Anda di halaman 1dari 7

Sejarah

Sebelum revolusi seksual pada tahun 1960-an, tidak ada kosakata non-peyoratif untuk menyebut
kaum yang bukan heteroseksual. Istilah terdekat, "gender ketiga", telah ada sejak tahun 1860-an,
tetapi tidak diterima secara luas.[15][16][17][18][19][20]
Istilah pertama yang banyak digunakan, "homoseksual", dikatakan mengandung konotasi negatif
dan cenderung digantikan oleh "homofil" pada era 1950-an dan 1960-an,[21] dan lalu gay pada tahun
1970-an.[15] Frasa "gay dan lesbian" menjadi lebih umum setelah identitas kaum lesbian semakin
terbentuk.[2] Pada tahun 1970, Daughters of Bilitis menjadikan isu feminisme atau hak kaum gay
sebagai prioritas.[22] Maka, karena kesetaraan didahulukan, perbedaan peran antar laki-laki dan
perempuan dipandang bersifat patriarkal oleh feminis lesbian. Banyak feminis lesbian yang menolak
bekerja sama dengan kaum gay.[23] Lesbian yang lebih berpandangan esensialis merasa bahwa
pendapat feminis lesbian yang separatis dan beramarah itu merugikan hak-hak kaum gay.
[24]
Selanjutnya, kaum biseksual dan transgender juga meminta pengakuan dalam komunitas yang
lebih besar.[2] Setelah euforia kerusuhan Stonewall mereda, dimulai dari akhir 1970-an dan awal
1980-an, terjadi perubahan pandangan; beberapa gay dan lesbian menjadi kurang menerima
kaum biseksual dan transgender.[25][26] Kaum transgender dituduh terlalu banyak
membuat stereotip dan biseksual hanyalah gay atau lesbian yang takut untuk mengakui identitas
seksual mereka.[25] Setiap komunitas yang disebut dalam akronim LGBT telah berjuang untuk
mengembangkan identitasnya masing-masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan
komunitas lain; konflik tersebut terus berlanjut hingga kini. [26]
Akronim LGBT kadang-kadang digunakan di Amerika Serikat dimulai dari sekitar tahun 1988. [27] Baru
pada tahun 1990-an istilah ini banyak digunakan.[26] Meskipun komunitas LGBT menuai kontroversi
mengenai penerimaan universal atau kelompok anggota yang berbeda (biseksual dan transgender
kadang-kadang dipinggirkan oleh komunitas LGBT), istilah ini dipandang positif. [3][26] Walaupun
singkatan LGBT tidak meliputi komunitas yang lebih kecil (lihat bagian Ragam di bawah), akronim ini
secara umum dianggap mewakili kaum yang tidak disebutkan.[3][26] Secara keseluruhan, penggunaan
istilah LGBT telah membantu mengantarkan orang-orang yang terpinggirkan ke komunitas umum. [3]
[26]

Aktris transgender Candis Cayne pada tahun 2009 menyebut komunitas LGBT sebagai "minoritas
besar terakhir", dan menambahkan bahwa "Kita masih bisa diganggu secara terbuka" dan "disebut
di televisi."[28]

Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo, dibangun dalam suatu tatanan


integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat organis. Setiap diri kita
adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model kemanusiaan kita
sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan jelasnya
garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan.
Inilah jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca
proklamasi kemerdekaan pada 1945.

Cara berpikir kita dalam menghargai setiap generasi adalah dengan


memposisikan jati diri pada tempatnya, yakni bak seorang anak yang
mendapatkan tempat tumbuh kembang yang baik. Cara berpikir kita bukan
seperti dalam mukadimah Piagam PBB yang memberikan apa-apa yang
diingini setiap orang per orang. Hal semacam itu hanya akan membawa pada
kemunduran generasi, karena kebanyakan keinginan hanya berisi kerakusan
yang menghancurkan.

Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam
suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya
sebagai:

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa“

Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan


lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah
pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan.

Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah


pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi
ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan
mempertahankan kedaulatan negara.

