Anda di halaman 1dari 53

CASE REPORT

IKTERUS NEONANTORUM

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Program


Dokter Internship Indonesia
Periode Februari 2019-Februari 2020

Disusun Oleh :
dr . Helti Shary Rahmadani

Dokter Penanggung jawab:


dr. Nurhidayah

Dokter Pendamping :
dr . Deny Wiharja Suryani
dr . Evi Paulina Simanjuntak

RSUD DAYAKU RAJA KOTA BANGUN


KABUPATEN KUTAI KERTANEGARA
KALIMANTAN TIMUR
2019
2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa:


Nama : Helti Shary Rahmadani
Judul Laporan Kasus : Ikterus Neonantorum
Telah menyelesaikan laporan kasus untuk memenuhi sebagian syarat dalam
mengikuti program Internsip Dokter Indonesia periode Februari 2019- Februari
2020.

Kota Bangun, Oktober 2019


Pendamping I Pendamping II

dr. Evi Paulina Simanjuntak dr. Deny Wiharja S

Dokter Penanggung Jawab

dr. Nurhidayah

3
BAB I
LAPORAN KASUS

Pasien lahir spontan di tolong oleh dokter pada tanggal 02 Agustus 2019
di RSUD. Dayaku Raja Kota Bangun

Identitas Pasien:
Nama : By. Ny. DN
Tanggal Lahir : 02 Agustus 2019
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Muara Kaman Ulu RT.003
Tanggal masuk : 02 Agustus 2019

Identitas Ayah Pasien:


Nama : Bpk.M
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan terakhir : SLTP
Alamat : Muara Kaman Ulu RT.003

Identitas Ibu Pasien:


Nama : Ny. DNS
Umur : 27 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SLTP
Alamat : Muara Kaman Ulu RT.003

4
Anamnesis:

1. Keluhan Utama
Seluruh badan terlihat kuning
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seluruh badan terlihat kuning sampai ke pergelangan tangan dan
pergelangan kaki(muka, badan, tangan dan kaki). Usia pasien saat terlihat
kuning adalah 1 hari setelah persalinan SC. Usia kehamilan Aterm(40
minggu). Tidak ada demam, batuk dan pilek. Buang air besar 5x konsistensi
cair warna kuning kesan normal. Buang air kecil lancar warna kuning jernih.
3. Riwayat Saudara-saudara
Aterm/Pre Persalinan
Ha Umur Sebab
matur/ Spontan/ Usia Sehat/T
mil Mening Menin
Abort/ SC/ Tanggal Lahir idak
ke gal ggal
Lahir Mati Vacum
1. Aterm Spontan 30-11-2014 Sehat - -
2. Aterm SC 02-08-2019 Sehat - -
3. - - - - - -

4. Identitas pemeriksaan bayi


Berat badan lahir : 3100 gram

Panjang badan lahir : 48 cm

Lingkar dada : 33 cm

Lingkar kepala : 33 cm

Anus : (+)

Cacat : (-)

5
5. Imunisasi : saat lahir pasien diberikan Injeksi Vit.K dan injeksi Hb O, saat
pulang dari perawatan pasien di beri polio tetes.
Imunisasi Usia saat imunisasi
O I II III IV Booster I Booster II

BCG - - ////// ////// ////// ////// ///////


Polio  - - - - - -
Campak - - - ////// ////// ////// ///////
DPT - - - - ////// - -
Hepatitis B  - - - ////// - -

20

20

Ballard Score= 40(40 minggu)


6
Kesimpulan klasifikasi bayi meurut Lubchenco : Neonatus Cukup Bulan (NCB)
Sesuai untuk Masa Kehamilan (SMK)

Pemeriksaan Fisik tanggal 05-08-2019


KU : bayi tampak aktif
Tanda-tanda vital
1. Frekuensi nadi :140x/menit kuat angkat
2. Frekuensi nafas :40 x/menit
3. Suhu : 36,5oC
Status generalisata
Trauma lahir : tidak ada
Kelainan kongenital : tidak ada
SSP :
 Refleks moro simetris
 Refleks Isap/ telan (+/+)

7
 Instabilitas suhu tidak ada
Respiratori :
 Retaksi tidak ada
 Bunyi nafas Bronkovesikuler
 Rhonki tidak ada
 Wheezing tidak ada
Cardiovasculer :
 Akral hangat
 CRT<2dt
Abdomen :
 Tali pusat basah, tidak ada tanda radang
 Peristaltik kesan normal
 BAB(+) kuning
Metabolik :
 Ikterus Kremer V
 Edema tidak ada
 BAK(+) normal

Pemeriksaan laboratorium :
Lab
07/08/2016 Nilai Rujukan
Bilirubin Total 7,0 0,20-1,00 mg/dL
Bilirubin Direk 1,6 0-0,40 mg/dl

Diagnosis
-Ikterik Neonantorum
-Bayi cukup bulan/Sesuai masa kehamilan/Sectio caesaria

Penatalaksanaan di Ruangan
1. Blind Fototerapy 2x24 jam

8
2. Cek Billirubin total & direk
3. Pasang OGT
4. Jamin hidrasi dengan kebutuhan cairan (perawatan H4):
120cc/kgbb/hari+10cc/kgbb/hari(Fototerapi)= 199cc/hari
Enteral = 12x17 cc ASI via OGT
5. Cegah hipotermi dengan menjaga suhu 36,5oC-37,5 oC
6. Cegah hipoglikemi dengan target gula darah 50-100mg/dl
Prognosa
Ad Vitam: Dubia ad Bonam
Ad Sanationam: Dubia ad Bonam
Ad Funtionam: Dubia ad Bonam

FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

02-08- Telah lahir KU : pasif - BCB/SMK/SC - Tatalaksana


2019 bayi Apgar Score 8/10 bayi baru
16.30 perempuan lahir:
WITA secara SC a/i Tanda vital :  Hangatka
Kala II lama, N : 146x RR : 46x n,
lahir segera T : 36,6°C posisikan
menangis, ,
tonus otot U/P: 0/1 hari keringkan
baik, air BBL: 3100gr ,
ketuban UK: 40 minggu (Ballard) rangsang,
jernih, reposisi.
A/S=8/10 SSP: kesan normal  Inj. Vit K
Respirasi: kesan normal 0,5
Kardiovaskuler: kesan ml/IM
normal  Potong
Abdomen: kesan normal tali pusat
Metabolik: kesan normal  Inj. HB0
 Gentamic
in tetes
mata
2gttODS
- Rawat
gabung
- ASI on

9
demand:
kebutuhan
cairan
60cc/kgbb/h
ari(186cc/ha
ri=8x23cc
ASI via
menetek
langsung
03-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Rawat
2019 kuning - Ikterus gabung
Tanda vital : Neonantorum - Jamin
N : 148x RR : 45x hidrasi,
T : 37.2°C kebutuhan
cairan
U/P: 1/2 hari 80cc/kgbb/h
BBL: 3100gr ari(248cc/ha
BBS: 3000gr ri=8x31cc
ASI via
SSP: kesan normal menetek
Respirasi: kesan normal langsung
Kardiovaskuler: kesan - Translumina
normal si ruagan
Abdomen: kesan normal
Metabolik: Ikterik kremer I
04-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Rawat
2019 kuning - Ikterus gabung
Tanda vital : Neonantorum - Jamin
N : 150x RR : 45x hidrasi,
T : 37.4°C kebutuhan
cairan
U/P: 2/3 hari 100cc/kgbb/
BBL: 3100gr hari(310cc/h
BBS: 2950gr ari=8x39cc
ASI via
SSP: kesan normal menetek
Respirasi: kesan normal langsung
Kardiovaskuler: kesan - Translumina
normal si ruagan
Abdomen: kesan normal
Metabolik: Ikterik kremer
III
05-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Blind
2019 kuning - Ikterus Fototerap
diseluruh Tanda vital : Neonantorum y 2x24

10
tubuh N : 140x RR : 40x jam
T : 36.5°C - Cek
Billirubin
U/P: 3/4 hari total &
BBL: 3100gr direk
BBS: 2900gr - Pasang
OGT
SSP: kesan normal - Jamin
Respirasi: kesan normal hidrasi:
Kardiovaskuler: kesan
kebutuhan
cairan
normal
120cc/kgb
Abdomen: kesan normal
b/hari+10
Metabolik: Ikterik kremer V
cc/kgbb/h
ari(Fotote
rapi)=
199cc/hari
Enteral =
12x17 cc
ASI via
OGT
- Cegah
hipotermi:
suhu
36,5oC-
37,5 oC
- Cegah
hipoglike
mi: gula
darah 50-
100mg/dl

06-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Fototerap


2019 kuning - Ikterus y efektif
diseluruh Tanda vital : Neonantorum 24 jam
tubuh N : 142x RR : 46x - Jamin
T : 36.8°C hidrasi:
kebutuhan
U/P: 4/5 hari cairan
BBL: 3100gr 140cc/kgb
BBS: 2900gr b/hari+10
cc/kgbb/h
ari(Fotote
SSP: kesan normal
rapi)=
Respirasi: kesan normal
465cc/hari
Kardiovaskuler: kesan
Enteral =
normal 8x58 cc
Abdomen: kesan normal ASI via
11
Metabolik: Ikterik sulit OGT
dievaluasi - Cegah
hipotermi:
suhu
36,5oC-
37,5 oC
- Cegah
hipoglike
mi: target
gula darah
50-
100mg/dl

07-08- Bayi tampak KU : pasif - BCB/SMK/SC - Stop


2019 kuning - Ikterus Fototerap
07.30 diseluruh Tanda vital : Neonantorum y
WITA tubuh N : 148x RR : 52x - Inj. Vit K
T : 37°C 0,5ml/IM
- Aff OGT
U/P: 5/6 hari - ASI on
BBL: 3100gr demand
BBS: 3050gr 150cc/kgb
b/hari=
465cc/hari
SSP: kesan normal
Enteral =
Respirasi: kesan normal
8x58 cc
Kardiovaskuler: kesan
ASI via
normal Menetek
Abdomen: kesan normal langsung
Metabolik: Ikterik sulit di - Cek
evaluasi Bilirubin
total &
direk

07-08- Bayi tampak KU : pasif - Kolestasis - Zamel


2019 kuning Intrahepatik 0,3ml/24
15.30 diseluruh Tanda vital : DD jam/oral
WITA tubuh N : 146x RR : 50x Ekstrahepatik - Urdafalk
T : 37,2°C - BCB/SMK/SC 32mg/8
jam/oral
U/P: 5/6 hari - Kolestira
BBL: 3100gr min
BBS: 3050gr 0,3gr/12
jam/oral
SSP: kesan normal
Respirasi: kesan normal
Kardiovaskuler: kesan
12
normal
Abdomen: kesan normal
Metabolik: Ikterik sulit di
evaluasi

lab:
bilirubin total :7,0
bilirubin direk :1,6
08-08- Tampak KU : pasif - Kolestasis Rawat jalan:
2019 kuning pada Intrahepatik - Zamel
seluruh Tanda vital : DD 0,3ml/24
tubuh N : 150x RR : 48x Ekstrahepatik jam/oral
berkurang T : 37,2°C - BCB/SMK/SC - Urdafalk
32mg/8
U/P: 5/6 hari jam/oral
BBL: 3100gr - Kolestira
min
BBS: 3090gr
0,3gr/12
jam/oral
SSP: kesan normal
Respirasi: kesan normal Kontrol poli
Kardiovaskuler: kesan tanggal 12
normal agustus 2019
Abdomen: kesan normal (pelacakan
Metabolik: Ikterik sulit di kolestasis
dengan USG)
evaluasi

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

IKTERUS NEONANTORUM

1. Epidemiologi
Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru
lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir.1
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi kurang bulan.1
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi, di RSCM persentase
ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang
bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita
ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami
ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.1
Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta
jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup
dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.13
2. Defenisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.1,2

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya


produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih
pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama
pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebab yang sering terjadi adalah belum
matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel darah merah
sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati. Saat lahir, hati
14
bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut
biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan pewarnaan kuning pada bayi.1,2,3

3. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus


dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi
hemoglobin darah dan sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang
tidak efektif. Perbedaan utama metabolisme pada neonatus adalah bahwa pada
janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin
mempunyai tingkatan sebagai berikut: 4
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat
menghasilkan 34 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh),
yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.4
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin
tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein g,
glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan
protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan
afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.
Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak.
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat
pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. 4
3. Konjugasi

15
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglokoronode terjadi di membran kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan
langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah
terapi sinar (isomer foto). 4
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air
dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim β glukoronidase yang meningkat, bilirubin
direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat. 4

16
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin

Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion
yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian
menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar
bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi
kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi
bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar
mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. 4

17
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini
diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. 4
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat
gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin
indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin
sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. 4
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel
otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian
albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang
mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. 4

4. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :

a. Meningkatnya kadar bilirubin

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan
berumur lebih pendek.

b. Penurunan eksresi bilirubin

Hal ini dapat terjadi karena :

- Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan


dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati

18
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih
berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus,
dan penurunan bakteri flora normal.

Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering dan
bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI,
kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.1

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan breast milk.
Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum yang tidak
mencukupi pada hari-hari pertama kehidupan neonantus. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi
bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan asam lemak
unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta glukorunidase yang
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1

Penyebab Neonatal Jaundice

early Intermediate Late/prolonged

 Haemolytic causes  Physiological jaundice  Conjugated


- Rh  Breast feeding jaundice - Bile duct obstruction
isommunisation (inadequate intake) - Billiary atresia
- ABO  Sepsis - Neonatal hepatitis
incompatibility  Haemolysis  Unconjugated
- G6PD deficiency  Criger-Najjar Syndrome - Physiological
 Congenital infection (glucuronyl transferase - Breast milk jaundice
absent/reduced) - Infection
 Polycytemia, bruising - Hypothyroidism

19
5. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah :

 Faktor maternal

 Ras atau kelompok etnik tertentu

 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI

 Faktor perinatal

 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

 Infeksi (bakteri, virus)

 Faktor neonatus

 Prematuritas

 Faktor genetik

 Polisitemia

 Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)

 Rendahnya asupan ASI

 Hipoglikemia

 Hipoalbuminemia

6. Klasifikasi4,5,6

Ada 2 macam ikterus neonatorum :

 Ikterus fisiologis

a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga

b. Tidak mempuyai dasar patologis

c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak berpotensi


menjadi kern ikterus

20
d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi

e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari
kesepuluh

 Ikterus patologik

Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;

a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam

c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD,


atau sepsis)

d. Ikterus yang disertai oleh :

 Berat lahir kurang dari 2000 gram

 Masa gestasi 36 minggu

 Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN)

 Infeksi

 Trauma lahir pada kepala

 Hipoglikemia, hiperkarbia

 Hiperosmolaritas darah

e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus
cukup bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan

7. Penegakan Diagnosis

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan


pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus
untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan
itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus.7

21
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

Berikut penyebab ikterus yang dapat terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama
kehidupan :

 inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain

 infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)

 defisiensi G6PD

b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir

 Biasanya ikterus fisiologis

 Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain

 Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam

 Defisiensi enzim G6PD

 Polisitemia

 Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan


subkapsuler hepar)

 Hipoksia

 Sferositosis, elipsitosis

 Dehidrasi asidosis

 Defisiensi enzim eritrosit lainnya

c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama

 Biasanya karena infeksi (sepsis)

 Dehidrasi asidosis

 Defisiensi enzim G6PD

 Pengaruh obat

 Sindrom Crigler-Najjar

 Sindrom Gilbert
22
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

 Biasanya karena obstruksi

 Hipotiroidisme

 Breast milk jaundice

 Infeksi

 Neonatal hepatitis

Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :

 Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek

 Pemeriksaan darah tepi

 Pemeriksaan penyaring G6PD

 Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Gambar 5. Pendekatan Skematis untuk Mendiagnosis Neonatal Jaundice

23
Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak
menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
ikterus.3

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus


neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.3 Umumnya
yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin
direk, bila kadar bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih 2 minggu.4

Gambar 6. Pembagian ikterus menurut Kramer4

Tabel 2. Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer

Daerah Kadar bilirubin (mg/dl)


Penjelasan
icterus Prematur Aterm

1 Kepala dan leher 4-8 4-8

2 Dada sampai pusat 5-12 5-12

3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16

4 Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu 9-18 11-18

24
sampai pergelangan tangan

Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan


5 >10 >15
telapak tangan

8. Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kern ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat
dilakukan beberapa cara berikut :4

 Minum ASI dini dan sering

 Terapi sinar

 Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu
pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis
dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tatalaksana awal ikterus neonatorum :8

 Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat

 Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

 Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs

 Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar

 Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar

25
 Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis
atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan

Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang
dapat dilakukan antara lain :

 Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini


bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.

 Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.


Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin
dapat diganti dengan plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum transfusi tukar dilakukan karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi
hepar sebagai sumber energi.

 Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat


menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi
tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca
transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah :9

- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar albumin lebih dari
10 mg/dl

- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.

 Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :9

- Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl

- Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl

- Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl

26
Terapi suportif, antara lain :10

 Minum ASI atau pemberian ASI perah

 Infus cairan dengan dosis rumatan

Monitoring yang dilakukan antara lain :10

 Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi
mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

 Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik,
atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS

Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :6

a. Pencegahan primer

 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari


untuk beberapa hari pertama

 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi

b. Pencegahan sekunder

 Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta
penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa

 Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya


ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai
saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12
jam

8.1. Terapi Sinar

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
27
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi
sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk
4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut
dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran
cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar
dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada
bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama
kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula
sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.2

Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak
tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk
menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap
2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain
pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut
berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi 2

Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin
bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL
(<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau
peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi
sinar.2

28
Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan
sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.2

Panduan fototerapi pada bayi cukup bulan (>35 minggu)

Fototerapi pada bayi kurang bulan (<34Minggu)

Usia Berat < 1500gr Berat 1500gr – Berat >2000gr


2000gr
Kadar billirubin Kadar billirubin

29
(µmol/L) Kadar billirubin (µmol/L)
(µmol/L)
<24 jam Resiko tinggi & Resiko tinggi: >70 >85
yang lainnya: >70
yang lainnya: >70

24-48 jam >85 >120 >140

49-72 jam >120 >155 >200

>72 jam >140 >170 >240

1 mg/dl= 17.1µmol/L

8.2 Transfusi Tukar

Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun
transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang
mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada
indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin,
juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.10

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah
darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses
aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila
keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel
dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar
berkisar antara 140-180 cc/kgBB. 10

Macam Transfusi Tukar:

 ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb
bayi.

30
 ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
 ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
Panduan transfusi tukar pada bayi cukup bulan (>35 minggu)

Transfusi tukar pada bayi kurang bulan (<34Minggu)

Usia Berat < 1500gr Berat 1500gr – Berat >2000gr


2000gr
Kadar billirubin Kadar billirubin
Kadar billirubin
(µmol/L) (µmol/L)
(µmol/L)
<24 jam >170-225 >225 >270-310

24-48 jam >170-225 >225 >270-310

49-72 jam >170-225 >270 >290-320

>72 jam >225 >290 >310-340

1 mg/dl= 17.1µmol/L

31
8.3 Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk


meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim
glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang
dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme
oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek
neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam
sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.
Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati
ikterus pada neonatus karena:11,12
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari
pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar
bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase


yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim
bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin
oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah.
Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia
neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat
terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh
dari fungus.11

9. Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati


bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang
32
otak. Patogenesis kern ikterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara
kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera.
Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas sawar darah otak
mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.

Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari
30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.

Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :1

a. Bentuk akut

 Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang

 Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus, retrocollis,


demam

 Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni

b. Bentuk kronis

 Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang lambat

 Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),


gangguan pendengaran

Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak
lanjut sebagai berikut :1

 Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan

 Penilaian berkala pendengaran

 Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa

33
KOLESTASIS

Epidemiologi
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden

hepatitis neonatal yang merupakan penyebab tersering (49%) dari 1:5000

kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi α-1 antitripsin

1:20.000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1,

sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. Kolestasis pada bayi yang

terjadi di RSUD Sutomo selama 3 tahun berturut-turut (1983 – 1985) tercatat 98

bayi dengan conjugated hyperbilirubinemia dengan prasangka diagnosis hepatitis

neonatal idiopatik sebanyak 32 anak. 2,3

Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-

2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal

kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus

koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1

(1,04%). 3

Defenisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam

jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari

hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi

klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu

seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.

Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu

pada sel hati dan sistem bilier. 3


34
Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:3

1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu

ekstrahepatik

Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat.

Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya

pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu

intrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,

infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,

iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan

berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah

berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang
3
lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler.

Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab

efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila

dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung

empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya

pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung

empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu

ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier.2,3

Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus

dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus

empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan

35
dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum
3
dilakukan operasi Kasai.

2. Kolestasis intrahepatik

a. Saluran Empedu

Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b)

Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu

intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik

(foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran

intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik

seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran

ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing

kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-
3
hepatik.

Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai

dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal

koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan

meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang

besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda

hipertensi portal.3

Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat

neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik.

Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.

Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal

36
dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini

ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multi.1,3

organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly

vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang spesifik

(triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang

sempit). Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ

lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis

neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan

kerusakan pada saluran empedu.3

b. Kelainan hepatosit

Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan

pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam

empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa

asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan

penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis

merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada

sepsis.3

Etiologi
Kolestasis Intrahepatik

a. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Lain-lain : Sindrom Zellweger

37
b. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital/ penyakit polikistik infantil
2. Penyakit Caroli
3. Sepsis
4. Hepatitis virus dan hepatitis karena obat
5. Mutasi transpor empedu
6. Sirosis bilier primer
7. Reaksi penolakan transplantasi hati
c. Kelainan Metabolik
1. Kelainan metabolisme asam amino, lipid, karbohidrat, asam empedu
2. Penyakit metabolik lain : def α1 – antitripsin, hipotiroid, hipopituitarisme
d. Infeksi
1. Hepatitis virus A, B, C
2. TORCH, reovirus, dll
e. Genetik/ kromosomal
1. Sindrom Alagile
2. Sindrom Down, Trisomi E
f. Lain-lain
Nutrisi parenteral total, histiositosis x, renjatan, obstruksi intestinal, sindrom
polisplenia, lupus neonatal.

Kolestasis Ekstrahepatik

a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c. Massa (kista, neoplasma, batu)
d. Inspissated bile syndrome , dll

Penyebab dari kolestasis pada bayi adalah sebagai berikut :1,3

A. Saluran empedu ekstrahepatik


Biliary atresia
Choledochal cyst dan choledochocele

38
Biliary hipoplasia
Choledocholithiasis
Bile duct perforation
Neonatal sclerosing cholangitis
B. Saluran empedu intrahepatik
Syndromic paucity (sindrom Alagille, mutasi pada JAGGED1)
Nonsyndromic paucity
- Hypothyroidism
- Bile duct dysgenesis
Congenital hepatic fibrosis
- Ductal plate malformation
- Polycystic kidney disease
- Caroli’s disease
- Hepatic cyst
Cystic fibrosis
Langerhans’ cell histiocytiosis
Hyper-IgM syndrome
C. Hepatocytes
Sepsis-associated cholestasis
Neonatal hepatitis
Viral infections
- Hepatitis B
- Cytomegalovirus (juga menginfeksi cholangiocytes)
- Herpes viruses (simplex and HHV-6 and 8)
- Adenovirus
- Enterovirus
- Parovirus B19
Toxoplasmosis
Syphilis
Progressive familial intrahepatic cholestasis syndromes
- PFIC-1: mutation in FIC1, ? aminophospholipid transporter
- PFIC-1: mutation in BESP, the canalicular bile salt export pump
- PFIC-1: mutation in MDR3, canalicular phospholipid flippase

39
Bile acid synthetic defects
Urea cycle defects
Mithocondrial enzymopathies
Peroxisomal disorders(zellweger syndrome)
Carbohydrate disorders
- Galactosemia
- Hereditary fructose intolerance
- Glycogen storage disease
α1-Antitrypsin deficiency

Neonatal hemochromatosis
Total parenteral nutrition-associated cholestasis

Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya
berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai
filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam
empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut
dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan ke dalam empedu oleh
transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke dalam
40
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di
hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan
gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu
dan hiperbilirubinemi terkonjugasi.2
Terdapat 4 mekanisme dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
1. Pembentukan bilirubin berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
3. Gangguan konyugasi bilirubin
4. Pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra
hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.

Metabolisme Bilirubin

Penyebab ikterus kholestatik bisa intra hepatik atau ekstra hepatik.


Penyebab intra hepatik adalah inflamasi, batu, tumor, kelainan kongenital duktus

41
biliaris. Kerusakan dari sel paremkim hati menyebabkan gangguan aliran dari
garam bilirubin dalam hati akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan ke
dalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi akan terlihat
peninggian bilirubin terkonyugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum.
Penyumbutan duktus biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan
ikterus. Kadang-kadang kholestasis intra hepatal disertai dengan obstruksi
mekanis di daerah ekstra hepatal. Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra
hapatal yang disebabkan oleh batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal
kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi hiper bilirubinemia karena
dikompensasi oleh hepar yang masih baik. Kholangitis supuratif yang biasanya
disertai pembentukan abses dan ini biasanya yang menyebabkan ikterus. Infeksi
sistemik dapat mengenai vena porta akan menyebabkan invasi ke dinding
kandung empedu dan traktus biliaris. Pada intra hepatik kholestasis biasanya
terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan gangguan metabolisme
(kholestasis dan hepatitis).2,3
Ekstra hepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran empedu ke dalam
usus sehingga akibatnya terjadi peninggian bilirubin terkonyugasi dalam darah.
Penyebab yang paling sering dari ekstra hepatik kholestatik adalah batu di duktus
kholedekhus dan duktus sistikus, tumor duktus kholedekus, kista duktus
kholeskhus, tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.

Perubahan Fungsi Hati pada Kolestasis


Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural:
A. Proses Transpor Hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas
dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonjugasi, asam
empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan
sinusoid terganggu.

42
B. Transformasi dan Konjugasi dari Obat dan Zat Toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi
dan konjugasi akan terganggu.

C. Sintesis Protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.

D. Metabolisme Asam Empedu dan Kolesterol


Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam
empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi
menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan
penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi
bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar
kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan
eliminasi di usus menurun.

E. Gangguan pada Metabolisme Logam


Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang
menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit
oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.

F. Metabolisme Cysteinyl Leukotrienes


Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi di hati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan
vaksokonstriksi pada ginjal.

G. Mekanisme Kerusakan Hati Sekunder


1. Asam Empedu
43
Terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui
aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol
dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu.
+ + ++
Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na , K -ATPase, Mg -
ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu,
sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.
Sistem transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang
mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah
asam empedu.
2. Proses Imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal
pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu
sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit.
Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.

Manifestasi Klinis

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi

adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan

muncul manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran

empedu dan bilirubin.3,4

44
Diagnosis2,3,4

Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara


kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini
obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis
intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan
medikamentosa.

Anamnesis

a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.

b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal.

c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi.
45
d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-
antitripsin).

Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.

Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus
kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang
tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang
teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan
lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya
distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa
penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus
dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan
gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital.
Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya
peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus
dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain. Alagille
mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk membedakan
antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut
kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik ± 82%
dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran histopatologi
hati.

Pemeriksaan Penunjang

Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu


pemeriksaan :

46
A. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah
ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier.

Data laboratorik awal kolestasis pada bayi

Kolestasis Ekstrahepatik Kolestasis Intrahepatik

Bilirubin Total (mg/dl) 10,2±4,5 12,1±9,6

Bilirubin Direk (mg/dl) 6,2±2,6 8,0±6,8

SGOT <5XN >10 X N />800U/l

SGPT <5XN >10 X N />800U/l

GGT >5X N / >6000U/l < 5 X N/N

2) Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang


cukup sensitif, tetapi penulis lain mengatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih
baik dari pemeriksaan visualisasi tinja.

B. Pencitraan

1) Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan kholestasis.meriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus

47
biliaris intra/ekstra hepatal sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah
ada ikterus onstruksi atau ikterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah
duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat duktus
biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran bagian
proximal. Untuk membedakan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan
mudah dapat dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak
tampak pelebaran dari duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus
biliaris intra dan ekstra hepatal maka ini dapat dikategorikan obstruksi letak
rendah (distal). Pada dilatasi ringan dari duktus biliaris maka kita akan melihat
duktus biliaris kanan berdilatasi dan duktus biliaris daerah perifer belum jelas
terlihat berdilatasi. Gambaran duktus biliaris yang berdilatasi bersama-sama
dengan vena porta terlihat sebagai gambaran double vessel, dan imajing ini
disebut “double barrel gun sign” atau sebagai “paralel channel sign”. Pada
potongan melintang pembuluh ganda tampak sebagai gambaran cincin ganda
membentuk “shot gun sign”. Pada dilatasi berat duktus biliaris maka duktus
biliaris intra hepatal bagian sentral dan perifer akan sangat jelas terlihat berdilatasi
dan berkelok-kelok.

2) Schintigrafi Hati
Pemeriksaan skintigrafi ini berguna untuk mengevaluasi kelainan
obstruktif sistem bilier termasuk atresia bilier.

3) Pemeriksaan Kolangiografi
Kolangiografi intra-operatif dilakukan saat laparatomi eksplorasi pada
kasus yang kemungkinan atresia bilier tidak dapat disingkirkan dengan cara lain.
Pemeriksaan ERCP jarang dilakukan karena memerlukan anestesi umum, alat
yang canggih, serta keterampilan yang khususdan kemungkinan positif palsu yang
tinggi.

4) Biopsi Hati

48
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat
diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95% sehingga dapat membantu pengambilan keputusan
untuk melakukan la-paratomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100-
200 u atau 150-400 u maka aliran empedu dapat terjadi.

