Anda di halaman 1dari 36

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN TBC

A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium Tuberkulosis) sebagian besar menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2015).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang kronis dan harus dilaporkan yang
ditimbulkan oleh Mycobacterium Tuberculosa (Depkes, 2008).
Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit kronik yang sudah lama dikenal pada
manusia, misalnya dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban,
lingkungan padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra
thorax khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman
neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding
piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM. (Chandra, 2012).
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberkulosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Arief
Mansjoer, 2008).
Jadi dapat disimpulkan tuberkulosis adalah penyakit menular secara langsung
dan kronis yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberkulosis).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1.1 Sistem Pernafasan Manusia (Chandra, 2012)


Sistem pernafasan dibagi menjadi dua bagian yaitu saluran penafasan
bagian atas, yang terdiri dari hidung, faring, dan laring. Saluran pernafasan bagian
bawah yaitu terdiri dari trakea, bronkus dan paru paru.
Paru adalah struktur elastik yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan.
Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya, yaitu
digfragma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan
menurunkan kapasitas dada. Ketika dalam kapasitas dada meningkat, udara
masuk melalui trakea (inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam, dan
mengembangkan paru. Ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukuran
semula (ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis, dan mendorong
udara keluar melalui bronkus dan trakea.
Pernafasan adalah proses ganda, yaitu menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh, serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.
Penghisapan ini disebut inspirasi dan penghembusan disebut ekspirasi.
Fungsi pernafasan adalah mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh
darah keseluruh tubuh untuk proses metabolisme, dan mengeluarkan
karbondioksida sebagai sisa dari metabolisme. Dalam proses pertukaran gas
antara oksigen dan karbondioksida terjadi bila ada perbedaan tekanan. Proses ini
disebut dengan difusi. Oksigen berdifusi dari alveoli kedalam darah kapiler paru
karena tekanan oksigen (PO2) dalam alveoli lebih besar dari pada Po2 dalam
darah paru. Kemudian dalam jaringan, PO2 yang sangat tinggi dalam darah
kapiler menyebabkan oksigen berdifusi kedalam sel.
Sebaliknya, bila oksigen dimetabolisme dalam sel untuk membentuk
karbondioksida, tekanan karbondioksida (PCO2) meningkat, sehingga
karbondioksida berdifusi kedalam kapiler jaringan. Demikian juga,
karbondioksida berdifusi keluar dari darah masuk kedalam alveoli karena PCO 2
dalam darah kapiler paru lebih besar dari pada dalam alveoli. Pada dasarnya,
transpor dan karbondioksida oleh darah tergantung pada difusi keduanya dan
aliran darah.
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-
kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan
dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan
kesamping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar,
dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis
dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus
lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan
berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang
yang berjalan kelobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus
lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus
menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi
bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung
alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang
lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi
dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran
udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar
udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat
pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada
dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus
alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut
lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali
percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan
oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.

C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI

Gambar 1.2 Mycobacterium Tuberculosa (Chandra, 2012)


TB paru disebabkan oleh kuman tahan asam yaitu Mycobacterium
Tuberculosa. Setelah terinfeksi kuman tersebut kira-kira 50% kuman akan
berkembang menjadi TBC aktif dalam satu tahun, sisanya kuman ini akan
menyebabkan infeksi laten.
Adapun faktor yang mungkin terjadi menurut Muttaqin, 2008 antara lain :
- Kontak langsung dengan penderita TBC aktif.
- Menurunnya kekebalan tubuh
- Kurang nutrisi yang adekuat.
- Lingkungan dengan prevalensi TB yang tinggi
- Pengobatan paru yang tidak tuntas.

D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA


1. Gejala Umum
a. Batuk terus menerus dan berdahak 3 (tiga) minggu atau lebih.
Merupakan proses infeksi yang dilakukan Mycobacterium Tuberkulosis
yang menyebabkan lesi pada jaringan parenkim paru.
2. Gejala lain yang sering dijumpai
a. Dahak bercampur darah
Darah berasal dari perdarahan dari saluran napas bawah, sedangkan dahak
adalah hasil dari membran submukosa yang terus memproduksi sputum
untuk berusaha mengeluarkan benda saing.
b. Batuk darah
Terjadi akibat perdarahan dari saluran napas bawah, akibat iritasi karena
proses batuk dan infeksi Mycobacterium Tuberkulosis.
c. Sesak napas dan nyeri dada
Sesak napas diakibatkan karena berkurangnya luas lapang paru akibat
terinfeksi Mycobacterium Tuberkulosis, serta akibat terakumulasinya
sekret pada saluran pernapasan.
Nyeri dada timbul akibat lesi yang diakibatkan oleh infeksi bakteri, serta
nyeri dada juga dapat mengakibatkan sesak napas.
d. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang
enak badan (malaise), berkeringat malam walau tanpa kegiatan, demam
meriang lebih dari sebulan.
Merupakan gejala yang berurutan terjadi, akibat batuk yang terus menerus
mengakibatkan kelemahan, serta nafsu makan berkurang, sehingga berat
badan juga menurun, karena kelelahan serta infeksi mengakibatkan kurang
enak badan dan demam meriang, karena metabolisme tinggi akibat pasien
berusaha bernapas cepat mengakibatkan berkeringat pada malam hari.
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
Gejala Klinis tuberculosa yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS
yaitu TB Paru :
1. Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influenza).
2. Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh
darah).
3. Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
5. Malaise, anoreksia, kurus, pusing, meriang, nyeri otot, keringat malam.

