Pembimbing:
Dr. Med. dr.Jannes Fritz Tan, Sp.M
Disusun oleh:
Merien Stephanie Siregar 1865050014
Karisha Valydia N Panjaitan 1765050055
Rhinza Seputra M Simanjuntak 1865050023
Nathaniel Christopher Maryono 1765050080
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Referat yang berjudul Pseudophakic Bullous Keratopathy.
Tujuan penulisan tugas Referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa
mengenai Pseudophakic Bullous Keratopathy. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dr. Med. dr.Jannes Fritz Tan, Sp.M selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan serta arahan yang baik kepada penulis selama penulisan tugas Referat ini
2. Para dokter spesialis mata, dokter asisten dan staff Rumah Sakit Umum Universitas
Kristen Indonesia yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas
Referat ini.
3. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis
sehingga penulisan tugas Referat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas Referat ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi ..................................................................................................................3
2.3 Faktor risiko & etiologi.................................................................................................4
2.4 Patofisiologi.....................................................................................................................5
2.5 Diagnosis.........................................................................................................................6
2.6 Tatalaksana.....................................................................................................................7
2.6.1 Tatalaksana konvensional..........................................................................................7
2.6.2 Tatalaksana operatif...................................................................................................8
2.7 Prognosis......................................................................................................................14
BAB III....................................................................................................................................15
KESIMPULAN.......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
trauma tidak langsung intra operatif, irigasi yang berkepanjangan, reaksi toksis terhadap
bahan-bahan intra operatif, reaksi inflamasi, dan peningkatan tekanan intra okuler.
Apabila endotel kornea mengalami kerusakan, dapat menimbulkan spektrum
gejala yang sama seperti pada distrofi Fuchs. Cedera ini terlihat sebagai lesi “jalur siput”
atau garis abu-abu serpentin pada endotelium. Di antara penyakit kornea, bulosa
keratopati (BKP) adalah penyebab utama yang dapat mengakibatkan hilangnya
penglihatan. Insidensi Keratopati bulosa adalah 1-2% di berbagai belahan dunia, 1-3%
mengalami penurunan visus, rasa sakit dan tidak nyaman pada mata, mata berair dan
merah, fotofobia. Beberapa pilihan terapi sebagai tatalaksana pada kasus ini bervariasi,
tergantung pada kondisi klinis. Pilihan terapi berupa observasi, yang dilakukan pada
pasien dengan kondisi ringan dan sembuh dalam beberapa bulan paska operasi. Pasien
yang bergejala biasanya diobati dengan saline hipertonik topikal, steroid topikal ringan,
dan lensa kontak perban sampai solusi bedah direncanakan. Penetrating keratoplasty (PK)
tidak lagi dianggap sebagai solusi utama - saat ini lebih umum untuk melakukan
Descemet Membrane Endothelial Keratoplasty (DMEK) untuk pasien dengan disfungsi
endotel saja. Pendekatan selektif ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan PK dan
Descemet Stripping Automated Endothelial Keratoplasty (DSAEK) yaitu, rehabilitasi
visual cepat, tindakan pembedahan yang lebih sedikit sehingga mengurangi resiko
terjadinya astigmatisme, berkurangnya resiko insiden penolakan cangkok dan preservasi
biomekanik kornea.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Keratopati pseudofakia bulosa merupakan penyakit komplikasi paska
pembedahan katarak dimana terjadi penurunan jumlah sel endotel kornea diikuti dengan
edema stroma yang progresif yang berakibat pada penurunan visus dan dapat
menyebabkan kebutaan. Akibat dari kerusakan sel endotel kornea, penderita dapat
mengalami tanda-tanda seperti rasa tidak nyaman disertai rasa sakit pada mata, mata
berair dan merah, fotofobia.
