudayaan antara unsur-unsur animisme, kebudayaan
Hindu,Islam. Bali memiliki perkembangan yang khusus, karena agama Hindu dan kepercayaan
kunomasih berperan, sehingga tari merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatanupacara
adatnya.ARI PENGARUH ISLAMPengaruh kebudayaan Islam lebih berkembang di Sumatra. Ceritera-
ceritera yang dibawakanlewat resitasi dan nyanyian selalu menonjolkan warna Islam secara jelas,
contohnya TariShaman di Aceh. Tarian ini mengutamakan gerakan dan tepukan tangan pada badan
penariyang dilakukan sambil duduk dengan diiringi vokal yang mendendangkan syair
keagamaan.Selain itu, pengaruh Islam tampak pula pada tari-tarian di Sumatra Barat, Minangkabau.
Cirikhas tarian di Minangkabau banyak mengolah gerak-gerak beladiri seperti pencak silat. Didaerah
pantai Kalimantan terdapat tarian yang menitik beratkan pada langkah kaki sepertitari-tarian
Melayu.Pengaruh kebudayaan barat dalam bidang tari di istana-istana Jawa berhubungan
denganlepasnya kekuasaan politik raja kepada pihak Barat, sehingga sejak abad ke-18 sampai
awalabad ke-20 keraton hanya berperan dalam pengembangan kebudayaan. Oleh karena
ituberkembang pula ciptaan-ciptaan tari seperti tari srimpi (tarian yang ditampilkan oleh
empatorang penari wanita). Pertunjukan Wayang Wong masih dipentaskan sangat meriah
sesuaidengan fungsinya sebagai ritual kenegaraan. Di sisi lain, pengaruh Barat ini
menyebabkanmunculnya tarian di luar konteks adatSecara koreografis pengaruh Barat kurang dapat
dilihat dalam tarian Indonesia. Kenyataan inisangat berbeda dengan bidang musik. Bentuk musik
hasil sinkretis antara musik rakyatIndonesia dengan pengaruh Barat terdapat pada gambang
keromong, tanjidor, langgam jawa,keroncong, dangdut, dan sebagainya (Suka Hardjana, 1995).
Bahkan alat musik barat sepertitrombon masuk pada ansambel gamelan Jawa yang biasa
dipergunakan untuk mengiringitarian. Akan tetapi pengaruh Barat yang terlihat pada tarian terletak
pada penggunaanproperti tari. Senjata berupa pistol dipergunakan sebagai properti tari srimpi.
Floretdipergunakan pada tari putra Beksan Floret. Pengaruh Barat terlihat juga pada busana
TopengCirebon yaitu pemakaian dasi.Di Bali pengaruh Barat terwujud oleh gagasan teater dari
Walter Spies (pelukis asal Jermanyang hidup di Bali sejak tahun 1929) untuk tujuan tontonan orang
asing. Gagasan initeraktualisasikan dalam pertunjukan Barong dan Rangda yang dipadu dengan tari
keris sertaCak atau Kecak (Soedarsono, 1985). Menurut Edi Sedyawati (1981:114), salah satu
gagasanteater dari Barat adalah berkembangnya tari dalam konteks non-adat berupa bentuk-bentuk
penyajian teater yang memberi tekanan besar pada unsur penceriteraan dalam bentuk total
art.dimana tari menjadi salah satu unsur kuatnya, contohnya: randai di Minangkabau, WayangWong
dan Langendriya-Langen Wanara dari Jawa, Legong dan Kecak dari Bali. Kenyataanini mungkin untuk
menjadikan teater lebih berkomunikasi dengan penontonnya melalui

bahasa gerak.Masa Pasca KerajaanMASA Pasca kerajaan terdapat situasi yang cukup menonjol
dalam bidang kesenian yangdisebabkan oleh perubahan masyarakat yang agraris-feodal menuju
masyarakat negarakesatuan atau Republik Indonesia yang modern. Kecepatan perubahan tersebut
didukung pulaoleh media massa elektronik, seperti televisi. Tidak dapat dihindarkan bahwa pada
masa initelah muncul satu masyarakat baru yaitu masyarakat urban, bahkan mungkin sejak
masakolonial telah muncul masyarakat baru ini. Namun kehadiran mereka kurang
terasapengaruhnya bagi kehidupan kesenian tradisional. Jika pada masa pra-kerajaan dan
masakerajaan tari merupakan bagian dari dunia bulat, maka pada pasca kerajaan mulai
terjadipengkotakkan untuk berbagai keahlian dan tari menjadi terpisah dari
kehidupanmasyarakatnya. Akan tetapi dalam kehidupan wilayah etnik yang terpencil tampaknya
tidak demikian.Modernisasi sangat berkepentingan dengan kecepatan waktu, sehingga situasi ini
telahmendorong tampilnya potongan-potongan tari tradisional yang lepas dari konteksnya.
