Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa

darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme

dengan kata lain, diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal pada

jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Harrison,

2012).

Secara menyeluruh penyebab kematianya setiap tahunnya adalah penyakit

jantung. Penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh

darah, seperti: penyakit jantung koroner, payah jantung, hipertensi, ,stoke,

infark miokard, dan heart failure (Kementrian Kesehatan RI: 2014).

Heart Failure adalah keadaan dimana jantung tidak mampu memompa

darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme.

Heart failure merupakan stadium akhir dari semua gangguan

kardiovaskuler dan merupakan peyebab terbesar morbilitas dan mortalitas.

Menurut data Word Health Organization (WHO) 2018, sebanyak 15,4 juta

orang di dunia meninggal akibat gangguan kardiovaskular. Lebih dari 80%

kematian akibat gangguan kardiovaskular terjadi di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah (Yancy, 2013). Pada penelitian di

Amerika, risiko berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk usia ≥40

tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis gagal

jantung selama beberapa dekade terakhir. Kejadian gagal jantung


meningkat dengan bertambahnya usia. Tingkat kematian untuk gagal

jantung sekitar 50% dalam waktu 5 tahun (Yancy, 2013).

Gagal jantung di Indonesia juga menjadi masalah yang menyebabkan

banyaknya angka kesakitan maupun kematian. Menurut data Riset

Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan

bahwa prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring bertambahnya

umur. Jumlah yang berhasil terdiagnosis oleh dokter, prevalensinya lebih

tinggi pada perempuan sebesar 0,8% dibandingkan dengan laki-laki yaitu

0,7%. Sehingga prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia sebesar

1,5%. Provinsi yang masuk dengan prevalensi gagal jantung tertinggi

ditempati oleh Kalimantan Utara dengan 2,2% sedangkan persentase di

Kalimantan Selatan sendiri mencapai 1,2% dari total jumlah penduduk

yang terdata (RISKESDAS, 2018).

“Di provinsi Kalimantan Selatan sebesar 0,3% merupakan urutan kedua

dari profil kesehatan nasional, gagal jantung di kota Banjarmasin 0,4%.

Riset kesehatan gagal jantung” (Hidayat, 2013). Faktor penyebab

terjadinya penderita gagal jantung adalah merokok, diet yang tidak sehat,

kurang aktivitas. Dari beberapa faktor tersebut dapat menyebabkan

tekanan darah tinggi, gula darah meningkat, kadar lemak dalam darah juga

tinggi dan obesitas. Jika semua faktor tersebut tidak dapat dicegah maka

akan menyebabkan berbagai penyakit jantung diantaranya adalah gagal

jantung, serangan jantung berulang, dan komplikasi lainnya (WHO,2016).


Pada pasien gagal jantung mengalami tanda-tanda dsypnea dan kelelahan

saat beraktivitas terutama pada saat berolahraga, karena cardiac output dan

aliran darah perifer mengalami penurunan. jadi dapat disimpulkan tanda

dan gejala gagal jantung adalah distress pernapasan dengan dispneu dan

takikardi (A.Alto william,2012).

Terapi yang dapat dilakukan untuk pasien gagal jantung meliputi terapi

fisik, terapi oksigen, terapi pernapasan, dan nutrisi. Jika gagal jantung

tidak ditangani dengan cepat maka kan menurunkan cara kerja jantung dan

darah tidak akan berfungsi dengan baik saat memompa darah (Sofia

Rhosma, 2014).

Penatalaksaan farmakologi yang dapat dilakukan meliputi pembeian

oksigen 2 sampai 5 liter/ menit (A. Alto william,2012) oksigen merupakan

peranan penting secara fungsional dalam semua proses yang ada dalam

tubuh. Oksigen harus selalu ada dalam peranan fungsional tubuh karena

jika tidak ada oksigen di dalam tubuh akan menyebabkan kematian.

Manfaat oksigen dalam tubuh sangat fungsional pada otak, jika otak tidak

mendapat oksigen lebih dari lima menit maka akan terjadi kerusakan otak

secara permanen. Penatalaksaan non farmakologi yang dapat dilakukan

yaitu pemberian posisi dan latihan pernafasan dapat dilakukan untuk

meningkatkan fungsi otot pernafasan. Latihan fisik yang dapat ditoleransi

juga penatalaksaan dalam meningkatkan perfusi jaringan dan

memperlancar sirkulasi. Latihan fisik dilakukan pada pasien dengan gagal


jantung yang sudah stabil, dilakukan 20-30 menit dengan frekuensi 3-5

kali setiap minggu (Asmadi,2008).

Penanganan yang tepat merupakan salah satu upaya untuk menurunkan

angka kematian pasien chest pain penyebab utama gagal Jantung.

Penanganan ini terutama dilakukan oleh perawat di instalasi gawat darurat

yang berperan sebagai first responder dengan melakukan initial

management segera sebagai upaya pertolongan untuk menurunkan nyeri

dan menurunkan kematian pada 2 jam pertama serangan. Initial

management dalam penanganan gagal jantung ini disebut MONA, yang

merupakan kependekan dari Morphine, Oksigen, Nitrat atau nitrogliserin

dan aspirin (ACLS, 2015).

Oksigen merupakan salah satu bagian dari MONA untuk menurunkan

nyeri dada (chest pain) pada pasien gagal jantung. Pemberian oksigen

secara rutin pada pasien dengan acute chest pain penyebab gagal jantung

sudah dilakukan sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Tradisi dari

pemberian oksigen rutin ini juga didukung oleh AHA (American Heart

Association) dari tahun 1975-2005 yang merekomendasikan intervensi

tersebut dan American College of Cardiology sampai tahun 2007. Dengan

rasional dari tradisi pemberian terapi oksigen ini adalah ketika terjadi

penurunan aliran darah pada jantung, pemberian oksigen akan

meningkatkan tekanan perfusi koroner sehingga meningkatkan oksigenasi

pada jaringan jantung yang mengalami iskemik atau memperbaiki


ketidakseimbangan oksigen di jantung (Metcalfe, 2012; Finamore &

Kennedy, 2013).

Didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Wijesinghe et al (2009)

dalam Metcalfe (2012) yang menyatakan bahwa pemberian oksigen pada

pasien dengan iskemik myocard akan menurunkan ukuran infak miokard

dan meningkatkan outcome pada pasien. Akan tetapi evidance yang bisa

mendukung pernyataan tersebut hanya sedikit. Kesimpulan tentang

rasional dari pemberian oksigen, didasarkan pada penelitian yang

digeneralisasikan dari model binatang dimana kurang mampu untuk

menggambarkan keadaan klinis pada manusia. Sehingga semua intervensi

atau terapi yang ada tidak didasarkan pada kemanfaatan intervensi tersebut

tetapi hanya merupakan suatu expert opinion, based on anecdotal evidance

dan merupakan suatu tradisi yang sudah lama (Meier et al, 2013;

Wijesinghe et al, 2009; Finamore, et al 2013).

Pada saat ini pemberian oksigen berdasarkan tradisi lama pada semua

pasien dengan gejala gagal jantung tidak direkomendasikan berdasarkan

evidance based terbaru. Pemberian oksigen secara rutin pada semua pasien

chest pain penyebab gagal jantung dapat berpotensial membahayakan

pasien karena pemberian oksigen dapat meningkatkan tekanan oksigen

arteri karena efek dari coronary artery tone dan juga dapat menyebabkan

hiperoxia yang dapat menurunkan aliran darah di arteri koroner. Efek yang

lain pada jantung adalah dapat menurunkan cardiac output, stroke volume
dan meningkatkan systemic vascular resistance serta tekanan darah

(Wijesinghe et al, 2009; Shuvy et al, 2013).

Sehingga berdasarkan guidelines ACC/AHA 2007 merekomendasikan

oksigen digunakan untuk memperbaiki saturasi oksigen arteri

(SaO2<90%) dan direkomendasikan diberikan pada semua pasien unstable

angina/NSTEMI dan STEMI tanpa komplikasi dalam 6 jam pertama

gejala. Sedangkan menurut O’Connor et al dalam AHA (2010) dan

Advanced Cardiac Life Support (2010) merekomendasikan pemberian

oksigen hanya pada uncomplicated gagal jantung dengan oxyhemoglobin

saturasi ≤94% atau terdapat tanda dan gejala distress pernafasan dan syok.

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “hubungan antara peran perawat

sebagai pelaksaan penanganan pasien emergenci dengan gagal jantung”.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan, maka yang terjadi

permasalahan dalam penulisan ini adalah “Apakah ada hubungan antara

peran perawat sebagai pelaksaan penanganan pasien emergenci dengan

gagal jantung?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari hubungan antara peran perawat sebagai pelaksaan

penanganan pasien emergenci dengan gagal jantung”


1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi peran perawat sebagai pelaksaan

penanganan pasien emergenci dengan gagal jantung di

Rumah sakit Idaman Banjarbaru


1.3.2.2 Mengidentifikasi tindakan perawat sebagai pelaksaan

penanganan pasien emergenci dengan gagal jantung di

Rumah sakit Idaman Banjarbaru


1.3.2.3 Menganalisis hubungan antara peran perawat sebagai

pelaksaan penanganan pasien emergenci dengan gagal

jantung di Rumah sakit Idaman Banjarbaru

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Pasien Penyakit Jantung
Memberikan suatu pelayanan yang lebih komprehensif dan

profesional untuk memberikan kepuasan kepada konsumen

kesehatan

1.4.2 Bagi Rumah Sakit


Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukkan ilmu

pengetahuan tentang peran perawat sebagai pelaksaan

penanganan pasien emergenci dengan gagal jantung


1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi institusi

pendidikan untuk dapat mengembangkan mata kuliah dalam

bidang medical bedah dan reseach serta dapat dijadikan sebegai

referensi peneliti selanjutnya.


1.4.4 Bagi Peneliti selanjutnya
Sebagai sarana sebagai pengembangan ilmu yang didapat selama

pendidikan dengan mengaplikasikan pada kenyataan yang ada di

lapangan serta merupakan tambahan ilmu pengetahuan dan

pengalaman yang sangat berguna dalam memberikan pelayanan


keperawatan kepada masyarakat dan dapat dijadikan sebagai

bahan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Keaslian Penelitian


Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengann penelitian ini adalah

sebagai berikut:
1.5.1. Dewi Rachmawati (2017) dengan judul “Pemberian Terapi

Oksigen Pada Pasien Acute Coronary Syndrome Dengan Chest

Pain Di Instalasi Gawat Darurat” jenis penelitian yang digunakan

adalah penelitian Survei Analitik dengan pendekatan Cross

Sectional, dimaksudkan untuk melihat Pemberian Terapi Oksigen

Pada Pasien Acute Coronary Syndrome Dengan Chest Pain Di

Instalasi Gawat Darurat. Hasil penelitian menunjukkan pasien ACS

dengan nyeri dada tanpa tanda dan gejala hipoksia atau gangguan

pernapasan, syok dan gagal jantung dengan saturasi oksigen ≥94%

maka tanpa terapi oksigen, jika pasien dengan satu atau semua

tanda dan gejala di atas dengan saturasi oksigen <94% maka terapi

oksigen dapat diberikan dengan pemberian awal adalah 4 L / menit

dan dalam titrasi sampai saturasi oksigen ≥94% dengan pemberian

lebih dari 6 jam.

Anda mungkin juga menyukai