Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

RHINITIS AND PREGNANCY:


LITERATURE REVIEW

Disusun oleh :

Michelle Sabatini Siregar

126105XXXX

Pembimbing :

dr. Bambang Suprayogi Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

PERIODE 21 JANUARI – 23 FEBRUARI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

I
Tinjauan Literatur: Rhinitis dan Kehamilan

Fábio Azevedo Caparroz , Luciano Lobato Gregorio, Giuliano Bongiovanni, Suemy


Cioffi Izu, Eduardo Macoto Kosugi

Abstrak

Pendahuluan: Terdapat kontroversi mengenai terminologi dan definisi rhinitis pada


kehamilan. Rinitis gestasional adalah kondisi yang relatif sering ditemukan, kondisi
ini menarik perhatian para peneliti beberapa tahun terakhir karena mempunyai
hubungan dengan sindrom apnea tidur obstruktif ibu (obstructive sleep apneu
syndrome, OSAS) dan gangguan perkembangan janin.

Tujuan: Untuk meninjau pengetahuan terkini tentang rinitis gestasional, dan menilai
bukti klinisnya.

Metode Penelitian: Pencarian literatur terstruktur.

Hasil: Rinitis gestasional dan rhinitis “selama kehamilan” adalah kondisi yang
hampir mirip baik secara fisiopatologi dan pengobatan namun memiliki perbedaan
pada sisi definisi dan prognosis. Telah diketahui bahwa perubahan hormon diduga
memiliki peran etiologis terhadap rinitis gestasional tetapi pengetahuan tentang
fisiopatologi rinitis gestasional masih terbatas. Penanganan rhinitis selama kehamilan
berfokus pada intervensi minimal yang diperlukan untuk meringankan gejala.

Kesimpulan: Rhinitis gestasional memiliki dampak besar pada kualitas hidup ibu.
Oleh itu, baik dokter spesialis THT (otorhinolaryngologist) maupun dokter
kandungan (obstetrician) harus mampu menegakkan diagnosis dan memberikan
pengobatan secara dini pada rinitis gestasional, sekaligus mempertimbangkan profil
keamanan terapi dan pengobatan sesuai dengan bukti klinis.

Kata Kunci: Rinitis, Kehamilan, Obstruksi nasal

2
Pendahuluan

Rinitis gestasional adalah kondisi yang sering ditemukan, tetapi jarang


dibahas dalam literatur nasional. Penyakit ini telah menjadi semakin penting
terutama dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena ditemukan adanya
hubungan dengan snoring dan sindrom apnea tidur obstruktif (OSAS) selama
kehamilan, dan secara tidak langsung dengan preeklamsia, penyebab utama
morbiditas dan mortalitas ibu. Selain itu, penelitian telah menunjukkan adanya
hubungan dengan hipertensi gestasional, retardasi pertumbuhan intrauterin, dan skor
Apgar yang lebih rendah pada neonatus.

Studi pertama yang menghubungkan gejala sumbatan hidung dengan hormon


wanita muncul pada akhir abad kesembilan belas. Pada tahun 1884, MacKenzie
mempresentasikan serangkaian pengamatan tentang peningkatan volume turbinat
inferior selama menstruasi dan stimulasi seksual, memperluas teorinya hingga
kehamilan pada tahun 1898. Namun, hanya pada tahun 1943 Mohun
mempresentasikan serangkaian kasus pada yang akan menjadi pencetus dari rinitis
gestasional, menyebutnya “rinitis vasomotor pada kehamilan”. Gangguan pada
hidung muncul antara bulan ketiga dan ketujuh kehamilan dan biasanya menjadi
normal dalam waktu sepuluh hari setelah melahirkan.

Terminologi rinitis gestasional masih menimbulkan banyak kebingungan.


Beberapa penulis menekankan pentingnya membedakan rinitis “selama kehamilan”
dari rinitis gestasional (atau rinitis yang disebabkan oleh kehamilan). Rinitis selama
kehamilan adalah suatu kelainan yang mencakup semua jenis rhinitis (alergi, obat,
non-alergi, dengan komponen vasomotor, antara lain), yang akan hadir sebelum,
selama, dan setelah kehamilan sesuai dengan definisi. Rinitis gestasional
didefinisikan sebagai gejala hidung tersumbat yang tidak ditemukan sebelum
kehamilan, namun terjadi pada trimester kedua atau ketiga, dengan durasi yang sama
atau lebih dari enam minggu, tidak dicetus oleh reaksi alergi atau tanda-tanda infeksi

3
saluran napas atas dan gejala tersebut sembuh sepenuhnya dalam waktu dua minggu
setelah melahirkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan tinjauan literatur pada
rhinitis gestasional dan memperluas beberapa konsep dengan dasar komparatif
(seperti fisiopatologi dan pengobatan) untuk jenis rinitis lainnya dalam kehamilan.

