PENDAHULUAN
terutama orang tua dan saudara-saudaranya, karena anak dengan retardasi mental
2016). Anak retardasi mental anak yang berbeda dengan anak normal lainnya
dibawah usia 18 tahun, dan terdapat keterbatasan pada keterampilan adaptif yaitu
keterbatasan perkembangan yang dialami oleh anak retardasi mental yaitu anak
satunya perawatan diri, dimana keterbatasan tersebut terjadi pada saat anak usia
dibawah 18 tahun.
Prevalensi anak retardasi mental di dunia menurut World Health
Organization (WHO) tercatat sebanyak 15% dari penduduk dunia atau 785 juta
1
orang mengalami gangguan mental atau fisik (Ikawati, 2017). Data WHO
prevalensi retardasi mental di Indonesia saat ini diperkirakan 1-3% dari penduduk
Indonesia sekitar 6,6 juta jiwa, dari 3% tersebut 75% merupakan retardasi mental
947. Tunanetra 40 siswa, tunarungu 197 siswa, tunagrahita (retardasi mental) 564
dan kesulitan/ lambat belajar 19 siswa. Dari beberapa jumlah anak berkebutuhan
SLBN Kota Gorontalo retardasi mental berjumlah 155 siswa, di SLBN Kabupaten
Gorontalo anak retardasi mental berjumlah 100 siswa, di SLBN Kabupaten Gorut
siswa dan di SLBN Bone Pantai anak retardasi mental berjumlah 53. Jadi anak
retardasi mental yang paling banyak di SLBN Kota Gorontalo dengan jumlah 155
siswa.
Retardasi mental memiliki karakteristik yaitu, memiliki tingkat kecerdasan
2
menolong diri sendiri atau merawat diri sendiri, mengalami permasalahan
berkaitan dengan perilaku sosial, kurang mampu dalam bahasa dan pengucapan
terutama berkaitan dengan menolong diri sendiri atau merawat diri (perawatan
diri).
Perawatan diri merupakan suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
perawatan diri adalah keterampilan mengurus atau menolong diri sendiri dalam
yang lama, latihan dan bantuan yang lebih banyak serta pengajaran berulang-
ulang dari orang terdekat atau keluarga, agar mereka dapat melakukan perawatan
diarahkan kepada diri sendiri, tidak banyak mengharapkan bantuan dari orang
lain, dan bahkan mencoba memecahkan masalahnya sendiri dan kemandirian anak
sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap perkembangan dan
pada diri sendiri tidak banyak mengharapkan bantuan dari orang lain.
3
Menurut Wiyani (2013) beberapa faktor yang mendukung kemandirian anak
adalah faktor internal yaitu fisiologis dan psikologis, faktor eksternal yaitu
kehidupan. Anak retardasi mental yang tidak mendapatkan intervensi secara terus
dukungan penilaian (pujian atas keberhasilan yang sudah dapat dikerjakan secara
satunya dukungan keluarga dan ketika dukungan keluarga tidak diberikan kepada
anak retardasi mental akan membuat anak tersebut selalu ketergantungan pada
SDBL Bangkinang tahun 2016, dari hasil analisis didapatkan hubungan dukungan
keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental diperoleh data bahwa dari 24
4
anak yang tidak mendapatkan dukungan keluarga, terdapat 3 anak (12,5%) yang
anak (33,3%) yang tidak mandiri. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p
2016. Dari hasil penelitian diketahui nilai OR =14,0, hal ini berarti anak yang
terbentuk dari norma yang dianut dalam keluarga sebagai patokan berperilaku
seorang anak karena pada saat lahir dan untuk masa berikutnya yang cukup
panjang anak memerlukan bantuan dari keluarga dan orang lain untuk
2018/2019, anak yang berkebutuhan khusus berjumlah 243 siswa. Di SDLB anak
5
siswa dan autis tidak ada. Di SMA anak yang berkebutuhan khusus berjumlah 42
siswa, tunadaksa 8 siswa dan autis tidak ada. Anak retardasi mental yang paling
wawancara kepada 9 keluarga atau orang tua retardasi mental, 5 orang tua
mengatakan anak mereka sudah mandiri melakukan perawatan diri seperti mandi
mengatakan anak mereka sudah bisa makan sendiri, tetapi mandi, berpakaian dan
BAB/BAK masih dengan bantuan atau masih ada pengawasan orang tua dan 1
orang tua mengatakan anaknya belum bisa mandi sendiri harus selalu di bantu,
makan masih dengan dibantu karena anak tidak bisa mengambil makanan dengan
sendok, BAK/BAB masih dibantu dan anak setiap harinya harus memakai
pampers (popok) dan untuk berinteraksi sosial 8 orang tua mengatakan anak
rumah, namun ada 1 orang tua mengatakan anaknya tidak mau berinteraksi atau
sayang dan selalu memberikan pujian kepada anak ketika anak bisa melakukan
6
memberikan pujian kepada anak. 3 orang tua mengatakan jarang memberikan
perhatian, namun jarang memberikan pujian kepada anak ketika anak dapat
belum mandiri atau belum bisa melakukan perawatan diri, masih selalu dengan
bantuan keluarga atau orang tuanya dan masih ada orang tua yang jarang
anak retardasi mental merupakan urutan pertama dari jenis ketunaan lainnya
mental merupakan siswa yang paling banyak diantara siswa yang memiliki
perawatan diri sendiri dan perlu bantuan ataupun pengawasan dari keluarga
(orang tua) dan masih ada keluarga (orang tua) jarang memberikan
7
1.2.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahda (2018) tentang
kemandirian anak retardasi mental diperoleh bahwa dari 24 anak yang tidak
tidak mandiri. Dari hasil penelitian diketahui nilai OR=14,0, yang berarti
mandiri.
Gorontalo.
1.4.2 Tujuan khusus
8
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
1. Bagi institusi
rumah.
9
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dapat
4. Bagi peneliti
selanjutnya.
BAB II
intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau
Retardasi mental disebut juga Oligofernia (Oligo = kurang atau sedikit dan Free =
jiwa) atau tuna mental. Retardasi mental adalah suatu kondisi yang karakteristik
10
kesehatan dan keamanan. Mereka memerlukan bantuan atau layanan secara
melainkan anak mempunyai kelainan karena penyimpangan, baik dari segi fisik,
tahun.
11
enzim yang memproses protein dalam tubuh sehingga terjadinya
janin. Selain itu, adanya penyakit Sifilis. Dalam hal ini yang juga dapat
keturunannya tersebut.
12
Anak tunagrahita yang terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja
kerusakan otak.
d. Panas yang terlalu tinggi, misalnya pernah sakit keras, tifus, cacar,
dan sebagainya
kehamilan. Selain itu, sifilis dan herpes simpleks yang ditularkan ibu
13
f. Gangguan pada otak, misalnya tumor otak, anoxia (deprivasi
Sebab yang bersumber dari dalam, yaitu sebab dari faktor keturunan.