Jadi, secara terang, pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya


pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak
mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia.

Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga
kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas
menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang
dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.
Kritik
Tidak semua orang yang disebutkan setuju dengan istilah LGBT atau GLBT. [7] Contohnya, ada yang
berpendapat bahwa pergerakan transgender dan transeksual tidak sama dengan lesbian, gay, dan
biseksual (LGB).[9] Argumen ini bertumpu pada gagasan bahwa transgender dan transeksualitas
berkaitan dengan identitas gender yang terlepas dari orientasi seksual.[26] Isu LGB dipandang
sebagai masalah orientasi atau rangsangan seksual. [26] Pemisahan ini dilakukan dalam tindakan
politik: tujuan LGB dianggap berbeda dari transgender dan transeksual, seperti
pengesahan pernikahan sesama jenis dan perjuangan hak asasi yang tidak menyangkut
kaum transgender dan interseks.[26] Beberapa interseks ingin dimasukkan ke dalam kelompok LGBT
dan lebih menyukai istilah "LGBTI", sementara yang lainnya meyakini bahwa mereka bukan bagian
dari komunitas LGBT dan lebih memilih tidak diliputi dalam istilah tersebut. [13][45]
Ada pula keyakinan "separatisme lesbian dan gay" (tidak sama dengan "separatisme lesbian"), yang
meyakini bahwa lesbian dan gay sebaiknya membentuk komunitas yang terpisah dari kelompok-
kelompok lain dalam lingkup LGBTQ.[8][10] Meskipun jumlahnya tidak cukup besar untuk disebut
pergerakan, kaum separatis berperan penting, vokal, dan aktif dalam komunitas LGBT. [10][46][47] Dalam
beberapa kasus separatis menolak keberadaan atau hak kesetaraan orientasi non-
monoseksual dan transeksualitas.[47] Hal ini dapat meluas menjadi bifobia dan transfobia.[10]
[47]
Separatis punya lawan yang kuat - Peter Tatchell dari kelompok hak
LGBT OutRage! berpendapat bahwa memisahkan transgender dari LGB merupakan "kegilaan
politik".[48]
Banyak orang mencoba mengganti singkatan LGBT dengan istilah umum. [47] Kata seperti "queer"
dan "pelangi" telah dicoba tetapi tidak banyak digunakan.[47][49] "Queer" mengandung konotasi negatif
bagi orang tua yang mengingat pengunaannya sebagai hinaan dan ejekan dan penggunaan
(negatif) semacam itu masih terus berlanjut.[47][49] Banyak pula orang muda yang
memahami queer sebagai istilah yang lebih politis dibanding "LGBT".[11][49] "Pelangi" punya konotasi
yang berkaitan dengan hippies, pergerakan Zaman Baru, dan organisasi seperti Rainbow/PUSH
Coalition di Amerika Serikat.
Penggambaran "komunitas LGBT" atau "komunitas LGB" juga tidak disukai beberapa lesbian, gay,
biseksual, transgender, dan juga ontolog.[8][50][51] Beberapa tidak setuju dengan solidaritas politis dan
sosial, serta kampanye hak asasi manusia dan visibilitas yang biasanya mengiringinya,
termasuk gay pride.[50][51] Beberapa dari mereka meyakini bahwa mengelompokkan orang dengan
orientasi non-heteroseksual menimbulkan mitos bahwa menjadi gay/lesbian/bi menjadikan
seseorang berbeda dari yang lain.[8][50] Orang-orang semacam ini tidak banyak terlihat jika
dibandingkan dengan aktivis gay atau LGBT lain.[50][51] Faksi ini sulit dipisahkan dari orang-orang
heteroseksual, sehingga umum bagi orang untuk menduga bahwa semua LGBT mendukung
kebebasan dan visibilitas LGBT dalam masyarakat, termasuk hak seseorang untuk hidup berbeda
dari yang lain.[50][51][52] Dalam buku "Anti-Gay", koleksi esai tahun 1996 yang disunting oleh Mark
Simpson, konsep identitas "satu ukuran cocok untuk semua" yang didasarkan pada stereotip
LGBT dikritik karena menekan kepribadian kaum LGBT.[53]
ABSTRAK