E. PATOFISIOLOGI
Tempat masuknya kuman tuberkulosis adalah saluran pernapasan,
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Namun kebanyakan infeksi terjadi
melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman
basil tuberkel dari orang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya berada di bagian bawah lobus atas paru-paru atau di bagian
atas lobus bawah dan membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear (PMN) memfagosit bakteri namun tidak membunuhnya.
Selanjutnya leukosit diganti oleh makrofag, alveoli yang terserang mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Gejala ini dapat sembuh dengan
sendirinya.
Proses dapat terus berlanjut dan bakteri terus difagosit dan berkembangbiak
di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Lesi
berkembang dan terbentuk jaringan parut yang mengelilingi tuberkel yang
disebut fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dengan
fokus ghon disebut kompleks ghon. Fokus ghon dapat menjadi nekrotik dan
membentuk masa seperti keju, dapat mengalami kalsifiksi membentuk lapisan
protektif sehingga kuman menjadi dorman.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit
aktif karena gangguan atau respons inadekuat dari sistem imun. Penyakit aktif
dapat juga terjadi akibat infeksi ulang atau aktivasi bakteri dorman. Hanya
sekitar 10% yang awalnya terinfeksi yang mengalami penyakit aktif. Basil TB
dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman. Penyakit dapat juga
menyebar melalui kelenjar limfe dan pembuluh darah yang dikenal denga
penyebaran limfohematogen ke berbagai organ lain seperti usus, ginjal, selaput
otak, kulit dan lain-lain.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula (Suzanne, 2010)
E. Pathway

BAKTERI

Mikrobakterium Tuberkulosis

Luka Terbuka pada Kulit


Pernapasan Pencernaan Luka

Inhalasi Droplet Melalui Makanan Melalui


Melalui cairan tubuh

Menetap di jaringan
paru

Peradangan

TBC

Meluas

Hematogen (bekterimia)

Penekanan kelenjar getah Peningkatan


Pleura suhu di malam
bening Peritoneum
hari
Pleuritis Sumbatan
sebagian Hipertermia
Asam lambung
Nyeri dada bronkus
Radang tahunan di
bronkus
Nyeri akut Mual, muntah
Mengganggu perfusi &
Pembentukan difusi O2
Berkembang Nafsu makan menurunan
sputum
menghancurkan jaringan
berlebihan
ikat di sekitar Suplai O2 kurang
BB Menurun
Bagian tengah nekrosis
Gangguan
Ketidakseimbangan
Pertukaran Gas
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Membran jaringan keju
Ketidakefektifan
Sekret keluar saat batuk bersihan jalan
nafas

