Anda di halaman 1dari 18

Syarah

Luma’tul I’tiqad
“ Penjelasan Tuntas Pokok-pokok Akidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang banyak Umat Islam Tergelincir di Dalamnya “

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi

Disyarah oleh:
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin

Tahqia dan Takhrij


Dr. Asyraf Bin Abdul Maqshud Bin Abdurrahim
Dilengkapi dengan Syarah
Syaikh Dr. Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan
Kaidah-kaidah penting dalam masalah
Al-Asma’ wa Ash-Shifat

Kaidah I (Kewajiban terhadap dalil-dalil al-Quran dan As-sunnah dalam masalah Asma’ wa
Shifat)
Menetapkan maknanya menurut zahirnya tanpa merubahnya.

Kaidah II (Berkaitan dengan Nama-nama Allah)

 Cabang pertama: Seluruh nama-nama Allah adalah Husna (Indah)


 Cabang kedua: Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah tertentu
 Cabang ketiga: Nama-nama Allah tidak ditetapkan melalui Akal tetapi melalui
syara’
 Cabang keempat: Setiap nama dari nama-nama Allah menunjukkan kepada Dzat
Allah, Sifat yang dikandungnya dan pengaruh yang diakibatkannya jika nama
tersebut transitif (Muta’addi)

Kaidah III (Berkaitan dengan Sifat-sifat Allah)


 Cabang pertama: Seluruh sifat-sifat Allah adalah Ulya (Tinggi), sifat-sifat
kesempurnaan dan pujian, tidak mengandung kekurangan dari sisi apapun
 Cabang kedua: Sifat-sifat Allah terbagi menjadi 2 (Tsubutiyah dan Salbiyah)
Tsubutiyah : sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya

Salbiyah : sifat-sifat yang Allah nafikan/tiadakan dari diriNya

 Cabang ketiga: Sifat-sifat Tsubutiyah (yang ditetapkan Bagi Allah) terbagi menjadi 2
(Dzatiyah dan Fi’liyah)
Dzatiyah : sifat-sifat yang tidak pernah tidak ada dan senatiasa bersifat dengannya

Fi’liiyah : sifat-sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah

Bisa saja suatu sifat bersifat dua-duanya.

 Cabang keempat: Ada 3 pertanyaan yang mungkin disodorkan kepada setiap sifat-
sifat Allah
Pertama : apakah sifat itu hakiki atau tidak?

Ya, sifat Allah adalah Hakiki

Kedua : apakah boleh menetapkan bentuk dan cara bagi sifat tersebut?

Tidak boleh

Ketiga : apakah ia menyerupai sifat makhluk atau tidak?

Tidak
Tamtsil (menyerupakan) dan takyif (menetapkan bentuk dan caranya)

Kaidah IV (Sanggahan terhadap al-Mu’aththilah)


Al-Mu’aththilah : orang-orang yang mengingkari sebagian nama/sifat Allah, menyelewengkan dalil-
dalil dari zahirnya, disebut juga ahli takwil (al-Mu’awillah)

Pendapat mereka menyelisihi zahir dalil, menyimpang dari manhaj salaf, dan tidak berdasar kepada
dalil shahih. + tambahan lainnya
Menerima dan Menetapkan Ayat-ayat dan Hadits-hadits sifat
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
 Pembagian dalil-dalil tentang sifat Allah dan metode manusia di
dalamnya
Dalil Quran dan Sunnah terbagi 2: jelas lagi nyata dan musykil lagi samar

Yang pertama: lafazh jelas dan maknanya jelas  harus diimani secara lafazh dan ditetapkan
maknanya secara benar, tanpa menolak, menakwil, tanpa tasybih dan tamtsil.

Yang kedua: belum jelas maknanya  wajib ditetapkan lafazhnya, menahan diri dari
memaknainya dengan tidak mengungkit-ungkitnya, karena masih musykil, tidak mungkin
menetapkan hukum atasnya, dan mengembalikannya kepada Allah dan RasulNya

Metode yg ditempuh terbagi jadi 2

Kelompok pertama: semua datangnya dari sisi Tuhan kami, tidak membahas secara mendalam
apa yang tidak mungkin mereka menjangkau dan mengetahuinya. Karena menghormati Allah
dan rasulNya serta bersikap sopan dihadapan dalil-dalil syar’i.

Kelompok kedua: mengikuti mutasyabih, berupaya menakwilkan apa yg mereka inginkan.


