Anda di halaman 1dari 99

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak yang mengalami retardasi mental dalam perkembangannya berbeda

dengan anak-anak normal. Bahkan, kemungkinan besar mereka adalah anak-anak

yang akan memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap lingkungannya

terutama orang tua dan saudara-saudaranya, karena anak dengan retardasi mental

mengalami keterlambatan dan keterbatasan dalam perkembangannya (Situmeang,

2016). Anak retardasi mental anak yang berbeda dengan anak normal lainnya

dimana mereka selalu membutuhkan bantuan atau memiliki ketergantuan dalam

melakukan sesuatu karena keterbatasan yang dimiliki.


Retardasi mental adalah anak yang mempunyai IQ di bawah 70, terjadi

dibawah usia 18 tahun, dan terdapat keterbatasan pada keterampilan adaptif yaitu

keterbatasan dalam berkomunikasi, menolong diri (perawatan diri), keterampilan

sosial, menyesuaikan dalam kehidupan rumah. Menurut Sebastian (2002),

retardasi mental adalah keterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa

anak, yang ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan

terdapat kendala pada perilaku adaptif (dalam Soetjiningsih, 2016). Adanya

keterbatasan perkembangan yang dialami oleh anak retardasi mental yaitu anak

memiliki IQ di bawah rata-rata dan memiliki keterbatasan perilaku adaptif salah

satunya perawatan diri, dimana keterbatasan tersebut terjadi pada saat anak usia

dibawah 18 tahun.
Prevalensi anak retardasi mental di dunia menurut World Health

Organization (WHO) tercatat sebanyak 15% dari penduduk dunia atau 785 juta

1
orang mengalami gangguan mental atau fisik (Ikawati, 2017). Data WHO

prevalensi retardasi mental di Indonesia saat ini diperkirakan 1-3% dari penduduk

Indonesia sekitar 6,6 juta jiwa, dari 3% tersebut 75% merupakan retardasi mental

ringan dan 25% retardasi mental sedang-berat (Dewi, 2017).


Menurut Profil Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo tahun ajaran

2018/2019, anak yang berkebutuhan khusus di SLB Provinsi Gorontalo berjumlah

947. Tunanetra 40 siswa, tunarungu 197 siswa, tunagrahita (retardasi mental) 564

siswa, tunadaksa 93 siswa, autis 8 siswa, tunalaras 23 siswa, tunaganda 3 siswa

dan kesulitan/ lambat belajar 19 siswa. Dari beberapa jumlah anak berkebutuhan

khusus di Provinsi Gorontalo Anak tunagrahita (retardasi mental) yang menempati

urutan pertama dengan jumlah 564 siswa.


Menurut Profil Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo tahun ajaran

2018/2019, anak retardasi mental di SLB Provinsi Gorontalo berjumlah 564. Di

SLBN Kota Gorontalo retardasi mental berjumlah 155 siswa, di SLBN Kabupaten

Gorontalo anak retardasi mental berjumlah 100 siswa, di SLBN Kabupaten Gorut

anak retardasi mental berjumlah 56 siswa, di Kabupaten Boalemo anak retardasi

mental berjumlah 43 siswa di SLBN Paguyaman anak retardasi mental berjumlah

23siswa, di SLBN Kabupaten Pohuwato anak retardasi mental berjumlah 71

siswa, di SLBN Kabupaten Bone Bolango anak retardasi mental berjumlah 63

siswa dan di SLBN Bone Pantai anak retardasi mental berjumlah 53. Jadi anak

retardasi mental yang paling banyak di SLBN Kota Gorontalo dengan jumlah 155

siswa.
Retardasi mental memiliki karakteristik yaitu, memiliki tingkat kecerdasan

di bawah rata-rata, lamban dalam mempelajari hal-hal baru, kesulitan dalam

menyesuaikan diri terhadap perubahan, mengalami kesulitan dalam keterampilan

2
menolong diri sendiri atau merawat diri sendiri, mengalami permasalahan

berkaitan dengan perilaku sosial, kurang mampu dalam bahasa dan pengucapan

(komunikasi), dan mempunyai masalah dalam kesehatan fisik (Wulandari, 2018).

Dari beberapa karakteristik anak retardasi mental sehingganya anak tersebut

membutuhkan layanan khusus untuk meningkatkan kemampuannya, hal ini

terutama berkaitan dengan menolong diri sendiri atau merawat diri (perawatan

diri).
Perawatan diri merupakan suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psikologisnya. Kemampuan

perawatan diri adalah keterampilan mengurus atau menolong diri sendiri dalam

kehidupan sehari-hari (Tani, 2017). Pada anak retardasi mental melakukan

perawatan diri masih mengalami kesulitan, sehingga mereka memerlukan waktu

yang lama, latihan dan bantuan yang lebih banyak serta pengajaran berulang-

ulang dari orang terdekat atau keluarga, agar mereka dapat melakukan perawatan

diri sendiri atau mandiri dalam kehidupan sehari-hari.


Kemandirian merupakan kemampuan mengurus diri atau memelihara diri

sendiri. Menurut Bathi (1977), kemandirian merupakan perilaku yang aktivitasnya

diarahkan kepada diri sendiri, tidak banyak mengharapkan bantuan dari orang

lain, dan bahkan mencoba memecahkan masalahnya sendiri dan kemandirian anak

merupakan kemampuan anak untuk melakukan kegiatan dan tugas sehari-hari

sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap perkembangan dan

kemampuan anak (dalam Sa’diyah, 2017). Kemandirian sangat diperlukan dalam

kehidupan sehari-hari, karena kemandirian merupakan sesuatu yang mengarahkan

pada diri sendiri tidak banyak mengharapkan bantuan dari orang lain.

3
Menurut Wiyani (2013) beberapa faktor yang mendukung kemandirian anak

adalah faktor internal yaitu fisiologis dan psikologis, faktor eksternal yaitu

lingkungan, cinta dan kasih sayang, dukungan keluarga, pengalaman dalam

kehidupan. Anak retardasi mental yang tidak mendapatkan intervensi secara terus

menerus dari lingkungan berdampak berlambannya anak menjadi mandiri, untuk

membuat anak mampu menjadi mandiri maka dibutuhkan adanya dukungan

keluarga atau orang tua.


Dukungan keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan terhadap

anggota keluarga lain yang mengalami permasalahan. Dukungan keluarga yang

diberikan yaitu, dukungan informasi (berupa memberikan penjelasan atau

mengingatkan apa yang seharusnya dilakukan), dukungan instrumental (berupa

menyediakan barang yang dibutuhkan, memberikan contoh hal yang belum

dimengerti), dukungan emosional (menunjukkan kasih sayang dan perhatian), dan

dukungan penilaian (pujian atas keberhasilan yang sudah dapat dikerjakan secara

mandiri) (Sari, 2017). Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk memandirikan

anak, karena berdasarkan faktor-faktor yang mendukung kemandirian yaitu salah

satunya dukungan keluarga dan ketika dukungan keluarga tidak diberikan kepada

anak retardasi mental akan membuat anak tersebut selalu ketergantungan pada

orang-orang disekitarnya yaitu keluarga atau orang tua, sebagaimana seperti

dengan hasil penelitian sebelumnya.


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahda (2018) tentang

hubungan dukungan keluarga terhadap kemandirian anak retardasi mental di

SDBL Bangkinang tahun 2016, dari hasil analisis didapatkan hubungan dukungan

keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental diperoleh data bahwa dari 24

4
anak yang tidak mendapatkan dukungan keluarga, terdapat 3 anak (12,5%) yang

mandiri, sedangkan dari 18 anak yang mendapatkan dukungan keluarga terdapat 6

anak (33,3%) yang tidak mandiri. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p

value= 0,001 (p < 0,05), dengan derajat kemaknaan (α = 0,05).


Ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga

dengan kemandirian anak reterdasi mental di SDLB Negeri Bangkinang tahun

2016. Dari hasil penelitian diketahui nilai OR =14,0, hal ini berarti anak yang

tidak mendapatkan dukungan keluarga berpeluang 14 kali untuk tidak mandiri.

Karena keluarga merupakan tempat tumbuh kembang seorang individu, maka

keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas dari individu yang

terbentuk dari norma yang dianut dalam keluarga sebagai patokan berperilaku

setiap hari. Lingkungan keluarga secara langsung berpengaruh dalam mendidik

seorang anak karena pada saat lahir dan untuk masa berikutnya yang cukup

panjang anak memerlukan bantuan dari keluarga dan orang lain untuk

melangsungkan hidupnya. Keluarga yang mempunyai anak cacat akan

memberikan suatu perlindungan yang berlebihan pada anaknya sehingga anak

mendapat kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pengalaman sesuai

dengan tingkat perkembangannya (Syahda, 2018).


Menurut data dari administrasi di SLBN Kota Gorontalo tahun ajaran

2018/2019, anak yang berkebutuhan khusus berjumlah 243 siswa. Di SDLB anak

yang berkebutuhan khusus berjumlah 143 siswa, tunanetra 2 siswa, tunarungu 31

siswa, tunagrahita (retardasi mental) 91 siswa, tunadaksa 10 siswa dan autis 9

siswa. Di SMPLB anak yang berkebutuhan khusus berjumlah 58 siswa, tunanetra

2 siswa, tunarungu 13 siswa, tunagrahita (retardasi mental) 41 siswa, tunadaksa 2

5
siswa dan autis tidak ada. Di SMA anak yang berkebutuhan khusus berjumlah 42

siswa, tunanetra 2 siswa, tunarungu 9 siswa, tunagrahita (retardasi mental) 23

siswa, tunadaksa 8 siswa dan autis tidak ada. Anak retardasi mental yang paling

banyak di SDLB dengan jumlah 91 siswa.


Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti di SLBN Kota

Gorontalo pada tanggal 18 Februari 2019 dengan menggunakan metode

wawancara kepada 9 keluarga atau orang tua retardasi mental, 5 orang tua

mengatakan anak mereka sudah mandiri melakukan perawatan diri seperti mandi

sendiri, makan/minum sendiri, BAK/BAB sendiri, dan berpakaian, 3 orang tua

mengatakan anak mereka sudah bisa makan sendiri, tetapi mandi, berpakaian dan

BAB/BAK masih dengan bantuan atau masih ada pengawasan orang tua dan 1

orang tua mengatakan anaknya belum bisa mandi sendiri harus selalu di bantu,

makan masih dengan dibantu karena anak tidak bisa mengambil makanan dengan

sendok, BAK/BAB masih dibantu dan anak setiap harinya harus memakai

pampers (popok) dan untuk berinteraksi sosial 8 orang tua mengatakan anak

mereka dapat menjalin hubungan baik dengan teman-teman di sekolah maupun di

rumah, namun ada 1 orang tua mengatakan anaknya tidak mau berinteraksi atau

bersosialisasi dengan teman disekeliling rumahnya karena ia selalu di ejek oleh

teman-temannya, sehingganya anak tersebut selalu berada di rumah.


Dukungan keluarga yang diberikan orang tua yaitu 5 orang tua mengatakan

mereka selalu memberikan dukungan informasi, memfasilitasi, memberikan kasih

sayang dan selalu memberikan pujian kepada anak ketika anak bisa melakukan

perawatan diri sendiri, 1 dari orang tua mengatakan memberikan dukungan

informasi kepada anak, memfasilitasi, memberikan perhatian, dan jarang

6
memberikan pujian kepada anak. 3 orang tua mengatakan jarang memberikan

dukungan informasi kepada anak, memfasilitasi, memberikan kasih sayang dan

perhatian, namun jarang memberikan pujian kepada anak ketika anak dapat

melakukan sesuatu sendiri.


Berdasarkan latar belakang di atas masih ada anak retardasi mental yang

belum mandiri atau belum bisa melakukan perawatan diri, masih selalu dengan

bantuan keluarga atau orang tuanya dan masih ada orang tua yang jarang

memberikan dukungan kepada anak. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian

Perawatan Diri Pada Anak Retardasi Mental di SLBN Kota Gorontalo”.

1.2 Identifikasi Masalah


1.2.1 Data Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa jumlah

anak retardasi mental merupakan urutan pertama dari jenis ketunaan lainnya

yakni berjumlah 564 anak.


1.2.2 Data dari administrasi di SLBN Kota Gorontalo bahwa siswa retardasi

mental merupakan siswa yang paling banyak diantara siswa yang memiliki

ketunaan lain yakni berjumlah 155.


1.2.3 Hasil observasi peneliti dengan melakukan wawancara langsung pada

keluarga atau orang tua retardasi mental di SLBN Kota Gorontalo

mengatakan anak mereka belum mandiri atau belum mampu melakukan

perawatan diri sendiri dan perlu bantuan ataupun pengawasan dari keluarga

(orang tua) dan masih ada keluarga (orang tua) jarang memberikan

dukungan kepada anak.

7
1.2.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahda (2018) tentang

dukungan keluarga terhadap kemandirian anak retardasi mental di SDLB

Bangkinang, didapatkan bahwa hubungan dukungan keluarga dengan

kemandirian anak retardasi mental diperoleh bahwa dari 24 anak yang tidak

mendapatkan dukungan keluarga, terdapat 3 anak yang mandiri, sedangkan

dari 18 anak yang mendapatkan dukungan keluarga terdapat 6 anak yang

tidak mandiri. Dari hasil penelitian diketahui nilai OR=14,0, yang berarti

anak yang tidak mendapatkan dukungan keluarga berpeluang 14 kali tidak

mandiri.

1.3 Rumusan Masalah


Bagaimana hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian perawatan

diri pada anak retardasi mental di SLBN Kota Gorontalo.


1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum untuk mengetahui apakah ada hubungan dukungan

keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental di SLBN Kota

Gorontalo.
1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi dukungan keluarga dengan anak retardasi mental

2. Mengidentifikasi kemandirian perawatan diri anak retardasi mental

3. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian

perawatan diri pada anak retardasi mental.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

8
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan

mendukung perkembangan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan wawasan

ilmiah, serta bahan penerapan ilmu metode penelitian, khususnya mengenai

hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental dan

digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Bagi institusi

Penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan ilmiah untuk

menambah wawasan dan pengetahuan untuk intitusi, serta dapat

dijadikan referensi dan bahan buku ajar di keperawatan anak,

khususnya terkait dengan pekembangan kemampuan perawatan diri

pada anak berkebutuhan khusus (retardasi mental).

2. Bagi lembaga pendidikan (SLB)

Dapat menjadi bahan evluasi bagi guru SLB untuk mengembangkan

program pengajaran atau pelatihan terkait keterampilan anak retardasi

mental dalam melakukan perawatan diri, baik disekolah maupun saat di

rumah.

3. Bagi keluarga atau orang tua

9
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dapat

memberikan informasi kepada orang tua mengenai dukungan keluarga

terhadap kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental.

4. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang hubungan

dukungan keluarga dengan kemandirian perawatan diri pada anak

retardasi mental, serta menerapkan teori yang telah diperoleh dan

menambah kemajuan dalam melakukan penelitian-penelitian

selanjutnya.

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

2.1 Konsep Retardasi Mental

2.1.1 Definisi retardasi mental

Retardasi mental (RM) atau tunagrahita adalah suatu keadaan dengan

intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau

sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang

secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang.

Retardasi mental disebut juga Oligofernia (Oligo = kurang atau sedikit dan Free =

jiwa) atau tuna mental. Retardasi mental adalah suatu kondisi yang karakteristik

penderitanya memiliki tingkat kecerdasan (IQ) dibawah rata-rata, sulit dalam

berkomunikasi, mengurus diri sendiri, mengambil keputusan, rekreasi, pekerjaan,

10
kesehatan dan keamanan. Mereka memerlukan bantuan atau layanan secara

khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingan

dalam pratek kehidupan sehari-hari (Atmaja, 2018).

Retardasi mental bukan merupakan anak yang mengalami penyakit,

melainkan anak mempunyai kelainan karena penyimpangan, baik dari segi fisik,

mental, intelektual, emosi, sikap maupun perilaku adaptif. Tunagrahita atau

retardasi mental merupakan kondisi perkembangan kecerdasan seorang anak yang

mengalami hambatan sehingga ia tidak mencapai tahap perkembangannya secara

optimal (Atmaja, 2018).

Menurut Melly Budhiman, seseorang dikatakan retardasi mental, bila

memenuhi kriteria sebagai berikut (dalam Soetningsih, 2016) :

1. Fungsi intelektual di bawah normal

2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif seperti berkomunikasi,

menolong atau merawat diri sendiri, keterampilan sosial, menyesuaikan

dalam kehidupan rumah, kesehatan, keamanan, bekerja

3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan, yaitu di bawah usia 18

tahun.

2.1.2 Etiologi anak retardasi mental

Seperti yang dikemukakan oleh Smith (Atmaja, 2018) sebagai berikut :

1. Penyebab genetik dan kromosom

Retardas mental yang disebabkan oleh faktor genetik yang

dikenal dengan phenylketonuria. Hal ini merupakan suatu kondisi yang

disebabkan oleh gen orang tua yang mengalami kurangnya produksi

11
enzim yang memproses protein dalam tubuh sehingga terjadinya

penumpukkan asam yang disebut phenylketonuria. Penumpukan ini

menyebabkan kerusakan otak. Selain itu, mengakibatkan timbulnya

penyakit Tay-Sachs, yaitu adanya gen yang terpendam yang diwariskan

oleh orangtua yang membawa gen ini.

