Anda di halaman 1dari 66

Lab/SMF Ilmu Bedah REFLEKSI KASUS

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PENURUNAN KESADARAN dan HEMIPLEGIA e.c. SOL

EFFI SETYOADI
1110015054

Pembimbing:
DR. dr. Arie Ibrahim, Sp. BS (K)

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nyalah tugas ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Tugas ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari pembelajaran
saya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya tugas ini. Pertama-tama saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Arie Ibrahim, Sp. BS (K) selaku pembimbing klinik laboratorium ilmu
bedah.
2. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu memberikan informasi dan
sumber bacaan.
Saya sengaja menyelesaikan tugas ini untuk memenuhi salah satu tugas
pendidikan kepaniteraan klinik. Tentunya saya selaku penyusun juga
mengharapkan agar tugas ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun
bagi pembaca di kemudian hari.
Tentunya tugas ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta
kritik yang membangun sangat saya harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dari isi laporan tugas ini.

Samarinda, Desember 2016

Effi Setyoadi

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB 1 ...................................................................................Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ................................................................Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ......................................................Error! Bookmark not defined.
1.2 Tujuan Penulisan ...................................................Error! Bookmark not defined.
BAB 2 ................................................................................................................................. 1
LAPORAN KASUS............................................................................................................ 1
2.1 Identitas pasien........................................................................................................ 1
2.2 Anamnesis ............................................................................................................... 1
BAB 3 ............................................................................................................................... 11
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................Error! Bookmark not defined.
1.1 Kesimpulan ...........................................................Error! Bookmark not defined.
1.2 Saran .....................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB 4 ............................................................................................................................... 57
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 57
1.3 Kesimpulan ...........................................................Error! Bookmark not defined.
1.4 Saran .....................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB 5 ............................................................................................................................... 60
PENUTUP ........................................................................................................................ 60
1.5 Kesimpulan ....................................................................................................... 61
1.6 Saran ................................................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 61

iii
BAB 1

REFLEKSI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S
Usia : 48 tahun
Alamat : Jln. Seluang No. 84 Tenggarong Kota
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Suku : Jawa
BB : 50 kg
TB : 155 cm
MRS : Rabu, 02 November 2016

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis kepada suami dan anak pasien
di Ruang High Care Unit (HCU)

a. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan tersebut sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sebelumnya pasien terlihat sering mengantuk beberapa hari.
Pasien sebelumnya dirawat di RS swasta selama ± 4 hari. Awalnya pasien
masuk karena kelemahan pada tungkai kanan disertai tekanan darah tinggi
dan penurunan kesadaran. Pasien masuk dari IGD dan masuk dirawat oleh
dokter Sp. S dan dokter Sp. PD selama 2 hari di ICU, setelah kesadaran
membaik pasien dipindahkan diruangan selama 1 hari. Kemudian saat
diruangan kesadaran kembali menurun dan terus menurun hingga kembali
masuk ICU dan dirawat pula oleh dr. Sp. BS.

1
Sebelum dirawat, pasien jika berjalan tampak sempoyongan seperti
ingin terjatuh dengan bertumpu pada kaki kanan. Dalam beberapa tahun
ini kaki kiri dan tangan kiri pasien memang tampak lebih lemah jika
digunakan untuk beraktivitas terutama jika ingin berpakaian. Pasien
pernah beberapa kali terjatuh karena kelemahan pada anggota geraknya
tersebut. Saat terjatuh kepala tidak pernah terbentur dan tidak ada
gangguan kesadaran/ pingsan. Selain itu pasien juga memiliki keluhan
nyeri kepala hilang timbul selama ± 3 tahun ini dan menetap hingga
sekarang. Pasien mengatakan kepalanya terasa berat dan nyeri diseluruh
bagian kepala seperti ditusuk-tusuk serta tidak menjalar ke leher/ pundak.
Nyeri kepala kadang timbul jika pasien stress, banyak pikiran, kecapean
dan berkurang jika dibawa istirahat duduk. Pasien juga mengatakan nyeri
kepala tersebut kadang timbul saat pagi hari ketika ingin bangun dari
tempat tidur. Saat itu kepala terasa berat untuk diangkat dan nyeri. Namun,
setelah didiamkan selama ± 15-30 menit baru agak berkurang keluhannya.
Sebenarnya pasien sudah beberapa kali berobat ke praktek dokter
namun setelah diperiksa dikatakan bahwa pasien hanya menderita
hipertensi dan nyeri kepala saja. walaupun obat telah diminum nyeri
kepala tetap timbul dan saat kontrol ke tempat tersebut tidak dilakukan
pemeriksaan penunjang apapun hanya obat diteruskan saja. tekanan darah
pasien yang diingat biasanya 160/90, pernah paling tinggi 180/100. Pasien
sudah beberapa kali berganti dokter dan diberi obat yang sama. Pasien
juga terkadang muntah tiba-tiba berisi air, lender, atau makanan. Muntah
tanpa disertai mual terlebih dahulu. Riwayat muntah menyemprot
disangkal. Keluhan kejang (-) demam (-) pandangan kabur (-) gangguan
penglihatan (-) sesak (-) nyeri dada (-).
Setelah 3 tahun mengalami keluhan berupa nyeri kepala hilang timbul,
diperut pasien muncul benjolan yang sudah ada ± 1 tahun ini. Benjolan
awalnya kecil sebesar telur bebek, namun lama-kelamaan benjolan
tersebut membesar di bagian perut sebelah kanan atas. Keluhan nyeri
didaerah perut tidak ada. Riwayat nyeri ulu hati (-) mudah kenyang (-)
pinggang terasa sakit (-). Gangguan BAB berupa BAB keras (-) BAB

2
darah segar (-) BAB hitam seperti petis (-) BAB putih seperti dempul (-)
mencret (-). Gangguan BAK berupa BAK berwarna merah/ darah (-) BAK
seperti teh (-). Pasien merasa badannya lemas, lesu dan tidak bertenaga.
Penurunan berat badan pada pasien disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah memiliki keluhan serupa.
Riwayat operasi (-) riwayat DM (-) riwayat hipertensi (+) sudah ± 10
tahun, riwayat penyakit jantung (-) riwayat penyakit ginjal (-) riwayat
asma (-) riwayat alergi (-) riwayat kanker (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga memiliki keluhan serupa (-) riwayat DM (-) riwayat hipertensi
(+) riwayat penyakit jantung (-) riwayat penyakit ginjal (+) gagal ginjal
dan telah meninggal karena penyakit tersebut, riwayat kanker (-)
e. Riwayat Psikososial
Pasien bekerja sebagai PNS di Dinas Perkebunan Tenggarong Seberang.
Saat bekerja baik dilingkungan kerja atau pekerjaan kerja tidak ada yang
membuat pasien stress atau sakit. Namun pasien kadang mengeluhkan
jarak yang jauh dari rumah sehingga kadang capek diperjalanan.
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien senang mengkonsumsi makanan yang dibakar, seperti ayam bakar,
ikan bakar, dll. Pasien jarang berolahraga, mengkonsumsi sayuran dan
buah-buahan. Pasien tidak pernah mengkonsumsi makanan yang asin-asin
tetapi jika makan biasanya disertai kecap asin. Pasien tidak pernah
merokok dan mengkonsumsi jamu, obat herbal, dan alkohol.
g. Riwayat Obat-obatan
Pasien mengkonsumsi obat nyeri kepala namun tidak tahu nama obatnya.
Pasien mengkonsumsi obat penurun tekanan berupa amlodipin (intervask)
5 mg setiap hari sebanyak 1 tablet.