Sebab ini dapat berupa gangguan pada plasma inti atau Chromosome
dilihat angka hasil tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot (berat), IQ
25-50 dikategorikan imbesil (sedang), dan IQ 50-70 kategori debil atau moron
pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak (Atmaja, 2018).
tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita
14
1. Anak retardasi mental mampu didik
itu, beberapa kemampuan anak retardasi mental mampu latih yang perlu
kemampuannya.
15
3. Anak retardasi mental mampu rawat
2018).
2. Secara fisik
16
Karakteristik anak retardasi mental secara fisik yaitu, penampilan
untuk berinteraksi dengan orang lain yang sudah dapat terlihat ketika
orang lain yang sudah dapat terlihat ketika anak masuk usia pra sekolah
(Wulandari, 2018).
17
Berbagai upaya untuk pencegahan anak tunagrahita (retardasi mental)
bayi/anak
dan psikis
18
8. Intervensi dini, di butuhkan oleh pada orang tua agar dapat membantu
disertai dengan perkembangan adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung
dalam hidupnya. Berikut ini masalah umum yang dihadapi anak retardasi mental
1. Masalah belajar
harus terkait dengan objek yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada
19
b) Setiap bagian dari bahan ajar diajarkan satu demi satu dan
sedang ia pelajari
tidak lazim dlihat dari ukuran normati atau karena tingkah lakunya tidak
adaptif atau masalah penyesuaian diri ada kaitannya dengan sikap dan
20
dukungan orang tua serta perlakuan dari orang-orang di lingkungannya.
Oleh karena itu perlakuan orang tua anak memberi warnah pada
perilaku anak retardasi mental. Ketika orang tua mau menerima anak
kekurangan anak.
dengan benar.
normal. Hal yang lebih serius lagi dari gangguan bicara adalah
4. Masalah kepribadian
2.1.7 Latihan dan pendidikan yang dapat diterima anak retardasi mental
21
Menurut Jevuska (2010) (dalam Muliana, 2013) pendidikan yang diberikan
yang ada
nafkah kelak.
dan eliminasi
sosial.
Menurut Astati (2003) (dalam Atto, 2014), materi bina diri untuk anak
22
juga mempunyai fungsi sosial. Orang-orang yang memperhatikan
a. Mencuci muka
b. Mencuci tangan
c. Mencuci kaki
d. Menggosok gigi
e. Mandi
sandal.
23
Jika anak makan sendiri, mungkin membutuhkan waktu yang lama, dan
retardasi mental akan lebih terjaga, dan akan lebih terdidik. Sub pokok
a) Memegang sendok
b) Memegang piring
e) Memegang gelas
dan berbusana sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu
percaya diri. Pakaian yang bersih, rapi dan serasi akan membuat
a) Memakai kaos
24
b) Memakai kameja
memakai jilbab
g) Melepaskan kaos
h) Melepaskan kameja
Keluarga diartikan sebagai kelompok orang yang ada hubungan darah atau
perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga ialah ibu, bapak dan anak-
anaknya. Sekelompok manusia ini (ibu, bapak dan anak-anak mereka) disebut
keluarga nuklir (nuclear family) atau keluarga inti. Dasar pembentukan karakter
pertama dikenal anak dan keluarga juga sangat berpengaruh untuk mendidik anak.
25
Secara umum fungsi keluarga menurut Fredman (Rahayu, 2014) adalah
sebagai berikut :
26
memberikan hubungan dengan orang lain di luar keluarga atau
masyarakat
tercapai
anak dapat meniru tingkah laku yang positif dari kedua orang
placement function)
27
luar rumah. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi, misalnya anak yang baru lahir akan menatap ayah, ibu,
28
keluarga seperti memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan tempat
tinggal.
individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang
akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan
1. Dukungan informasional
29
2. Dukungan penilaian
3. Dukungan instrumental
4. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
30
2.2.5 Faktor-faktor dukungan keluarga
sebagai berikut :
1. Faktor internal
a. Tahap perkembangan
berbeda-beda.
c. Faktor emosi
31
kehidupannya. Seseorang yang secara umum sangat tenang
pengobatan.
d. Faktor spiritual
2. Faktor eksternal
a. Praktik dikeluarga
kesehatannya
32
mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanannya.
pendidikan orang tua. Karena dengan pendidikan tersebut, orang tua mampu dan
lebih mudah mendapatkan dan menerima informasi dari luar seperti lingkungan
sekitar atau pihak sekolah tempat anak mendapatkan ilmu terutama mengenai
membimbing anak dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Apriyanto
keluarga semakin buruk dampaknya bagi anak, sehingga tingkat pendidikan yang
kebutuhan tunagrahita dan cara mendidik tunagrahita sehingga rasa kasih sayang
dan perhatian keluarga terhadap anak juga berkurang. Dikarenakan semakin tinggi
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, dan pendidikan yang
33
kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang
baru diperkenalkan.
sosial ekonomi, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2017) mengatakan
responden bekerja yang dimana orang tua dapat dikatakan telah sibuk dengan
anak, mencari tahu akan kondisi anak. Hal ini sesuai dengan teori purnawan yang
tanggap terhadap kondisi anak dan segera mencari informasi dan pertolongan
Anak retardasi mental akan sangat tergantung pada peran serta dan
dukungan penuh dari keluarga. Dukungan dan penerimaan dari setiap anggota
keluarga akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak retardasi
sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari
Hal yang perlu diberikan kepada anak dengan retardasi mental dalam
mengerti dan selalu menunjukkan kasih sayang serta selalu memberikan pujian
34
Dukungan keluarga pada anak retardasi mental sangatlah mempengaruhi
sikap dan perilaku dari anak tersebut, terlebih pada anak retardasi mental yang
memang membutuhkan perhatian khusus dari sekitarnya dan juga sebagai salah
satu faktor yang paling penting bagi pertumbuhan dan juga perkembangan anak
retardasi mental. Dengan adanya dukungan oleh keluarga dan dijadikan sebagai
suatu tujuan yang setelah diberi dukungan oleh keluarga (Arfandi 2014).