2. Penyebab pada prakelahiran

Penyebab pada pra kelahiran terjadi ketika petumbuhan. Hal yang

paling berbahaya adalah adanya penyakit Rubela (campak Jerman) pada

janin. Selain itu, adanya penyakit Sifilis. Dalam hal ini yang juga dapat

menyebabkan kerusakan otak adalah racun dari alkohol dan obat-obatan

ilegal yang digunakan oleh wanita hamil. Racun tersebut dapat

mengganggu perkembangan janin sehingga menimbulkan sebuah

masalah ketunagrahitaan yang akan terjadi pada anak–anak

keturunannya tersebut.

3. Penyebab pada saat kelahiran

Penyebab anak retardasi mental pada saat kelahiran adalah

kelahiran prematur, adanya masalah proses kelahiran seperti

kekurangan oksigen, kelahiran yang dibantu dengan alat-alat

kedokteran beresiko terhadap anak yang akan menimbulkan trauma

pada kepala. Terjadinya kelahiran prematur yang tidak atau kurang

mendapatkan perawatan dengan baik.

4. Penyebab selama masa perkembangan anak-anak dan remaja

12
Anak tunagrahita yang terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja

adalah penyakit radang selaput otak meningits dan radang otak

encephalitis yang tidak tertangani dengan baik sehingga mengakibatkan

kerusakan otak.

Berdasarkan terminologi etiologi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor penyebab tunagrahita dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Sebab-sebab yang bersumber dari luar

a. Maternal malnutrition, atau malnutrisi pada ibu yang tidak menjaga

pola makan yang sehat

b. Keracunan atau efek substansi waktu ibu hamil yang bisa

menimbulkan kerusakan pada plasma inti, misalnya penyakit sifilis,

racun dari kokain, heroin, tembakau, dan alkohol. Radiasi, misalnya

sinar X-rays atau nuklir

c. Kerusakan pada otak waktu kelahiran, lahir karena alat bantu /

pertolongan lahir prematur atau LBW (Low Brith Weigh)

d. Panas yang terlalu tinggi, misalnya pernah sakit keras, tifus, cacar,

dan sebagainya

e. Infeksi pada ibu, misalnya rubela (campak jerman) yang merupakan

penyebab potensial dari keterbelakangan mental, selain itu juga

kebutaan. Rubela paling berbahaya pada tiga bulan pertama usia

kehamilan. Selain itu, sifilis dan herpes simpleks yang ditularkan ibu

pada bayi ketika meahirkan juga berpotensi menyebabkan

keterbelakangan mental anak

13
f. Gangguan pada otak, misalnya tumor otak, anoxia (deprivasi

oksigen) infeksi pada otak, hydrocephalus atau microcephalus.

g. Gangguan fisiologis, seperti down syndrom, certinism.

h. Pengaruh lingkungan dan kebudayaan, misalnya pada anak-anak

yang dibesarkan pada lingkungan yang buruk.

2. Sebab-sebab yang bersumber dari dalam

Sebab yang bersumber dari dalam, yaitu sebab dari faktor keturunan.

Sebab ini dapat berupa gangguan pada plasma inti atau Chromosome

abnormailty. Namun, beberapa tahun belakangan ini banyak kasus

retardasi mental ringan (mild) ternyata disebabkan oleh sindrom-

sindrom genetis tertentu. Karena itu, muncul spekulasi bahwa di masa

yang akan datang sindrom-sindrom genetis baru akan ditemukan

sebagai penyebab retardasi mental ringan (mild).

2.1.3 Klasifikasi retardasi mental

Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita (retardasi

mental) mengarah kepada aspek indeks mental inteligensinya, indikasinya dapat

dilihat angka hasil tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot (berat), IQ

25-50 dikategorikan imbesil (sedang), dan IQ 50-70 kategori debil atau moron

(ringan). Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan

pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak (Atmaja, 2018).

Dari penilian tersebut, anak tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi anak

tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita

mampu rawat (Atmaja, 2018).

14
1. Anak retardasi mental mampu didik

Anak tunagrahita (retardasi mental) mampu didik adalah IQ 68-52

adalah anak retardasi mental yang mampu mengikuti pada program

sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang

dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.

Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita

mampu didik, antara lain: (1) membaca, menulis, mengeja, dan

berhitung , (2) menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada

orang lain, (3) keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di

kemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik secara

minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.

2. Anak retardasi mental mampu latih

Anak tunagrahita (retardasi mental) mampu latih adalah IQ 51-36

adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan yang sedemikian

rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang

diperuntukkan bagi anak retardasi mental mampu didik. Oleh karena

itu, beberapa kemampuan anak retardasi mental mampu latih yang perlu

diberdayakan, yaitu mengurus diri sendiri (makan, pakaian, tidur dan

mandi sendiri); belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau

sekitarnya; sehingga anak retardasi mental mampu latih hanya dapat

dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-

hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut

kemampuannya.

15
3. Anak retardasi mental mampu rawat

Anak tunagrahita (retardasi mental) mampu rawat IQ 39-25

adalah anak retardasi mental yang memiliki kecerdasan sangat rendah

sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi.

Sehingga anak retardasi mental mampu rawat untuk mengurus diri

sendiri sangat membutuhkan orang lain dan membutuhkan perawatan

sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu hidup tanpa

bantuan orang lain.

2.1.4 Karakteristik anak retardasi mental

Ada beberapa karakteristik pada anak retardasi mental

1. Keterbatasan kognitif dan mental

Karakteristik yang terkait dalam fungsi mental dan kecerdasan

yaitu mengakibatkan anak retardasi menjadi lamban dalam mempelajari

hal-hal baru, kesulitan dalam mempelajari hal-hal yang bersifat abstrak

serta membutuhkan latihan terus-menerus, kesulitan dalam

menyesuaikan diri terhadap perubahan, memiliki rentan perhatian yang

pendek, mengalami kesulitan dalam keterampilan menolong diri

sendiri, biasanya anak retardasi mental mempelajari kemampuan. Aspek

kognitif memiliki pengaruh kuat yang menyebabkan anak retardasi

mental mengalami hambatan dalam fase perkembangan (Wulandari,

2018).

2. Secara fisik

16
Karakteristik anak retardasi mental secara fisik yaitu, penampilan

fisiknya tidak seimbang (misalnya kepala terlalu kecil/besar), pada

masa pertumbuhannya tidak mampu mengurus dirinya sendiri,

terlambat dalam perkembangan bicara dan bahasa, tidak perhatian

terhadap lingkungan, koordinasi gerakan kurang (Ramawati, 2012)

3. Karakteristik pada perilaku adaptif

Perilaku adaptif pada anak retardasi mental yaitu keterbatasan

berupa kemampuan berkomunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam

keadaan rumah, mengarahkan diri sendiri, area kesehatan dan

keamanan, pekerjaan (Ramawati, 2012).

4. Karakteristik dalam perkembangan sosial

Perkembangan sosial anak retardasi mental mengalami

keterlambatan jika dibandingkan dengan anak usia sebayanya. Anak

retardasi mental mengalami berbagai masalah sosial. Keterbatasan

dalam hal kecerdasan sosial membuat anak retardasi mental mengalami

kesulitan dalam hal menginterpretasikan interaksi sosial. Sebagai

contohnya, anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memulai

untuk berinteraksi dengan orang lain yang sudah dapat terlihat ketika

anak masuk usia pra sekolah. sosial. Sebagai contohnya, anak

retarmengalami kesulitan dalam memulai untuk berinteraksi dengan

orang lain yang sudah dapat terlihat ketika anak masuk usia pra sekolah

(Wulandari, 2018).

2.1.5 Pencegahan anak retardasi mental

17
Berbagai upaya untuk pencegahan anak tunagrahita (retardasi mental)

sebagai berikut (Atmaja, 2018) :

1. Penyuluhan genetik, yaitu suatu usaha mengkomunikasikan berbagai

informasi mengenai masalah genetik. Penyuluhan ini dapat dilakukan

melalui media cetak dan elektronik atau secara langsung melalui

posyandu dan klinik

2. Diagnostik pranatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan sehingga dapat

diketahui lebih dari apakah janin mengalami kelainan

3. Imunisasi, dilakukan terhadap ibu hamil walaupun anak balita. Dengan

imunisasi dapat dicegah penyakit yang mengganggu perkembangan

bayi/anak

4. Tes darah, dilakukan terhadap pasangan yang akan menikah untuk

menghindari kemungkinan menurunkan benih-benih kelainan

5. Melalui program keluarga berencana, pasangan suami istri dapat

mengatur kehamilan dan menciptakan keluarga yang sejaterah baik fisik

dan psikis

6. Tindakan operasi, hal ini dibutuhkan apabila ada kelahiran dengan

risiko tinggi, misalnya kekurangan oksigen dan adanya trauma pada

masa perinatal ( proses kelahiran)

7. Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang menyangkut

pemeriksaan kesehatan selama hamil, penyediaan vitamin, menghindari

radiasi, makanan dan minuman yang berakohol, dan sebagainya

18
8. Intervensi dini, di butuhkan oleh pada orang tua agar dapat membantu

perkembangan anaknya secara dini

2.1.6 Masalah yang dihadapi anak retardasi mental

Perkembangan fungsi intelektual anak retardasi mental yang rendah dan

disertai dengan perkembangan adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung

pada kehidupan mereka sehari-hari, sehingga ia banyak mengalami kesulitan

dalam hidupnya. Berikut ini masalah umum yang dihadapi anak retardasi mental

yaitu sebagai berikut (Atmaja, 2018) :

1. Masalah belajar

Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan kemampuan

kecerdasan. Di dalam kegiatan sekurang-kurangnya dibutuhkan

kemampuan mengingat dan kemampuan untuk memahami, serta

kemampuan untukk mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti

itu sulit dilakukan oleh anak retardasi mental, karena mereka

mengalami kesulitan untuk dapat berpikir secara abstrak, belajar apapun

harus terkait dengan objek yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada

hubungannya dengan kelemahan ingatan jangka pendek, kelemahan

dalam bernalar, dan sukar dalam mengembangan ide.

Melihat masalah–masalah belajar yang dialami anak retardasi

mental tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan di dalam

membelajarkan mereka, yaitu:

a) Bahan yang diajarkan perlu ditata secara berurutan

19
b) Setiap bagian dari bahan ajar diajarkan satu demi satu dan

dilakukan secara berulang-ulang

c) Kegiatan belajar hendaknya dilakukan dalam situasi yang konkrit

d) Diberikan kepadanya dorongan untuk melakukan apa yang

sedang ia pelajari

e) Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan

menghindari kegiatan belajar yang terlalu formal

2. Masalah penyesuaian diri

Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan

mengartikan norma lingkungan. Oleh karena itu anak retardasi mental

sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan

dimana mereka berada. Tingkah laku anak retardasi mental sering

dianggap aneh oleh sebagian masyarakat karena mungkin tindakannya

tidak lazim dlihat dari ukuran normati atau karena tingkah lakunya tidak

sesuai dengan perkembangan umurnya.

Penyesuaian diri ada kaitannya dengan perilaku adaptif, perilaku

adaptif digambarkan sebagai keefektifan individu dalam memenuhi

standar kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial. Dengan kata

lain perilaku adaptif seorang anak berkaitan dengan kemampuannya dan

norma lingkungan setempat disadari atau tidak, masalah perilaku

adaptif atau masalah penyesuaian diri ada kaitannya dengan sikap dan

20
dukungan orang tua serta perlakuan dari orang-orang di lingkungannya.

Oleh karena itu perlakuan orang tua anak memberi warnah pada

perilaku anak retardasi mental. Ketika orang tua mau menerima anak

apa adanya maka orang tua anak berusaha untuk memahami

kekurangan anak.

3. Gangguan bicara dan bahasa

Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan

proses komunikasi yaitu, gangguan atau kesulitan bicara dimana

individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa

dengan benar.

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak retardasi mental

yang mengalami gangguan bicara dibandingkan dengan anak-anak

normal. Hal yang lebih serius lagi dari gangguan bicara adalah

gangguan bahasa, dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam

memahami dan menggunakan kosa kata.

4. Masalah kepribadian

Anak retardasi mental memiliki ciri kepribadian yang khas,

berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian ini

berkaitan erat dengan fakktor-faktor yang melatarbelakangi.

Kepribadian seorang dibentu oleh faktor seperti predisposisi genetik,

disfungsi otak dan faktor-faktor lingkungan seperti, pengalaman masa

kecil dan oleh lingkungan masyarakat secara umum.

2.1.7 Latihan dan pendidikan yang dapat diterima anak retardasi mental

21
Menurut Jevuska (2010) (dalam Muliana, 2013) pendidikan yang diberikan

kepada anak retardasi mental yaitu:

1. Pendidikan anak dengan retardasi mental secara umum ialah:

a) Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas

yang ada

b) Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial

c) Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat mencari

nafkah kelak.

2. Latihan diberikan secara kronologis dan meliputi:

a) Latihan rumah: pelajaran-pelajaran untuk melakukan perawatan

diri seperti, makan sendiri, berpakaian sendiri, kebersihan badan

dan eliminasi

b) Latihan sekolah: yang penting dalam hal ini ialah perkembangan

sosial.

Menurut Astati (2003) (dalam Atto, 2014), materi bina diri untuk anak

retardasi mental terdiri dari :

1. Usaha membersihkan diri dan merapikan diri

Semua orang mempunyai kepentingan terhadap kebersihan dan

kerapian diri, karena hal ini sangat penting untuk menjaga

kelangsungan hidup dan kesehatan. Dengan hidup sehat, manusia akan

terhindar dari segala macam penyakit. Kebersihan dan kerapian

mempunyai fungsi etik dan kesopanan. Orang kadang-kadang merasa

tidak sopan bila membiarkan dirinya kotor. Kebersihan dan kerapian

22
juga mempunyai fungsi sosial. Orang-orang yang memperhatikan

kebersihan dan kerapian dirinya, akan lebih dihargai dalam hidup

bermasyarakat daripada mereka yang kurang memperhatikan hal

tersebut. Anak retardasi mental harus dilatih untuk memperhatikan

kebersihan dan kerapian dirinya. Beberapa keterampilan dalam

membersihkan dan merapikan diri adalah:

a. Mencuci muka

b. Mencuci tangan

c. Mencuci kaki

d. Menggosok gigi

e. Mandi

f. Mencuci rambut dengan sampo (keramas)

g. Menghias diri terdiri dari: menyisir rambut, memakai bedak,

memakai lipstik, memakai jepit rambut, memakai jam tangan,

memakai ikat pinggang, memakai kaos kaki, memakai sepatu atau

sandal.

2. Makan dan minum

Makan dan minum merupakan kebutuhan primer manusia untuk

mempertahankan hidup. Tanpa makan dan minum manusia tidak dapat

mempertahankan hidupnya. Bagi anak retardasi mental cara makan dan

minum haruslah dilatihkan karena mereka tidak langsung dapat

melakukan sebelum adanya latihan. Anak retardasi mental memiliki

ketidakmampuan fisik yang mungkin mengganggu cara kerja tangan.

23
Jika anak makan sendiri, mungkin membutuhkan waktu yang lama, dan

malahan makannya akan berantakan. Bantuan dan dorongan harus

diberikan agar anak maumakan sampai selesai dan bisa makan/minum

sendiri. Dengan makan dan minum yang teratur, kesehatan anak

retardasi mental akan lebih terjaga, dan akan lebih terdidik. Sub pokok

bahasan makan dan minum adalah:

a) Memegang sendok

b) Memegang piring

c) Menyendok makanan dari piring

d) Menggerakkan sendok ke mulut

e) Memegang gelas

f) Menuangkan air ke dalam gelas

g) Menggerakkan gelas ke dalam mulut

3. Berbusana sama artinya dengan berpakaian

Berbusana mempunyai fungsi untuk menjaga kesehatan dan

kesusilaan, berbusana juga berfungsi untuk menambah keindahan badan

dan berbusana sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu

anak retardasi mental sangatlah perlu dilatih untuk berbusana dengan

rapi, sopan, sesuai dengan keadaan, sehingga mereka mempunyai rasa

percaya diri. Pakaian yang bersih, rapi dan serasi akan membuat

pemakainya kelihatan gagah, tampan, dan cantik. Jenis-jenis pakaian

yang dilatihkan sebagai berikut:

a) Memakai kaos

24
b) Memakai kameja

c) Memakai rok/celana pendek

d) Memakai rok/celana panjang

e) Memakai pakaian dalam

f) Pakaian pelengkap : memakai kaos kaki, memakai sepatu,

memakai jilbab

g) Melepaskan kaos

h) Melepaskan kameja

i) Melepaskan rok/celana pendek

j) Melepaskan rok/celana panjang

2.2 Konsep Dukungan Keluarga

2.2.1 Definisi keluarga

Keluarga diartikan sebagai kelompok orang yang ada hubungan darah atau

perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga ialah ibu, bapak dan anak-

anaknya. Sekelompok manusia ini (ibu, bapak dan anak-anak mereka) disebut

keluarga nuklir (nuclear family) atau keluarga inti. Dasar pembentukan karakter

anak yang pertama adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan yang

pertama dikenal anak dan keluarga juga sangat berpengaruh untuk mendidik anak.

