Anda di halaman 1dari 52

CASE REPORT

SPACE OCCUPYING LESION

Disusun oleh:

Michelle Sabatini Siregar

1765050271

Pembimbing:

dr. Cynthia M. Sahetapy, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

PERIODE 17 JUNI -20 JULI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

1
BAB I
PENDAHULUAN

II.1 Latar Belakang


Space occupying lesion merupakan lesi pada ruang intrakranial khususnya yang
mengenai otak. Penyebabnya meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak.
Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam
rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur
utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan
tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh konsep
pemahaman peningkatan tekanan intracranial.6
Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion. Di
Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut
Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit
neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum.1
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan, periode
September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space occupying lesion
intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada wanita. Selain itu, 18 kasus
ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus terjadi pada rentan usia 20-29 tahun,
13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus pada usia 40-49.1
Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan. Insiden
tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa pada usia 30-70
dengan pundak usia 40-65 tahun.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie


Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O
atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK)
dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu
sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang intra kranial adalah
suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang
tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml),
dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur
utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial.2,3
Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume dari
ruang tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra
kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie.
Isi ruang intra kranial adalah:
1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar,
kurang lebih 70%.
2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula,
dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas
variasi yang cukup besar.
3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan
tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat
dikeluarkan.

3
Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie5

Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari 20
mmHg dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk kenaikan
TIK berat.5
Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal
tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.
Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra
kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya

4
tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra
kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan
penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48 jam
dan berlangsung sampai hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).
Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi
Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus
diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi
kematian (Sumardjono,2004).

Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya5

II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial


II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)
didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder,
serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di

5
dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi tumor,
hematoma, dan abses.4,7

II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion


Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen yaitu
otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai sebuah
lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang
memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Timbulnya massa yang baru
di dalam kranium seperti neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial
normal akan menggeser sebagai konsekuensi dari space occupying lesion
(SOL).
Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus
ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini berasal
dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel
lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus koroideus dan
kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan yang disekresikan
di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam ventrikel ketiga. Setelah
mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga, cairan tersebut mengalir ke
bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke dalam ventrikel keempat. Cairan
ini keluar dari ventrikel keempat melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen
Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di tengah, dan memasuki
sisterna magna, yaitu suatu rongga cairan yang terletak di belakang medula
dan di bawah serebelum.6,7

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang


mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal
kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam vili
arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar dan
sinus venosus lainnya di serebrum.7

6
Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan


tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan
otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu
volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal
sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah
suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur
yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75
ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari
ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh
unsur lainnya dan menaikkan tekanan intracranial.2,6

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu


dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg.

7
Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg
dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab peningkatan
intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma kepala. Aneurisma
intrakranial yang pecah dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial secara mendadak sehingga mencapai tingkatan tekanan darah
arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan intrakranial pasca pecah aneurisma
sering kali diikuti dengan meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal
dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak
yang makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah
perlahan-lahan.6

Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan


Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.

8
II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion
1. Tumor Otak
Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses
desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga
tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun
infratentorial.3
Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada
prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi
klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan
tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan
histologis neoplasma, dikelompokkan atas kategori-kategori:
a. Benigna (jinak)
Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas,
tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar.
Selain itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak
adanya metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan
pengangkatan total. Secara histologis, menunjukkan struktur
sel yang reguler, pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel
yang rendah dengan diferensiasi struktur yang jelas parenkhim,
stroma yang tersusun teratur tanpa adanya formasi baru.
b. Maligna (ganas)
Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi
destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta
cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca
pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik


progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan

9
oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan
intrakranial.6,7
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan
otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan
kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor
yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai
darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi
secara akut dan gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang
sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa
tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar
sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.6
Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema
sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena
tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak
yang kaku. Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah
otak dapat menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan tekanan
intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel
lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus.4

10
Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa apabila


terjadi cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme
kompensasi antara lain bekerja menurunkan volume darah intrakranial,
volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel, dan mengurangi
sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak diobati
mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul
bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior melelui incisura
tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan
mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf
otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil serebelum bergeser ke
bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior.6,8
Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow berdasarkan
tampilan sitologinya dan dalam perkembangan selanjutnya
dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-peneliti lain dari
berbagai negara. Klasifikasi universal awal dipeloporo oleh Bailey dan
Cushing (1926) berdasarkan histogenesis sel tumor dan sel embrional
yang dikaitkan dengan diferensiasinya pada berbagai tingkatan dan
diperankan oleh faktor-faktor, seperti lokasi tumor, efek radiasi, usia