2.3 Kemandirian
2.3.1 Definisi
perlu diajarkan dan dilatih pada anak agar tidak menghambat tugas-tugas
diarahkan kepada diri sendiri, tidak banyak mengharapkan bantuan dari orang
inisiatif, berusaha untuk mengejar prestasi, menunjukkan rasa percaya diri yang
35
besar, secara relatif jarang mencari perlindungan dari orang lain serta mempunyai
rasa ingin menonjol. Mandiri adalah sikap yang mampu mengurus kehidupannya
sendiri dan tidak menjadi beban orang lain. Sikap mandiri bukan sikap egois atau
perlu dilatih sejak dini. Seseorang dikatakan mandiri jika dalam menjalani
kemampuan anak dalam berpikir dan melakukan sesuatu oleh diri mereka sendiri
untuk memenuhi kebutuhannya sehingga mereka tidak lagi bergantung pada orang
lain namun dapat menjadi individu yang dapat berdiri sendiri [ CITATION
Rik17 \l 1057 ].
dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap
anak ialah kemampuan anak untuk melakukan perawatan terhadap diri sendiri,
suatu sikap yang diperoleh secara kumulatif melalui proses yang dialami
36
individu belajar untuk menghadapi berbagai situasi dalam lingkungannya sampai
ia mampu berpikir dan mengambil tindakan yang baik dalam mengatasi setiap
dalam kekhawatiran bila terlibat masalah. Anak yang mandiri tidak takut dalam
bertanya atau meminta bantuan. Anak yang mandiri memiliki kontrol yang lebih
mudah dipahami
Kemandirian dalam konteks individu memiliki aspek yang lebih luas dari
ekonomi dan tidak tergantung kebutuhan ekonomi pada orang tua, aspek
37
intelektual ditunjukkan dengan kemampuan mengatasi berbagai masalah yang
diri anak itu sendiri tetapi juga kepada orang lain. Perwujudan
38
diambil, menunjukkan loyalitas dan memiliki kemampuan untuk
takut, tidak cemas, tidak ragu atau tidak marah yang berlebihan saat
Masih banyak aspek atau bentuk kemandirian anak usia dini, namun dari
penjelasan dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga aspek atau bentuk
39
kemandirian anak usi yaitu: kemandirian fisik, kemandirian emosional dan
yaitu apabila anak sudah dapat melakukan hal-hal sederhana dalam rangka
merawat dirinya tanpa perlu bantuan orang lain. Seperti makan, minum,
seperti takut dan sedih dan anak juga dapat merasa aman dan nyaman dengan
ketika bermain. Anak mampu berinteraksi dengan anak lain ataupun dengan orang
adalah faktor internal yaitu fisiologis dan psikologis, faktor eksternal yaitu
lingkungan, cinta dan kasih sayang, dukungan keluarga dan pengalaman dalam
individu dan keluarga juga secara langsung berpengaruh dalam mendidik seorang
anak, karena pada saat lahir dan untuk masa berikutnya yang cukup panjang anak
kehidupannya.
40
1. Faktor internal
diri anak itu sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya
a. Faktor peran jenis kelamin, secara fisik anak laki-laki dan wanita
kemandiriannya
2. Faktor eksternal
41
Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar dirinya,
positif dalam hal kemandirian anak terutama dalam bidang nilai dan
terdiri dari:
serta lingkungan sekitarnya, untuk itu orang tua dan respon dari
42
Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang
mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan
terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Anak mandiri adalah anak
kebutuhan fisik, oleh dirinya sendiri bertanggung jawab tanpa bergantung pada
orang lain. Bertanggung jawab dalam hal ini berarti mengaitkan kebutuhannya
merawat diri dan mempunyai kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri akan
dari keluarga atau orang terdekat dan kemandirian anak retardasi mental tetap
Sesuai dengan pendapat Yamin (2010), bahwa perkembangan anak tidak lepas
dari pengawasan dan arahan dari orang tua disekitar mereka. Kemandirian
menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi anak karena ini akan menjadi
dasar bagi mereka untuk bertahan hidup sampai dewasa. Dimana saat anak
tumbuh maka sedikit demi sedikit anak akan melepas diri dari orang tua dan
2.4.1 Definisi
43
Orem (2001) berpendapat bahwa teori perawatan diri yang ia kemukakan,
merupakan sebaga perilaku yang diperlukan secara pribadi dan berorientasi pada
tujuan yang berfokus pada kapasitas individu itu sendiri untuk mengatur dirinya
dan lingkungan dengan cara sedemikian rupa sehingga ia tetap bisa hidup,
dewasa, orang yang sedang sakit (pasien) dan anak-anak. Pandangan Orem
perawatan diri merupakan proses pribadi yang bersifat unik. Self Care adalah
factor, yang termasuk dalam conditioning factor adalah: faktor usia, jenis kelamin,
yang tersedia yang adekuat. Secara normal orang dewasa mampu merawat diri
sendiri. Bayi, anak-anak, lansia, orang sakit dan cacat membutuhkan bantuan
Menurut Orem ada tiga macam kebutuhan perawatan diri (self care demand)
44
meningkatkan fungsi dan perkembangan individu dalam kelompok
oksigen.
tanpa bantuan.
maupun beraktivitas.
45
g) Pemenuhan kebutuhan interaksi sosial, seperti menjalin hubungan
yang berbahaya.
umumnya.
46
Beberapa hal yang dapat mengganggu kebutuhan
dan teman.
perkembangan.
deviation self care requisite) merupakan perawatan diri (self care) yang
kesehatan.
47
perawatan diri adalah keterampilan mengurus atau menolong diri sendiri dalam
sangat penting karena berkaitan dengan diri sendiri dan termasuk dalam
kebutuhan dasar manusia yang paling dasar. Perawatan diri adalah salah satu
baik secara sendiri maupun dengan menggunakan bantuan, dapat melatih hidup
kebutuhan kesehatan. Membuat rasa nyaman dan relaksasi dapat dilakukan untuk
48
efektif, upaya perawatan diri dapat memberi kontribusi bagi integritas struktural
agency)
1. Usia / umur
Usia merupakan salah satu faktor penting pada perawatan diri (self
a) Jenis kelamin
b) Tahap perkembangan
49
c) Tingkat kesehatan
d) Pola hidup
pengobatan.
f) Keluarga
50
sistem keluarga juga meliputi tipe keluarga, budaya yang
g) Lingkungan
lingkungan rumah.
h) Sosiokultural
i) Ketersediaan sumber
perawatan diri pada anak retardasi mental masih mengalami kesulitan, sehingga
mereka perlu diajarkan dan memerlukan waktu yang lama, latihan dan bantuan
51
Menurut Basuni (2012) ruang lingkup keterampilan perawatan diri untuk
mencuci tangan, buang air kecil, buang air besar dan cuci muka, cuci
kaki.
atau rok, memakai sepatu dan kaos kaki, dan berhias seperti menyisir
tempat lain, seperti bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.