Metode Penelitian

Tinjauan pustaka dilakukan dalam database PubMed, MEDLINE, dan SciELO


menggunakan istilah “rinitis dan kehamilan”. Dari 506 artikel yang awalnya
terdaftar, dua peneliti secara independen memilih 66 dan 59 di antaranya, masing-
masing, menggunakan artikel kriteria seleksi yang terdapat rhinitis gestasional atau
jenis rinitis lainnya selama kehamilan sebagai topik utama. Selanjutnya, 40 artikel
dipilih dari dua pilihan, termasuk yang paling relevan mengenai kriteria definisi,
diagnosis, etiologi, etiopatogenesis, diagnosis banding, dan pengobatan rinitis
gestasional dan rinitis selama masa kehamilan. Distribusi artikel yang ditemukan
sesuai dengan topik ditunjukkan pada Tabel 1.

Insidensi dan Prevalensi

Sekitar 20% - 40% wanita melaporkan gejala rinitis selama masa kanak-kanak
atau remaja, dan 10% - 30% dari wanita ini melaporkan gejala memburuk selama
kehamilan. Studi populasi dengan sampel yang relatif kecil sering tidak membedakan
rinitis gestasional dengan rinitis jenis lain, menunjukkan prevalensi berkisar antara
18% dan 30% (untuk semua jenis rinitis selama kehamilan). Studi populasi terbesar
tentang prevalensi dilakukan di Swedia melalui kuesioner dan termasuk 599 pasien,
tidak termasuk mereka yang sudah memiliki tanda-tanda rinitis sebelum kehamilan,
mengungkapkan prevalensi rinitis gestasional sebesar 22%.

4
Namun, penelitian lain baru-baru ini menilai 109 wanita hamil melalui
kuesioner dan rhinoskopi anterior dan mencapai prevalensi 9% untuk rinitis
gestasional, hal ini konsisten dengan penelitian lain. Tidak ada data dari Brasil
tentang prevalensi rinitis gestasional. Variasi prevalensi ini tidak hanya disebabkan
oleh kesulitan akses dan diagnosis penyakit serta kriteria diagnostik yang ketat,
tetapi juga dengan fakta bahwa rinitis dan asma dapat memberat, membaik, atau
tetap tidak berubah selama masa kehamilan, juga sebagai fakta bahwa mereka dapat
bervariasi dalam hal presentasi klinis sepanjang usia kehamilan dan sesuai dengan
kerentanan genetik setiap pasien.

Tabel 1. Jenis artikel yang ditemukan berdasarkan daftar referensi.

Jumlah
Jenis Artikel Referensi
Artikel
Tinjauan
5 1, 7, 11, 20, 41
literatur
Diagnostik 2 9, 28
Artikel orisinil 3 3, 4, 5
Prevalensi dan
1 10
insidensi
Fisiopatologi
dan 10 8, 12-19, 26
fisiopatogenik
Terapi 5 6, 24, 27, 35, 38
2, ,21, 22, 23, 24,
Prognosis dan
15 25, 29, 30-34, 36,
komorbiditas
37, 39, 40

5
Etiologi dan Fisiopatogenik

Meskipun banyak faktor etiologis telah diusulkan, pengetahuan saat ini


tentang fisiopatologi rinitis gestasional masih terbatas. Diperkirakan bahwa hormon
trofoblas plasenta dapat menstimulasi hipertrofi mukosa hidung selama kehamilan.
Selain itu, estrogen dapat berkontribusi terhadap efek ini dengan meningkatkan
reseptor histamin dalam sel epitel dan mikrovaskulatur. Progesteron juga dapat
berperan dengan mengoptimalkan vasodilatasi lokal di hidung dengan meningkatkan
volume darah yang bersirkulasi yang terjadi secara fisiologis selama kehamilan.

Studi fisiologi hidung telah menunjukkan perubahan yang signifikan dalam


anterior rhinoscopy, rhinomanometry, dan skor kuesioner rhinitis spesifik yang
kompatibel dengan penurunan patensi saluran udara melalui rongga hidung selama
kehamilan. Namun, semua data ini --- termasuk peran hormon --- saling
bertentangan, karena telah ada penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan dari
gejala hidung tersumbat selama kehamilan pada kelompok pasien dalam jumlah yang
signifikan.