11
penderita, dan tindakan operasi yang dilakukan. Sedangkan pada
klasifikasi Kernohan (1949) didasari oleh sistem gradasi keganasan di
atas dan menghubungkannya dengan prognosis.8

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan
Astrositoma Astrositoma grade I dan II
Oligodendroglioma Oligodendroglioma grade I−IV
Ependioma Ependioma
Meduloblastoma Meduloblastoma
Glioblastoma multiforme Astrositoma grade III dan IV
Pinealoma (teratoma) Pinealoma
Ganglioneuroma (glioma) Neuroastrositoma grade I
Neuroblastoma Neuroastrositoma grade II−III
Papiloma pleksus khoroid Tumor campur
Tumor “unclassified”

2. Hematom Intrakranial
Hematom Epidural
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama
arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat,
2004).

12
Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan
tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian dari girus
hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik.6,7,8
Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda.
Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan
dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami sakit
kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala
neurologik yang teroenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar.7,8

Gambar 2.11 Hematom Epidural


Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak
terdorong kesisi lain

Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena

13
robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom
subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan
dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek.5
Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul
pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari
ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu
ketiga.5
Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma
sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang
tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat
antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala
minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam
foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.6
Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu
setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita hematom
subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat
kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Meningkatnya
tekanan intrakranial akibat timbunan hematom yang menyebabkan
menjadi sulit dibangunkan dan tidak merespon terhadap rangsangan
vebral maupun nyeri. Peningkatan tekanan intrakranial dan pergeseran
isi kranial akibat timbunan darah akan menyebabkan terjadinya herniasi

14
unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat kompresi
batang otak.3,6

Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan


hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang
(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap
sebagai neoplasma atau demensia.

15
Gambar 2.13 Hematom Subdural
(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)
Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong
kesisi lain

Higroma Subdural
Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin
disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.
Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput
arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang
subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan
intrakranial, sering tanpa tanda fokal.5

16
II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space
Occupying Intracranial

II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial


Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum
dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial. Namun
demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang memiliki semua
gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya umumnya dua.
Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial tergantung pada
penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak ada korelasi yang
konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya gejala.8
1. Nyeri Kepala
Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli bedah
saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia lokal
karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak tanpa
nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah arteria
meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar otak, sinus
venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa kranial.
Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak yang terjadi
membendung dan menggeser pembuluh darah serebral atau sinus
venosus serta cabang utamanya dan memperberat nyeri lokal.
Nyeri yang lebih terlokalisir diakibatkan oleh peregangan atau
penggeseran duramater didaerah basal dan batang saraf sensori
kranial kelima, kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga
disebabkan oleh spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini
mungkin berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila
mekanisme nyeri bekerja.8
Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara klasik
bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam satu-dua

17
jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya peningkatan tekanan
intrakrania; selama malam akibat posisi berbaring, peninggian
PCO2 selama tidur karena depresi pernafasan dan mungkin
karena penurunan reabsorpsi cairan serebrospinal.8

2. Muntah
Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh semua
sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan diagnosis
biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini mungkin
jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel keempat
yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi hampir
selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat obstruksi aliran
cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah menentukan
mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat peninggian tekanan
intrakranial biasanya timbul setelah bangun, sering bersama dengan
nyeri kepala pagi. Walau sering dijelaskan sebagai projektil,
maksudnya terjadi dengan kuat dan tanpa peringatan, hal ini
jarang merupakan gambaran yang menarik perhatian.
3. Papila Oedema
Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau
pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial yang menetap selama lebih dari beberapa hari
atau minggu. Oedema ini berhubungan dengan obstruksi cairan
serebrospinal, dimana peningkatan tekanan intrakranial pada
selubung nervus optikus menghalangi drainase vena dan aliran
aksoplasmik pada neuron optikus dan menyebabkan pembengkakan
pada diskus optikus dan retina serta pendarahan diskus. Papila
oedema tahap lanjut dapat menyebabkan terjadinya atrofi sekunder
papil nervus optikus.

