Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

RHINOSINUSITIS

Pembimbing :
dr. Ilham Priharto, Sp.THT.KL

Disusun oleh :
Rania Merriane Devina (1102012224)
Ratnasari (1102012229)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN DEPARTEMEN THT
RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA
MEI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “Rhinosinusitis” ini
dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Ilham Priharto, Sp.THT.KL,


yang telah membimbing dan mengarahakan kepada penulis dalam menyelesaikan
laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat


ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun bagi penulisan ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan tentunya bagi penulis yang sedang menempuh kegiatan kepaniteraan
klinik Stase THT-KL RSUD Dr Dradjat Prawiranegara Serang

Serang, Mei 2017

Penulis

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang
mengalami peningkatan dalam masalah kesehatan dan memberikan dampak pada
pengeluaran keuangan masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi secara bersamaan
sehingga digunakan istilah rinosinusitis. Selain itu, istilah tersebut digunakan sebab mukosa
1,2
dari hidung masih terhubung dengan sinus-sinus paranasal.

Penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke 25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama dari data DEPKES RI 2003. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM menunjukkan bahwa tingkat kejadian sinusitis sekitar 69 % dari 436 dalam
3
kurun waktu Januari – Agustus 2005.

Rinosinusitis secara klinis dibagi menjadi akut dan kronik. Keluhan yang timbul
akibat kondisi ini antara lain hidung tersumbat, nyeri/rasa tekanan di muka, nyeri
1
kepala, ingus belakang hidung, nyeri kepala, hiposmia/anosmia, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan fisik pasien rinosinusitis dapat ditemukan nyeri tekan pada
keempat sinus paranasal. Selain itu, terdapat konka yang edema dan hiperemis. Post
nasal drip pun dapat ditemukan pada pasien. Pengobatan rinosinusitis dapat diberikan
terapi medikamentosa untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronik. Selain pengobatan medikamentosa dapat
dilakukan tindakan operasi bila sinusitis kronik dengan terapi obat tidak adekuat atau
1,4
telah timbul komplikasi sinusitis.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal


Sinus paranasal memiliki bentuk yang bervariasi antar individu sehingga
sulit dideskripsikan. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Rongga sinus terebut berisi
udara yang berlapis mukosa dan memiliki muara (ostium) masing - masing ke
dalam rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari 4 pasang yaitu sinus maksilaris,
4
sinus etmoid, sinus frontalis, dan sinus sfenoid.
Pembentukan sinus-sinus paranasal dimulai sejak dalam kandungan, akan
tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan
5
etmoid. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia
sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus
berkembang hingga usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak
ditemukan atau rudimenter, dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis
mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus
berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan. Dinding lateral nasal
mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama
yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi konka inferior.
Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media,
superior dan supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan
kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus,
dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus kemudian mulai berkembang. Rangkaian
rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan merupakan struktur yang
kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan sinusitis, terutama
sebelum tindakan bedah. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung
5
dijelaskan dalam gambar 1.

3
Gambar 1. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung (1. Nasal; 2.
Frontal; 3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina horizontal; 7.
Konka superior (etmoid); 8. Konka media (etmoid); 9. Konka inferior; 10.
Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng pterigoid media; 13. Hamulus pterigoid
5
media)
Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-
tulang nasal, frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila
dan prosesus palatina, palatina dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan
anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal bagian lateral. Tiga hingga empat
konka menonjol dari tulang etmoid, konka supreme, superior, dan media. Konka
5
inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen. Masing-masing struktur
ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut meatus, seperti
terlihat pada gambar 2.

5
Gambar 2. Meatus pada dinding lateral hidung
Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi
muara sinus maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang

4
konka media. Bagian tulang kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus. Jika
konka media diangkat, maka akan tampak hiatus semilunaris dan bulla etmoid
seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian superior terdiri dari
sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori dan
lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus
frontal. Aspek postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding
anterior dari sinus sfenoid yang terletak di bawah sela tursika dan sinus
5
kavernosa.

5
Gambar 3. Struktur di balik konka
Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke
daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran
sekresi sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju
infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior \menuju meatus media, sinus
etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju meatus media.
Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus
5
nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior.

5
Gambar 4. Aliran sekresi sinus

5
2.1.1. Kompleks Osteo-Meatal (KOM)
KOM adalah celah pada dinding lateral hidung dibatasi oleh konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang menyusun KOM adalah
proseus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
4
nasi dan resesus frontal.
KOM merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus – sinus yang
terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Ostium
4
terletak pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media.