Mempertentangkan dalil-dalil dari Quran dan Sunnah, berusaha menggugat petunjuknya dengan
penolakan dan pembatalan untuk menanamkan keragu-raguan, mengaburkan hidayah dari
mereka.

 Penjelasan tentang dalil-dalil dari sisi kejelasan dan kesamaran


Kejelasan dan kesamaran dalil syar’i relatif tergantung pemahaman dan ilmu mereka. Terkadang
samar bagi sesorang, tapi jelas bagi lainnya. Maka saat terjadi ketidakjelasan wajib menahan diri
dengan tidak menetapkan maknanya secara gegabah. Sekalipun dalam realita, tidak ada dalil-
dalil syar’i yang musykil, karena Allah menyatakan bahwa Quran adalah cahaya yang nyata,
penjelas bagi manusia, pembeda yg haq dan yg bathil.

 Makna: Penolakan, Takwil, Tasybih (penyerupaan), Tamtsil


(permisalan) dan contoh bagi masing-masing
Penolakan: pengingkaran dan pendustaan, misal seseorang menyatakan “Allah tidak punya
tangan, tidak secara hakiki, tidak pula secara majazi”, termasuk kekufuran karena mendustakan
Allah dan RasulNya.

Takwil: tafsir. Menafsirkan dalil-dalil tentang sifat den makna yg tidak diinginkan oleh Allah dan
RasulNya, menyelisihi penafsiran para sahabat dan tabi’in.

Hukum takwil menjadi 3:

Pertama: berasal dari ijtihad dan niat yang mulia, dimana jika ia keliru lalu dijelaskan kebenaran
kepadanya ia meninggalkan takwilnya yang salah. Di maafkan

Kedua: berasal dari hawa nafsu dan fanatisme, sekalipun ia mempunyai sisi kemungkinan dari
segi bahasa, maka merupakan kefasikan bukan kekufuran, kecuali jika penakwilan bersangkutan
mengandung kekurangan dan aib bagi Allah.
Ketiga: berasal dari hawa nafsu dan fanatisme, dan tidak mempunyai sisi kemungkinan dari segi
bahasa, termsuk kekufuran.

Tasybih (penyerupaan): menetapkan sesuatu yang serupa dengan Allah dalam hak-hak dan
sifat-sifat yang menjadi kekhususanNya, termasuk kekufuran karena syirik.

Tamtsil (permisalan): menetapkan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam hak-hak dan sifat-
sifat yang menjadi kekhususanNya, termasuk kekufuran karena syirik.

Perbedaanya yg pertama menyamakan dalam segala sisi, sedangkan yg kedua tidak demikian.
Perkataan Imam-imam Salaf tentang Sifat
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
 Apa yang dikandung oleh perkataan Imam Ahmad tentang Hadits
Nuzul dan yang sepertinya (Imam Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal)
1. Wajib mengimani dan membenarkan hadits-hadits tentang sifat Allah yg
diriwayatkan secara shahih dar Rasulullah tanpa menambah dan mengurangi, tanpa
batasan tanpa akhiran.
2. Tidak ada penentuan bentuk dan cara (dari sifat-sifat tersebut) dan tidak ada
maknanya.
3. Wajib beriman kepada al-Quran seluruhnya, baik yg muhkam, maupun yg
mutayashib. Kita harus mengembaikan mutayashib kepada yg muhkam sehingga
maknanya jelas, jika masih belum jelas juga, maka mengimani lafalznya dan
 Kandungan dari perkataan Imam Asy-Syafi’i (Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i)
1. Iman kepada apa yg datang dari Allah didalam KitabNya yang jelas sesuai dengan
apa yg diinginkan Allah tanpa menambahi, mengurangi, dan menyelewengkan.
2. Iman kepada apa yg datang dari Rasulullah didalam Sunnahnya dengan apa yg
diinginkan Rasulullah tanpa menambahi, mengurangi, dan menyelewengkan.
 Manhaj yang dianut oleh salaf di bidang sifat (Di atas prinsip inilah as-
salaf ash-shalih dan para imam khalaf berjalan)
Mengakui dan menetapkan sifat-sifat Allah yang terncantum di dalam kitab Allah dan
Sunnah tanpa menakwilnya dengan takwil yang tidak sesuai dengan keinginan Allah dan
Rasulullah.
Dorongan kepada Sunnah dan peringatan dari Bid’ah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
 Kita telah diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka, mengambil
petunjuk dengan rambu-rambu mereka
“Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang diberi
petunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham, jauhilah perkara agama yang
dibuat-buat, karena setiap perkara agama yang dibuat-buat itu adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”

 Sunnah dan Bid’ah serta hukum masing-masing


Sunnah secara bahasa berarti jalan (metode).