Keluarga akan memberikan kontribusi yang sangat dominan terhadap

terbentuknya karakter anak, yang meliputi kepribadian, kecerdasan intelektual

maupun spiritual (Rohmat, 2010).

2.2.2 Fungsi keluarga

25
Secara umum fungsi keluarga menurut Fredman (Rahayu, 2014) adalah

sebagai berikut :

1. Fungsi afektif (The affevtive function)

Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama atau

berbakaitan dengan kasih sayang dan berhubungan erat dengan fungsi

internal keluarga untuk mengajarkan segala sesuatu untuk

mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.

Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikologis

anggota keluarga lainnya. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif

tampak pada kebahagiaan dari seluruh anggota keluarga. Tiap anggota

keluarga saling mempertahankan suasana yang positif. Hal tersebut

dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi dan hubungan

dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang berhasil

melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat

mengembangkan konsep diri positif. Komponen yang perlu dipenuhi

oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah :

a) Saling mengasuh: cinta kasih, kehangatan, saling menerima,

saling mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih

sayang dan dukungan dari anggota yang lain. Maka, kemampuan

untuk memberikan kasih sayang akan meningkat dan akhirnya

akan tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung.

Hubungan di dalam keluarga merupakan modal besar dalam

26
memberikan hubungan dengan orang lain di luar keluarga atau

masyarakat

b) Saling menghargai: bila anggota keluarga saling menghargai dan

mengakui keberadaan dan setiap hak anggota keluarga serta selalu

mempertahankan suasana yang positif, maka fungsi afektif akan

tercapai

c) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan

sepakat memulai hidup baru. Ikatan anggota keluaraga

dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada

berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua harus

mengembangkan proses identifikasi yang positif sehinggga anak-

anak dapat meniru tingkah laku yang positif dari kedua orang

tuanya. Fungsi afektif merupakan “sumber energi” yang

menentukan kebahagiaan keluarga. Keretakan keluarga,

kenakalan anak atau masalah keluarga, timbul karena fungsi

afektif dalam keluarga tidak terpenuhi.

2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (Socialization and social

placement function)

Sosialisasi sebagai proses pengembangan dan perubahan yang

dilalui individu, yang menghasilkan interaksi sosial. Sosialisasi dimulai

sejak manusia lahir. Jadi fungsi sosialisasi adalah fungsi

mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial

sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di

27
luar rumah. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar

bersosialisasi, misalnya anak yang baru lahir akan menatap ayah, ibu,

dan orang-orang di sekirtanya. Saat beranjak balita anak mula belajar

bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meskipun demikian jeluarga

tetap berperan penting dalam bersosialisasi. Keberhasilan

perkembangan individu di keluarga dicapai dalam interaksi atau

hubungan antar anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi.

Anggota keluarga belajar disiplin, belajar norma-norma, budaya, dan

perilaku melalui hubungan dan interaksi keluarga.

3. Fungsi reproduksi (The reproduction function)

Reproduksi sebagai fungsi keluarga untuk mempertahankan

generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. Keluarga berfungsi untuk

meneruskan keturunan dan menambah sumber daya manusia,. Maka

dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk memenuhi

kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk keluarga

dengan untuk meneruskan keturunan. Dalam hal ini keluarga juga

berfungsi menumbuh kembangkan atau membesarkan anak.

4. Fungsi ekonomi (The economic function)

Fungsi ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh

anggota keluarga dan tempat untuk mengembangkan kemampuan

individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

28
keluarga seperti memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan tempat

tinggal.

5. Fungsi perawatan / pemeliharaan kesehatan (The health care function)

Keluarga juga berperan atau berfungsi melaksankan praktek

asuhan keperawatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan

kesehatan, dan atau merawat anggota keluarga yang sakit.

2.2.3 Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan terhadap

anggota keluarga lain yang mengalami permasalahan dan dukungan keluarga

merupakan tindakan, sikap dan penerimaan keluarga terhadap anggota

keluarganya. Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi

individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang

akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan

mencintainya (Sari, 2017).

2.2.4 Jenis-jenis dukungan keluarga

Beberapa jenis dukungan keluarga (Sari, 2017) sebagai berikut :

1. Dukungan informasional

Dukungan informasional yaitu memberikan penjelasan atau

mengingatkan apa yang seharusnya dilakukan. Manfaat dari dukungan

ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi

yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada

individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,

saran, petunjuk dan pemberian informasi.

29
2. Dukungan penilaian

Dukungan penilaian yaitu bentuk penghargaan diberikan

seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya. Sebagai

pemberi bimbingan dan umpan balik atas pencapaian yang dilakukan

seseorang dengan cara memberikan support, pengakuan, penghargaan,

dan perhatian sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri pada

individu. Penilaian dapat berupa positif dan negatif yang mana

pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang, berkaitan dengan dukungan

keluarga maka penilaian sangat membantu adalah penilaian positif.

3. Dukungan instrumental

Dukungan instrument bertujuan untuk mempermudah seseorang

dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan

yang dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang

dihadapi, misalnya menyediakan fasilitas atau materi misalnya

menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang,

memberikan makanan, permainan atau bantuan yang lain.

4. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan

emosional adalah menunjukkan kasih sayang, perhatian, kepercayaan,

mendengarkan dan didengarkan.

30
2.2.5 Faktor-faktor dukungan keluarga

Banyak faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Purnawan

sebagai berikut :

1. Faktor internal

a. Tahap perkembangan

Tahap Perkembangan tahap perkembangan artinya dukungan

dapat ditentukan oleh rentang usia (bayi-lansia) yang memiliki

pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang

berbeda-beda.

b. Pendidikan dan tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh

intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang

pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif

akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan

untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan

penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk

menjaga kesehatan dirinya.

c. Faktor emosi

Faktor emosional mempengaruhi keyakinan terhadap adanya

dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami

respon stresdalam setiap perubahan hidupnya cendrung berespon

terhadap berbagai tanda sakit, dilakukan dengan cara

mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam

31
kehidupannya. Seseorang yang secara umum sangat tenang

mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama sakit.

Seseorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara

emosional terhadap ancaman penyakit mungkin akan menyangka

adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani

pengobatan.

d. Faktor spiritual

Spiritual adalah bagaimana seseorang menjalani kehidupannya,

mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan

dengan keluarga atau teman dan kemampuan mencariharapan dan

arti dalam kehidupan.

2. Faktor eksternal

a. Praktik dikeluarga

Praktik dikeluarga adalah bagaimana keluarga memberikan

dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan

kesehatannya

b. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko

terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang

mendefinisikan dan bereaksi tehadap penyakitnya. Variabel

psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup dan

lingkungan kerja. Seseorang biasanya akan mencari dukungan

dan persetujuan dari kelompok sosialnya. Hal ini akan

32
mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanannya.

Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya dia akan

lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan.

Sehingga dia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada

gangguan pada kesehatannya’.

c. Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan

kebiasaan individu dalam memberikan dukungan termasuk cara

pelaksanaan kesehatan pribadi.

Faktor-faktor dukungan keluarga pada anak retardasi mental adalah tingkat

pendidikan orang tua. Karena dengan pendidikan tersebut, orang tua mampu dan

lebih mudah mendapatkan dan menerima informasi dari luar seperti lingkungan

sekitar atau pihak sekolah tempat anak mendapatkan ilmu terutama mengenai

membimbing anak dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Apriyanto

(2012), semakin baik tingkat pengetahuan keluarga maka semakin baik

dampaknya bagi perkembangan anak dan semakin rendah tingkat pengetahuan

keluarga semakin buruk dampaknya bagi anak, sehingga tingkat pendidikan yang

rendah berdampak pada kurangnya pengetahuan keluarga tentang kebutuhan-

kebutuhan tunagrahita dan cara mendidik tunagrahita sehingga rasa kasih sayang

dan perhatian keluarga terhadap anak juga berkurang. Dikarenakan semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah menerima informasi,

sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, dan pendidikan yang

33
kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang

baru diperkenalkan.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi dukungan keluarga yaitu faktor

sosial ekonomi, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2017) mengatakan

responden bekerja yang dimana orang tua dapat dikatakan telah sibuk dengan

aktivitas pekerjaannya akan tetapi dengan hasil dukungan baik, membuktikan

mereka masih dapat meluangkan waktu untuk mendidik, membimbing, mengasuh

anak, mencari tahu akan kondisi anak. Hal ini sesuai dengan teori purnawan yang

menjelaskan semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya akan cepat

tanggap terhadap kondisi anak dan segera mencari informasi dan pertolongan

ketika anak merasa ada gangguan pada dirinya (Sari, 2017).

2.2.6 Dukungan keluarga pada anak retardasi mental

Anak retardasi mental akan sangat tergantung pada peran serta dan

dukungan penuh dari keluarga. Dukungan dan penerimaan dari setiap anggota

keluarga akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak retardasi

mental untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki,

sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari

ketergantungan pada bantuan orang lain [ CITATION Syu16 \l 1057 ].

Hal yang perlu diberikan kepada anak dengan retardasi mental dalam

melakukan sesuatu, caranya yaitu keluarga selalu memberikan penjelaskan atau

mengingatkan apa yang harus dilakukan, memberikan contoh yang belum di

mengerti dan selalu menunjukkan kasih sayang serta selalu memberikan pujian

atas apa yang telah dilakukan, meskipun hasilnya tidak sempurna.

34
Dukungan keluarga pada anak retardasi mental sangatlah mempengaruhi

sikap dan perilaku dari anak tersebut, terlebih pada anak retardasi mental yang

memang membutuhkan perhatian khusus dari sekitarnya dan juga sebagai salah

satu faktor yang paling penting bagi pertumbuhan dan juga perkembangan anak

retardasi mental. Dengan adanya dukungan oleh keluarga dan dijadikan sebagai

keseharian sehingga anak tersebut dapat melakukan sesuatu untuk mewujudkan

suatu tujuan yang setelah diberi dukungan oleh keluarga (Arfandi 2014).

2.3 Kemandirian

2.3.1 Definisi

Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul secara tibatiba tetapi

perlu diajarkan dan dilatih pada anak agar tidak menghambat tugas-tugas

perkembangan anak selanjutnya. Kemandirian merupakan kemampuan mengurus

diri atau memelihara diri sendiri [ CITATION Okt17 \l 1057 ].

Menurut Bathi, kemandirian merupakan perilaku yang aktivitasnya

diarahkan kepada diri sendiri, tidak banyak mengharapkan bantuan dari orang

lain, dan bahkan mencoba memecahkan masalahnya sendiri. Witherington dalam

Spencer mengemukakan bahwa perilaku kemandirian ditunjukkan dengan adanya

kemampuan untuk mengambil inisiatif, kemampuan mengatasi masalah serta

keinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Sedangkan

Lindzey dan Aronson menyatakan bahwa orang-orang yang mandiri menunjukkan

inisiatif, berusaha untuk mengejar prestasi, menunjukkan rasa percaya diri yang

35
besar, secara relatif jarang mencari perlindungan dari orang lain serta mempunyai

rasa ingin menonjol. Mandiri adalah sikap yang mampu mengurus kehidupannya

sendiri dan tidak menjadi beban orang lain. Sikap mandiri bukan sikap egois atau

hidup sendiri, melainkan sikap bersedia dan mampu membangun kehidupan

sendiri dalam rangka kebersamaan [ CITATION Rik17 \l 1057 ].

Kemandirian merupakan kemampuan penting dalam hidup seseorang yang

perlu dilatih sejak dini. Seseorang dikatakan mandiri jika dalam menjalani

kehidupan tidak tergantung kepada orang lain khususnya dalam melakukan

kegiatan sehari-hari. Kemandirian juga ditunjukkan dengan adanya kemampuan

mengambil keputusan serta mengatasi masalah. Dengan demikian setiap anak

perlu dilatih untuk mengembangkan kemandirian sesuai kapasitas dan tahapan

perkembangannya. Secara praktis kemandirian menurut Dowling adalah

kemampuan anak dalam berpikir dan melakukan sesuatu oleh diri mereka sendiri

untuk memenuhi kebutuhannya sehingga mereka tidak lagi bergantung pada orang

lain namun dapat menjadi individu yang dapat berdiri sendiri [ CITATION

Rik17 \l 1057 ].

Kemandirian anak merupakan kemampuan anak untuk melakukan kegiatan

dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap

perkembangan dan kemampuan anak. Definisi lain menurut Einon kemandirian

anak ialah kemampuan anak untuk melakukan perawatan terhadap diri sendiri,

seperti makan/minum, berpakaian, ke toilet dan mandi. Kemandirian merupakan

suatu sikap yang diperoleh secara kumulatif melalui proses yang dialami

seseorang dalam perkembangannya. Dimana dalam proses menuju kemandirian,

36
individu belajar untuk menghadapi berbagai situasi dalam lingkungannya sampai

ia mampu berpikir dan mengambil tindakan yang baik dalam mengatasi setiap

situasi [ CITATION Rik17 \l 1057 ].

2.3.2 Ciri-ciri kemandirian

Ciri khas kemandirian pada anak diantaranya mereka memiliki

kecenderungan dan kemampuan dalam memecahkan masalah dari pada berkutat

dalam kekhawatiran bila terlibat masalah. Anak yang mandiri tidak takut dalam

mengambil resiko karena sudah mempertimbangkan hasil sebelum berbuat. Anak

yang mandiri percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-sedikit

bertanya atau meminta bantuan. Anak yang mandiri memiliki kontrol yang lebih

baik terhadap kehidupannya [ CITATION Rik17 \l 1057 ].

Covey menegaskan bahwa kemandirian memiliki ciri-ciri, diantarnya:

1. Secara fisik mampu bekerja sendiri

2. Secara mental dapat berpikir sendiri

3. Secara kreatif mampu mengekspresikan gagasannya dengan cara yang

mudah dipahami

4. Secara emosional kegiatan yang dilakukannya dipertanggung jawabkan

sendiri [ CITATION Rik17 \l 1057 ].

2.3.3 Aspek-aspek kemandirian

Kemandirian dalam konteks individu memiliki aspek yang lebih luas dari

sekedar aspek fisik, yaitu: aspek emosi ditunjukkan dengan kemampuan

mengontrol emosi, aspek ekonomi ditunjukkan dengan kemampuan mengatur

ekonomi dan tidak tergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua, aspek

37
intelektual ditunjukkan dengan kemampuan mengatasi berbagai masalah yang

dihadapi dan aspek sosial ditunjukkan dengan kemampuan berinteraksi dengan

orang lain [ CITATION Rik17 \l 1057 ].

Ara (dalam Sa’diyah, 2017) mengemukakan aspek-aspek kemandirian anak

adalah sebagai berikut:

1. Kebebasan, merupakan hak asasi bagi setiap manusia, begitu juga

seorang anak. Anak cenderung akan mengalami kesulitan untuk

mengembangkan kemampuan dirinya dan mencapai tujuan hidupnya,

bila tanpa kebebasan. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat

dalam kebebasannya membuat keputusan

2. Inisiatif, merupakan suatu ide yang diwujudkan ke dalam bentuk

tingkah laku. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat dalam

kemampuannya untuk mengemukakan ide, berpendapat, memenuhi

kebutuhan sendiri dan berani mempertahankan sikap

3. Percaya diri, merupakan sikap individu yang menunjukkan keyakinan

bahwa dirinya dapat mengembangkan rasa dihargai. Perwujudan

kemandirian anak dapat dilihat dalam kemampuan untuk berani

memilih, percaya akan kemampuannya dalam mengorganisasikan diri

dan menghasilkan sesuatu yang baik

4. Tanggung jawab, merupakan aspek yang tidak hanya ditujukan pada

diri anak itu sendiri tetapi juga kepada orang lain. Perwujudan

kemandirian dapat dilihat dalam tanggung jawab seseorang untuk

berani menanggung resiko atas konsekuensi dari keputusan yang telah

38
diambil, menunjukkan loyalitas dan memiliki kemampuan untuk

membedakan atau memisahkan antara kehidupan dirinya dengan orang

lain di dalam lingkungannya

5. Ketegasan diri, merupakan aspek yang menunjukkan adanya suatu

kemampuan untuk mengandalkan dirinya sendiri. Perwujudan

kemandirian seseorang dapat dilihat dalam keberanian seseorang untuk

mengambil resiko dan mempertahankan pendapat meskipun

pendapatnya berbeda dengan orang lain

6. Pengambilan keputusan, dalam kehidupannya anak selalu dihadapkan

pada berbagai pilihan yang memaksanya mengambil keputusan untuk

memilih. Perwujudan kemandirian seorang anak dapat dilihat di dalam

kemampuan untuk menemukan akar permasalahan, mengevaluasi

segala kemungkinan di dalam mengatasi masalah dan berbagai

tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bantuan atau

bimbingan dari orang yang lebih dewasa

7. Kontrol diri, merupakan suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosialnya, baik dengan mengubah tingkah laku atau

menunda tingkah laku. Dengan kata lain sebagai kemampuan untuk

mengontrol diri dan perasaannya, sehingga seseorang tidak merasa

takut, tidak cemas, tidak ragu atau tidak marah yang berlebihan saat

dirinya berinteraksi dengan orang lain atau lingkungannya

Masih banyak aspek atau bentuk kemandirian anak usia dini, namun dari

penjelasan dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga aspek atau bentuk

39
kemandirian anak usi yaitu: kemandirian fisik, kemandirian emosional dan

kemandirian sosial. Kemandirian secara fisik dalam konteks keterampilan hidup

yaitu apabila anak sudah dapat melakukan hal-hal sederhana dalam rangka

merawat dirinya tanpa perlu bantuan orang lain. Seperti makan, minum,

berpakaian dan buang air dapat dilakukannya sendiri. Kemandirian emosional

ketika anak mampu mengatasi perasaannya sendiri khususnya perasaan negatif

seperti takut dan sedih dan anak juga dapat merasa aman dan nyaman dengan

dirinya sendiri tanpa harus didampingi orang lain di sekitarnya. Kemandirian

sosial ditandai dengan kemampuan anak, bersosialisasi dengan lingkungan di

sekitarnya, misalnya dapat dengan sabar menunggu giliran, dapat bergantian

ketika bermain. Anak mampu berinteraksi dengan anak lain ataupun dengan orang

dewasa [ CITATION Rik17 \l 1057 ].