6
Gambar 5. Kompleks osteomeatal (Gaillard F, 2010)

2.2. Fisiologi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal


2.2.1. Fisiologi Rongga Hidung

Fungsi respirasi
Udara yang dihirup mengalami proses humidifikasi oleh palut
o
lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sekitar 37 C. Fungsi ini
dimungkinkan banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
4
adanya pemukaan konka dan septum yang luas.
Adapun partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup
bersama udara disaring oleh hidung oleh rambut pada vestibulum
nasi, silia, dan palut lendir. Selanjutnya, partikel debu dan bakteri
4
yang melekat pada palut lendir dikeluarkan dengan refleks bersin.

6

Fungsi penghidu
Pada hidung terdapat mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagaian atas septum yang berperan
sebagai indra penghidu. Bau yang dihirup mencapai daerah ini dengan
4
difusi dengan palur lendir atau menarik nafas yang kuat.

Fungsi fonetik

Kualitas suara saat bicara atau menyanyi dipengaruhi resonansi oleh


hidung. Hidung membantu dalam pembentukan kata-kata. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
4
terdengar suara sengau (rinolalia).

Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung
akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekeresi kelenjar liur, lambung, dan
4
pankreas.
2.2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Sistem mukosiliar
Sinus paranasal memiliki mukosa bersilia dan palut lendir di
atasnya. Dalam mengalirkan lendirnya, sinus silia bergerak secara
4
teratur menuju ositum mengikut jalur yang sudah tertentu polanya.
Sistem mukosiliar dari sinus terdapat 2 aliran yang terdapat pada
dinding lateral hidung. Lendir dari kumpulan sinus anterior bergabung
di infundibulum etmoid lalu dialirkan ke nasofaring di depan muara
tuba Eustachius. Lendir dari kelompok sinus posterior bergabung di
resesus sfenoidetmoidalis, yang dialirkan ke nasofaring di postero-
superior muara tuba. Hal ini yang menyebabkan terjadinya post nasal
4
drip pada sinusitis.
 4
Fungsi sinus paranasal
a. Sebagai pengatur kondisi udara
b. Sebagai penahan suhu
c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi udara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

7
f. Membantu produksi mucus

2.3. Rinitis Alergi


2.3.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi
dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
7
ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.Onset pajanan
alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada
7
komplikasi lain seperti sinusitis.

7
Gambar 6. Rinitis alergi (Irawati N., et al, 2008)

2.3.2. Etiologi

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari
pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan
lingkungan.Genetik secara jelas memiliki peran penting.Pada 20 – 30 %
semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi.Apabila kedua
orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau
mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu
sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar
dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
7
kecenderungan alergi.

8
a. Sumber pencetus
Rinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi
alergi terhadap partikel udara seperti berikut ini:
 Ragweed – Bulu‐bulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus (di musim gugur)

 Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)
 Serbuk sari pohon (di musim semi)
 Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daun‐daun kering, umumnya terjadi di musim panas)

Rinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh


reaksi alergi terhadap partikel udara seperti berikut ini:
 Bulu binatang peliharaan
 Debu dan tungau rumah
 Kecoa
 Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain
pelapis
7
b. Faktor Risiko
 Sejarah keluarga alergi
 Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi
makanan atau eksim
 Paparan bekas asap rokok

2.3.3. Klasifikasi
Rinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe
5,7
yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak
dengan alergen dari luar rumah seperti benang sari dari
tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya dan
spora jamur. Alergi terhadap tepung sari berbeda-beda bergantung
geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada
di dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi
banyaknya serbuk di udara bila dibandingkan dengan saat udara

9
dingin, lembab dan hujan, yang membersihkan udara dari serbuk
tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara dengan 4 musim
2. Rinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak
dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu
rumah, kecoa, tumbuhan kering, jamur, bulu binatang atau
protein yang dikandung pada kelenjar lemak kulit binatang.
Protein ini dapat tetap berada di udara selama berbulan-bulan
7
setelah binatang itu tidak ada diruangan. Namun, definisi di atas
kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan nyata.Karena,
serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan
gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the
Allergic Rhinitisand its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi
kembali pedoman Rhinitis alergika, berdasar waktu dan frekuensi
gejala yang ada.Intermittent Allergic Rhinitis dan Persistent
Allergic Rhinitis, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat
keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan pembagian rinitis
7
alergi ke dalam dua klasifikasi :
o Intermittents (kadang-kadang), gejala yang ditemukan kurang
dari 4 hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.
o Persistent (menetap), gejala-gejala yang ditemukan lebih dari
4 hari
Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi
menjadi :
1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-
hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah
normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.
2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala
berikut ; tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat
olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan
7
sekolah, ada keluhan yang menggangu.