18
II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit
kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema,
mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih
progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal
depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang
sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya
hanya memberikan gejalagejala yang umum. Tumor pada fossa posterior
atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala
fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum (Saanin, 2004,
Bradley, 2000).

1. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi


Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah
sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil
edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala
yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada
lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor
dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit
neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang
umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum.2,8

19
a. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak
yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan
intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh
perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik.
Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita.
Nyeri kepala ipsilateral pada tumor supratentorial sebanyak 80 %
dan terutama pada bagian frontal. Tumor pada fossa posterior
memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher. Sakit kepala
merupakan gejala umum yang dirasakan pada tumor intrakranium.
Sifat dari sakit kepala itu adalah nyeri berdenyut-denyut atau rasa
penuh di kepala seolaholah mau meledak. Nyerinya paling hebat
di pagi hari, karena selama tidur malam PCO2 arteri serebral
meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari CBF dan
dengan demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium.
Lokalisasai nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi
tumornya.
Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas, mungkin
saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma pada tahap
dini dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan gejala apapun.
Sebaliknya, astrositoma derajat 1 sekalipun dapat berefek buruk
jika menduduki daerah yang penting, misalnya daerah bicara
motorik Brocca.8
Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor
infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS. Karena
itu, sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk waktu yang lama
tidak menunjukkan gejala defisit neurologik. Tumor infratentorial
yang berlokasi di samping (unilateral) cepat menimbulkan gejala
defisit neurologik akibat pergeseran atau atau desakan terhadap

20
batang otak. Maka dari itu, tuli sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia
trigeminus, oftalmoplegia (paralisis otot-otot mata) dan paresis
(paralisis ringan) perifer fasialis dapat ditemukan pada
pemeriksaan.
Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan
dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh
oftalmoplegia (yang menimbulkan diplopia). Kombinasi pusing
kepala ataupun sakit kepala dan diplopia harus menimbulkan
kecurigaan terhadapa adanya tumor serebri, terutama tumor
serebri infratentorial.
b. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek
dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya
pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari,
dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah
kecurigaan adanya massa intrakranial.
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal
ini disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi selama
tidur malam, di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah dari
penderita dengan tekanan intrakranium meninggi adalah khas,
yaitu proyektil atau muncrat yang tanpa didahului mual.

c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan intrakranium
yang melonjak secara cepat, terutama sebagai gejala dari
glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya timbul pada tumor
di fosa kranium posterior.

d. Gangguan mental

21
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,
perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala
umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal.
Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma. (4,9,10) Tumor
di sebagian besar otak dapat mengakibatkan gangguan mental,
misalnya demensia, apatia, gangguan watak dan serta gangguan
intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi
terutama jika tumor tersebut mendesak sistem limbik (khususnya
amigdala dan girus cinguli) karena sistem limbik merupakan pusat
pengatur emosi.

e. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak,
sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi.
Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya
kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan
dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan
pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak
menetap.

f. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat
seperti astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling
sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor
pada lobus parietal dan temporal.

22
II.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Perubahan Tanda Vital:


a. Denyut Nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang
mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol
oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla. Apabila
tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi lambat dan
irregular dan akhirnya berhenti.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada
batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya
akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan pada pola
pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak. Pada bayi,
pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara
gejala-gejala awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat berkembang
dengan cepat ke respiratory arrest.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan
ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai
hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi
penurunan dari denyut nadi disertai dengan perubahan pada pola pernafasan.
Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .
d. Suhu Tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu
tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningktan

23
suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus atau edema
pada traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi Pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil
yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau
lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan
ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari
lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N.
okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus
diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan
antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki ukuran yang sama.
Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis
a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya
terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan
serta pemeriksaan gerakan bola mata
b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus
optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap
lanjut.
c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks
fisiologi, reflek patologis, dan klonus.
d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
 Foto polos kepala
 Arteriografi