2.3 Pemeriksaan Fisik (26-10-2016)


a. Keadaan Umum
Kondisi Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis, GCS : E4V5M5

3
b. Tanda Vital
TD : 170/80 mmHg
Nadi : 100 x/i, regular, kuat angkat
Frekuensi Napas : 20 x/i, reguler
Suhu Tubuh : 36,7 C
c. Kepala dan Leher
1) Umum
Ekspresi : tampak sakit sedang
Kepala : normochepale
Rambut : normal
2) Mata
Bola mata : normal
Alis : normal
Kelopak : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Reflex cahaya : (+/+)
Pupil : isokor, bentuk bulat, diameter 5mm
3) Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal
Pendengaran : baik
4) Hidung
Penyumbatan : tidak ada
Perdarahan : (-/-)
Daya penciuman : baik
Pernapasan cuping hidung : tidak ada
5) Mulut
Bibir : sianosis (-)
Gigi : normal
Gusi : berdarah (-)
6) Leher

4
Posisi trakea : di tengah
Pembesaran KGB : tidak ada
d. Thoraks
Paru

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi


Besar dan bentuk fremitus suara (sonor / sonor) Vesikuler (+/+)
normal, gerakan sulit (sonor / sonor) (+/+)
napas simetris, dievaluasi (sonor / sonor) (+/+)
retraksi ICS (-), jarak rho (-/-), whez (-/-)
ICS normal (-/-) (-/-)
(-/-) (-/-)

Jantung
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
Iktus kordis tidak Iktus kordis sulit Batas kanan:1 jari linea S1S2 ireguler,
tampak dievaluasi parasternal dextra murmur (-), gallop
Batas kiri: 1 jari linea (-)
mid clavicula sinistra

e. Abdomen

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi


Distensi (-) Soefl, NT abdomen (-), (redup/redup/timpani) BU (+) kesan
sikatrik (-) hepar sulit dievalusi, lien (redup/redup/ timpani) normal
sulit dievaluasi, teraba (timpani/timpani/timpani)
massa (+) dikuadran Nyeri ketuk CVA sulit
kanan atas, ginjal sulit dievaluasi
dievaluasi, distensi blader Asites (-)
(-), tugor kulit baik

Teraba massa 2 jari dibawah arcus costa


berjumlah 1 buah, immobile (+), konsistensi
padat keras, permukaan berdugul, batas tidak
tegas, ukuran 4 cm x 6cm x 8cm

f. Ekstremitas
Superior
Teraba hangat, CRT < 2”
Kulit : normal, keringat (-)
Jari : clubbing finger (-)

5
Edema : (+/+) Sianosis : (-/-)
Tremor : (-/-)

Inferior
Teraba hangat, CRT < 2”
Kulit : normal, keringat (-)
Edema : (+/+) Sianosis : (-/-)
Tremor : (-/-)

Balance cairan : Input : 2399cc/24jam


Output : 2180cc/24jam
Balance : +219cc/24jam
g. Status Neurologis
GCS : E4V5M5 pupil isokor, bentuk bulat, diameter 5mm
Nervus Kranialis: I : baik
II : baik
III : pupil isokor, bentuk bulat, diameter 5mm, RC +/+
IV : baik
V : mata berkedip
VI : baik
VII : wajah simetris
VIII: baik
IX : tidak dapat dievaluasi
X : baik
XI : baik
XII : baik
Meningeal Sign: Kaku kuduk : (-)
Kernig sign : (-)
Lasegue sign: (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II: (-)
Brudzinski III: (-)

6
Brudzinski IV: (-)

Motorik: MMT: 111/000


111/000
Lateralisasi (-) / (+)
Sensorik: baik/baik
baik/baik
Refleks Fisiologis: Biceps : normal/normal
Brachialis : arefleks/arefleks
Triceps : sulit dievaluasi
Achilles : arefleks/arefleks
Patella : arefleks/arefleks
Klonus : -/-
Refleks Patologis: Tromner : -/-
Hoffman : -/-
Babinski : -/-
Chadock : -/-

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan Laboratorium (25-10-2016)

Tanggal Nilai Satuan


Leukosit 23.620 uL
RBC 3.860.000 uL
Hb 12.4 %
Hct 32.6 %
Trombosit 270.000 uL
GDS 179 mg/dl
Ureum 192,1 mg/dl
Creatinin 4,2 mg/dl
Albumin 3,2 mg/dl
Natrium 136 mmol/L
Kalium 5,5 mmol/L
Chloride 100 mmol/L
HbsAg NR
Ab HIV NR

7
2) Pemeriksaan EKG

3) Pemeriksaan Foto Thoraks

8
 Kesan : Normal Foto Thoraks

4) Pemeriksaan CT Scan

Kesimpulan : gambaran hipodens di periventrikular lateral, capsula


interna dan corona radiata serta pons dextra dengan densitas 9 HU,
suggestion Infark Cerebri Dextra, system ventrikel baik , mid line shift
(-)
Kesan : Infark Cerebri Dextra

5) USG

9
Hepar dan lien relative sulit dievaluasi, ukuran kesan normal, terdesak
oleh struktur ginjal yang membesar
Kedua ginjal tampak membesar dan tidak tampak batu didalamnya,
tampak ada gambaran sekat-sekat seperti dinding di struktur ginjal
Terdapat cairan bebas minimal
Kesan : Hidronefrosis bilateral dd polikistik kidney disease
Asites minimal

2.5 Diagnosis Kerja


Penurunan kesadaran + hemiplegia sinistra et causa SOL susp. massa
intracranial
Hidronefrosis bilateral dd polikistik kidney disease
AKI dd Akut on CKD

2.6 Penatalaksanaan
 Non Medikamentosa
o Posisikan kepala 30o
o Edukasi ke keluarga pasien tentang kondisi dan penyakit pasien saat ini
serta tindakan yang akan dilakukan
 Medikamentosa
o O2 NRM 12 lpm
o IVFD KAEN 3B 12 tpm
o Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

10
o Inj. Dexametasone 3x10mg
o Inj. Fenitoin 3x100mg
o Inj. Omeperazole 1x40mg
o SP Nicardipin 1mcg/KgBB
o B-comp 2x1 tab
o Asam Folat 1x1 tab

2.7 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad malam
Ad Funtcionam : dubia ad malam
Ad Seacationam : dubia

BAB 3

REFLEKSI KASUS

3.1 Diabetes Mellitus


3.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (PERKENI, 2006).
Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau
penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih
merupakan kumpulan gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan
oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (Suyono, 2005).

3.1.2 Klasifikasi

11
American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in
Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang
disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009):
a. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.
b. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan
sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
c. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa
faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan
genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis),
dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita
AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).
d. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami
selama masa kehamilan.

3.1.3 Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2006) :
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Tabel 3.1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus. Sumber : PERKENI, 2006

12
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan
penyaring. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan
diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa
terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan
tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan
faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2006).

Tabel 3.2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa


darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo, Ari W, 2006).
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk
menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa
darah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

13
Gambar 3.1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa
terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006.

3.1.4 Penatalaksanaan
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang
umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. (Sudoyo, Aru W, 2006). Tujuan umum penatalaksanaan
diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang
diabetes. Tujuan khusus penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua
yaitu (PERKENI, 2006) :
a. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa
darah.
b. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas diabetes melitus (PERKENI, 2006).
Penatalaksanaan diabetes melitus di Indonesia adalah berdasarkan pendekatan
dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan konsensus
penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun pilar
penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat
menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah (PERKENI, 2006) :
1) Mengikuti pola makan sehat
2) Meningkatkan kegiatan jasmani

14
3) Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur
4) Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada
5) Melakukan perawatan kaki secara berkala
6) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan
tepat
7) Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga
untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes.
8) Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

b. Terapi Gizi Medis


Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006).
Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1) Kadar glukosa darah mendekati normal
 Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
 Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
 Kadar A1c < 7%
2) Tekanan darah < 130/80 mmhg
3) Profil lipid yang berkisar normal
 Kolesterol LDL < 100 mg/dl
 Kolesterol HDL > 40 mg/dl
 Trigliserida < 150 mg/dl
4) Berat badan senormal mungkin

15
Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi
menurut konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut
PERKENI tahun 2006 adalah sebagai berikut :
1) Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetes tidak boleh lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari. Pada setiap gram
karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
2) Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalori/gram.
3) Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam
lemak seperti vitamin A, D, E, dan K.
4) Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat
adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.
5) Kebutuhan kalori, ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB
ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll (PERKENI, 2006).

c. Latihan jasmani
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang
(PERKENI,2006).
Tabel 3.3. Aktifitas fisik sehari-hari. Sumber : PERKENI, 2006

16
d. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2006). Dalam
melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat
sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, Aru
W, 2006).
1) Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI,
2006) :

a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


 Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
 Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion

17
 Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati.
c) Penghambat glukoneogenesis: metformin
 Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia.
d) Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
 Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO sebagai berikut (PERKENI, 2006) :


1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
2. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
3. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
4. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
5. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
6. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
7. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

Tabel 3.4. Obat hipoglikemia oral. Sumber : PERKENI, 2006

18
Tabel 3.5. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan
A1C (Hb-glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.