10
2.3.4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase, Yaitu reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya, dan reaksi fase
lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48
7
jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC
(Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan
pada sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin
seperti interleukin I (IL-1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk
berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. kemudian Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. L-4 dan IL-13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E). Ig E di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi bila mukossa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan
prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet actifating
factor dan berbagai sitokin.Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi.Dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

11
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran
7
interseluler adhesion molekul.
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan
molekul kemotaktif yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan
netrofil di jaringan target. Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada
reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan
granulosit makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase
ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh faktor nonspesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang perubahan
7
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

7
Gambar 7. Skema patogenesis rinitis alergi

12
2.3.5. Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin
biasanya pada pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali
sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini
menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata gatal dan banyak air
mata. Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering
5,8,9
dikeluhkan adalah hidung tersumbat.
Tanda khas pada rinitis alergi diantaranya :
1. Allergic salute
Gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya
karena gatal.

Gambar 8. Allergic salute


2. Allergic crease
Alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi
akibat menggosok hidung

Gambar 9. Allergic crease


3. Allergic shiner
Bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung

13
Gambar 10. Allergic shiner

4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound


Suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum
yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah

2.3.6. Diagnosis
5,8,9
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik : rinoskopi anterior
3. Pemeriksaan sitologi hidung
4. Uji kulit
Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa
ia sering bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada
rinoskopi anterior sering didapatkan mukosa berwarna keunguan (livid)
atau pucat, edema, dan basah serta adanya sekret encer, bening yang
banyak. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil
cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi
pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah
fokus perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil.
Eosinofilia ini mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila
ditemukan netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil
dan eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada
pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka rinitis
alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda,
maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic
syndrome) perlu dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien

14
dengan eosinofilia yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes kulit
dengan allergen yang sering menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang
8
dimaksud adalah alergen yang banyak di lingkungan.
Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen
penyebab rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu,
bulu binatang, jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif
menunjukkan adanya antibiodi IgE yang spesifik terhadap alergen
8
tersebut.

2.3.7. Tatalaksana
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan
faktor penyebab yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak
mampu disingkirkan maka terapi selanjutnya adalah pemberian
farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:
1. Antihistamin
Adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan.
Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin,
pada reseptor Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi,
hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks iritasi untuk bersin.
Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua
generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat
sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik.
Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin,
difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki
keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain
ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan
golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan
gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin
generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin.
Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan
bukan dimakan seperlunya saja karena akan memberikan efek
meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila antihistamin generasi
pertama dipilih, maka pemberian secara

15
reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi
8
sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya.
2. Dekongestan oral
Bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung
karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat
ini melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin
dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat
dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan
pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal
karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa
hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa.
Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang
mengonsumsi atau dalam fase "tappering off" dari obat-obatan
monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis
8
hipertensi.
3. Sodium kromolin
Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel
mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke
luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan menghambat influks
Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi
mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan
alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
4. Kortikosteroid inhalasi
Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam
amino histidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga
meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum
kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek
kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di
mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang
tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid. Efek
samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid

16
sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau
sedang menjalani pengobatan penyakit paru.
5. Imunoterapi
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau
hiposensitisasi. Caranya adalah dengan memberikan injeksi
berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya
adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan
menghilangkan sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan
pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau
dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih
meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG,
maka antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena
berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian
mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk
kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam
5
tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.
6. Netralisasi antibodi
Antibodi netralisasi bekerja dengan cara memberikan anti IgE
monoklonal. Antibodi ini berikatan dengan IgE yang bebas di
dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan mengurangi
produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah
konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara
ini tidak hanya digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi
lain seperti alergi makanan.
7. Konkotomi
Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila
hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat

2.4. Sinusitis
2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada

17
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini
1
adalah rinosinusitis.