52
2.5 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian Perawatan Diri
perlu diajarkan dan dilatih pada anak agar tidak menghambat tugastugas
beberapa faktor yang mendukung kemandirian anak adalah faktor internal yaitu
fisiologis dan psikologis, faktor eksternal yaitu lingkungan, cinta dan kasih
mampu menjadi mandiri maka dibutuhkan adanya dukungan dari orang tua.
untuk melakukan perawatan diri dapat disebabkan karena adanya dukungan dari
terutama orang terdekat seperti keluarga. Dukungan keluarga pada anak retardasi
mental sangatlah mempengaruhi sikap dan perilaku dari anak tersebut, terlebih
pada anak retardasi mental yang memang membutuhkan perhatian khusus dari
sekitarnya dan juga sebagai salah satu faktor yang paling penting bagi
dukungan oleh keluarga dan dijadikan sebagai keseharian, sehingga anak tersebut
53
dapat melakukan sesuatu seperti melakukan perawatan diri (kebersihan badan,
1057 ].
Hal ini sesuai dengan diungkapkan Riza (2012) yang mengatakan dukungan
keluarga dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak. Hal ini dapat
terlihat bila dukungan keluarga sangat baik maka pertumbuhan dan perkembangan
anak relatif stabil, tetapi bila dukungan pada anak kurang baik maka anak akan
mengalami hambatan pada dirinya. Penelitian ini mendapatkan hasil yang sama
dengan penelitian dilakukan Arfandi (2013), untuk dukungan sosial keluarga dan
kemampuan perawatan diri anak retardasi mental, sehingga ada hubungan yang
akan mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kemampuan
mengatur diri sendiri. Dari pembentukan perilaku ini yang diikuti dengan
pembiasaan dan dukungan dari orang terdekat akan menjadikan anak mandiri
54
Jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan desain cross sectional
tahun 2016. Dari hasil penelitian diketahui nilai OR =14,0, hal ini
Dewi 2017 dengan judul hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat
55
dengan jumlah 40 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua
hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan tingkat
post test group design. Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua
56
perawatan diri (berpakaian) berada pada rata-rata 54.50 dengan rentang
rata-rata 56.64 dengan rentang nilai minimal 34 dan nilai maksimal 80.
penelitian ini adalah orang tua dari anak tunagrahita yang bersekolah di
kemampuan perawatan diri anak tunagrahita. Usia anak yang lebih tua
(> 12 tahun) mempunyai kemampuan perawatan diri 4,6 kali lebih baik
dibandingkan anak dengan usia yang lebih muda (<12 tahun). Orang tua
57
Kondisi fisik (kekuatan motorik) anak merupakan faktor paling
yaitu penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectinal dan sama-sama
perbedaannya dari keempat penelitian relevan dan penelitian yang akan dilakukan
pada anak retardasi mental, dimana perawatan diri yang akan diteliti berdasarkan
58
2.7 Kerangka Berpikir
Retardasi Mental
1. Keterampilan komunikasi
2. Merawat diri (perawatan diri)
3. Keterampilan sosial
4. Penyesuaian dalam kehidupan rumah
5. Kesehatan 59
6. Pekerjaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi Perawatan diri pada anak menurut Orem (2001) secara universal
perawatan diri : :
1. Usia 1. Kebersihan badan 4. Interaksi sosial
2. Jenis kelamin 2. Eliminasi 5. Aktifitas dan istirahat
3. Tahap perkembangan 3. Berpakaian 6. Kebutuhan makan
4. Tingkat kesehatan dan minum
5. Pola hidup
6. Keluarga
7. Lingkungan Faktor-faktor yang mendukung kemandirian
1. Lingkungan
Dukungan Keluarga 2. Cinta dan kasih sayang
3. Dukungan keluarga
Kemandirian perawatan
Dukungan keluarga diri pada anak retardasi
mental
Keterangan :
: Variabel independen
60
: Variabel dependen
: Hubungan
2.8 Hipotesis
Adapun hipotesis pada penelitian ini yaitu ada hubungan dukungan keluarga
BAB III
METODE PENELITIAN
61
mencari koneksitas diantara dua variabel atau lebih (Yusuf 2014). Metode korelasi
ini digunakan dalam penelitian karena, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Kota Gorontalo.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel independen
Variabel bebas (Independent variabel) disebut variabel yang mempengaruhi
atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat, baik secara
Set13 \l 1057 ].
Tabel 3.1 Definisi Operasional
62
Emosional Ya = 0
3. Dukungan (Wawan, 2010)
Penilaian/penghar
gaan
4. Dukungan
Instrumental
Dependen Kemandirian Kuesioner, Penentuan tingkat Ordinal
Kemandiria merupakan dengan skala kemandirian
n perawatan seseorang yang tidak Likert dengan perawatan diri
diri pada tergantung atau tidak poin 1-3 dengan ditentukan oleh
anak membutuhkan jawaban : skor total yang
retardasi bantuan orang lain, Selalu dibantu : diperoleh dari
mental Kemandirian 1 penjumlahan nilai
perawatan diri terdiri Kadang jawaban, skor
dari: dibantu : 2 selanjutnya
1. Kebersihan Tidak pernah di dikelompokkan
badan bantu : 3 menjadi;
2. Eliminasi (Aspuah, 2013) 1. Mandiri : 136-
3. Makan dan 164
minum 2. Tidak mandiri:
4. Berpakaian 53-135
5. Sosialisasi (Ilmi, 2018)
6. Aktivitas dan
istirahat
kualitas dan karakteristik tertentu yan ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari
penelitian ini adalah keluarga (orang tua) yang memiliki anak retardasi mental
ringan dan retardasi mental sedang yang bersekolah di SLBN Kota Gorontalo
sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampel pada penelitian ini orang tua
dari anak retardasi mental ringan dan retardasi mental sedang yang bersekolah di
63
3.4.3 Teknik Sampling
Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan jenis
1. Kriteria inklusi :
a. Orang tua yang memiliki anak retardasi mental ringan dan retardasi
rumah
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria eksklusi:
a. Anak yang diasuh oleh orang lain (pengasuh)
b. Anak yang sakit atau tidak hadir pada saat penelitian
Berdasarkan kriteria didapatkan jumlah sampel sebanyak 65 orang tua dari
a. Data primer
64
menggunakan kuesioner meliputi dukungan keluarga dan keterampilan
perawatan diri.
b. Data sekunder
sebelumnya yaitu dari Muliana (2013) dan Ilmi (2018) serta dimodifikasi oleh
peneliti.
a. Kuesioner A
65
Guttman. Skala Guttman adalah skala pengukuran dengan memberikan
positif dengan nilai Ya= 1, Tidak= 0 dan pertanyaan negatif dengan nilai
b. Kuesioner B
Likert dengan poin 1-3 dengan pilihan jawaban selalu dibantu, kadang-
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan , lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami (Sugiyono, 2013). Teknik data dilakukan untuk
Menurut Sujarweni (2014), ada beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh
66
1. Editing
2. Coding
3. Entry
Pada tahap ini data diproses untuk keperluan analisis data. Data di
4. Cleaning
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesasi
5. Tabulating
67
1. Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
(dependen). Jadi analisa data bivariat ini menggunakan uji chi square
Menurut Hidayat (2014), secara umum prinsip utama dalam etika penelitian
keperawatan adalah :
68
persetujuan untuk menjadi responden. Jika responden bersedia, maka
alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3. Kerahasiaan (Confidentially)
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
riset.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
terletak di Ibu Kota Propinsi Gorontalo merupakan SLB yang pertama kali
(anak luar biasa) dan satu-satunya SLB yang ada dikota Gorontalo yang membina
dilihat dari letak sekolah yang mudah dijangkau terletak dijalan beringin
kota gorontalo memiliki 6 buah gedung dengan 35 ruangan yang terdiri dari 21
ruang keterampilan, 1 ruang aula, 1 ruang tamu, 1 ruang dewan guru, 1 ruang tata
usaha.