Situasiinilah salah satu gejala munculnya seni populer atau seni massa (atau kitsch), namun
menurutUmar Kayam (Op. Cit.) bersamaan dengan itu akan muncul pula bentuk-bentuk baru
yangbersifat eksperimental atau avant garde. Apabila dihubungkan dengan pendapat EdiSedyawati,
maka situasi tadi terkait dengan tiga tahapan perkembangan yaitu penembusansecara sengaja atas
batas-batas kesukuan, gagasan mengenai perkembangan tari untuk taraf nasional, dan kedewasaan
baru yang ditandai oleh pencarian nilai-nilai. Menurut hematpenulis, istilah kedewasaan baru kurang
tepat, karena pencarian nilai-nilai atau orientasi kedepan dalam arti penciptaan tari baru sudah
tumbuh sejak masa kerajaan. Maka tahapanketiga ini dapat dikatakan sebagai tahapan pencarian
nilai-nilai baru saja. Sebenarnya tahappertama dan tahap kedua merupakan satu gabungan gagasan
yaitu gagasan “ke-nasional-an”,namun tidak menutup kemungkinan tahapan ketiga juga terkait
dengan gagasan tersebut.ERA PERGERAKAN KEMERDEKAANGagasan “ke-nasional-an” ini muncul
berhubungan dengan pergerakan kemerdekaan yangdimotori oleh para nasionalis, seperti Soekarno,
Sutan Syahrir, Moh. Hatta, MuhamadYamin, dan sebagainya. Ternyata gagasan ini berpengaruh pula
pada bidang kesenian. Jikadalam seni musik gagasan ini dituangkan pada pengambilan unsur-unsur
asing (Barat) yangdi luar konteks Indonesia, maka dalam seni tari gagasan ini dituangkan dengan
jalan, antaralain, penembusan secara sengaja atas batas-batas kesukuan (etnik), penyederhanaan
tari-taritradisional yang sudah mapan, dan ramuan unsur-unsur tari berbagai daerah di
Indonesia.Slogan ini mengacu kepada keberagaman budaya yang ada di berbagai wilayah
etnik.Gagasan ini mendorong saling kenalan budaya antar wilayah etnik. Pada saat ini mulai
terjadipengkemasan tarian etnik menjadi tari dengan pola gerak standar yang secara artistik
dapatmemenuhi kriteria tontonan. Pada saat ini pula terjadi persentuhan dengan
kecepatanwaktu.Tari-tarian yang mulai menembus wilayah etniknya antara lain, Tari Jawa, Tari
Bali,dan tari Minangkabau. Situasi ini sebenarnya sudah mulai muncul sebelum
kemerdekaanIndonesia tahun 1945. Salah satu contoh adalah di Bandung, Jawa Barat. Endang
Caturwati(1992) menguraikan bahwa pada tahun 1930-an Tb. Oemay Martakusuma, salah
seorangbangsawan Banten, mendirikan perkumpulan seni tari Tirtayasa kemudian beralih
namamenjadi Sekar Pakuan, lalu B.K.I (1948).Tari-tarian yang diajarkan adalah Tari Jawa dan Tari
Keurseus (Sunda). Untuk bidang TariJawa didatangkan guru asal Jawa bernama Sujono dan Sudiani.
Materinya adalah Tari Golek,

Tari Srimpi, Tari Srikandi Mustakaweni, dan sebagainya. Salah seorang anggotaperkumpulan itu
adalah R.Tjetje Somantri. Kegiatan ini pulalah yang mempengaruhipenciptaan karya tari R.Tjetje
Somantri. Dalam karyanya terdapat unsur-unsur gerak tari putriJawa. Selain tari Jawa, R.Tjetje
Somantri meramu tarian Topeng Cirebon dan Tari Keurseus(Sunda) dalam wujudnya yang baru yang
kebanyakan jenis tari putri. Ciri lain tarian R.TjetjeSomantri adalah waktu yang singkat.BUNG
KARNOGagasan penyederhanaan tari dalam teknik gerak dan pemendekkan waktu didukung
olehSoekarno, presiden Indonesia pertama (1945-1965). Edi Sedyawati menjelaskan bahwa”suatu
segi lain dari penyederhanaan ini adalah untuk melepaskan tari dari unsur-unsur etnik yang dianggap
menghambat proses apresiasi yang cepat”. Maka muncullah tari-tarian seperti,Tari Serampang Dua
Belas yang disusun oleh Sauti dengan mengambil motif-motif gerak tariMelayu, Tari Lenso dari
Maluku, Tari Janger dari Bali, dan sebagainya. Selain itu, karya tariR.Tjetje Somantri pun mendapat
tempat di hati Presiden.Gagasan meramu unsur-unsur tari dari berbagai daerah lebih awal dilakukan
oleh R.TjetjeSomantri, meskipun latar belakang penciptaannya tidak didasari oleh gagasan
“nasional”.Namun gagasan ini lebih nyata dalam karya tari Bagong Kusudiardjo.