Situasi sekolah setingkat SMU/Kejuruan telah mengikuti perkembangan model sekolah moderen dalam rangka
menyesuaikan eksistensinya diera teknologi. Sinkronisasi diyakini dapat meningkatkan keunggulan, diantaranya
dalam bentuk pergaulan lintas batas kewilayahan dan membentuk suasana kompetitif antar sekolah. Hal itu
menumbuhkan berbagai subsistem baru dalam peningkatan mutu sekolah, namun sesungguhnya menimbulkan
sebuah tambahan tantangan dalam menjalankan subsistem dalam sekolah tersebut, sehingga perlu pendekatan
hukum sebagai solusi terhadap potensi konflik. Metode pelaksanaan dalam pengabdian ini menggunakan tehnik
ceramah/sosialisasi agar terciptanya sebuah kesadaran hukum bagi siswa, guru dan wali siswa demi mencegah
permasalahan hukum. Sosialisasi dan penerapan simbol hukum agar transfer ilmu pengetahuan kepada unsur dalam
sekolah tidak bias setelah pengabdian pada siswa telah selesai. Pengabdian ini menekankan pada 4 poin penting,
diantaranya: (1) Pendekatan Keagamaan, (2) Pengembangan Moral & Etika siswa, (3) Pentingnya Kedisiplinan, dan
(4) Menanamkan Kesadaran Hukum, yang diyakini mampu membantu menjaga proses sekolah meraih tujuan-
tujuannya setiap saat. Akhirnya, keseluruh poin penting ini menjadi acuan untuk dilaksanakannya berbagai kegiatan
kongkrit dalam lingkugan sekolah SMK Negeri 2 Makassar.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum,Guru, Ancaman Kriminalisasi Guru adalah kunci utama bagi terciptanya
generasi penerus bangsa yang berkualitas, tidak hanya disisi intelektualitas saja melainkan juga dari tata cara
berperilaku dalam masyarakat. Fenomena guru yang mempunyai wibawa dan karisma itu mulai menurun dan
sedikit demi sedikit memudar. Hanya karena guru ingin mendisiplinkan anak didiknya dapat disalah artikan,
bahkan sampai ke ranah meja hijau karena orang tua/wali peserta didik tidak terima. Apa salahnya bila guru
ingin mendisiplinkan anak didiknya agar memiliki budi pekerti yang baik. Dalam penelitian ini rumusan masalah
yang dibahas adalah Kebijakan perlindungan terhadap praktik mengajar guru dari ancaman kriminalisasi dan
realitas kebijakan tersebut. Tujuan yang ingin dicapai mengetahui Kebijakan perlindungan terhadap praktik
mengajar guru dari ancaman kriminalisasi dan realitasnya. Penelitian ini dilaksanakan pada PGRI Kabupaten
Ponorogo. Sumber data primer adalah pengurus dan anggota PGRI Kabupaten Ponorogo, sumber data
sekunder adalah peraturan pemerintah dan buku-buku teoritis yang berkaitan dengan Kebijakan perlindungan
terhadap praktik mengajar guru dari ancaman kriminalisasi. Prosedur pengumpulan data menggunakan
metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data deskriptif kualitatif.Berdasarkan hasil analisis data pada bab IV maka simpulan penelitian ini
Kebijakan perlindungan terhadap praktik mengajar guru dari ancaman kriminalisasi di PGRI Kabupaten
Ponorogo sudah baik. Dimana ada nota kesepahaman antara PGRI dan Polri. Yang tertuang pada Pedoman
Kerja antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor :
B/53/XII/2012 Nomor : 1003/UM/PB/XX/2012 tentang mekanisme penanganan perkara dan pengamanan
terhadap profesi guru yang bertujuan agar proses perlindungan hukum kepada profesi guru dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Realitas kebijakan perlindungan terhadap praktik mengajar guru dari
ancaman kriminalisasi, Sudah dijalankan sesuai dengan Pedoman kerja antara Polri dengan. Terbukti pada
guru di sekolah X yang penyelesaiannya sesuai dengan pedoman tersebut. Guru memiliki hak memperoleh
perlindungan hukum tetapi guru juga memiliki kewajiban mentaati kode etik.