Batuk produktif

Dorplet infektion

Terhirup orang sehat

Risiko infeksi
F. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2008), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya
jalan napas.
2) Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
3) Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan
tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum
juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum,
terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum
air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga
dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit,
sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing
atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum
bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada
anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan
diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat. kuman
BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila
bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum
yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan
3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000
kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di
bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan
untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis pasti,
dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu
tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Rekomendasi WHO skala IUATLD :
1. Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative
2. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3. Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+
1) Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering
digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.Penderita anak umur kurang dari 1
tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun
92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji
tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin,
namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian
depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan
48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi.
2) Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu
lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan
fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan
suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di
lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini
terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan
batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini
sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak
lebih jelas dengan pemberian kontras. Pemeriksaan rontgen thoraks sangat
berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung pada tipe
keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis,
apakah sama baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap
serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi
pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien
dengan penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari
tingkat eksudatif yang besar.
3) Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik
ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan
kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema
perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa
kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang
negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat
diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
4) Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB
milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada
ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen
akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai
nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul
halus atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua
lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus
yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
Gambaran radiologi pada penderita TB HIV dapat menentukan derajat
imunocompromise.Pada imunocompromise sedang, akan terlihat gambaran
radiologi TB paru pada umumnya.Sedangkan apabila imunocompromise sudah
berat maka akan terlihat gambaran yang atypical.
5) Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium
antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu
pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap
OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang percobaan, dan
percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.
Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang
sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED
biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA
2) Penatalaksanaan
Kebanyakan individu dengan TB aktif yang baru didiagnosa tidak dirawat di
rumah sakit. Jika TB paru terdiagnosa pada individu yang sedang dirawat,klien
mungkin akan tetap dirawat sampai kadar obat terapeutik telah ditetapkan.
Beberapa pasien yang di rumah sakit karena alasan :
a. Mereka sakit akut
b. Situasi kehidupan mereka dianggap beresiko tinggi
c. Mereka diduga tidak patuh terhadap pengobatan
d. Terdapat riwayat TB sebelumnya
e. Terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut
f. Tidak terjadi perbaikan setelah terapi
g. Mereka resisten terhadap pengobatan yang biasa.
Pengobatan dan perawatan singkat di rumah sakit diperlukan untuk
memantau keefektifan terapi dan efek samping obat-obat yang diberikan.
Klien dengan diagnosa TB aktif biasanya mulai diberikan 3 jenis medikasi
untuk memastikan bahwa organisme yang resisten telah disingkirkan. Dosis
dari beberapa obat cukup besar karena basil sulit untuk dibunuh. Pengobatan
berlanjut cukup lama untuk menyingkirkan atau mengurangi secara subtansial
jumlah basil dorman atau semidorman. Medikasi yang digunakan untuk TB
dibagi menjadi preparat primer dan preparat baris kedua. Preparat primer
selalu diresepkan pertama kali sampai laporan hasil kultur dan laboratorium
memberikan data yang pasti. Klien dengan riwayat terapi TB yang tidak
selesai mungkin mempunyai organisme yang menjadi resisten dan preparat
sekunder harus digunakan. Lamanya pengobatan mempunyai pendekatan 2
fase :
a. Fase intensif yang menggunakan dua atau tiga jenis obat,ditujukan untuk
menghancurkan sejumlah besar organisme yang berkembang biak dengan
cepat
b. Fase rumatan,biasanya denagan dua obat diarahkan pada pemusnaan
sebagian besar basil yang masih tersisa.
Program pengobatan dasar yang direkomendasikan bagi klien yang
sebelumnya belum diobati adalah dosis harian isoniazid, rifampin dan
pirazinamid selama 2 bulan. Kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi
kesakilan terapi. Jika kepatuhan terhadap pendosisan harian menjadi
masalah,maka diperlukan protokol TB yang memberikan medikasi 2 atau 3
kali seminggu. Program ini diberikan di klinik untuk memastikan klien
menerima obat yang diharuskan. Jika medikasi yang digunakan tidak
aktif,program harus dievaluasi kembali dan kepatuhan klien harus dikaji.
Medikasi yang digunakan untuk mengobati TB mempunyai efek samping
yang serius,bergantung pada obat spesifik yang diresepkan. Toleransi
obat,efek obat dan toksisitas obat bergantung pada faktor-faktor seperti
usia,dosis obat,waktu sejak obat terakhir digunakan,formula kimia dari
obat,fungsi ginjal dan usus serta kepatuhan klien. Klien penderita TB yang
tidak membaik atau yang tidak mampu menoleransi medikassi membutuhkan
pengkajian dan pengobatan pada fasilitas medis yang mengkhususkan dalam
pengobatan TB paru berkomplikasi.

Obat Anti Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)


TB Aksi Potensi Per Minggu
Per Hari
Esensial 3x 2x
Isoniazid Bakterisidal Tinggi 5 10 15
(H) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Rifampisi Bakterisidal Rendah 25 35 50
n (R) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Pirasinam Bakteriostati Rendah 15 30 45
id (Z) k
Streptomi
sin (S)
Etambuto
l (E)

Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga


mnecegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT
serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi
menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).
Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis
obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat
tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam
Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama
dapat dilihat pada tabel berikut:
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu
berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di
samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang
dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang
direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1) Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam
penanggulangan TB.
2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung
sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan
kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3) Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan
pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4) Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5) Pencatatan dan pelaporan yang baku.
Efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi pada
penderita HIV dengan TB dibandingkan kelompok non-HIV. Karena itu, OAT
sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV untuk mengurangi
kemungkinan interaksi obat,ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi paradoks.
Namun, jika penderita HIV sudah dalam terapi ARV, ARV tetap
diteruskan.Regimen pengobatan TB sendiri tidak berbeda dengan regimen
pengobatan TB pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan.
Kecuali pada arthritis TB dan osteomielitis TB yang pengobatan 6-9 bulan
dan meningitis TB dapat mencapai 9-12 bulan. Hingga kini, belum diketahui
berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada penderita HIV dengan TB.
Regimen ARV yang dianjurkan pada rekomendasi untuk TB pada HIV adalah
menggunakan kombinasi efavirenz. Rifampisin dan nevirapin sama-sama
menginduksi enzim sitokrom P450, sehingga akan menurunkan konsentrasi
nevirapin dalam darah
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PADA
PASIEN DENGAN TBC