2.2 Epidemiologi
Insidensi terjadinya kasus Keratopati pseudofakia bulosa adalah 1-2% di berbagai
belahan dunia. Di antara penyakit kornea, pseudofakia keratopati bulosa adalah penyebab
utama yang dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan. 1-3% mengalami penurunan
visus, rasa sakit dan tidak nyaman pada mata, mata berair dan merah, fotofobia. Kejadian
PBK telah meningkat secara progresif sejak tahun 1980 - 1995 dan menjadi indikasi
paling sering sekitar 26% untuk dilakukannya tindakan penetrating keratoplasty. Insiden
PBK setelah ekstraksi katarak intrakapsular telah dilaporkan setinggi 6% sedangkan
setelah ekstraksiapsular dengan ruang anterior IOL pada satu tahun menjadi 1,2%,
dengan Iris claw IOL 1,5% dan dengan ruang posterior IOL menjadi 0,06%. Studi
mikroskopik spesifik pada pasien yang menjalani ekstraksi katarak dengan IOL telah
menemukan kehilangan sel endotel yang bervariasi dari 7% hingga 62%. Hasil data
menurut World Health Organization, dilaporkan pada tahun 2009, penyakit pada kornea
mata adalah salah satu dari empat penyebab utama tertinggi di dunia yang dapat
mengakibatkan kebutaan.
3
2.3 Faktor Risiko & Etiologi
Mata dengan faktor risiko jumlah sel endotelial pre-operatif yang rendah memiliki
risiko tinggi mengalami PBK3:
1. Faktor Risiko Preoperatif;
Pemeriksaan preoperatif terhadap hitung sel endotel dengan mikroskop spekular
merupakan pemeriksaan yang penting. Pasien dengan hitung sel endotel dibawah
2000 sel/mm2, memiliki risiko yang lebih besar terhadap terjadinya
pseudoexfoliation syndrome, bulous keratopaty, maupun edem kornea persisten.
Khususnya pasien dengan riwayat penyakit diabetes mellitus dan riwayat trauma.3
2. Faktor Risiko Intraoperatif;
Faktor ini terkait dengan teknik pembedahan katarak dan langkah-langkah yang
dikerjakan. Dari sisi langkah pengerjaan, ablasi membran descemet sering ditemukan
pada operator yang melakukan insisi pada kornea. Keadaan ini akan mempermudah
timbulnya edema kornea post operasi. Dari segi lensa tanam, lensa intraokular yang
terbuat dari methacrylate dapat melekat pada permukaan endotel saat terjadi kontak
waktu insersi IOL, penggunaan kanula viskoelastik yang berulang akan menyisakan
residu di ujung alat yang bersifat toksik terhadap mata. Pada saat irigasi, larutan
saline fisiologis dapat menyebabkan kornea membengkak dan membahayakan
endotel, larutan ringer laktat justru memiliki lebih sedikit bahaya. Sementara itu
larutan BSS (Balanced Salt Solution) yang diperkaya dengan bikarbonat, dekstrosa
dan glutation (BSS plus) melindungi endotel kornea lebih baik dibandingkan BSS
saja.3
4
Lensa tanam merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian
pseudofakic bulous keratopathy. IOL pada bilik anterior (anterior chamber)
berkontribusi terhadap terjadi persentuhan antara IOL dan kornea, dimana haptik
IOL dan footplate dapat menyebabkan iritasi kronik dengan inflamasi sedang. IOL
juga diketahui dapat mengganggu aliran normal dari humor aquos yang membawa
nutrisi bagi endotel kornea. IOL tipe iris supported dapat menyebabkan kehilangan
sel endotel yang lebih banyak sebab kontak antara IOL dan endotel yang cukup
banyak selama mata bergerak.3
3. Faktor Risiko Postoperatif; Tindakan phacoemulsifikasi yang rutin memiliki
insidens kehilangan sel endotel 9%11,9% dalam 1 tahun post operasi. Tanpa
memperhatikan jenis operasi katarak dan jenis IOL yang ditanam, maka penurunan
jumlah sel endotel akan terus berlangsung lebih dari 1% dari jumlah endotel.
