Anda di halaman 1dari 6

Setelah saudara mahasiswa/i membaca inisiasi 8 dan buku-buku referensi lainnya, silahkan

saudara berpendapat di forum diskusi 8 tentang "Bagaimana keterkaitan antara manajemen


konflik dengan strategi negosiasi pada perilaku organisasi" jelaskan secara ilmiah dengan
dukungan sitasi dan sumber referensi yang jelas.

Selamat berdiskusi

Salam

tengku ramly/tutor

Konflik

Konflik dalam Bahasa Latin adalah configure, artinya saling memukul. Achmad Sobirin
(2016) mengatakan konflik merupakan perilaku yang muncul ke permukaan (overt behavior) yang
disebabkan seseorang atau sekelompok orang menganggap upayanya untuk mencapai tujuan
dihalangi oleh orang lain atau sekelompok orang lain.

Konflik, menurut Bercovitch (2004) dalam buku dikatakan bahwa “ Conflict is defined as a
process of interaction between two or more parties that seek to thwart, injure, or destroy their
opponent because they perceive they have incompatible interest or goals.”
Hal ini sejalan dengan definisi konflik yang diberikan oleh Robbins (2008) yaitu sebuah
proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi
secara negatif atau akan memengaruhi secara negatif pada sesuatu yang menjadi kepedulian atau
kepentingan pihak pertama.
Dari beberapa definisi di atas, maka konflik terkait erat dengan persepsi. Konflik timbul
ketika ketidakselarasan persepsi individu yang satu dengan yang lain, artinya satu individu merasa
bahwa hal-hal yang yang dimiliki individu lain mempengaruhi persepsi individu tersebut.
Jika dikaitkan dengan organisasi, konflik pada individu yang terjadi ketika adanya
ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta, ketidaksepahaman yang disebabkan oleh
ekspetasi perilaku, dan lain-lain. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan
karena individu membawa ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, seperti fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain-lain.
Konflik terjadi ketika dua entitas sosial mengalami beberapa hal berikut:
(1) Mereka terlibat dalam suatu kegiatan yang sama namun tidak memiliki keselarasan dalam
kebutuhan dan kepentingan masing-masing;
(2) Perbedaan preferensi terhadap arti kepuasan;
(3) Membutuhkan suatu sumber daya (resources) yang sama namun memiliki perbedaan waktu
untuk mendapatkannya.
Situasi organisasi yang menjadikan konflik organisasi merupakan sebuah keniscayaan
diantaranya adalah terus-menerus terjadi perubahan; semakin beragamnya komposisi karyawan;
semakin banyak aktivitas organisasi yang dikerjakan berbasis tim kerja; semakin seringnya
digunakan komunikasi tidak langsung; dan semakin tingginya globalisasi yang mengakibatkan
terjadinya transaksi lintas budaya.
Proses terjadinya konflik bermula dari faktor-faktor yang potensial menimbulkan konflik,
lalu diikuti oleh pemahaman dan personalisasi faktor tersebut. Dari sinilah kemudian konflik
muncul ke permukaan yang hasilnya bisa positif, tetapi bisa juga negatif.
Secara umum konflik terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) konflik kepribadian, (2) konflik
antarkelompok, dan (3) konflik lintas budaya.
Negosisasi
Negosiasi, menurut Achmad Sobirin (2016) didefinisikan sebagai proses pengambilan
keputusan dengan cara saling menerima dan memberi (take and give) antara pihak-pihak yang
saling bergantung, tetapi masing-masing pihak memiliki preferensi berbeda.
Negosiasi merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah konflik
dalam organisasi. Sedangkan menurut menurut Ivancevich (2009) negosiasi adalah sebuah proses
di mana dua pihak atau lebih yang berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan. Selain
Ivancevich, Robbins ( 2008) menyatakan bahwa negosiasi adalah sebuah proses di mana dua pihak