A. Pengkajian
1. Identitas : Identitas Px meliputi : nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal
dan jam masuk RS, No. Reg, ruangan, serta identitas yang bertanggung
jawab.
2. Keluhan Utama : Biasanya Px TB Paru ditandai dengan sesak nafas, batuk
dan berat badan menurun.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang : Pada umumnya Px TBC Sering
mengalami panas lebih dari 2 minggu sering terjadi bentuk berulang-
ulang, anorexia, lemah, berkeringat banyak pada malam hari dan
hemaptoe
b. Riwayat kesehatan lalu : Px mempunyai riwayat tertentu seperti, Diare
kronik, investasi cacing, malaria kronik, campak dan infeksi HIV
4. Riwayat kesehatan keluarga : Px keluarganya tidak mempunyai penyakit
menular atau mempunyai penyakit menular
5. Riwayat psikososial : Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam
psikologis Px dengan timbul gejala-gejala yang dialami dalam proses
penerimaan terhadap penyakitnya, meliputi : Perumahan yang
padat,Lingkungan yang kumuh dan kotor,Keluarga yang belum mengerti
tentang kesehatan, Pola Fungsi Kesehatan
6. Pola Gordon:
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Meliputi : kebiasaan merokok, banyaknya rokok yang dihabiskan,
penggunaan alkohol, tembakau dan kebiasaan olah raga.
b. Nutrisi dan metabolisme : Meliputi : nafsu makan, diit khusus /
suplemen, fluktuasi berat badan 6 bulan terakhir, kesukaran menelan.
c. Pola eliminasi : Meliputi : kebiasaan eliminasi urine / defekasi, warna,
konsistensi dan bau sebelum MRS atau MRS.
d. Pola istirahat dan tidur : Meliputi : lama tidur Px sebelum MRS dan
MRS, gangguan waktu tidur, merasa tenang setelah tidur.
e. Pola aktifitas dan latihan : Meliputi : kegiatan Px dirumah dan di RS,
serta lamanya aktivitas.
f. Pola persepsi dan konsep diri : Meliputi : body image, self sistem,
kekacauan identitas, depersonalisasi.
g. Pola sensori dan kognitif : Meliputi :daya pengelihatan, pendengaran,
penciuman, perabaan dan kognitif Px baik atau tidak.
h. Pola reproduksi sexual : Meliputi : penyakit yang diderita pasien dapat
mempengaruhi pola seksual Px, pemeriksaan payudara setiap bulan
sekali / 2 bulan, masalah seksual yang berhubungan dengan penyakit.
i. Pola hubungan peran : Meliputi : hubungan dengan keluarga, rekan
kerja dan teman atau masyarakat.
j. Pola penanggulangan stress : Meliputi : penyebab stres, koping
terhadap stres, adaptasi terhadap stres, pertahanan diri terhadap dan
pemecahan masalah.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan : Meliputi : agama, keyakinan dan
ritualitas.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Keadaan penyakit, kesadaran, suhu, nadi, pernafasan,
BB, TB.
b. Kepala dan leher : Bentuk, kelainan, tanda-tanda trauma, warna rambut
dan kebersihan rambut.
- Mata : Sklera, konjungtiva dan kornea.
Hidung : Bentuk, bersih atau tidak ada polip atau
tidak, daya penciuman normal atau
tidak.
- Mulut : Bentuk, kebersihan, ada perdarahan atau
tidak, mukosa bibir.
Telinga : Bentuk, kebersihan, daya pendengaran.
- Leher : Ada pembesaran kelenjar tynoid atau
tidak ada pembengkakan atau tidak.
c. Thorax : Bentuk Thorax Px TB paru biasanya tidak normal (Barrel chest)
d. Paru : Bentuk dada tidak simetris, pergerakan paru tertinggal, adanya
whezing atau ronkhi, ada suara nafas Bronchial
e. Jantung : Didapatkan suara 1 dan suara 2 tunggal
f. Abdomen : Biasanya Px TB terdapat pembesaran limpha dan hati
g. Kulit : Tidak didapatkan kelainan pada tekstur kulit, warna kulit, turgor
kulit menurun atau tidak
h. Ekstrimititas : Akral hangat dan dingin, ada edema dikaki atau tidak,
nyeri waktu berjalan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus berlebihan.
2. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru.
3. Hipertermia berhubungan dengan reaksi inflamasi.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (pleuritis).
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis (ketidakadekuatan intake nutrisi).
6. Risiko infeksi berhubungan dengan orgasme porulen.
C. Intervensi

NO DIAGNOSA/MASALAH KOLABORASI TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x 24 1. Manajemen jalan nafas :
jam diharapkan jalan nafas pasien efektif. Dengan
Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekresi a. Buka jalan nafas dengan chin lift atau
kreteria hasil:
atau obstruksi saluran nafas untuk jaw thrust
mempertahankan bersihan jalan nafas. 1. Status pernafasan : kepatenan jalan nafas:
b. Posisikan pasien untuk
Batasan karakteristik : a. Frekuensi pernafasan dengan skala 5 (tidak memaksimalkan ventilasi
ada deviasi dari kisaran normal)
1. Batuk yang tidak efektif c. Identifikasi kebutuhan aktual
b. Irama pernafasan dengan skala 5 (tidak ada
2. Dispnea d. Masukkan alat NPA
deviasi dari kisaran normal)
3. Gelisah e. Lakukan fisioterapi dada
c. Kedalaman inspirasi dengan skala 5 (tidak
4. Kesulitan verbalisasi ada deviasi dari kisaran normal) f. Auskultasi suara nafas

