Anda di halaman 1dari 6

Baru saja kemarin tanggal 17 Agustus 2019, Indonesia memiliki umur 74

tahun. Dalam rangka kemerdekaan Indonesia ke-74 tahun, Indonesia memiliki


semangat cita-cita SDM unggul Indonesia maju. Dengan semangat tersebut
diharapkan cita-cita Indonesia dapat tercapai, seperti halnya dalam menyongsong
masa depan Indonesia emas 2045.

Triyono (2016), mengatakan bahwa jendela demografi (window of


demography) yakni fase dimana jumlah usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih besar
dibanding jumlah penduduk yang tidak produktif (di bawah 14 tahun atau di atas 65
tahun). Pada tahun 2020-2045, diprediksi bahwa angka penduduk usia produktif
dapat mencapai 70%, sedangkan 30%-nya merupakan penduduk dengan usia yang
tidak produktif. Hal ini dapat berdampak pada dua kemungkinan, yaitu bonus
demografi atau kutukan demografi. Bonus demografi dapat tercapai jika kualitas
sumber daya manusia di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni sehingga akan
berimbas pada pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya, kutukan demografi akan
terjadi jika jumlah penduduk yang berada pada usia produktif ini justru tidak
memiliki kualitas yang baik sehingga menghasilkan pengangguran massal dan
menjadi beban negara.

Indonesia memiliki strategi global untuk menyongsong mencapai Indonesia


emas 2045, yakni dengan strategi agenda global. Strategi tersebut adalah Suistanable
Development Goals (SDG’s). SDGs merupakan agenda global lanjutan dari MDGs
yang diluncurkan oleh PBB 2015 lalu. Berbeda dengan MDGs, SDGs dibuat dengan
17 tujuan, diantaranya adalah kehidupan sehat dan sejahtera. Hal ini menjadi dasar
dari rencana strategi kementerian kesehatan.

Hal yang berhubungan antara renstra, sdgs, dan Indonesia emas adalah
kesehatan. Kesehatan merupakan hal yang sangat krusial. Apabila masyarakat sehat
maka investasi yang sangat besar bagi bangsa Indonesia untuk dapat menggapai cita-
cita Indonesia emas 2045, namun dengan mewujudkan hal tersebut kita perlu
merealisasikan tujuan yang mendasar seperti tujuan global dunia SDGs dengan
rencana strategi yang telah disusun oleh kementrian kesehatan.

Keadaan Indonesia saat ini dalam kesehatan secara umum masih memiliki
banyak permasalahan. Diantaranya adalah masalah gizi masyarakat. Dalam renstra
kementrian kesehatan Indonesia tertulis bahwa :

“Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014,


perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu prioritas dengan
menurunkan prevalensi balita gizi kurang (underweight) menjadi 15% dan
prevalensi balita pendek (stunting) menjadi 32% pada tahun 2014. Hasil
Riskesdas dari tahun 2007 ke tahun 2013 menunjukkan fakta yang
memprihatinkan dimana underweight meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%,
stunting juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara wasting (kurus)
menurun dari 13,6% menjadi 12,1%. Riskesdas 2010 dan 2013 menunjukkan
bahwa kelahiran dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)” (10-11)

Stunting adalah masalah gizi kronik yang disebabkan oleh kurangnya asupan
gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga menyebabkan terganggunya
pertumbuhan pada anak sesuai dengan usianya.

Stunting menurut (Budijanto, 2018) merupakan kasus kesehatan masalah gizi


kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan
dengan anak seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap
penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak
stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa stunting.


Diantaranya adalah status gizi ibu hamil. Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi
keadaan kesehatan dan perkembangan janin. Gangguan pertumbuhan dalam
kandungan dapat menyebabkan berat lahir rendah (WHO, 2014). Faktor lain yang
berhubungan dengan stunting adalah asupan ASI Eksklusif pada balita. Penelitian di
Ethiopia Selatan membuktikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
selama 6 bulan berisiko tinggi mengalami stunting (Fikadu, et al., 2014). Status sosial
ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan
ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung dapat
berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa
kejadian stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang
tua yang rendah. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah
memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih
baik (Bishwakarma, 2011). Penelitian di Semarang menyatakan bahwa jumlah
anggota keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 24-36
bulan (Nasikhah dan Margawati, 2012).

Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang


tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan
bahwa kejadian stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan
orang tua yang rendah. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah
memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih
baik (Bishwakarma, 2011). Penelitian di Semarang menyatakan bahwa jumlah
anggota keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 24-36
bulan (Nasikhah dan Margawati, 2012).

Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013,


terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase
tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Prevalensi stunting ini
mengalami peningkatan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar
35,6%. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masalah kesehatan
yang berat dalam kasus balita stunting.
Prevalensi stunting di Indonesia menempati peringkat kelima terbesar di
dunia.1 Data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi
stunting dalam lingkup nasional sebesar 37,2 persen, terdiri dari prevalensi pendek
sebesar 18,0 persen dan sangat pendek sebesar 19,2 persen. Stunting dianggap
sebagai masalah kesehatan masyarakat yang berat bila prevalensi stunting berada
pada rentang 30-39 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami
masalah kesehatan masyarakat yang berat dalam kasus balita stunting.

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization


(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

(grafik tapi g bisa copynya eheheheh)

Kurang gizi dan stunting merupakan dua masalah yang saling berhubungan.
Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrien selama seribu hari
pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang
irreversible, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan motorik
serta penurunan performa kerja.

Hal tersebut menyimpulkan bahwa anak merupakan aset bangsa untuk masa
depan. Akan sangat berdampak butuk apabila aset bangsa ini mengalami kualitas
buruk akibat stunting. Dapat diperkirakan bangsa Indonesia akan mengalami
kegagalan dalam bersaing menghadapi tantangan global.

Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah mencanangkan program intervensi


pencegahan stunting terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Pada tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas
penurunan stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun
berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan
angka stunting di Indonesia sehingga dapat tercapai target Sustainable Development
Goals (SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan angka stunting hingga 40%. (Didik
Budijanto, 2018)

Untuk merealisasikan program intervensi pencegahan stunting kementrian


kesehatan yaitu pengoptimalan pengasuhan seribu hari pertama kehidupan, kami
memiliki inovasi yang menunjang program tersebut, yaitu Posko Bina Keluarga.
Posko bina keluarga juga akan dilengkapi dengan sistem online dengan pemanfaatan
official akun line posko bina keluarga.

Posko bina keluarga merupakan posko yang berfungsi sebagai wadah untuk
menyediakan edukasi dan pemantauan serta realisasi dari program-program
optimalisasi 1000 hari pertama kehidupan. Posko bina keluarga dalam pengelolaan
posko bina keluarga akan di lakukan dengan sistem kolaborasi. Sistem kolaborasi
tersebut tidak hanya melibatkan tenaga medis seperti perawat, bidan, dan dokter saja.
Namun juga melibatkan pihak kader posyandu daerah setempat.

Program dan pelayanan yang disediakan oleh posko bina keluarga yaitu
memberikan penyuluhan terhadap wanita usia subur yaini usia 15-49 tahun yang
belum menikah maupun suda menikah. Penyuluhan dari posko bina keluarga akan
dilakukan tidak hanya lewat sesi pertemuan saja namun dengan menggunakan info
grafis yang disediakan di official akun line posko bina keluarga. Dalam setiap sesi
penyuluhan juga akan dilakukan rekapitulasi pretest dan post test dan dorprise untuk
hadiah kuis yang diselenggarakan di akhir penyuluhan maupun kuis mingguan di
akun official posko bina keluarga. Program penyuluhan akan diselenggarakan
sedikitnya 4 kali dalam sebulan tiap minggu pagi.

Selain program unggulan penyuluhan ada pula pengkajian dan pemantauan


setiap peserta. Pengkajian dan pemantauan akan dibedakan menjadi dua, yaitu wanita
usia subur sedang tidak hamil dan wanita usia subur sedang hamil. Dalam program
pengkajian dan pemantauan akan diberikan buku untuk para peserta yang berisi daftar
chek list kegiatan sehari hari yang harus dilakukan yang berkaitan dengan program
pemberantasan stunting.

Posko bina keluarga juga menyediakan kegiatan tiap minggunya seperti


kegiatan keterampilan untuk pengendalian stress khusunya untuk wanita usia subur
yang sedang hamil dan olahraga. Kegiatan keterampilan bisa dilakukan dengan
pelatihan menjahit, memasak, atau berkereasi lainnya. Sedangkan untuk kegiatan
olahraga dengan senam pagi hari di hari minggu dan pembagian snack susu kedelai
atau snack sehat lainnya.

Fasilitas konseling juga tersedia dalam program kegiatan posko bina keluarga.
Fasilitas konseling dapat dilakukan oleh peserta melalui face to face saat kegiatan
posko bina keluarga dilaksanakan tiap minggunya atau chatting melalui official akun
line. Konseling merupakan program yang menyediakan layanan tanya jawab secara
pribadi mengenai kondisi dari pemantauan seribu hari pertama kehidupan untuk
wanita usia subur yang hamil maupun tidak. Konseling akan dikelola oleh admin
yang merupakan dokter maupun perawat dan bidan.

Sedangkan untuk administrasi dan pembiayaan program dikelola dengan kas


peserta melalui bank sampah. Peserta harus membawa sampah sedikitnya 1 kg yang
dapat dijual atau didaur ulang oleh pengepul. Hasil dari penjualan dan daur ulang
sampah dari pengepul akan dibelanjakan sebagai biaya snack sehat dan uang vakasi
pengelola posko bina keluarga.

Anda mungkin juga menyukai