IKTERUS NEONANTORUM
Disusun Oleh :
dr . Helti Shary Rahmadani
Dokter Pendamping :
dr . Deny Wiharja Suryani
dr . Evi Paulina Simanjuntak
dr. Nurhidayah
3
BAB I
LAPORAN KASUS
Pasien lahir spontan di tolong oleh dokter pada tanggal 02 Agustus 2019
di RSUD. Dayaku Raja Kota Bangun
Identitas Pasien:
Nama : By. Ny. DN
Tanggal Lahir : 02 Agustus 2019
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Muara Kaman Ulu RT.003
Tanggal masuk : 02 Agustus 2019
4
Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Seluruh badan terlihat kuning
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seluruh badan terlihat kuning sampai ke pergelangan tangan dan
pergelangan kaki(muka, badan, tangan dan kaki). Usia pasien saat terlihat
kuning adalah 1 hari setelah persalinan SC. Usia kehamilan Aterm(40
minggu). Tidak ada demam, batuk dan pilek. Buang air besar 5x konsistensi
cair warna kuning kesan normal. Buang air kecil lancar warna kuning jernih.
3. Riwayat Saudara-saudara
Aterm/Pre Persalinan
Ha Umur Sebab
matur/ Spontan/ Usia Sehat/T
mil Mening Menin
Abort/ SC/ Tanggal Lahir idak
ke gal ggal
Lahir Mati Vacum
1. Aterm Spontan 30-11-2014 Sehat - -
2. Aterm SC 02-08-2019 Sehat - -
3. - - - - - -
Lingkar dada : 33 cm
Lingkar kepala : 33 cm
Anus : (+)
Cacat : (-)
5
5. Imunisasi : saat lahir pasien diberikan Injeksi Vit.K dan injeksi Hb O, saat
pulang dari perawatan pasien di beri polio tetes.
Imunisasi Usia saat imunisasi
O I II III IV Booster I Booster II
20
20
7
Instabilitas suhu tidak ada
Respiratori :
Retaksi tidak ada
Bunyi nafas Bronkovesikuler
Rhonki tidak ada
Wheezing tidak ada
Cardiovasculer :
Akral hangat
CRT<2dt
Abdomen :
Tali pusat basah, tidak ada tanda radang
Peristaltik kesan normal
BAB(+) kuning
Metabolik :
Ikterus Kremer V
Edema tidak ada
BAK(+) normal
Pemeriksaan laboratorium :
Lab
07/08/2016 Nilai Rujukan
Bilirubin Total 7,0 0,20-1,00 mg/dL
Bilirubin Direk 1,6 0-0,40 mg/dl
Diagnosis
-Ikterik Neonantorum
-Bayi cukup bulan/Sesuai masa kehamilan/Sectio caesaria
Penatalaksanaan di Ruangan
1. Blind Fototerapy 2x24 jam
8
2. Cek Billirubin total & direk
3. Pasang OGT
4. Jamin hidrasi dengan kebutuhan cairan (perawatan H4):
120cc/kgbb/hari+10cc/kgbb/hari(Fototerapi)= 199cc/hari
Enteral = 12x17 cc ASI via OGT
5. Cegah hipotermi dengan menjaga suhu 36,5oC-37,5 oC
6. Cegah hipoglikemi dengan target gula darah 50-100mg/dl
Prognosa
Ad Vitam: Dubia ad Bonam
Ad Sanationam: Dubia ad Bonam
Ad Funtionam: Dubia ad Bonam
FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
9
demand:
kebutuhan
cairan
60cc/kgbb/h
ari(186cc/ha
ri=8x23cc
ASI via
menetek
langsung
03-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Rawat
2019 kuning - Ikterus gabung
Tanda vital : Neonantorum - Jamin
N : 148x RR : 45x hidrasi,
T : 37.2°C kebutuhan
cairan
U/P: 1/2 hari 80cc/kgbb/h
BBL: 3100gr ari(248cc/ha
BBS: 3000gr ri=8x31cc
ASI via
SSP: kesan normal menetek
Respirasi: kesan normal langsung
Kardiovaskuler: kesan - Translumina
normal si ruagan
Abdomen: kesan normal
Metabolik: Ikterik kremer I
04-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Rawat
2019 kuning - Ikterus gabung
Tanda vital : Neonantorum - Jamin
N : 150x RR : 45x hidrasi,
T : 37.4°C kebutuhan
cairan
U/P: 2/3 hari 100cc/kgbb/
BBL: 3100gr hari(310cc/h
BBS: 2950gr ari=8x39cc
ASI via
SSP: kesan normal menetek
Respirasi: kesan normal langsung
Kardiovaskuler: kesan - Translumina
normal si ruagan
Abdomen: kesan normal
Metabolik: Ikterik kremer
III
05-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Blind
2019 kuning - Ikterus Fototerap
diseluruh Tanda vital : Neonantorum y 2x24
10
tubuh N : 140x RR : 40x jam
T : 36.5°C - Cek
Billirubin
U/P: 3/4 hari total &
BBL: 3100gr direk
BBS: 2900gr - Pasang
OGT
SSP: kesan normal - Jamin
Respirasi: kesan normal hidrasi:
Kardiovaskuler: kesan
kebutuhan
cairan
normal
120cc/kgb
Abdomen: kesan normal
b/hari+10
Metabolik: Ikterik kremer V
cc/kgbb/h
ari(Fotote
rapi)=
199cc/hari
Enteral =
12x17 cc
ASI via
OGT
- Cegah
hipotermi:
suhu
36,5oC-
37,5 oC
- Cegah
hipoglike
mi: gula
darah 50-
100mg/dl
lab:
bilirubin total :7,0
bilirubin direk :1,6
08-08- Tampak KU : pasif - Kolestasis Rawat jalan:
2019 kuning pada Intrahepatik - Zamel
seluruh Tanda vital : DD 0,3ml/24
tubuh N : 150x RR : 48x Ekstrahepatik jam/oral
berkurang T : 37,2°C - BCB/SMK/SC - Urdafalk
32mg/8
U/P: 5/6 hari jam/oral
BBL: 3100gr - Kolestira
min
BBS: 3090gr
0,3gr/12
jam/oral
SSP: kesan normal
Respirasi: kesan normal Kontrol poli
Kardiovaskuler: kesan tanggal 12
normal agustus 2019
Abdomen: kesan normal (pelacakan
Metabolik: Ikterik sulit di kolestasis
dengan USG)
evaluasi
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
IKTERUS NEONANTORUM
1. Epidemiologi
Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru
lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir.1
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi kurang bulan.1
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi, di RSCM persentase
ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang
bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita
ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami
ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.1
Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta
jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup
dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.13
2. Defenisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.1,2
3. Metabolisme Bilirubin
15
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglokoronode terjadi di membran kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan
langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah
terapi sinar (isomer foto). 4
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air
dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim β glukoronidase yang meningkat, bilirubin
direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat. 4
16
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin
Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion
yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian
menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar
bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi
kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi
bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar
mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. 4
17
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini
diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. 4
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat
gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin
indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin
sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. 4
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel
otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian
albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang
mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. 4
4. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan
berumur lebih pendek.
18
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih
berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus,
dan penurunan bakteri flora normal.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering dan
bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI,
kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.1
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan breast milk.
Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum yang tidak
mencukupi pada hari-hari pertama kehidupan neonantus. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi
bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan asam lemak
unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta glukorunidase yang
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1
19
5. Faktor Risiko
Faktor maternal
Faktor perinatal
Faktor neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
6. Klasifikasi4,5,6
Ikterus fisiologis
20
d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari
kesepuluh
Ikterus patologik
b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam
Infeksi
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus
cukup bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan
7. Penegakan Diagnosis
21
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Berikut penyebab ikterus yang dapat terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama
kehidupan :
defisiensi G6PD
Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam
Polisitemia
Hipoksia
Sferositosis, elipsitosis
Dehidrasi asidosis
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
Dehidrasi asidosis
Pengaruh obat
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Gilbert
22
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Hipotiroidisme
Infeksi
Neonatal hepatitis
23
Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak
menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
ikterus.3
Tabel 2. Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer
24
sampai pergelangan tangan
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kern ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat
dilakukan beberapa cara berikut :4
Terapi sinar
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu
pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis
dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs
Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar
Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar
25
Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis
atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan
Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang
dapat dilakukan antara lain :
- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar albumin lebih dari
10 mg/dl
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
- Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl
26
Terapi suportif, antara lain :10
Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi
mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik,
atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS
a. Pencegahan primer
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta
penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
27
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi
sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk
4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut
dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran
cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar
dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada
bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama
kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula
sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.2
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak
tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk
menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap
2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain
pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut
berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi 2
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin
bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL
(<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau
peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi
sinar.2
28
Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan
sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.2
29
(µmol/L) Kadar billirubin (µmol/L)
(µmol/L)
<24 jam Resiko tinggi & Resiko tinggi: >70 >85
yang lainnya: >70
yang lainnya: >70
1 mg/dl= 17.1µmol/L
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun
transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang
mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada
indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin,
juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.10
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah
darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses
aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila
keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel
dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar
berkisar antara 140-180 cc/kgBB. 10
‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb
bayi.
30
‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
Panduan transfusi tukar pada bayi cukup bulan (>35 minggu)
1 mg/dl= 17.1µmol/L
31
8.3 Terapi farmakologis
9. Komplikasi
Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari
30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.
a. Bentuk akut
b. Bentuk kronis
Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang lambat
Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak
lanjut sebagai berikut :1
33
KOLESTASIS
Epidemiologi
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden
1:20.000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1,
sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. Kolestasis pada bayi yang
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-
2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal
(1,04%). 3
Defenisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi
seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
ekstrahepatik
infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan
berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah
berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang
3
lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab
empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya
empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu
35
dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum
3
dilakukan operasi Kasai.
2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b)
seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran
kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-
3
hepatik.
Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai
koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan
meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang
hipertensi portal.3
Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.
36
dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini
(triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang
sempit). Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ
b. Kelainan hepatosit
empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa
asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan
penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis
merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada
sepsis.3
Etiologi
Kolestasis Intrahepatik
a. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Lain-lain : Sindrom Zellweger
37
b. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital/ penyakit polikistik infantil
2. Penyakit Caroli
3. Sepsis
4. Hepatitis virus dan hepatitis karena obat
5. Mutasi transpor empedu
6. Sirosis bilier primer
7. Reaksi penolakan transplantasi hati
c. Kelainan Metabolik
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat, asam empedu
2. Penyakit metabolik lain : def α1 – antitripsin, hipotiroid, hipopituitarisme
d. Infeksi
1. Hepatitis virus A, B, C
2. TORCH, reovirus, dll
e. Genetik/ kromosomal
1. Sindrom Alagile
2. Sindrom Down, Trisomi E
f. Lain-lain
Nutrisi parenteral total, histiositosis x, renjatan, obstruksi intestinal, sindrom
polisplenia, lupus neonatal.
Kolestasis Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Massa (kista, neoplasma, batu)
d. Inspissated bile syndrome , dll
38
Biliary hipoplasia
Choledocholithiasis
Bile duct perforation
Neonatal sclerosing cholangitis
B. Saluran empedu intrahepatik
Syndromic paucity (sindrom Alagille, mutasi pada JAGGED1)
Nonsyndromic paucity
- Hypothyroidism
- Bile duct dysgenesis
Congenital hepatic fibrosis
- Ductal plate malformation
- Polycystic kidney disease
- Caroli’s disease
- Hepatic cyst
Cystic fibrosis
Langerhans’ cell histiocytiosis
Hyper-IgM syndrome
C. Hepatocytes
Sepsis-associated cholestasis
Neonatal hepatitis
Viral infections
- Hepatitis B
- Cytomegalovirus (juga menginfeksi cholangiocytes)
- Herpes viruses (simplex and HHV-6 and 8)
- Adenovirus
- Enterovirus
- Parovirus B19
Toxoplasmosis
Syphilis
Progressive familial intrahepatic cholestasis syndromes
- PFIC-1: mutation in FIC1, ? aminophospholipid transporter
- PFIC-1: mutation in BESP, the canalicular bile salt export pump
- PFIC-1: mutation in MDR3, canalicular phospholipid flippase
39
Bile acid synthetic defects
Urea cycle defects
Mithocondrial enzymopathies
Peroxisomal disorders(zellweger syndrome)
Carbohydrate disorders
- Galactosemia
- Hereditary fructose intolerance
- Glycogen storage disease
α1-Antitrypsin deficiency
Neonatal hemochromatosis
Total parenteral nutrition-associated cholestasis
Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya
berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai
filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam
empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut
dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan ke dalam empedu oleh
transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke dalam
40
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di
hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan
gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu
dan hiperbilirubinemi terkonjugasi.2
Terdapat 4 mekanisme dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
1. Pembentukan bilirubin berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
3. Gangguan konyugasi bilirubin
4. Pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra
hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.
Metabolisme Bilirubin
41
biliaris. Kerusakan dari sel paremkim hati menyebabkan gangguan aliran dari
garam bilirubin dalam hati akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan ke
dalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi akan terlihat
peninggian bilirubin terkonyugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum.
Penyumbutan duktus biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan
ikterus. Kadang-kadang kholestasis intra hepatal disertai dengan obstruksi
mekanis di daerah ekstra hepatal. Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra
hapatal yang disebabkan oleh batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal
kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi hiper bilirubinemia karena
dikompensasi oleh hepar yang masih baik. Kholangitis supuratif yang biasanya
disertai pembentukan abses dan ini biasanya yang menyebabkan ikterus. Infeksi
sistemik dapat mengenai vena porta akan menyebabkan invasi ke dinding
kandung empedu dan traktus biliaris. Pada intra hepatik kholestasis biasanya
terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan gangguan metabolisme
(kholestasis dan hepatitis).2,3
Ekstra hepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran empedu ke dalam
usus sehingga akibatnya terjadi peninggian bilirubin terkonyugasi dalam darah.
Penyebab yang paling sering dari ekstra hepatik kholestatik adalah batu di duktus
kholedekhus dan duktus sistikus, tumor duktus kholedekus, kista duktus
kholeskhus, tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.