5. Mata terbuka lebar d. Kemampuan untuk mengeluarkan sekret g. Kelola nebulizer ultrasonik
dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
6. Ortopnea h. Kelola udara atau oksigen yang
normal)
dilembabkan
7. Penurunan bunyi nafas
8. Perubahan frekuensi nafas e. Ansietas dengan skala 5 (tidak ada) i. Monitor status pernafasan dan
oksigen
9. Perubahan pola nafas f. Suara nafas tambahan dengan skala 5 (tidak
ada) 2. Monitor pernafasan :
10. Sianosis
g. Pernafasan cuping hidung dengan skala 5 a. Monitor kecepatan, irama, kedalaman
11. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
(tidak ada) dan kesulitan bernafas
12. Suara nafas tambahan
h. Penggunaan otot bantu pernafasan dengan b. Catat pergerakan dada,
13. Tidak ada batuk skala 5 (tidak ada) ketidaksimetrisan, penggunaan otot
bantu nafas, dan retraksi dada.
Faktor yang berhubungan: i. Batuk dengan skala 5 (tidak ada)
c. Monitor suara nafas tambahan
1. Lingkungan: 2. Status pernafasan : pertukaran gas:
d. Monitor pola nafas
a. Perokok a. Tekanan parsial oksigen di dalam darah arteri
dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran e. Monitor saturasi oksigen
b. Perokok pasif
normal)
f. Monitor kemampuan batuk efektif
c. Terpajan asap
b. Tekanan parsial karbondioksida darah arteri
g. Monitor hasil foto thorak
2. Obstruksi jalan nafas dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal) h. Berikan terapi nebulizer
a. Adanya jalan nafas buatan
c. Saturasi oksigen dengan skala 5 (tidak ada
b. Benda asing dalam jalan nafas deviasi dari kisaran normal)

c. Eksudat dalam alveoli d. Hasil rotgen dada dengan skala 5 (tidak ada
deviasi dari kisaran normal)
d. Hiperplasia pada dinding bronkus

e. Mukus berlebihan

f. Penyakit paru obstruksi kronik

g. Sekresi yang tertahan

h. Spasme jalan nafas

3. Fisiologi

a. Asma

b. Disfungsi neuromuskuler

c. Infeksi

d. Jalan nafas alergik

2. Gangguan pertukaran gas Setelah dialkukan asuhan keperawatan selama ...x24 1. Manajemen jalan nafas :
jam diharapkan status pertukaran gas pasien efektif.
Definisi : kelebihan atau defisit oksigenasi dan Dengan kreteria hasil: a. Buka jalan nafas dengan chin lift atau
atau eleminasi karbondioksida pada membran jaw thrust
1. Status pernafasan : pertukaran gas:
alveolar-kapiler
b. Posisikan pasien untuk
a. Tekanan parsial oksigen di dalam darah
Batasan karakteristik: memaksimalkan ventilasi
arteri dengan skala 5 (tidak ada deviasi
1. Diaforesis dari kisaran normal) c. Identifikasi kebutuhan aktual

2. Dispnea b. Tekanan parsial karbondioksida darah d. Masukkan alat NPA


arteri dengan skala 5 (tidak ada deviasi
3. Gangguan penglihatan e. Lakukan fisioterapi dada
dari kisaran normal)
4. Gas darah arteri abnormal f. Auskultasi suara nafas
c. Saturasi oksigen dengan skala 5 (tidak ada
5. Hiperkapnea deviasi dari kisaran normal) g. Kelola nebulizer ultrasonik

6. Hipoksemia d. Hasil rotgen dada dengan skala 5 (tidak h. Kelola udara atau oksigen yang
ada deviasi dari kisaran normal) dilembabkan
7. Hipoksia
2. Status pernafasan: i. Monitor status pernafasan dan
8. Iritabilitas
oksigen
a. Frekuensi pernafasan dengan skala 5
9. Konfusi
(tidak ada deviasi dari kisaran normal) 2. Monitor pernafasan :
10. Nafas cuping hidung
b. Irama pernafasan dengan skala 5 (tidak a. Monitor kecepatan, irama, kedalaman
11. Penurunan karbondioksida ada deviasi dari kisaran normal) dan kesulitan bernafas

12. pH arteri abnormal c. Kedalaman inspirasi dengan skala 5 (tidak b. Catat pergerakan dada,
ada deviasi dari kisaran normal) ketidaksimetrisan, penggunaan otot
13. Pola pernafasan abnormal
bantu nafas, dan retraksi dada.
d. Suara auskultasi nafas dengan skala 5
14. Sakit kepala saat bangun
(tidak ada deviasi dari kisaran normal) c. Monitor suara nafas tambahan
15. Sianosis
e. Kepatenan jalan nafas dengan skala 5 d. Monitor pola nafas
16. Somnolen Takikardia (tidak ada deviasi dari kisaran normal)
e. Monitor saturasi oksigen
17. Warna kulit abnormal f. Saturasi oksigen dengan skala 5 (tidak ada
f. Monitor kemampuan batuk efektif
deviasi dari kisaran normal)
Faktor yang berhubungan
g. Monitor hasil foto thorak
g. Sianosis dengan skala 5 (tidak ada)
1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
h. Berikan terapi nebulizer
h. Batuk dengan skala 5 (tidak ada)
2. Perubahan membran alveolar-kapiler
i. Suara nafas tambahan dengan skala 5
(tidak ada)