Secara istilah sunnah berarti apa yg dipegang teguh oleh Rasulullah dan para sahabat berupa
akidah dan amal. Mengikuti sunnah adalah wajib.

Bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang dibuat-buat.

Secara istilah bid’ah berarti sesuatu yg diada-adakan di dalam agama yang menyelisihi
akidah dan amal perbuatan yg dijalani oleh Rasulullah dan para sahabat. Hukumnya haram.

 Atsar-atsar yang hadir yang mendorong untuk berpegang kepada as-


Sunnah dan Memperingati Bid’ah
1. Perkataan sahabat Ibnu Mas’ud: “Ikutilah Sunnah, janganlah berbuat bid’ah karena
kalian sudah dicukupkan (dengan Sunnah itu)”
2. Perkataan tabi’in Umar bin Abdul Aziz:
a. Kewajiban berhenti dimana mereka berhenti.
b. Ajaran-ajaran yang dibuat-buat sesudah mereka hanya mengandung
penyimpangan dari hidayah mereka dan keengganan menerima sunnah.
c. Diantara manusia ada yg lalai mengikuti manhaj mereka, akibatnya dia terjatuh
kedalam sikap acuh dan asal-asalan. Adapula yg melebihi batas mereka, akibatnya
dia terjatuh kedalam sikap berlebih-lebihan (ekstrim)
3. Perkataan tabi’in al-Auza’i, Abdurrahman bin Amr: “berpeganglah kepada atsar salaf
sekalipun manusia menolakmu, Jauhilah pendapat manusia sekalipun mereka
menghiasinya”
 Dialog yang terjadi di hadapan Khalifah antara al-Adrami dengan
seorang pelaku bid’ah
Pertama, ilmu (mengetahui). “Apakah bid’ah ini diketahui oleh Nabi dan Khulafa’ Rasyidin?
Pelaku bid’ah menjawab “tidak”. Pernyataan ini mengandung penghinaan kepada Nabi dan
para Khulafa’ Rasyidin.

Kedua,” Jika mereka tidak mengetahuinya bagaimana ana bisa mengetahuinya? Apakah
mungkin Allah menutup suatu ilmu tentang syariatNya didepan Nabi dan Khulafa’ Rasyidin
dan lalu Allah membukakannya di depan anda?” maka pelaku bid’ah berbelok haluan
menjawab “mereka mengetahuinya”.
Ketiga, “ Jika mereka mengetahuinya, apakah mereka merasa cukup tidak
membicarakannya/tidak menyerukannya kepada orang-orang?” pelaku bid’ah menjawab
“mereka merasa cukup dan mendiamkannya dan tidak membahasnya”. Maka al-Adrami
berkata “Sesuatu yg Rasulullah dan para Khulafa’ nya merasa cukup dengan tidak
membahasnya, namun anda merasa tidak merasa cukup?” Ahli bid’ah pun terdiam.
Sebagian Ayat tentang Sifat-sifat Allah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
 Sifat-sifat yang disebutkan oleh penulis matan (Ibnu Qudamah)
Sifat pertama: Memiliki Wajah (al-Wajhu)
“ Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (Ar-
Rahman:27)

dan HR Bukhari no. 1295/ HR Muslim no. 1628/5

As-salaf telah berijma’ sifat ini harus ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Ia adalah wajah hakiki yang sesuai keagungan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkan pahala.

Sifat kedua: Memiliki Dua Tangan (al-Yadan)


“ Tidak demikian, akan tetapi kedua tangan Allah terbuka” (Al-Ma’idah: 64)

dan HR Bukhari no.7411/ HR Muslim no.993/37

As-salaf telah berijma’ sifat ini harus ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Ia adalah sepasang tangan hakiki yang sesuai keagungan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkan nikmat/kodrat

Pertama, bentuk tunggal (munfrad) “Mahasuci Allah yang di TanganNya segala


kerajaan” (Al-Mulk: 1)

Kedua, bentuk mutsanna “ Tidak demikian, akan tetapi kedua tangan Allah terbuka” (Al-
Ma’idah: 64)

Ketiga, bentuk jamak “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami telah menciptakan
binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan
tangan-tangan kami” (Yasin: 71)

Kata pertama mufrad/ tunggal namun mudhaf, disandarkan, maka mencakup seluruh
tangan yg dimiliki oleh Allah dan ini tidak menafikkan bentuk mutsanna. Adapun bentuk
jamak merupakan ta’zhim (pengagungan) bukan menetapkan bilangan, maka juga tidak
bertentangan dengan bentuk mutsanna.