Tampaknyapengalaman belajar tari kepada R.Tjetje Somantri dapat mempengaruhi konsep
berkaryaBagong K. dalam mewujudkan tari jenis ini. Jika diamati karya tari Bagong, maka
karyanyamemiliki unsur-unsur antara lain, tari Jawa, Sunda, Betawi, Bali, dan Minang.
Selainpengalaman belajar di dalam negeri, Bagong K. pernah belajar di Amerika pada tahun 1957dari
Martha Graham.Dengan latar belakang tadi muncul suatu kegairahan dalam fase mencari nilai-nilai
baru yangmengutamakan ekspresi individual, salah satu garapannya berjudul Kurusetra(1987).
Garapanini mengisahkan situasi perang Baratayudha dalam ceritera epos Mahabarata yang
hanyaditarikan oleh dua orang penari.Jika kita dapat memahami gagasan karya Sardono W.
Kusumah (1987) yang mencobamenembus batas-batas kesukuan serta mencari nilai-nilai baru, maka
karya Sardono punmasuk dalam gagasan “ke-nasional-an. Garapan Sardono antara lain, “Kerudung
Asap DiKalimantan” (1987) dan karya multimedia “Hutan Yang Merintih” (Sal Murgianto,1991).Dua
karya itu diilhami oleh keadaan lingkungan suku bangsa Tauw dari Kenyah, Kalimantan,yang porak
poranda karena terbakar. Hal ini berhubungan dengan praktek berladangberpindah tempat. Dalam
garapan ini Sardono pun, melibatkan masyarakat Kenyah dalampementasannya. Sal Murgianto
(ibid), kritikus tari tinggal di Jakarta, berpendapat bahwa”interaction with other cultures is an
essential part of Sardono s work”. Selain itu, karyaSardono tampil selalu dalam proses. Penampilan
karya demikian dipengaruhi olehpengalamannya belajar di New York dari Jean Erdman. Sardono
belajar dari Erdman dalamupaya mengembangkan tari melalui improvisasi dan komposisi. Usaha
Sardono adalahmemadukan teknik klasik dan teknik kontemporer juga menyelipkan simbolisme
dalammengangkat ceritera folklor maupun mitos. Nama lain koreografer Jawa yang tampil
dalamupaya pencarian nilai-nilai baru ini antara lain, Retno Maruti dan Sentot. Dua di
antarapenggarap tari dari Bali adalah I Made Bandem dan I Wayan Dibia. Huriah Adam
dariMinangkabau dikenal pula sebagai pencipta tari yang menembus adat yangmengungkungnya.Di
sisi lain bagi daerah, terutama Jawa Tengah dan Bali, yang mempunyai pijakan tradisi

yang kuat, kurang memperdulikan tentang gagasan tarian „nasional” yang mengacupada
penyederhanaan. Maka pada tahun 1960-an berdirilah lembaga pendidikan formalkesenian yaitu
Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, sekarang ISI) di Yogyakarta yangdimotori antara lain, oleh
Soedarsono dan Ben Soeharto, sedangkan Akademi Seni KarawitanIndonesia (ASKI, sekarang STSI) di
Surakarta dimotori oleh SD Humardani.Disusul dengan berdirinya ASTI Bandung, STSI Denpasar, Bali,
dan ASKI Padang Panjang,di Sumatra Barat. Instansi ini sangat berkepentingan untuk mempelajari
secara praktis danteoretis tari-tarian tradisional, baik rakyat maupun keraton, menumbuhkan proses
kreatif, danmengkaji tari secara ilmiah. Di samping lembaga formal, muncul pula lembaga non
formalyaitu Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 1968 yang dipromotori oleh Ali Sadikin.