3. Hipertermi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x 24 1. Perawatan Demam


jam diharapkan suhu tubuh pasien dalam rentang
Definisi a. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
normal. Dengan kreteria hasil:
Suhu tubuh diatas kisaran normal diurnal 1. Termoregulasi b. Monitor warna kulit dan suhu
karena kegagalan termoregulasi. a. Menggigil saat dingin (skala 5) c. Monitor asupan dan keluaran
b. Tingkat pernapasan (skala 5) d. Beri obat atau cairan IV (misalnya:
Batasan Krakteristik
c. hipertermia (skala 5) antipiretik, agen antibakteri, dan agen
1. Apnea d. perubahan warna kulit (skala 5) anti menggigil)
2. Bayi tidak dapat mempertahankan e. dehidrasi (skala 5) e. Tutup pasien dengan selimut atau
menyusu 2. Tanda- tanda vital pakaian ringan, tergantung pada fase
3. Gelisah a. Suhu tubuh (Skala 5) demam
4. Hipotensi b. Tingkat pernapasan (Skala 5) f. Dorong konsumsi cairan
5. Kejang c. Irama pernapasan (Skala 5) g. Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan
6. Koma d. Tekanan darah sistolik (Skala 5) aktivitas: jika diperlukan
7. Kulit kemerahan e. Tekanan darah diastolik (Skala 5) h. Lembabkan bibir dan mukosa hidung
8. Kulit terasa hangat f. Tekanan nadi (skala 5) yang kering
9. Letargi
10. Postur abnormal
11. Stupor
12. Takikardia
13. Takipnea
14. Vasodilatasi
Faktor – faktor yang berhubungan

1. Ages farmaseutikal
2. Aktivitas berlebihan
3. Dehidrasi
4. Iskemia
5. Pakaian yang tidak sesuai
6. Peningkatan laju metabilisme
7. Penurunan perspirasi
8. Penyakit
9. Sepsis
10. Suhu lingkungan tinggi
11. Trauma

4. Nyeri Akut Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Analgesic administration


Definisi: pengalaman sensori dan emosional tidak selama ...x24jam, nyeri yang dirasakan klien dapat a. Mengetahui lokasi, karekteristik, kualitas
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan dikontrol dari nyeri
jaringan aktual atau potensial yang digambarkan Kriteria hasil : b. Mengecek riwayat alergi obat dari klien
sebagai kerusakan, awitan yang tiba-tiba atau 1. Pain control c. Kolaborasi pemberian analgesic atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan a. Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 kombinasi analgesic yang cocok
akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dalam mengambil langkah pencegahan digunakan pada klien
Batasan karakterisyik : b. Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 d. Memonitor TTV sebelum dan sesudah
1. Bukti nyeri dengan menggunakan standar adanya monitoring gejala dari nyeri pemberian analgesic pada jam pertama
daftar periksa nyeri c. Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 pemberian obat
2. Diaforesis terhadap pemakaian analgesic yang 2. Pain management
3. Dilatasi pupil ekspresi wajah nyeri direkomendasikan a. Mengobservasi ekspresi nonverbal dari
4. Fokus menyempit d. Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 klien
5. Fokus pada diri sendiri melaporkan bahwa nyerinya terkontrol b. Mengeksplorasi pengetahuan dan
6. Keluhan tentang nyeri 2. Pain level kepercayaan klien terhadap nyeri
7. Laporan tentang perilaku nyeri a. Melaporkan nyeri tidak ada (pada skala 5) c. Mendampingi klien dan keluarga untuk
Faktor yang berhubungan: b. Ekspresi wajah saat nyeri tidak ada (pada mendapatkan support
1. Agen cidera biologis skala 5) d. Menyediakan informasi tentang nyeri
2. Agen cidera fisik c. Kegelisahan tidak ada (pada skala 5) dan mengantisipasi ketidaknyamanan
3. Agen cidera kimia d. RR tidak menyimpang dari normal berada dari prosedur
pada skala 5 e. Mengajarkan klien tentang manejemen
e. Tekanan darah tidak menyimpang dari normal nyeri
berada pada skala 5
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ....x24 1. Manajemen nutrisi :
tubuh jam diharapkan nutrisi pasien terpenuhi. Dengan a. Tentukan status gizi dan kemampuan
kreteria hasil : pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Definisi : Intake nutrisi tidak cukup untuk 1. Status nutrisi: b. Tentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
keperluan metabolisme tubuh. a. Asupan gizi dengan skala 5 (tidak dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan
menyimpang dari rentang normal) gizi.
Batasan karakteristik : b. Asupan makanan dengan skala 5 (tidak c. Beri obat-obat sebelum makan jika
1. Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal menyimpang dari rentang normal) diperlukan.
2. Dilaporkan adanya intake makanan yang c. Asupan cairan dengan skala 5(tidak d. Ajarkan pasien untuk memantau kalori
kurang dari RDA (Recomended Daily menyimpang dari rentang normal) intake makanan.
Allowance) d. Energi dengan skala 5 ( tidak menyimpang 2. Pemberian makan:
3. Membran mukosa dan konjungtiva pucat dari rentang normal) a. Identifikasi diet yang disarankan.
4. Kelemahan otot yang digunakan untuk e. Risiko berat/tinggi badan dengan skala 5 b. Ciptakan lingkungan yang
menelan/mengunyah (tidak menyimpang dari rentang normal) menyenangkan selama makan.
5. Luka, inflamasi pada rongga mulut f. Hidrasi dengan skala 5 (tidak menyimpang c. Lakukan kebersihan mulut sebelum
6. Mudah merasa kenyang, sesaat setelah dari rentang normal) makan.
mengunyah makanan 2. Berat badan : massa tubuh d. Identifikasi refleks menelan jika
7. Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan a. Berat badan skala 5 (tidak ada deviasi dari diperlukan.
makanan kisaran normal) e. Atur makan sesuai kesukaan pasien.
8. Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa b. Ketebalan kulit trisep skala 5 (tidak ada f. Catat asupan dengan tepat.
9. Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah deviasi dari kisaran normal)
makanan c. Ketebalan kulit subskapularis skala 5 (tidak
10. Miskonsepsi ada deviasi dari kisaran normal)
11. Kehilangan BB dengan makanan cukup d. Presentase lemak tubuh skala 5 (tidak ada
12. Keengganan untuk makan deviasi dari kisaran normal)
13. Kram pada abdomen
14. Tonus otot jelek
15. Nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi-
16. Kurang berminat terhadap makanan
17. Pembuluh darah kapiler mulai rapuh
18. Diare dan atau steatorrhea
19. Kehilangan rambut yang cukup banyak
(rontok)
20. Suara usus hiperaktif
21. Kurangnya informasi, misinformasi