2) Insulin

19
Insulin

Basal Prandial

Def.insulin Def. Insulin


basal Prandial

Hiperglikemi hiperglikemia
saat puasa setelah makan
Gambar 3.2. Jenis Insulin

Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah


basal  insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang). Bila sasaran
glukosa darah basal telah tercapai, namun A1C belum mencapai target 
pengendalian glukosa darah prandial  insulin kerja cepat (rapid acting)
atau insulin kerja pendek (short acting). Terapi insulin tunggal atau
kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu,
dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) :
a) Penurunan berat badan yang cepat
b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c) Ketoasidosis diabetik
d) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
i) Yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
j) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
k) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni


(PERKENI, 2006) :

20
a) insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
b) insulin kerja pendek (short acting insulin)
c) insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
d) insulin kerja panjang (long acting insulin)
e) insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

Tabel 3.6. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI,


2006

Tabel 3.6. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi

21
3.1.5 Komplikasi DM Tipe 2 :
a. Komplikasi akut :
 Ketoasidosis diabetik (KAD)
 Hiperosmolar non ketotik (HNK)
 Hipoglikemia
b. Komplikasi Kronik :
 Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung
 Pembuluh darah tepi: Pembuluh darah otak
 Mikroangiopati: retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati

3.1.6 Evaluasi medis secara berkala


a) Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah
makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan
b) Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
c) EKG
d) Foto sinar-X dada
e) Funduskopi

3.1.7 Kriteria pengendalian DM


Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali
baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar
lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi
dan tekanan darah (PERKENI, 2006).

Tabel 3.7. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

22
3.2 Hipoglikemia Diabetes Mellitus
3.2.1 Definisi
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa/gula darah
rendah atau berada di bawah level normal. Glukosa, yang merupakan sumber
energi penting bagi tubuh utamanya berasal dari makanan dan karbohidrat. Nasi,
kentang, roti, susu, buah-buahan dan permen adalah beberapa dari sekian banyak
makanan yang kaya akan karbohidrat (Longo, 2011).

3.2.2 Epidemiologi
Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan DM tipe 2
dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa pada pasien dengan
DM tipe 2 risiko hipoglikemia berat rendah dalam beberapa tahun pertama (7%)
dan meningkat menjadi 25% dalam perjalanannya. Saat ini prevalensi DM tipe 2
sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi dari DM tipe 1 dan banyak pasien dengan
DM tipe 2 akhirnya memerlukan pengobatan insulin, sehingga sebagian besar
episode hipoglikemia terjadi pada pasien dengan DM tipe 2 (Shafiee, 2012).

3.2.3 Etiologi
Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasca-makan (reaktif),
hipoglikemia puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap. Hipoglikemia
pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme pencernaan, intoleransi
fruktosa herediter, galaktosemia, sensitivitas leusin, dan idiopatik. Pada
hipoglikemia puasa penyebab utamanya adalah kurangnya produksi glukosa atau
karena penggunaan glukosa yang berlebihan, sedangkan pada hipoglikemia pasien
rawat inap paling lazim disebabkan oleh penggunaan obat (Longo, 2011).
Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme
pencernaan. Pasien yang menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti
atau vagotomi dapat mengalami hipoglikemia pasca-makan. Hal ini disebabkan
karena pengosongan lambung yang cepat dengan penyerapan singkat glukosa

23
turun lebih cepat dibanding insulin. Ketidakseimbangan insulin-glukosa yang
terjadi menyebabkan hipoglikemia.
Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau
penggunaan glukosa, defek enzim, defisiensi substrat, penyakit hati kongenital,
ataupun obat-obatan. Defisiensi hormon penyebab hipoglikemia puasa karena
kurangnya glukosa dapat terjadi pada hipohipofisisme, insufisiensi adrenal,
defisiensi katekolamin, dan defisiensi glukagon. Adapun defek enzim yang
menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa adalah defek enzim
glukosa-6-fosfatase, fosforilase hati, piruvat karboksilase, fosfoenolpiruvat
karboksikinase, fructose-1,6-difosfatase, dan glikogen sintetase. Defisiensi
substrat penyebab hipoglikemia puasa adalah kurangnya produksi glukosa yang
terjadi pada kasus hipoglikemia ketotik pada bayi, malnutrisi berat, penyusutan
otot, dan kehamilan lanjut. Penyakit hati kongenital yang menyebabkan
hipoglikemia puasa karena kurangnya produksi glukosa dapat berupa kongesti
hati, hepatitis berat, sirosis, uremia, dan hipotermia. Penggunaan obat seperti
alkohol, propranolol, dan salisilat juga dapat menyebabkan hipoglikemia puasa
akibat produksi glukosa yang berkurang. Pada hipoglikemia puasa akibat
penggunaan glukosa berlebihan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme atau pada
kadar insulin memadai tetapi terdapat kelainan lain di luar pankreas.
Hiperinsulinisme disebabkan karena adanya insulinoma, insulin eksogen,
sulfonilurea, penyakit imun dengan insulin atau antibodi reseptor insulin, dan
mengkonsumsi obat-obatan seperti kuinin pada malaria falciparum, disopiramid,
dan pentamidin serta dapat disebabkan oleh syok endotoksik. Pada kasus kadar
insulin memadai tetapi terjadi hipoglikemia adalah akibat pemakaian glukosa
berlebih, dapat disebabkan oleh tumor ekstrapankreas, defisiensi karnitin sistemik,
defisiensi enzim oksidasi lemak, defisiensi 3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA liase,
dan kakeksia dengan penipisan lemak (Longo, 2011). Pasien rawat inap yang
mengalami hipoglikemia paling lazim disebabkan oleh pengunaan obat-obatan
yang diberikan. Tiga obat yang paling sering menyebabkan hipoglikemia pada
pasien rawat inap adalah insulin, sulfonilurea, dan alkohol. Diperkirakan 60%
kasus ketiga obat ini terlibat dalam diagnosis hipoglikemia (Longo, 2011).

3.2.4 Patogenesis

Pasca Makan Obat-obatan Puasa


24
Gambar 3.2. Patogenensis Hipoglikemia (Isselbacher, 2000 ; Longo, 2011).

3.2.5 Patofisiologi
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan
dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat,
dan tremor (Silbernagl dan Lang, 2010).
Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme
homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi
untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang ada

25
di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan dapat
meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon tidak
memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel (Carrol, 2007).

Gambar 3.3. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer, 2011).

Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan


meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi
dari sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh melakukan
pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan asupan
karbohidrat secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan menimbukan
gejala neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik, kolinergik, dan
berkeringat. Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah maka mungkin juga
dapat terjadi kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran (Cryer, 2011).
Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat di
tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang terkena
hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan.
Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan
terlihat letargi (kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan karena glukagon
tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang berlebihan. Sehingga terkadang
ketika seseorang mengalami hipoglikemia berat dibutuhkan penyuntikkan
glukagon. (Nelms et al, 2007).

3.2.6 Penegakkan Diagnosis

26
Diagnosis hipoglikemia dapat ditegakan bila kadar glukosa <50 mg/dl (2,8
mmol/L) atau bahkan < 40mg/dl (2,2 mmol/L). Walaupun demikian berbagai
studi fisiologis menunjukan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada
kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar
glukosa darah 55mg/dl (3 mmol/L) yang terjadi berulang kali dapat merusak
mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat (Soemandji,
2009). Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak
keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2006).
Respon regulasi non pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar
glukosa darah 63-65mg/dl (3,5-3,6mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi
diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma kurang
dari sama dengan 63 mg/dl (3,5 mmol/L) (Soemandji, 2009).

3.2.7 Terapi
a. Non Medika Mentosa
Jika kadar glukosa di bawah 70 mg/dl, makanan yang tepat yang harus
dikonsumsi untuk menaikkan glukosa darah adalah:
1) Glukosa gel 1 porsi yang jumlah sama dengan 15 gram karbohidrat.
2) 1/2 gelas atau 4 ons jus buah.
3) 1/2 gelas atau 4 ons minuman ringan biasa.
4) 1 cangkir atau 8 ons susu.
5) 5 atau 6 buah permen.
6) 1 sendok makan gula atau madu.
Langkah berikutnya adalah memeriksa kembali glukosa darah dalam 15
menit untuk memastikan kadar glukosa telah meningkat menjadi 70 mg/dl atau
lebih . Jika masih terlalu rendah, diberikan makanan serupa. Langkah-langkah ini
harus diulang sampai kadar glukosa darah adalah 70 mg/dl atau lebih (Fonseca,
2008).
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006) pedoman
tatalaksana hipoglikemiaa adalah sebagai berikut:
1) Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl.

27
2) Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (Intravena) bisa diberikan satu flakon
(25 cc) dextrosa 40% (10 gr dextrosa) untuk meningkatkan kadar glukosa
kurang lebih 25-50 mg/dL.
Manajemen hipoglikemia menurut Soemadji (2009) tergantung pada derajat
hipoglikemia, yaitu :
1) Hipoglikemia ringan
a) Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir permen atau
2-3 sendok teh sirup atau madu.
b) Bila tidak membaik dalam 15 menit, ulangi pemberian.
c) Tidak dianjurkan untuk memberikan makanan tinggi kalori seperti coklat,
kue, ice cream, cake dan lain-lain.
2) Hipoglikemia berat
a) Tergantung pada tingkat kesadaran pasien.
b) Bila pasien dalam keadaan tidak sadar, jangan memberi makanan atau
minuman karena bisa berpotensi terjadi aspirasi.
b. Medika Mentosa
Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:
1) Glukosa Oral.
2) Glukosa Intravena.
3) Glukagon (SC/IM).
4) Thiamine 100 mg (SC/IM) pada pasien alkoholisme.
5) Monitoring
Tabel 3.8. Penanganan Hipoglikemi
Kadar Glukosa (mg/dL) Terapi Hipoglikemia

< 30 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus


3 flakon

30-60 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus


2 flakon

60-100 mg/dl Injeksi IV dextrosa 40 % (25 cc) bolus


1 flakon

28
Follow up :

1. Periksa kadar gula darah 30 menit setelah injeksi.

2. Setelah 30 menit pemberian bolus 3 atau 2 atau 1 flakon dapat


diberikan 1 flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.

3.2.8 Pencegahan Hipoglikemia

Rencana perawatan diabetes dirancang untuk sesuai dengan dosis dan waktu
pengobatan dengan waktu makan dan kegiatan seseorang yang seperti biasa.
Inkompatibilitas dapat menyebabkan hipoglikemia. Misalnya, meningkatkan dosis
insulin atau obat lain yang, tapi kemudian melewatkan penggunaan insulin dapat
menyebabkan hipoglikemia (Fonseca, 2008). Untuk membantu mencegah
hipoglikemia, orang dengan diabetes harus selalu mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Obat-obatan untuk diabetes
Penyedia layanan kesehatan dapat menjelaskan obat-obat yang digunakan
untuk terapi diabetes yang dapat menyebabkan hipoglikemia dan menjelaskan
bagaimana dan kapan harus mengkonsumsi obat tersebut (Fonseca, 2008).
b. Pola makan
Seorang ahli diet dapat membantu merancang rancangan menu makan yang
sesuai preferensi pribadi dan gaya hidup. Rencana makan ini penting bagi
pengelolaan hipoglikemi. Orang-orang hipoglikemi harus makan secara
teratur, cukup makanan setiap kali makan, dan mencoba untuk tidak
melewatkan waktu makan atau makanan ringan. Beberapa makanan ringan
dapat lebih efektif daripada makanan lain dalam mencegah hipoglikemia pada
malam hari. Ahli diet dapat membuat rekomendasi untuk makanan ringan
(Fonseca, 2008).
c. Aktivitas sehari-hari
Untuk membantu mencegah hipoglikemia yang disebabkan oleh aktivitas
fisik, penyedia layanan kesehatan mungkin menyarankan:

29
1) Memeriksa glukosa darah sebelum olahraga atau aktivitas fisik lainnya dan
konsumsi camilan jika kadar gula darah di bawah 100 miligram
perdesiliter (mg/dL).
2) Menyesuaikan obat sebelum aktivitas fisik.
3) Pemeriksaan glukosa darah secara teratur dengan interval selama waktu
beraktivitas fisik dan konsumsi makanan ringan sesuai kebutuhan.
4) Memeriksa glukosa darah secara berkala setelah aktivitas fisik(Fonseca,
2008).
d. Rencana pengelolaan diabetes
Manajemen diabetes intensif untuk menjaga glukosa darah agar mendekati
kisaran normal dapat mencegah komplikasi jangka panjang yang bisa
meningkatkan risiko hipoglikemia. Mereka yang berencana melakukan kontrol
ketat harus berbicara dengan penyedia layanan kesehatan mengenai cara-cara
yanga dapat dilakukan untuk mencegah hipoglikemia dan cara terbaik untuk
mengobatinya (Fonseca, 2008).

3.2.9 Prognosis
Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah, dan
waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki prognosis
baik (dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa segera diberikan
oral glucose (dubia et malam) (Hamdy, 2013).

3.3 Stroke Non Hemorrage (SNH)


3.3.1 Definisi
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif,
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata di sebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (vaskular).
Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau
bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat
disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak
atau pembuluh atau organ distal. Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.

3.3.2 Etiologi

30
Stroke non hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari dua mekanisme
patogenik yaitu trombosis serebri atau emboli serebri. Trombosis serebri
menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis atau cabangnya, biasanya karena
arterosklerosis yang mendasari. Proses ini sering timbul selama tidur dan bisa
menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit neurologi bisa timbul
progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam beberapa jam atau hari.
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau
cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal,
seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis
biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai
trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak sendiri.
Embolisme serebri sering di mulai mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri
kepala berdenyut.

3.3.3 Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular
serebral, dapat di bagi dalam :
a. Stroke non hemoragik yang mencakup5:
1) TIA (Transient Ischemic Attack)
2) Stroke in-evolution
3) Stroke trombotik
4) Stroke embolik
5) Stroke akibat komperesi terhadap arteri oleh proses di luar arteri seperti
tumor, abses, granuloma.
b. Berdasarkan subtipe penyebab3:
1) Stroke lakunar
2) Stroke trombotik pembuluh besar
3) troke embolik
4) Stroke kriptogenik
3.3.4 Faktor risiko
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan
yang dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2006) di RSUD

31
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto mengenai gambaran faktor-faktor risiko
penderita stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%,
diikuti dengan diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97%. Faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan
hampir 13% berumur di bawah 45 tahun.
b. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria
lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan
angka kematiannya masih belum jelas.
c. Heriditer
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi,
penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan riwayat
stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah
mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko
terkena stroke.
d. Ras atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih. Data
sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku
Jawa (khususnya Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:


a. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu lima
tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai
42%.
b. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai
enam kali ini sering di sebut the silent killer dan merupakan risiko utama
terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Semakin tinggi
tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena mempermudah

32
terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah, sehingga mempermudah
terjadinya penyumbatan atau perdarahan otak.
c. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, paska
oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering
menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya
pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh
darah otak.
d. Diabetes Melitus (DM)
Kadar glukosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Menurut penelitian
Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan desain case
control, penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke 3,39 kali
dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus. Komplikasi
jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh – pembuluh kecil
(mikroangiopati) dan pembuluh – pembuluh besar (makroangiopati).
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetic), glomerulus ginjal (nefropati diabetic) dan
saraf – saraf perifer (neuropati diabetic), otot – otot serta kulit.
Makroangiopati mempunyai gambaran histopatologi berupa arterosklerosis.
Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh defisiensi insulin
tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat, sehingga terjadilah hiperglikemia
berat dan apabila melebihi ambang batas reabsorbsi oleh ginjal maka timbulah
glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia).
Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang (polifagia) mungkin akan timbul
dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan cairan elektrolit. Ketika tubuh
kehilangan cairan maka darah mengalami kepekatan yang membuat darah
menggumpal atau dengan kata lain mengalami trombosis. Trombosis adalah
proses kompleks yang berhubungan dengan proses terjadinya aterosklerosis

33
yang selanjutnya dapat menghasilkan penyempitan pembuluh darah yang
mengarah ke otak5,8
e. (Transient Ischemic Attack) TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat
akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan
tingkat penyembuhan bervariasi namun biasanya dalam 24 jam. Jika diobati
dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan mengalami stroke dalam
3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam
lima tahun setelah serangan pertama.
f. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas.
Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna
klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam
plasma sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor
dalam serum, ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein yaitu
kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas
rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat
lipoprotein, LDL memiliki kadar kolesterol tertinggi, sedangkan VLDL
memiliki kadar trigliserida tertinggi, kadar protein tertinggi terdapat pada
HDL. Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan atau trigliserida
serum di atas batas normal, kondisi ini secara langsung atau tidak langsung
meningkatkan risiko stroke, merusak dinding pembuluh darah dan juga
menyebabkan penyakit jantung koroner.
g. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
melitus. Obesitas merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke.
h. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan
perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan
karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding
pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah sehingga
mempermudah terjadinya proses gumpalan darah.