Mengenai faktor-faktor risiko untuk terjadinya rinitis gestasional, merokok


adalah satu-satunya yang diidentifikasi dengan bukti signifikan. Studi yang sama
menemukan bahwa IgE spesifik untuk tungau debu rumah merupakan faktor
predisposisi untuk perkembangan penyakit. Tidak ada hubungan antara rinitis
gestasional dan asma yang sudah ada sebelumnya. Juga, tidak ada hubungan yang
diamati dengan usia ibu, usia kehamilan, jenis kelamin anak, dan paritas.
Sehubungan dengan rinitis alergi yang sebenarnya, diamati bahwa temuan mikroskop
elektron pada wanita hamil dengan gejala hidung identik dengan pasien dengan
rinitis alergi.

Dengan mempertimbangkan hal ini dan fakta bahwa sebagian besar pasien
dengan rinitis gestasional memiliki sensitivitas terhadap tungau debu rumah, terdapat
kemungkinan bahwa pasien dengan rinitis gestasional dapat mewakili subkelompok
rinitis alergi, walaupun dengan resolusi spontan setelah lahir, menurut definisi yang

6
telah ditetapkan. Selain itu, penanda serum untuk penyakit alergi seperti soluble
intercellular adhesion molecule-1 (sICAM-1) tidak meningkat pada rinitis
gestasional.

Tabel 2. Pendekatan non-farmakologis sebagai terapi rhinitis pada kehamilan

Pendekatan Keuntungan
Adjuvant, mengatasi
keraguan dan menurunkan
Edukasi
kemungkinan menggunakan
zat yang berbahaya
Perbaikan gejala hidung
Senam
tersumbat
Irigasi hidung
dengan Perbaikan gejala sementara
larutan saline

Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Rinitis gestasional ditandai dengan gejala hidung tersumbat pada ≥ 6 minggu


terakhir kehamilan, dengan resolusi spontan dalam dua minggu setelah melahirkan.
Diagnosis adalah berdasarkan klinis dan hanya dapat dicurigai dengan memburuknya
gejala sumbatan hidung (yang sebelumnya tidak ada) pada pasien hamil, dan tidak
disebabkan oleh kondisi lain --- diagnosis banding meliputi sinusitis, rinitis alergi,
rinitis medikamentosa, infeksi saluran napas bagian atas akut atau subakut, dan
granuloma pada kehamilan.

7
Adalah sangat penting mengenai kriteria sumbatan hidung pada wanita hamil,
karena dianggap positif hanya pada pola keluhan yang memburuk atau gejala yang
memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup pasien, karena ini merupakan
sebuah perubahan yang merupakan bagian dari fisiologi normal kehamilan. Selain
keluhan hidung tersumbat, pasien dengan rinitis gestasional sering datang dengan
rinore.

Rinitis alergi biasanya merupakan gambaran klinis yang ada yang dapat
terjadi selama kehamilan. Tidak seperti rinitis gestasional, di mana obstruksi hidung
merupakan gejala utama, pasien dengan rinitis alergi selama kehamilan dapat
mengalami rinore, pruritus, bersin, serta hidung tersumbat.

Obstruksi hidung yang disebabkan oleh rinitis - baik kehamilan atau tidak -
dapat dikaitkan dengan memburuknya kualitas tidur wanita hamil selain mendengkur
dan obstructive sleep apnea (OSA), meskipun OSA mungkin merupakan akibat dari
kombinasi beberapa faktor, terutama yang melibatkan penambahan berat badan
selama kehamilan.

Pernafasan melalui mulut yang disebabkan oleh sumbatan hidung yang


memburuk pada rinitis gestasional dapat menyebabkan penurunan kadar inhalasi
nitrat oksida (NO) - yang diproduksi terutama di sinus maksilaris - ke paru-paru,
yang kemudian mengurangi resistensi pembuluh darah, di samping meningkatkan
oksigenasi lokal . Pengurangan inhalasi NO paru dapat memiliki efek buruk pada
janin, yang menyebabkan hipertensi ibu, retardasi pertumbuhan intrauterin,
preeklampsia, dan skor Apgar yang lebih rendah pada bayi baru lahir.