Faktor-faktor yang berhubungan :


1. Faktor biologis
2. Faktor ekonomi
3. Gangguan psikososial
4. Ketidakmampuan makan
5. Ketidakmampuan mencerna makanan
6. Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
7. Kurang asupan makan

6. Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ...x 24 1. kontrol resiko:
Definisi : Rentan mengalami infasi dan multifikasi jam diharapkan pasien tidak mengalami infeksi.
a. Bersihkan lingkungan dengan baik
organism patogenik yang dapat mengganggu Dengan kreteria hasil:
setelah dipakai pasien lain
kesehatan. 1. kontrol resiko
b. Pertahankan teknik isolasi
Faktor Risiko: a. Mengidentifikasi factor resiko (5)
c. Batasi pengunjung bila perlu
1. Kurang pengetahuan untuk menghindari secara konsisten menunjukkan
d. Instruksikan pada pengunjung untuk
pemajanan patogen b. Mengenali factor resiko individu (5)
mencuci tangan saat berkunjung dan
2.Malnutrisi secara konsisten menunjukkan
setelah berkunjung meninggalkan pasien
3.Obesitas c. Memonitor factor resiko di lingkungan
e. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
4.Penyakit kronis (5) secara konsisten menunjukkan
tangan
5.Prosedur infasif d. Memonitor factor resiko individu (5)
f. Cuci tangan setiap sebelum dan setelah
secara konsisten menunjukkan
tindakan keperawatan
e. Mengembangkan strategi yang efektif g. Gunakan baju, sarung tangan sebagai
dalam mengontrol resiko (5) secara pelindung
konsisten menunjukkan h. Pertahankan lingkungan aseptic selama
f. Mengenali perubahan status kesehatan pemasangan alat
(5) secara konsisten menunjukkan i. Ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
j. Pastikan teknik perawatan luka yang
tepat
k. Gunakan kateter intermitten untuk
menurunkan infeksi kandung kencing
l. Tingkatkan intake nutrisi
m. Berikan terapi antibiotic bila perlu
infection protection (proteksi terhadap
infeksi)
n. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan local
o. Monitor hitung granulosit, WBC
p. Monitor kerentanan terhadap infeksi
q. Batasi pengunjung
r. Pertahankan teknik asepsis pada pasien
yang beresiko
s. Pertahankan teknik isolasi
t. Berikan perawatan kulit pada area
epidema
u. Inspeksi kulit dan membrane mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
v. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
w. Dorong masukan nutrisi yang cukup
x. Dorong masukan cairan
y. Dorong istirahat
z. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotic sesuai resep
aa. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
bb. Ajarkan cara menghindari infeksi
D. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam
proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi
pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011).