24
 Computerized Tomografi (CT Scan)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying Lesion


Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan
dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma. Peningkatan
ICP pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan meningkatnya penggunaan
mikroskop dan teknik khusus untuk menghindari pengangkatan otak.
Peningkatan ICP adalah sebuah fenomena sementara yang berlangsung untuk
waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder segar karena hipoksia, bekuan
atau gangguan elektrolit. Pengobatan ditujukan untuk mencegah peristiwa
sekunder. ICP klinis dan pemantauan akan membantu. Berikut merupakan
tindakan yang dapat dilakukan.4,5

Trauma
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan
ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus
diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada
pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi
tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral
yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga
akan meningkatkan ICP.
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih
dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian

25
antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang
memadai harus diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala
dapat menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan
cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang
akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan
umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus
diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan karena apabila
kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi
pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan
memperlambat aliran balik vena.
Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada
autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat membahayakan
kondisi pasien dengan peningkatan ICP. Sehingga banyak praktisi
kesehatan yang kemudian menggunakan terapi profilaksis fenitoin,
terutama pada pasien dengan cedera kepala, perdarahan subaraknoid,
perdarahan intrakranial, dan kondisi yang lainnya. Penggunaan fenitoin
sebagai profilaksis pada pasein dengan tumor otak dapat menghasilkan
penurunan resiko untuk terjadinya kejang, tapi dengan efek samping yang
juga cukup besar.7,8

2. Penanganan Sekunder
 Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang lebih
dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada
perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen darah
dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga agar

26
PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF akan
turun dan volume darah otak berkurang dan dengan demikian
mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan harus
dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.
Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal dengan
PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140 mmHg.
Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil atau tekanan
nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya dengan
Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik O2, hipotermia masih
dalam tahap percobaan, terutama di Jepang. Mereka pada dasarnya
menyebabkan vasokonstriksi serebral dan mengurangi volume
darah otak dan ICP.7,8

a. Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika


permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan
osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik
untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan
benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum
digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger
radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol
dan urea merupak golongan yang jarang digunakan hari ini.
Beberapa teori telah dikemukakan mengenai mekanisme yang
mengurangi ICP
Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang menurunkan
viskositas darah dan menyebabkan vasokonstriksi yang
mengurangi volume darah otak dan menurunkan ICP dan dapat
mengurangi produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam
dosis kecil dapat melindungi otak dari iskemik karena
fleksibilitas eritrosit meningkat.

27
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas sawar
darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang signifikan
pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi
ekstra aksial.
c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma dari
ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh
drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24 jam
20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih umum secara
bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi. Efek Manitol pada
ICP maksimal adalah 1 / 2 jam setelah infus dan berlangsung
selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah aturan. Dosis yang benar
adalah dosis terkecil yang akan berpengaruh cukup terhadap
ICP. Ketika dosis berulang diperlukan, penggunaan garis dasar
osmolalitas serum meningkat secara bertahap dan saat ini
melebihi 330 mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan.
Penggunaan lebih lanjut tidak efektif dan cenderung
menimbulkan gagal ginjal. Diuretik seperti furosemid, baik
sendiri atau bersama dengan bantuan manitol untuk
mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas serum awal
sebelum dosis berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa
furosemid manitol dapat meningkatkan output. Beberapa
memberikan furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi
overload sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena
pembalikan gradien osmoICP sebagai akibat kebocoran
progresif dari agen osmotik melintasi penghalang darah otak
rusak, atau karena ICP yang meningkat kembali.

3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal,


tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi

28
lipid dimediasi radikal bebas dan menekan metabolisme serebral;
persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume darah otak
yang berkurang mengakibatkan penurunan ICP. Fenobarbital yang paling
banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30 menit dan 1-
3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk memantau dekat
ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus menemani setiap terapi obat
tidur.

4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan
masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas dinding
sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema. Barbiturat
dan agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan arteri sehingga
mengurangi ICP. Selain itu mengurangi metabolisme otak dan permintaan
energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik.

5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi yang


lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh
yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin
menurunkan ICP dengan menurunkan metabolisme dari otak. Metode
terapi hipotermia selama 48 jam atau kurang dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8 jam atau lebih dapat
dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan ICP.. Penggunaan metode
ini hanya direkomendasikan pada ahli yang berpengalaman yang benar-
benar mengerti perubahan fisiologi yang berhubungan dengan hipotermia
dan mampu merespon dengan cepat perubahan tersebut. Komplikasi dari
metode hipotermia ini meliputi depresi jantung pada suhu di bawah 32°C.
dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia
telah dilaporkan pada metode terapi ini.