Sifat ketiga: Diri (an-Nafs)


Diri adalah sifat tsabit bagi Allah berdasarkan Quran, Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

“ Rabbmu telah menetapkan kasih sayang atas DiriNya” (Al-An’am: 54)

“ Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada
pada DiriMu” (Al-Ma’idah: 116)

dan HR Muslim no. 2726


As-salaf telah berijma’ dalam menetapkan bagi Allah yg layak denganNya, maka wajib
ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

Sifat keempat: Datang (al-Maji’)


Kedatangan Allah untuk memberikan keputusan di antara hamba-hambaNya di hari
kiamat ditetapkan oleh Quran, Sunnah dan ijma’ as-Salaf.

“ Dan Rabbmu datang” (Al-Fajr: 22)

“ Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan kedatangan Allah kepada mereka” (Al-
Baqarah: 210)

dan HR Bukhari no. 7439 / HR Muslim no. 183 (302)

As-salaf telah sepakat menetapkan sifat “Datang” bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah kedatangan yang sebenarnya sesuai
keagungan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan “kedatangn perintahNya”.

Sifat kelima: Ridha


“ Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah” (Al-Ma’dah: 119)

dan HR Muslim no. 2734 (79)

As-salaf telah sepakat menetapkan sifat ridha ini bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia ridha hakiki sesuai dengan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan pahala.

Sifat keenam: Cinta (al-Mahabbah)


“ Allah akan mendatangkan suatu kaum yang mana Dia mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya” (Al-Ma’idah: 54)

dan HR Bukhari no. 4210/HR Muslim no. 2406/34

As-salaf telah berijma’ menetapkan sifat cinta bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa
tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah mahabbah hakiki yang sesuai dengan
keagungan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan pahala.

Sifat ketujuh: Marah (al-Ghaddhab)


“ Dan Allah marah kepadanya dan melaknatnya” (An-Nisa: 93)

dan HR Bukhari no. 7554/HR Muslim no. 2751/14

As-salaf telah menetapkan sifat marah bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa tahrif,
ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah marah secara hakiki yang sesuai dengan keagungan
Allah.
Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan pembalasan. Allah telah membedakan antara
al-ghandhab (marah) dengan al-intiqam (pembalasan)

“Maka tatkala mereka membuat kami murka, Kami menghukum (membalas) mereka”
(Az-Zukhruf: 55)

Sifat kedelapan: Murka (as-Sukht)


“ Yang demikan itu karena mereka mengikuti apa yang mengundang murka Allah”
(Muhammad: 28)

dan HR Muslim no. 486(222)

As-salaf telah sepakat untuk menetapkan sifat ini bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah sifat hakiki bagiNya.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan pembalasan.

Sifat kesembilan: Benci (al-Karahah)


“ Tetapi Allah membenci keberangkatan mereka” (At-Taubah: 46)

dan HR Bukhari no. 5975/HR Muslim no. 593/13

As-salaf telah sepakat menetapkan sifat ini bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa
tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah sifat hakiki yang sesuai dengan keagungan
Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan menjauhkan.


Sebagian Hadits-hadits tentang Sifat-sifat Allah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Sifat kesepuluh: Turun (an-Nuzul)
“ Rabb kita turun ke langit dunia ketika yang tersisa adalah sepertiga malam yang akhir,
maka Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku kabulkan untuknya.....”
(HR Bukhari no.1145/HR Muslim 758/168)

As-salaf telah sepakat menetapkan sifat “turun” bagi Allah, maka harus ditetapkan tanpa
tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah turun hakiki yang sesuai keagungan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkan dengan turunnya perintah Allah atau rahmatNya atau


MalaikatNya. Tidak mungkin perintah ‘siapa yang berdoa kepadaKu....”

