Anda di halaman 1dari 6

RESUME POIN-POIN KRUSIAL DRAFT RUU PERUBAHAN UU KPK

No ISU AKIBAT PASAL


1. PEGAWAI KPK TIDAK LAGI • Draft mengatur bahwa seluruh Pegawai KPK menjadi Pegawai • Pasal 1
INDEPENDEN DAN STATUS Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari Pegawai Pemerintah angka 7
PEGAWAI TETAP AKAN BERUBAH dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil • Pasal 24
(PNS). ayat 2
• Merujuk pada UU ASN dan draft UU Perubahan KPK, Pegawai dan 3
Tetap KPK non PNS akan masuk dalam kategori dari Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sedangkan
Pegawai Negeri Yang Diperkerjakan (PNYD) akan berstatus ASN
yang Pegawai Negeri Sipil. Hal tersebut akan menghilangkan
indepedensi Pegawai KPK dalam penanganan perkara karena
soal kenaikan pangkat dan pengawasan sampai mutasi akan
berkoordinasi dan dalam beberapa hal dialakukan oleh
Kementerian terkait. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip
indepedensi KPK yang dibangun pasca reformasi.
• Lebih lanjut, PPPK tidak mempunyai hak promosi dan jaminan
yang sama sebagaimana Pegawai Negeri Sipil.
• Wadah Pegawai akan digantikan oleh KORPRI karena seluruh
ASN harus tergabung dalam Wadah tunggal KORPRI sehingga
tidak akan ada lembaga yang mewakili kepentingan Pegawai
KPK.
• Ketentuan ini amat berbeda dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3)
UU No. 30/2002 yang menentukan bahwa KPK mengatur sistem
kepegawaiannya sendiri sebagai perwujudan independensi dalam
hal personalia
2. KPK MENJADI LEMBAGA • Draft mengatur bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah • Pasal 1
PEMERINTAH/EKSEKUTIF, BUKAN lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas angka 3
LAGI LEMBAGA NEGARA pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
INDEPENDEN • Ketentuan ini bertentangan dengan Putusan MK No. 012-016-
019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga
negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman.
• Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 38 UU No.

1
48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa
fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi
fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
• Dengan demikian, tidaklah tepat menggolongkan KPK
sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan fungsi
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagai lembaga
pemerntah/eksekutif.
3. KPK PERLU MEMINTA IZIN KEPADA • Pimpinan dan Anggota Dewan Pengawas dipilih dan dibentuk • Pasal 12
DEWAN PENGAWAS DALAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) atas usulan Presiden. B
MELAKUKAN PENYADAPAN • Proses penyadapan yang selama ini dilakukan KPK • Pasal 12
MAUPUN, PENYITAAN didasarkan pada standar lawful interception sesuai standar C
PENGGELEDAHAN Eropa serta dipertanggungjawabkan melalui audit oleh pihak • Pasal 37
ketiga akan tergantikan dengan adanya permohonan izin B
kepada Dewan Pengawas. Dewan Pengawas yang dibentuk oleh • Pasal 37
DPR dari usulan Presiden berpotensi memiliki conflict of interest E
dalam melakukan kontrol sehingga bepotensi bocor. Padahal • Pasal 47
penyadapan mempunyai fungsi penting dalam melakukan operasi
tangkap tangan serta fungsi penegakan hukum lainnya.
• Proses penggeledahan yang selama ini dapat dilakukan melalui
mekanisme izin pengadilan tergantikan oleh Dewan
Pengawas.
• Proses penyitaan yang telah diberikan kewenangan secara
istimewa dengan tidak izin pengadilan dalam UU KPK diubah
menjadi harus melalui izin Dewan Pengawas.
• Artinya Penyelidik dan Penyidik melakukan fungsinya sangat
bergantung dari Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR RI
dan Presiden RI. Terlebih pada saat awal terdapat ketentuan 3
dari 5 dewan pengawas harus atas usulan DPR RI.
4. PENYELIDIK HANYA BOLEH DARI • Draft mengatur bahwa untuk penyelidik HANYA BOLEH dari • Pasal 43
KEPOLISIAN Kepolisian. Padahal, Penyelidik mempunyai fungsi penting dalam • Pasal 43A
melakukan penyelidikan dalam rangka menemukan kasus
sebelum penetapan seseorang menjadi tersangka.
• Selama ini penyelidikan KPK terjadi secara independen karena
penyelidik KPK merupakan Pegawai-pegawai yang direkrut secara
independen sebagai Pegawai tetap dari berbagai keahlian. Selain
membuat penyelidik tidak mempunyai kapasitas beragam