42
B. Transformasi dan Konjugasi dari Obat dan Zat Toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi
dan konjugasi akan terganggu.
C. Sintesis Protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.
Manifestasi Klinis
adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan
44
Diagnosis2,3,4
Anamnesis
a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.
b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal.
c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi.
45
d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-
antitripsin).
Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus
kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang
tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang
teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan
lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya
distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa
penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus
dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan
gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital.
Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya
peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus
dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain. Alagille
mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk membedakan
antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut
kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik ± 82%
dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran histopatologi
hati.
Pemeriksaan Penunjang
46
A. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah
ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier.
2) Pemeriksaan Khusus
B. Pencitraan
1) Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan kholestasis.meriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus
47
biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah
ada ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah
duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus
biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian
proximal. Untuk membedakan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan
mudah dapat dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak
tampak pelebaran dari duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus
biliaris intra dan ekstra hepatal maka ini dapat dikategorikan obstruksi letak
rendah (distal). Pada dilatasi ringan dari duktus biliaris maka kita akan melihat
duktus biliaris kanan berdilatasi dan duktus biliaris daerah perifer belum jelas
terlihat berdilatasi. Gambaran duktus biliaris yang berdilatasi bersama-sama
dengan vena porta terlihat sebagai gambaran double vessel, dan imajing ini
disebut “double barrel gun sign” atau sebagai “paralel channel sign”. Pada
potongan melintang pembuluh ganda tampak sebagai gambaran cincin ganda
membentuk “shot gun sign”. Pada dilatasi berat duktus biliaris maka duktus
biliaris intra hepatal bagian sentral dan perifer akan sangat jelas terlihat berdilatasi
dan berkelok-kelok.
2) Schintigrafi Hati
Pemeriksaan skintigrafi ini berguna untuk mengevaluasi kelainan
obstruktif sistem bilier termasuk atresia bilier.
3) Pemeriksaan Kolangiografi
Kolangiografi intra-operatif dilakukan saat laparatomi eksplorasi pada
kasus yang kemungkinan atresia bilier tidak dapat disingkirkan dengan cara lain.
Pemeriksaan ERCP jarang dilakukan karena memerlukan anestesi umum, alat
yang canggih, serta keterampilan yang khususdan kemungkinan positif palsu yang
tinggi.
4) Biopsi Hati
48
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat
diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95% sehingga dapat membantu pengambilan keputusan
untuk melakukan la-paratomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100-
200 u atau 150-400 u maka aliran empedu dapat terjadi.
Diagnosi Banding
sipilis
49
Metabolik : galaktosemi, tirosinemi
Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana kolestasis adalah2 :
50
B. Menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan :
Terapi nutrisi
- Formula MCT ( medium chain trigyceride ), menghindarkan makanan
yang banyak mengandung kuprum.
Vitamin yang larut lemak A,D,E,K
- A 5.000 – 25.000 U/ hr
- D3 0,05 – 0,2 μg/ kgBB/ hr
- E 25 – 50 IU/ kgBB/ hr
- K1 2,5 – 5 mg/ 2 – 7 x/ mig
Mineral dan trace element Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe
Prognosis
baik. Prognosa penderita kolestasis tanpa pelaksanaan adalah buruk dan angka
ketahanan hidup kurang dari usia 2 tahun. Pada umumnya, 60-70% pasien sembuh
tanpa ada gejala sisa atau gangguan pada struktur hepatik. Sekitar 5-10%
mengalami fibrosis yang menetap atau inflamasi pada hepar dan ada sekelompok
51
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Penyebab dari ikterus neonantorum
antara lain, meningkatnya kadar bilirubin dan penurunan ekskresi bilirubin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya, faktor maternal, perinatal, dan
neonatus. Ikterus neonantorum diklasifikasikan menjadi dua, ikterik fisiologis dan
ikterus patologis. Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang yang mengarah ke ikterus neonantorum dan telah di
tatalaksana sesuai dengan literatur. Prognosis pada pasien ini berdasarkan
perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkannya adalah dubia
ad bonam.
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. Philadelpia :
WB Saunders Company
2. Etika Risa, dkk. 2007. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian
Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo-Surabaya
3. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
4. Mansjoer, A. Dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
5. Arianti R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang : Poltekes
6. Sudigdo, dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta : HTA Indonesia
7. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And
Midwives. Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World
Organization Health.
8. Suraatmaja, S. Soettjiningsih 2000. Ikterus Neonatorum dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar ; Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah
9. Kosim, M.S dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
10. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of
Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
Pediatrics 114:297-316
11. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam :
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk
Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya; 2004.
12. Ennery P, Eidman A, Tevenson D. Neonatal Hyperbilirubinemia. New
England Journal of Medicine,2001. Vol. 344, No. 8.
53