29
Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat
dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan
diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis
didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari
nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan
penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan
memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150 mg/dL
memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate. Pemberian
platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada pasien dengan
jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu perdarahan
memanjang.

6. Intervensi bedah
Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur
secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter dapat
dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk
mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe ini
dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain). Pada situasi yang jarang
terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan untuk
mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi lumbal dapat digunakan
sebagai suatu tindakan pengobatan.
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara membuat
suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi adalah suatu
tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan untuk peningkatan
tekanan intrakranial, dimana dilakukan pengangkatan bagian tertentu dari
tulang tengkorak kepala dan duramater dibebaskan agar otak dapat
membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala

30
yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan
pada perut pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari
peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan
sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan
pemasangan material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty.3,4
Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.
Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat
tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat
bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma otak,
abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi tekanan
intrakranial, atau biopsi.6
Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan lokasi
dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging. Neuroimaging
yang dapat dilakukan adalah :
 CT scan
 MRI
 Arteriogram
Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan
pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan mengurangi
resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah operasi. Obat-obatan
seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID memiliki hubungan dengan
meningkatnya bekuan darah yang terjadi pasca operasi. Obat-obatan ini
harus disuntikkan 7 hari sebelum operasi agar efeknya hilang sebelum
operasi dilakukan.Sebagai tambahan, dibutuhkan pemeriksaan
laboratorium yang rutin atau yang khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien
tidak boleh makan dan minum 6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien
harus dicukur sesaat sebelum operasi dimulai Ada dua metode yang

31
umumnya digunakan untuk membuka tengkorak. Insisi dibuat pada daerah
leher di sekitar os. Occipital atau insisi melengkung yang dibuat di bagian
depan telinga yang melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga
sejauh membran tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama
insisi dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak
mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan
suplai darah.6
Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan
menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti pola
lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang telah ada
hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan akses ke dalam
kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di dalam otak. Setelah
mengangkat lesi di dalam otak atau setelah prosedur yang lainnya selesai,
tulang dikembalikan ke posisi semula dengan menggunakan kawat halus.
Membran, otot, dan kulit dijahit dalam posisinya. Apabila lesinya adalah
suatu aneurisma, maka arteri yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah
tumor, sebanyak mungkin bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan
malformasi arteri vena, kelainannya dipotong kemudian disambung
kembali dengan pembuluh darah yang normal.7

Hidrosepalus
Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak
beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat
shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang
tersumbat ke tempat lain dengan menggunakan alat sejenis kateter
berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus berkembang, seperti Matson (1951)
menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke saluran kencing (ventrikulo
ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari rongga ventrikel ke
rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter (1952), Scott (1955),

32
dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan pintasan ke arah ruang
jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut (ventrikulo-peritoneal)
yang alirannya searah dengan menggunakan katup pengaman.Teknologi
pintasan terus berkembang dengan ditemukan bahan-bahan yang inert seperti
silikon yang sebelumnya menggunakan bahan polietilen. Hal itu penting
karena selang pintasan itu ditanam di jaringan otak, kulit, dan rongga perut
dalam waktu yang lama bahkan seumur hidup penderita sehingga perlu
dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh. Tindakan dilakukan terhadap
penderita yang telah dibius total, ada sayatan kecil di daerah kepala dan
dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak yang selanjutnya
selang pintasan ventrikel di pasang, disusul kemudian dibuat sayatan kecil di
daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan rongga perut
antara kedua ujung selang tersebut dihubungkan dengan sebuah selang
pintasan yang ditanam di bawah kulit sehingga tidak terlihat dari luar.7,8

33
BAB III

STATUS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 62 tahun

Alamat : Pangkalan Jati RT 02/ RW 12

Pekerjaan : Pensiunan

Pendidikan : SMP

Agama : Islam

Suku : Jawa

Status : Sudah menikah

Tanggal Masuk : 12 Juni 2019

Anamnesis

Alloanamnesis tanggal : 12-06-2019

 Keluhan utama : Lemah separuh badan kanan


 Keluhan Tambahan : Pusing, nyeri kepala, mual dan muntah

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien laki-laki datang ke IGD dengan keluhan lemah separuh badan kanan.
Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 hari SMRS. Lemah separuh