2.4 Patofisiologi
Ketebalan rata-rata kornea normal orang dewasa adalah sekitar 550μm pada
Kaukasian dan menetap antara dekade kedua dan keenam, namun bervariasi seiring
berjalannya waktu dan ras.4
Kornea memiliki lima lapisan dari anterior sampai posterior: epitelium, membran
Bowman, stroma, membrane Descemet, dan endothelium. Komposisi stroma tidak
seragam; stroma anterior dengan rasio dermatan sulfat sampai keratan sulfat yang lebih
tinggi, membuat stroma posterior lebih mudah untuk mengembang dengan air yang
berlebih pada keadaan disfungsi endotel.4
Pada mulanya diduga mekanisme penyakit ini diawali oleh kerusakan sel endotel
kornea yang disebabkan oleh beberapa mekanisme seperti trauma tidak langsung intra
operatif, irigasi yang berkepanjangan, reaksi toksis terhadap bahanbahan intra operatif,
reaksi inflamasi, dan peningkatan tekanan intra okuler.3
Studi immunohistokemikal menunjukkan deposit komponen matriks ekstraseluler,
seperti fibrilin-1 yang merupakan kelompok protein matriks ekstraselular yang berkaitan
dengan mikrofibril elastis dan tenascin-C, merupakan glikoprotein dengan peranan
penting dalam menyembuhkan dan ditemukan pada lapisan kolagen posterior atau area
fibrotik subepitelial kornea dengan keratopati bulosa.4
5
Faktor pertumbuhan dan sitokin memengaruhi proliferasi sel, inflamasi,
pembentukan luka, dan fibrosis. Peningkatan level interleukin-2 (IL-2), interleukin-8 (IL-
8), faktor pertumbuhan insulin (IGF-1), faktor pertumbuhan pengubah (TGF- β) dan
faktor sumsum tulang-4 (BMP-4) ditemukan pada kornea dengan keratopati bulosa.
Interaksi antara faktor pertumbuhan dan matriks ekstraselular mengurangi matriks
metalloprotein yang penting dan dapat menjadi mekanisme dari berkurangnya
transparansi kornea.4
Deturgesens kornea diatur oleh adenosine natrium/kalium-teraktivasi trifosfat sel
endotel dan oleh persimpangan ketat antara sel-sel endothelial yang membatasi masuknya
cairan. Dengan mengeluarkan cairan dari stroma dan membatasi pemasukannya, sel-sel
endotel menjaga pengaturan kolagen dan mempertahankan transparansi kornea. Pada
densitas sel endotel, kekurangan persimpangan ketat antar sel endotel memungkinkan
peningkatan masuknya cairan ke dalam stroma. Sel-sel endotel yang tersisa dapat
memiliki konsentrasi Na+, K+-ATPase yang lebih tinggi sebaga mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan pengeluaran cairan.4
Densitas sel endotel normal adalah lebih dari 3500 sel/𝑚𝑚2 pada anak-anak dan
secara teratur berkurang sesuai usia sampai sekitar 2000 sel/𝑚𝑚2 pada orang yang lebih
tua, dengan rata-rata 2400 sel/𝑚𝑚2 pada dewasa. Setelah itu, rata-rata sel berkurang
sekitar 0,6 persen per tahun dengan peningkatan risiko edema saat densitas sel turun
drastis di bawah 700 sel/𝑚𝑚2..4
2.5 Diagnosis
Manifestasi Klinik :
Pasien mungkin bisa tidak menunjukkan gejala. Pada tahap awal, pasien dapat
mencatat penurunan tajam dalam ketajaman visual dan sensitivitas kontras. Pada tahap
yang lebih lanjut, pasien dapat mencatat penurunan penglihatan yang signifikan sesuai
dengan adanya edema epitel. Mereka juga dapat mendukung ketidaknyamanan dan rasa
sakit, karena pembengkakan epitel dengan hasil peregangan saraf kornea atau dari bula
kornea yang pecah.3
6
Untuk Anamnesis riwayat penyakit; keluhan nyeri hebat yang dirasakan pasien,
fotofobia, epifora. Memiliki riwayat operasi katarak dengan metode operasi dan riwayat
pemakaian IOL (anterior chamber atau afakia), dan riwayat penderita diabetes mellitus.3
Pemeriksaan Fisik :
Visus turun, kornea tampak keruh dan dapat disertai adanya bula, konjungtiva
mild hiperemis, segmen posterior sulit dinilai dengan funduskopi direk karena visual
aksis terhalang kekeruhan kornea.3
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan slit lamp dapat menunjukkan edema kornea sentral dengan
penebalan kornea yang terkait dan adanya lipatan kornea yang dalam. Tanda-tanda
komplikasi bedah intra-operasi sebelumnya termasuk cacat transiluminasi iris,
ketidakteraturan pupil, kapsul posterior yang pecah, dan adanya cairan vitreous di ruang
anterior dapat ditemukan. Lokasi dan jenis lensa intraokular, jika ada, harus diperhatikan.