Selain itu, sumbatan hidung dengan gangguan kualitas tidur, dapat


menyebabkan penyalahgunaan dekongestan hidung topikal, yang mengarah ke rinitis
yang diinduksi obat terkait, yang biasanya tidak sembuh secara spontan setelah
melahirkan. Namun demikian, tidak ada bukti yang memadai untuk menunjukkan
adanya hubungan antara rinitis gestasional dan kelainan yang tidak diinginkan pada
kehamilan.

8
Beberapa penulis, ketika membandingkan berat lahir antara wanita hamil
atopik dan non-atopik, mengemukakan bahwa pasien yang memiliki riwayat atopi,
dengan adanya pola respon imun Th2, akan memiliki prognosis kehamilan yang lebih
baik. Namun, hasil ini mungkin memiliki faktor perancu, karena atopi memiliki
prevalensi yang lebih tinggi pada kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi, yang
cenderung memiliki asupan gizi yang lebih baik. Dalam sebuah studi nasional
terhadap 230 wanita hamil, tidak ada hubungan antara keguguran berulang dan atopi.

Tabel 3. Klasifikasi obat pada kehamilan menurut FDA

Kategori Penjelasan
Studi terkontrol pada wanita tidak
memperlihatkan adanya resiko pada janin pada
kehamilantrimester pertama (dan tidak ada
A
bukti mengenai resiko terhadap trimester
berikutnya), dan sangatkecil kemungkinan obat
ini untuk membahayakan janin.
Belum ada studi terkontrol yang diperoleh pada
ibu hamil. Studi terhadap reproduksi binatang
B
percobaan tidak memperlihatkan adanya resiko
terhadap janin.
Studi pada binatang percobaan memperlihatkan
adanya efek samping terhadap janin
(teratogenik),dan studi terkontrol pada wanita
dan binatang percobaan tidak tersedia atau
C
tidak dilakukan. Obatyang masuk kategori ini
hanya boleh diberikan jika besarnya manfaat
terapeutik melebihi besarnyaresiko yang terjadi
pada janin.

9
Terdapat bukti adanya resiko pada janin, tetapi
manfaat terapeutik yang diharapkan
mungkinmelebihi besarnya resiko (misalnya
D jika obat perlu digunakan untuk mengatasi
kondisi yang mengancam jiwa atau penyakit
serius bilamana obat yang lebih aman tidak
digunakan atau tidak efektif.
Studi pada manusia atau binatang percobaan
memperlihatkan adanya abnormalitas pada
janin, atauterdapat bukti adanya resiko pada
janin. Besarnya resiko jika obat ini digunakan
X pada ibu hamil jelas-jelas melebihi manfaat
terapeutiknya. Obat yang masuk dalam
kategori inidikontraindikasikan pada wanita
yang sedang atau memiliki kemungkinan
hamil.

FDA, United States Food and Drug Administration

Terapi

Mengenai pengobatan, sebagian besar studi menunjukkan konsensus tentang


pentingnya pendidikan sebagai pilihan pertama dan sebagai usaha tambahan untuk
pengelolaan rinitis gestasional, karena gejala sembuh secara spontan setelah
melahirkan. Ketika disarankan pada awal kehamilan, pasien cenderung untuk
menggunakan dekongestan topikal dan akan memiliki kemungkinan lebih tinggi
untuk terjadiny rinitis vasomotor.

Olahraga atau senam memiliki efek yang positif terhadap derajat sumbatan
hidung, pada pengendalian berat badan ibu, dan pada pola tidur. Menaikkan kepala

10
tempat tidur menjadi 30◦ - 45◦ juga dapat membantu meningkatkan sumbatan hidung
pada malam hari. Selain itu, irigasi hidung dengan larutan garam memberikan
peredaan gejala sementara yang baik, meskipun tidak ada studi khusus meneliti
penggunaan irigasi hidung untuk rinitis gestasional. Tabel 2 merangkum langkah-
langkah non-farmakologis untuk mengendalikan rhinitis gestasional atau rinitis
selama kehamilan.

Sehubungan dengan dekongestan topikal, mereka dapat dibagi menjadi short


acting --- fenilefrin; intermediate-acting --- naphazoline; dan long acting ---
oxymetazoline dan xylometazoline. Semua obat ini diberikan klasifikasi “kelas C”
oleh Food and Drug Administration (FDA) --- klasifikasi lengkap FDA untuk
penggunaan selama masa kehamilan, ditunjukkan pada Tabel 3.

Studi case-control menunjukkan hubungan antara penggunaan fenilefrin


selama kehamilan dan terjadinya kelainan kongenital. Namun, penelitian lain gagal
mereplikasi hasil ini. Studi ini juga gagal menunjukkan efek samping dari
penggunaan dekongestan topikal yang bersifat intermediate-acting dan long-acting.