34
badan dirasakan hingga mengganggu aktivitas pasien. Pasien merasakan lemah
saat sedang duduk dirumahnya. Pasien juga mengeluh nyeri kepala sejak 2 hari
SMRS, nyeri tidak dapat dilokalisir oleh pasien. Pasien juga saat ini mengeluh
pusing namun tidak berputar, mual (+) dan muntah (+) 1x berisi cairan.
Penglihatan ganda (-), penglihatan buram (-), sesak (-) telinga berdenging (-), rasa
kebas disekitar mulut (-), kesemutan di tangan dan kaki disangkal. BAB dan
BAK Normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu

• Pasien sebelumnya pernah dibawa ke UGD dengan keluhan lemah separuh


badan kanan sekitar 6 bulan yang lalu.

• Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan kolesterol tinggi disangkal. Riwayat


alergi dan asma disangkal.

• Riwayat stroke disangkal.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

 Riwayat stroke, hipertensi, diabetes mellitus, asma dalam anggota keluarga


disangkal
 Keluarga pasien tidak mengetahui ada atau tidaknya riwayat kolesterol tinggi
(tidak pernah diperiksa)

Riwayat Kebiasaan Pribadi

• Pasien suka makanan yang tinggi lemak seperti makan makanan asin dan
gorengan.
• Pasien merokok 1 bungkus sehari (rokok filter) sejak kurang lebih 20 tahun.
• Pasien tidak minum alkohol.
• Pasien memiliki kebiasaan jarang olahraga.

35
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis:
 Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : GCS (E2M6V5)
 Tekanan Darah : 140/80 mmHg
 Nadi : 83 x/menit
 Pernafasan : 23 x/menit
 Suhu : 36,8° C

Pemeriksaan Fisik Umum

Umur klinis : 60 tahun

Bentuk badan : Biasa

Gizi : BB 66 kg, TB 158 cm, IMT: 26,43 (overweight)

Stigmata : Tidak ada

Kulit : Sawo matang

Turgor : Baik

KGB : Tidak teraba membesar

Kuku : Tidak sianosis

Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran Pembuluh Darah

- Arteri karotis : Palpasi kanan dan kiri : denyut +/+

auskultasi : bruit (-)

36
Status Regional

Kepala : Normocephali
Wajah : Asimetris
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Cavum nasi lapang, Lapang +/+, Sekret -/-
Mulut & Tenggorok : Mukosa bibir merah muda, sianosis (-), hiperemis (-), faring
tidak hiperemis
Telinga : Normotia,CAE lapang / lapang, membran timpani intak/intak
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O

Thoraks : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri, diameter


laterolateral>anteroposterior, pelebaran pembuluh darah (-)
Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru : Pergerakan dinding dada simetris, vocal fremitus simetris


kanan dan kiri, sonor-sonor, BND vesikuler, Ronkhi -/-,
Wheezing (-)/(-)
Abdomen : Tampak datar, BU (+) 4x/menit, supel, nyeri tekan (-), nyeri
ketuk (-)
Hepar : Tidak teraba membesar
Lien : Tidak teraba membesar
Genitalia externa : Tidak Dilakukan pemeriksaan
Extremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema -/-
Sendi : Nyeri tekan (-)
Otot : Nyeri tekan (-)
Gerakan leher : Dalam batas normal
Gerakan tubuh : Dalam batas normal
Nyeri ketok : Tidak ada

37
Nyeri Sumbu : Tidak ada

Status Neurologi

1. Rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-/-
Brudzinski II : - / -
Kernig :-/-
Laseque : >70º / >70º

2. Pemeriksaan Nervus Kranialis


N.I (Olfaktorius)
Tes penghidu : normosmia/normosmia

N.II (Optikus)
Visus : kasar
Lihat warna : baik
Lapang pandang : luas
Funduscopy : tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Okulomorius, Troklearis, Abdusens)


Sikap bola mata : di tengah
Ptosis : -/-
Strabismus : -/-
Enoptalmus : -/-
Eksoptalmus : -/-
Diplopia : -/-

38
Deviasi konjugee : -/-
Pergerakan bola mata : tidak dilakukan
Pupil : Bulat/bulat, isokor 3mm/3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung : +/+
Refleks akomodasi : Baik

N.V (Trigeminus) :

 Motorik :
Gerakan membuka dan menutup mulut : tidak bisa dilakukan

Gerakan rahang ke lateral : tidak bisa dilakukan

Menggigit (palpasi) :
M. maseter : +/+

M. temporalis : +/+

 Sensorik :
Rasa nyeri : normoestesi/normoestesi

Rasa raba : normoestesi/normoestesi

Rasa suhu : tidak dilakukan

 Refleks :
Refleks kornea : +/+

Refleks maseter : +

39
N.VII (Fasialis) :

Sikap wajah : simetris

Angkat alis : +/+

Kerut dahi : +/+

Kembung pipi : +/+

Lagoftalmus : -/-

Menyeringai : SNL mendatar kanan

Fenomena Chovstek :-

N. VIII (Vestibulocochlearis)

Nistagmus : -/-

Vertigo :-

Suara berbisik : tidak dilakukan

Gesekan jari : +/+

Tes Rinne : hantaran udara lebih baik dari hantaran tulang

Tes Weber : tidak terdapat lateralisasi

Tes Schwabach : sama dengan pemeriksa

N. IX, X (Glossofaringeus, Vagus):

40
Arkus faring : simetris (di tengah)

Palatum molle : intak

Disfoni :-

Rinolali :-

Disartria : sulit dinilai

Disfagia :-

Batuk :+

Menelan : sulit dinila

Gag reflex :+

Refleks sinus caroticus: Tidak dilakukan

Refleks okulokardiak : Tidak dilakukan

N. XI (Aksesorius)

Angkat bahu : -/-

Menoleh :-/-

N. XII (Hipoglossus)

Sikap lidah :-

Julur lidah :-

Atrofi :-

Fasikulasi :-

41
Tremor :-

Tenaga otot lidah : baik

3. Motorik

 Gerakan spontan abnormal:


Kejang : -

Tetani : -

Tremor: -

Khorea: -

Atetosis: -

Balismus: -

Diskinesia : -

Mioklonik: -

 Trofi otot
o Lengan : Eutrofi
o Tungkai : Eutrofi
 Derajat kekuatan otot
3333 | 5555
3333 | 5555
Kesan: Hemiparese dextra
 Tonus Otot
o Lengan: hipertonus/ normotonus
o Tungkai: hipertonus/ normotonus
 Berdiri : tidak dilakukan
 Jongkok-berdiri: tidak dilakukan

42
 Jalan: -langkah : tidak dilakukan
 -lenggang lengan : tidak dilakukan
 Diatas tumit : tidak dilakukan
 Jinjit : tidak dilakukan