Sifat kesebelas: Takjub (al-Ajab)


“ Bahkan kamu menjadi heran dan mereka menghinamu” (Ash-Shaffat: 12)

“ Rabbmu takjub kepada seorang pemuda yang tidak cinderun kepada hawa nafsu” (HR
Ahmad hal.151 juz 4 secara marfu’

As-salaf telah bersepakat menetapkan sifat takjub bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah takjub hakiki yang sesuai keagungan
Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkan pembalasan.

Takjub ada 2 macam: pertama, berasal dari samarnya sebab bagi yg bersangkutan, maka
dia merasa takjub, kaget, dan terkejut, bentuk ini mustahil bagi Allah, karena tidak ada
sesuatu pun yg samar bagi Allah.

Kedua, karena keluarnya sesuatu dari padanannya/lumrahnya terjadi, dan yg


bersangkutan tetap mengetahuinya, inilah yg layak bagi Allah.

Sifat keduabelas: Tertawa (adh-Dhahik)


“ Allah tertawa kepada dua laki-laki, salah seorang dari mereka membunuh yg lain,
namun keduanya masuk surga”

“ Orang yg satunya berperang di jalan Allah lalu dia terbunuh (sebagai syahid),
kemudian Allah mengampuni si pembunuh (karena masuk Islam) lalu dia gugur sebgai
syahid” (HR Bukhari no.2826/HR Muslim 1890/128)

As-salaf telah berijma’ menetapkan sifat tertawa bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia tertawa hakiki sesuai dengan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan pahala.

Sifat ketigabelas: Bersemayam di Atas Arasy (Istiwa’)


“ Allah yang Maha Pengasih bersamayam di atas Arasy” (Thaha: 5)
Allah menyebutkannya dalam tujuh tempat (Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Thaha:5,
Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4, dan Al-Hadid: 4)

“ Sesungguhnya ketika Allah selesai mencipta, Dia menulis di sisiNya di atas ArasyNya,
‘Sesungguhnya rahmatKu mendahului murkaKu’.” (HR Bukhari)

“ Sesungguhnya jarak antara satu langit ke langit lainnya, bisa tujuh puluh satu, atau
dua, atau tiga tahun... “sampai beliau bersabda tentang Arasy, “bagian bawah dengan
bagian Arasy adalah seperti antara satu langit dengan langit lainnya, kemudian Allah di
atas Itu” (HR Ahmad 1/206-207; HR Abu Dawud no. 4723; HR at-Tirmidzi no.3320)

As-salaf telah berijma’ dalam menetapkan bersemayam bagi Allah di atas ArasyNya,
maka wajib ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia bersemayam yang
hakiki yang berartu al-Uluw (tinggi) dan menetap sesuai dengan keagungan Allah.

Al-Mu’aththilah menafsirkannya istiwa’ (bersemayam) dengan istila’ (menguasai). Dalam


bahasa Arab tidak diketahui bahwa kata istiwa’ dengan makna istila’. Tafsir tersebut
menyeret kepada konsekuensi batil, misal bahwa sebelumnya berarti Arasy tidak
dikuasai oleh Allah kemudian Dia bisa menguasai setelah itu.

Arasy dalam bahasa adalah singgasana khusus bagi raja. Dan di dalam syara’ ia adalah
makhluk paling tinggi dan paling besar. Allah menyatakan bahwa ia agung, besar dan
mulia. Kursi bukanlah Arasy, kursi adalah pijakan kedua kakiNya.

“ Kursi adalah tempat pijakan kedua Kaki (Allah), sementara Arasy, tidak seorangpun
bisa memperkirakan besarnya” (HR Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah no.61/ HR
Abdullah bin Ahmad no.407)

Sifat keempatbelas: Tinggi (al-Uluw)


“ Dan dia Mahatinggi lagi Mahaagung” (Al-Baqarah: 225)

“ Mahasuci Rabbku yang Mahatinggi” (HR Muslim 772/203)

As-salaf telah sepakat menetapkan sifat al-Uluw (tinggi) bagi Allah, maka wajib
ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah tinggi hakiki yang sesuai
dengan keagungan Allah.