34
3.3.5 Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagai neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal
darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60ml per 100 gram jaringan otak per
menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840
ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang
terdiri dari arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian
depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah
vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior
bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus
Willisi.
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak
selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut
dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam
pembuluh darah yang memperdarahi otak diantaranya dapat berupa:
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis
dan thrombosis.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
c. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak

35
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjani kelainan di system motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang
terkena.

3.3.6 Gejala Klinis


Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah
di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi
tempat gangguan peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak mengalami
penurunan, menurut penelitian Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non
hemoragik tidak terdapat hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran,
kesadaran seseorang dapat di nilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS).
Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik (hemiparese),
sensorik (anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan, gerakan yang canggung
serta simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi,
defeksi, salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi, memori, emosi) yang merupakan
sifat khas manusia, dan gangguan koordinasi (sindrom serebelar):3,5
a. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat
seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri.
b. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya.
Asinergia adalah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan
suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik
dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter
atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis, dimana tidak biasa
gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan supinasi.
Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
c. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
d. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan
kedua kaki ditelapakkannya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam
hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap
sehingga bergoyang-goyang.
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana pendeita
stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan

36
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula
sebaliknya dan sebagian juga terjadi hemiparese dupleks, pendeita stroke non
hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya
kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai
mengakibatkan kelumpuhan. Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan
insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan dengan pengelompokan gejala dan
tanda berikut yang tercantum dan disebut sindrom neurovaskular :16
a. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral)
1) Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis.
2) Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi
arteria serebri media
3) Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
b. Arteri serebri media (tersering)
1) Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan).
2) Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral.
3) Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi
yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi.
4) Disfagia
c. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
1) Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai.
2) Defisit sensorik kontralateral.
3) Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
d. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
1) Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
2) Meningkatnya reflek tendon.
3) Ataksia.
4) Tanda Babinski bilateral.
5) Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo.

37
6) Disfagia.
7) Disartria
8) Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
9) Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
10) Gangguan penglihatan dan pendengaran
e. Arteri serebri posterior
1) Koma
2) Hemiparese kontralateral
3) Afasia visual atau buta kata (aleksia)
4) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.

3.3.7 Pemeriksaan Fisik


Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami, pemeriksaan neurologik
terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini:
a. Status mental
b. Nervus kranial
c. Fungsi motorik
d. Reflek
e. Fungsi sensorik
f. Fungsi serebelar
3.3.8 Pemeriksaan Laboratorium dan Teknik Pencitraan
Pemeriksaan laboratorium standar biasanya di gunakan untuk menentukan
etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi.
Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan etiologi yaitu pemeriksaan
kadar gula darah, dan pemeriksaan lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia:
a. Gula darah
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat
hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik di
jumpai 30% dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu menebalkan
pembuluh darah otak yang besar, menebalnya pembuluh darah otak akan
mempersempit diameter pembuluh darah otak dan akan mengganggu

38
kelancaran aliran darah otak di samping itu, diabetes melitus dapat
mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang
lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke.
b. Profil lipid
LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. LDL
merupakan komponen utama kolesterol serum yang menyebabkan
peningkatan risiko aterosklerosis, HDL berperan memobilisasi kolesterol dari
ateroma yang sudah ada dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke
empedu, oleh karena itu kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif dan
dengan cara inilah kolesterol dapat di turunkan, namun penurunan kadar HDL
merupakan faktor yang meningkatkan terjadinya aterosklerosis dan stroke.

Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan menggunakan


teknik pencitraan diantaranya yaitu:
a. CT scan
Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang peka untuk
mendeteksi stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT
scan dapat memberi hasil tidak memperlihatkan adanya kerusakan hingga
separuh dari semua kasus stroke non hemoragik.12
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi stroke non
hemoragik ringan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak pada setiap
kasus. Alat ini kurang peka dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
perdarahan intrakranium ringan.12
c. Ultrasonografi dan MRA (Magnetic Resonance Angiography)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama, MRA
khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma intrakranium dan
malformasi pembuluh darah otak.12
d. Angiografi otak

39
Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X ke
dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat
memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.

3.3.9 Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non
hemoragik. Diperlukan pengobatan sedini mungkin. Penatalaksanaan yang cepat,
tepat dan cermat memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir
pengobatan.
a. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
1) Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset < 3 jam dan hasil
CT scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di
rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
2) Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
a) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
b) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah
yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
c) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut,
ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada
hipertensi beri obat antihipertensi.
3) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
b. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
1) Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10%
di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1 jam jika
onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak
yang luas.

40
2) Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau
amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
3) Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas
infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila
terdapat salah satu hal berikut :
a) Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan hipertensi neurologis
seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi
maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
b) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120
mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
c) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana
tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
4) Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya
sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan
maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5%
dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan
dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif lain dapat
diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah
yang rendah pada stroke maka harus di naikkan dengan dopamin atau
debutamin drips.
5) Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda
klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun,
gangguan pernafasan atau stroke dalam evolusi.
6) Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
7) Pertimbangkan MRI pada pasien dengan stroke vertebrobasiler atau sirkulasi
posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.

41
8) Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam,
20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai
masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
a) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
b) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
c) Stroke dalam evolusi
d) Diseksi arteri
e) Trombosis sinus dura
9) Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien
stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit
katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral
(warfarin) sampai minimal satu tahun.

Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang


adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga
pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus di nilai (perhatikan
saat pasien mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di
berikan melalui selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti
bermanfaat untuk pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat
dikelompokkan atas tiga kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat
trombosit dan trombolitika:19
a. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah. Obat
yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin.
b. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi
trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang
terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan
ini adalah aspirin, dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol,
clopidogrel.20
c. Trombolitik juga disebut fimbrinolitik berkhasiat melarutkan trombus
diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan
perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,
alteplase, urokinase, dan reteplase.

42
3.3.10 Komplikasi
Kebanyakan morbiditas dan mortilitas stroke berkaitan dengan komplikasi
non neurologis yaitu:2
a. Demam
b. Kekurangan nutrisi
c. Hipovolemia
d. Hiperglikemi dan hipoglikemi
e. Dekubitus
f. Defisit sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta visuospasial
g. Trombosis vena
h. Infeksi vesika, pembentukan batu, gangguan sfingter vesika

3.3.11 Pencegahan
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan menghindari rokok, stres
mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan
amfetamin, kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam
makanan. Menggendaliakan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
penyakit vaskular aterosklerotik lainya. Perbanyak konsumsi gizi seimbang dan
olahraga teratur.
Pencegahan skunder dengan cara memodifikasi gaya hidup yang berisiko
seperti hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus dengan diet
dan obat hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan
oral, dislipidemia dengan diet rendah lemak dan obat antidislipidemia, berhenti
merokok, hindari kegemukan dan kurang gerak.

3.3.12 Prognosis
Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit
neurologis yang dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang
terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari
80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan
tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. pasien yang selamat dari
periode akut, sekitar satu setengah sampai dua pertiga kembali fungsi independen,
sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.