2.3.4 Faktor-faktor yang mendukung kemandirian

Menurut Wiyani (2013) beberapa faktor yang mendukung kemandirian anak

adalah faktor internal yaitu fisiologis dan psikologis, faktor eksternal yaitu

lingkungan, cinta dan kasih sayang, dukungan keluarga dan pengalaman dalam

kehidupan. Dari beberapa faktor yang mendukung kemandirian salah satunya

dukungan keluarga, dimana keluarga merupakan tempat tumbuh kembang seorang

individu dan keluarga juga secara langsung berpengaruh dalam mendidik seorang

anak, karena pada saat lahir dan untuk masa berikutnya yang cukup panjang anak

memerlukan bantuan dari keluarga dan orang lain untuk melangsungkan

kehidupannya.

Faktor-faktor membentuk kemandirian adalah (Sa’diyah, 2017):

40
1. Faktor internal

Faktor internal merupakan semua pengaruh yang bersumber dari dalam

diri anak itu sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya

sejak dilahirkan dengan segala perlengkapan yang melekat padanya.

Faktor internal terdiri dari:

a. Faktor peran jenis kelamin, secara fisik anak laki-laki dan wanita

tampak jelas perbedaan dalam perkembangan kemandiriannya.

Dalam perkembangan kemandirian, anak laki-laki biasanya lebih

aktif dari pada anak perempuan

b. Faktor kecerdasan atau intelegensi, anak yang memiliki

intelegensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu yang

membutuhkan kemampuan berpikir, sehingga anak yang cerdas

cenderung cepat dalam membuat keputusan untuk bertindak,

dibarengi dengan kemampuan menganalisis yang baik terhadap

resiko-resiko yang akan dihadapi. Intelegensi berhubungan

dengan tingkat kemandirian anak, artinya semakin tinggi

intelegensi seorang anak maka semakin tinggi pula tingkat

kemandiriannya

c. Faktor perkembangan, kemandirian akan banyak memberikan

dampak yang positif bagi perkembangan anak. Oleh karena itu,

orang tua perlu mengajarkan kemandirian sedini mungkin sesuai

dengan kemampuan perkembangan anak.

2. Faktor eksternal

41
Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar dirinya,

sering pula dinamakan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang

dihadapi anak sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya,

baik dalam segi-segi negatif maupun positif. Biasanya jika lingkungan

keluarga, sosial dan masyarakatnya baik, cenderung akan berdampak

positif dalam hal kemandirian anak terutama dalam bidang nilai dan

kebiasaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Faktor eksternal

terdiri dari:

a. Faktor dukungan keluaga, untuk bisa mandiri seseorang

membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga

serta lingkungan sekitarnya, untuk itu orang tua dan respon dari

lingkungan sosial sangat diperlukan bagi anak untuk setiap

perilaku yang telah dilakukannya

b. Faktor sosial budaya, merupakan salah satu faktor eksternal yang

mempengaruhi perkembangan anak, terutama dalam bidang nilai

dan kebiasaan-kebiasaan hidup akan membentuk kepribadiannya,

termasuk pula dalam hal kemandiriannya, terutama di Indonesia

yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan latar

belakang sosial budaya yang beragam

c. Faktor lingkungan sosial ekonomi, faktor sosial ekonomi yang

memadai dengan pola pendidikan dan pembiasaan yang baik akan

mendukung perkembangan anak-anak menjadi mandiri.

2.3.5 Kemandirian anak retardasi mental

42
Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang

mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan

mengatur diri sendiri (self regulation). Anak memahami tuntutan lingkungan

terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Anak mandiri adalah anak

yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan naluri maupun

kebutuhan fisik, oleh dirinya sendiri bertanggung jawab tanpa bergantung pada

orang lain. Bertanggung jawab dalam hal ini berarti mengaitkan kebutuhannya

dengan kebutuhan orang lain dalam lingkungannya yang sama-sama harus

dipenuhi (Ilmi, 2018).

Kemandirian anak retardasi mental merupakan keseimbangan antara

merawat diri dan mempunyai kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri akan

kebutuhan dasarnya, dan mereka senantiasa memerlukan bantuan dan pengawasan

dari keluarga atau orang terdekat dan kemandirian anak retardasi mental tetap

dibutuhkan agar dapat meminimalkan ketergantungan anak retardasi mental.

Sesuai dengan pendapat Yamin (2010), bahwa perkembangan anak tidak lepas

dari pengawasan dan arahan dari orang tua disekitar mereka. Kemandirian

menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi anak karena ini akan menjadi

dasar bagi mereka untuk bertahan hidup sampai dewasa. Dimana saat anak

tumbuh maka sedikit demi sedikit anak akan melepas diri dari orang tua dan

belajar untuk menghadapi pengalaman yang baru (Sari, 2017).

2.4 Perawatan Diri

2.4.1 Definisi

43
Orem (2001) berpendapat bahwa teori perawatan diri yang ia kemukakan,

merupakan sebaga perilaku yang diperlukan secara pribadi dan berorientasi pada

tujuan yang berfokus pada kapasitas individu itu sendiri untuk mengatur dirinya

dan lingkungan dengan cara sedemikian rupa sehingga ia tetap bisa hidup,

menikmati kesehatan dan kesejahteraan dan berkontribusi dalam

perkembangannya sendiri. Perawatan diri secara umum dilakukan oleh orang

dewasa, orang yang sedang sakit (pasien) dan anak-anak. Pandangan Orem

perawatan diri merupakan proses pribadi yang bersifat unik. Self Care adalah

kemampuan seseorang untuk merawat diri sendiri berpengaruh oleh conditioning

factor, yang termasuk dalam conditioning factor adalah: faktor usia, jenis kelamin,

tahap perkembangan, status kesehatan, orientasi sosiokultural, sistem pelayanan

kesehatan sistem keluarga gaya hidup, faktor lingkungan, dan sumber-sumber

yang tersedia yang adekuat. Secara normal orang dewasa mampu merawat diri

sendiri. Bayi, anak-anak, lansia, orang sakit dan cacat membutuhkan bantuan

penuh atau dibantu dalam kegiatan perawatan diri (Aini, 2018).

Menurut Orem ada tiga macam kebutuhan perawatan diri (self care demand)

(Aini 2018), yaitu:

1. Kebutuhan perawatan diri universal (Universal self care requisite)

merupakan perawatan diri (self care) untuk pemenuhan kebutuhan

isiologis dan psikososial, meliputi pemeliharaan udara, air/cairan,

makanan, proses eliminasi normal, keseimbangan antara aktivitas dan

istirahat, keseimbangan antara solitude dan interaksi sosial, pencegahan

bahaya bagi kehidupan, fungsi dan kesejahteraan manusia, serta upaya

44
meningkatkan fungsi dan perkembangan individu dalam kelompok

sosial sesuai dengan potensi, keterbatasan, dan keinginan untuk norma.

a) Kebersihan diri, meliputi mandi, mengosok gigi, mencuci rambut,

mencuci tangan, dan cuci muka, cuci kaki.

b) Pemenuhan kebutuhan udara, pemenuhan kebutuhan udara

menurut Orem yaitu bernapas tanpa menggunakan peralatan

oksigen.

c) Pemenuhan kebutuhan air, pemenuhan kebutuhan air tanpa

bantuan, seperti dapat mengambil minum atau peralatan minun

tanpa bantuan.

d) Pemenuhan kebutuhan makan, pemenuhan kebutuhan makanan

tanpa bantuan, seperti dapat mengambil makanan atau peralatan

makanan tanpa bantuan.

e) Pemenuhan kebutuhan eliminasi dan kebersihan permukaan tubuh

atau bagian bagian tubuh, seperti kemampuan individu dalam

eliminasi membutuhkan bantuan atau melakukan secara mandiri

seperti BAB/BAK, tersedianya peralatan untuk kebersihan diri

dan dapat melakukan tanpa bantuan.

f) Pemenuhan kebutuhan akifitas dan istrahat, seperti menggunakan

kemampuan diri sendiri dan nilai serta norma saat istirahat

maupun beraktivitas.

45
g) Pemenuhan kebutuhan interaksi sosial, seperti menjalin hubungan

atau berinteraksi dengan teman sebaya atau saudara serta mampu

beradaptasi dengan lingkungan.

h) Pemenuhan pencegahan dari bahaya pada kehidupan manusia,

fungsi manusia, dan kesejahteraan manusia, seperti mengerti jenis

bahaya yang membahayakan diri sendiri, mengambil tindakan

untuk mencegah bahaya dan melindungi diri sendiri dari situasi

yang berbahaya.

i) Pemenuhan kebutuhan fungsi dan perkembangan manusia dalam

kelompok masyarakat berdasarkan kemampuan manusia,

keterbatasan keterampilan dan keinginan manusia pada

umumnya.

2. Kebutuhan perkembangan perawatan diri (Developmental self care

requisite) merupakan perawatan diri (self care) untuk pemenuhan

kebutuhan perkembangan, pada proses perkembangan dapat

dipengaruhi oleh kondisi dan kejadian tertentu sehingga dapat berupa

tahapan-tahapan yang berbeda pada setiap individu, seperti perubahan

kondisi tubuh dan status sosial. Tahapan perkembangan yang terjadi

pada manusia seperti:

a. Keterlibatan dalam pengembangan diri, seperti mengikuti

kegiatan kegiatan yang dapat mendukung perkembangan.

b. Pencegahan terhadap gangguan yang mengancam

46
Beberapa hal yang dapat mengganggu kebutuhan

perkembangan perawatan diri pada anak menurut Orem yaitu :

a) Kurangnya pendidikan anak usia sekolah.

b) Masalah adaptasi sosial.

c) Kegagalan individu untuk sehat.

d) Kehilangan orang-orang terdekat seperti orang tua, saudara

dan teman.

e) Penyediaan fasilitas atau kondisi-kondisi yang mendukung

perkembangan.

3. Kebutuhan perawatan diri pada kondisi adanya penyimpangan (Health

deviation self care requisite) merupakan perawatan diri (self care) yang

dibutuhkan saat individu mengalami penyimpangan dari keadaan sehat

menjadi sakit. Kebutuhan perawatan diri pada kondisi ini, seperti:

a. Pencarian bantuan kesehatan

b. Kesadaran akan resiko munculnya masalah akibat pengobatan

atau perawatan yang dijalani

c. Melakukan diagnostik, terapi, dan rehabilitatif, memahami efek

buruk dari perawatan

d. Adanya modifikasi gambaran atau konsep diri

e. Penyesuaian gaya hidup yang dapat mendukung perubahan status

kesehatan.

Perawatan diri merupakan suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psikologisnya. Kemampuan

47
perawatan diri adalah keterampilan mengurus atau menolong diri sendiri dalam

kehidupan sehari-hari. Menurut Depkes, perawatan diri merupakan hal yang

sangat penting karena berkaitan dengan diri sendiri dan termasuk dalam

kebutuhan dasar manusia yang paling dasar. Perawatan diri adalah salah satu

kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna

mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Setiap individu

dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan

diri (Tani, 2017).

2.4.2 Tujuan perawatan diri

Tujuan umum perawatan diri adalah untuk mempertahankan perawatan diri,

baik secara sendiri maupun dengan menggunakan bantuan, dapat melatih hidup

sehat/ bersih dengan cara memperbaiki gambaran atau persepsi terhadap

kesehatan dan kebersihan, serta menciptakan penampilan yang sesuai dengan

kebutuhan kesehatan. Membuat rasa nyaman dan relaksasi dapat dilakukan untuk

menghilangkan kelelahan serta mencegah infeksi, mencegah gangguan sirkulasi

darah, dan mempertahankan integritas pada jaringan. Perawatan diri juga

bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara

kebersihan diri, memperbaiki personal hygiene yang kurang, pencegahan

penyakit, meningkatkan percaya diri, dan menciptakan keindahan. Perawatan diri

ini menggambarkan dan menjelaskan manfaat perawatan diri guna

mempertahankan hidup, kesehatan, dan kesejahteraannya. Jika dilakukan secara

48
efektif, upaya perawatan diri dapat memberi kontribusi bagi integritas struktural

fungsi dan perkembangan manusia (Ilmi, 2018).

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawatan diri (self care

agency)

1. Usia / umur

Usia merupakan salah satu faktor penting pada perawatan diri (self

care). Bertambahnya usia sering dihubungkan dengan berbagai

keterbatasan maupun kerusakan fungsi sensoris. Pemenuhan kebutuhan

perawatan diri (self care) akan bertambah efektif seiring dengan

bertambahnya usia dan kemampuan.

a) Jenis kelamin

Jenis kelamin mempunyai kontribusi dalam kemampuan

perawatan diri.Pada laki-laki lebih banyak melakukan

penyimpangan kesehatan seperti kurangnya manejemen berat

badan dan kebiasaan merokok dibandingkan pada perempuan.

b) Tahap perkembangan

Status perkembangan menurut Orem meliputi tingkat fisik

seseorang, fungsional, perkembangan kognitif dan tingkat

psikososial .Tahap perkembangan mempengaruhi kebutuhan dan

kemampuan perawatan diri (self care) individu. Kognitif dan

perilaku seseorang akan berubah sepanjang hidupnya sehingga

perawat harus mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan

perkembangan klien dalam memberikan pelayanan kesehatan

49
c) Tingkat kesehatan

Status kesehatan berdasarkan Orem antara lain status kesehatan

saat ini, status kesehatan dahulu (riwayat kesahatan dahulu) serta

persepsi tentang kesehatan masing masing individu. Status

kesehatan meliputi diagnosis medis, gambaran kondisi pasien,

komplikasi, perawatan yang dilakukan dan gambaran individu

yang mempengaruhi kebutuhan perawatan diri (self care

requisite). Tinjauan dari perawatan diri (self care) menurut Orem,

status kesehatan pasien yang mempengaruhi kebutuhan perawatan

diri (self care requisite) dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori

yaitu : sistem bantuan penuh (wholly compensatory system),

sistem bantuan sebagian (partially compensatory system) dan

sistem dukungan pendidikan (supportif-education system)

d) Pola hidup

Pola hidup yang dimaksud adalah aktivitas normal seseorang

yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

e) Sistem pelayanan kesehatan

Sumber daya dari pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan

tersedia untuk individu dalam melakukan diagnostik dan

pengobatan.

f) Keluarga

Peran atau hubungan anggota keluarga dan orang lain yang

signifikan serta peraturan seseorang di dalam keluarga. Selain itu,

50
sistem keluarga juga meliputi tipe keluarga, budaya yang

mempengaruhi keluarga, pengetahuan yang dimiliki individu atau

keluarga serta perawatan diri dalam keluarga.

g) Lingkungan

Tempat seseorang biasanya melakukan perawatan diri di

lingkungan rumah.

h) Sosiokultural

Sistem yang saling terkait dengan lingkungan sosial seseorang,

keyakinan spiritual, hubungan sosial dan fungsi unit keluarga.

i) Ketersediaan sumber

Ketersediaan sumber ini ptermasuk ekonomi, personal,

kemampuan dan waktu. Ketersediaan sumber-sumber yang

mendukung perawatan diri (Ilmi, 2018).

2.4.4 Perawatan diri pada anak retardasi mental

Perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan

kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu

keperawatannya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Dalam melakukan

perawatan diri pada anak retardasi mental masih mengalami kesulitan, sehingga

mereka perlu diajarkan dan memerlukan waktu yang lama, latihan dan bantuan

yang lebih banyak serta pengajaran yang berulang- ulang.