Sifat “tinggi” terbagi menjadi 2 bagian:

1. Tinggi dari segi sifatNya, artinya bahwa sifat-sifat Allah adalah tinggi, tidak ada
kekurangan dari sisi manapun dan dalilnya telah hadir.
2. Tinggi DzatNya, artinya bahwa Dzat Allah di atas segala makhlukNya, dan
dalilnya, dibawah yg sudah disebutkan:
“ Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit.” (Al-Mulk: 16)
“ Dimana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Nabi bersabda, “ Merdekakanlah
dia, karena dia wanita yang beriman” (HR Muslim 537/33)

As-salaf telah berijma’ menetapkan tingginya Dzat bagi Allah dan bahwa Dia di langit,
maka wajib ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

Al-Mu’aththilah mengingkari bahwa Allah dilangit dengan DzatNya. Mereka menafsirkan


bahwa yg dilangit adalah kerajaan, kekuasaanNya dan yg sepertinya. Kekuasan dan
kerajaan Allah tidak hanya dilangit saja, akan tetapi juga di bumi.
Akal menetapkan ini adalah sifat kesempurnaan. Petunjuk fitrah yg menetapkannya,
karena makhluk difitrahkan untuk mengakui bahwa Allah di langit.

Makna shahih bahwa Allah di langit adalah bahwa Allah diatas langit. Maka ‘di’ adalah ‘di
atas’ bukan menunjukkan keterangan tempat, karena langit tidak meliputi Allah atau
bahwa Allah tinggi di atas sana karena langit bisa berarti ketinggian bukan langit yang
merupakan bangunan.

Imam Malik bin Anas ditanya “ Wahai Abu Abdullah,

‘Allah yang maha Pengasih bersemayam di atas Arasy.’ (Thaha: 5), bagaimana Dia
bersemayam?”

Dia menjawab,

Yakni, maknanya diketahui, yaitu tinggi di atas sanan dan berdiam.

Yakni, bagaimana cara Allah bersemayam tidak diketahui oleh akal, karena Allah
lebih tinggi dan lebih agung untuk diketahui oleh akal bentuk dan cara sifatNya.

Yakni, bertanya tentang caranya adalah bid’ah, karena bertanya tentangnya tidak
pernah terjadi di zaman Nabi dan para sahabat. Lalu Imam Malik mengusir orang
tersebut dari masjid karena beliau khawatir orang tersebut akan menfitnah
(berpengaruh negatif) pada akidah hadirin.
Pasal: Tentang Kalam (Firman) Allah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Sifat kelimabelas: Kalam (Berfirman)
“ Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa’: 164)

“Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata langsung dengannya.” (Al-Baqarah: 253)
“ Jika Allah hendak mewahyukan perintahNya, Dia berfirman (berbicara) dengan
wahyuNya.” (HR )

As-salaf telah berijma’ menetapkan sifat berfirman (kalam) bagi Allah, maka harus
ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah kalam hakiki yang berkaitan
dengan kehendak Allah dengan huruf dan suara yang terdengar.

“ Dan ketika Musa datang untuk bermunajat kepada Kami pada waktu yang sudah
ditentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadaNya.” (Al-A’raf: 143)

Orang-orang yang menyelisihi Ahluh Sunnah dalam sifat Kalam (berfirman)


Ada beberapa kelompok yang menyelisihi ahluh sunnah dalam masalah kalam, 2
diantaranya:

Pertama: Jahmiyah. Berfirman buka merupakan sifat Allah, akan tetapi berfirman itu
adalah makhlukNya. Allah menciptakan di angkasa/ tempat yg didengar darinya, yg
penisbatannya kepada Allah adalah penisbatan ciptaan/penghormatan, seperti unta
Allah atau baitullah.

1. Pendapat ini menyimpang dari Ijma’ as-Salaf


2. Menyimpang dari dalil akal, karena berfirman merupakan sifat dari Dzat yg
berbicara, bukan sesuatu yg terpisah
3. Bahwa Musa mendengar Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada tuhan (yang haq) selain Aku, maka sembahlah Aku” (Thaha:
14). Mustahil ada selain Allah berkata demikian.

Pertama: Asy’ariyah. Firman Allah adalah makna yg melekat pada DiriNya, tidak
berkaitan dengan kehendakNya. Huruf-huruf dan suara-suara yg terdengar adalah
makhluk untuk mengungkapkan makna yg ada pada Diri Allah..