Terdapat keterbatasan bukti penelitian dalam menunjukkan bahwa


oxymetazoline dapat digunakan sesekali dalam satu atau beberapa episode obstruksi
hidung yang lebih berat, yang dapat mengganggu tidur pasien, pemberian obat
dekongestan topikal selalu dengan dosis serendah mungkin dan dimulai setelah
trimester pertama, jangan diberikan saat mendekati persalinan. . Dalam hal ini, telah
ditunjukkan bahwa setelah dosis tunggal oksimetazolin topikal intranasal, tidak ada
perubahan signifikan pada tekanan darah atau detak jantung ibu, atau perubahan
aliran arteri uterina atau pembuluh darah umbilikal.

Namun, dalam sebuah penelitian yang lebih baru, dengan 12.734 kasus dan
7606 kontrol dilakukan pada anak-anak dari Amerika Serikat dan Kanada, ditemukan
hubungan antara penggunaan dekongestan hidung topikal pada trimester pertama dan
stenosis pilorus hipertrofik, serta penggunaan oxymetazoline topikal pada trimester

11
kedua dengan kelainan pada ginjal pada bayi baru lahir. Namun, penelitian itu tidak
menyebutkan jumlah dan waktu penggunaan obat.

Banyak penulis merekomendasikan penggunaan dekongestan hidung topikal


tidak lebih dari lima, atau bahkan tiga hari karena terbukti memiliki risiko rinitis
medikamentosa, yang tidak dapat sembuh spontan setelah melahirkan. Perlu dicatat
bahwa bahkan penggunaan dekongestan intranasal hanya pada malam hari juga dapat
menimbulkan kondisi ini.

Dekongestan sistemik yang paling sering digunakan, pseudoephedrine, juga


telah diklasifikasi sebagai obat “kelas C” pada kehamilan oleh FDA. Studi case-
control telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara
penggunaan pseudoefedrin atau fenilpropanolamin selama kehamilan dan risiko
gastroschisis pada bayi baru lahir. Temuan ini belum direplikasi dalam ulasan
selanjutnya. Bagaimanapun, sebuah studi case-control baru-baru ini menemukan
hubungan yang signifikan secara statistik antara penggunaan fenilefrin pada trimester
pertama dan defek penutupan dinding endokardium, serta antara penggunaan
fenilpropanolamin pada trimester pertama dan malformasi telinga eksternal dan
stenosis pilorus hipertrofi.

Rekomendasi untuk penggunaan dekongestan sistemik selama kehamilan


bervariasi antara negara yang berbeda. Mengingat kembali kurangnya bukti
penelitian sampai saat ini dan efek samping dari dekongestan sistemik, yang meliputi
takikardia, kecemasan, tremor, dan insomnia pada wanita hamil, maka penggunaan
dekongestan sistemik harus dihindari terutama pada trimester pertama dan
penggunaannya harus dipertimbangkan berdasarkan rasio risk/benefit selama masa
kehamilan.

Adapun penggunaan kortikosteroid topikal didokumentasikan dengan baik


pada jenis-jenis rinitis lainnya (alergi atau non-alergi) selama kehamilan, tetapi
pengaruhnya terhadap rinitis gestasional secara khusus belum dibuktikan dan oleh
karena itu, tidak direkomendasikan. Fluticasone propionate tidak menunjukkan efek

12
yang signifikan dalam uji coba terkontrol plasebo double-blind pada 53 wanita
dengan rinitis gestasional yang dirawat selama delapan minggu, ketika dinilai dengan
skor klinis hidung tersumbat, aliran puncak ekspirasi, dan rhinometri akustik
sebelum dan setelah perawatan. Keamanan budesonide inhalasi, ditunjukkan oleh
beberapa penelitian pada wanita hamil asma, telah berhasil membuktikan bahwa rute
administrasi intranasal adalah aman dan dilabelkan dengan kategori "B" berdasarkan
klasifikasi FDA bagi digunakan selama kehamilan. Namun, mengingat fakta bahwa
tidak ada kortikosteroid topikal yang memiliki efek samping pada sistemik jika
digunakan sesuai dengan dosis terapeutik, American College of Allergy, Asthma, dan
Immunology (ACAAI) bahkan menyatakan bahwa sangat masuk akal untuk diberikan
terapi kortikosteroid topikal yang berbeda, daripada budesonide, pada pasien dengan
rinitis alergi yang menggunakan obat budesonide dengan hasil yang baik sebelum
kehamilan.