SLBN Kota Gorontalo dipilih sebagai lokasi penelitian dikarena memiliki
lebih banyak anak retardasi mental dengan jumlah 155 anak. Pembelajaran yang
perawatan diri dan wawancara dari beberapa orang tua mengatakan anak mereka
belum mampu melakukan perawatan diri secara mandiri masih selalu atau
70
4.1.2 Karakteristik Responden
Adapun beberapa karakteristik responden yaitu berdasarkan umur,
pendidikan, pekerjaan, umur anak, jenis kelamin anak dan urutan anak yang dapat
ini:
tua dari anak retardasi mental minimum berumur 29 tahun 33 responden (50.8%)
dibawah ini:
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
orang tua dari anak retardasi mental yang tertinggi yaitu berpendidikan SMA
71
sebanyak 30 responden (46.2%) dan yang terendah berpendidikan S2 yaitu 1
responden (1.5%).
dibawah ini:
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui dari 65 responden, pekerjaan orang tua yang
terbanyak yaitu sebagai ibu rumah tangga (IRT) berjumlah 33 responden (50.8%),
dan pekerjaan orang tua yang paling sedikit yaitu peternak berjumlah 1 responden
dibawah ini:
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Anak
72
Umur Anak Jumlah (n) Persentas (%)
7 tahun 15 23.1%
8 tahun 9 13.8%
9 tahun 11 16.9%
10 tahun 10 15.4%
11 tahun 8 12.3%
12 tahun 12 18.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui dari 65 responden, anak retardasi mental
dibawah ini:
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak
dibawah ini:
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Urutan Anak
73
Kedua 10 15.4%
Ketiga 15 23.1%
Keempat 7 10.8%
Kelima 4 6.2%
Keenam 1 1.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui dari 65 responden, dapat dilihat bahwa anak
(43.1%), dan yang paling sedikit yaitu anak keenam berjumlah 1 responden
(1.5%).
Retardasi Mental
Distribusi responden berdasarkan dukungan keluarga pada anak retardasi
Retardasi Mental
Dukungan Keluarga Jumlah (n) Persentasi (%)
Kurang 1 1.5%
Baik 64 98.5%
Jumlah 65 100%
Sumber : Data Primer, 2019.
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui dari 65 responden, hampir seluruh keluarga
74
2. Distribusi Responden Berdasarkan Kemandirian Perawatan Diri Pada Anak
Retardasi Mental
Distribusi responden berdasarkan kemandirian perawatan diri pada
anak retardasi mental dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kemandirian Perawatan Diri Pada
Anak Retardasi Mental
(58.5%) dan sebagian anak retardasi mental yang mandiri berjumlah 27 responden
(41.5%).
kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Dengan
Kemandirian Perawatan Diri Pada Anak Retardasi Mental
75
Mandiri Tidak Mandiri
n % n %
Kurang 0 0 1 100.0 0.396
Baik 27 42.2 37 57.8
Jumlah 27 42.2 38 58.5
Sumber : Data Primer, 2019.
keluarga baik yang diberikan orang tua kepada anak retardasi mental dalam
perawatan diri menjadikan anak tidak mandiri sebanyak 38 anak retardasi mental
(58.5%), dukungan keluarga baik diberikan orang tua kepada anak retardasi
mental dalam perawatan diri dapat menjadikan anak mandiri sebanyak 27 anak
retardasi mental (42.2%), dan dukungan keluarga kurang yang diberikan orang tua
kepada anak retardasi mental dalam perawatan diri dapat membuat anak tidak
mandiri berjumlah 1 anak retardasi mental dan dukungan keluarga kurang yang
diberikan oranga tua kepada anak dalam perawatan diri menjadikan anak mandiri
tidak ada. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji chi-squart diperoleh nilai p
value = 0.396 (p > 0.05), berarti tidak ada hubungan dukungan keluaga dengan
kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental di SLBN Kota Gorontalo,
4.2 Pembahasan
Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan jumlah pernyataan adalah
diberikan pada ibu dengan kriteria tertentu. Penelitian ini dilakukan pada saat
anak berada di sekolah dan diluar sekolah (rumah) dan penelitian ini dilakukan
76
dengan memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan cara mengisi
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.7, hampir seluruh
berjumlah 64 anak (98.5%). Pada penelitian ini mengapa orang tua selalu
memberikan dukungan keluarga pada anak retardasi mental, karena orang tua
mereka.
apa yang seharusnya anak lakukan pada saat perawatan diri seperti mandi,
Sehingganya pada penelitian ini dukungan keluarga baik karena hampir seluruh
77
Pada penelitian ini juga karena anak retardasi mental anak yang memiliki
tua). Hal yang perlu diberikan kepada anak retardasi mental dalam melakukan
dukungan penilaian (pujian atas keberhasilan yang sudah dapat dikerjakan secara
mandiri).
Sesuai dengan penelitian yang diungkapkan Riza (2012), yang mengatakan
dukungan keluarga dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak. Hal ini
dapat terlihat bila dukungan keluarga baik maka pertumbuhan dan perkembangan
anak relatif stabil, tetapi bila dukungan pada anak kurang baik maka anak akan
78
sesuatu dapat disebabkan karena adanya dukungan dari lingkungannya baik dari
sebagian besar dukungan keluarga yang diberikan adalah kategori baik. Hal ini
didukung oleh pekerjaan orang tua berdasarkan tabel 4.3 yang sebagian besar
sebagai IRT (Ibu Rumah Tangga) sebanyak 30 responden (46,2%), dimana bahwa
orang tua sebagai IRT akan selalu menemani atau selalu berada bersama anaknya
selama 24 jam. Menurut Harmaini (2013) bahwa orang tua sebagai ibu rumah
tangga akan selalu bersama anak selama 24 jam, sehingga orang tua akan selalu
membimbing anak dan orang tua yang selalu bersama anak agar anak selalu
dibawah pengawasan orang tuanya dan yang paling penting adalah orang tua
bersama anak pada saat yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhannya
dengan cepat.