Duainstansi ini menjadi pusat revivalism yang ditandai dengan penyelamatan nilai-nilaikeindahan
lama yang luhur dan pencarian nilai-nilai baru. Kemudian berdiri pula TamanBudaya hampir di setiap
propinsi di Indonesia yang berperan mirip dengan TIM.Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta menjadi
wadah interaksi budaya antar daerah.Kegiatannya telah berperan dalam memunculkan kreasi-kreasi
tari yang dimotori olehkegiatan Festival Penata Tari Muda pada tahun 1970-an. Aktivitas ini telah
mencuatkan namapenata tari baru, seperti I Wayan Dibia (Bali), Endo Suanda (Jawa Barat), Gusmiati
Suid,Deddy Luthan, Tom Ibnur (Padang Panjang/Minangkabau), Noerdin dan Marzuki (Aceh),Miroto
(Yogyakarta), Boy G. Sakti, Hartati, Eri Mefri (Padang Panjang, namun mereka besar di Jakarta) dan
lain-lain. Diawali dengan TIM, Jakarta telah menjadi pusat pertemuanseniman-seniman seluruh
Indonesia, bahkan dunia.Dua kegiatan yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan dalam upaya
menumbuhkan seniavant garde adalah Art Summit Indonesia (1995), dan Indonesian Dance Festival
(IDF) padatahun 1992, 1993, 1994, 1996. Selain itu kegiatan Pekan koreografi yang hampir setiap
tahundiselenggarakan oleh Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bersama Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ)memberi peluang untuk bermunculannya koreografer muda Indonesia. Tidak hanya di
Jakartatetapi juga di Padang Panjang telah terselenggara Festival Tari Kontemporer tahun 1997.Di
Yogyakarta hampir setiap tahun terselenggara festival dramatari se-DIY, begitu juga diBandung telah
terselenggara Gelar Penata Tari Muda Jawa Barat di Taman Budaya Bandungpada tahun 1997.
Kegiatan ini tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan pencarian nilai-nilai baru yang bermutu.
Namun tidak bisa menutup mata bahwa di sekeliling kita denganmunculnya masyarakat baru yang
urban, bermunculan pula “seni hiburan populer”, “senidalam rangka”, “seni kemasan”, yang pada
umumnya hanya mengutamakan gebyar atauprestise dari sudut ekonomi, atau hanya hiburan
saja.Sejalan dengan arah pembangunan Indonesia dalam bidang ekonomi, telah pulamenghadirkan
masyarakat baru yaitu wisatawan (terutama luar negeri). Kehadiran merekatelah menimbulkan
bayangan tentang bentuk kesenian yang mengarah mirip dengan gagasan”nasional” yang menuju
pada bentuk entertaintment. Ada beberapa kriteria yang disarankanuntuk mewujudkan bentuk seni
ini adalah tradisional atau tiruannya, singkat dan padat,menarik, penuh variasi, murah menurut
ukuran kocek (kantong) wisatawan, mudah dicernaoleh wisatawan (Soedarsono, 1992).Ada suatu
bayangan bagi pemikir seni wisata ini bahwa waktu yang mereka miliki sedikitsedangkan mereka
ingin melihat banyak. Kenyataan ini memunculkan orientasi pasar denganseni sebagai bagian
komoditinya. Dengan demikian maka unsur simbolis bentuk seni wisataini kurang mendapat
perhatian.Sisi positif kemunculan masyarakat baru ini adalah telah mendorong revivalism seni tradisi

dalam bentuk festival, misalnya Festival Keraton tahun 1995 di Solo dan tahun 1997 diCirebon, dan
Festival Tari Daerah atau Tari Rakyat hampir setiap tahun, Festival Istiqal(1995), Festival Topeng
Jawa, Bali, Madura, di Yogyakarta (1978, terakhir 1997). Di sisilain, seniman avant garde sangat giat
dalam upaya mewujudkan seni yang mempunyai nilaiestetis tinggi atau disebut pula seni
“serius”.Dalam situasi ini, Presiden Soeharto pada tahun ini (1998) menetapkan sebagai Tahun
Senidan Budaya. Meskipun penetapan ini masih dilatarbelakangi oleh gagasan
kepariwisataan,namun gagasan ini dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tari yang bermutu
sebagaimanatradisi tari istana masa lalu. Dalam seminar kebudayaan keraton yang dilaksanakan
diYogyakarta November 1997, Umar Kayam menegaskan dalam bahasannya bahwa “yangperlu
dilestarikan dari seni keraton adalah konsep estetisnya.”

Anda mungkin juga menyukai