43
3.4 Nefropati Diabetikum
3.4.1 Definisi
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 mg/menit) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 – 6 bulan. Di Amerika,
nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara
semua komplikasi DM (Sudoyo, 2006).

3.4.2 Epidemiologi
Diabetes mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab
utama stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa
yang diawali dengan nefropati diabetik (Ayodele, 2004). Angka kejadiannya
nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2
sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien DM tipe 2 lebih banyak
daripada tipe 1 (Kronenberg, 2008). Sementara itu, tidak ada perbedaan yang
begitu signifikan kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita (Batuma,
2011).

3.4.3 Etiologi
Faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik antara lain
(Hendromartono, 2006):
a. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140 – 160 mg/dl
[7.7 – 8.8 mmol/l]); dimana A1C > 7 – 8 %
b. Faktor-faktor genetis
c. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
d. Hipertensi sistemik
e. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
f. Inflamasi
g. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
h. Asupan protein berlebih
i. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced
glycation end products, peningkatan produksi sitokin)

44
j. Pelepasan growth factors
k. Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
l. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus)
m. Gangguan ion pump (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ -
ATPase pump)
n. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
o. Aktivasi protein kinase C

3.4.4 Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari
pada DM tipe 1 daripada tipe 2, dibagi menjadi 5 tahapan (Sudoyo, 2006).
Tahap 1
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang
disertai dengan hiperfiltrasi dan hipertropi ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masib reversible dan berlangsung 0-5
tahun sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa
darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal
kembali.
Tahap 2
Pada tahap ini terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat
perubahan morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap
meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan
stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung
lama. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.
Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (Silent Stage) atau disebut juga tahap
asimptomatik.
Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi albumin
dalam urin adalah 20 – 200 ig/menit (30 – 300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai
meningkat. Secara histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis
dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan

45
tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat
bertahun0tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa
dan tekanan darah yang kuat.
Tahap 4
Tahap ini merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut dan juga timbul
hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada
tahap ini. LFG menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
Tahap 5
Ini adalah tahap gagal ginjal atau End Stage Renal Failure, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik,
dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok
ginjal.

Gambar 3.4. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik

3.4.5 Patofisiologi
Hingga saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron
yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut (Sudoyo,
2006).
Mekanisme terjadinya peningkatan LFG pada nefropati diabetik masih
belum jelas, tetapi diduga disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi

46
nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Proses ini
akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul
serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap menurut Mogensen.
Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan
mendorong sklerosis pada ginjal pasien DM. diperkirakan bahwa hipertensi pada
DM terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau
intraglomerulus (Sudoyo, 2006). Teori patogenesis nefropati diabetik menurut
Viberti (Permanasari, 2010) :
a. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati
diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah
kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat
kejadian nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti ini menunjukan bahwa
hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati tidak ada yang meragukan,
ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati
dapat kembali normal bila kadar glukosa darah terkontrol.
b. Glikolisasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik
asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang
akan menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products).
Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka
panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan
merusak seluruh glomerulus.
c. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran
utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah
meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan
mengakibatkan kurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu
osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.

47
d. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang
disolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah
penimbunan matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga dapat terjadi
nefropati diabetik.
e. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati
diabetik disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita
diabetes dengan hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan
penderita diabetes tanpa hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung
adanya hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan
hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat lain akan
menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut. Jika dilakukan penurunan tekanan
darah, maka penyakit ini akan reversible.
f. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan
fungsi ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif
lainnya. Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan
terjadinya filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi.
Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan
kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi tubuler
terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein dalam sel
epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin,
osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor factor ini
akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan
infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan
akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal
pada jaringan ginjal sebagai bagian dasar terjadinya nefropati diabetik adalah

48
terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomerulus.
Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya
penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang
akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen
serta fibrosis tubulo intertitial. Berbagai fakto berperan dalam terjadinya
kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitasi) pada
penderita yang mempunya predisposisi genetik merupakan faktor-faktor
utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati diabetik.
Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur (Bethesda,
2010) :
1) Alur metabolik (metabolik pathway)
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi
secara proses non enzimatik dengan asam amino bebsa menghasilkan
AGEs (Advance Glycosilation End-products) peningkatan AGEs akan
menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi
jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol
pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya
reduksi glukosa oleh aktivasi enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol
akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan
gangguan osmolaritas membran basal.

49
Gambar 3.5. Patogenesis Nefropati Diabetik
2) Alur Hemodinamik
Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi
akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel
pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali dengan peningkatan
hormon vasoaktif seperti angiotensin II. Angiotensin II juga berperan
dalam perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara
hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain
merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatnya tahanan kapiler
arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein
matriks ekstraselular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik.
Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas
faktor non Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endoteol kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa
pada penderita denga mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM
tipe2, lebih banyak terjadi kematian akbiat kardiovaskular dari pada akibat
GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabettik kidney disease masih

50
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana ada penderita ini
hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes
ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan
langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progresive ke
arah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease.

Dari kedua faktor di atas maka akan terjadinya peningkatan TGF beta
yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler.
TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraselular matriks yang berperan
dalam terjadinya nefropati diabetik (Bethesda,2010).
Patogenesis terjadinya kelainan vaskuler pada DM meliputi terjadinya
imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh
darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel
juga berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah, terutama
angiotensin 2. Dipihak lain hiperinsulinemi seperti yang tampak pada DM tipe 2
atau pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik
yang akan menambah perubahan yang terjadi akibat angiotensin pada sel otot
polos pembuluh darah maupun pada sel mesangia. Jelas baik faktor hormonal
maupun metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskuler
diabetis (Sudoyo, 2006).
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut
yang kemudian berfungsi dan berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur
biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur
pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi jalur intraseluler
(Sudoyo, 2006).
Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan
adanya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh
sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida
teroksidasi (NAD), sorbitol akan dioksidasi menjadi fluktosa. Sorbitol dan
fluktosa keduanya tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat hidrofilik, sehingga lamban
penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol
intraseluler, dan sel akan berkembang , bengkak akibatnya masuk air ke dalam sel

51
karena proses osmotik. Sebagai lain akibat keadaan tersebut, akan terjadi pula
imbalans ionik dan imbalans metabolik yang secara keseluruhan akan
megakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait (Sudoyo, 2006).
Aktifitas jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH,
diikuti dengan menurunnyarasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP. Rasio
sitosol NADPH terhadap NADP ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi
pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP ini dikenal
sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal ini yang penting pula adalah bahwa sitosol
NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defends antioksidans.
Glutein reduktase juga memerlukan sitosol NADPH untuk menetralisasikan
sebagai oksidans intraseluler. Menurunnya rasio NADPH dengan demikian
menyebabkan terjadinya stress oksidatif yang lebih besar. Terjadinya
hiperglikosolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan pengaruh pada
beberapa jalur metabolik lain seperti terjadinya glikasi nonenzimatik intraselular
dan aktivasi preotein kinase C (Sudoyo, 2006).
Proses glikaso protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun
ektraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stress oksidatif yang
meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi
protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya oerubahan
pada jaringan dan perubahan pada sifat sel melalui terjadinya Cross linking
protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan
fungsi sel secara langsung, dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan
pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri
(Sudoyo, 2006).
Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE
(RAGE-Reseptor for Advance Glycation End Product) mungkin merupakan hal
penting untuk meudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah
perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen activated
protein kinase (MAPK) dan transformasi inti dari factor transkipsi gen target
terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan (Sudoyo,
2006).
Jalur Protein Kinase (Sudoyo, 2006).