atau lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati nilai tukarnya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa negosiasi merupakan sebuah proses dimana ada dua pihak atau
lebih mencari kesepakatan yang terjadi karena adanya perbedaan pendapat oleh keduanya. Oleh
sebab itu, pendapat yang berbeda-beda dapat menimbulkan sebuah konflik yang dapat diredam
dengan menggunakan metode negosiasi.
Negosisi dibedakan menjadi dua yaitu distributive dan integratif.
(1) Tipe distributif, yaitu mekanisme pengambilan keputusan dalam negosiasi yang bertujuan
memenangkan tawar-menawar, dimana salah satu pihak berusaha memenangkan tawar-
menawar tanpa memedulikan apakah pihak lawan merasa menang atau kalah sehingga
proses negosiasi biasanya tidak bertele-tele dan pihak lain dipaksa kalah (win-lose) atau
jika pihak lain juga bersikukuh pada pendiriannya, bisa menyebabkan situasi saat keduanya
kalah (lose-lose) atau tidak terjadi kesepakatan.
(2) Tipe integratif, dimana negosiator berusaha secara optimal untuk mencapai kesepakatan,
sehingga tidak jarang kedua belah pihak berkolaborasi untuk mencapai kesepakatan yang
sesungguhnya, dan kedua belah pihak merasa menang (win-win).
Proses negosiasi merupakan suatu hal yang penting agar negosiasi mencapai tujuan dan memenuhi
kepentingan ke dua belah pihak atau lebih. Dalam proses negosiasi ada beberapa tahap yang perlu
diperhatikan menurut Robbins (2008), yaitu:
(1) Persiapan dan perencanaan: Tahap awal sebelum melakukan negosiasi ke dua belah pihak
atau lebih perlu mengetahui apa tujuan dari mereka melakukan negosiasi dan memprediksi
apakah hasil yang mungkin diperoleh dari yang terbaik hingga yang terburuk.
(2) Definisi aturan-aturan dasar: Seteleh melakukan tahap persiapan dan perencanaan,
selanjutnya kedua belah pihak atau lebih menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar
untuk ngosiasi. Seperti siapa yang melakukan perundingan? Di mana perundingan akan
dilangsungkan? Kendala waktu apa, jika ada, yang mungkin akan muncul? Pada persoalan-
persoalan apa saja negosiasi dibatasi? Adakah prosedur khusus yang harus diikuti jika
menemui jalan buntu? Dalam fase ini, para pihak juga akan bertukar proposal atau tuntutan
awal mereka.
(3) Klarifikasi dan justifikasi: Setelah mengetahui dan menentukan aturan-aturan dasar, baik
pihak pertama maupun kedua harus dapat memberikan pemaparan, menguatkan,
mengklarifikasi, mempertahankan, dan menjustifikasi tuntutan awal.
(4) Tawar menawar dan pemecahan masalah: Dalam tahap ini terjadi proses tawar-menawar
dan mencari solusi yang didapatkan dari hasil negosiasi yang dilakukan oleh kedua belah
pihak atau lebih.
(5) Penutupan dan implementasi: Fomalisasi kesepakatan yang dibuat berdasarkan hasl
negosiasi setelah itu menyusun prosedur untuk melaksanakan hasil dari negosiasi tersebut,
melakukan implementasi dari hasil negosiasi tersebut, dan melakukan pengawasan
pelaksanaan.
Perilaku Organisasi
Perilaku organisasi merupakan suatu bidang studi yang menyelidiki pengaruh yang dimiliki
individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi yang bertujuan menerapkan
ilmu pengetahuan guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi (Robbins, 2008). Achmad
Sobari (2016) mengatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang studi terapan yang mengkaji
hubungan antar manusia dalam organisasi, serta hubungan antara manusia dan organisasi yang
semua itu diharapkan menjadikan organisasi semakin efektif dan kepuasan kerja karyawan
meningkat. Untuk itu, diharapkan perilaku organisasi bisa mendeskripsikan, menjelaskan dan
memprediski, serta mengendalikan perilaku manusia dalam organisasi.