51
Menurut Basuni (2012) ruang lingkup keterampilan perawatan diri untuk

anak berkebutuhan khusus (retardas mental) :

a) Kebersihan diri, meliputi mandi, mengosok gigi, mencuci rambut,

mencuci tangan, buang air kecil, buang air besar dan cuci muka, cuci

kaki.

b) Makan dan minum, meliputi makan menggunakan tangan atau sendok,

minum menggunakan gelas atau sedotan.

c) Berpakaian, meliputi memilih pakaian, memakai baju, memakai celana

atau rok, memakai sepatu dan kaos kaki, dan berhias seperti menyisir

rambut, memakai bedak.

d) Pemenuhan kebutuhan eliminasi, seperti kemampuan individu dalam

eliminasi membutuhkan bantuan atau melakukan secara mandiri seperti

buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB).

e) Pengerakan/ mobilisasi yaitu berpindah tempat dari tempat satu ke

tempat lain, seperti bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.

f) Sosialisasi yaitu pernyataan diri, pergaulan dengan anggota

keluarga,teman dan anggota masyarakat.

g) Tugas-tugas sederhana di rumah, meliputi pemeliharaan barang-barang

di rumah, pemeliharaan tempat sekeliling agar tetap menyenangan,

pemeliharaan tempat bermain yang bersih dan aman, penyimpanan alat

bermain setelah dipakai

h) Perlindungan diri yaitu menjaga keselamatan, meliputi menghindari dan

mengendalikan diri dari bahaya.

52
2.5 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian Perawatan Diri

pada Anak Retrdasi Mental

Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul secara tiba-tiba tetapi

perlu diajarkan dan dilatih pada anak agar tidak menghambat tugastugas

perkembangan anak selanjutnya. Menurut Wiyani (2013) (dalam Sari, 2017),

beberapa faktor yang mendukung kemandirian anak adalah faktor internal yaitu

fisiologis dan psikologis, faktor eksternal yaitu lingkungan, cinta dan kasih

sayang, pola asuh (dukungan keluarga), pengalaman dalam kehidupan. Anak

tunagrahita yang tidak mendapatkan intervensi secara terus menerus dari

lingkungan berdampak berlambannya anak menjadi mandiri, untuk membuat anak

mampu menjadi mandiri maka dibutuhkan adanya dukungan dari orang tua.

Dukungan keluarga memiliki empat jenis yaitu:dukungan instrument, dukungan

informasional, dukungan penilaian, dukungan emosional.

Kemampuan anak retardasi mental yang mempunyai kemampuan tinggi

untuk melakukan perawatan diri dapat disebabkan karena adanya dukungan dari

lingkungannya baik dari keluarganya. Salah satu faktor yang mempengaruhi

kemampuan untuk melakukan perawatan diri adalah dukungan dari lingkungan

terutama orang terdekat seperti keluarga. Dukungan keluarga pada anak retardasi

mental sangatlah mempengaruhi sikap dan perilaku dari anak tersebut, terlebih

pada anak retardasi mental yang memang membutuhkan perhatian khusus dari

sekitarnya dan juga sebagai salah satu faktor yang paling penting bagi

pertumbuhan dan juga perkembangan anak retardasi mental. Dengan adanya

dukungan oleh keluarga dan dijadikan sebagai keseharian, sehingga anak tersebut

53
dapat melakukan sesuatu seperti melakukan perawatan diri (kebersihan badan,

makan/minum, berpakaian, elimnasi, mobilisasi, pekerjaan rumah dan

perlindungan diri) setelah diberi dukungan oleh keluarga[ CITATION War16 \l

1057 ].

Hal ini sesuai dengan diungkapkan Riza (2012) yang mengatakan dukungan

keluarga dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak. Hal ini dapat

terlihat bila dukungan keluarga sangat baik maka pertumbuhan dan perkembangan

anak relatif stabil, tetapi bila dukungan pada anak kurang baik maka anak akan

mengalami hambatan pada dirinya. Penelitian ini mendapatkan hasil yang sama

dengan penelitian dilakukan Arfandi (2013), untuk dukungan sosial keluarga dan

kemampuan perawatan diri anak retardasi mental, sehingga ada hubungan yang

signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan kemampuan perawatan diri

pada anak retardasi mental.

Memperoleh kemandirian yang utuh dapat dibentuk dalam karakteristik

kepribadian anak. Dengan memberikan kesempatan dan tanggung jawab anak

akan mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kemampuan

mengatur diri sendiri. Dari pembentukan perilaku ini yang diikuti dengan

pembiasaan dan dukungan dari orang terdekat akan menjadikan anak mandiri

[ CITATION Okt17 \l 1057 ].

2.6 Kajian Penelitian yang Relefan

1. Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Syukrianty Syahda

tahun 2018 dengan judul hubungan dukungan keluarga terhadap

kemandrian anak retardasi mental di SDLB Bangkinang tahun 2016.

54
Jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan desain cross sectional

study. Sampel dalam penelitian ini adalah 53 orang tua dengan

menggunakan teknik total populasi yaitu pengambilan sampel dengan

mengambil seluruh anggota populasi. Penelitian ini menganalisis

hubungan variabel dependent (kemandirian anak retardasi mental)

dengan variabel independent (dukungan keluarga). Dari hasil analisis

hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian anak retardasi

mental diperoleh data bahwa dari 24 anak yang tidak mendapatkan

dukungan keluarga, terdapat 3 anak (12,5%) yang mandiri, sedangkan

dari 18 anak yang mendapatkan dukungan keluarga terdapat 6 anak

(33,3%) yang tidak mandiri. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p

value= 0,001 (p < 0,05), dengan derajat kemaknaan (α = 0,05). Ini

berarti terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga

dengan kemandirian anak reterdasi mental di SDLB Negeri Bangkinang

tahun 2016. Dari hasil penelitian diketahui nilai OR =14,0, hal ini

berarti anak yang tidak mendapatkan dukungan keluarga berpeluang 14

kali untuk tidak mandiri.

2. Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Vonny Khresna

Dewi 2017 dengan judul hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat

kemandirian anak retardasi mental ringan di SDLB YPLB Banjarmasin.

Desain penelitian ini menggunakan metode analitik korelatif dengan

pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

orangtua dan anak retardasi mental ringan di SDLB YPLB Banjarmasin

55
dengan jumlah 40 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua

dan anak retardasi mental ringan di SDLB YPLB Banjarmasin yang

ber-jumlah 35 orang. Teknik pengambilan sampel secara purposive

sampling. Analisis data dengan Analisis univariat dan analisis bivariat

(uji korelasi Spearman Rank). Hasil penetilian diperoleh dari 35

responden didapatkan sebagian besar yaitu 25 orang (71,4%) orang tua

menggunakan pola asuh otoriter dan kemandirian anak retardasi mental

adalah ketergantungan ringan yaitu 20 orang (57,1%), didapatkan ada

hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan tingkat

kemandirian anak retardasi mental ringan di Sekolah Dasar Luar Biasa

(SDLB) Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB) Banjarmasin.

3. Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Hamida Retno

Wardani 2015 dengan judul pengaruh terapi generalis defisit perawatan

diri terhadap kemandirian perawatan diri anak retardasi mental di

SDLB-C TPA Kabupaten Jember. Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif, desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pra eksperimental dengan menggunakan pendekatan pre test and

post test group design. Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua

dengan anak retardasi mental kategori sedang berjumlah 22 orang,

teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah non

probability sampling dengan sistem purposive sampling. Hasil

penelitian sebelum dilakukan terapi generalis defisit perawatan diri

menunjukkan bahwa kemandirian anak retardasi mental dalam

56
perawatan diri (berpakaian) berada pada rata-rata 54.50 dengan rentang

nilai minimal 33 dan nilai maksimal 78. Setelah dilakukan terapi

generalis defisit perawatan diri menunjukkan bahwa kemandirian anak

retardasi mental dalam perawatan diri (berpakaian) meningkat pada

rata-rata 56.64 dengan rentang nilai minimal 34 dan nilai maksimal 80.

4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dian Ramawati,

Allenidekania, Besral 2012 dengan judul kemampuan perawatan diri

anak tunagrahita berdasarkan fakto eksternal dan internal anak.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode

deskriptif observasional, desain penelitian adalah cross sectional yaitu

dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner. Sampel pada

penelitian ini adalah orang tua dari anak tunagrahita yang bersekolah di

SLB Yakut Kecamatan Purwakerto Selatan dengan jumlah 45 orangtua

siswa dan SLB Kuncup Mas Kecamatan Banyumas dengan jumlah 20

orangtua siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara karakteristik anak yaitu usia dan

kondisi fisik anak (kekuatan motorik dan hipersalivasi) dengan

kemampuan perawatan diri anak tunagrahita. Usia anak yang lebih tua

(> 12 tahun) mempunyai kemampuan perawatan diri 4,6 kali lebih baik

dibandingkan anak dengan usia yang lebih muda (<12 tahun). Orang tua

dengan pendidikan terakhir SMA memiliki peluang 3,12 kali untuk

meningkatkan kemampuan perawatan diri pada anak tunagrahita

dibandingkan orangtua dengan pendidikan terakhir yang lebih rendah.

57
Kondisi fisik (kekuatan motorik) anak merupakan faktor paling

dominan yang berhubung dengan kemampuan perawatan diri anak

tunagrahita, yaitu anak tunagrahita yang tidak memiliki kelemahan

motorik 4,77 kali lebih mampu melakukan perawatan diri dibandingkan

anak tunagrahita dengan kelemahan motorik.

Persamaan dan perbedaan dari keempat penelitian relevan dan penelitian

yang akan dilakukan dengan judul hubungan dukungan keluarga dengan

kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental dimana persamaannya

yaitu penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectinal dan sama-sama

meneliti tentang kemandirian pada anak retardasi mental, sedangkan

perbedaannya dari keempat penelitian relevan dan penelitian yang akan dilakukan

yaitu tentang hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian perawatan diri

pada anak retardasi mental, dimana perawatan diri yang akan diteliti berdasarkan

teori orem yaitu kebutuhan perawatan diri secara universal.

58
2.7 Kerangka Berpikir

.7.1 Kerangka teori


Etiologi retardasi mental : IQ di bawah rata-rata dan
1. Penyebab genetik dan kromosom keterbatasan perilaku adap tif
2. Penyebab pada pra kelahiran
3. Penyebab pada saat kelahiran

Retardasi Mental

Keterbatasan perilaku adaptif :

1. Keterampilan komunikasi
2. Merawat diri (perawatan diri)
3. Keterampilan sosial
4. Penyesuaian dalam kehidupan rumah
5. Kesehatan 59
6. Pekerjaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi Perawatan diri pada anak menurut Orem (2001) secara universal
perawatan diri : :
1. Usia 1. Kebersihan badan 4. Interaksi sosial
2. Jenis kelamin 2. Eliminasi 5. Aktifitas dan istirahat
3. Tahap perkembangan 3. Berpakaian 6. Kebutuhan makan
4. Tingkat kesehatan dan minum
5. Pola hidup
6. Keluarga
7. Lingkungan Faktor-faktor yang mendukung kemandirian

1. Lingkungan
Dukungan Keluarga 2. Cinta dan kasih sayang
3. Dukungan keluarga

Dukungan informasi Dukungan emosional Dukungan Dukungan


penghargaan instrumen

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori


(Soetjiningsih, 2016) (Ilmi, 2018) (Sari, 2017) (Basuni, 2012) (Orem, 2001)
(Wiyani, 2013)

.7.2 Kerangka konsep

Kemandirian perawatan
Dukungan keluarga diri pada anak retardasi
mental

Keterangan :

: Variabel independen

60
: Variabel dependen

: Hubungan

Gambar 2.2 Bagan Kerangka konsep

2.8 Hipotesis

Adapun hipotesis pada penelitian ini yaitu ada hubungan dukungan keluarga

dengan kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di SLBN Kota Gorontalo dan waktu penelitian

dilakukan pada bulan april-juni 2019.


3.2 Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang menggunakan pendekatan

kuantitatif korelasi dengan pendekatan waktu cross-sectional. Penelitian korelasi

merupakan penelitian yang mencari hubungan atau mencari keterkaitan atau

61
mencari koneksitas diantara dua variabel atau lebih (Yusuf 2014). Metode korelasi

ini digunakan dalam penelitian karena, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental di SLBN

Kota Gorontalo.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel independen
Variabel bebas (Independent variabel) disebut variabel yang mempengaruhi

atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat, baik secara

positif maupun negatif (Luthfiyah, 2017). Variabel independen dalam penelitian

ini yaitu dukungan keluarga.


3.3.2 Variabel dependen
Variabel terkait (Dependent variabel) adalah variabel yang menjadi

dipengaruhi atau disebabkan variabel lainnya dan merupakan variabel yang

menjadi perhatian utama dalam penelitian (Luthfiyah, 2017). Variabel dependen

dalam penelitian ini yaitu kemandirian perawatan diri.


3.3.3 Definisi operasional
Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang

akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya

mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian [ CITATION

Set13 \l 1057 ].
Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Independen Dukungan keluarga Kuesioner , Dukungan Ordinal
: Dukungan merupakan bentuk dengan skala keluarga
keluarga pemberian dukungan Gutman dikatakan :
pada anak terhadap anggota Dengan skor: Baik (9- 15)
retardasi keluarga lain, Pertanyaan Kurang (0-8)
mental di dukungan keluarga positif (Wawan, 2010)
SLBN Kota yang diberikan Tidak = 0
Gorontalo berupa: Ya = 1
1. Dukungan Pertanyaan
Informasi negatif
2. Dukungan Tidak = 1

62
Emosional Ya = 0
3. Dukungan (Wawan, 2010)
Penilaian/penghar
gaan
4. Dukungan
Instrumental
Dependen Kemandirian Kuesioner, Penentuan tingkat Ordinal
Kemandiria merupakan dengan skala kemandirian
n perawatan seseorang yang tidak Likert dengan perawatan diri
diri pada tergantung atau tidak poin 1-3 dengan ditentukan oleh
anak membutuhkan jawaban : skor total yang
retardasi bantuan orang lain, Selalu dibantu : diperoleh dari
mental Kemandirian 1 penjumlahan nilai
perawatan diri terdiri Kadang jawaban, skor
dari: dibantu : 2 selanjutnya
1. Kebersihan Tidak pernah di dikelompokkan
badan bantu : 3 menjadi;
2. Eliminasi (Aspuah, 2013) 1. Mandiri : 136-
3. Makan dan 164
minum 2. Tidak mandiri:
4. Berpakaian 53-135
5. Sosialisasi (Ilmi, 2018)
6. Aktivitas dan
istirahat

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari objek/subjek yang mempunyai

kualitas dan karakteristik tertentu yan ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari

dan kemudian ditarik kesimpulnnya [ CITATION Set13 \l 1057 ]. Populasi dalam

penelitian ini adalah keluarga (orang tua) yang memiliki anak retardasi mental

ringan dan retardasi mental sedang yang bersekolah di SLBN Kota Gorontalo

yang berjumlah 91 siswa.


3.4.2 Sampel
Sampel terdiri atas bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampel pada penelitian ini orang tua

dari anak retardasi mental ringan dan retardasi mental sedang yang bersekolah di

SLBN Kota Gorontalo pada anak SDLB.

63
3.4.3 Teknik Sampling
Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan jenis

purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti (Setiadi, 2013).


Peneliti memiliki beberapa kriteria inklusi dan eksklusi pada populasi yang

akan menjadi responden (sampel) dalam penelitian ini:

1. Kriteria inklusi :
a. Orang tua yang memiliki anak retardasi mental ringan dan retardasi

mental sedang di SLBN Kota Gorontalo pada anak SDLB yang

berumur 6-12 tahun.


b. Anak retardasi mental yang tinggal dengan keluarga (orang tua) di

rumah
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria eksklusi:
a. Anak yang diasuh oleh orang lain (pengasuh)
b. Anak yang sakit atau tidak hadir pada saat penelitian
Berdasarkan kriteria didapatkan jumlah sampel sebanyak 65 orang tua dari

anak retardasi mental yang bersekolah di SLBN Kota Gorontalo.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utamanya ialah mendapatkan data (Sugiono, 2013).

3.5.1 Jenis data

a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden

(Sugiono, 2013). Dalam penelitian ini data primer didapatkan dengan

64
menggunakan kuesioner meliputi dukungan keluarga dan keterampilan

perawatan diri.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lingkungan

penelitian (Sugiono, 2013). Data sekunder dalam penelitian ini

diperoleh dari bagian administrasi SLBN Kota Gorontalo.

3.5.2 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner.

Kusioner adalah suatu daftar yang berisi pertanyaan-pertanyaan tertulis yang

digunakan untuk memperoleh informasi dari responden [ CITATION Wal10 \l

1057 ]. Kuesioner yang digunakan yaitu kuesioner dukungan keluarga dan

kuesioner kemandirian perawatan diri. Kuesioner ini diambil dari penelitian

sebelumnya yaitu dari Muliana (2013) dan Ilmi (2018) serta dimodifikasi oleh

peneliti.

a. Kuesioner A

Kuesioner A berisi tentang pernyataan yang di ajukan kepada

responden tentang dukungan keluarga berjumlah 15 pernyataan, 1-4

pernyataan tentang dukungan informasi, 5-7 dukungan penghargaan, 8-

12 dukungan instrumen, 13-15 dukungan emosional dan ada 10

pernyataan positif (1,3,4,5,6,8,10,11,13 dan 14) dan 5 (2,7,9,12 dan 15)

pernyataan negatif. Data tersebut diukur dengan menggunakan skala

65
Guttman. Skala Guttman adalah skala pengukuran dengan memberikan

pertanyaan dan memilih dua jawaban yaitu Ya dan Tidak. Pertanyaan

positif dengan nilai Ya= 1, Tidak= 0 dan pertanyaan negatif dengan nilai

Ya= 0, Tidak= 1 (Wawan, 2010).

b. Kuesioner B

Kuesioner bagian kedua yaitu berupa lembar pernyataan tentang

kemampuan perawatan diri. Kuesioner kemampuan perawatan diri pada

anak retardasi mental berdasarkan teori orem (dalam Ramawati, 2012).

