OLEH KELOMPOK 11 :
Otonomi
Indonesia mempunyai fondasi semangat kebangsaan yang kuat di tengah realitas
keberagaman. Hal ini bisa dilihat dari sejarah pendirian Negara yang diperoleh dari
penyatuan kedaulatan kebangsaan-kebangsaan kecil di daerah. Oleh karena itu, pengakuan
terhadap keberadaan entitas masyarakat daerah di era kemerdekaan melalui kebijakan
desentralisasi menjadi mandate sejarah yang sulit dielakkan
Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan otonomi daerah, yakni:
Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pasca orde baru membawa
konsekuensi logis pada pemerintahan untuk segera mengubah diri. Segala macam
kebijakan dan regulasi yang berbau orde baru yang sentralistis diubah sedemikian besarnya
menjadi sangat desentralisasi. Kebijakan radikal (big bang) desentralisasi diperkenalkan
pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999. Dua undang-undang ini lahir
untuk merespons dua kondisi sosial politik yaitu merebaknya tuntutan daerah untuk
memperoleh otonomi yang lebih luas.
Prinsip Otonomi
Sejak ketetapan MPR No. XXI Tahun 1966 prinsip dalam otonomi daerah bersifat
seluas-luasnya dan kemudian berkembang menjadi otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan , kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri , pertahanan keamanan ,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata
ada dan diperlukan serta tumbuh hidup , dan berkembang di daerah , sedangkan yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah
dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemeberian otonomi , berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik , pengembangan kehidupan demokrasi , keadilan , pemerataan , serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD bersumber dari pajak daerah , retribusi daerah ,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan , dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah (yang meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan,
jasa giro, pendapatan bunga , keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, dan komisi, potongan , ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah). Dalam upaya meningkatkan
PAD , pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan tentang pendapatan yang
menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan
impor/ekspor, sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ketentuan mengenai
pajak daerah , retribusi daerah , dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
2. Dana Perimbangan. Dana perimbangan terdiri atas: (i) dana bagi hasil, (ii) dana alokasi
umum, dan (iii) dana alokasi khusus, yang jumlahnya ditetapkan setiap tahun anggaran
dalam APBN.
(i) Dana Bagi Hasil. Dana ini bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana
bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) , Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) , dan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21 dibagi antara pusat , provinsi dan kabupaten/kota.
(ii) Dana Alokasi Umum. Jumlah DAU keseluruhan ditentukan sekurang-
kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah ini adalah untuk
seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota. Dasar untuk menentukan berapa
jumlah DAU yang diterima oleh satu daerah (provinsi, kabupaten/kota) adalah
apa yang disebut celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan
fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal, sedangkan alokasi dasar dihitung
berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah
merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan
umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah
penduduk , luas wilayah , indeks kemahalan konstruksi , produk domestik
regional bruto per kapita , dan indeks pembangunan manusia . Kapasitas fiskal
daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana
bagi hasil.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan rasio kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas
dasar celah fiskal untuk satu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah
provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal
daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah
provinsi. Perhitungan yang sama berlaku juga untuk daerah kabupaten/kota.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol( kebutuhan
fiskalnya=kapasitas fiskalnya) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah
yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari
alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah
fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dihitung dengan memakai data yang
diperoleh dari lembaga statistic pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah
merumuskan formula dan penghitungan DAU dengan memperhatikan
pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penghitungan DAU per provinsi ,
kabupaten, dan kota ditetapkan dengan keputusan Presiden dan disalurkan
setiap bulan sebelum bulan bersangkutan , masing-masing sebesar 1/12 (satu
perdua belas) dari DAU daerah yang bersangkutan. Jumlah DAU yang diterima
oleh kabupaten/kota sekitar 9 kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh
semua provinsi. Salah satu sebab adalah jumlah kabupaten/kota jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah provinsi di Indonesia.
(iii) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK dialokasikan kepada daerah tertentu yang
ditetapkan setiap tahun dalam APBN untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam
APBN. Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria
umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan dalam APBD. Kriteria khusus
ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan
karakteristik daerah. Dan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian
Negara/departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana
pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana pendamping
tersebut dianggarkan dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu
tidak mewajibkan menyediakan dana pendamping.
3. Lain-lain Pendapatan. Lan-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan
pendapatan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat.
Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah
pusat. Hibah dituangkan dalam satu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan
pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Tata cara pemberian,
penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur
dalam Peraturan Pemerintah.Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal
dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional
dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan
menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana
nasional dan atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden. Pemerintah dapat
mengalokasikan dana darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami krisis
solvabilitas. Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi
pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Krisis solvabilitas
ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
E. Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat yang dananya bisa dari dalam
negeri atau dari luar negeri. Pinjaman daerah mungkin berupa:
a. Pinjaman Jangka Pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang
atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajibanpembayaran kembali pinjaman
yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam
tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka pendek ini hanya dapat
dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas dan dapat dilaksanakan tanpa minta
persetujaun DPRD.
b. Pinjaman Jangka Menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih
dari atu ahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi
pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak
melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini
digunakan untuk membiayai penyediaan layanan umumyang tidak menghasilkan
penerimaan.
c. Pinjaman Jangka Panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka wkatu lebih
dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi
pokok pinjaman, bunag dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran
berikutnya sesuai dengan persyaratan. Pinjaman jenis ini digunakan untuk membiayai
proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.
Pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pinajamna harus memenuhi persyaratan
berikut ini:
a. pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah, serta pinjaman dari pihak lain tidak
boleh dipakai sebagai jaminan
b. Pemerintah daerah yang bersangkutan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian
pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat.
c. Jumlh sisa pinjaman daerah ditambah jumalh pinjaman yang aakan ditarik tidak
melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.
d. Rasio kemmapuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh
pemerintah pusat dan Obligasi daerah.
Penerbitan Obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah, di mana ditentukan bahwa
kepala daerah terlebih dahulu harus mendapatkan persetujan DPRD dan dari pemerintah
pusat. Penerbitan obligasi daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal. Pengelolaan obligasi daerah diselenggarakan oleh kepala daerah yang
sekurang-kurangnya meliputi:
Penerimaan dari investasi sector publik yang dibiayain melalui obligasi daerah digunakan
untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok obligasi daerah terkait dan sisanya
disetorkan ke kas daerah.
Seluruh kewajiban pinjaman pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan
dalam APBD tahun anggaran yang bersagkutan dan pemerintah daerah wajib melaporkan
posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada pemerintah pusat setiap
semester dalam tahun anggaran berjalan. Jika, laporan tersebut tidak dibuat pemerintah
pusat dapat menunda penyaluran dana perimbangan yang menjadi hak pemerintah daerah
bersangkutan. Sedangkan jika pemerintah daerah tidak dapat memenuhi kewajibannya
maka kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana
Bagi Hasil dari penerimaan Negara yang menjadi hak pemerintah daerah yang
bersangkutan.