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah Faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya tindakan kekerasan oleh guru terhadap siswa dan bagaimanakah pengaturan perlindungan
anak akibat kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah, di mana dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan oleh guru terhadap siswa dirangkum dalam 4 aspek, yaitu: a. Dalam diri murid yang
dilihat dari aspek psikologis terdapat perbedaan karakter yang memberikan tantangan serta dapat
menguji kesabaran guru; b. Dari dalam diri guru yang dilihat dari aspek psikologis memiliki kepribadian
yang berbeda-beda serta kemampuan mengontrol emosi yang berbeda-beda; c. Dari sistem pendidikan
yang menganut ideologi dan kultur hierarkis; d. Dari kultur masyarakat yang menganggap kekerasan
adalah bagian dalam proses mendidik anak. 2. Pengaturan perlindungan anak akibat kekerasan yang
dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah terdapat dalam pasal 9 ayat (1a) dan pasal 54 ayat (1).
Dalam pasal 9 ayat (1a) dan pasal 54 ayat (1) sangat tegas melarang dilakukannya tindakan kekerasan
terhadap anak di lingkungan satuan pendidikan, tetapi terdapat juga pasal yang melarang kekerasan
terhadap anak yang lingkupannya lebih luas dengan melarang setiap orang bukan hanya pihak-pihak di
lingkungan pendidikan saja yaitu terdapat pada pasal 76C dan apabila melanggar terdapat ketentuan
sanksi dalam pasal 80. Undang-undang perlindungan anak telah memberikan perlindungan hukum bagi
anak agar terhindar dari tindakan kekerasan di sekolah, tetapi terkadang undang-undang ini dijadikan
sebagai imunitas bagi siswa dalam membenarkan tindakan mereka yang sebenarnya salah dan
mengakibatkan guru semakin bertindak pasif dalam mendisiplinkan siswa karena merasa takut terkena
jeratan hukum.

Nurul Khoirul Umam. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Guru Dalam Pelaksanaan tugas
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005. Skripsi. Jurusan Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung Semarang. Pembimbing : Andi Aina Ilmih, S.H., M.H. Perlindungan hukum terhadap guru merupakan
segala kegiatan yang digunakan untuk menjamin dan melindungi guru dan hak-haknya agar dapat
menjalankan tugasnya dengan profesional. Kegiatan tersebut merupakan suatu tindakan yang berakibat dalam
hukum. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum untuk kegiatan perlindungan khususnya terhadap guru
sebagai korban kesalahpahaman dari suatu pihak. Berdasarkan urainan tersebut, terdapat beberapa
permasalahan yaitu: 1. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap profesi guru terkait aduan
anak didiknya kepada orang tua yang melebih lebihkan hukuman yang diberikan oleh guru di lingkungan
sekolah ? 2. Bagaimana bentuk penyelesaian masalah terkait profesi guru dalam menghadapi kasus mengenai
aduan anak didiknya? Penelitian ini menggunakan perpaduan antara penelitian lapangan (field research) dan
penelitian kepustakaan (library research). Dalam pemecahan permasalahannya penelitian ini menggunakan
metode penelitian deskriptif analitis dan yuridis sosiologis merupakan pendekatan yang mengacu pada
perundang-undangan atau hukum positif yang memberikan implementasi terhadap perlindungan hukum di
masyarakat. Penelitian ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Perlindungan Profesi
Guru dan Dosen. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Guru
mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, perlakuan diskriminatif, intimidasi, ancaman, atau
perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, maupun pihak lain.
Dari masyarakat sendiri, diharapkan kedua belah pihak untuk melakukan mediasi atau bermusyawarah secara
kekeluargaan tanpa adanya kekerasan psikis maupun fisik. Sehingga akan menciptakan suasana yang
harmonis. Kata Kunci : Perlindungan, Guru, Korban, Kekerasan, Penanggulangan