Kuesioner ini terdiri dari 53 pernyataan tentang kemampuan perawatan

diri, pernyataan dengan menggunakan skala pengukuran yaitu skala

Likert dengan poin 1-3 dengan pilihan jawaban selalu dibantu, kadang-

kadang dibantu, dan tidak pernah dibantu.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan , lapangan, dan bahan-bahan lain,

sehingga dapat mudah dipahami (Sugiyono, 2013). Teknik data dilakukan untuk

menjawab atau membuktikan diterima atau ditolak hipotesis yang telah

ditegakam. Data yang diperoleh diolah dengan bantuan elektonik menggunakan

program SPSS (Statistical Product and Servise Solutin).

3.6.1 Pengolahan Data

Menurut Sujarweni (2014), ada beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh

peneliti dalam pengolahan data, yaitu :

66
1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah terkumpul.

2. Coding

Coding adalah tahap pemberian kode dimana data yang berbentuk

kalimat diubah menjadi angka untuk diolah dalam program SPSS

(Statistical Product and Service Solution).

3. Entry

Pada tahap ini data diproses untuk keperluan analisis data. Data di

proses menggunakan aplikasi komputer dengan program SPSS

(Statistical Product and service Solution).

4. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesasi

dimasukkan perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan data,

dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

5. Tabulating

Tabulating adalah tahapan kegiatan pengorgnisasian data sedemikian

rupa sehingga mudah untuk dijumlahkan, disusun, dan ditata untuk

disajikan dan dianalisis.

3.6.2 Analisis data

67
1. Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menggunakan distribusi dan

presentasi dari setiap variabel (Notoatmodjo, 2012).


2. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah analisa menggunakan 2 variabel

(independen dan dependen). Analisis bivariat yaitu analisa dari variabel

independen yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel

dependen (Notoatmodjo, 2012). Seperti pada penelitian ini hubungan

dukungan keluarga (variabel independen), kemandirian perawatan diri

(dependen). Jadi analisa data bivariat ini menggunakan uji chi square

bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan dukungan keluarga

dengan kemandirian perawatan diri.


3.7 Hipotesis Statistik
Ho: Tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian

perawatan diri pada anak retardasi mental


H1: Ada hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian perawatan diri

pada anak retardasi mental

3.8 Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2014), secara umum prinsip utama dalam etika penelitian

keperawatan adalah :

1. Lembar persetujuan (Informed concent)

Lembar persetujuan merupakan bentuk persetujuan antar peneliti

dengan memberikan lembar persetujuan. Informed concent tersebut

diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar

68
persetujuan untuk menjadi responden. Jika responden bersedia, maka

mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak

bersedia, maka peneliti harus menghormati hak responden.

2. Tanpa nama (Anonimity)

Tanpa nama adalah masalah etika yang ditunjukan untuk

memberikan jaminan dalam penggunaan responden penelitian dengan

cara tidak memberikan atau menceritakan nama responden pada lembar

alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.

3. Kerahasiaan (Confidentially)

Semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset.

4. Terhindar dari bahaya

Peneliti mejelaskan kepada responden, bahwa penelitian yang

akan dilakukan tidak akan membahayakan bagi status kesehatan

responden karena bukan perlakuan yang fatal.

69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian


4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Sekolah luar biasa (SLB) Kota Gorontalo dibangun sejak tahun 1985 yang

terletak di Ibu Kota Propinsi Gorontalo merupakan SLB yang pertama kali

dibangun di Gorontalo untuk melayani pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus

(anak luar biasa) dan satu-satunya SLB yang ada dikota Gorontalo yang membina

dan membimbing anak-anak yang berkebutuhan khusus serta pendidikan layanan

khusus dalam rangka pengembangan IMTAQ dan IPTEK.


SLB Kota Gorontalo memiliki letak geografis yang sangat strategis, hal ini

dilihat dari letak sekolah yang mudah dijangkau terletak dijalan beringin

Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo. Sekolah luar biasa

kota gorontalo memiliki 6 buah gedung dengan 35 ruangan yang terdiri dari 21

raung belajar, 1 ruang kepala sekolah, 2 ruang perpustakaan, 1 ruang UKS, 5

ruang keterampilan, 1 ruang aula, 1 ruang tamu, 1 ruang dewan guru, 1 ruang tata

usaha.
SLBN Kota Gorontalo dipilih sebagai lokasi penelitian dikarena memiliki

lebih banyak anak retardasi mental dengan jumlah 155 anak. Pembelajaran yang

diajarkan hanya meliputi pembelajaran biasa dan tidak mengajarkan tentang

perawatan diri dan wawancara dari beberapa orang tua mengatakan anak mereka

belum mampu melakukan perawatan diri secara mandiri masih selalu atau

kadang-kadang di bantu dalam melakukan perawatan diri, sehingganya peneliti

memilih tempat ini sebagai tempat penelitian.

70
4.1.2 Karakteristik Responden
Adapun beberapa karakteristik responden yaitu berdasarkan umur,

pendidikan, pekerjaan, umur anak, jenis kelamin anak dan urutan anak yang dapat

dilihat pada tabel sebagai berikut:


1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Distribusi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel dibawah

ini:

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur


Umur orang Jumlah (n) Persentase (%)
Minimum 29 33 50.8%
Miximum 61 32 49.2%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui dari 65 responden, sebagian besar orang

tua dari anak retardasi mental minimum berumur 29 tahun 33 responden (50.8%)

dan smaximum berumur 561 tahun yaitu 32 responden (49.2%).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan


Distribusi responden berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah (n) Persentas (%)


SD 12 18.5%
SMP 13 20.0%
SMA 30 46.2%
D1 2 3.1%
S1 7 10.8%
S2 1 1.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui dari 65 responden, dimana pendidikan

orang tua dari anak retardasi mental yang tertinggi yaitu berpendidikan SMA

71
sebanyak 30 responden (46.2%) dan yang terendah berpendidikan S2 yaitu 1

responden (1.5%).

3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan


Distribusi responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah (n) Persentas (%)


IRT 33 50.8%
Wiraswasta 8 12.3%
Honorer 4 6.2%
Pedagang 4 6.2%
Guru 4 6.2%
Buruh 3 4.6%
PNS 3 4.6%
Karyawan 2 3.1%
Pengendara Bentor 2 3.1%
Petani 1 1.5%
Peternak 1 1.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui dari 65 responden, pekerjaan orang tua yang

terbanyak yaitu sebagai ibu rumah tangga (IRT) berjumlah 33 responden (50.8%),

dan pekerjaan orang tua yang paling sedikit yaitu peternak berjumlah 1 responden

(1.5%), petani sebanyak 1 responden (1.5%) .

4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Anak


Distribusi responden berdasarkan umur anak dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Anak

72
Umur Anak Jumlah (n) Persentas (%)
7 tahun 15 23.1%
8 tahun 9 13.8%
9 tahun 11 16.9%
10 tahun 10 15.4%
11 tahun 8 12.3%
12 tahun 12 18.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui dari 65 responden, anak retardasi mental

paling banyak berumur 7 tahun berjumlah 15 responden (23.1%) dan sebagian

anak memiliki umur 11 tahun berjumlah 8 responden (12.3%).

5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak

Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentas (%)


Laki-laki 34 52.3%
Perempuan 31 47.7%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui dari 65 responden, sebagian besar anak

retardasi mental berjenis kelamin laki-laki sebanyak 34 responden (52.3%) dan

sebagian berjenis kelamin perempuan yaitu 31 responden (47.7%).

6. Distribusi Responden Berdasarkan Urutan Anak


Distribusi responden berdasarkan urutan anak dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Urutan Anak

Ururan Anak Jumlah (n) Persentas (%)


Pertama 28 43.1%

73
Kedua 10 15.4%
Ketiga 15 23.1%
Keempat 7 10.8%
Kelima 4 6.2%
Keenam 1 1.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui dari 65 responden, dapat dilihat bahwa anak

retardasi mental sebagian besar adalah anak pertama berjumlah 28 responden

(43.1%), dan yang paling sedikit yaitu anak keenam berjumlah 1 responden

(1.5%).

4.1.3 Hasil Analisis Univariat


Adapun dibawah ini hasil analisis univariat dari dukungan keluarga dan

kemandirian perawatan diri dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:


1. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Pada Anak

Retardasi Mental
Distribusi responden berdasarkan dukungan keluarga pada anak retardasi

mental dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Pada Anak

Retardasi Mental
Dukungan Keluarga Jumlah (n) Persentasi (%)
Kurang 1 1.5%
Baik 64 98.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui dari 65 responden, hampir seluruh keluarga

memberikan dukungan keluarga baik pada anak retardasi mental sebanyak 64

responden (98.5%) dan sebagian memberikan dukungan keluarga kurang pada

anak retardasi mental sebanyak 1 responden (1.5%).

74
2. Distribusi Responden Berdasarkan Kemandirian Perawatan Diri Pada Anak

Retardasi Mental
Distribusi responden berdasarkan kemandirian perawatan diri pada
anak retardasi mental dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kemandirian Perawatan Diri Pada
Anak Retardasi Mental

Kemandirian Jumlah (n) Persentasi (%)


perawatan diri
Tidak mandiri 38 58.5%
Mandiri 27 41.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui dari 65 responden, dapat dilihat bahwa

anak retardasi mental sebagian besar tidak mandiri berjumlah 38 responden

(58.5%) dan sebagian anak retardasi mental yang mandiri berjumlah 27 responden

(41.5%).

4.1.4 Hasil Analisis Bivariat


Hasil analisis bivariat dari hubungan dukungan keluarga dengan

kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:
Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Dengan
Kemandirian Perawatan Diri Pada Anak Retardasi Mental

Dukungan Kemandirian Perawatan Diri Anak Retardasi


keluarga Mental p.Value

75
Mandiri Tidak Mandiri
n % n %
Kurang 0 0 1 100.0 0.396
Baik 27 42.2 37 57.8
Jumlah 27 42.2 38 58.5
Sumber : Data Primer, 2019.

Berdasarkan tabel 4.9 dapat dilihat bahwa 65 responden dengan dukungan

keluarga baik yang diberikan orang tua kepada anak retardasi mental dalam

perawatan diri menjadikan anak tidak mandiri sebanyak 38 anak retardasi mental

(58.5%), dukungan keluarga baik diberikan orang tua kepada anak retardasi

mental dalam perawatan diri dapat menjadikan anak mandiri sebanyak 27 anak

retardasi mental (42.2%), dan dukungan keluarga kurang yang diberikan orang tua

kepada anak retardasi mental dalam perawatan diri dapat membuat anak tidak

mandiri berjumlah 1 anak retardasi mental dan dukungan keluarga kurang yang

diberikan oranga tua kepada anak dalam perawatan diri menjadikan anak mandiri

tidak ada. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji chi-squart diperoleh nilai p

value = 0.396 (p > 0.05), berarti tidak ada hubungan dukungan keluaga dengan

kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental di SLBN Kota Gorontalo,

karena nilai Asymo.Sig= 0.396 lebih besar dari p 0.05.

4.2 Pembahasan
Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan jumlah pernyataan adalah

dukungan keluarga 15 pernyataan dan kemandirian perawatan diri 53 pernyataan

diberikan pada ibu dengan kriteria tertentu. Penelitian ini dilakukan pada saat

anak berada di sekolah dan diluar sekolah (rumah) dan penelitian ini dilakukan

76
dengan memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan cara mengisi

kuesioner, jika responden setuju maka penelitian dilanjutkan.


4.2.1 Dukungan Keluarga Pada Anak Retardasi mental Di SLBN Kota Gorontalo

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.7, hampir seluruh

responden memberikan dukungan keluarga baik kepada anak retardasi mental

berjumlah 64 anak (98.5%). Pada penelitian ini mengapa orang tua selalu

memberikan dukungan keluarga pada anak retardasi mental, karena orang tua

menyadari anak mereka memiliki keterbatasan, sehingganya memerlukan bantuan

dalam melakukan sesuatu contohnya yaitu seperti melakukan perawatan diri,

sehingganya orang tua selalu memberikan dukungan keluarga kepada anak

mereka.

Dimana sesuai hasil kuesioner bahwa hampir seluruh keluarga memberikan

dukungan keluarga tentang pentingnya perawatan diri kepada anak sebanyak 64

responden (98.4%), keluarga selalu memberikan penjelasan atau mengingatkan

apa yang seharusnya anak lakukan pada saat perawatan diri seperti mandi,

makan/minum, berpakaian, BAK/BAB sebanyak 63 responden (96,9%) dan

keluarga peduli terhadap perawatan diri anak sebanyak 64 responden (98.4%).

Sehingganya pada penelitian ini dukungan keluarga baik karena hampir seluruh

keluarga memberikan dukungan keluarga. Adapun Teori menurut Roberts dan

Greene (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga adalah tindakan yang

dilakukan oleh anggota keluarga ketika mereka memberikan bantuan kepada

anggota keluarga yang lain.

77
Pada penelitian ini juga karena anak retardasi mental anak yang memiliki

keterbatasan intelektual dan keterbatasan keterampilan adaptif (perawatan diri),

sehingganya keterbatasan yang dimilikinya tersebut akan membuat anak

bergantung pada orang-orang disekitar lingkungannya khususnya keluarga (orang

tua). Hal yang perlu diberikan kepada anak retardasi mental dalam melakukan

sesuatu, caranya yaitu selalu memberikan dukungan keluarga kepada anak

retardasi mental. Menurut Friedman (2013), menjelaskan bahwa dukungan

keluarga merupakan bentuk pemberian dukungan terhadap anggota keluarga lain

yang mengalami permasalahan atau dukungan keluarga merupakan tindakan atau

sikap penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, dukungan yang

diberikan yaitu dukungan informasi (berupa memberikan penjelasan atau

mengingatkan apa yang seharusnya dilakukan), dukungan instrumental (berupa

menyediakan barang yang dibutuhkan, memberikan contoh hal yang belum

dimengerti), dukungan emosional (menunjukkan kasih sayang dan perhatian), dan

dukungan penilaian (pujian atas keberhasilan yang sudah dapat dikerjakan secara

mandiri).
Sesuai dengan penelitian yang diungkapkan Riza (2012), yang mengatakan

dukungan keluarga dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak. Hal ini

dapat terlihat bila dukungan keluarga baik maka pertumbuhan dan perkembangan

anak relatif stabil, tetapi bila dukungan pada anak kurang baik maka anak akan

mengalami hambatan pada dirinya. Adapun hasil penelitian Warsiti (2016),

menunjukkan bahwa dukungan keluarga sangat mempengaruhi anak dalam

melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Menurut Istanti (2013), kemampuan

anak retardasi mental yang mempunyai kemampuan tinggi untuk melakukan

78
sesuatu dapat disebabkan karena adanya dukungan dari lingkungannya baik dari

keluarga (orang tua) maupun dari orang lain disekitarnya.


Hal ini dapat dilihat bahwa pada penelitian ini sesuai pada tabel 4.7,

sebagian besar dukungan keluarga yang diberikan adalah kategori baik. Hal ini

didukung oleh pekerjaan orang tua berdasarkan tabel 4.3 yang sebagian besar

sebagai IRT (Ibu Rumah Tangga) sebanyak 30 responden (46,2%), dimana bahwa

orang tua sebagai IRT akan selalu menemani atau selalu berada bersama anaknya

selama 24 jam. Menurut Harmaini (2013) bahwa orang tua sebagai ibu rumah

tangga akan selalu bersama anak selama 24 jam, sehingga orang tua akan selalu

menemani anak, memberikan perhatian, membantu kebutuhan anak serta dapat

membimbing anak dan orang tua yang selalu bersama anak agar anak selalu

dibawah pengawasan orang tuanya dan yang paling penting adalah orang tua

bersama anak pada saat yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhannya

dengan cepat.
Keberadaan orang tua sangat penting dan besar pengaruhnya di dalam

perkembangan anak. Orang tua yang selalu berada di dekat anak-anaknya akan

mudah memberikan perhatian kepada anak-anaknya dibandingkan dengan orang

tua yang jauh atau kadang menemani anak mereka. Hal ini sejalan dengan

pendapat Schaefer (2010) keberadaan orang tua bersama anak dapat memberikan

perhatian kepada anak seperti dapat mengontrol perkembangan anak dalam

kegiatan sehari-hari, dapat memberikan semangat anak dalam kegiatan belajar,

dapat memberikan kasih sayang kepada anak dan dapat mencegah anak dari

segala sesuatu yang tidak baik. Sehingga dibutuhkan orang tua untuk selalu

79
memberikan dukungan keluarga kepada anak, khususnya pada anak retardasi

mental.
Jadi peneliti berasumsi bahwa pada penelitian ini mengapa hampir seluruh

orang tua memberikan dukungan keluarga baik kepada anak retardasi mental,

karena orang tua menyadari bahwa anak mereka adalah anak yang memiliki

keterbatasan intelektual dan keterbatasan keterampilan (perawatan diri),

sehingganya dengan keterbatasan yang dimiliki anak tersebut akan membuat anak

bergantung pada orang-orang disekitar lingkungannya khususnya keluarga (orang

tua). Oleh karena itu orang tua selalu memberikan dukungan keluarga seperti

dukungan informasi (berupa memberikan penjelasan atau mengingatkan apa yang

seharusnya dilakukan dalam melakukan sesuatu), dukungan instrumental (berupa

menyediakan barang yang dibutuhkan, memberikan contoh hal yang belum

dimengerti), dukungan emosional (menunjukkan kasih sayang dan perhatian), dan

dukungan penilaian (pujian atas keberhasilan yang sudah dapat dikerjakan secara

mandiri).