4. Koordinasi

Koordinasi

Statis

Duduk : baik

Berdiri : baik

Tes romberg : tidak dilakukan

Tes romberg dipertajam : tidak dilakukan

Dinamis

Telunjuk-hidung : normometri

Jari-jari: normometri

Tremor intensi : -

Disdiadokinesis : normometri

Dismetri: -

Menulis: tidak dilakukan

Rebound phenomenon: tidak dilakukan

Tumit lutut: normometri

43
Bicara (disatria) : -

5. Refleks

 Fisiologis
Biseps : ++/+

Triseps : ++/+

Brachioradialis : ++/+

Brachioulnaris : ++/+

KPR : ++/+

APR : ++/+

 Patologis
Hoffmann tromner: -/-

Babinski +/-

Chaddock +/-

Gordon +/-

Oppenheim -/-

Schaefer -/-

Rossolimo -/-

Mendel bechtrew -/-

44
Klonus lutut -/-

Klonus kaki -/-

6. Sensibilitas

 Eksteroseptif
Rasa Raba : sulit dinilai

Rasa Nyeri : sulit dinilai

Rasa Suhu : tidak dilakukan

 Propioseptif
Rasa Getar : sulit dinilai

Rasa Sikap : sulit dinilai

7. Vegetatif

Miksi : Kateter

Defekasi : Normal

Salivasi : Normosalivasi

Sekresi keringat : Normohidrosis

Fungsi seks : Tidak dilakukan

8. Fungsi Luhur :

Memori : sulit dinilai

Bahasa : sulit dinilai

45
Kognitif : sulit dinilai

Afek dan Emosi : sulit dinilai

Visuospasial : sulit dinilai

9. Tanda-tanda regresi

Refleks mengisap : tidak ada

Refleks menggigit : tidak ada

Refleks memegang : tidak ada

Snout refleks : tidak ada

10. Palpasi saraf tepi

Nervus ulnaris : teraba, tidak membesar

Nervus aurikularis magnus : teraba, tidak membesar

Resume

Pasien datang ke IGD RS UKI dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS.
Pasien tidak sadarkan diri sejak dibawa dari rumah sampai ke RS UKI. Keluarga
mengatakan bahwa awalnya, pasien pingsan dan jatuh di kamar mandi dengan posisi
duduk dan kepala sempat terbentur. Beberapa saat kemudian, pasien sadar kembali
dan muntah sebanyak 2 kali berisi air. Pasien tidak mengeluhkan mual sebelum
muntah. Dalam perjalanan dari rumah ke rumah sakit, keluarga mengatakan kesadaran
pasien menurun, namun diajak berbicara sepatah dan dua patah kata masih dapat
mengangguk dan menggelengkan kepala. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah
sakit kepala di sisi kepala belakang hingga ke tengkuk yang hilang timbul sejak 3

46
tahun lalu, namun beberapa hari terakhir sakitnya dirasakan menetap, serta lemah
setengah badan sebelah kanan. Pasien memiliki riwayat stroke tahun 2016 dan
diketahui menderita hipertensi sejak 2 tahun lalu, mengonsumsi Captopril secara tidak
teratur. Kebiasaan pribadi pasien adalah serimg mengonsumsi makanan tinggi garam,
gorengan, serta jarang berolahraga.

Status Generalis:
 Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
 Kesadaran : GCS (E2M6V5)
 Tekanan Darah : 140/80 mmHg
 Nadi : 83 x/menit
 Pernafasan : 23 x/menit
 Suhu : 36,8° C

Status Neurologis

N. VII :

SNL mendatar kanan

Derajat kekuatan otot :

 Tonus Otot
o Lengan: normotonus/ normotonus
o Tungkai: normotonus/ normotonus
Refleks

 Fisiologis
Normorefleks

47
 Patologis
Babinski +/-

Diagnosa

Diagnosis Klinis : Hemiparese dextra, parese nervus VII tipe sentral

Topis : Korteks serebri hemisfer dextra

Etiologi : Stroke non hemoragik

Diagnosa Banding : Space Occupying Lesion

Pemeriksaan Penunjang : CT-Brain non kontras, EKG, ureum darah, creatinine


darah, elektrolit, pemeriksaan darah rutin (H2TL), GDS

48
Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan darah (12/06/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Natrium 139 mmol/L 136 – 145

Kalium 3.5 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 105 mmol/L 99 – 111

Hemoglobin 12.8 g/dl 14 – 16

Leukosit 10.4 ribu/uL 5 – 10

Hematokrit 38.1 % 40 – 48

Trombosit 337 ribu/uL 150 – 400

Ureum darah 32 mg/dl 14 – 16

Creatinin darah 0.94 mg/dl 0.70 – 1.10

Gula darah sewaktu 100 mg/dl <200

Gambar 3.1 Hasil Elektrokardiogram Pasien


Gambar 3.3. CT Scan Pasien

1
Terapi IGD

a) Non-medikamentosa
 Pro rawat inap
 Diet : Lunak
 IVFD : III RL/24 jam

b) Medikamentosa
Mm/

 Aspilet 1x80 mg (PO)

Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad malam

Ad Fungsionam : Dubia

2
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil


Utama Riskesdas 2018. (Diakses pada 03 Juli 2019)

2. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar


Neurologi Buku 2. Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia, 2017.
3. Dewanto, G. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Lumbantobing, SM. 2015. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Mardjono M, Sidharta P. 2008. Dalam: Neurologi klinis dasar. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universtas Indonesia.
6. Price, AS., Lorraine, WM. 2006. Patofisiologi Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Robins, Kumar, Cotran. 2009. Buku Ajar Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Satyanegara. 2014. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi 5. Jakarta: Percetakan PT
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai