Luma’tul I’tiqad
“ Penjelasan Tuntas Pokok-pokok Akidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang banyak Umat Islam Tergelincir di Dalamnya “
Disyarah oleh:
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
Kaidah I (Kewajiban terhadap dalil-dalil al-Quran dan As-sunnah dalam masalah Asma’ wa
Shifat)
Menetapkan maknanya menurut zahirnya tanpa merubahnya.
Cabang ketiga: Sifat-sifat Tsubutiyah (yang ditetapkan Bagi Allah) terbagi menjadi 2
(Dzatiyah dan Fi’liyah)
Dzatiyah : sifat-sifat yang tidak pernah tidak ada dan senatiasa bersifat dengannya
Cabang keempat: Ada 3 pertanyaan yang mungkin disodorkan kepada setiap sifat-
sifat Allah
Pertama : apakah sifat itu hakiki atau tidak?
Kedua : apakah boleh menetapkan bentuk dan cara bagi sifat tersebut?
Tidak boleh
Tidak
Tamtsil (menyerupakan) dan takyif (menetapkan bentuk dan caranya)
Pendapat mereka menyelisihi zahir dalil, menyimpang dari manhaj salaf, dan tidak berdasar kepada
dalil shahih. + tambahan lainnya
Menerima dan Menetapkan Ayat-ayat dan Hadits-hadits sifat
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Pembagian dalil-dalil tentang sifat Allah dan metode manusia di
dalamnya
Dalil Quran dan Sunnah terbagi 2: jelas lagi nyata dan musykil lagi samar
Yang pertama: lafazh jelas dan maknanya jelas harus diimani secara lafazh dan ditetapkan
maknanya secara benar, tanpa menolak, menakwil, tanpa tasybih dan tamtsil.
Yang kedua: belum jelas maknanya wajib ditetapkan lafazhnya, menahan diri dari
memaknainya dengan tidak mengungkit-ungkitnya, karena masih musykil, tidak mungkin
menetapkan hukum atasnya, dan mengembalikannya kepada Allah dan RasulNya
Kelompok pertama: semua datangnya dari sisi Tuhan kami, tidak membahas secara mendalam
apa yang tidak mungkin mereka menjangkau dan mengetahuinya. Karena menghormati Allah
dan rasulNya serta bersikap sopan dihadapan dalil-dalil syar’i.
Takwil: tafsir. Menafsirkan dalil-dalil tentang sifat den makna yg tidak diinginkan oleh Allah dan
RasulNya, menyelisihi penafsiran para sahabat dan tabi’in.
Pertama: berasal dari ijtihad dan niat yang mulia, dimana jika ia keliru lalu dijelaskan kebenaran
kepadanya ia meninggalkan takwilnya yang salah. Di maafkan
Kedua: berasal dari hawa nafsu dan fanatisme, sekalipun ia mempunyai sisi kemungkinan dari
segi bahasa, maka merupakan kefasikan bukan kekufuran, kecuali jika penakwilan bersangkutan
mengandung kekurangan dan aib bagi Allah.
Ketiga: berasal dari hawa nafsu dan fanatisme, dan tidak mempunyai sisi kemungkinan dari segi
bahasa, termsuk kekufuran.
Tasybih (penyerupaan): menetapkan sesuatu yang serupa dengan Allah dalam hak-hak dan
sifat-sifat yang menjadi kekhususanNya, termasuk kekufuran karena syirik.
Tamtsil (permisalan): menetapkan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam hak-hak dan sifat-
sifat yang menjadi kekhususanNya, termasuk kekufuran karena syirik.
Perbedaanya yg pertama menyamakan dalam segala sisi, sedangkan yg kedua tidak demikian.
Perkataan Imam-imam Salaf tentang Sifat
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Apa yang dikandung oleh perkataan Imam Ahmad tentang Hadits
Nuzul dan yang sepertinya (Imam Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal)
1. Wajib mengimani dan membenarkan hadits-hadits tentang sifat Allah yg
diriwayatkan secara shahih dar Rasulullah tanpa menambah dan mengurangi, tanpa
batasan tanpa akhiran.
2. Tidak ada penentuan bentuk dan cara (dari sifat-sifat tersebut) dan tidak ada
maknanya.
3. Wajib beriman kepada al-Quran seluruhnya, baik yg muhkam, maupun yg
mutayashib. Kita harus mengembaikan mutayashib kepada yg muhkam sehingga
maknanya jelas, jika masih belum jelas juga, maka mengimani lafalznya dan
Kandungan dari perkataan Imam Asy-Syafi’i (Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i)
1. Iman kepada apa yg datang dari Allah didalam KitabNya yang jelas sesuai dengan
apa yg diinginkan Allah tanpa menambahi, mengurangi, dan menyelewengkan.
2. Iman kepada apa yg datang dari Rasulullah didalam Sunnahnya dengan apa yg
diinginkan Rasulullah tanpa menambahi, mengurangi, dan menyelewengkan.
Manhaj yang dianut oleh salaf di bidang sifat (Di atas prinsip inilah as-
salaf ash-shalih dan para imam khalaf berjalan)
Mengakui dan menetapkan sifat-sifat Allah yang terncantum di dalam kitab Allah dan
Sunnah tanpa menakwilnya dengan takwil yang tidak sesuai dengan keinginan Allah dan
Rasulullah.
Dorongan kepada Sunnah dan peringatan dari Bid’ah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Kita telah diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka, mengambil
petunjuk dengan rambu-rambu mereka
“Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang diberi
petunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham, jauhilah perkara agama yang
dibuat-buat, karena setiap perkara agama yang dibuat-buat itu adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”
Secara istilah sunnah berarti apa yg dipegang teguh oleh Rasulullah dan para sahabat berupa
akidah dan amal. Mengikuti sunnah adalah wajib.
Secara istilah bid’ah berarti sesuatu yg diada-adakan di dalam agama yang menyelisihi
akidah dan amal perbuatan yg dijalani oleh Rasulullah dan para sahabat. Hukumnya haram.
Kedua,” Jika mereka tidak mengetahuinya bagaimana ana bisa mengetahuinya? Apakah
mungkin Allah menutup suatu ilmu tentang syariatNya didepan Nabi dan Khulafa’ Rasyidin
dan lalu Allah membukakannya di depan anda?” maka pelaku bid’ah berbelok haluan
menjawab “mereka mengetahuinya”.
Ketiga, “ Jika mereka mengetahuinya, apakah mereka merasa cukup tidak
membicarakannya/tidak menyerukannya kepada orang-orang?” pelaku bid’ah menjawab
“mereka merasa cukup dan mendiamkannya dan tidak membahasnya”. Maka al-Adrami
berkata “Sesuatu yg Rasulullah dan para Khulafa’ nya merasa cukup dengan tidak
membahasnya, namun anda merasa tidak merasa cukup?” Ahli bid’ah pun terdiam.
Sebagian Ayat tentang Sifat-sifat Allah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Sifat-sifat yang disebutkan oleh penulis matan (Ibnu Qudamah)
Sifat pertama: Memiliki Wajah (al-Wajhu)
“ Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (Ar-
Rahman:27)
As-salaf telah berijma’ sifat ini harus ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Ia adalah wajah hakiki yang sesuai keagungan Allah.
As-salaf telah berijma’ sifat ini harus ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Ia adalah sepasang tangan hakiki yang sesuai keagungan Allah.
Kedua, bentuk mutsanna “ Tidak demikian, akan tetapi kedua tangan Allah terbuka” (Al-
Ma’idah: 64)
Ketiga, bentuk jamak “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami telah menciptakan
binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan
tangan-tangan kami” (Yasin: 71)
Kata pertama mufrad/ tunggal namun mudhaf, disandarkan, maka mencakup seluruh
tangan yg dimiliki oleh Allah dan ini tidak menafikkan bentuk mutsanna. Adapun bentuk
jamak merupakan ta’zhim (pengagungan) bukan menetapkan bilangan, maka juga tidak
bertentangan dengan bentuk mutsanna.
“ Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada
pada DiriMu” (Al-Ma’idah: 116)
“ Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan kedatangan Allah kepada mereka” (Al-
Baqarah: 210)
As-salaf telah sepakat menetapkan sifat “Datang” bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah kedatangan yang sebenarnya sesuai
keagungan Allah.
As-salaf telah sepakat menetapkan sifat ridha ini bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia ridha hakiki sesuai dengan Allah.
As-salaf telah berijma’ menetapkan sifat cinta bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa
tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah mahabbah hakiki yang sesuai dengan
keagungan Allah.
As-salaf telah menetapkan sifat marah bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa tahrif,
ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah marah secara hakiki yang sesuai dengan keagungan
Allah.
Al-Mu’aththilah menafsirkannya dengan pembalasan. Allah telah membedakan antara
al-ghandhab (marah) dengan al-intiqam (pembalasan)
“Maka tatkala mereka membuat kami murka, Kami menghukum (membalas) mereka”
(Az-Zukhruf: 55)
As-salaf telah sepakat untuk menetapkan sifat ini bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah sifat hakiki bagiNya.
As-salaf telah sepakat menetapkan sifat ini bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa
tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah sifat hakiki yang sesuai dengan keagungan
Allah.
As-salaf telah sepakat menetapkan sifat “turun” bagi Allah, maka harus ditetapkan tanpa
tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah turun hakiki yang sesuai keagungan Allah.
“ Rabbmu takjub kepada seorang pemuda yang tidak cinderun kepada hawa nafsu” (HR
Ahmad hal.151 juz 4 secara marfu’
As-salaf telah bersepakat menetapkan sifat takjub bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah takjub hakiki yang sesuai keagungan
Allah.
Takjub ada 2 macam: pertama, berasal dari samarnya sebab bagi yg bersangkutan, maka
dia merasa takjub, kaget, dan terkejut, bentuk ini mustahil bagi Allah, karena tidak ada
sesuatu pun yg samar bagi Allah.
“ Orang yg satunya berperang di jalan Allah lalu dia terbunuh (sebagai syahid),
kemudian Allah mengampuni si pembunuh (karena masuk Islam) lalu dia gugur sebgai
syahid” (HR Bukhari no.2826/HR Muslim 1890/128)
As-salaf telah berijma’ menetapkan sifat tertawa bagi Allah, maka wajib ditetapkan
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia tertawa hakiki sesuai dengan Allah.
“ Sesungguhnya ketika Allah selesai mencipta, Dia menulis di sisiNya di atas ArasyNya,
‘Sesungguhnya rahmatKu mendahului murkaKu’.” (HR Bukhari)
“ Sesungguhnya jarak antara satu langit ke langit lainnya, bisa tujuh puluh satu, atau
dua, atau tiga tahun... “sampai beliau bersabda tentang Arasy, “bagian bawah dengan
bagian Arasy adalah seperti antara satu langit dengan langit lainnya, kemudian Allah di
atas Itu” (HR Ahmad 1/206-207; HR Abu Dawud no. 4723; HR at-Tirmidzi no.3320)
As-salaf telah berijma’ dalam menetapkan bersemayam bagi Allah di atas ArasyNya,
maka wajib ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia bersemayam yang
hakiki yang berartu al-Uluw (tinggi) dan menetap sesuai dengan keagungan Allah.
Arasy dalam bahasa adalah singgasana khusus bagi raja. Dan di dalam syara’ ia adalah
makhluk paling tinggi dan paling besar. Allah menyatakan bahwa ia agung, besar dan
mulia. Kursi bukanlah Arasy, kursi adalah pijakan kedua kakiNya.