4.2.2 Kemandirian Perawatan Diri pada Anak Retardasi Mental Di SLBN Kota

Gorontalo
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.8 diketahui dari 65

responden, anak yang tidak mandiri sebanyak 38 responden (58.5%) dan anak

yang mandiri sebanyak 27 responden (41.5%). Berdasarkan hasil dari penelitian

diketahui bahwa sebagian besar anak tidak mandiri, karena orang tua menyadari

anak mereka mengalami keterbatasan, sehingga mereka selalu membantu atau

mengambil alih segala kegiatan yang dilakukan anak dalam kehidupan sehari-hari.

80
Berdasarkan hasil kuesioner juga didapatkan bahwa ada 27 anak retardasi

mental dalam melakukan kebersihan diri seperti mandi kadang dibantu orang

tuanya, 21 anak retardasi mental (32.3 %) pada saat membersihkan diri setelah

eliminasi (BAB) selalu dibantu orang tuanya, 42 anak retardasi mental (64.6%)

pada saat makan dan minum kadang dibantu oleh orang tua mereka, 28 anak

retardasi mental (43.0%) pada saat berpakaian kadang dibantu orang tua mereka,

31 anak retardasi mental (47.6%) pada saat bermain dan berkomunikasi dengan

teman di rumah dan disekolah kadang diawasi orang tua mereka, 30 anak retardasi

mental (46.1%) pada saat mempersihkan tempat tidur tidak pernah mampu, 44

anak retardasi mental (67.6%) pada saat bermain melipat kertas origami tidak

pernah mampu dan 43 anak retardasi mental (66.1%) pada saat menggambar

bebas anak tidak pernah mampu, adanya hasil kuesioner bahwa anak retardasi

mental dalam melakukan perawatan diri selalu dibantu dan kadang dibantu oleh

orang tuanya sehingga membuat anak retardasi mental menjadi tidak mandiri.
Adapun teori menurut Izzaty (2005) bahwa penyebab anak tidak mandiri

karena anak tersebut terbiasa menerima bantuan yang berlebihan dari orang-orang

disekitar mereka yaitu orang tua ataupun orang lain. Pada penelitian juga mengapa

anak retardasi mental tidak mandiri dalam melakukan perawatan diri, karena anak

retardasi mental memiliki keterbatasan intelektual dan keterbatasan keterampilan

adaptif (perawatan diri), jadi dengan keterbatasan yang dimiliki anak retardasi

mental sehingganya anak akan sulit melakukan sesuatu sendiri. Menurut Istanti

(2013) anak retardasi mental memiliki intelektual yang rendah yang membuat

anak mengalami keterbatasan dalam berbagai bidang salah satunya yaitu dalam

hal kemampuan melakukan perawatan diri seperti mandi, berhias, dan toileting.

81
Sesuai yang diungkapkan Semiun (2017), menyatakan bahwa anak retardasi

mental dengan kemampuan intelektual rendah perlu diajarkan secara terus-

menerus dan konsisten agar dapat melakukan keterampilan-keterampilan hidup

sederhana seperti perawatan diri dan kegiatan di dalam rumah singga anak

retardasi mental akan menjadi mandiri. Seperti penelitian yang dilakukan oleh

Puspasari (2012), dengan mendapatkan hasil yang sama pada tingkat kemandirian

anak tunagrahita didapatkan hasil cukup mandiri. Untuk dapat melakukan

personal hygiene bagi anak tunagrahita maka diperlukan latihan secara terus

menerus berbeda dengan anak normal yang diajarkan beberapa kali sudah dapat

mengerti dan hafal apa yang diajarkan (dalam Sari, 2017).


Hal ini dapat dilihat pada penelitian ini mengapa anak retardasi mental

banyak yang tidak mandiri, pada tabel 4.5 hal ini didukung oleh pendidikan orang

tua, meskipun pendidikan yang tertinggi berpendidikan SMA, namun responden

pada penelitian ini juga banyak berpendidikan SMP dan SD yaitu 25 responden

(38.5%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua dari anak

retardasi masih kurang baik dikarenakan masih banyak berpendidikan SD dan

SMP, oleh karena itu masih banyak anak yang tidak mandiri dikarenakan

pendidikan orang tua juga dapat mempengaruhi dalam pemberian dukungan untuk

tingkat kemandirian anak retardasi mental dalam melakukan perawatan diri. Hal

ini sejalan dengan pendapatnya Apriyanto (2012), semakin baik tingkat

pengetahuan keluarga maka semakin baik dampaknya bagi perkembangan anak

dan semakin rendah tingkat pengetahuan keluarga semakin buruk dampaknya bagi

anak, sehingga tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada kurangnya

82
pengetahuan keluarga tentang kebutuhan-kebutuhan anak retardasi mental dan

cara mendidik anak retardasi mental menjadi mandiri.


Adapun pada penelitian ini anak retardasi mental tidak mandiri yang diasuh

olah orangtua tunggal (single parent), karena dimana dalam keluarga hanya

terdapat satu orangtua saja yang menjalankan semua tugas dan kewajiban untuk

memenuhi kebutuhan utama keluarga, mulai dari memberi nafkah, pendidikan

kepada anak, merawat serta mendidik anak dan saat berperan dilingkungan

masyarakat. Menurut Surya (2003) single parent, yaitu orangtua dalam satu

keluarga yang tinggal sendiri yaitu ibu saja atau bapak saja. Selain itu (Indriani,

2014) memaparkan bahwa anak yang diasuh oleh orang tua single parent yang

sedang bekerja dan tidak bekerja memiliki perbedaan. Dimana anak yang diasuh

oleh orang tua single parent yang bekerja memiliki kemandirian yang lebih tinggi

diantaranya dapat memenuhi kebutuhan ketika makan, menyisir rambut sendiri,

mandiri sendiri, dan sedangkan anak yang diasuh oleh orang tua singel parent

yang tidak bekerja anak tidak mandiri, adapun pola asuh pada singel parent

menurut Ali & Asrosi (2004) menyampaikan pola asuh sebagai salah satu faktor

yang sering disebut sebagai penyebab bagi perkembangan anak tidak mandiri.

Dimana pola asuh yang diberikan yaitu anak yang selalu dimanjakan dan

diberikan perhatian yang berlebihan serta pembiasaan atau batasan yang tidak

konsisten oleh orang tua yang singel parent maka akan dapat menghambat

pencapaian kemandirian anak.


Pada penelitian ini juga mengapa sebagian besar anak tidak mandiri, hal ini

didukung dengan urutan anak pada tabel 4.6 diketahui dari 65 responden, anak

pertama sebanyak 28 responden (43.1%). Pada penelitian ini sebagian besar

83
responden yang memiliki anak retardasi mental adalah anak pertama. Hal ini

sejalan dengan pendapat menurut Santrock (2010) bahwa anak pertama ialah anak

yang selalu dikatakan anak yang paling disayang serta paling dimanja, secara

sosial dapat diterima karena anak pertama anak yang sangat dinantikan

kelahirannya oleh pasangan suami istri. Pada penelitian ini sebagian besar anak

retardasi mental ialah anak pertama dari responden sehingganya anak tersebut

selalu dimanja dan selalu mendapatkan perlakuan istimewah, sehingga sebagian

besar anak retardasi mental walaupun sudah diberikan dukungan keluarga anak

masih belum mandiri dalam melakukan perawatan diri.


Karena anak retardasi mental memiliki ketarbatasan IQ dan keterbatasan

dalam keterampilan adaptif seperti melakukan perawatan diri. Dengan

keterbatasan tersebut untuk membuat anak retardasi mental menjadi mandiri

dibutuhkan keluarga (orang tua) memberikan penjelasan, latihan, serta pengajaran

yang berulng-ulang dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-

hari di rumah, seperti melatih anak mengambil air minum sendiri, melatih anak

membersihkan kamar tidur sendiri, melatih anak buang air kecil dan BAB sendiri,

melatih anak untuk mandi sendiri, melatih anak berpakaian sendiri, melatih anak

menyuap makanannya sendiri, melatih untuk naik turun tangga sendiri dan

sebagainya, dengan adanya latihan serta keterlibatan anak dalam melakukan

kegiatan sehari-hari dirumah tanpa harus di bantu atau mengambil alih apa yang

harus dilakukan anak, maka anak retardasi mental tersebut akan menjadi mandiri.
Hal ini sejalan dengan pendapat menurut Einon (2006) kemandirian

merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung atau tidak

membutuhkan bantuan orang lain dalam merawat dirinya secara fisik (makan

84
sendiri tanpa disuapi, berpakaian sendiri tanpa dibantu, mandi dan buang air besar

serta kecil sendiri), dalam membuat sebuah keputusan secara emosi, dan dalam

berinteraksi dengan orang lain secara sosial dan kemandirian bukan keterampilan

yang langsung tiba-tiba anak bisa melakukannya, tetapi perlu diajarkan kepada

anak usia dini. (Sa’diyah, 2017).


Adapun faktor-faktor yang berpengaruh pada kemandirian menurut

Solahudin yaitu faktor internal (emosi dan intelektual yang dimiliki anak) dan

faktor eksternal (lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta

dan kasih sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status pekerjaan

ibu (Salina, 2016). Pada penelitian ini ialah melihat kemandirian pada anak

retardasi mental, sesuai dengan faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian

yaitu salah satunya faktor internal ( intelektual). Karena anak retardasi mental

adalah anak yang memiliki keterbatasan intelektual (IQ), sehingga anak retardasi

walaupun selalu diberikan dukungan keluarga seperti menjelaskan atau

mengingatkan apa yang harus dilakukan pada saat perawatan diri, anak tersebut

tidak akan mampu atau lamban mengingatnya. Jadi mengapa pada penelitian ini

anak retardasi mental sudah diberikan dukungan keluarga namun tidak mandiri

dalam melakukan perawatan diri, karena disebabkan oleh faktor internal yang

dimiliki oleh anak retardasi mental yaitu keterbatasan intelektual.


Dalam hal ini, faktor intelektual anak dapat berperan penting untuk

mengembangkan kemandirian anak, karena apabila anak memiliki kemampuan

untuk bertindak ataupun mampu mengambil keputusan dengan sendiri tanpa harus

meminta bantuan maka anak akan lebih mandiri. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Wiyani (2013) bahwa kecerdasan atau kemampuan kognitif

85
yang dimiliki seorang anak memiliki pengaruh terhadap pencapaian kemandirian

anak. Anak yang mampu bertindak dan mengambil keputusan sendiri hanya akan

mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berfikir yang sama dengan tindakannya

tanpa harus selalu didampingi ataupun dibantu dalam setiap kegiatan (dalam

Salina, 2016).
Kemudian adapun faktor lain yang menyebabkan anak retardasi mental

tidak mandiri walaupun sudah diberikan dukungan keluarga yaitu faktor eksternal

yakni pola asuh orang tua. Sejalan dengan hasil kuesioner bahwa orang tua dari

anak retardasi mental mereka masih selalu membantu dan kadang membantu anak

dalam melakukan perawatan diri atau mengambil alih tugas anaknya dalam

melakukan perawatan diri, sehingga anak mereka tidak mandiri dalam melakukan

perawatan diri walaupun selalu diberikan dukungan keluarga.


Hal ini menurut Hurlock (2012) pola asuh yang diterapkan oleh ayah

ataupun ibu mempunyai peran yang nyata membentuk perilaku anak, begitu juga

dengan kemandirian anak. Apabila anak dimanjakan dan diberikan perhatian yang

berlebihan serta pembiasaan atau batasan yang tidak konsisten oleh orang tua

maka akan dapat menghambat pencapaian kemandirian anak. Pola asuh dari orang

tua kepada anak sangat menentukan karakter dan tumbuh kembang anak sehingga

sudah semestinya orang tua menyadari bahwa menjadi sosok yang demokratis

agar anak dapat memiliki karakter yang mandiri.


Sesuai yang dijelaskan Fathi (2011) bahwa orang tua merupakan pendidikan

pertama dalam membentuk karakter kepribadian seorang anak , sehingga nantinya

kepribadian anak tersebut sesuai dengan apa yang diterapkan dan dibiasakan

dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarganya. Sehingga

berdasarkan dari paparan di atas, yang menjadi faktor paling berpengaruh

86
menyebabkan anak menjadi tidak mandiri adalah pola asuh yang overprotektif,

yaitu pola asuh yang terlalu melindungi atau memanjakan anak dan terlalu

membantu anak dalam segala kegiatan atau tugas anak.


4.2.3 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian Perawatan Diri Pada

Anak Retardasi Mental Di SLBN Kota Gorontalo


Berdasarkan uji statistik menggunakan uji chi-squart diperoleh nilai p value

=0.396 (p > 0.05), ini berarti dapat dilihat pada tabel 4.9 bahwa tidak ada

hubungan dukungan keluaga dengan kemandirian perawatan diri pada anak

reatrdasi mental di SLBN Kota Gorontalo, karena nilai Asymo.Sig= 0.396 lebih

besar dari p 0.05.


Pada penelitian ini mengapa tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan

kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental, karena tidak selamanya

dukungan keluarga baik memberikan kemandirian pada anak retardasi mental.

Namun ada faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian. Sesuai dengan teori

menurut Solahudin (2012) menyatakan terdapat dua faktor yang mempengaruhi

kemandirian anak yaitu faktor internal (emosi dan intelektual anak) dan faktor

eksternal (lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta dan kasih

sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status pekerjaan ibu).
Sesuai pada tabel 4.9 juga bahwa dukungan keluarga baik tetapi anak tidak

mandiri dalam melakukan perawatan diri. Hal ini disebabkan karena anak masih

selalu mendapatkan bantuan dan orang tua selalu mengambil alih tugas-tugas atau

kegiatan sehari-hari anak, seperti melakukan perawatan diri sehingganya anak

tidak akan mandiri, anak retardasi mental juga anak yang memiliki keterbatasan

intelektual dan keterbatasan keterampilan adaptif (perawatan diri), jadi dengan

keterbatasan yang dimiliki anak retardasi mental sehingganya anak akan sulit

87
melakukan sesuatu sendiri, mereka selalu membutuhkan bantuan serta pengajaran

atau latihan yang berulang-ulang dari orang lain atau orang terdekat.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian menurut Solahudin

yaitu faktor internal (emosi dan intelektual yang dimiliki anak) dan faktor

eksternal (lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta dan

kasih sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status pekerjaan ibu

(Salina, 2016). Karena pada penelitian ini melihat kemandirian perawatan diri

pada anak retardasi mental, jadi mengapa pada penelitian ini anak retardasi mental

banyak yang tidak mandiri dalam melakukan perawatan diri, karena anak retardasi

mental memiliki keterbatasan intelektual dan keterbatasan melakukan

keterampilan adaptif (perawatan diri) yang dimilikinya, seperti salah satu faktor

yang mempengaruhi kemandirian yaitu intelektual.


Dalam hal ini, faktor intelektual anak dapat berperan penting untuk

mengembangkan kemandirian anak, karena apabila anak memiliki kemampuan

untuk bertindak ataupun mampu mengambil keputusan dengan sendiri tanpa harus

meminta bantuan maka anak akan lebih mandiri. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Wiyani (2013), bahwa kecerdasan atau kemampuan kognitif

yang dimiliki seorang anak memiliki pengaruh terhadap pencapaian kemandirian

anak. Anak yang mampu bertindak dan mengambil keputusan sendiri hanya akan

mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berfikir yang sama dengan tindakannya

tanpa harus selalu didampingi ataupun dibantu dalam setiap kegiatan (dalam

Salina, 2016).
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Puspasari (2012) dengan

mendapatkan hasil pada tingkat kemandirian anak retardasi mental didapatkan

hasil cukup mandiri. Untuk dapat melakukan personal hygiene bagi anak

88
tunagrahita maka diperlukan latihan secara terus menerus berbeda dengan anak

normal yang diajarkan beberapa kali sudah dapat mengerti dan hafal apa yang

diajarkan. Sesuai yang diungkapkan Semiun (2017), menyatakan bahwa anak

tunagrahita dengan kemampuan intelektual rendah perlu diajarkan secara terus-

menerus dan konsisten agar dapat melakukan keterampilan-keterampilan hidup

sederhana seperti perawatan diri dan kegiatan rumah (dalam Sari, 2017).
Kemudian adapun faktor lain yang menyebabkan anak retardasi mental

tidak mandiri walaupun sudah diberikan dukungan keluarga yaitu faktor eksternal

yakni pola asuh orang tua. Pola asuh dari orang tua kepada anak sangat

menentukan karakter dan tumbuh kembang anak sehingga sudah semestinya orang

tua menyadari bahwa menjadi sosok yang demokratis agar anak dapat memiliki

karakter yang mandiri, sehingga yang menjadi faktor paling berpengaruh

menyebabkan anak menjadi tidak mandiri adalah pola asuh yang overprotektif,

yaitu pola asuh yang terlalu melindungi atau memanjakan anak dan terlalu

membantu anak dalam segala kegiatan atau tugas anak.