Pemeriksaan hati-hati dari endotel kornea harus dilakukan. Pada tahap PBK yang lebih
lanjut, bula dan vesikel dapat diamati pada permukaan kornea. Mata kontra lateral harus
diperiksa untuk mencari distrofi kornea endotel yang mendasarinya.3
Pemeriksaan lain yang juga penting adalah ultrasound pachymetry and optical
pachymetry. Keduanya digunakan untuk mengukur ketebalan kornea. Ketebalan kornea
normal adalah 550 um dibagian sentral dan meningkat mencapai 770 um di daerah
perifer. Ketebalan kornea lebih dari 0.6 mm (600 um) merupakan suspek edema kornea.3
2.6 Tatalaksana
7
Agen hiperosmotik; yaitu berupa Natrium klorida 2% dan 5% dimana agen ini
menciptakan tear film yang bersifat hipertonik, menarik air keluar dari kornea
sehingga diharapkan menurangi edema kornea dan memperbaiki visus.
Agen penurun tekanan intraokular; pilihannya adalah golongan βblockers & a-
agonists
Tujuan utama pemakaian lensa kontak adalah untuk mengurangi nyeri terkait
adanya bullae pada epitel kornea. Lensa jenis ini tidak mengurangi jumlah edema serta
tidak memperbaiki visual pasien dalam hal kemampuan melapisi permukaan kornea yang
ireguler. Lensa kontak jenis ini dapat dipakai bersama dengan penggunaan tetes mata 5%
saline.3,5
b. Penetrating keratoplasty
8
Endothelial Keratoplasty menjadi pilihan sangat baik. Keuntungan dari prosedur ini tetap
mempertahankan lapisan kornea yang sehat, mencegah komplikasi postoperative lanjutan
dan astigmat paska operasi yang sangat minimal, selain itu tindakan DLEK memberikan
pemulihan visual yang lebih baik dibanding keratoplasti tembus.2
Metode ini melibatkan radiasi Riboflavin dan ultraviolet A (UVA) adalah proses
fotokimia yang diperkenalkan oleh Seiler dan Spoerl di University of Dresden untuk
perawatan kelainan ektatik kornea seperti keratoconus dan pasca ektasia LASIK. CXL
kornea dianggap sebagai modalitas terapi baru dalam mengurangi edema kornea pada
pasien dengan keratopati bulosa, ulkus kornea dan ektasia kornea. Telah dibuktikan dapat
meningkatkan transparansi kornea, ketebalan kornea, dan nyeri pasca operasi. Studi yang
berbeda memaparkan metode ini memberikan hasil berupa peningkatan konsistensi dan
resistensi stroma kornea.1,2
Mekanisme dari metode ini adalah Riboflavin menyerap sinar UVA, yang
menghasilkan reaktif oksigen spesies. ROS ini kemudian menginduksi ikatan silang
kolagen stroma kornea, dengan demikian terjadi peningkatan stabilitas biomekanik
kornea dan memperkuat kornea. Siklus oksigen atomic akan memicu formasi kovalen
adisional diantara molekul dan diikuti dengan re-populasi keratosit sehat dari lapisan
deep stroma dan kornea perifer. 1,2
9
Ghanem et al. dalam penelitiannya membuktikan hasil yang didapatkan dari
teknik ini, sebanyak 14 pasien dengan rentang usia 53-89. Transparansi kornea terbukti
lebih baik dalam 1 bulan pasca operasi pada semua pasien. Setelah 6 bulan pasca operasi