Manajemen Konflik dan Strategi Negosiasi dalam Perilaku Organisasi


Konflik tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial karena konflik itu sendiri timbul dari
interaksi sosial yang dilakukan masyarakat, yaitu individu yang memiliki persepsi yang berbeda-
beda. Namun, konflik tersebut dapat dicegah apabila antarindividu meyakini bahwa orang lain
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap dirinya melainkan menganggap orang lain sebagai
teman untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan.
Dalam organisasi, salah satu bentuk hambatan yang ada adalah konflik yang disebabkan
ketidakselarasan perilaku dari individu, kelompok dan struktur dalam suatu organisasi. Namun
konflik juga dapat menjadi suatu peluang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan lebih
efektif dan efisien sehingga organisasi tidak bersifat statis.
Konflik itu sendiri dapat diatasi dengan cara melakukan negosiasi. Bentuk negosiasi yang
dapat dilakukan dengan cara kompetisi, kolaborasi, penghindaran, akomodasi, dan kompromi.

Apabila negosiasi antara dua pihak tidak mencapai kata sepakat, kelompok atau organisasi yang
bernegosiasi dapat melakukan langkah alternatif dengan mengundang pihak lain. Pihak lain
tersebut dapat berkedudukan sebagai mediator, arbitrator, konsiliator, dan konsultan (Robbin &
Judgge, 2011). Menurut pemahamannya, pihak ketiga biasanya tidak memiliki posisi keterlibatan
kuat dalam penyelesaian perselisihan, namun mencoba membantu pihak-pihak yang konflik.

 Mediasi adalah situasi di mana pihak ketiga yang netral menggunakan penalaran,
pemberian usulan, dan persuasi dalam kapasitasnya sebagai fasilitator. Para mediator ini
memfasilitasi penyelesaian masalah dengan mempengaruhi bagaimana pihak-pihak yang
terlibat dalam negosiasi berinteraksi. Para mediator tidak memiliki otoritas yang
mengikat, pihak-pihak yang terlibat bebas mengacuhkan usaha mediasi ataupun
rekomendasi yang dibuat oleh pihak ketiga.
 Arbitrase adalah situasi di mana pihak ketiga memiliki wewenang memaksa terjadinya
kesepakatan. Robbins ( 2008 ) kelebihan arbitrase dibanding mediasi adalah bahwa
arbitrase selalu menghasilkan penyelesaian.
 Konsiliasi adalah seseorang yang dipercaya oleh kedua pihak dan bertugas
menjembatani proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang konsiliator
tidak memiliki kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir negosiasi seperti
seorang mediator.
 Konsultasi adalah situasi di mana pihak ketiga, yang terlatih dalam isu konflik dan
memiliki keterampilan penyelesaian konflik, berupaya memfasilitasi pemecahan
permasalahan dengan lebih memusatkan hubungan antarpihak ketimbang isu-isu yang
substantif.