Dunia pendidikan tanah air heboh ketika seorang guru masuk penjara garagara
'hanya' mencubit anak didiknya. Pro-kontra pun bermunculan ada yang
setuju, namun tak sedikit pula yang geram karena tindakan orangtua murid yang
memenjarakan sang guru. Bagi mereka yang tidak setuju tentu ini merupakan
tindakan yang berlebihan. Apalagi bagi mereka yang tumbuh di era 80-90 an.
Guru mendidik dengan cara agak keras seperti mencubit, memukul, atau
menjemur adalah sesuatu yang lumrah. Selama itu dalam batas wajar tentunya.
Para guru tersebut biasanya diadukan ke aparat kelpolisian oleh orang tua
muridnya karena melanggar Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA
seolah menyandera dan alat untuk melakukan kriminalisasi bagi guru. Hal ini pun
tidak lepas dari pemaknaan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kebablasan pasca
bergulirnya reformasi. Pasal andalan yang dijadikan rujukan dalam laporan
Jurnal Balireso Vol. 2, No. 2, Juli 2017
E-ISSN – 2502-0617
P-ISSN – 2502-7557
116
pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru adalah Pasal 54 Undang-Undang
No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan
satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik,
psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan pendidik, tenaga
kependidikan, sesame peserta didik, dan/atau pihak lain.”Adapun jenis-jenis
kekerasan tercantum pada pasal 69, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Tindakan hukuman disiplin yang dilakukan oleh guru, yang pada waktu
dulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai melanggar HAM. Akibatnya, guru
seperti menghadapi dilema, di satu sisi dia harus menegakkan disiplin dan tata
tertib sekolah, sementara disisi lain, khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau
LSM pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak. Dampak
dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang
nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa siswa nakal tersebut dibiarkan
saja, dari pada nantinya guru terkena masalah hukum. Ketidaktegasan guru
berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa,
khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal. Mereka semakin seenaknya
melanggar tata tertib sekolah, karena toh tidak akan dihukum.
Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalannya adalah perlindungan hukum.
Perlindungan hukum ini mencakup perlindungan hukum terhadap tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil
dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyakarat, birokarasi, atau
pihak lain. Perlu diketahui bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan
bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip, salah
satunya adalah memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.1 Disamping itu, memperoleh perlindungan dalam melaksanakan
tugas adalah salah satu hak yang diperoleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
1 Pasal
7 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Jurnal Balireso Vol. 2, No. 2, Juli 2017
E-ISSN – 2502-0617
P-ISSN – 2502-7557
117
Berdasarkan uarian tersebut diatas, maka penyuluhan ini dilakukan agar
para peserta yaitu guru dan siswa dapat meningkatkan pengetahuannya tentang
perlindungan hukum guru dan adab siswa dalam menuntut ilmu. Tabel berikut ini
menggambarkan keadaan sebelum penyuluhan dilakukan dan keadaan yang
diharapkan setelah dilakukannya penyuluhan:
Table 1. Keadaan Awal dan Akhir yang diharapkan dari Peserta Penyuluhan
No. Keadaan Awal Perlakuan Keadaan Akhir
1. Para Guru kurang
menguasai pengetahuan
tentang perlindungan
hukum guru
Pemberian materi
tentang perlindungan
hukum guru.
Para Guru
mengetahui,
memahami tentang
perlindungan hukum
guru.
2. Para Guru kurang
menguasai pengetahuan
tentang perlindungan
anak
Pemberian materi
tentang perlindungan
anak.
Para Guru
mengetahui,
memahami tentang
perlindungan anak
3. Para siswa kurang
menguasai pengetahuan
adab dalam menuntut
ilmu.
Pemberian materi
tentang adab
menuntut ilmu
Para siswa
mengetahui,
memahami tentang
adab menuntut ilmu.

Anda mungkin juga menyukai