2.4.2. Klasifikasi
10
Klasifikasi rinosinusitis berdasarkan durasinya , yaitu :

Akut
- < 12 minggu
- Resolusi komplit gejala

Kronik
- > 12 minggu
- Tanpa resolusi gejala komplit
- Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut
Rinosinusitis kronik tanpa bedah sinus sebelumnya terbagi
10
menjadi subgrup yang didasarkan atas temuan endoskopi , yaitu :
1. Rinosinusitis kronik dengan polip nasal
Polip bilateral, terlihat secara endopskopi di meatus media
2. Rinosinusitis kronik tanpa polip nasal
Tidak ada polip yang terlihat di meatus media, jika perlu setelah
penggunaan dekongestan

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat


virus, infeksi bakteri, jamur, bermacam rinitis terutama rinitis alergi,
rinitis hormonal pada wanita hamil. Faktor lokal seperti anomali
kraniofasial, obstruksi nasal, trauma, polip hidung, deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan komplek osteomeatal, infeksi tonsil, infeksi
gigi, juga dapat menjadi faktor predisposisi sinusistis. Pada anak,
hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab terjadinya
sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinosinositisnya. Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah polusi udara, udara dingan dan kering serta
11
kebiasaan merokok.

18
2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal
(KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
4,10
masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
4,10
patogen.

Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi


lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista.
Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.
Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila
proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,
4,10
sehingga terjadilah polip.

Gambar 5. Patogenesis Sinusitis

19
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti
dibawah ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya
secara berurutan:
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema
dan pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak
ada kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan
bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan
kapiler terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-
mula encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena
terjadi koagulasi fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti
ke tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.
Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena
perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berhenti.
Perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi perubahan
kronis, tulang di bawahnya dapat memperlihatkan tanda osteitis dan
4,10
akan diganti dengan nekrosis tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui
suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan langsung
melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) Dengan
terjadinya defek; dan (4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.
Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara
4,10
limfatik.

2.4.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan beratnya penyakit, sinusitis
dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat sesuai dengan klasifikasi

20
EPOS. Sedangkan berdasarkan lamanya penyakit sinusitis dibagi
menjadi akut dan kronik. Berdasarkan EPOS yang dikatakan akut adalah
bila gejala berlangsung <12 minggu, sedangkan kronik bila gejala
berlangsung >12 minggu termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut.

1. Sinusitis Akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan
atas oleh virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum
menyebabkan sinusitis akut termasuk Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari
sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh
virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus,
mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila
kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut ialah
hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus
purulen, yang sering sekali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Dapat juga disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan
nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena, merupakan ciri
khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga dirasakan di
tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi, gigi, dahi dan depan telinga
menandakan sinusitis maksila. Nyeri di antara atau di belakang kedua
bola mata dan pelipis menandakan sinusitis etmoid. Nyeri di dahi atau
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid,
nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia,
halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada
anak.

21
Gejala sugestif untuk menegakkan diagnosis terlihat pada tabel 1.
Gejala yang berat dapat menyebabkan beberapa komplikasi, dan
pasien tidak seharusnya menunggu sampai 5-7 hari sebelum
mendapatkan pengobatan.
Pada rinoskopi anterior tampak pus keluar dari meatus superior
atau nanah di meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal
dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan pada sinusitis etmoid
posterior dan sinusitis sfenoid tampak pus di meatus superior. Pada
rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada
pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap.
Tabel 1. Gejala mayor dan minor pada sinusitis akut. Diagnosis
ditegakkan dengan dua gejala mayor atau satu gejala minor
ditambah dengan dua gejala minor.
Gejala mayor dan minor pada sinusitis akut
Gejala Mayor Gejala Minor
a. Nyeri atau rasa tertekan pada a. Sakit kepala
muka b. Demam (pada sinusitis
b. Kebas atau rasa penuh pada kronik)
muka c. Halitosis
c. Obstruksi hidung d. Kelelahan
d. Sekeret hidung purulen, post e. Sakit gigi
nasal drip f. Batuk
e. Hiposmia atau anosmia g. Nyeri, rasa penuh, atau
f. Demam (hanya pada rasa tertekan pada telinga
rinosinusitis akut)

Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan


lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas
cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.