Sesuai dengan hasil penelitian Hidayanti (2016), telah diperoleh bentuk pola

asuh orang tua yaitu pola asuh demokratis terhadap kemandirian anak. Menurut

Chabib Thoha (2015), menyatakan bahwa pola asuh demokratis ditandai dengan

anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua, orang tua

sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi

dirinya. Anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari

terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Adapun perilaku

anak yang memiliki pola asuh yang demokratis, yaitu anak menjadi mandiri, dapat

mngontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mempunyai minat

89
terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang lain. Anak yang memiliki

pola asuh ini mempunyai sikap kemandirian yang tinggi mulai dari hal mengurus

diri sendiri di rumah dan di sekolah (dalam Awalunisah, 2015).


Adapun pada tabel 4.9 bahwa dukungan keluarga baik dapat membuat anak

retardasi mental menjadi mandiri, dengan adanya dukungan keluarga baik dapat

meningkatkan kemandirian perawatan diri anak, karena keluarga merupakan

lingkungan yang sangat dekat dengan anak dibandingkan dengan masyarakat

sekitar. Seperti kebiasaan dimana orang tua dalam memberikan penjelasan serta

mempraktikan tentang perawatan diri dihadapan anak, sehingga dapat

mempengaruhi bagaimana anak mendapatkan informasi tentang perawatan diri.

Keluarga sebagai tatanan pertama yang mempunyai peran tidak sedikit dalam

mengajarkan kebiasaan-kebiasaan mengenai perawatan diri untuk menumbuhkan

kemandirian dalam diri anak.


Hal ini sesuai dengan diungkapkkan Riza (2012) yang mengatakan

dukungan keluarga dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak. Hal ini

dapat dilihat bila dukungan keluarga sangat baik maka pertumbuhan dan

perkembangan anak relatif stabil tetapi bila dukungan pada anak kurang baik

maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya (dalam Sari, 2017).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan dukungan

keluarga dengan kemandirian perawatan diri anak retardasi mental. Karena

kemandirian anak retardasi mental tidak hanya dipengaruhi oleh dukungan

keluarga, namun ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemandirian. Jadi

walaupun dukungan keluarga baik tidak anak selalu membuat anak retardasi

mental menjadi mandiri. Karena ada faktor lain yang mempengaruhi anak menjadi

tidak mandiri yaitu faktor internal (intelektual anak), karena anak retardasi mental

90
memiliki ketebatasan intelektual atau IQ, sehingga anak tersebut akan kesulitan

dalam mengerjakan tugas-tugas walaupun selalu diberikan dukungan keluarga

seperti orang tua selalu mengajarkan bagaimana cara melakukan perawatan diri,

namun anak retardasi mental lamban dalam mengingat apa yang sudah diajarkan.
Oleh karena itu anak yang mengalami retardasi mental harus diajarkan terus

menurus dalam waktu yang lama dan harus diberikan latihan yang berulang-

ulang, dan adapun faktor eksternal (pola asuh orang tua) dimana pada penelitian

ini pola asuh yang menyebabkan anak menjadi tidak mandiri yaitu pola asuh yang

overprotektif, dimana pola asuh yang diterapkan oleh orang tua adalah sering

membantu anak dalam melakukan sesuatu dan tidak memberikan kesempatan

kepada anak sehingga anak kurang memiliki percaya diri dan lebih tergantung

dengan orang tuanya atau orang lain.


4.3 Keterbatasan Penelitian
1) Keterbatasan pada penelitian ini dimana sampel dalam penelitian ini sangat

terbatas disebabkan karena hanya berfokus pada satu sekolah saja yakni di

SLBN Kota Gorontalo sehingga belum bisa mewakili seluruh sekolah yang

ada di Propinsi Gorontalo.


2) Adanya keterbatasan penelitian menggunakan kuesioner yaitu terkadang

jawaban yang diberikan oleh responden tidak menunjukkan keadaan yang

sebenarnya terjadi di kehidupan mereka.


3) Kurangnya minat orang tua dari anak retardasi mental untuk menjadi

responden pada penelitian ini.

BAB V
PENUTUP

91
5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang hubungan dukungan

keluarga dengan kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental di SLBN

Kota Gorontalo dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Dukungan keluarga, hampir seluruh orang tua memberikan dukungan

keluarga baik berjumlah 64 anak retardasi mental (98.5%) dan anak yang

kurang mendapatkan dukungan keluarga berjumlah 1 anak retardasi mental

(100.0%). Jadi diketahui bahwa hampir seluruh responden memberikan

dukungan keluarga baik terhadap anaknya.

2. Kemandirian, sebagian besar anak tidak mandiri sebanyak 38 responden

(58.5%) dan anak yang mandiri sebanyak 27 responden (41.5%), yang

artinya walaupun dukungan keluarga baik diberikan kepada anak retardasi

mental tetapi anak tidak mandiri.

3. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji chi-squart diperoleh nilai p value

= 0.396 (p > 0.05), ini berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

dukungan keluaga dengan kemandirian perawatan diri pada anak retardasi

mental di SLBN Kota Gorontalo, karena nilai Asymo.Sig= 0.396 lebih besar

dari p 0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya dukungan

keluarga baik akan memberikan kemandirian pada anak retardasi mental.

92
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diajukan saran sebagai

berikut:
1. Bagi Institusi
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan ilmiah untuk

menambah wawasan dan pengetahuan untuk institusi, serta dapat dijadikan

referensi dan bahan buku ajar dikeperawatan anak, khususnya terkait dengan

perkembangan kemampuan perawatan diri pada anak berkebutuhan khusus.


2. Bagi Lembaga Pendidikan (SLB)
Diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi guru, karena guru sebagai

pengganti orang tua ketika anak disekolah, sehingga peneliti menyarankan

agar guru diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk

belajar mandiri misalnya menyelesaikan tugas tanpa harus sering dibantu,

mengenakan atau melepaskan sepatu sendiri, mengambil buku atau

makanan serta minuman sendiri. Karena salah satu tujuan dari pendidikan

yaitu menjadikan anak dapat mandiri dan bisa melakukan sesuatu tanpa

harus sering dibantu oleh orang lain.


3. Bagi Orang Tua
Diharapkan orang tua agar dapat lebih memberikan kesempatan anak dan

mendukung anak dalam melakukan sesuatu, baik itu dalam melakukan

kegiatan sehari-hari dirumah (perawatan diri) ataupun menentukan pilihan.

Selain itu orang tua juga diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang tepat

agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta memiliki rasa

percaya diri dalam kehidupan sehari-hari.


4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya hendaknya meneliti variabel lain

yang berhubungan dengan kemandirian anak retardasi mental selain

93
dukungan keluarga, misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi anak

retardasi mental menjadi mandiri dalam melakukan perawatan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. 2018. Teori Model Keperawatan. Malang: Perguruan Tinggi Indonesi.


Ali dan Asrori. 2004. Psikologi Remaja (Remaja Peserta Didik). PT Bumi Aksara:
Jakarta.

Apriyanto, N. 2012. Seluk-Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya.


Yogjakarta: Javalitera.

Arfandi, Z. 2014. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kemampuan


Perawatan Diri pada Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Ungaran. Jurnal
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes 10(1): 1-9.

Aspuah, S. 2013. Kumpulan Kuesioner Dan Instrumen Penelitian Kesehatan.


Yogyakarta: Nuha Medica.

Astati. 2003. Program Khusus Bina Diri: Bisakah Aku Mandiri. Jakarta:
Direktorat PLB Depdiknas.

Atmaja, J. R. 2018. Pendidikan Dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

94
Atto, O. A. 2014. Kemampuan Bina Diri Makan Bagi Anak Tunagrahita Kategori
Sedang Di Sekolah Luar Biasa Tegar Harapan. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Luar Biasa Unversitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Awalunisah, S. 2015. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemandirian Anak
di Kelompok BI PAUD Andine Palu. Jurnal Mahasiswa Ilmu Keperawatan
10(1): 1-9.

Basuni, M. 2012. Pembelajaran Bina Diri Pada Anak Tunagrahita Ringan. Jurnal
Pendidikan Khusus IX(1): 12-22.

Bathi, H.K. 1977. Educational Psyichology. New Delhi: The Macmillen company
or India limited.

Bimo, W. 2010. Pengantar Psikolog Umum. Yogyakarta : C.V Andi Offset.

Budhiman, M. 2009. Langkah Menanggulangi Autisme. Jakarta: Majalah Nirmala.


Budiman. 2011. Penelitian Kesehatan.Bandung: Refika Aditama.
Desmita. 2013. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Dewi, V. 2017. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Kemandirian
Anak Retardasi Mental Ringan Di SDLB YPLB Banjarmasin. Jurnal An-
Nadaa :21 -25.

Dyah, R. 2014. Dukungan Keluarga Terhadap Anak Tunagrahita Di SLB Kuncup


Mas Banyumas. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah. Malang.
Einon, D. 2006. Learning Early. Jakarta: Grasindo.
Fathi. 2011. Mendidik Anak dengan Alqur’an. Bandung : Pustaka Oasis.
Friedman. 2013. Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Harmaini. 2013. Keberadaan Orang Tua Bersama Anak. Jurnal Psikologi 9 (2):
81-82.

Hidayat, A. A. 2014. Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknis Analisis Data.


Jakarta : Salemba Medika.

Hidayanti, Nur. 2016. Strategi Guru Pendidikan Agama Islam Dalam


Meningkatkan Religiusitas Siswa di SDIT Az-Zahrah Sragen Kota,
Kecamatan Sragen. Tesis. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1. Diakses
pada 3 Desember 2016, dari http://eprints.ums.ac.id

95
Hamidah, R. W., A. Awatiful & Komarudin. 2015. Pengaruh Terapi Generalis
Defisit Perawatan Diri Terhadap Kemandirian Perawatan Diri Anak
Retardas Mental D SDLB -C TPA Kabupaten Jember. Jurnal Keperawatan
Fikes UMJ : 1 -12.

Hurlock, Elizabeth, B. 2012. Perkembangan Anak Jilid 2 (penerjemah: Meitasari


Tjandrasa). Jakarta: Erlangga.
Indriani, 2014. Perbedaan Kemandirian Anak Usia 6 -7 Tahun Antara Ibu Yang
Bekerja Dan Tidak Bekerja Didesa Sikampuh Kecamatan Kroya Kabupaten
Cilacap. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Sirakarta.

Ikawati, Y. 2017. Biopsychosocial Factors Associated with Mental Retardation in


Children Aged 6-17 Years in Tulungagung District, East Java. Jurnal of
Epidemology and Publich Health 2(2): 120 -129.
Istanti, F. 2013. Kemampuan Perawatan Diri Anak Retardasi Mental di SLB C
Wiyata Dharma II Yogyakarta. Skripsi. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Izzaty, Eka, R. 2005. Mengenali Permasalahan Perembangan Anak Usia TK.


Jakarta: Depdiknas.

Ilmi, W. H. 2018. Kemampuan Perawatan Diri pada Ana dengan Down Sindrome.
Skripsi. Program Studi Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Langgulang. 2013. Pengaruh Kemandirian Belajar dan lingkungan Belajar Siswa
Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IPS SMA Negero 1
Sewon Bantul.Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia 10(1):48-65.

Luthfiyah. 2017. Metodologi Penelitian. Jawa Barat: CV Jejak (Jejak Publisher).

Muliana. 2013. Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kemandirian Ana


Retardasi Mental Sedang. Skripsi. Program Sarjana Keperawatan
Universitas Ilmu Kesehatan. Makassar.

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta.

Orem, D. 2001. Nursing : Concept of Practice(6 ed.). St.Louis: Mosby Inc.

Ostenjo, S., W. Bjorbakmo, E. B. Carlberg & N. K. Vollestd. 2006. Assesment of


Everyday Functioning in Young Children with Disabilities: An ICF-based
Analysis of Content of the Pediatric Evaluation of Disability Inventory
(EDI). Jurnal Disability and Rehabilitation 28(8), 489-504.

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

96
Puspasari, D. 2012. Makna Hidup Penyandang Cacat Fisik Postnatal Karena
Kecelakaan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 1(2): 3-7.

Rahayu, S. N. 2014. Hubungan Antara karateristik Pengetahuan Peran dan Fungsi


Keluarga dengan Pemberian Stimulasi Pada Anak Usia Toddler (1-3
Tahun). Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadyah. Purwakerto.

Ramawati, D. 2012. Kemampuan Perawatan Diri Anak Tuna Grahita Berdasarkan


Faktor Eksternal Dan Internal Anak. Jurnal Keperawatan Indonesia 15(2):
90 -96.

Riza. 2012. Dukungan keluarga dalam hospitalisasi anak usia pra sekolah di
rumah sakit umum daerah Langsa. Skripsi. Program Studi S-1 Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
Roberts & Greene. 2009. Buku Pintar Pekerja Sosial (Social Workers’ Desk
Reference) Jilid 2. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Rohmat. 2010. Keluarga Dan Pola Pengasuh Anak. Jurnal Studi Gender Dan
Anak 5(1): 35 -46.

Rukajat. 2018. Pendekatan Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Buku Pendidikan


Deepublish.

Sa’diyah, R. 2017. Pentingnya Melatih Kemandirian Anak. Jurnal Kordinat 16(1):


34 -40.
Salina, E. Thamrin, Sutarmanto. 2016. Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi
Tidak Mandiri Pada Usia 5-6 Tahun Di Raudatul Athfal Babussalam. Jurnal
Ilmiah Kesehatan 7(10): 45-55.
Santrock, J.W. 2016. Life Span Development(Perkembangan Masa Hidup, Jilid 2,
Penerjemah: Chusairi dan Damanik).Jakarta: Erlangga.

Sari, O. A. 2017. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kemandirian


Personal Hygiene Anak Tunagrahita di SLB Tunas Mulya Kelurahan
Sememi Kecamatan Benowo. Jurnal Ilmiah Kesehatan 10(2): 165 -171.
Schaefer, C. 2010. Mendidik Mendisiplinkan Anak, diterjemahkan Conny
Semiawan dan Turman Sirait. Jakarta: Kesaint Blanc.

Sebastian, S. 2012. Hubungan Kondisi Fisik Dengan Aspek Mental Percaya Diri.
Tesis. Program Studi Ilmu Keolahragaan Universitas Pendidikan Indonesia.
Bogor
Semiun. 2017. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

97
Setiadi. 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan Edisi 2. Jakarta:
Graha Ilmu.

Situmeang, J. P. S. 2016. Hubungan Status Sosio Demografi Dan Status Akademik


Anak Dengan Kemandirian Anak Retardasi Mental Di SLB Yayasan
Pembinaan Anak Cacat Manado. Journal Keperawatan (e-Kp) 4(2): 2 -6.

Soetjiningsih. 2016. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.

Sugiyono. 2013. Metode Peneltian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,


dan R&D. Bandung: Alfabet.

Sujarweni, V. W. 2014. Metode Penelitian: Lengkap, Praktis, dan Mudah


Dipahami. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Surya. 2003. Bina Keluarga. Aneka Ilmu: Semarang.

Syahda, S. 2018. Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kemandirian Anak


Retardasi Mental Di SDLB Bangkinang. Jurnal Basicedu 2(1): 46 -48.

Tani, V. A. 2017. Hubungan Konsep Diri Dengan Perawatan Diri Pada Lansia Di
BPLU Senja Cerah Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Keperawatan (e-KP)
5(2): 2 -6.

Tirtayani, L. A. 2016. Implementasi teknik modeling untuk meminimalisasi


perilaku bermasalah pada anak kelompok B.e-Journal Pendidikan Anak
Usia Dini Universitas Pendidikan Ganesha 4 (2): 1-12.
Thohi. 2015. Butir-Butir Tata Lingkungan.Jakarta: PT. Bina Aksara.
Tuegeh, J. 2012. Peran Keluarga Dalam Memandirikan Anak Retardasi Mental Di
Yayasan Pembinaan Anak Cacat Manado. Journal Kesehatan Masyarakat
1(1):12-15.

Wawan, A. 2010. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku


Manusia. Yogyakarta: Mulia Medika.

Warsiti. 2016. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perawatan Diri Pada Anak
Retardasi Mental Di SLB Negeri 1 Bantul. Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Aisyiyah. Yogyakarta.

Wila. 2010. Pengukuran tingkat kemandirian dalam ADL digunakan suatu skala
”rating scale” yang didasarkan pada keterampilan fungsi biologis. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Wiyani, N. A. 2013. Fator-faktor Kemandirian Pada Anak Retardasi Mental.


Jurnal Ilmiah Kesehatan 12(1): 53 -54.

98
Wulandari, D. R. 2016. Strategi Pengembangan Perilaku Adaptif Anak
Tunagrahita Melalui Model Pembelajaran Langsung. Jurnal Ilmiah
Kesehatan 12(1): 53 -54.

Yusuf, A. M. 2014. Penelitian Kuantitatf, Kualitatif & Penelitian Gabungan.


Jakarta: Prenadamedia Group.

99

Anda mungkin juga menyukai