Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Demensia Tipe Alzheimer pada Pasien Lanjut Usia

Pembimbing:
dr. Elly Ingkiriwang, SpKJ

Disusun Oleh:
Nur Amira Amalina Mohammad Zulkifli
11.2017.266

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 24 Juni 2019 – 27 Juli 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan
yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multipel seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan mengambil keputusan. Demensia ditandai dengan
hilangnya fungsi kognitif secara progresif dan menurunnya kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Penurunan memori adalah gangguan kognitif yang paling umum
dari demensia. Defisit neuropsikiatri dan sosial juga muncul pada demensia, seperti
depresi, apatis, halusinasi, delusi, agitasi, insomnia, dan berkurangnya rasa malu.
Salah satu jenis demensia adalah demensia alzheimer yang merupakan salah satu
penyakit yang sering terjadi pada lansia usia lanjut. Angka kejadian demensia alzheimer
mencapai 50% dari 10% lansia demensia dengan usia diatas 70 tahun. Dan dapat
menyerang baik pria maupun wanita, dengan faktor resiko multifaktorial, baik faktor
genetik, usia, riwayat keluarga, faktor diet, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya.
Demensia alzheimer bersifat progresif dan ireversibel. Secara mikroskopis
histopatologis, pada demensia alzheimer dapat ditemukan neurofibrillary tangles (NFTs)
pada dinding pembuluh darah.
Total biaya perawatan penderita dengan demensia alzheimer, tanpa penyakit
tambahan lainnya, menghabiskan biaya yang sangat besar. Penyakit ini juga memberikan
beban emosional pada anggota keluarga dan pengasuh.
Oleh karena itu referat ini akan membahas mengenai demensia alzheimer,
sehingga dapat memberikan wawasan mengenai penyakit ini untuk membantu penderita
dalam menghadapi penyakit yang dialaminya dan bagi keluarga serta pengasuh dalam
membantu penderita demensia alzheimer.

2. B

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demensia
Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan
yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan mengambil keputusan. Demensia ditandai dengan
hilangnya fungsi kognitif secara progresif dan menurunnya kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.1 Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi
kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi perilaku dan motivasi.2
Perilaku dan suasana hati dipengaruhi oleh jalur noradrenergik, serotonergik, dan
dopaminergik, sedangkan sinyal kolinergik sangat penting untuk perhatian dan fungsi
memori.3
Demensia alzheimer dimulai di wilayah transentorhinal, menyebar ke
hipokampus, dan kemudian bergerak ke lateral dan posterior neokorteks temporal dan
parietal, akhirnya menyebabkan degenerasi lebih luas. Demensia vaskular dikaitkan
dengan kerusakan fokal di daerah kortikal dan subkortikal atau white matter. Sesuai
dengan anatomi, pada demensia alzheimer biasanya muncul kehilangan memori
kemudian disertai oleh afasia atau masalah navigasi. Sebaliknya, penderita dengan
demensia yang dimulai di daerah frontal atau subkortikal seperti demensia frontotemporal
(FTD) atau penyakit Huntington (HD) jarang dimulai dengan masalah memori dan lebih
mungkin untuk mengalami kesulitan dengan keputusan, suasana hati, dan perilaku.3
Lesi jalur kortikal-striatal menghasilkan efek spesifik pada perilaku. Lesi pada
jalur penghubung white matter mengakibatkan perencanaan dan organisasi yang buruk,
penurunan fleksibilitas kognitif, dan gangguan memori kerja. Lesi di koneksi antara
lateral korteks frontal orbital dengan caudate ventromedial menyebabkan penderita
menjadi impulsif, sulit mempertahankan perhatian, dan tidak merasa malu / kemampuan
social buruk. Gangguan koneksi antara anterior korteks cingulate ke nucleus accumbens
menghasilkan sikap apatis dan kesulitan berbicara.4
2.1.1 Demensia Alzheimer
Demensia secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu demensia alzheimer dan
demensia vaskuler.1
Demensia alzheimer merupakan salah satu penyakit neurodegeneratif yang
bersifat progresif dan irreversible. Berdasarkan onsetnya, demensia alzheimer dibagi
menjadi 2, yakni yang muncul pada usia dibawah 65 tahun yang termasuk kategori onset
cepat, dan yang diatas 65 tahun yang dikategorikan sebagai demensia alzheimer onset