22
Gambar 6. Pemeriksaan Radiologi untuk Sinus Paranasal
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Lebih
baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Dalam interpretasi biakan hidung, harus hati-hati, karena mungkin
saja biakan dari sinus maksilaris dapat dianggap benar, namun pus
tersebut berlokasi dalam suatu rongga tulang. Sebaiknya biakan dari
hidung depan, akan mengungkapkan organisme dalam vestibulum
nasi termasuk flora normal seperti Staphilococcus dan beberapa
kokus gram positif yang tidak ada kaitannya dengan bakteri yang
dapat menimbulkan sinusitis. Oleh karena itu, biakan bakteri yang
diambil dari hidung bagian depan hanya sedikit bernilai dalam
interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan mungkin memberi
informasi yang salah. Suatu biakan dari bagian posterior hidung atau
nasofaring akan jauh lebih akurat, namun secara teknis sangat sulit
diambil. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop
bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

a. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis
maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak
jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti
aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada
gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
23
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung,
biasanya dari meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam
nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi.
Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan. Pada pemeriksaan
radiologik foto polos posisi waters dan PA, gambaran sinusitis
maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya
diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak
hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya
terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus.

b. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis
didapatkan nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus
medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau di belakangnya,
terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip
dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada
pangkal hidung.

c. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda
hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi
terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra
orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi
di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik
pada sinusitis frontalis.

d. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari

24
pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala
infeksi sinus lainnya.

2. Sinusitis Kronis
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Selama eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut; namun
diluar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan
hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-
kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan
yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.
Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis. Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada
gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap,
dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Pasien dengan sinusitis
kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami hiposmia dan lebih
sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak
memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam
patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang
umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk Staphylococcus
aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa.

2.4.6. Tatalaksana
a. Sinusitis Akut
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis
supuratif akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman
gram positif dan negatif. Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae
yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi lini pertama yang
lain adalah kombinasi eritromicin dan dulfonamide atau cephalexin
dan sulfonamide.

25
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah
mengalami komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi
intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak. Ceftriakson
merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi semua
bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar
darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat
digunakan metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat
menembus cairan serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada
sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan.
Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah
nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi
dilakukan pada sinusitis etmoidalis. Frontoetmoidektomi eksternal
dilakukan pada sinusitis frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan pada
sinusitis sfenoidalis. Pembedahan sinus endoskopik merupakan suatu
teknik yang memungkinkan visualisasi yang baik dan magnifikasi
anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah, teknik ini
menjadi populer akhir-akhir ini.

26
Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung  Edema periorbita
anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di  Pendorongan letak bola mata
wajah;  Penglihatan ganda
 Oftalmoplegi
Penghidu terganggu/ hilang  Penurunan visus
 Nyeri frontal unilateral atau bilateral
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior  Bengkak daerah frontal
 Tanda meningitis atau tanda fokal
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak
neurologis
direkomendasikan
Gejala kurang dari 5 Gejala menetap atau
hari atau membaik memburuk setelah 5
setelahnya hari

Common cold Sedang Berat

Pengobatan Steroid topikal Antibiotik + steroid


simtomatik topikal

Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan


setelah 14 hari Perbaikan dalam 48 dalam 48 jam
jam

Rujuk ke dokter Teruskan terapi untuk Rujuk ke dokter


spesialis 7-14 hari spesialis

Gambar 7. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa


untuk pelayanan kesehatan primer berdasarkan European Position
8
Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2007

27
b. Sinusitis Kronik

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pikirkan diagnosis lain :


hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ±  Gejala unilateral
 Perdarahan
nyeri/ rasa tertekan di wajah;
 Krusta
 Gangguan penciuman
Penghidu terganggu/ hilang
 Gejala Orbita
 Edema Periorbita
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior
 Pendorongan letak bola mata
 Penglihatan ganda
 Oftalmoplegi
 Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Tersedia Endoskopi  Bengkak daerah frontal
 Tanda meningitis atau tanda fokal
neurologis fokal

Endoskopi tidak Investigasi dan


Polip Tidak ada polip tersedia intervensi secepatnya

Pemeriksaan Rinoskopi Anterior

Ikuti skema polip Ikuti skema Foto Polos SPN/ Tomografi


hidung Dokter Rinosinusitis kronik
Spesialis THT Dokter Spesialis THT

Rujuk Dokter Spesialis


THT jika Operasi Steroid topikal
Dipertimbangkan
Cuci hidung

Reevaluasi setelah 4
minggu

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi Rujuk spesialis THT


Gambar 8. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip
hidung pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non THT
8
berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2007

