Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

Insect Bite Reaction

Pembimbing:
dr. Saskia Retno Ayu Hapsari, Sp.KK

Disusun Oleh:
Nur Amira Amalina Mohammad Zulkifli
11.2017.266

Kepaniteraan Klinik Kulit dan Kelamin


Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 29 Juli 2019 – 31 Agustus 2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan oleh
gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat serangga
berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut mencari makanannya.
Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat.
Kebanyakan gigitan dan sengatan dilakukan untuk pertahanan. Sebuah gigitan atau
sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain
yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Namun pengetahuan ilmiah
mengenai alergi terhadap gigitan serangga masih terbatas. Reaksi paling sering
dilaporkan terjadi setelah digigit nyamuk dan sejenisnya, serta dari golongan serangga
Triatoma. Sayangnya, strategi manajemen untuk mengurangi risiko insect bite reaction
ke depannya masih kurang dikembangkan dan kurang efektif bila dibandingkan dengan
alergi terhadap sengatan serangga.1

Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta memiliki tahap
dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan tubuh bersegmen
dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Reaksi paling sering dilaporkan terjadi
setelah digigit nyamuk dan sejenisnya. Gigitan dan sengatan serangga mempunyai
prevalensi yang sama diseluruh dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga
merupakan fenomena musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat
terjadi di sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Insect bite (gigitan serangga) adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga
yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda
penyerang.2
Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan oleh
gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat serangga
berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut mencari
makanannya.1

B. EPIDEMIOLOGI
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh dunia.
Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman,
meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di sekitar kita.
Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih rentan terkena
gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti tempat mencari mata
pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain.1

C. ETIOLOGI

Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta memiliki
tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan tubuh
bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Insekta merupakan
golongan hewan yang memiliki jenis paling banyak dan paling beragam. Oleh karena
itu, kontak antara manusia dan serangga sulit dihindari. Paparan terhadap gigitan atau
sengatan serangga dan sejenisnya dapat berakibat ringan atau hampir tidak disadari
ataupun dapat mengancam nyawa.2
Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan non-venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah. Ini

3
merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikkan
racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun
menggigit atau menembus kulit dan masuk menghisap darah, ini biasanya yang
menimbulkan rasa gatal.1
Ada 30 lebih jenis serangga tetapi hanya beberapa saja yang bisa menimbulkan
kelainan kulit yang signifikan. Kelasa arthopoda yang melakukan gigitan dan
sengatan pada manusia terbagi atas :
1. Kelas Arachnida
a. Acarina
b. Araniae (Laba-laba)
c. Scorpionidae (Kalajengking)
2. Kelas Chilopoda (Lipan) dan Diplopoda (Luing)
3. Kelas Insekta
a. Anoplura (Pthyreus pubis, Pediculus humanus, Capitis et corporis)
b. Coleoptera (Kumbang)
c. Dipthera (Nyamuk dan Lalat)
d. Hemiptera (Kutu busuk)
e. Hymenoptera (Semut, Lebah dan Tawon)
f. Lepidoptera (Kupu-kupu)

D. PATOGENESIS
Gigitan atau serangan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit,
lewat gigian atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh sistem
imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks. Reaksi
terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin, asam
formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap
antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul
melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam dua kelompok :
reaksi imediate dan reaksi delayed.1,2
Reaksi imediate merupakan reaksi yang sering terjadi dan ditandai dengan reaksi
lokal atau reaksi sistemik. Lesi juga timbul karena adanya toksin yang dihasilkan
oleh gigitan atau sengatan serangga. Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat
disebabkan karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil.

4
Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilk.
Enzim hyluronidase yang juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis
sehingga dapat mempercepat penyebaran racun tersebut.3

E. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Kebanyakan pasien sadar dengan adanya gigitan serangga ketika terjadi reaksi
atau tepat setelah gigitan, namun paparannya sering tidak diketahui kecuali terjadi
reaksi yang berat atau berakibat sistemik. Pasien yang memiliki sejarah tidak
memiliki rumah atau pernah tinggal di tempat penampungan mungkin mengalami
paparan terhadap organisme, seperti serangga kasur. Pasien dengan penyakit
mental juga memungkinkan adanya riwayat paparan dengan parasit serangga.
Paparan dengan binatang liar maupun binatang peliharaan juga dapat
menyebabkan paparan terhadap gigitan serangga.3

b. Gejala Klinis
Pada reaksi lokal, pasien mungkin akan mengeluh tidak nyaman, gatal, nyeri
sedang maupun berat, eritema, panas, dan edema pada jaringan sekitar gigitan.
Pada reaksi lokal berat, keluhan terdiri dari eritema yang luas, urtikaria, dan
edema pruritis. Reaksi lokal yang berat dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya reaksi sistemik serius pada paparan berikutnya.1

Gambar 1: Papular urtikaria: Bekas gigitan kutu, sangat gatal, urtikaria seperti papula di
lokasi gigitan kutu pada lutut dan kaki seorang anak, papula biasanya berdiameter <1 cm
serta memiliki vesikel di atasnya, Bila tergoreskan mengakibatkan erosi maupun krusta.