2
dengan kerumitan kasus yang ada dengan hanya merekrut
dari Kepolisian, tidak akan adanya penyelidik independen.
• Dalam draft diatur bahwa perekrutan penyelidik diselenggarakan
Kepolisian bekerja sama dengan KPK, sehingga KPK tidak
memiliki independensi dalam pengelolaan personalianya.
5. TIDAK ADA PENYIDIK INDEPENDEN • Draft mensyaratkan penyidik harus berasal HANYA DARI • Pasal 45
PPNS, Kepolisian dan Kejaksaan sehingga tidak mungkin dari • Pasal 45
Penyidik non ketiga institusi tersebut. Artinya dihapuskan A
keberadaan penyidik independen. Padahal penyidik independen
ada selaras dengan tujuan hadirnya KPK untuk membenahi serta
mendorong institusi lain agar lebih optimal sehingga dibutuhkan
penyidik yang tidak memiliki konflik kepentingan.
• Draft mengatur bahwa perekrutan penyidik diselenggarakan
Kepolisian, Kejaksaan, dan instansi yang mengelola PPNS
yang bekerja sama dengan KPK, sehingga KPK tidak memiliki
independensi dalam pengelolaan personalianya.
• Ketentuan ini bertentangan dengan Putusan MK No. 109/PUU-
XIII/2015 yang menyatakan bahwa KPK berwenang
mengangkat penyidiknya sendir atau penyidik independen.
6. PENUNTUTAN KPK TIDAK LAGI • Draft mengatur bahwa proses penuntutan harus berkoordinasi Pasal 12A,
INDEPENDEN KARENA HARUS terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung sehingga KPK tidak Penjelasan
BERKOORDINASI DENGAN independen lagi dalam menjalankan fungsinya. Pasal 12A
KEJAKSAAN AGUNG • Penjelasan Pasal 12A mengatur bahwa koordinasi pelaksanaan
tugas penuntutan dilakukan karena Kejaksaan Agung RI
merpakan lembaga tunggal yang berwenang melakukan
penuntutan, sehingga artinya KPK tidak dianggap sebagai
lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan
penuntutan.
7. HILANGNYA KRITERIA • Draft membatasi kewenangan KPK dalam menanganai kasus Pasal 11
PENANGANAN KASUS YANG yang meresahkan publik dengan hanya membatasi kerugian
MERESAHKAN PUBLIK negara sebatas Rp. 1 Milyar. Padahal dalam penanganan kasus
kerugian negara hanya terbatas pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU
Tipikor. Artinya untuk penanganan suap akan sulit ditangani KPK.
8. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI • KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang Pasal 40
BERWENANG MENGHENTIKAN sangat hati-hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan menurunkan strandar

3
KPK dalam penanganan kasus.
• Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai
selama 1 (satu) tahun akan membuat potensi intervensi kasus
menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut
internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan
selama satu tahun. Selain itu, berpotensi juga dilakukan
penghambatan kasus secara administrasi sehingga lebih dari 1
(satu) tahun.
• Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke
perkara lain bermacam-macam, sehingga mungkin saja ada
perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan waktu lebih dari
satu tahun untuk menanganinya.
• Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana
nasional yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutan
harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses
penyidikan/penuntutannya belum selesai, jadi aturan ini adalah
aturan anomali yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan
tugas penegakan hukum KPK.
9. KPK HANYA BISA MENANGANI • KPK hanya bisa menangani tindak pidana korupsi yang diatur Pasal 1
TINDAK PIDANA KORUPSI YANG dalam UU Tipikor, sementara terdapat beberapa delik korupsi angka 1
DIATUR DALAM UU TIPIKOR (Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 UU Tipikor)
yang ditarik masuk ke dalam RKUHP.
• Ketentuan ini berarti bahwa KPK tidak bisa menangani delik
korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal, 3, Pasal 5,
Pasal 11, dan Pasal 13.
10. DEFINISI PENYELENGGARA • Pasal 1 angka 1 draft mengatur bahwa Penyelenggara Negara Pasal 1
NEGARA AMAT DIPERSEMPIT hanya bermakna pejabat negara yang menjalankan kekuasaan angka 2
eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan
tugas berkaitan dengan penyelengaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Definisi ini mempersempit definisi Penyelenggara Negara dalam
Pasal 1 angka 2 UU No. 30/2002 serta Pasal 2 UU No. 28/1999.
11. PERUBAHAN KONSEP • Pasal 6 huruf a mengatur bahwa KPK bertugas melakukan Pasal 6
PENCEGAHAN KORUPSI tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak huruf a
pidana korupsi.
• Ketentuan ini dapat dimaknai bahwa apabila KPK mendapatkan