“ Kursi adalah tempat pijakan kedua Kaki (Allah), sementara Arasy, tidak seorangpun
bisa memperkirakan besarnya” (HR Muhammad bin Utsman bin Abu Syaibah no.61/ HR
Abdullah bin Ahmad no.407)
As-salaf telah sepakat menetapkan sifat al-Uluw (tinggi) bagi Allah, maka wajib
ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah tinggi hakiki yang sesuai
dengan keagungan Allah.
1. Tinggi dari segi sifatNya, artinya bahwa sifat-sifat Allah adalah tinggi, tidak ada
kekurangan dari sisi manapun dan dalilnya telah hadir.
2. Tinggi DzatNya, artinya bahwa Dzat Allah di atas segala makhlukNya, dan
dalilnya, dibawah yg sudah disebutkan:
“ Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit.” (Al-Mulk: 16)
“ Dimana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Nabi bersabda, “ Merdekakanlah
dia, karena dia wanita yang beriman” (HR Muslim 537/33)
As-salaf telah berijma’ menetapkan tingginya Dzat bagi Allah dan bahwa Dia di langit,
maka wajib ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.
Makna shahih bahwa Allah di langit adalah bahwa Allah diatas langit. Maka ‘di’ adalah ‘di
atas’ bukan menunjukkan keterangan tempat, karena langit tidak meliputi Allah atau
bahwa Allah tinggi di atas sana karena langit bisa berarti ketinggian bukan langit yang
merupakan bangunan.
‘Allah yang maha Pengasih bersemayam di atas Arasy.’ (Thaha: 5), bagaimana Dia
bersemayam?”
Dia menjawab,
Yakni, bagaimana cara Allah bersemayam tidak diketahui oleh akal, karena Allah
lebih tinggi dan lebih agung untuk diketahui oleh akal bentuk dan cara sifatNya.
Yakni, bertanya tentang caranya adalah bid’ah, karena bertanya tentangnya tidak
pernah terjadi di zaman Nabi dan para sahabat. Lalu Imam Malik mengusir orang
tersebut dari masjid karena beliau khawatir orang tersebut akan menfitnah
(berpengaruh negatif) pada akidah hadirin.
Pasal: Tentang Kalam (Firman) Allah
(Syarah Syaikh al-Allamah Ibnu Utsaimin)
Sifat kelimabelas: Kalam (Berfirman)
“ Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa’: 164)
“Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata langsung dengannya.” (Al-Baqarah: 253)
“ Jika Allah hendak mewahyukan perintahNya, Dia berfirman (berbicara) dengan
wahyuNya.” (HR )
As-salaf telah berijma’ menetapkan sifat berfirman (kalam) bagi Allah, maka harus
ditetapkan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Ia adalah kalam hakiki yang berkaitan
dengan kehendak Allah dengan huruf dan suara yang terdengar.
“ Dan ketika Musa datang untuk bermunajat kepada Kami pada waktu yang sudah
ditentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadaNya.” (Al-A’raf: 143)
Pertama: Jahmiyah. Berfirman buka merupakan sifat Allah, akan tetapi berfirman itu
adalah makhlukNya. Allah menciptakan di angkasa/ tempat yg didengar darinya, yg
penisbatannya kepada Allah adalah penisbatan ciptaan/penghormatan, seperti unta
Allah atau baitullah.
Pertama: Asy’ariyah. Firman Allah adalah makna yg melekat pada DiriNya, tidak
berkaitan dengan kehendakNya. Huruf-huruf dan suara-suara yg terdengar adalah
makhluk untuk mengungkapkan makna yg ada pada Diri Allah..
Kalam Allah dari sisi jenis adalah qadim namun dari sisi satuan adalah hadits( baru).
Qadim bermakna Allah telah dan senantiasa berbicara. Kalam tidak terjadi secara tiba-
tiba dariNya setelah sebelumnya tidak berbicara. Hadits (baru) adalah kalam tertentu yg
khusus, karena berkaitan dengan kehendakNya. Dia berbicara dengan apa yang Dia
kehendaki dan Bagaimana Dia kehendaki.
“ Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hambaNya.” (Al-
Furqan: 1)
“ Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an dengan perintah Kami.” (Asy-
Syura: 52)
1. Bahwa orang-orang kafir berkata, al-Quran itu adalah syair, dan tidak mungkin
dikatakan demikian kecuali ia terdiri dari huruf-huruf dan kata-kata.
2. Bahwa Allah menantang orang-orang yang mendustakan al-Qur’an untuk
mendatangkan yang semisal dengannya. Seandainya al-Qur’an bukan huruf dan
pula kata, niscaya ytantangan semcam ini tidak bisa diterima, karena menantang
tidak mungkin kecuali dengan sesuatu yang dimaklumi.
3. Allah menyatakan bahwa al-Qur’n dibacakan kepada mereka.
“ Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-
orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata,
‘Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia.’ Katakanlah, ‘Tidak
patut bagiku menggantinnya dari pihak diriku sendiri’.” (Yunus: 15)
Dan tidaklah ia dibaca kecuali jika ia adalah huruf-huruf dan kata-kata.
4. Allah menyatakan bahwa al-Qur’an itu dihafal di dada orang-orang yang berilmu
dan tertulis di Lauhil Mahfuzh.
“ Sebenarnya al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-
orang yang diberi ilmu.” (Al-Ankabut: 49)
“ Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (Lauhil Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan.” (Al-Waqi’ah: 77-79)
Tidak dihafal dan tidak ditulis kecuali sesuatu merupakan huruf-huruf dan kata-
kata.
5. “ Barangsiapa membaca al-Qur’an dengan benar, maka dengan setiap huruf
darinya, dia mendapatkan sepuluh kebaikan, dan barangsiapa membacanya lalu
dia keliru (cara membacanya), maka dengan setiap huruf, dia mendapatkan satu
kebaikan.” (Hadits yang sangat lemah)
6. Abu Bakar dan Umar, “Membaca al-Qur’an dengan benar lebih kami sukai
daripada menghafal sebagian hurufnya”
7. Ali bin Abu Thalib, “ barangsiapa kafir kepada satu huruf dari al-Qur’an, maka
dia relah kafir kepada semuanya”
8. Kesepakatan kaum Muslimin sebagaimana yang dinukil oleh penulis bahwa siapa
yang mengingkari satu surat, atau satu ayat, atau satu kata, atau satu huruf dari
al-Qur’an, maka dia kafir.
Jumlah surat al-Qur’an adalah 114 surat, 29 di awali dengan huruf-huruf yang
terpotong-potong.
Sifat-sifat Al-Qur’an
1. Bahwa ia adalah Kitab Allah yang mubin, yakni menjelaskan hukum-hukum dan
berita-berita yang dikandungnya.
2. Bahwa ia adalah tali Allah yang kokoh, yakni perjanjian yang kuat yang Allah
jadikan sebagai sebab untuk sampai kepadaNya dan meraih kemulianNya.
3. Bahwa ia adalah surat-surat yang muhkamat, yakni surat-suratnya terperinci,
setiap suratnya terpisah dari lainnya. Muhkamat berarti bagus dan terjaga dari
kekurangan dan pertentangan.
4. Bahwa ia adalah ayat-ayat yang jelas, yakni tanda-tanda yang jelas yang
menunjukkan tauhid Allah, kesempurnaan sifat-sifatNya, dan bagusnya ketetpan
syariatNya.
5. Di dalamnya terdapat muhkamat (makna jelas) dan yang mutasyabihat (makna
samar). Jika bagian yang mutasyabihat kita kembalikan kepada bagian
muhkamat, maka semua menjadi muhkamat.
6. Bahwa ia adalah kebenaran, tidak mungkin disusupi oleh kebatilan dari arah
mana pun.
7. Bahwa ia bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang mendustakan,
di mana mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah syair dan sihir.
8. Bahwa ia adalah mukjizat, tidak seorangpun mampu membuat yang semisal
dengannya, sekalipun dia dibantu oleh orang lain.