Hal ini perlu diketahui oleh manajer atau pimpinan perusahaan dalam suatu organisasi
karena implikasi konflik dapat membuat organisasi menjadi konstruktif apabila manajer atau
pimpinan perusahaan dapat melakukan manajemen konflik dengan baik ataupun juga dapat
menjadi dekonstruktif apabila manajer atau pimpinan perusahaan tidak dapat melakukan
manajemen konflik.
Konflik akan selalu ditemukan manajer atau pimpinan perusahaan dalam berbagai situasi.
Oleh sebab itu, seorang manajer atau pimpinan perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi
dalam mengatasi konflik dalam organisasi, yaitu:
(a) Kompetisi
Strategi ini dapat digunakan ketika membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat,
persoalan penting, perlu menerapkan kebijakan yang tidak populer, persoalan vital menyangkut
keselamatan organisasi
(b) Kolaborasi
Strategi ini dapat digunakan untuk menemukan solusi antara dua kubu berkepentingan, ketika
tujuan utamanya adalah untuk belajar, ketika ingin menyatukan pandangan dari orang-orang yang
memiliki perspektif berbeda
(c) Penghindaran
Seorang manajer atau pimpinan perusahaan dapat menggunakan penghindaran ketika terdapat
persoalan lain yang lebih mendesak, potensi kerusakan yang akan diterima lebih besar dari
manfaatnya, pihak lain dapat menyelesaikan masalah lebih baik
(d) Akomodasi
Manajer atau pimpinan perusahaan sebaiknya menggunakan akomodasi ketika berada di pihak
yang salah, saat ingin memuaskan suatu pihak dan menjaga kerjasama, sangat membutuhkan
stabilitas & harmonisasi, karyawan dapat berkembang dari kesalahan
(e) Kompromi
Strategi ini dapat digunakan ketika perlu mencapai tujuan tetapi tidak sebanding dengan usaha
yang dikeluarkan, solusi yang bijaksana atau aman saat dibawah tekanan, rencana cadangan jika
kolaborasi dan kompetisi tak berhasil
Selain itu, manajer juga sebaiknya menggunakan intregrative bargaining karena lebih
efektif daripada distributive bargaining. Hasilnya akan lebih memuaskan semua orang dan
membangun hubungan yang baik. Distributive bargaining memang dapat menyelesaikan masalah
tetapi tak semua pihak merasa puas karena konfrontasi dan fokus pada jangka waktu yang pendek.
Dalam dunia industri, terkait dengan hubungan industrial, yakni hubungan antara
pekerja/buruh dan pengusaha adakalanya juga bisa terjadi pertentangan-pertentangan, perbedaan-
perbedaan atau konflik, sehingga menimbulkan apa yang dinamakan perselisihan hubungan
industrial.
Hubungan Industrial berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk diantara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, karyawan atau
pekerja, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tersebut, pihak-pihak
yang terlibat dalam hubungan industrial meliputi pengusaha, karyawan, dan pemerintah.
Agar hubungan ketenagakerjaan antara pengusaha dengan pekerja berjalan dengan baik,
ada bebepara prinsip hubungan industrial yang harus dipenuhi. Menurut Batubara (2008) dalam
Ramly (2016), ada tujuh prinsip hubungan industrial, yaitu:
(a) Kepentingan bersama pengusaha, pekerja, masyarakat, dan pemerintah;
(b) Kemitraan dan saling ketergantungan;
(c) Hubungan fungsional dan pembagian tugas;
(d) Kekeluargaan;
(e) Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman kerja;
(f) Peningkatan produktivitas; dan
(g) Peningkatan kesejahteraan bersama
Di Indonesia dalam hubungan industrial, dikenal dengan nama Hubungan Industrial
Pancasila (HIP). Dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila maka tidak dikenal adanya sikap
saling bermusuhan dan penindasan di antara para pelaku hubungan industrial. Pendekatan yang
ada di dalam Hubungan Industrial Pancasila adalah pendekatan kesatuan, yaitu pendekatan yang
selalu menekankan kepada kebersamaan, kemitraan, dan keharmonisan antara para pelaku
hubungan industrial. Pendekatan kesatuan ini termasuk dalam lingkup perspektif fungsional.
Agar Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dapat dilaksanakan dengan baik, maka perlu
upaya yang dilakukan oleh pengusaha, pekerja, maupun pemerintah. Untuk itu perlu pembudayaan
HIP yang keberhasilannya diukur dengan menggunakan indikator-indikator yang terjadi pada
masyarakat industri. Ada tiga hal yang perlu dipahami untuk dapat melaksanakan HIP secara
mendalam, yaitu:
(1) Perangkat lunak yang berupa falsafah HIP yang menuntut adanya sikap mental dan sikap sosial
dari para pelaku proses produksi.
(2) Perangkat keras yang berupa sarana pelaksanaan HIP. Sarana ini relatif mudah dilaksanakan,
mudah dirasakan, dan mudah pula mengukur dan mengevaluasi keberhasilannya.
(3) Penanganan masalah khusus, yaitu adanya perhatian khusus terhadap berbagai masalah di
dalam praktek hubungan industrial, di mana apabila masalah tersebut tidak ditangani secara
baik akan dapat berakibat timbulnya permasalahan yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA
Bercovitch, Jacob. (2004). Regional Guide to International Conflict and Management from 1945
to 2003. Washington: CQ Press
Ramly, A.T. (2018). Perilaku Organisasi - Lembar Inisiasi 7 UT Online. Diakses pada 12
November 2018 dari https://elearning.ut.ac.id
Ramly, A.T. (2018). Hubungan Industrial Di Indonesia - Lembar Inisiasi 8 UT Online. Diakses
pada 12 November 2018 dari https://elearning.ut.ac.id
Sobirin, Achmad. (2016). Perilaku Organisasi (Edisi Kedua Cetakan Kedua). Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka.
Stephen, Robbin (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Prentice Hall

Anda mungkin juga menyukai