Sehubungan dengan kortikosteroid sistemik, tidak terdapat penelitian yang


cukup untuk membuktikan penggunaan kortikosteroid topikal pada berbagai jenis
rinitis selama kehamilan. Penggunaan dalam periode yang singkat dianggap sebagai
pengecualian dalam kasus ini, yaitu untuk mengurangi penggunaan dekongestan
yang terus-menerus. Penggunaanuntuk jangka waktu yang lebih lama atau pada dosis
yang lebih tinggi dapat menyebabkan insufisiensi adrenal, berat lahir rendah, dan
kelainan bawaan, terutama labiopalatoskisis.

Di samping itu, penggunaan antihistamin direkomendasikan untuk kasus-


kasus rinitis alergi atau rinitis eosinofilik non-alergi. Secara umum, tidak ada data
yang cukup dalam literatur untuk menunjukkan bahwa kelompok antihistamin
memiliki efek buruk pada kehamilan. Chlorpheniramine, loratadine, dan cetirizine
telah direkomendasikan, karena telah ada penelitian pada hewan dan manusia yang
menunjukkan profil keamanannya.

Mengenai sodium cromoglycate dan ipratropium bromide topikal, ipatropium


bromide digunakan ketika adanya keluhan rhinorrhea yang berat, tidak menunjukkan

13
efek teratogenik dan dapat dengan aman digunakan untuk rinitis alergi selama
kehamilan. Penggunaan anti-leukotrien inhibitor (seperti montelukast) untuk
pengobatan rinitis alergi selama kehamilan tidak dianjurkan, karena ada obat
alternatif yang lebih aman. Penilaian obat pada rinitis gestasional dan rinitis selama
kehamilan dirangkum dalam Tabel 4.

Di sisi yang lain, tindakan operasi – dengan tujuan mengurangi volume konka
nasalis inferior - memiliki peran yang terbatas dalam rinitis selama kehamilan,
pendekatan secara operasi dicadangkan untuk kasus yang paling berat, yang meliputi
wanita hamil dengan OSAS sekunder untuk rinitis gestasional dan kegagalan
penggunaan CPAP (continuous positive airway pressure atau metode terapi lainnya.

Tabel 4. Profil keamanan obat yang sering digunakan bagi kasus rhinitis pada
kehamilan

Kategori
Golongan obat Indikasi Contoh Obat Informasi tambahan
FDA

Cetrizine,
Antihistamin Chlorphenira Terbukti aman pada manusia
A dan B AR
oral -mine, dan hewan.
Loratadine

Aman digunakan pada wanita


Kortikosteroid
AR Budesonide hamil dengan asma. Tidak
intranasal
direkomendasikan pada GR.

Antihistamin
C AR Azelastine -
oral

14
Tidak direkomendasikan pada
GR. Jika digunakan atas
Fexofenadine, pertimbangan risk/benefit,
Kortikosteroid Fluticasone, pilihan kortikosteroid dapat
AR
intranasal Triamsinolon, disesuaikan dengan
Mometasone kortikosteroid yang digunakan
sebelum kehamilan dan
terbukti efektif

Mempunyai resiko
Pseudoephe
gastroschisis pada janin
Dekongestan AR dan -drine,
(Trimester pertama).
sistemik GR Phenylpropan
Menimbulkan takikardia,
o-lamine
anxietas, tremor dan insomnia

Dapat menimbulkan kelainan


Phenylephrin, kongenital, terutama pada
Naphazoline, semester pertama. Terdapat
Dekongestan AR dan
Oxymetazolin bukti yang terbatas mengenai
topikal GR
e, Xylometazo profil keamanan penggunaan
-line oxymetazoline beberapa kali
setelah trimester pertama

AR- Allergic rhinitis, GR- Gestational rhinitis

15
Kesimpulan

Kedua penyakit rinitis gestasional dan “rinitis pada kehamilan” merupakan


penyakit yang semakin sering ditemukan beberapa tahun ini. Selain mempengaruhi
kualitas hidup wanita hamil, penyakit ini berpotensi menimbulkan OSAS pada ibu
dan gangguan perkembangan janin. Dokter spesialis THT (otorhinolaryngologist)
dan Obgyn (obstetrician) harus mampu menegakkan diagnosis secara dini serta
memberikan terapi yang adekuat, dengan mempertimbangkan profil keselamatan
serta bukti klinis dari terapi dan pengobatan yang tersedia.

16

Anda mungkin juga menyukai