28
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pertimbangkan diagnosis lain :
hidung tersumbat atau pilek yang tidak
 Gejala unilateral
jernih; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala;  Perdarahan
 Krusta
Gangguan Penghidu  Kakosmia
 Gejala Orbita
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi:
 Edema Periorbita
Pertimbangkan Tomografi Komputer  Penglihatan ganda
 Oftalmoplegi
Tes Alergi  Nyeri kepala bagian frontal yang berat
 Edem frontal
Pertimbangkan diagnosis dan  Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
penatalaksanaan penyakit penyerta; fokal
misal Asma
Ringan VAS 0-3 Sedang atau berat VAS
>3-10

Steroid topikal Gagal setelah 3 bulan Steroid topikal Perlu investigasi dan
Intranasal cuci hidung Cuci hidung intervensi cepat
Kultur & resistensi Kuman
Makrolid jangka panjang

Perbaikan

Gagal setelah 3 bulan


Tindak lanjut Jangka
Panjang + cuci hidung

Steroid topikal

± Makrolide jangka panjang

Tomografi Komputer

Operasi

Gambar 9. Skema penatalaksanaan berbasis bukti rinosinusitis kronik tanpa polip


hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper
8
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

29
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pertimbangkan diagnosis lain :
hidung tersumbat atau sekret hidung
berwarnar; ± nyeri bagian frontal, sakit  Gejala unilateral
 Perdarahan
kepala;
 Krusta
 Kakosmia
Gangguan Penghidu
 Gejala Orbita
 Edema Periorbita
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi:
 Penglihatan ganda
Pertimbangkan Tomografi Komputer  Oftalmoplegi
 Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Tes Alergi  Edem frontal
 Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
Pertimbangkan diagnosis dan fokal
penatalaksanaan penyakit penyerta; misal
ASA
Ringan VAS 0-3 Sedang VAS 3-7 Berat VAS > 10

Perlu investigasi dan


intervensi cepat
Steroid topikal (spray) Steroid topikal tetes Steroid oral jangka
hidung pendek
Steroid topikal

Dievaluasi setelah 3
bulan Evaluasi setelah 1
bulan

Perbaikan Tidak membaik

Perbaikan Tidak membaik

Lanjutkan Steroid
Topikal Tomografi Komputer

Evaluasi setiap 6 Tindak lanjut Operasi


bulan Cuci hidung
Steroid topikal + oral
Antibiotika jangka
panjang

Gambar 10. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip


hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European
8
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

30
2.4.7. Komplikasi

Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa


rawat jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang
jarang kecuali jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun
tidak diketahui secara pasti, insiden dari komplikasi sinusitis
diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan bahwa insiden
komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi lain
menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi
dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan
oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya.
Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap
area yang mengalami kontaminasi.
4
Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain :
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak
ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada
sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa
komplikasi orbita atau intracranial.
CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan
derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita,
jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada
sinusitis refrakter, kronik atau berkomplikasi.

31

Komplikasi lokal
A. Osteomielitis
Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang
mengakibatkan osteomielitis baik di anterior maupun posterior
dinding sinus. Penyebaran infeksi dapat berasal langsung atau
dari vena yang berasal dari sinus. Osteomielitis paling banyak
ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali tulang terinfeksi,
bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan
mempermudah terjadinya penyebaran infeksi di bawah
subperiosteum yang berujung pembentukan abses subperiosteal.
Erosi bisa mempengaruhi bagian anterior atau posterior dari
dasar sinus yang mempermudah terjadinya penyebaran
ekstrakranial atau intrakranial. Jika abses subperiosteal
berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itu disebut
dengan Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor
selalu muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis
belum terbentuk pada usia di bawah 6 tahun.

Gambar 11. Gambaran Pott`s puffy tumor pada


osteomielitis

B. Mukokel

Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang


mengandung mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh
secara perlahan memakan waktu tahunan untuk menimbulkan
keluhan. Dan keluhan berhubungan dengan bertambah besarnya
mukokel. Sesuai dengan pertambahan besarnya, mukokel dapat

32
menekan dinding sinus sehingga mengawali erosi tulang. Setelah
terjadi erosi pada dinding sinus, mukokel dapat mengenai seluruh
struktur. Mukokel kebanyakan terjadi pada sinus frontalis, diikuti
dengan sinus etmoid dan maksila. Gejala dari sinus frontal atau
etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia dan proptosis.
Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah
dan luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara
tidak sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini
jarang menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan
mukokel jarang menjadi cukup besar untuk menyebabkan kelainan
pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala,
jika menghambat ostium sinus maksilaris. Mukokel dapat
bergejala pada setiap sinus ketika mukokel terinfeksi membentuk
mukopyocele. Gejalanya hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh CT scan
sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan
tindakan bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus.
Eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu drainase
4
yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip-prinsip terapi.