Keberadaan orang tua sangat penting dan besar pengaruhnya di dalam
perkembangan anak. Orang tua yang selalu berada di dekat anak-anaknya akan
tua yang jauh atau kadang menemani anak mereka. Hal ini sejalan dengan
pendapat Schaefer (2010) keberadaan orang tua bersama anak dapat memberikan
dapat memberikan kasih sayang kepada anak dan dapat mencegah anak dari
segala sesuatu yang tidak baik. Sehingga dibutuhkan orang tua untuk selalu
79
memberikan dukungan keluarga kepada anak, khususnya pada anak retardasi
mental.
Jadi peneliti berasumsi bahwa pada penelitian ini mengapa hampir seluruh
orang tua memberikan dukungan keluarga baik kepada anak retardasi mental,
karena orang tua menyadari bahwa anak mereka adalah anak yang memiliki
sehingganya dengan keterbatasan yang dimiliki anak tersebut akan membuat anak
tua). Oleh karena itu orang tua selalu memberikan dukungan keluarga seperti
dukungan penilaian (pujian atas keberhasilan yang sudah dapat dikerjakan secara
mandiri).
4.2.2 Kemandirian Perawatan Diri pada Anak Retardasi Mental Di SLBN Kota
Gorontalo
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.8 diketahui dari 65
responden, anak yang tidak mandiri sebanyak 38 responden (58.5%) dan anak
diketahui bahwa sebagian besar anak tidak mandiri, karena orang tua menyadari
mengambil alih segala kegiatan yang dilakukan anak dalam kehidupan sehari-hari.
80
Berdasarkan hasil kuesioner juga didapatkan bahwa ada 27 anak retardasi
mental dalam melakukan kebersihan diri seperti mandi kadang dibantu orang
tuanya, 21 anak retardasi mental (32.3 %) pada saat membersihkan diri setelah
eliminasi (BAB) selalu dibantu orang tuanya, 42 anak retardasi mental (64.6%)
pada saat makan dan minum kadang dibantu oleh orang tua mereka, 28 anak
retardasi mental (43.0%) pada saat berpakaian kadang dibantu orang tua mereka,
31 anak retardasi mental (47.6%) pada saat bermain dan berkomunikasi dengan
teman di rumah dan disekolah kadang diawasi orang tua mereka, 30 anak retardasi
mental (46.1%) pada saat mempersihkan tempat tidur tidak pernah mampu, 44
anak retardasi mental (67.6%) pada saat bermain melipat kertas origami tidak
pernah mampu dan 43 anak retardasi mental (66.1%) pada saat menggambar
bebas anak tidak pernah mampu, adanya hasil kuesioner bahwa anak retardasi
mental dalam melakukan perawatan diri selalu dibantu dan kadang dibantu oleh
orang tuanya sehingga membuat anak retardasi mental menjadi tidak mandiri.
Adapun teori menurut Izzaty (2005) bahwa penyebab anak tidak mandiri
karena anak tersebut terbiasa menerima bantuan yang berlebihan dari orang-orang
disekitar mereka yaitu orang tua ataupun orang lain. Pada penelitian juga mengapa
anak retardasi mental tidak mandiri dalam melakukan perawatan diri, karena anak
adaptif (perawatan diri), jadi dengan keterbatasan yang dimiliki anak retardasi
mental sehingganya anak akan sulit melakukan sesuatu sendiri. Menurut Istanti
(2013) anak retardasi mental memiliki intelektual yang rendah yang membuat
anak mengalami keterbatasan dalam berbagai bidang salah satunya yaitu dalam
hal kemampuan melakukan perawatan diri seperti mandi, berhias, dan toileting.
81
Sesuai yang diungkapkan Semiun (2017), menyatakan bahwa anak retardasi
sederhana seperti perawatan diri dan kegiatan di dalam rumah singga anak
retardasi mental akan menjadi mandiri. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Puspasari (2012), dengan mendapatkan hasil yang sama pada tingkat kemandirian
personal hygiene bagi anak tunagrahita maka diperlukan latihan secara terus
menerus berbeda dengan anak normal yang diajarkan beberapa kali sudah dapat
banyak yang tidak mandiri, pada tabel 4.5 hal ini didukung oleh pendidikan orang
pada penelitian ini juga banyak berpendidikan SMP dan SD yaitu 25 responden
(38.5%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua dari anak
SMP, oleh karena itu masih banyak anak yang tidak mandiri dikarenakan
pendidikan orang tua juga dapat mempengaruhi dalam pemberian dukungan untuk
tingkat kemandirian anak retardasi mental dalam melakukan perawatan diri. Hal
dan semakin rendah tingkat pengetahuan keluarga semakin buruk dampaknya bagi
82
pengetahuan keluarga tentang kebutuhan-kebutuhan anak retardasi mental dan
olah orangtua tunggal (single parent), karena dimana dalam keluarga hanya
terdapat satu orangtua saja yang menjalankan semua tugas dan kewajiban untuk
kepada anak, merawat serta mendidik anak dan saat berperan dilingkungan
masyarakat. Menurut Surya (2003) single parent, yaitu orangtua dalam satu
keluarga yang tinggal sendiri yaitu ibu saja atau bapak saja. Selain itu (Indriani,
2014) memaparkan bahwa anak yang diasuh oleh orang tua single parent yang
sedang bekerja dan tidak bekerja memiliki perbedaan. Dimana anak yang diasuh
oleh orang tua single parent yang bekerja memiliki kemandirian yang lebih tinggi
mandiri sendiri, dan sedangkan anak yang diasuh oleh orang tua singel parent
yang tidak bekerja anak tidak mandiri, adapun pola asuh pada singel parent
menurut Ali & Asrosi (2004) menyampaikan pola asuh sebagai salah satu faktor
yang sering disebut sebagai penyebab bagi perkembangan anak tidak mandiri.