ALGORITMA DIAGNOSIS KOLESTASIS

Diagnosi Banding

 Anatomi : atresia bilier, kista koledokal, hipoplasia bilier

 Infeksi : toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, herpes simplex,

sipilis
49
 Metabolik : galaktosemi, tirosinemi

 Endokrin : hipotiroid, hipokortisol

 Genetik : sindrom Alagille, PFIC

 Lain-lain : infeksi bakteri. 4,5

Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana kolestasis adalah2 :

A. Memperbaiki aliran empedu dengan cara :


 Mengoreksi/mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada kolestasis
obstruktif dan medikamentosa pada kolestasis hepatoseluler yang dapat
diobati. Operasi portoenterostomi kasai untuk atresia bilier seyogyanya
dikerjakan pada umur < 6-8 minggu karena angka keberhasilannya mencapai
80-90 %, sementara bila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka
keberhasilannya hanya sepertiga.
 Menstimulasi aliran empedu dengan :
 Fenobarbital : dapat menginduksi enzim glukoronil transferase, sitokrom
P-450 dan NaKATPase. Dosisnya 3 – 10 mg/ kgBB/ hr dibagi dalam dua
dosis.
 Asam ursodeoksikolat : asam empedu tersier yang mempunyai sifat
hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu
primer serta sekunder. Jadi asam ursodeoksikolat merupakan competitive
binding terhadap asam empedu toksik, sebagai suplemen empedu,
hepatoprotektor serta bile flow inducer. Dosis : 10-30 mg/kgbb/hari.
 Kolestiramin  0,25 – 0,5 g/ kgBB/ hr
- Menyerap empedu toksik
- Menghilangkan gatal
 Rifampisin  10 mg/ kgBB/ hr
-  aktivitas mikrosom
- Menghambat ambilan empedu

50
B. Menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan :
 Terapi nutrisi
- Formula MCT ( medium chain trigyceride ), menghindarkan makanan
yang banyak mengandung kuprum.
 Vitamin yang larut lemak A,D,E,K
- A 5.000 – 25.000 U/ hr
- D3 0,05 – 0,2 μg/ kgBB/ hr
- E 25 – 50 IU/ kgBB/ hr
- K1 2,5 – 5 mg/ 2 – 7 x/ mig
 Mineral dan trace element  Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe

C. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya Hiperlipidemia/ xantelasma


dengan kolestipol dan pada gagal hati adalah transplantasi. Transplantasi hati
pada anak 50-70 % disebabkan oleh atresia bilier.

Prognosis

Prognosis untuk bayi dengan kolestasis dengan pengobatan dini adalah

baik. Prognosa penderita kolestasis tanpa pelaksanaan adalah buruk dan angka

ketahanan hidup kurang dari usia 2 tahun. Pada umumnya, 60-70% pasien sembuh

tanpa ada gejala sisa atau gangguan pada struktur hepatik. Sekitar 5-10%

mengalami fibrosis yang menetap atau inflamasi pada hepar dan ada sekelompok

kecil yang menderita penyakit hati seperti sirosis.2,3

51
BAB III

KESIMPULAN

Pasien By.Ny.DNS, berjenis kelamin perempuan, lahir di RSUD Dayaku


Raja, pada tanggal 02 Agustus 2019 dengan persalinan section caesaria dengan
masa kehamilan cukup bulan, yaitu 40 minggu, dan sesuai masa kehamilan. Berat
badan lahir yaitu 3100 gram dan panjang badan 49 cm.

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Penyebab dari ikterus neonantorum
antara lain, meningkatnya kadar bilirubin dan penurunan ekskresi bilirubin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya, faktor maternal, perinatal, dan
neonatus. Ikterus neonantorum diklasifikasikan menjadi dua, ikterik fisiologis dan
ikterus patologis. Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang yang mengarah ke ikterus neonantorum dan telah di
tatalaksana sesuai dengan literatur. Prognosis pada pasien ini berdasarkan
perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkannya adalah dubia
ad bonam.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. Philadelpia :
WB Saunders Company
2. Etika Risa, dkk. 2007. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian
Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo-Surabaya
3. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
4. Mansjoer, A. Dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
5. Arianti R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang : Poltekes
6. Sudigdo, dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta : HTA Indonesia
7. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And
Midwives. Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World
Organization Health.
8. Suraatmaja, S. Soettjiningsih 2000. Ikterus Neonatorum dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar ; Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah
9. Kosim, M.S dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
10. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of
Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
Pediatrics 114:297-316
11. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam :
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk
Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya; 2004.
12. Ennery P, Eidman A, Tevenson D. Neonatal Hyperbilirubinemia. New
England Journal of Medicine,2001. Vol. 344, No. 8.

53

Anda mungkin juga menyukai