trnasparansi kornea tidak banyak berbeda dibandingkan sebelum operasi (P=.218),
transparansi kornea membaik pada 5 mata, tidak mengalami perubahan pada 7 mata, dan
transparansi justru berkurang pada 2 mata dibandingkan sebelum operasi. Ketajaman
penglihatan mengalami perbaikan yang signifikan secara statistik (P=.011) dalam 1 bulan
pasca operasi, 8 mata yang mengalami perbaikan setelah satu bulan, perbaikan pada 3
mata setelah 6 bulan pasca operasi (P=.133). 1 bulan pasca operasi, ketebalan kornea
mengalami penurunan secara seginifikan pada semua mata (P<.001). Setelah 6 bulan
pasca operasi, hanya 1 mata yang mengalami pembengkakan progresif, dan 3 mata
mengalami peningkatan ketebalan kornea. Secara keseluruhan ketebalan kornea
mengalami penurunan sginifikan dibandingkan sebelum operasi (P=.006). Semua mata
terbukti mengalami mikrobula rekuren, dan 11 diantaranya mengalami makrobula. Skor
nyeri juga diobservasi, 1 bulan pasca operasi skor nyeri mengalami perbaikan signifikan
(P=.007). Namun setelah 6 bulan pasca operasi 13 dari 14 pasien memerlukan kontak
lensa untuk mengurangi nyeri dan skor nyeri mengalami peningkatan dibandingkan saat 1
bulan pasca operasi, dan tidak ada perbedaan signifikan jika dibandingkan sebelum
operasi (P=.006).
Pada studi lain menunjukkan bahwa CXL kornea secara signifikan meningkatkan
transparansi kornea, ketebalan kornea,dan mengurangi nyeri mata pasca operasi.
Perbaikan gejala ini mungkin dihasilkan dari pemadatan stroma yang diinduksi CXL dan
berkurangnya pembentukan bula. Namun, tampaknya tidak memiliki efek jangka panjang
dalam mengurangi rasa sakit dan mempertahankan transparansi kornea. 1,2
Pada tahun 1999, Pires et al. telah berhasil menggunakan membran amnion untuk
mengontrol rasa sakit pada pasien BK. Mereka menghubungkan hasil perobaan mereka
dengan berbagai metaloprotease inhibitor yang terletak di matriks stromal membran
amnion, yang penting untuk membantu perbaikan epitel dan mengurangi ulserasi stromal
dan peradangan. Pada beberapa studi dikatakan ampuh dalam mengurangi rasa nyeri pada
10
BK, tidak menginduksi neovaskularisasi, dan teknik ini juga dipilih dalam hal kosmetik
yang lebih baik dibandingkan dengan flap konjungtiva yang memiliki resiko lebih besar
terjadinya ptosis. Meskipun begitu, teknik ini bukan merupakan pilihan pengobatan
pertama karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan membutuhkan waktu lama.1,2
Membran amnion yang telah diawetkan pada suhu dingin lalu dipotong pada
ukuran yang sesuai dengan ukuran defek yang telah di debridement dengan membran
basemen sebagai dasar pada permukaan kornea. Membran amnion kemudian dijahitkan
pada pinggir defek di kornea dengan beang nylon 10.0 secara interrupted atau kontinu.1
Teknik ini dapat meningkatkan rasa sakit karena mengurangi ketebalan kornea
dan ini akan membantu sel endotel yang tersisa mempertahankan hidrasi kornea.