Dimana pola asuh yang diberikan yaitu anak yang selalu dimanjakan dan
diberikan perhatian yang berlebihan serta pembiasaan atau batasan yang tidak
konsisten oleh orang tua yang singel parent maka akan dapat menghambat
didukung dengan urutan anak pada tabel 4.6 diketahui dari 65 responden, anak
83
responden yang memiliki anak retardasi mental adalah anak pertama. Hal ini
sejalan dengan pendapat menurut Santrock (2010) bahwa anak pertama ialah anak
yang selalu dikatakan anak yang paling disayang serta paling dimanja, secara
sosial dapat diterima karena anak pertama anak yang sangat dinantikan
kelahirannya oleh pasangan suami istri. Pada penelitian ini sebagian besar anak
retardasi mental ialah anak pertama dari responden sehingganya anak tersebut
besar anak retardasi mental walaupun sudah diberikan dukungan keluarga anak
yang berulng-ulang dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-
hari di rumah, seperti melatih anak mengambil air minum sendiri, melatih anak
membersihkan kamar tidur sendiri, melatih anak buang air kecil dan BAB sendiri,
melatih anak untuk mandi sendiri, melatih anak berpakaian sendiri, melatih anak
menyuap makanannya sendiri, melatih untuk naik turun tangga sendiri dan
kegiatan sehari-hari dirumah tanpa harus di bantu atau mengambil alih apa yang
harus dilakukan anak, maka anak retardasi mental tersebut akan menjadi mandiri.
Hal ini sejalan dengan pendapat menurut Einon (2006) kemandirian
membutuhkan bantuan orang lain dalam merawat dirinya secara fisik (makan
84
sendiri tanpa disuapi, berpakaian sendiri tanpa dibantu, mandi dan buang air besar
serta kecil sendiri), dalam membuat sebuah keputusan secara emosi, dan dalam
berinteraksi dengan orang lain secara sosial dan kemandirian bukan keterampilan
yang langsung tiba-tiba anak bisa melakukannya, tetapi perlu diajarkan kepada
Solahudin yaitu faktor internal (emosi dan intelektual yang dimiliki anak) dan
faktor eksternal (lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta
dan kasih sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status pekerjaan
ibu (Salina, 2016). Pada penelitian ini ialah melihat kemandirian pada anak
yaitu salah satunya faktor internal ( intelektual). Karena anak retardasi mental
adalah anak yang memiliki keterbatasan intelektual (IQ), sehingga anak retardasi
mengingatkan apa yang harus dilakukan pada saat perawatan diri, anak tersebut
tidak akan mampu atau lamban mengingatnya. Jadi mengapa pada penelitian ini
anak retardasi mental sudah diberikan dukungan keluarga namun tidak mandiri
dalam melakukan perawatan diri, karena disebabkan oleh faktor internal yang
untuk bertindak ataupun mampu mengambil keputusan dengan sendiri tanpa harus
meminta bantuan maka anak akan lebih mandiri. Hal ini sesuai dengan yang
85
yang dimiliki seorang anak memiliki pengaruh terhadap pencapaian kemandirian
anak. Anak yang mampu bertindak dan mengambil keputusan sendiri hanya akan
mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berfikir yang sama dengan tindakannya
tanpa harus selalu didampingi ataupun dibantu dalam setiap kegiatan (dalam
Salina, 2016).
Kemudian adapun faktor lain yang menyebabkan anak retardasi mental
tidak mandiri walaupun sudah diberikan dukungan keluarga yaitu faktor eksternal
yakni pola asuh orang tua. Sejalan dengan hasil kuesioner bahwa orang tua dari
anak retardasi mental mereka masih selalu membantu dan kadang membantu anak
dalam melakukan perawatan diri atau mengambil alih tugas anaknya dalam
melakukan perawatan diri, sehingga anak mereka tidak mandiri dalam melakukan
ataupun ibu mempunyai peran yang nyata membentuk perilaku anak, begitu juga
dengan kemandirian anak. Apabila anak dimanjakan dan diberikan perhatian yang
berlebihan serta pembiasaan atau batasan yang tidak konsisten oleh orang tua
maka akan dapat menghambat pencapaian kemandirian anak. Pola asuh dari orang
tua kepada anak sangat menentukan karakter dan tumbuh kembang anak sehingga
sudah semestinya orang tua menyadari bahwa menjadi sosok yang demokratis
kepribadian anak tersebut sesuai dengan apa yang diterapkan dan dibiasakan
86
menyebabkan anak menjadi tidak mandiri adalah pola asuh yang overprotektif,
yaitu pola asuh yang terlalu melindungi atau memanjakan anak dan terlalu
=0.396 (p > 0.05), ini berarti dapat dilihat pada tabel 4.9 bahwa tidak ada
reatrdasi mental di SLBN Kota Gorontalo, karena nilai Asymo.Sig= 0.396 lebih
kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental, karena tidak selamanya
kemandirian anak yaitu faktor internal (emosi dan intelektual anak) dan faktor
eksternal (lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta dan kasih
sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status pekerjaan ibu).
Sesuai pada tabel 4.9 juga bahwa dukungan keluarga baik tetapi anak tidak
mandiri dalam melakukan perawatan diri. Hal ini disebabkan karena anak masih
selalu mendapatkan bantuan dan orang tua selalu mengambil alih tugas-tugas atau
tidak akan mandiri, anak retardasi mental juga anak yang memiliki keterbatasan
keterbatasan yang dimiliki anak retardasi mental sehingganya anak akan sulit
87
melakukan sesuatu sendiri, mereka selalu membutuhkan bantuan serta pengajaran
atau latihan yang berulang-ulang dari orang lain atau orang terdekat.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian menurut Solahudin
yaitu faktor internal (emosi dan intelektual yang dimiliki anak) dan faktor
eksternal (lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta dan
kasih sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status pekerjaan ibu
(Salina, 2016). Karena pada penelitian ini melihat kemandirian perawatan diri
pada anak retardasi mental, jadi mengapa pada penelitian ini anak retardasi mental
banyak yang tidak mandiri dalam melakukan perawatan diri, karena anak retardasi
keterampilan adaptif (perawatan diri) yang dimilikinya, seperti salah satu faktor
untuk bertindak ataupun mampu mengambil keputusan dengan sendiri tanpa harus
meminta bantuan maka anak akan lebih mandiri. Hal ini sesuai dengan yang
anak. Anak yang mampu bertindak dan mengambil keputusan sendiri hanya akan
mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berfikir yang sama dengan tindakannya
tanpa harus selalu didampingi ataupun dibantu dalam setiap kegiatan (dalam
Salina, 2016).
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Puspasari (2012) dengan
hasil cukup mandiri. Untuk dapat melakukan personal hygiene bagi anak
88
tunagrahita maka diperlukan latihan secara terus menerus berbeda dengan anak
normal yang diajarkan beberapa kali sudah dapat mengerti dan hafal apa yang
sederhana seperti perawatan diri dan kegiatan rumah (dalam Sari, 2017).