Gambar 12. Gambaran MRI mukokel sinus frontal bilateral

33

Infeksi orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat
operasi atau trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang
menyebar dari sinus yang terinfeksi. Oleh karena ruang orbita
dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus frontalis, etmoid, dan
maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar hingga
ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi
ke ruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan
antara dinding sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan
infeksi lebih mudah menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding
yang paling tipis, disebut lamina papyracea yang batas lateral dan
medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada orbita biasanya
dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus
yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali
infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding
sinus berperan sebagai barrier tambahan untuk memproteksi orbita
dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses di antara dinding
dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum
rusak maka akan terbentuk abses orbita.


Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu
hingga 3 kali setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik menurunkan
insiden komplikasi ini. Komplikasi dari intrakranial meliputi (1)
meningitis, (2) abses epidural, (3) abses subdural, (4) abses otak.
Pasien pada umumnya memiliki lebih dari satu komplikasi
intrakranial, seperti abses epidural/subdural terjadi bersamaan
dengan abses otak atau meningitis. Berikut ini frekuensi relatif
4
jumlah komplikasi intrakranial dari sinusitis.

34
Tabel 2. Frekuensi Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial Frekuensi relatif (%, range)
Meningitis 34 % (17 – 54)
Abses otak 27 % (0 – 50)
Abses epidural 23 % (0 – 44)
Abses subdural 24 % (9 – 86)
Persentase pasien dengan > 28 %
1 komplikasi intracranial

2.4.8. Prognosis
Sebanyak 98 % rinosinusitis viral akut akan sembuh sendiri (self
limiting), sementara rinosinusitis bakterialis memiliki angka insidens
kemambuhan sekitar 5 %. Jika setelah 48 jam pengobatan belum ada
perbaikan gejala secara bermakna, terapi perlu dievaluasi. Rinosinusitis
akut yang tidak ditangani secara adekuat dapat menajdi kronis dan
rinosinusitis kronik maupun akut berpotensi menimbulkan komplikasi
abses orbita, meningitis, abses otak, hingga tromboflebitis sinus
kavernosus.

35
BAB 3
PERSENTASI KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Alamat : serang
Pekerjaan : buruh

3.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada pasien di bangsal Dahlia RSDP


pada tanggal 20 Januari 2017

3.2.1. Keluhan Utama


Nyeri pada dahi dan pipi
3.2.2. Keluhan Tambahan
Nyeri disekitar hidung
Hidung tersumbat
Keluar sekret dari tenggorokan
Penciuman berkurang
3.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang pasien laki-laki datang ke poli THT Rumah Sakit Umum


Daerah dr. Drajat Prawiranegara Serang dengan keluhan nyeri pada dahi dan
pipi yang dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit.
nyeri dirasakan terus menerus di daerah dahi dan disekitar hidung, dan terdapat
nyeri tekan di daerah sekitar hidung. Pasien juga mengeluhkan sering merasa
pusing dan hidung tersumbat sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Selain
itu pasien juga mengeluhkan sering keluar sekret dari tenggorokan dan pencium
hidung sebelah kiri berkurang.

Pasien mengatakan sering bersin bersin pada pagi hari yang dirasakan
sejak kurang lebih 8 bulan sebelum masuk rumah sakit. pasien sebelumnya

36
sudah berobat ke poli THT dan dari hasil pemeriksaan didapatkan sinusitis dan
dilakukan operasi pada bulan oktober 2016.
3.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat paru (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat paru (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
3.3. Pemeriksaan Fisik
3.3.1. Keadaan Umum dan Tanda Vital

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : Tidak ada keluhan
3.3.2. Status Generalis
Kepala : Normocephale

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor

Hidung : Septum deviasi (+), sekret (+), nyeri tekan ar maxillaris (+),
hipertrofi konka inferior (+)
Telinga kanan : Bentuk normal, nyeri tragus (-), serumen (+), cone of light arah
jam 5
Telinga kiri : bentuk normal, nyeri tragus (-), serumen (+), cone of light arah
jam 7
Tenggorokan : uvula tidak deviasi, T1 – T1, hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : Simetris kanan dan kiri
Pulmo
 Inspeksi : gerakan pernafasan simetris dalam keadaan statis dan dinamis,
retraksi sela iga (-)
 Palpasi : fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri
 Perkusi : sonor, batas paru-hepar pada ICS VI
 Auskultasi : vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing -/-
Cor : bunyi jantung I dan II regular, gallop -, murmur –