1. Ini menyelisihi ijma’ as-Salaf.


2. Meneyelisihi dalil-dalil yg ada, karena dalil menunjukkan bahwa kalam Allah
itu terdengar dan ia tidak terdengar kecuali dengan suara, sedangkan makna
yg ada pada Diri Allah tidak terdengar.
3. Menyelisih apa yg berlaku secara umum, karena kalam yg berlaku umum
adalah apa yg diucapkan oleh yg berbicara, bukan apa yg disimpan di dalam
dirinya.
“ Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Rabbmu” (Thaha: 11-12)
Kata-kata di atas tersusun dari huruf-huruf, dan ia adalah kalam Allah.
“ Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami
telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat kepada Kami”
(Maryam: 52)
Munajat dan panggilan hanya terjadi dengan suara.
“ Allah akan menggiring manusia lalu Dia memanggil mereka dengan suara
yang didengar oleh siapa yang jauh sebagaimana ia didengar oleh siapa
yang dekat, ‘Aku adalah Maha Raja, Aku adalah pemilik pembalasan’.” (HR
Bukhari 1/173 dan 13/453)

Kalam Allah dari sisi jenis adalah qadim namun dari sisi satuan adalah hadits( baru).
Qadim bermakna Allah telah dan senantiasa berbicara. Kalam tidak terjadi secara tiba-
tiba dariNya setelah sebelumnya tidak berbicara. Hadits (baru) adalah kalam tertentu yg
khusus, karena berkaitan dengan kehendakNya. Dia berbicara dengan apa yang Dia
kehendaki dan Bagaimana Dia kehendaki.

Catatan atas Perkataan Penulis dalam pasal Kalam ini


 Dia berbicara (berfirman) dengan kalam qadim
Maksudnya adalah qadim jenisnya, namun satuannya adalah hadits, tidak patut kecuali
dengan makna ini menurut pendapat Ahlus Sunnah wa Jama’ah; (ini perlu diluruskan) karena
zahir dari perkataan penulis adalah ia qadim dari segi jenis dan satuannya.
 Nabi Musa mendengarnya dariNya tanpa perantara
“ Dan Aku memilihmu maa dengarkanlah apa yang diwahyukan.” (Thaha: 13)
 Jibril juga mendengarnya
“ Katakanlah, ‘Ruhul Qudus’ (Jibril) menurunkannya kepadamu dari Rabbmu’.” (An-Nahl:
102)
 Begitu juga malaikat-malaikat serta Rasul-rasulNya yang diizinkan
“ ... akan tetapi apabila Rabb kami menetapkan suatu perkara, maka para malaikat pemikul
Arasy bertasbih yang kemudian diikuti oleh seluruh penghuni langit sesudah mereka,
sehingga tasbih itu mencapai penghuni langit dunia, lalu para malaikat setelah para para
malaikat pemikul Arasy itu bertanya kepada para pemikul Arasy, ‘Apa yang difirmankan
oleh Rabb kalian?’ (Saba’: 23). Maka para malaikat pemikul Arasy mengabarkan kepada
mereka.” (HR Muslim no. 2229/124)
 Dan bahwa Allah akan berbicara kepada orang-orang Mukmin dan orang-orang Mukmin
juga akan berbicara kepadaNya
“ Allah berfirman kepada penghuni surga, ‘Wahai penghuni surga’. Maka mereke menjawab
, ‘Aku penuhi panggilanMu dan demi menyenangkanMu wahai Rabb kami....’” (HR Bukhari
no.6530/ HR Muslim no. 222/379)
 Lalu Allah memberikan merela izin, maka mereka (pun) akan mengunjungiNya
“ Sesungguhnya jika penghuni surga, telah masuk surga maka mereka tinggal sesuai dengan
amal perbuatan mereka, kemudian mereka diizinkan dalam waktu yang sepadan dengan
hari Juma’at di dunia lalu mereka mengunjungi Tuhan mereka....” (HR at-Tirmidzi no.2552/
HR Ibnu Majah no.4336)(hadits dhaif)
 Abdullah bin Mas’ud berkata, “ Jika Allah mengucapkan wahyu, maka suaraNya didengar
oleh penghuni langit.” Ini diriwayatkan dari Nabi
“ Jika Allah hendak mewahyukan perintahNya, maka Dia berbicara dengan wahyu, jika Dia
berbicara, maka langit-langit berguncang karenanya – atau bergetar – hebat karena takut
kepada Allah, jika hal itu didengar oleh penghuni langit, maka mereka pingsan...” (HR
Bukhari no.13/453)
Pasal: Al-Quran adalah Kalam (Firman) Allah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
 Penjelasan tentang Al-Quran
Al-Qur’an al-Karim adalah kalam (Firman) Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad, bukan makhluk, dariNya ia berawal dan kepadaNya ia akan kembali. Ia
adalah kalam Allah, makna dan huruf-hurufnya.