Kemudian adapun faktor lain yang menyebabkan anak retardasi mental
tidak mandiri walaupun sudah diberikan dukungan keluarga yaitu faktor eksternal
yakni pola asuh orang tua. Pola asuh dari orang tua kepada anak sangat
menentukan karakter dan tumbuh kembang anak sehingga sudah semestinya orang
tua menyadari bahwa menjadi sosok yang demokratis agar anak dapat memiliki
menyebabkan anak menjadi tidak mandiri adalah pola asuh yang overprotektif,
yaitu pola asuh yang terlalu melindungi atau memanjakan anak dan terlalu
asuh orang tua yaitu pola asuh demokratis terhadap kemandirian anak. Menurut
Chabib Thoha (2015), menyatakan bahwa pola asuh demokratis ditandai dengan
anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua, orang tua
sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi
terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Adapun perilaku
anak yang memiliki pola asuh yang demokratis, yaitu anak menjadi mandiri, dapat
89
terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang lain. Anak yang memiliki
pola asuh ini mempunyai sikap kemandirian yang tinggi mulai dari hal mengurus
retardasi mental menjadi mandiri, dengan adanya dukungan keluarga baik dapat
sekitar. Seperti kebiasaan dimana orang tua dalam memberikan penjelasan serta
Keluarga sebagai tatanan pertama yang mempunyai peran tidak sedikit dalam
dukungan keluarga dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak. Hal ini
dapat dilihat bila dukungan keluarga sangat baik maka pertumbuhan dan
perkembangan anak relatif stabil tetapi bila dukungan pada anak kurang baik
maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya (dalam Sari, 2017).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan dukungan
walaupun dukungan keluarga baik tidak anak selalu membuat anak retardasi
mental menjadi mandiri. Karena ada faktor lain yang mempengaruhi anak menjadi
tidak mandiri yaitu faktor internal (intelektual anak), karena anak retardasi mental
90
memiliki ketebatasan intelektual atau IQ, sehingga anak tersebut akan kesulitan
seperti orang tua selalu mengajarkan bagaimana cara melakukan perawatan diri,
namun anak retardasi mental lamban dalam mengingat apa yang sudah diajarkan.
Oleh karena itu anak yang mengalami retardasi mental harus diajarkan terus
menurus dalam waktu yang lama dan harus diberikan latihan yang berulang-
ulang, dan adapun faktor eksternal (pola asuh orang tua) dimana pada penelitian
ini pola asuh yang menyebabkan anak menjadi tidak mandiri yaitu pola asuh yang
overprotektif, dimana pola asuh yang diterapkan oleh orang tua adalah sering
kepada anak sehingga anak kurang memiliki percaya diri dan lebih tergantung
terbatas disebabkan karena hanya berfokus pada satu sekolah saja yakni di
SLBN Kota Gorontalo sehingga belum bisa mewakili seluruh sekolah yang
BAB V
PENUTUP
91
5.1 Simpulan
keluarga dengan kemandirian perawatan diri pada anak retardasi mental di SLBN
keluarga baik berjumlah 64 anak retardasi mental (98.5%) dan anak yang
= 0.396 (p > 0.05), ini berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
mental di SLBN Kota Gorontalo, karena nilai Asymo.Sig= 0.396 lebih besar
92
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diajukan saran sebagai
berikut:
1. Bagi Institusi
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan ilmiah untuk
referensi dan bahan buku ajar dikeperawatan anak, khususnya terkait dengan
makanan serta minuman sendiri. Karena salah satu tujuan dari pendidikan
yaitu menjadikan anak dapat mandiri dan bisa melakukan sesuatu tanpa
Selain itu orang tua juga diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang tepat
agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta memiliki rasa
93
dukungan keluarga, misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi anak
DAFTAR PUSTAKA
Astati. 2003. Program Khusus Bina Diri: Bisakah Aku Mandiri. Jakarta:
Direktorat PLB Depdiknas.
94
Atto, O. A. 2014. Kemampuan Bina Diri Makan Bagi Anak Tunagrahita Kategori
Sedang Di Sekolah Luar Biasa Tegar Harapan. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Luar Biasa Unversitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Awalunisah, S. 2015. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemandirian Anak
di Kelompok BI PAUD Andine Palu. Jurnal Mahasiswa Ilmu Keperawatan
10(1): 1-9.
Basuni, M. 2012. Pembelajaran Bina Diri Pada Anak Tunagrahita Ringan. Jurnal
Pendidikan Khusus IX(1): 12-22.
Bathi, H.K. 1977. Educational Psyichology. New Delhi: The Macmillen company
or India limited.
Dewi, V. 2017. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Kemandirian
Anak Retardasi Mental Ringan Di SDLB YPLB Banjarmasin. Jurnal An-
Nadaa :21 -25.
95
Hamidah, R. W., A. Awatiful & Komarudin. 2015. Pengaruh Terapi Generalis
Defisit Perawatan Diri Terhadap Kemandirian Perawatan Diri Anak
Retardas Mental D SDLB -C TPA Kabupaten Jember. Jurnal Keperawatan
Fikes UMJ : 1 -12.
Ilmi, W. H. 2018. Kemampuan Perawatan Diri pada Ana dengan Down Sindrome.
Skripsi. Program Studi Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Langgulang. 2013. Pengaruh Kemandirian Belajar dan lingkungan Belajar Siswa
Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IPS SMA Negero 1
Sewon Bantul.Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia 10(1):48-65.
96
Puspasari, D. 2012. Makna Hidup Penyandang Cacat Fisik Postnatal Karena
Kecelakaan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 1(2): 3-7.
Riza. 2012. Dukungan keluarga dalam hospitalisasi anak usia pra sekolah di
rumah sakit umum daerah Langsa. Skripsi. Program Studi S-1 Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
Roberts & Greene. 2009. Buku Pintar Pekerja Sosial (Social Workers’ Desk
Reference) Jilid 2. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Rohmat. 2010. Keluarga Dan Pola Pengasuh Anak. Jurnal Studi Gender Dan
Anak 5(1): 35 -46.
Sebastian, S. 2012. Hubungan Kondisi Fisik Dengan Aspek Mental Percaya Diri.
Tesis. Program Studi Ilmu Keolahragaan Universitas Pendidikan Indonesia.
Bogor
Semiun. 2017. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
97
Setiadi. 2013. Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan Edisi 2. Jakarta:
Graha Ilmu.
Tani, V. A. 2017. Hubungan Konsep Diri Dengan Perawatan Diri Pada Lansia Di
BPLU Senja Cerah Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Keperawatan (e-KP)
5(2): 2 -6.
Warsiti. 2016. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perawatan Diri Pada Anak
Retardasi Mental Di SLB Negeri 1 Bantul. Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Aisyiyah. Yogyakarta.
Wila. 2010. Pengukuran tingkat kemandirian dalam ADL digunakan suatu skala
”rating scale” yang didasarkan pada keterampilan fungsi biologis. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
98
Wulandari, D. R. 2016. Strategi Pengembangan Perilaku Adaptif Anak
Tunagrahita Melalui Model Pembelajaran Langsung. Jurnal Ilmiah
Kesehatan 12(1): 53 -54.
99