52
Hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan menyebabkan
meningkatnya diasigliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya
peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut kemudian
akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan
vasoreaktivasi melalui keadaan meningkatnya endotelin 1 dan menurunnya e-
NOS. peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga
menyebabkan terbentuknya sitolin serta berbagai factor pertumbuhan seperti TGF
Beta dan VEGF. Protein Kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivasi
fibronolis. Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan
yang selanjutnya akan mengarah kepada proses angiopati diabetic (Sudoyo,
2006).
Jalur Stres Oksidatif (Sudoyo, 2006)
Stress oksidatif terjadi apabila ada peningkatan pembentukan radikal bebas
dan menurunnya system pentralan dan pembuangan tadikal bebas tersebut.
Adanya peningkatan stress oksidatif pada penyandang diabetes akan
menyebabkan terjadinya proses autooksidatif glukosan dan berbagai substrat lain
seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stress oksidatif juga akan
menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian
berlanjut denan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stress oksidatif
pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya peroksidasi
membran lipid, aktifasi factor transkripsi (NF-kB), peningkatan oksidasi LDL dan
kemudan juga pembentukan produk glikasi lanjut.
Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan
spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies-ROS). Produk glikasi lanjut akan
memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi
pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies oksigen reaktif akan merusak lipid
dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian
memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan structural dan perubahan
fungsi protein (pembuluh darah, membran sel dsb).

53
Seperti yang telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur
biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM
melibatkan berbagai proses patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM.
Inflamasi (Sudoyo, 2006)
Dari pembicaraan diatas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar
mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antara lain
aktivasi jalur reduktase aldosa, stress oksidatif, terbentuknya jalur akhir glikasi
lanjut atau prekursornya serta aktifasi PKC, yang semua itu akan menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan merubah sifat berbagai protein
penting, dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta
factor pertumbuhan seperti TGF-B dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti
molekul adhesi (ICAM,VICAM,E-selectin,P-selectin dsb.) dengan jelas sudah
terbuktinya meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda
adanya proses inflamasi yaitu CPR dan NF-kB, pada penyandang DM juga jelas
meningkat seiring dengan meningkatnya kadar Alc. Jelas bahwa proses inflamasi
penting pada terjadinya komplikasi kronik DM.
Peptida Vasoaktif (Sudoyo, 2006)
Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah dan
disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin
merupakan peptida pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin
juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan
pada penyandang DM dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya
proliferasi sel seperti otot polos pembeluh darah. Insulin juga mempunyai
pengaruh lain yaitu sebagai hormon vasaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO
dari endotel mempunyai pengaruh terhadap terjadinya vasodilatasi pembuluh
darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose
dependent). Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia
pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun.
Peptida vasoaktif yang lain adalah angiotensin II, yang dikenal berperan
pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskuler
dan jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi melalui 2 macam
reseptor yaitu reseptor ATI dan reseptor 2, sebagian besar reseptor fisiologis

54
terhadap angiotensin II memakai Accinhibitor, terbukti dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskuler.
Prokoagulan (Sudoyo, 2006)
Segera setelah terjadinya aktivasi PKC akan terjadi penurunan fungsi
fibrolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi
yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan
pembuluh darah. Pada penyandang DM dengan adanya gangguan terhadap
pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan
menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM
dengan demikian jelas adanya peran factor prokoagulasi ada kemungkinan
terjadinya komplikasi kronik DM.
PPAR (Sudoyo, 2006)
Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagai jaringan vascular dan berbagai
kelainan vascular, terutama pada sel oto polos, endotel dan monosit. Ligand
terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai PPAR alpha yang didapatkan respons
inflamasi yang memanjang jika distimulasikan dengan berbagai stimulus. Pada sel
otot polos pembuluh darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbuka dapat
menghambat signal proinflamotori akibat rangsangan sitolin dari NF-kB dan API.
Dari beberapa kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga
sebab terjadinya komplikasi kronik DM (Sudoyo, 2006).
Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya
komplikasi kronik DM serta kelanjutan keterlibatan berbagai proses patobiologik
lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut
progresi komplikasi vascular diabetes adalah hiperglikemia, resistensi insulin,
sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apapun jalur mekanisme yang
terjadi dan proses lain yang terlihat yang terpenting adalah adanya hiperglikemia
kronik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia). Apakah
dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan hiperglikemia ini kemudian dapat
terbukti akan menurunkan komplikasi kronik DM (Sudoyo, 2006).

3.4.6 Diagnosis
Pada saat diagnosa DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan

55
rutin DM. Pemantauan yang dianjurkan oleh ADA antara lain pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens
kreatinin. Untuk mempermudah evaluasi klirens kreatinin, dapat digunakan
perhitungan LFG dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault, yaitu
(Sudoyo, 2006).

3.4.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda
progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum
menjadi gagal ginjal terminal.
a. Evaluasi
Apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau
makroalbuminuria.
b. Terapi
Pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah
dengan:
1) Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes);
2) Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi);
3) Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE inhibitor dan
atau ARB);
4) Pengendalian faktor-faktor komorbiditas lain (pengendalian kadar lemak,
mengurangi obesitas, dll) (Sudoyo, 2006).
c. Tatalaksana non-farmakologis
Tatalaksana nonfarmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang
sehat yang meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan kebiasaan merokok
serta membatasi konsumsi alkohol. (Sudoyo, 2006).
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah < 130/80 mmHg. Obat
anti hipertensi yang dianjurkan antara lain ACE inhibitor atau ARB, sedangkan
pilihan lain adalah diuretik, kemudian beta blocker atau calcium channel blocker
(Sudoyo, 2006).
Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berjalan terus, saat LFG
mencapai 10 – 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit atau
serum kreatinin > 6 mg/dl), dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau

56
peritoneal dialisis). Pilihan pengobatan lain untuk gagal ginjal terminal adalah
cangkok ginjal, dan di negara-negara maju sudah sering dilakukan cangkok ginjal
dan pankreas sekaligus (Sudoyo, 2006).

3.4.10 Prognosis
Nefropati diabetik jarang berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10
tahun pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari pasien dengan NIDDM
yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th)
biasanya ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada pasien
dengan IDDM dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD pada pasien
dengan proteinuria dan IDDM adalah 50%, 10 tahun setelah onset proteinuria,
dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah onset proteinuria pada pasien
Eropa dengan NIDDM.

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Fakta
Perempuan : laki-laki = 3-6 : 1 Pasien adalah seorang laki-laki berusia 37 tahun

57
Paling banyak pada usia 10-15 tahun.5
Keluhan yang sering timbul pada pasien Keluhan yang dialami pasien:
hipertiroid, antara lain: 1. Sesak napas saat aktivitas
1. Penurunan berat badan meskipun nafsu
2. Palpitasi
makan tinggi
3. Mudah lelah
2. Intoleransi panas
4. Senang di tempat yang dingin
3. Palpitasi
5. Berkeringat banyak
4. Tremor
6. Nafsu makan berkurang
5. Hiperdefekasi (peningkatan frekuensi yang
7. Berat badan turun
dibentuk oleh pergerakan usus)
6. Lelah
7. Insomnia
8. Ansietas
9. Irritabilitas
10. Sesak saat aktivitas

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori Fakta
Pada pasien thyrotoksikosis dapat ditemukan: Pada pasien ini ditemukan:
1. Pembesaran kelenjar thyroid 1. Pembesaran kelenjar thyroid
2. Palpitasi 2. Exopthalmos
3. Exopthalmos 3. Retraksi palpebral
4. Tremor 4. Keterlambatan palpebral
5. Retraksi palpebra 5. Hiperkinesis
6. Keringat berlebih 6. Tremor jari
7. Atrial fibrilasi 7. Tangan lembab
8. Nadi > 90 x/menit
9. Fibrilasi atrium

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Fakta
Darah Lengkap Darah lengkap
(23 Februari 2014):
1. WBC : 14.600/uL
2. RBC : 4.400.000/uL
3. HGB : 11.8 g/dL
4. HCT : 33.7%
5. PLT : 123.000

58
Kimia Darah Lengkap Kimia darah lengkap
(23 Februari 2014):
1. GDS : 118 mg/dl
2. Ureum : 21.8 mg/dl
3. Creatinin: 0.6 mg/dl
4. Natrium : 127 mmol/L
5. Kalium : 3.8 mmol/L
6. Chlorida : 97 mmol/L
(24 Februari 2014):
1. SGOT : 56 U.I
2. SGPT : 44 U.I
3. Alkali phospatase : 183 U.I
4. Gama GT : 119 U.I
5. Bilirubin total : 28.3 mg/dl
6. Bilirubin direct : 14.1 mg/dl
7. Bilirubin indirect : 14.2 mg/dl
8. Albumin : 3.0 g/dl

Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan Serologi


(23 Februari 2014):
1. HbsAg (stick) : (+) R
2. Ab HIV : (-) NR

(24 Februari 2014):


1. AFP : < 0.61 ng/ml
2. T3 : 3.99 ng/ml
3. T4 : > 24.86 ng/dl
4. TSH : < 0.05 uiu/ml

Elektrokardiografi Elektrokardiografi
Kesimpulan : Atrial fibrillation with normal
ventricular response (AF NVR)
Ultrasonography Ultrasonography
Kesimpulan : Hepatitis kronis

4.4 Penatalaksanaan
Teori Fakta
1. Terapi suportif 1. Masuk rumah sakit (MRS)
2. Terapi simtomatik 2. IVFD NaCl 0.9%  12 tpm
3. Terapi yang ditujukan untuk gangguan 3. Propylthiouracil 3x200 mg
tiroid 4. Paracetamol 3x500 mg

59
Rekomendasi ACC/AHA/ESC tentang 5. Propranolol 3x40 mg
tatalaksana AF pada pasien hipertiroidisme
6. Injeksi furosemid 2x1 amp
adalah:
1. Pemberian beta bloker untuk menekan laju 7. Spirola 25 mg 1-0-0
denyut ventrikel pada pasien AF akibat 8. Rencana tindakan trial puncture untuk
tirotoksikosis bukan kontraindikasi. (levels menentukan cairan efusi
of Evidence : B)
2. Bila oleh suatu sebab penyekat beta tak
dapat diberikan, maka obat kalsium
antagonis (diltiazem atau verapamil) dapat
diberikan sebagai penekan laju denyut
ventrikel. (levels of Evidence : B)
3. Pemberian antikoagulan oral dengan target
INR 2-3 pada pasien AF dengan
tirotoksikosis, direkomendasikan untuk
mencegah stroke. (levels of Evidence : C)
4. Sekali keadaan eutiroid telah kembali
seperti semula, pemberian antikoagulan
profilaksis masih diperlukan, sama halnya
dengan pasien tanpa hipertiroidisme.
(levels of Evidence : C)

BAB 5

PENUTUP

60
5.1 Kesimpulan
Stenosis mitral reumatik berawal dari demam reumatik, suatu peradangan
non supuratif pada berbagai jaringan tubuh dengan berbagai manifestasinya,
misalnya otak (khorea) dan jantung (karditis). Stenosis mitral merupakan
kelainan katup yang utama, awalnya terjadi pada orang dewasa yang
merupakan kelanjutan dari penyakit jantung reumatik yang didapat pada masa
anak-anak.
Gambaran klinis dapat bervariasi bergantung pada gangguan
hemodinamik yang terjadi seperti dispneu, PND, hemoptisis, palpitasi, dada,
suara parau (hoarseness). Gambaran radiologis pada foto thorax didapatkan
pembesaran atrium kiri. Pada gambaran radiologis dapat terlihat Auricle kiri
yang menonjol, main bronchus kiri yang terangkat, pendorongan oesophagus
ke dorsal, pendorongan oesophagus ke lateral kanan contour yang ganda,
aorta thorakalis descendens yang menjauhi vertebra. Pada gambaran
ekokardiografi didapati pembesaran atrium kiri dan tanda kalsifikasi pada
katup mitral yang membentuk gambaran mulut ikan. Pada gambaran CT-Scan
juga menunjukkan adanya kalsifikasi pada katup dan pembesaran atrium kiri.
Penatalaksanaan medikamentosa hanya digunakan untuk mengurangi
gejala saja, mitral stenosis biasanya dapat dikontrol dengan pengobatan dan
membaik dengan valvuloplasty atau pembedahan. Tingkat mortalitas post
operatif pada mitral commisurotomy adalah 1-2% dan pada mitral valve
replacement adalah 2-5%.

5.2 Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan atas penyusunan
tugas ini, sehingga diharapkan sekali kepada rekan-rekan sejawat sekalian atas
kritik dan saran yang membangun demi bertambahnya khazanah ilmu
pengetahuan kita bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Baumgartner, H., Hung, J., Bermejo, J., Chambers, J. B., Evangelista, A., Griffin,
B. P., et al. (2009). Echocardiographic assessment of valve stenosis:

61
EAE/ASE recommendations for clinical practice. European Journal of
Echocardiography, 10, 1-25.

Bonow, R., Carabello, B., Chatterjee, K., de Leon, JR, A., Faxon, D., Freed, M.,
et al. (2008). 2008 Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2006
Guidelines for the Management of Patients With Valvular Heart Disease.
Journal of the American College of Cardiology, 52: e1-142.

Callaway M, Wilde P. (2006). Acquired heart desease: the chest radiography. In:
Sutton D. Tekst book or radiology and imaging. 7nd ed. 1st vol.
London:Churchill livingstone. P:284

Carabello, B. A. (2005). Modern Management of Mitral Stenosis. Circulation,


112:432-437.

Carletton PF, O’donnell, Madeline M. (2003). Penyakit katup jantung. In: Rice
SA, Wilson LM, ed. Patofisiologi. 6th ed. 1st vol. Jakarta : EGC; P: 616-
61.

Chandrashekhar, Y., Westaby, S., & Narula, J. (2009). Mitral Stenosis Seminar.
Lancet, 374: 1271-1283.

Dima, C (2014), Mitral Stenosis. Medscape, 1-5

Debeasy LC. (2003). Anatomi sistem kardiovaskuler. In: Rice SA, eds.
Patofisiologi. 6th ed. 1st vol. Jakarta : EGC; P: 517-520.

Demirbag, R., Sade, L. E., Aydin, M., Bozkurt, A., & Acarturk, E. (2013). The
Turkish registry of heart valve disease. Arch Turk Soc Cardiol, 41(1):1-10.

El-Soud, M. A., Zaki, N., & El Kilany, W. (2011). Correlation Between Left
Atrial Linear Dimensions and Left Atrial Volume Index. Heart Mirror
Journal, 374-377.

Fauci, D., & Longo, D. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine, 17th
Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc. All
Right reseved.

Iung, B., Baron, G., Butchart, E. G., Delahaye, F., Gohlke-Barwolf, C., Levang,
O. W., et al. (2003). A Prospective survey of patients with valvular heart
disease in Europe: The Euro Heart Survey on Valvular Heart Disease.
European Heart Journal, 24, 1231-1243.

Krtai LH, Lofgren R, Meholic AJ. (2006). Cardiovascular desease.


In:Fundamental of chest radiology. 2nd ed. USA: Elsevier Saunder. P:
218-219.

62
Kuncoro, A. S. (2010). Pemeriksaan Stenosis Mitral Akibat Proses Rheumatik
Dengan Ekokardiografi. Jurnal Kardiologi Indonesia, 31: 62-65.

Lang, R. M., Bierig, M., Devereux, R. B., Flachskampf, F. A., Foster, E., Pellikka,
P. A., et al. (2006). Recommendations for chamber quantification.
Elsevier, 7, 79-108.

Mettler F, A. (2005). Essentials Of Radiology. 2nd Ed. USA: Elsevier Saunders.


P: 128

Messika-Zeitoun, D., lung, B., Brochet, E., Himbert, D., Serfaty, J.-M., Laissy, J.-
P., et al. (2008). Evaluation of mitral stenosis in 2008. Elsevier Masson,
101, 653-663.

Rahimtoola, S. H., Durairaj, A., Mehra, A., & Nuno, I. (2002). Current Evaluation
and Management of Patients With Mitral Stenosis. Circulation, 106:1183 -
1188.

Sahn, D., DeMaria, A., Kisslo, J., & Weyman, A. (1978). Recommendations
regarding quantitation in M-mode echocardiography: result of a survey of
echocardiographic measurements. Circulation, 58: 1072 - 1083.

Selzer, A., & Cohn, K. E. (1972). Natural History of Mitral Stenosis: A Review.
Circulation, 45 : 878 - 890.

Turi, Z. G. (2004). Mitral Valve Disease. Circulation, 109:e38-e41.

Yusak M. (2004). Stenosis Mitral. In : Rilantono LI, eds. Buku ajar kardiologi.
5th. Jakarta: Gaya baru. P: 135-138.

63

Anda mungkin juga menyukai