“ Dan jika sesorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan


kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Firman Allah ” (At-Taubah:
6)

“ Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hambaNya.” (Al-
Furqan: 1)

“ Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al-A’raf: 54 )

“ Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an dengan perintah Kami.” (Asy-
Syura: 52)

“ Itulah perintah Allah dan Dia turunkan kepadamu” (Ath-Thalaq: 5 )

Karena kalam Allah termasuk sifatNya dan sifatNya bukan makhluk.

 Al-Qur’an adalah huruf-huruf dan Kata-kata


Al-Qur’an adalah huruf dan kata.

1. Bahwa orang-orang kafir berkata, al-Quran itu adalah syair, dan tidak mungkin
dikatakan demikian kecuali ia terdiri dari huruf-huruf dan kata-kata.
2. Bahwa Allah menantang orang-orang yang mendustakan al-Qur’an untuk
mendatangkan yang semisal dengannya. Seandainya al-Qur’an bukan huruf dan
pula kata, niscaya ytantangan semcam ini tidak bisa diterima, karena menantang
tidak mungkin kecuali dengan sesuatu yang dimaklumi.
3. Allah menyatakan bahwa al-Qur’n dibacakan kepada mereka.
“ Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-
orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata,
‘Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia.’ Katakanlah, ‘Tidak
patut bagiku menggantinnya dari pihak diriku sendiri’.” (Yunus: 15)
Dan tidaklah ia dibaca kecuali jika ia adalah huruf-huruf dan kata-kata.
4. Allah menyatakan bahwa al-Qur’an itu dihafal di dada orang-orang yang berilmu
dan tertulis di Lauhil Mahfuzh.
“ Sebenarnya al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-
orang yang diberi ilmu.” (Al-Ankabut: 49)
“ Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (Lauhil Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan.” (Al-Waqi’ah: 77-79)
Tidak dihafal dan tidak ditulis kecuali sesuatu merupakan huruf-huruf dan kata-
kata.
5. “ Barangsiapa membaca al-Qur’an dengan benar, maka dengan setiap huruf
darinya, dia mendapatkan sepuluh kebaikan, dan barangsiapa membacanya lalu
dia keliru (cara membacanya), maka dengan setiap huruf, dia mendapatkan satu
kebaikan.” (Hadits yang sangat lemah)
6. Abu Bakar dan Umar, “Membaca al-Qur’an dengan benar lebih kami sukai
daripada menghafal sebagian hurufnya”
7. Ali bin Abu Thalib, “ barangsiapa kafir kepada satu huruf dari al-Qur’an, maka
dia relah kafir kepada semuanya”
8. Kesepakatan kaum Muslimin sebagaimana yang dinukil oleh penulis bahwa siapa
yang mengingkari satu surat, atau satu ayat, atau satu kata, atau satu huruf dari
al-Qur’an, maka dia kafir.
Jumlah surat al-Qur’an adalah 114 surat, 29 di awali dengan huruf-huruf yang
terpotong-potong.
 Sifat-sifat Al-Qur’an
1. Bahwa ia adalah Kitab Allah yang mubin, yakni menjelaskan hukum-hukum dan
berita-berita yang dikandungnya.
2. Bahwa ia adalah tali Allah yang kokoh, yakni perjanjian yang kuat yang Allah
jadikan sebagai sebab untuk sampai kepadaNya dan meraih kemulianNya.
3. Bahwa ia adalah surat-surat yang muhkamat, yakni surat-suratnya terperinci,
setiap suratnya terpisah dari lainnya. Muhkamat berarti bagus dan terjaga dari
kekurangan dan pertentangan.
4. Bahwa ia adalah ayat-ayat yang jelas, yakni tanda-tanda yang jelas yang
menunjukkan tauhid Allah, kesempurnaan sifat-sifatNya, dan bagusnya ketetpan
syariatNya.
5. Di dalamnya terdapat muhkamat (makna jelas) dan yang mutasyabihat (makna
samar). Jika bagian yang mutasyabihat kita kembalikan kepada bagian
muhkamat, maka semua menjadi muhkamat.
6. Bahwa ia adalah kebenaran, tidak mungkin disusupi oleh kebatilan dari arah
mana pun.
7. Bahwa ia bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang mendustakan,
di mana mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah syair dan sihir.
8. Bahwa ia adalah mukjizat, tidak seorangpun mampu membuat yang semisal
dengannya, sekalipun dia dibantu oleh orang lain.

Anda mungkin juga menyukai