37
Abdomen

 Inspeksi : Tampak datar dan tidak tampak adanya kelainan kulit


 Auskultasi : BU + normal
 Perkusi : Thympani diseluruh quadran abdomen, shifting dullness –
 Palpasi : Hepatomegaly -, splenomegaly –
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-,

3.3.3. Status Lokalis (THT)


a. Pemeriksaan Telinga
KANAN KIRI

Telinga Luar

Daun telinga Normotia Normotia

Retroaurikuler Tidak hiperemis Tidak hiperemis


Tidak ada abses Tidak ada abses
Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
Tidak ada fistel Tidak ada fistel

Liang Telinga

Lapang + +

Hiperemis - -

Sekret - -

Serumen - -

Membran timpani Intak Intak

Refleks cahaya + +

b. Pemeriksaan Hidung
KANAN KIRI

Pemeriksaan Luar

Deformitas - -

Nyeri tekan

38
Dahi + +

Pipi - +

Krepitasi - -

Rhinoskopi Anterior

Cavum nasi Lapang Lapang

Konka inferior Hipertrofi Hipertrofi

Konka media Tidak tampak Tidak tampak

Konka superior Tidak tampak Tidak tampak

Mukosa Edema, pucat Edema, pucat

Septum Todak ada deviasi deviasi

Sekret - -

Rhinokopi Posterior Tidak dilakukan Tidak dilakukan

c. Pemeriksaan Mulut dan Orofaring


Gigi

Gigi berlubang -

Lidah

Warna Merah muda

Bentuk Normoglossia

Deviasi Tidak ada

Tremor Tidak ada

Arkus faring + uvula

Simetris / tidak Arkus faring simetris, uvula ditengah

Warna Tidak ada hiperemis

Bercak eksudat Tidak ada

Peritonsil

39
Kanan Kiri

Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis

Edema Tidak ada Tidak ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Tonsil

Ukuran T1 T1

Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis

Permukaan Rata Rata

Kripta Normal Normal

Post nasal-drip +

Dinding faring posterior

Warna Tidak hipermis

Warna jaringan Tidak ada


granulasi
Permukaan Licin

3.4. Diagnosis Kerja

Sinusitis kronis + septum deviasi + konka hipertrofi

3.5. Pemeriksaan Penunjang


Pada tanggal 15 Mei 2017
Haemoglobin : 15.3 g/dl
Leukosit : 6.500 /uL
Hematocrit : 46.6 %
Trombosit : 295.000 /uL
Laju endap darah : 10 mm/jam
Bleeding time : 2
Clooting time : 7
GDS : 97
HbsAg : negative

40
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Sinusitis maksilaris kiri
Hipertrofi konkha nasalis
Deviasi septum nasi ke kiri

3.6. Penatalaksanaan

Sinusektomi + septoplasti + turbinektomi

3.7. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanactionam : Dubia ad bonam
Ad functionam : ad bonam

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editor. Kapita selekta kedokteran:


Rinosinusitis. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014
2. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139
3. Damayanti S, Dharmabakti US, Mangunkusumo E, Utama R, WardaniRS, Sari VA,
et al. Functional sinus surgery di indonesia. Diambil dari L:
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&
gid=271&Itemid=142. Diakses : 18 Desember 2014
4. Mangunkusumo E dan Soetjipto D. Buku ajar ilmu kesehatan tellinga hidung
tenggorok kepala & leher: Sinusitis. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
5. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal
dalam penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 26. Jakarta:
Binarupa Aksara, 2008
6. Gaillard F. Normal ostiomeatal complex diagram.
http://radiopaedia.org/images/428046 . Diakses : 18 Desember 2014
7. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
8. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di
Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam MalikMedan. Tesis.Medan :
FKUSU.2007
9. Byron J. Rhinosinusitis : Current Concepts and Management. Dalam Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 2001
10. Hilger PA. Penyakit Sinus Paranasalis dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT-
KL. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2004
11. Naclerio R, Gungor A. Etiologic Factors in Inflammatory Sinus Disease dalam
Disease of the sinuses diagnosis and management. Kennedy DW. London : B.C
Decker. 2001
12. Schwartz G, White S. Complications of Acute and Chronic Sinusitis and Their
management; dalam Sinusitis from Microbiology to Management. Brook I. New
York :Taylor and Francis Group. 2006

42

Anda mungkin juga menyukai