4
bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana korupsi, KPK
harus melakukan tindakan agar tindak pidana korupsi tersebut
tidak terjadi.
• Selain itu, draft mengatur bahwa pelaksanaan pencegahan korupsi
yang dilakukan KPK wajib dilaporkan kepada Presiden dan DPR.
12. KPK TIDAK LAGI BERWENANG • Pasal 7 ayat (1) huruf a mengatur bahwa KPK melakukan Pasal 7 ayat
MELAKUKAN PENDAFTARAN DAN supervisi dan koordinasi pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN (1) huruf a
PEMERIKSAAN LHKPN yang dilakukan oleh masing-masing instansi, kementerian, atau
lembaga.
• Hal ini berarti bahwa KPK tidak lagi berwenang melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN
13. KPK HANYA BERWENANG • Pasal 10A mengatur bahwa KPK hanya dapat mengambil alih Pasal 10A
MENGAMBIL ALIH PERKARA DALAM perkara pada tingkat penyidikan, sementara Pasal 8 UU No.
TAHAP PENYIDIKAN 30/2002 mengatur bahwa KPK dapat mengambil alih perkara pada
tahap penyidikan dan penuntutan.
14. PENYADAPAN HANYA DAPAT • Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa KPK hanya berwenang Pasal 12
DILAKUKAN PADA TAHAP melakukan penyadapan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. ayat (1)
PENYIDIKAN • Padahal, Pasal 12 UU No. 30/2002 mengatur bahwa KPK
berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
15. KEWENANGAN KHUSUS • Kewenangan khusus yang dimiliki KPK, misalnya kewenangan Pasal 12
PENEGAKAN HUKUM YANG DIMILIKI melarang seseorang bepergian ke luar negeri, meminta data
KPK HANYA DAPAT DILAKUKAN perbankan, pemblokiran rekening, dan pemberhenteian sementara
PADA TAHAP PENYELIDIKAN seorang pejabat, hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan.
• Padahal, kewenangan-kewenangan khusus tersebut menurut
Pasal 12 UU No. 30/2002 dapat dilakukan KPK pada tahap
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
16. DEWAN PENGAWAS UNSUR • Draft menjelaskan bahwa unsur KPK adalah Pimpinan, Dewan Pasal 21
“PENASIHAT KPK” DIHAPUS Pengawas, dan Pegawai. ayat (1)
• Dengan demikian, unsur “Penasihat KPK” dihapus dengan
keberadaan Dewan Pengawas.
17. PIMPINAN KPK BUKAN LAGI • Pasal 21 UU No. 30/2002 mengatur bahwa Pimpinan KPK adalah Pasal 21
PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN penyidik, penuntut umum, dan penanggung jawab tertinggi KPK.
PENANGGUNG JAWAB TERTINGGI • Draft mengatur bahwa Pimpinan bukanlah penyidik, penuntut
KPK umum, dan penanggung jawab tertinggi KPK.

5
18. DEWAN PENGAWAS ADALAH • Terdapat ketidakjelasan nomenklatur struktur kelembagaan dari Pasal 37A
LEMBAGA NONSTRUKTURAL, KPK dan Dewan Pengawas. Draft mengatur bahwa KPK adalah
SEMENTARA KPK ADALAH lembaga pemerintah pusat, sementara Dewan Pengawas yang
LEMBAGA PEMERINTAH PUSAT merupakan bagian dari merupakan lembaga nonstructural.
19. KPK HARUS MENGIKUTI PROSEDUR • Pasal 46 UU No. 30/2002 mengatur bahwa terhitung sejak Pasal 46
KHUSUS JIKA MEMERIKSA seseorang ditetapkan sebagai tersangka, prosedur khusus tidak
TERSANGKA berlaku bagi KPK.
• Draft mengatur bahwa terhitung sejak orang menjadi tersangka,
yang berlaku adalah prosedur hukum acara pidana umum,
sehingga artinya pemeriksaan yang dilakukan KPK harus
mengikuti prosedur khusus.
20. HASIL PENGGELEDAHAN DAN • Draft mengatur bahwa hasil penggeledahan dan penyitaan bisa Pasal 47A
PENYITAAN BISA DILELANG TANPA dilelang namun tidak mengatur mekanisme hukum yang jelas.
MEKANISME HUKUM YANG JELAS • Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 45 KUHAP yang
mengatur dengan jelas mengenai mekanisme jual lelang barang
sitaan.
21. KETENTUAN PERALIHAN TIDAK • Pasal 70B tidak memberikan kepastian hukum karena tidak jelas Pasal 70B
MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM meyebutkan peraturan perundang-undangan mana yang dicabut Pasal 70C
dan dinyatakan tidak berlaku.
• Pasal 70C tidak memberikan kepastian hukum dalam hal
pelaksanaan perkara, karena dimungkinkan terjadinya
penanganan suatu perkara berdasarkan dua UU, yaitu UU No.
30/2002 dan RUU KPK ini.

Anda mungkin juga menyukai