Beberapa penelitian melaporkan PTK menjadi elektif dalam manajemen pasien dengan
keratopati bulosa dari berbagai etiologi. Dasar pemikiran untuk perawatan ini adalah
ablasi pleksus saraf sensorik utama dalam kornea sehingga mengurangi sensibilitas
kornea, disamping itu, jaringan parut kornea menginduksi peningkatan protein
ekstraseluler seperti laminin, fibronektin, kolagen tipe IV dan hemidesmosom yang
meningkatkan adhesi antara epitel dan stroma.
11
Pseudofakic bulous keratopathy dengan terapi phototerapetic keratectomy.
Gambaran pre operative (A) disertai pemeriksaan OCT segmen anterior dan paska
operasi satu bulan (B) dan pada tiga bulan paska operasi (C).
PTK yang dalam dianggap lebih berhasil dibandingkan dengan PTK superfisial
karena peningkatan jaringan parut yang terkait juga dapat meningkatkan stabilitias epitel
dan ablasi pleksus saraf yang dalam memiliki efek yang unggul dalam mengurangi nyeri.
Teknik ini adalah pilihan intervensi sederhana dan populer dalam pengelolaan
keratopati bulosa pseudofakic dengan biaya rendah dan minimal komplikasi. Studi
imunohistokimia telah menunjukkan peningkatan ekspresi protein matriks ekstraseluler
yang penting untuk adhesi sel epitel basal, seperti fibronektin, laminin, dan kolagen yang
mendasarinya, yang berhubungan dengan fibrosis subepitel, sehingga menciptakan barier
untuk penetrasi cairan ke dalam ruang subepitel dan mengurangi pembentukan
gelembung subepitel. Hsu et al. mampu secara klinis menghubungkan perbaikan gejala
nyeri dengan berbagai tingkat fibrosis subepitel dan perlekatan epitel
g. Triple procedure (Glued IOL with single-pass four-throw pupiloplasty with pre-
Descemet’s endothelial keratoplasty
12
mempertahankan tamponade udara diikuti oleh endothelim keratoplasty pre-Descemet
yang menggantikan lapisan endotel, sehingga mempertahankan fungsinya. Dengan teknik
ini memungkinkan peningkatan potensi visual, setelah terjadi komplikasi operasi katarak
dan PBK.3
Sampai saat ini tidak ada kejadian desntralisasi atau dislokasi IOL pada periode
pasca operasi. Hyphema dapat terjadi di kedua mata pada hari pertama pasca operasi
13
namun masalah ini dapat teratasi dengan pengobatan. Tidak ada laporan kejadian
glaukoma, vitritis, atau perdarahan vitreous yang dolaporkan selama seluruh periode
follow-up. Ketebalan kornea sentral dan kejernihan kornea juga mengalami peningkatan. 3
2.8 Prognosis
Prognosis terkait perbaikan tajam penglihatan setelah tindakan penetrating
keratoplasty untuk PBK umumnya baik. Sekitar 90% pasien yang menjalani prosedur ini
mempertahankan transplan kornea. Sekitar 50% pasien mendapatkan peningkatan
penglihatan untuk dapat mengemudi dan membaca. Sekitar 20/40 sering didapatkan
kondisi tertentu (misalnya, edema makula sistoid) yang dapat membatasi fungsi
penglihatan.8
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
7. Ghanem RC, Santhiago MR, Bherti TB, Thomaz S, Netto MV. Collagen crosslinking
with riboflavin and ultraviolet-A in eyes with pseudophakic bullous keratopathy. J
Cataract Refract Surg. Elsevier. 2010;36:273-6.
8. Taravella M. Postoperative corneal edema. Medscape. 2018.
16