3
lambat. Demensia merupakan sindrom yang memiliki banyak penyebab, dan dapat
mengganggu fungsi kognitif, dan pada umumnya disertai gangguan mental perilaku,
namun tidak disertai dengan gangguan kesadaran penderita. Gangguan kognitif disertai
dengan penurunan kesadaran, dapat ditemukan pada kondisi acute confusional state, dan
pada kondisi koma.4
Berdasarkan kriteria diagnostik DSM-IV, demensia didefinisikan sebagai
penurunan fungsi kognitif yang mutipel, yang setidaknya disertai salah satu antara afasia,
apraxia, agnosia, atau gangguan fungsi eksekutif. Penurunan fungsi kognitif yang
dimaksud adalah yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sosial dan okupasional,
dan bersifat progresif. Dan penilaian fungsi kognitif dilakukan ketika penderita memiliki
kesadaran penuh, dan tidak ketika mengalami delirium, acute confusional state, atau
delirium.5
Demensia tidak dapat disamakan dengan proses penuaan normal, dan untuk
membedakannya pada awal perjalanan demensia, diperlukan pemeriksaan yang lebih
teliti. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada lansia normal juga ditemukan gangguan
fungsi memori minor seperti pada awal demensia. Perubahan yang terjadi pada proses
penuaan diantaranya adalah penurunan fungsi memori minor, disertai dengan atrofi otot
ekstremitas, peningkatan tonus, postur tubuh kifosis, disertai gangguan penglihatan,
pendengaran, penghidu, perasa, dan dapat ditemukannya tanda-tanda regresi, dan disertai
refleks abdomen (-), dan refleks fisiologis tendon Achilles (-).6
2.2. Epidemiologi
Di Amerika pada usia lanjut diatas 70 tahun, 10%-nya mengalami gangguan
memori atau gangguan kognitif, yang dimana 50%-nya menderita demensia alzheimer.
Kejadian demensia alzheimer meningkat sebanyak kurang lebih 5% setiap tahunnya.
Dan baik pada pria maupun wanita memiliki faktor resiko yang sama besarnya untuk
menderita demensia alzheimer. 4,6
2.3. Etiologi dan Faktor resiko
Salah satu faktor resiko dari demensia alzheimer adalah defek genetik. Terdapat
tiga defek genetik yang berperan, antara lain defek gen protein prekursor amiloid
(Amyloid precursor protein) pada kromosom 21, gen presenilin 1 (PS-1) pada kromosom
14 dan gen presenilin 2 (PS-2) pada kromosom 1. Kelainan pada gen PS-1 berhubungan
erat dengan demensia alzheimer onset cepat (sebelum 65 tahun dan sering sebelum 50
tahun, rata-rata pada umur 45 tahun) dan durasi progresif yang lebih cepat (rata-rata 6-7
tahun) dibanding mutasi pada gen PS-2 (rata-rata terkena pada umur 53 tahun dengan
durasi 11 tahun, namun ada beberapa carrier mutasi PS-2 yang menyebabkan demesia

4
alzheimer setelah umur 70 tahun). Mutasi gen presenilin jarang menyebabkan demensia
alzheimer onset lambat. Mutasi pada gen PS-1 lebih sering dibandingkan pada gen PS-2.
Penderita dengan mutasi pada gen-gen ini memiliki level Aβ42 yang meningkat dalam
plasma. Penyakit genetik trisomi kromosom 21 (sindrom Down) juga merupakan faktor
resiko demensia alzheimer onset cepat. Penderita trisomi kromosom 21 memiliki
insidensi demensia alzheimer yang tinggi pada dekade ke-4 dalam hidupnya. Dan baik
pada pria maupun wanita memiliki faktor resiko yang sama besarnya untuk menderita
demensia alzheimer. 4,6
Pada demensia alzheimer onset lambat, ditemukan defek pada gen apolipoprotein
E (Apo ε) pada kromosom 19. Defek pada Apo alel ε4 dapat bersifat homozigot maupun
heterozigot. Dalam hal ini, individu dengan defek Apo ε4 homozigot memiliki resiko
85% menderita demensia alzheimer. Sedangkan pada defek Apo ε4 heterozigot, memiliki
resiko yang lebih rendah, yaitu 45% sampai 50%. Apo ε dapat diidentifikasi pada plak
neuritik dan juga mungkin terlibat dalam pembentukan neurofibrillary tangle, karena dia
terikat pada protein tau. Namun defek Apo ε4 saja tidak cukup untuk menyebabkan
demensia alzheimer. Apo ε4 heterozigot dan homozigot menunjukkan penurunan fungsi
metabolisme cerebral cortical dengan PET. Pada penderita demensia alzheimer,
ditemukannya alel ε4 dapat meningkatkan kepastian diagnosis. Namun, meskipun tidak
ada alel ε4 tidak dapat dianggap bahwa penderita tidak menderita demensia alzheimer.7,8,9
Faktor risiko lain untuk demensia alzheimer adalah usia tua, riwayat keluarga
dengan demensia, riwayat trauma kepala, arterosklerosis, penyakit kardiovaskular,
peningkatan serum kolestrol, diabetes mellitus (meningkatkan risiko demensia Alzheimer
sebesar tiga kali), hipertensi, level serum asam folat yang rendah, asupan buah-buahan
dan sayuran yang rendah, rendahnya tingkat olahraga, dan tingkat pendidikan yang
rendah.
Diketahui bahwa zat / senyawa yang dapat memberikan efek antioksidan,
menghindari merokok, diet rendah kalori, diet rendah gula, terapi pengganti estrogen,
serta tingginya aktivitas olahraga, dan tingginya tingkat pendidikan, dapat memberikan
dampak protektif terhadap demensia alzheimer. 4,10
2.4. Patofisiologi
Secara patofisiologi, pada demensia alzheimer terjadi atrofi dan hipometabolisme
pada medial lobus temporalis, lateral dan medial lobus parietalis, dan korteks frontal
lateral. Dan secara mikroskopis histopatologis terdapat neurofibril / neurofibrillary
tangles (NFTs), yang terdiri dari filament tau yang terhiperfosforilasi (phosphorylated
tau / P tau), terutama terletak intraseluler pada ujung saraf, serta secara mikroskopis

5
terdapat akumulasi beta-amyloid, terutama pada ekstraseluler, yakni pada dinding
pembuluh darah korteks, dan leptomeninges.
NFT merupakan insoluble twisted fibers, yang terdiri dari protein tau, dimana tau
merupakan komponen dari struktur mikrotubulus. Mikrotubulus sendiri berfungsi untuk
membantu transport nutrient dari bagian yang satu, ke bagian yang lain, lewat neuron.
Pada demensia alzheimer, terjadi hiperfosforilasi tau sehingga fungsi dari tau menjadi
abnormal, dan struktur mikrotubulus menjadi kolaps.
Amiloid merupakan fragmen protein yang normal dihasilkan oleh otak, sedangkan
beta-amiloid merupakan protein yang dihasilkan oleh amyloid precursor protein (APP),
yang seharusnya secara normal didegradasi dan dibuang oleh otak. Akumulasi dari beta-
amiloid akan menyebabkan plak yang keras, dan insoluble, dan disebut sebagai amyloid
angiopathy.4
Secara biokimia, demensia alzheimer dikaitkan dengan penurunan tingkat kortikal
beberapa protein dan neurotransmiter, terutama asetilkolin, enzim sintetis kolin
asetiltransferase, dan reseptor kolinergik nikotinik. Penurunan asetilkolin mungkin
berhubungan dengan sebagian degenerasi neuron kolinergik di nucleus basalis dari
Meynert yang memproyeksikan seluruh korteks. Ada juga penipisan noradrenergik dan
serotonergik akibat degenerasi inti batang otak seperti coeruleus locus dan dorsal raphe.4

Gambar 1. Perbedaan Antara Normal Neuron dan Neuron Pada Penderita


Demensia Alzheimer

6
2.5. Manifestasi klinis
Pada demensia alzheimer, manifestasi yang paling utama adalah adanya gangguan
kognitif, baik ringan maupun yang berprogresi menjadi berat. Pada awal mulanya,
gangguan yang dialami dapat berawal dari gangguan memori dan kemudian menyebar ke
gangguan bahasa, defisit visuospatial, gangguan untuk membaca navigasi, hingga ke
gangguan pada kegiatan sehari-hari, seperti mengatur keuangan, mengikuti perintah pada
pekerjaan, menyetir, berbelanja, dan mengatur rumah tangga, atau mengatur hal-hal yang
lain. Gangguan bahasa, atau aphasia yang dialami penderita dimulai dari kesulitannya
untuk menamai suatu benda, kemudian komprehensifnya, hingga kelancaran
berbicaranya.3 Namun, sekitar 20% penderita dengan demensia alzheimer tidak
mengeluhkan gangguan memori namun dengan keluhan kesulitan menemukan kata-kata
yang ingin diucapkan, mengatur sesuatu, atau kesulitan navigasi.4
Manifestasi klinis demensia Alzheimer berdasarkan stadiumnya:
a. Stadium awal
Pada demensia alzheimer stadium awal, kehilangan memori mungkin tidak
disadari atau dianggap sebagai pikun biasa. Ketika gangguan kognitif terlihat lebih jelas
dan menurun hingga 1,5 standar deviasi di bawah normal pada tes kognitif standar, maka
dapat disebut sebagai mild cognitive impairement / MCI. Sekitar 50% dari penderita
dengan MCI (sekitar 12% per tahun) akan menjadi demensia alzheimer lebih dari 4
tahun. Perlahan masalah kognitif mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti
mengatur keuangan, mengemudi, berbelanja, dan mengatur rumah tangga. Beberapa
penderita tidak menyadari defisit neurologis ini (anosognosia), sementara yang lain
berusaha menyesuaikan diri dengan penurunan tersebut. Perubahan lingkungan (seperti
liburan atau tinggal di rumah sakit) dapat menyebabkan kebingungan, dan penderita
mungkin tersesat saat berjalan-jalan atau saat mengemudi. Sering mengulang kata-kata,
salah menempatkan benda, kesulitan menyebutkan nama untuk benda-benda yang sudah
dikenal sebelumnya, perubahan perilaku, ansietas, kehilangan minat pada hal-hal yang
sebelumnya disukai, dan kesulitan mempelajari informasi baru juga dapat muncul pada
stadium ini. Apraxia juga muncul dan penderita mengalami kesulitan motorik dalam
melakukan hal yang biasanya mudah dilakukan. 4
b. Stadium sedang
Pada demensia alzheimer stadium sedang, gejala semakin jelas. Penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya sendiri namun memerlukan bantuan untuk melakukan
aktivitas yang lebih sulit, mudah tersesat, bingung, dan membutuhkan pengawasan
sehari-hari. Defisit visuospatial mulai mengganggu dalam hal berpakaian, makan, atau

7
bahkan berjalan, dan penderita gagal untuk memecahkan teka-teki sederhana atau
menyalin angka geometris. Perhitungan sederhana dan membaca jam juga menjadi sulit.
Penderita juga lupa akan peristiwa dalam kehidupannya, tidak mengenali diri sendiri,
halusinasi, argumentasi, perilaku agitasi, agresi, apatis, dan waham. Delusi biasa terjadi
dan biasanya berkisar antara pencurian, perselingkuhan, atau kesalahan identifikasi.
Sekitar 10% dari penderita demensia alzheimer lama-kelamaan akan mempunyai sindrom
Capgras, yaitu percaya bahwa pengasuh telah digantikan oleh seorang penipu. Pola tidur
yang terganggu, dan bangun pada malam hari juga dapat terjadi pada demensia
alzheimer. 4
c. Stadium akhir
Pada tahap akhir penyakit, penderita tidak dapat melakukan kegiatan tanpa
bantuan orang lain. Hilangnya penilaian dan penalaran tidak bisa dihindari. Beberapa
penderita lama kelamaan dapat mempunyai shuffling gait dengan kekakuan otot
menyeluruh yang berhubungan dengan lambatnya dan kecanggungan gerakan. Pada tahap
akhir demensia alzheimer, penderita dapat menjadi kaku, bisu, mengompol, dan terbaring
di tempat tidur. Bantuan dibutuhkan untuk makan, berpakaian, dan keperluan toilet.
Refleks tendon hiperaktif dan myoclonic jerks (kontraksi tiba-tiba yang singkat dari
berbagai otot atau seluruh tubuh) dapat terjadi secara spontan atau sebagai respons
terhadap rangsangan fisik atau pendengaran. Kejang yang menyeluruh juga dapat terjadi.
2.6. Diagnosis
Fungsi kognitif dari demensia alzheimer dapat dinilai dari tes kognitif diantaranya
Azheimer’s Disease Assesstment Scale’s Cognitive subscale (ADAS_cog), Mini Mental
Status Examination (MMSE), dan Functional Activities Questionnaire (FAQ).4,10
Kriteria diagnostic demensia alzheimer menurut DSM IV (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, fourth revision) adalah sebagai berikut1:
1. Perkembangan defisit kognitif multiple terdiri dari:
a. Gangguan memori (gangguan kemampuan dalam mempelajari
informasi baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari)
b. Salah satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut ini:
i. Afasia (gangguan berbahasa)
ii. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
motorik dalam keadaan fungsi otot yang normal)
iii. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau menamai objek)
iv. Gangguan fungsi berpikir abstrak (misalnya merencanakan,
berorganisasi)

8
2. Gangguan kognitif pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan yang berat
pada fungsi sosial dan pekerjaan penderita.
3. Kelainan ini ditandai dengan proses yang bertahap dan penurunan fungsi
kognitif yang berkelanjutan.
4. Gangguan kognitif kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan hal-hal berikut:
a. Kelainan SSP lain yang menyebabkan ganggguan memori yang
progresif misalnya gangguan peredaran darah otak, Parkinson, dan
tumor otak)
b. Kelainan sistemik yang dapat menyebabkan demensia misalnya
hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 dan asam folat, defisiensi niasin,
hiperkalemi, neurosifilis, dan infeksi HIV)
5. Kelainan tidak disebabkan oleh delirium
6. Kelainan tidak disebabkan oleh kelainan Aksis 1 misalnya gangguan depresi
dan skizofrenia
Kriteria diagnostik DSM IV perlu ditunjang dengan pemeriksaan fisik
(pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis). Pemeriksaan fisik umum
berguna untuk mendeteksi kelainan-kelainan metabolik yang mungkin timbul pada
penderita tersebut.10
Tanda-tanda regresi sel-sel saraf otak ditunjukkan dengan refleks-refleks berikut
ini:
1. Refleks memegang. Jari telunjuk dan tengah pemeriksa diletakkan di telapak
tangan penderita. Refleks ini positif bila jari-jari pemeriksa dipegang secara
spontan oleh penderita.
2. Refleks mencucur (sucking reflex). Refleks ini positif apabila bibir penderita
dicucurkan secara spontan saat bibirnya tersentuh oleh sesuatu.
3. Snout reflex. Pada penderita demensia, setiap kali bibir atas atau bawah
diketuk, muskulus orbicularis oris berkontraksi.
4. Refleks glabella. Orang demensia akakn memejamkan matanya setiap kali
glabella diketuk. Pada orang sehat, pemejaman mata pada ketukan berkali-kali
hanya timbul 2-3 kali saja dan selanjutnya mata tidak akan memejam lagi.
Pemeriksaan fisik ditunjang dengan pemeriksaan MMSE (Mini Mental State
Examination) yang berguna untuk mengetahui kemampuan dan orientasi, registrasi,
perhatian, daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung.4
Selain itu, pemeriksaan penunjang lain yang berguna untuk membantu diagnosis
demensia Alzheimer, salah satunya dengan melakukan imaging, seperti dengan

9
Computerised Tomography (CT) Scan, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak,
Single Photon Emission Computerized Tomography (SPECT) Scan, Positron Emission
Tomography (PET) Scan, khususnya 18-fluorodeoxyglucose PET (FDG-PET), dengan
sensitivitas 96% dan spesifitas 90%. Pemeriksaan MRI / CT scan otak adalah
pemeriksaan radiologi yang utama. Pada penderita demensia Alzheimer, MRI / CT scan
otak akan menunjukkan atrofi serebral atau kortikal yang difus. Indikasi MRI / CT pada
penderita demensia Alzheimer adalah onset terjadinya pada usia <65 tahun dan
manifestasi klinis timbul <2 tahun. Pada SPECT scan akan menunjukkan penurunan
perfusi jaringan di daerah temporoparietalis bilateral yang biasanya terjadi pada penderita
demensia Alzheimer. Pada PET scan akan menunjukkan penurunan aktivitas metabolik
di daerah temporoparietalis bilateral.9 FDG-PET dapat digunakan untuk mengetahui
aktivitas fungsi neuronal, atau mendeteksi secara patologis demensia alzheimer. Pada
demensia alzheimer, terjadi hipometabolisme aktivitas fungsi neuronal, terutama pada
posterior korteks cingularis, lobus temporoparietalis, dan lobus frontalis. Manifestasi
pada korteks cingularis dapat muncul sebelum manifestasi demensia pada penderita
muncul.10 Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan EEG, yang akan menunjukkan
penurunan aktivitas alfa dan peningkatan aktivitas teta yang menyeluruh, serta pungsi
lumbal yang dilakukan untuk menyingkirkan kelainan CSF, seperti meningitis kronis,
meningoensefalitis, atau vaskulitis serebral.9

Gambar 2. Hasil CT Scan Pada Orang Normal dan Pasien Dementia Alzheimer

10
2.7. Diagnosis Banding
2.7.1 Demensia vaskular
Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia tipe Alzheimer dengan
pemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular selama satu periode waktu.
Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak ditemukan pada semua kasus,
gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan pada
demensia tipe Alzheimer, demikian juga faktor risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.
2.7.2 Delirium
Gangguan memori terjadi baik pada delirium maupun pada demensia. Delirium juga
dicirikan oleh menurunnya kemampuan untuk mempertahankan dan memindahkan perhatian
secara wajar. Gejala delirium bersifat fluktuatif, sementara demensia menunjukkan gejala
yang relatif stabil. Gangguan kognitif yang bertahan tanpa perubahan selama beberapa bulan
lebih mengarah kepada demensia daripada delirium. Delirium dapat menutupi dejala
demensia. Dalam keadaan sulit untuk membedakan apakah terjadi delirium atau demensia,
maka dianjurkan untuk memilih demensia sebagai diagnosa sementara, dan mengamati
penderita lebih lanjut secara cermat untuk menentukan jenis gangguan yang sebenarnya.
2.7.3 Depresi
Depresi yang berat dapat disertai keluhan tentang gangguan memori, sulit berpikir dan
berkonsentrasi, dan menurunnya kemampuan intelektual secara menyeluruh. Kadang-kadang
penderita menunjukkan penampilan yang buruk pada pemeriksaan status mental dan
neuropsikologi. Terutama pada lanjut usia, sering kali sulit untuk menentukan apakah gejala
gangguan kognitif merupakan gejala demensia atau depresi. Kesulitan ini dapat dipecahkan
melalui pemeriksaan medik yang menyeluruh dan evaluasi awitan gangguan yang ada, urutan
munculnya gejala depresi dan gangguan kognitif, perjalanan penyakit, riwayat keluarga, serta
hasil pengobatan. Apabila dapat dipastikan bahwa terdapat demensia bersama-sama dengan
depresi, dengan etiologi yang berbeda, kedua diagnosis dapat ditegakkan bersama-sama.
2.7.4 Penuaan normal
Mudah lupa sebenarnya fenomena biasa pada orang tua. Sejalan dengan pertambahan
usia, otak akan kehilangan puluhan ribu selnya dan beratnya pun berkurang. Penciutan
permukaan otak (korteks) akan terjadi di baagian temporal (pelipis) dan frontalis (depan) yang
berfungsi sebagai pusat daya ingat. Perubahan struktur anatomi otak itu akan diikuti gangguan
fungsi faal otak terutama daya ingat. Sehingga orang tua mengalami gejala mudah lupa
(forgetfulness).
Mudah lupa dianggap wajar jika yang bersangkutan masih bisa mengingat lagi nama
benda atau orn jika dibantu denagan menyebut suku kata depannya, bisa mengenali jika

11
disebutkan deretan nama atau dijabarkan bentuk dan fungsinya. Atau setiap waktu lupa, lain
kali ingat lagi serta masih bisa hidup mandiri secara normal dan tidak mengganggu kehidupan
sosial atau pekerjaan pasien.
Namun, sekitar 90% dari semua kasus demensia alzheimer diagnosis klinis dapat
dicapai setelah adanya konfirmasi dengan otopsi.
2.8 Tata laksana dan Prognosis
Manajemen demensia alzheimer menjadi hal yang menantang. Penatalaksanaan
untuk demensia Alzheimer mencakup terapi simtomatik dan rehabilitatif. Sasaran terapi
simtomatik adalah mengurangi gejala kognitif, perilaku, dan psikiatrik.
Untuk terapi non-farmakologis bagi penderita demensia alzheimer dapat diberikan
bantuan-bantuan terutama untuk membantu kualitas hidup penderita, untuk membantu
penderita melakukan hal-hal mandiri, menjaga agar penderita aman, menghindari angka
kemungkinan jatuh.4 Pada tahap awal demensia alzheimer, alat bantu memori seperti
notebook dan pengingat harian dapat membantu. Untuk membantu penderita melakukan
hal-hal dengan mandiri, dengan memberikan bantuan petunjuk, pada hal-hal yang sehari-
hari dilakukan oleh penderita, seperti bagaimana cara memanaskan makanan, dan
bagaimana cara berpakaian.4 Anggota keluarga harus mengutamakan kegiatan yang
menyenangkan dan membatasi yang tidak menyenangkan. Dengan kata lain, melakukan
keterampilan yang telah menjadi sulit dilakukan, seperti melalui permainan memori dan
teka-teki, tidak akan memberi manfaat yang berarti, dan malah akan membuat penderita
frustasi dan depresi.10
Menjaga penderita agar aman, yakni dengan menjauhkan penderita dari benda-
benda yang berbahaya, seperti benda yang mudah terbakar, benda yang tajam, dan
kompor. Untuk menghindarkan penderita dari kemungkinan jatuh, penderita dijauhkan
dari tangga rumah, dan memberikan penerangan yang baik di rumah agar penderita tidak
mudah terpleset, serta dengan memberikan pegangan terutama pada kamar mandi. Dan
pada akhirnya penderita harus berhenti mengemudi.10 Selain itu untuk mencegah
penderita hilang, dapat memberikan tulisan “stop” pada pintu keluar, dan dapat juga
diberikan pelacak pada penderita agar tidak hilang. Selain itu, penderita perlu diberikan
terapi psikologis, salah satunya dengan menyediakan waktu untuk berbicara dan
berkomunikasi dengan penderita, terutama untuk mendengarkan mengenai cerita masa
lalu penderita.4 Oleh karena itu, membangun hubungan dengan penderita, anggota
keluarga, dan pengasuh lainnya merupakan hal yang penting untuk keberhasilan
pengobatan.

12
Kehilangan kebebasan dan perubahan lingkungan dapat memperburuk
kebingungan, agitasi, dan kemarahan. Komunikasi dan meyakinkan penderita bahwa
semuanya baik-baik saja sangat diperlukan.
Terjadinya kelelahan pada caregiver adalah hal yang umum. Penggunaan pusat
penitipan harian bagi dewasa dapat membantu.
Untuk terapi farmakologis adalah sebagai berikut: 11
Nama obat Golongan Indikasi Dosis Efek samping
Donepezil Penghambat Demensia Dosis awal 5 Mual, muntah,
kolinesterase Alzheimer mg/hr bila perlu, diare, insomnia
ringan sampaisetelah 4-6
sedang minggu menjadi
10 mg/hr
Galantamine Penghambat Demensia Dosis awal 8 Mual, muntah,
kolinesterase Alzheimer mg/hr, setiap diare, anoreksia
ringan sampai bulan dosis
sedang dinaikkan 8 mg/hr
hingga dosis
maksimal 24
mg/hr
Rivastigmine Penghambat Demensia Dosis awal 2 x 1,5 Mual, muntah,
kolinesterase Alzheimer mg/hr; setiap pusing, diare,
ringan sampai bulan dinakkan 2 anoreksia
sedang x 1,5 mg/hr
hingga dosis
maksimal 2 x 6
mg/hr
Memantine Penghambat Demensia Dosis awal 5 Pusing, nyeri
reseptor Alzheimer mg/hr; setelah 1 kepala,
NMDA (N- sedang sampai minggu. Dosis konstipasi
methyl-D- berat dinaikkan menjadi
aspartate), 2 x 5 mg/hr dan
yang berfungsi seterusnya hingga
untuk dosis maksimal 2
memblok x 10 mg/hr
aktivitas
glutamate
Kolinesterase inhibitor dan NMDA merupakan jenis obat-obatan yang telah
diakui dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA).11
Untuk mengatasi gejala simptomatis seperti depresi, agitasi, anxietas, dan perilaku
obsesif, pada demensia alzheimer dapat diberikan obat sebagai berikut11:

13
Depresi
Nama obat Dosis Efek samping
Sitalopram 10-40 mg/hr Mual, mengantuk, nyeri kepala,
tremor, disfungsi seksual
Esitalopram 5-20 mg/hr Insomnia, diare, mual, mulut kering,
mengantuk
Sertralin 25-100 mg/hr Mual, diare, mengantuk, mulut
kering, disfungsi seksual
Fluoksetin 10-40 mg/hr Mual, diare, mengantuk, insomnia,
tremor, ansietas
Venlafaksin 37.5 – 225 mg/hr Nyeri kepala, mual, anoreksia,
insomnia, mulut kering
Dulosektin 30-60 mg/hr Penurunan nafsu makan, mual,
mengantuk, insomnia
Agitasi, ansietas dan perilaku obsesif
Quetiapin 25-300 mg/hr Mengantuk, pusing, mulut kering,
konstipasi, dyspepsia, peningkatan
berat badan
Dianzapin 2.5-10 mg/hr Peningkatan berat badan, mulut
kering, peningkatan nafsu makan,
pusing, mengantuk dan tremor
Risperidon 0.5 – 1 mg/hr Mengantuk, tremor, insomnia,
pandangan kabur, pusing, nyeri
kepala, mual, peningkatan berat
badan
Zipresidon 20-80 mg/hr Kelelahan, mual, pusing, diare
Divalproex 125-500 mg 2x/hr Mengantuk, kelemahan, diare,
konstipasi, dispepsia, depresi,
ansietas, tremor
Gabapentine 100-300 mg 3x/hr Konstipasi, dyspepsia, kelemahan,
hipertensi, anoreksia, vertigo,
pneumonia, peningkatan kadar
kreatinin
Alprazolam 0.25-1 mg 3x/hr Sedasi, disartria, inkoordinasi,
gangguan ingatan
Lorazepam 0.5-2 mg 3x/hr Kelelahan, mual, inkoordinasi,
konstipasi, muntah, disfungsi
seksual
Insomnia
Zolpidem 5-10 mg malam hari Diare, mengantuk
Trazodon 25-100 mg malam hari Pusing, nyeri kepala, mulut kering,
konstipasi

14
Prognosis dari demensia alzheimer sering kali buruk, oleh karena perkembangan
penyakitnya yang progresif dan irreversible. Kematian seringkali terjadi kurang lebih
setelah 5-12 tahun dari manifestasi awal demensia alzheimer. Dan pada penderita
demensia alzheimer, penyebab kematiannya yang paling sering adalah infeksi dan
aspirasi. Selain itu dapat juga terjadi kematian karena malnutrisi, emboli paru, dan
penyakit jantung.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan
yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa dan mengambil keputusan. Pada penderita demensia
juga dapat disertai gangguan mental perilaku, namun tidak disertai dengan gangguan
kesadaran. Berdasarkan kriteria diagnostik DSM-IV, demensia didefinisikan sebagai
penurunan fungsi kognitif yang mutipel, yang setidaknya disertai salah satu antara afasia,
apraxia, agnosia, atau gangguan fungsi eksekutif. Penurunan fungsi kognitif yang
dimaksud adalah yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sosial dan okupasional,
dan bersifat progresif. Dan penilaian fungsi kognitif dilakukan ketika penderita memiliki
kesadaran penuh, dan tidak ketika mengalami delirium, acute confusional state, atau
delirium.
Salah satu jenis demensia adalah demensia alzheimer. Secara patologis, pada
penderita demensia alzheimer terdapat atrofi pada lobus temporal medial, serta pada
lateral dan medial lobus parietal, dan korteks frontal lateral. Yang dimana secara
mikroskopis histopatologis tampak neurofibril / neurofibrillary tangles (NFTs) pada
dinding pembuluh darah, serta adanya akumulasi dari beta amyloid yang menyebabkan
terjadinya amyloid angiopathy.
Angka kejadian demensia alzheimer mencapai 50% dari 10% lansia dengan
gangguan memori dan kognitif dengan usia diatas 70 tahun. Penyakit ini dapat
menyerang baik pria maupun wanita, dengan salah satu faktor resikonya adalah defek
genetik. Sedangkan faktor risiko lain untuk demensia alzheimer adalah usia tua, riwayat
keluarga dengan demensia, riwayat trauma kepala, arterosklerosis, penyakit
kardiovaskular, peningkatan serum kolestrol, diabetes mellitus (meningkatkan risiko
demensia Alzheimer sebesar tiga kali), hipertensi, level serum asam folat yang rendah,

15
asupan buah-buahan dan sayuran yang rendah, rendahnya tingkat olahraga, dan tingkat
pendidikan yang rendah.
Manajemen demensia alzheimer menjadi hal yang menantang. Untuk terapi non-
farmakologis bagi penderita demensia alzheimer dapat diberikan bantuan-bantuan
terutama untuk membantu kualitas hidup penderita, untuk membantu penderita melakukan
hal-hal mandiri, menjaga agar penderita aman, menghindari angka kemungkinan jatuh.
Sedangkan terapi farmakologis untuk demensia alzheimer ringan sampai sedang adalah
dengan menggunakan kolinesterase inhibitor, contohnya adalah rivastigmine, doneprezil,
dan galantamine. Kemudian untuk demensia alzheimer sedang sampai berat, dapat
diberikan N-methyl-D-aspartate (NMDA) antagonis, seperti memantine. Untuk mengatasi
gejala simptomatis seperti depresi dapat diberikan SSRIs seperti citalopram, esitalopram,
sertraline dan fluoksetin serta SNRIs seperti venlafaksin, dulosektin. Sedangkan untuk
agitasi, anxietas, dan perilaku obsesif, pada penderita demensia alzheimer dapat diberikan
gabapentine, lorazepam, dll. Kemudian untuk mengatasi insomnia dapat diberikan
trazodon dan benzodiazepine seperti zolpidem.
Total biaya perawatan penderita dengan demensia alzheimer, tanpa penyakit
tambahan lainnya, menghabiskan biaya yang sangat besar. Penyakit ini juga memberikan
beban emosional pada anggota keluarga dan pengasuh.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Dewanto G, et al. Panduan praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. 4th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Longo D, Kasper D, Jameson L, Fauci A, Hauser S, Localzo J. Harrison’s Internal
Medicine. 18th ed.

4. Jessica J. Jalbert, Lori A. Daiello, dan Kate L. Lapane. Dementia of the Alzheimer Type.
Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. 2008 Vol.30

5. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder : DSM - IV. 4th ed. Washington,
DC: American Psychiatric Association; 1994.

6. Simon R, Aminoff M, Greenberg D. Clinical Neurology. 7th ed. Mc-Graw Hill; 2009.

7. McCance K, Hueter S. Pathophysiology The Biologic Basis for Disease in Adults and
Children. 6th ed. Philadelphia : Missouri: Elsevier;

8. Daroff R, Fenichel G, Jankovic J, Mazziotta J. Bradley’s Neurology in Clinical Practice.


6th ed. Elsevier Saunders;

9. Shokouhi S, Claassen D, Riddle W. Imaging Brain Metabolism and Pathology in


Alzheimer’s Disease with Positron Emission Tomography. J Alzheimers Dis Park. 2014
Mar 15;4(2).

10. Sylvia D, Getayanti H. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2010. Hal 494-504

11. Rusdi M. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi ke-3. Jakarta. 2007

17
Lampiran
No Tes Nilai
maks
ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? 5

2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5


REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, koin), tiap benda 1 detik, pasien 3
disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda
yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat
jumlah pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5
5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “ WAHYU” (nilai diberi pada
huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3
BAHASA
6 Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) 2
7 Pasien diminta mengulang kata-kata: “namun”, “tanpa”, “bila” 1
8 Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas ini dengan tangan kanan, 3
lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”
9 Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Pejamkanlah mata anda” 1
10 Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1
11 Pasien diminta meniru gambar di bawah ini 1

Total 30

Skor:
Nilai: 24 -30: normal
Nilai: 17-23 : probable gangguan kognitif
Nilai: 0-16: definite gangguan kognitif
Catatan: dalam membuat penilaian fungsi kognitif harus diperhatikan tingkat pendidikan dan
usia responden

18

Anda mungkin juga menyukai