5
Gambar 2: pada bagian tengah lesi tampak ekskoriasi dikelilingi daerah yang edem dan
eritem.

Pada reaksi sistemik atau anafilaktik, pasien bisa mengeluhkan adanya gejala
lokal sebagaimana gejala yang tidak terkait dengan lokasi gigitan. Gejala dapat
bervariasi dari ringan sampai fatal. Keluhan awal biasanya termasuk ruam yang
luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema. Gejala ini dapat berkembang dan pasien
dapat mengalami ansietas, disorientasi, kelemahan, gangguan gastrointestinal,
kram perut pada wanita, inkontinensia urin atau alvi, pusing, pingsan, hipotensi,
stridor, sesak, atau batuk. Seiring berkembangnya reaksi, pasien dapat mengalami
kegagalan napas dan kolaps kardiovaskuler.1

c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium jarang dibutuhkan. Pemeriksaan laboratorium yang
sesuai harus dilakukan apabila pasien mengalami reaksi yang berat dan
membutuhkan penanganan di rumah sakit atau dicurigai mengalami kegagalan
organ akhir atau membutuhkan evaluasi akibat infeksi sekunder, seperti sellulitis.
Pemeriksaan mikroskopis dari apusan kulit dapat bermanfaat pada diagnosis
skabies atau kutu, namun tidak berguna pada kebanyakan gigitan serangga.
Pemeriksaan serologis mungkin berguna dalam menentukan infeksi yang
diakibatkan oleh vektor serangga, namun jarang tersedia dan membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya.3

6
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding insect bite reaction didasarkan oleh reaksi pada tempat gigitan
(papula eritema, vesikel), organisme yang menggigit serta nekrosis kutaneus yang
menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda:
a. Skabies
Skabies adalah infeksi parasit yang umumnya terjadi di dunia. Arthropoda
Sarcoptes scabiei var hominis menyebabkan pruritus berat dan merupakan
penyakit kulit yang sangat menular, dapat menyerang pria dan wanita dari
semua tingkat status social ekonomi dan etnik. Gejala dan tanda biasanya
berkembang perlahan sekitar 2-3 minggu sebelum pasien mencari
penanganan medis untuk mengatasinya. Skabies muncul dalam bentuk
cluster, pada individu terlihat sebagai ruam yang gatal dan papul. Diagnose
skabies dapat dipertimbangkan apabila ada riwayat banyak anggota keluarga
yang mengalaminya. Pruritus nocturnal merupakan keluhan utama yang khas
pada skabies. Lesi primer skabies berbentuk liang, papul, nodul, biasanya
pustul dan plak urtikaria yang bertempat di sela-sela jari, area fleksor
pergelangan tangan, axilla, area antecubiti, umbilicus, area genital dan
gluteal, serta kaki. Lesi sekunder berbentuk urtikaria, impetigo, dan plak
eksematous.4,5

7
Gambar 3: Predileksi skabies
b. Prurigo
Merupakan reaksi kulit yang bersifat residif dengan efloresensi
beranekaragam. Diduga ada pengaruh dari luar seperti gigitan serangga, sinar
matahari, udara dingin, dan pengaruh dari dalam tubuh seperti infeksi kronik.
Wanita lebih banyak dari pria. Biasanya dicetuskan oleh infeksi kronik dan
keganasan, kekurangan makan protein dan kalori. Dari anamnesis didahului
oleh gigitan serangga (nyamuk,semut), selanjutnya timbul urtikaria papular.
Kemudian timbul rasa gatal, dan karena digaruk timbul bintik-bintik. Gatal
bersifat kronik, akibatnya kulit menjadi hitam dan menebal. Penderita
mengeluh selalu gelisah, gatal dan mudah dirangsang.3

Gambar 4: A. Predileksi. B. papula-papula pada daerah ekstensor

ekstremitas.
8
G. PENATALAKSANAAN
a. Perawatan Pra Rumah Sakit
Kebanyakan gigitan serangga dapat dirawat pada saat akut dengan memberikan
kompres setelah perawatan luka rutin dengan sabun dan air untuk meminimalisasi
kemungkinan infeksi. Untuk reaksi lokal yang luas, kompres es dapat
meminimalisasi pembengkakan. Pemberian kompres es tidak boleh dilakukan lebih
dari 15 menit dan harus diberikan dengan pembatas baju antara es dan kulit untuk
mencegah luka langsung akibat suhu dingin pada kulit. Epinefrin merupakan kunci
utama untuk penanganan pra rumah sakit pada reaksi sistemik. Antihistamin
sistemik dan kortikosteroid, bila tersedia, dapat membantu mengatasi reaksi
sistemik.1

b. Medikamentosa
- Topikal : Jika reaksi lokal ringan, dikompres dengan larutan asam borat 3%, atau
kortikosteroid topikal seperti krim hidrokortison 1-2%. Jika reaksi
berat dengan gejala sistemik, lakukan pemasangan torniket proksimal
dari tempat gigitan dan diberi obat sistemik.
- Sistemik : Injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin
50mg. Adrenalin 1% 0,3-0,5 ml subkutan. Kortikosteroid sistemik
diberikan pada penderita yang tak tertolong dengan antihistamin atau
adrenalin.

c. Perawatan Unit Gawat Darurat (keadaan berat)


Intubasi endotrakeal dan ventilator mungkin diperlukan untuk menangani
anafilaksis berat atau angioedema yang melibatkan jalan napas. Penanganan
anafilaksis emergensi pada individu yang atopik dapat diberikan dengan injeksi
awal intramuskular 0,3-0,5 ml epinefrin dengan perbandingan 1:1000. Dapat
diulang setiap 10 menit apabila dibutuhkan. Bolus intravena epinefrin (1:10.000)
juga dapat dipertimbangkan pada kasus berat. Begitu didapatkan respon positif,
bolus tadi dapat dilanjutkan dengan infus dicampur epinefrin yang kontinu dan
termonitor. Eritema yang tidak diketahui penyebabnya dan pembengkakan mungkin
sulit dibedakan dengan sellulitis. Sebagai aturan umum, infeksi jarang terjadi dan
antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan untuk digunakan.1

9
H. PROGNOSIS
Prognosis dari insect bite reaction bergantung pada jenis insekta yang terlibat dan
seberapa besar reaksi yang terjadi. Pemberian topikal berbagai jenis analgetik,
antibiotik, dan pemberian oral antihistamin cukup membantu, begitupun dengan
kortikosteroid oral maupun topikal. Pemberian insektisida, mencegah pajanan ulang,
dan menjaga higienitas lingkungan juga perlu diperhatikan. Sedangkan untuk reaksi
sistemik berat, penanganan medis darurat yang tepat memberikan prognosis baik.5

KESIMPULAN
Insect bite adalah suatu makhluk hidup berupa serangga penggigit yang
menyebabkan efek negatif pada makhluk hidup yang terkena sengatnya. Sinonim dari
insect bite yaitu bedbug sting; bite-insects, bees and spider; black widow spider bite;
honey bee; lice bites.3
Insect bite adalah variabel tergantung pada berbagai faktor. Akibat dari sengat
atau gigitan insekta adalah bengkak, merah, dan rasa gatar pada area yang digigit. Kulit
akan terinfeksi apabila daerah yang tersengat serangga digaruk. Apabila tidak dirawat
dengan baik maka inflamasi gigitan akan mengakibatkan suatu kondisi yang disebut
sellulitis. Manusia dapat mengalami reaksi yang menyakitkan pada area yang digigit
insekta karena mempunyai gejala alergi pada penyengat yang dikenal sebagai
anaphylaxis. Gejala alergi yang dapat terjadi meliputi pruritus, eritem, dan edem,
pemendekan napas bahkan kematian. Apabila ada sengatan atau gigitan pada lidah akan
menyeabkan edem kerongkongan dan kematian oleh karena obstruksi saluran
pernapasan.1
Terapi topikal yang terdiri dari mentol, phenol, atau camphor mungkin diberikan
untuk penanganan awal, dapat juga diberikan antihistamin oral untuk mengurangi rasa
gatal.5
Topikal steroid mungkin juga sangat membatu untuk reaksi yang sensitif terhadap
gigitan tersebut. Pasien dengan gigitan yang banyak dan reaksi berat dapat dianjurkan
istirahat total dan diberikan steroid sistemik dosis sedang. Infeksi sekunder dapat
dikontrol dengan pemberian terapi topikal dan antibiotik oral.5

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Moffitt, John E. MD. Allergic Reactions to Insect Bites and Stings on Southern
Medical Journal, November 2003.

2. Insect Bites and Infestations. In : Freedberg IM at al, eds, Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine 5th. 2007. USA: McGrawHill.

3. Amiruddin MD. Skabies. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.1. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 2003.

4. McCroskey, Amy L. MD. Scabies. [Posted : 6 October 2010] Taken from :


http://emedicine.medscape.com/article/785873-overview#showall [Downloaded : 28 Juni
2012]

5. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006. P. 1718-27

11

Anda mungkin juga menyukai