E. Evaluasi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Kreteria evaluasi :
a. Status pernafasan : kepatenan jalan nafas:
1) Frekuensi pernafasan dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal)

2) Irama pernafasan dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran


normal)

3) Kedalaman inspirasi dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran


normal)

4) Kemampuan untuk mengeluarkan sekret dengan skala 5 (tidak ada


deviasi dari kisaran normal)

5) Ansietas dengan skala 5 (tidak ada)

6) Suara nafas tambahan dengan skala 5 (tidak ada)

7) Pernafasan cuping hidung dengan skala 5 (tidak ada)

8) Penggunaan otot bantu pernafasan dengan skala 5 (tidak ada)

9) Batuk dengan skala 5 (tidak ada)

b. Status pernafasan : pertukaran gas:

1) Tekanan parsial oksigen di dalam darah arteri dengan skala 5 (tidak


ada deviasi dari kisaran normal)

2) Tekanan parsial karbondioksida darah arteri dengan skala 5 (tidak ada


deviasi dari kisaran normal)

3) Saturasi oksigen dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)

4) Hasil rotgen dada dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal)
2. Gangguan pertukaran gas

Kreteria evaluasi:

a. Status pernafasan : pertukaran gas:

1) Tekanan parsial oksigen di dalam darah arteri dengan skala 5 (tidak


ada deviasi dari kisaran normal)

2) Tekanan parsial karbondioksida darah arteri dengan skala 5 (tidak ada


deviasi dari kisaran normal)

3) Saturasi oksigen dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)

4) Hasil rotgen dada dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal)

b. Status pernafasan:

1) Frekuensi pernafasan dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran


normal)

2) Irama pernafasan dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran


normal)

3) Kedalaman inspirasi dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran


normal)

4) Suara auskultasi nafas dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal)

5) Kepatenan jalan nafas dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal)

6) Saturasi oksigen dengan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)

7) Sianosis dengan skala 5 (tidak ada)

8) Batuk dengan skala 5 (tidak ada)

9) Suara nafas tambahan dengan skala 5 (tidak ada)

3. Hipertermia

Kreteria evaluasi:

a. Termoregulasi
1) Menggigil saat dingin (skala 5)
2) Tingkat pernapasan (skala 5)
3) hipertermia (skala 5)
4) perubahan warna kulit (skala 5)
5) dehidrasi (skala 5)
b. Tanda- tanda vital
1) Suhu tubuh (Skala 5)
2) Tingkat pernapasan (Skala 5)
3) Irama pernapasan (Skala 5)
4) Tekanan darah sistolik (Skala 5)
5) Tekanan darah diastolik (Skala 5)
6) Tekanan nadi (skala 5)

4. Nyeri akut

Kreteria evaluasi:

a. Pain control

1) Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 dalam mengambil


langkah pencegahan
2) Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 adanya monitoring
gejala dari nyeri
3) Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 terhadap pemakaian
analgesic yang direkomendasikan
4) Secara terus menerus ditunjukkan pada skala 5 melaporkan bahwa
nyerinya terkontrol
b. Pain level
1) Melaporkan nyeri tidak ada (pada skala 5)
2) Ekspresi wajah saat nyeri tidak ada (pada skala 5)
3) Kegelisahan tidak ada (pada skala 5)
4) RR tidak menyimpang dari normal berada pada skala 5
5) Tekanan darah tidak menyimpang dari normal berada pada skala 5

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Kreteria evaluasi:

a. Status nutrisi:

1) Asupan gizi dengan skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal)


2) Asupan makanan dengan skala 5 (tidak menyimpang dari rentang
normal)
3) Asupan cairan dengan skala 5(tidak menyimpang dari rentang normal)
4) Energi dengan skala 5 ( tidak menyimpang dari rentang normal)
5) Risiko berat/tinggi badan dengan skala 5 (tidak menyimpang dari
rentang normal)
6) Hidrasi dengan skala 5 (tidak menyimpang dari rentang normal)

b. Berat badan : massa tubuh


1) Berat badan skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)
2) Ketebalan kulit trisep skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)
3) Ketebalan kulit subskapularis skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran
normal)
4) Presentase lemak tubuh skala 5 (tidak ada deviasi dari kisaran normal)

6. Risiko infeksi
Kreteria evaluasi:
a. kontrol resiko
1) Mengidentifikasi factor resiko (5) secara konsisten menunjukkan
2) Mengenali factor resiko individu (5) secara konsisten menunjukkan
3) Memonitor factor resiko di lingkungan (5) secara konsisten
menunjukkan
4) Memonitor factor resiko individu (5) secara konsisten menunjukkan
5) Mengembangkan strategi yang efektif dalam mengontrol resiko (5)
secara konsisten menunjukkan
6) Mengenali perubahan status kesehatan (5) secara konsisten
menunjukkan
DAFTAR PUSTAKA

Chandra. (2012). Gambaran Prilaku Remaja Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)


Swasta X2 Di Kota Depok. Skripsi ilmu kesehatan masyarakat
universitas Indonesia depok.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Laporan Nasional Riset


Kesehatan Dasar. Jakarta: Pusat Penelitian Pengembangan Kesehatan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Penanggulangan


Nasional TBC. Jakarta: Depkes RI

Mansjoer, Arif. (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius


FKUI

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Pernapasan.


Jakarta: Salemba Medika

NANDA Internasional. (2010). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2009-2011 . Jakarta: EGC.

Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional.Jakarta.Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis,
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus.
Mediaction: Yogyakarta.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis,
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus,
Edisi 1. Mediaction: Yogyakarta.

Smelther, Suzanne C. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner &
Suddart. Alih Bahasa: Agung Waluyo, Edisi: 12. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai