Anda di halaman 1dari 67

ANALISIS FISKAL STRESS PADA KABUPATEN KOTA

DI SUMATERA UTARA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
PETA PROVINSI SUMATERA UTARA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA
ABSTRAK

ANALISIS FISKAL STRESS PADA KABUPATEN KOTA


DI SUMATERA UTARA

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan belanja modal/pembangunan dan
pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap fiscal stress kabupaten/kota di
Sumatera Utara.
Penelitian ini menggunakan sampel 25 (dua puluh lima) dari 33 (tiga puluh
tiga) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama periode 6 tahun dari tahun 2004-
2009. Variabel pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan belanja
modal/pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) menggunakan data tahun
2004-2008, sedangkan untuk variabel fiscal stress menggunakan data tahun 2005-
2009. Dengan menggunakan metode analisis regresi berganda dan model efek acak
dengan melakukan pengujian asumsi klasik yaitu normalitas, multikolinearitas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Hasil penelitian menunjukkan secara secara simultan Pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan dan
Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian
Haryadi (2002), Jimenez (2007) dan Condrey (2010). Secara parsial hanya variabel
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berpengaruh signifikan terhadap
fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Sedangkan variabel Pertumbuhan
Belanja Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB tidak berpengaruh
signifikan dengan tingkat alpha 5 % terhadap Fiscal Stress di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa 6 % variabel Fiscal Stress dapat
dijelaskan oleh Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB. Sisanya sebesar 94 %
diduga dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.

Kata Kunci: Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja


Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB, fiscal
stress.

i
EXECUTIVE SUMMARY

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut dan sesuai dengan


semangat Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 tersebut maka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan penerimaan berupa dana
transfer pemerintah pusat yang merupakan bentuk perimbangan yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara.
Fenomena yang ada di Sumatera Utara menunjukkan adanya disparitas
(kapasitas) fiskal yang tinggi antar daerah memasuki era otonomi. Beberapa daerah
tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki sumber- sumber
penerimaan yang potensial, yang berasal dari pajak, retribusi daerah, maupun
ketersediaan sumber daya alam yang memadai yang dapat dijadikan sumber
penerimaan daerah. Namun, disisi lain bagi beberapa daerah, otonomi bisa jadi
menimbulkan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan untuk meningkatkan
kemandirian daerah. Daerah mengalami peningkatan tekanan fiskal (fiscal stress)
yang lebih tinggi dibanding era sebelum otonomi. Daerah dituntut untuk
mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk
mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat.
Berdasarkan data bahwa rata-rata persentase Pendapatan Asli Daerah di
Sumatera Utara hanya sebesar 3.5 %. Sedangkan kebutuhan untuk memenuhi belanja
daerah sepenuhnya masih bergantung dari pembagian dana perimbangan. Selain itu
peningkatan persentase belanja juga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
daerah yang disebabkan oleh banyak faktor internal dan eksternal.
Latar belakang dari adanya fenomena fiskal stress ini karena adanya
fenomena yang terjadi dimana lahirnya Undang-Undang No.28 tahun 2009 Tentang
Pajak dan Retribusi Daerah. Sebelum adanya UU tersebur beberapa wewenang

ii
daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah masih dipungut dan disetor kepada
Pemerintah Pusat. Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, suatu bentuk apresiasi
pelaksanaan otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang semakin besar
kepada Daerah dalam rangka penyelenggaran Pemerintah Daerah yang berbasis
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masih minimnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD), basis pajak daerah yang masih terbatas, banyaknya Peraturan Daerah
bermasalah perihal pemungutan, dan lemahnya pengawasan pungutan daerah yang
dikarenakan sistem pengawasan masih bersifat represif juga penerapan sanksi yang
belum maksimal.
Propinsi Sumatera Utara memiliki 33 Kabupaten/Kota, setiap kabupaten/kota
diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan daerahnya yang diharapkan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerahnya. Dan setiap
Kabupaten/Kota memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). dibuat
untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah,
berapa besar biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja
pemerintah tersebut.
PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
memiliki peranan yang besar sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Penurunan kegiatan ekonomi
diberbagai daerah juga menyebabkan penurunan PAD daerah sehingga menghambat
pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh
pemerintah daerah secara otonom. Begitu juga sebaliknya peningkatan kegiatan
ekonomi diberbagai daerah akan meningkatkan PAD daerah sehingga pelaksanaan
kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah
tidak terhambat. UU No. 28 tahun 2009 merupakan peraturan yang memuat pajak
daerah dan retribusi daerah, dimana di dalamnya terdapatnya empat jenis pajak baru
yang diberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah yaitu Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

iii
Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya menjadi wewenang pusat, Pajak Sarang
Burung Walet sebagai pajak Kabupaten/Kota serta Pajak Rokok yang merupakan
pajak baru bagi Propinsi. Disamping itu juga terdapat empat jenis retribusi baru bagi
daerah yaitu Retribusi Pelayanan Tera Ulang, Retribsui Pendidikan, Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Hasil penelitian menunjukkan secara simultan Pertumbuhan Pendapatan Asli
Daerah, Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi/PDRB berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Haryadi (2002), Jimenez
(2007) dan Condrey (2010).
Secara parsial hanya variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
yang berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara. Sedangkan variabel Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan dan
Pertumbuhan Ekonomi/PDRB tidak berpengaruh signifikan dengan tingkat alpha 5
% terhadap Fiscal Stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
Atas hal tersebut maka rekomendasi kepada Gubernur serta Bupati/Walikota
pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara agar memanfaatkan peluang dari adanya
UU No.28 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah dimana dengan berlakunya UU
tersebut yang efektif mulai dari tanggal 01 Januari 2010 maka dapat memperkecil
terjadinya gap fiskal stress yang ada sehingga dapat meningkatkan kemandirian
Propinsi Sumatera Utara. Upaya yang dilakukan dengan meningkatkan pos Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah serta mengoptimalkan BUMD sebagai salah satu
komponen sumber pendapatan daerah Provinsi Sumatera Utara.
Bagi Bapak/Ibu Anggota Dewan DPRD Provinsi Sumatera Utara agar
melakukan pengawasan lebih intens atas UU No.28 Tentang Pajak dan Retribusi
Daerah dimana berlakunya UU tersebut yang efektif mulai dari tanggal 01 Januari
2010 karena dapat meningkatkan kemadirian Provinsi Sumatera Utara melalui
peningkatan pos penerimaan pada APBD Kabupaten Kota di Sumatera Utara.

iv
DAFTAR ISI

Abstrak i
Executive Summary ii
Daftar Isi v

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Penelitian 1
1.2. Perumusan Masalah 7
1.3. Batasan Masalah 8
1.4. Tujuan Penelitian 8
1.4. Manfaat Penelitian 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS 10


2.1. Fiscal Stress 10
2.1.1. Pendapatan Asli Daerah 11
2.1.2. Belanja Modal 12
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi 14
2.1.4. Pengaruh Pertumbuhan PAD terhadap Fiscal Stress 16
2.1.5. Pengaruh Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan terhadap Fiscal Stress 17
2.1.6. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Fiscal Stress 18
2.2. Riviu Penelitian Terdahulu 19
2.3. Kerangka Konseptual 21
2.4. Hipotesis Penelitian 22

BAB III METODE PENELITIAN 23


3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian 23
3.2. Variabel Penelitian 23
3.3. Populasi dan Sampel 25
3.4. Model Analisis 27
3.4.1. Uji Asumsi Klasik 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 28


4.1. Deskripsi Data Penelitian 30
4.2. Analisis Data 30
4.2.1. Uji Asumsi Klasik 30
4.3. Hasil Analisis Dengan SPSS 34
4.4. Model Uji Hipotesis 34
4.4.1. Uji Signifikan Simultan (Uji F) 34
4.4.2. Uji Signifikan Parsial (Uji t) 35
4.5. Analisis Data dengan E-Views 37

v
4.5.1. Pemilihan Model 37
4.5.2. Hasil Analisis 37
4.6. Pembahasan 40

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 54


5.1. Kesimpulan 54
5.2. Keterbatasan Penelitian 54
5.3. Rekomendasi 54

DAFTAR PUSTAKA 56

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Untuk mengatasi permasalahan yang menghambat pencapaian tingkat
kesejahteraan masyarakat, Pemerintah (Daerah) sebagai penyelenggara
pembangunan dan sekaligus abdi masyarakat, harus dapat merencanakan
pembangunan, kini dan di masa yang akan datang. Sehingga untuk mendukung
koordinasi antar pelaku pembangunan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat,
menjamin tercapainya sumber daya secara efisien dan berkeadilan serta menjamin
terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergis diperlukan suatu dokumen
perencanaan, yaitu melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
yang sesuai dengan amanah pasal (3) dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Provinsi Sumatera Utara memiliki
33 Kabupaten/Kota, yang terdiri dari Medan, Pematang Siantar, Binjai, Tobasa,
Tebing Tinggi, Sibolga, Padang Sidempuan, Karo, Deli Serdang, Samosir, Taput,
Tapsel, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Padang
Lawas, Padang Lawas Selatan, Kota Gunung Sitoli, Tanjung Balai, Simalungun,
Langkat, Serdang Bedagai, Dairi, Asahan, Humbahas, Batubara, Tapanuli Tengah,
Madina, Pakpak Bharat, Nias Utara, Nias dan Nias Selatan. Masing-masing
kabupaten/ kota ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan namun
disamping itu tergambar pula keterbatasan kemampuan untuk mengelola baik dari
Pemerintahan Daerah maupun dari masyarakat.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut dan sesuai dengan


semangat Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang – Undang No. 33 Tahun 2004 tersebut maka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan penerimaan
berupa dana transfer pemerintah pusat yang merupakan bentuk perimbangan yang
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

Meskipun memberikan manfaat positif bagi pengembangan daerah,


kebijakan otonomi dinilai terlalu cepat dilakukan, terlebih ditengah-tengah upaya

1
daerah melepaskan diri dari belenggu krisis moneter (Saragih, 2003). Secara
eksplisit Brojonegoro (2003) menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi dinilai
sebagai penerapan pendekatan Big Bang dikarenakan pendeknya waktu persiapan
untuk negara yang besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan.
Otonomi daerah dilaksanakan pada saat daerah mempunyai tingkat kesiapan yang
berbeda, baik dari segi sumber daya maupun kemampuan manajerian daerah.

Nanga (2005) menunjukkan adanya disparitas (kapasitas) fiskal yang tinggi


antar daerah memasuki era otonomi. Beberapa daerah tergolong sebagai daerah
yang beruntung karena memiliki sumber- sumber penerimaan yang potensial,
yang berasal dari pajak, retribusi daerah, maupun ketersediaan sumber daya alam
yang memadai yang dapat dijadikan sumber penerimaan daerah. Namun, disisi
lain bagi beberapa daerah, otonomi bisa jadi menimbulkan persoalan tersendiri
mengingat adanya tuntutan untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah
mengalami peningkatan tekanan fiskal (fiscal stress) yang lebih tinggi dibanding
era sebelum otonomi. Daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi
maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk mengurangi tingkat
ketergantungan terhadap pemerintah pusat.

Berikut disajikan kondisi keuangan Kabupaten Kota di Sumatera Utara


yang menampilkan profil kondisi keuangan yang menunjukkan adanya gejala
fiscal stress terdapat pada Tabel 1.1 berikut :

2
Tabel 1.1 : Kondisi Keuangan Kabupaten KotaTahun 2009 (Dalam Jutaan)
Total Belanja % %
Obs KABUPATEN DAU DAK DBH PAD
Transfer Dearah PAD/Transfer Transfer/Belanja
1 Kab. Nias 149250.49 50210.77 8620.85 208082.11 7250 346371 3.48% 60.07%
Kab.
Mandailing
2 Natal 385221 52781 30759 468761 10683 574656 2.28% 81.57%
Kab. Tapanuli
3 Selatan 274928 54190 45632 374750 30998 529958 8.27% 70.71%
Kab. Tapanuli
4 Tengah 311655.65 49299.9 23251.42 384206.97 15500 311450 4.03% 123.36%
Kab. Tapanuli
5 Utara 360547 60756 27106 448409 7809 547347 1.74% 81.92%
Kab. Toba
6 Samosir 279899 50019 28578 358496 14012 490243 3.91% 73.13%
Kab. Labuhan
7 Batu 296250.14 41591.2 47600.85 385442.19 34651.44 247111 8.99% 155.98%
8 Kab. Asahan 446561 77532 38141 562234 20044 648828 3.57% 86.65%
Kab.
9 Simalungun 634437 77477 73565 785479 39113 937193 4.98% 83.81%
10 Kab. Dairi 327835 48026 26346 402207 9134 439818 2.27% 91.45%
11 Kab. Karo 393390 49370 19705 462465 24293 655106 5.25% 70.59%
Kab. Deli
12 Serdang 804029 95766 123956 1023751 102735 1318989 10.04% 77.62%
13 Kab. Langkat 597473 63972 132839 794284 31605 938838 3.98% 84.60%
Kab. Humbang
14 Hasundutan 260055 49257 30023 339335 13949 388606 4.11% 87.32%
Kab. Serdang
15 Bedagai 396352 75214 46266 517832 25439 621646 4.91% 83.30%
16 Kota Sibolga 211207 37461 22186 270854 11515 324942 4.25% 83.35%
Kota Tanjung
17 Balai 227872 41326 20374 289572 15421 380370 5.33% 76.13%
Kota Pematang
18 Siantar 307529 39229 28093 374851 23592 487196 6.29% 76.94%
Kota Tebing
19 Tinggi 221405 33285 18912 273602 15116 362546 5.52% 75.47%
20 Kota Medan 900206 50645 244940 1195791 365979 2138439 30.61% 55.92%
21 Kota Binjai 283641 28399 64106 376146 16157 407488 4.30% 92.31%
Kota Padang
22 Sidempuan 256539 38751 26829 322119 12061 351044 3.74% 91.76%
Sumber : Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Jakarta. 2011.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa rata-rata persentase Pendapatan


Asli Daerah di Sumatera Utara hanya sebesar 3.5 %. Sedangkan kebutuhan untuk
memenuhi belanja daerah sepenuhnya masih bergantung dari pembagian dana
perimbangan. Selain itu peningkatan persentase belanja juga disebabkan oleh
meningkatnya kebutuhan daerah yang disebabkan oleh banyak faktor internal dan
eksternal. Latar belakang dari adanya fenomena fiskal stress ini karena adanya
fenomena yang terjadi dimana lahirnya Undang-Undang No.28 tahun 2009
Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sebelum adanya UU tersebur beberapa
wewenang daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah masih dipungut dan disetor

3
kepada Pemerintah Pusat. Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, suatu bentuk
apresiasi pelaksanaan otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang
semakin besar kepada Daerah dalam rangka penyelenggaran Pemerintah Daerah
yang berbasis pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masih
minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), basis pajak daerah yang masih
terbatas, banyaknya Peraturan Daerah bermasalah perihal pemungutan, dan
lemahnya pengawasan pungutan daerah yang dikarenakan sistem pengawasan
masih bersifat represif juga penerapan sanksi yang belum maksimal.

Pemerintah Indonesia terdiri dari provinsi dan kabupaten. Mulai tahun


2001, pemerintah mulai beroperasi dalam lingkungan yang jauh lebih
terdesentralisasi. Desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan pelimpahan
tanggung jawab pengeluaran yang signifikan kepada pemerintah daerah, terutama
di tingkat kabupaten. Namun, kontrol atas sumber utama pendapatan tetap sangat
tersentralisasi. Pada akhir tahun 2007, sekitar 38 persen dari total pengeluaran
sektor publik hanya sekitar 8 persen dari total pendapatan masyarakat. Akibatnya,
transfer dari pemerintah pusat diperlukan untuk membiayai sebagian besar
pengeluaran desentralisasi ke tingkat daerah.

Propinsi Sumatera Utara memiliki 33 Kabupaten/Kota, setiap


kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan daerahnya yang
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli
daerahnya. Dan setiap Kabupaten/Kota memiliki Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang akan
dilakukan oleh pemerintah daerah, berapa besar biaya yang dibutuhkan, dan
berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
memiliki peranan yang besar sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan pada
akhirnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Penurunan
kegiatan ekonomi diberbagai daerah juga menyebabkan penurunan PAD daerah
sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan
pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah secara otonom. Begitu juga

4
sebaliknya peningkatan kegiatan ekonomi diberbagai daerah akan meningkatkan
PAD daerah sehingga pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan
pelayanan masyarakat oleh pemerintah tidak terhambat. UU No. 28 tahun 2009
merupakan peraturan yang memuat pajak daerah dan retribusi daerah, dimana di
dalamnya terdapatnya empat jenis pajak baru yang diberikan wewenang
sepenuhnya kepada daerah yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
yang sebelumnya menjadi wewenang pusat, Pajak Sarang Burung Walet sebagai
pajak Kabupaten/Kota serta Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi
Propinsi. Disamping itu juga terdapat empat jenis retribusi baru bagi daerah yaitu
Retribusi Pelayanan Tera Ulang, Retribsui Pendidikan, Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.

Pengalihan wewenang pungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat ke


Pemerintah Daerah sebagai mana yang diamanatkan UU No. 28 Tahun 2009.
Bahwa, tujuan terbesar pengalihan BPHTB tidak lain untuk meningkatkan local
taxing powerKabupaten dan Kota yang selama ini belum berjalan secara
maksimal, walaupun lokalitas objek PBB P2 (Pajak Bumu Bagunan Perdesaan
dan Perkotaan) dan BPHTB berlokasi didaerah Kabupaten dan Kota. Disamping
itu juga hampir disetiap negara telah menetapkan Property Tax dan Property
Transfer sebagai salah satu pajak daerah. Inilah yang menjadi pertimbangan
utama pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Pengalihan BPHTB dari Pusat dan
Daerah tidak hanya sebatas pemungutan/penagihan, melainkan juga pada
pendataan, penilaian, penetapan, pelayanan yang menyeluruh yang harus
dilaksanakan daerah.

Dikarenakan UU No. 28 Tahun 2009, diundangkan pada tanggal 15


September 2009 dan diberlakukan satu tahun sejak diundangkan. Yang mana
berdasarkan pasal 185 menyebutkan, UU ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari.
Jelas, efektivitas diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009, menyangkut
pelaksanaan pelimpahan wewenang pemungutan BPHTB kepada Pemerintah
Daerah mulai dilaksanakan dan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2011.

5
Sempitnya waktu berakibat masih banyaknya Pemerintah Daerah belum
mengeluarkan Perda mengenai BPHTB. Karena itu bagi Pemerintah Daerah yang
belum memiliki Perda tidak diperkenankan untuk melakukan pemungutan
BPHTB terhutang kepada masyarakat dalam rangka proses pengalihan hak atas
tanah dan bangunan.

Untuk itu, diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 perihal mengenai


pengalihan pungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah harus
tetap dikritisi, apakah dengan diberlakukannya UU ini akan meningkatkan PAD
Daerah atau malah sebaliknya. Jika hal ini memang tidak mungkin menjadi
potensi bagi daerah khususnya bagi daerah-daerah kecil dan daerah yang baru
melaksanakan pemekaran, dapat melaksanakan hak uji materi terhadap UU ini.
Karena filosofi diberlakukannya UU ini, tidak lain harus tetap memperhatikan
aspek keadilan bagi masyarakat dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kondisi
fenomena tersebut merupakan suatu pemicu dan fenomena fiskal stress yang
menunjukkan sejauhmana upaya daerah dalam menggali penerimaan baru yang
dapat digunakan untuk menutupi pengeluaran daerah yang jumlahnya meningkat
tiap tahunnya. Hal ini lah yang dikatakan dengan nama fenomena fiskal stress.

Penelitian Haryadi (2002) menunjukkan fiscal stress secara signifikan


berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten/kota di Jawa
Timur sebelum dan sesudah krisis. Hasil dari penelitian tersebut adalah tingkat
kemampuan pembiayaan daerah sebelum krisis relatif lebih besar dibandingkan
sesudah krisis, dari segi kemampuan mobilisasi daerah relatif lebih baik sesudah
krisis, dari segi tingkat ketergantungan secara relatif menunjukkan perkembangan
yang positif sesudah krisis. Penelitian lain terkait dengan fiscal stress dilakukan
oleh Andayani (2004). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi
perubahan rata-rata pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota sebelum dan
sesudah adanya krisis. Pada masa krisis ekonomi, rata-rata pendapatan dan belanja
daerah kabupaten/kota mengalami penurunan yang signifikan. Penerimaan daerah
yang tidak stabil selama krisis ekonomi menyebabkan adanya kondisi fiscal stress

6
(tekanan keuangan), sehingga terjadi penurunan rata-rata pendapatan dan belanja
daerah.

Motivasi penelitian ini dilakukan, yaitu untuk melihat bagaimana faktor-


faktor yang mempengaruhi fiscal stress berupa pertumbuhan pendapatan, belanja
daerah dan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Adanya kewenangan yang
lebih luas yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak hanya diindikasikan
mempengaruhi pendapatan daerah, tetapi mempengaruhi pola/stuktur belanja
daerah. Adi (2006) memberikan argumentasi bahwa perubahan pola belanja,
terutama dengan peningkatan belanja pembangunan menjadi hal yang logis
dilakukan dalam rangka peningkatn pendapatan asli daerah. Terkait dengan hal
itu, pemerintah daerah diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai
kegiatan pelayanan publik guna meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Seiring
dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi
(dukungan) publik terhadap pemerintah daerah juga semakin tinggi (Adi, 2007).

1.2. Rumusan Masalah


Persoalan penelitian yang dapat dirumuskan dari gambaran latar belakang
yang telah dipaparkan adalah sebagai berikut :
1. Apakah pertumbuhan pendapatan asli daerah secara parsial berpengaruh
terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara ?
2. Apakah pertumbuhan belanja modal/pembangunan secara parsial
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara ?
3. Apakah pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara parsial berpengaruh terhadap
fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara ?
4. Apakah pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan belanja
modal/pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara parsial dan
simultan berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera
Utara ?

7
1.3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Penelitian ini membatasi aspek fiscal stress dari sisi usaha pencapaian PAD
dibandingkan dengan Anggaran PAD yang ditetapkan. Variabel potensi PAD
seharusnya lebih tepat dmasukkan sebagai indikator fiscal stress.
2. Penelitian ini hanya menggunakan data tahun 2004-2009. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diberlakukan mulai tanggal 01 Januari 2010. Data pada tahun 2010 tidak
disertakan seiring pada proses penyelesaian penelitian ini data tahun 2010
tidak dapat diperoleh.
3. Indikator pertumbuhan ekonomi bukan hanya berdasarkan pendekatan
produksi seperti penggunaan PDRB harga berlaku akan tetapi indikator lain
misalnya pengangguran, kemiskinan atau indikator dibidang kesehatan dan
sumber daya manusia tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

1.4. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melihat pengaruh pertumbuhan pendapatan asli daerah secara parsial
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
2. Untuk melihat pengaruh pertumbuhan belanja modal/pembangunan secara
parsial berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
3. Untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara parsial
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
4. Untuk melihat pengaruh pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan
belanja modal/pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara
simultan dan secara parsial berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota
di Sumatera Utara ?

1.5. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai masukan dan rekomendasi kepada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara dalam menyusun Anggaran dengan memperhatikan

8
faktor-faktor yang mempengaruhi fiscal stress Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara.
2. Sebagai masukan dan rekomendasi kepada Bapak Gubernur Provinsi
Sumatera Utara terkait kebijakan yang diambil dalam menyusun Anggaran
dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi fiscal stress
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
3. Sebagai masukan kepada seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik
dipusat maupun didaerah terutama pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara agar benar-benar mengawasi pelaksanaan penyerapan
Anggaran Belanja yang dikucurkan dari pusat untuk menutupi belanja
daerahnya.
4. Sebagai masukan bagi peneliti lainnya menentukan variabel-varabel apa saja
yang terkait dengan fiscal stress di Sumatera Utara.

9
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Fiscal Stress

Dongori (2006) menyatakan bahwa dampak diberlakukannya undang-


undang otonomi daerah dan dikeluarkannya undang-undang No. 34 tahun 2000
yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap penerimaan daerah. Ketersediaan sumber-sumber daya potensial
dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah dalam era
otonomi ini. Keuangan daerah, terutama pada sisi penerimaan bisa menjadi tidak
stabil dalam memasuki era otonomi ini. Sobel dan Holcombe (1996) dalam
Andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan
tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan
pengeluaran. Daerah- daerah yang tidak memiliki kesiapan memasuki era otonomi
bisa mengalami hal yang sama, tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin
tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditunjukkan
dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran
yang ada.

Shamsub dan Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal


stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal stress.
Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti
pertumbuhan yang menurun dan resesi.
2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran industri
sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Yu dan Korman (1987) dalam
(Shamsub & Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran industri
menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini
dapat menyebabkan fiscal stress.
3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor keuangan
yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (Shamsub & Akoto, 2004) menunjukkan
bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi

10
untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab
fiscal stress.

Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan pendapatan asli


daerah (PAD). Seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan
mampu melepaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap
pemerintah pusat. Dalam era ini, PAD idealnya menjadi komponen utama
pembiayaan daerah. Namun upaya pemerintah daerah ini mengalami hambatan
karena diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah.
Keberadaan UU ini seringkali dinilai justru menjadi disinsentif bagi daerah,
dikarenakan membatasi daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak-pajak
daerah.

Pada saat fiscal strees tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi


penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan
Akoto, 2004). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan
dengan kondisi fiscal stress. Upaya Pajak (tax effort) adalah upaya peningkatan
pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi)
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk
mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi
yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang
ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.

2.1.1. Pendapatan Asli Daerah


Menurut Permendagri No.32 Tahun 2008, dalam upaya peningkatan PAD,
agar tidak menetapkan kebijakan yang memberatkan dunia usaha dan masyarakat.
Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penyederhanaan sistem dan prosedur
administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, meningkatkan ketaatan wajib
pajak dan pembayar retribusi daerah serta meningkatkan pengendalian dan
pengawasan atas pemungutan PAD yang diikuti dengan peningkatan kualitas,
kemudahan, ketepatan dan kecepatan pelayanan.

11
Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari PAD. Sesuai
dengan UU No.33 Tahun 2004 disebutkan bahwa PAD terdiri dari: pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-
lain PAD yang sah. Namun, diantara semua komponen PAD, pajak dan retribusi
daerah merupakan penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya
PAD identik dengan pajak dan retribusi daerah. Halim (2007:96) menyatakan
bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Yani (2008:44) menjelaskan
bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Dan Lain-lain PAD
yang sah.

2.1.2. Belanja Modal

Menurut Halim (2004: 73), “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah


daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset
atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin
seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 53
ayat 1 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juga disebutkan bahwa
Belanja Modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/
pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,
seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Menurut Syaiful (2007 : 2-3), Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5


(lima) kategori utama:

1. Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk


pengadaan/ pembelian/ pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa
tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan

12
sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas
tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/ biaya yang


digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, dan peningkatan
kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin
dimaksud dalam kondisi siap pakai.

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang


digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, termasuk pengeluaran
untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan
bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud
dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/ biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan,
pembangunan/ pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk
perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang
menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam
kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan


untuk pegadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/
pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang tidak dapat dikategorikan
dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
dan jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak
sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk
museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.

13
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu Daerah mengelola
sumber saya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang
dihasilkan oleh masing-masing Propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber
daya alam dan faktor produksi Daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam
penyediaan faktor-faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar
Daerah. Dalam perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung
pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam
tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan
mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan
oleh sektor pertanian dan jasa-jasa.
Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu
pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :

1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha
yaitu ; Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik,
Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran,
Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua
komponen permintaan akhir yaitu :
• Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari laba
• Konsumsi pemerintah
• Pembentukan modal tetap domestik bruto
• Perubahan stok
• Ekspor netto

14
3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam
suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor
produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan
keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan
dan pajak lainnya.

PDRB yang digunakan adalah PDRB berdasarkan Harga Berlaku (PDRB


riil). Jika PDRB dibagi dengan jumlah penduduk di suatu daerah pada suatu
waktu tertentu akan diperoleh PDRB per kapita. Salah satu tujuan utama dari
desentralisasi fiskal adalah terciptanya kemandirian daerah. Peningkatan PAD
harus berdampak pada perekonomian daerah (Saragih, 2003). Oleh karena itu,
daerah tidak akan berhasil bila daerah tidak mengalami pertumbuhan ekonomi
yang berarti meskipun terjadi peningkatan penerimaan PAD. Bila yang terjadi
sebaliknya, maka bisa diindikasikan adanya eksploitasi PAD terhadap masyarakat
secara berlebihan tanpa memperhatikan peningkatan produktifitas masyarakat itu
sendiri. Sidik (2002) menegaskan bahwa keberhasilan peningkatan PAD
hendaknya tidak hanya diukur dari jumlah yang diterima, tetapi juga diukur
dengan perannya untuk mengatur perekonomian masyarakat agar dapat lebih
berkembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di daerah.
Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Upaya untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah tidak akan memberikan arti apabila tidak diikuti dengan
peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Brata (2004) menyatakan bahwa
terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Kedua komponen tersebut
adalah PAD dan Bagian Sumbangan & Bantuan. Namun demikian, penelitian
Brata (2004) belum mencakup periode setelah otonomi daerah sehingga hubungan
PAD dan Pertumbuhan ekonomi dapat saja mengarah ke hubungan negatif jika
daerah terlalu ofensif dalam upaya peningkatan penerimaan daerahnya.
Pertumbuhan ekonomi sering di ukur dengan mengunakan pertumbuhan produk

15
domestik bruto (PDB/PDRB), namun demikian indikator ini dianggap tidak selalu
tepat dikarenakan tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya.
Indikator lain, yaitu pendapatan per kapita dapat digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi ini (Kuncoro,2004; Gaspersz dan Feonay, 2003). Indikator
ini lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi dikarenakan lebih
menekankan pada kemampuan negara/daerah untuk meningkatkan PDB/PDRB
agar dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Indikator ini secara simultan
menunjukkan apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan
kesejahteraan seiring dengan semakin cepatnya laju pertambahan penduduk.

2.1.4. Pengaruh Pertumbuhan PAD terhadap Fiscal Stress

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Bappenas (2003), serta Setiaji dan


Adi (2007) tentang peta kemampuan daerah (propinsi, maupun kabupaten dan
kota) dalam era otonomi menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD)
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pemerintah daerah berupaya
mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah sebagai bagian utama dalam
penyusunan APBD sebagai upaya meminimalkan ketergantungan penerimaan dari
pemerintah pusat. Dalam kondisi fiscal stress, pemerintah daerah akan
mengoptimalkan potensi pendapatan daerah sebagai upaya meningkatkan
pembiayaan daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh Halim (2001) menunjukkan bahwa fiscal


stress dapat mempengaruhi APBD suatu daerah. Hal tersebut dibuktikan dari
adanya pergeseran (kenaikan/penurunan) dari komponen penerimaan dan
pengeluaran APBD. Terkait dengan hal itu, penelitian Halim (2001) memberikan
fakta empirik bahwa kondisi fiscal stress yang terjadi di tahun 1997 ternyata
secara umum tidak menurunkan peran PAD terhadap total anggaran
penerimaan/pendapatan daerah. Komponen dari sektor penerimaan dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang terpengaruh secara
signifikan dengan kondisi fiscal stress adalah proporsi retribusi daerah, sedangkan

16
proporsi pajak daerah relatif tidak terpengaruh, bahkan proporsinya sedikit naik
dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Purnaninthesa (2006) membuktikan


bahwa fiscal stress berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan
pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan
bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi bagi daerah
untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan
pada pemerintah pusat. Penelitian lain yang dilakukan Dongori (2006)
menunjukkan fakta empirik bahwa fiscal stress mempunyai pengaruh negatif
terhadap tingkat ketergantungan daerah. Semakin tinggi tingkat fiscal stress maka
ada terdapat upaya daerah untuk meningkatkan kemandiriannya, yaitu dengan
cara mengoptimalkan potensi asli daerahnya, yang salah satunya tercermin pada
pendapatan asli daerah.

2.1.5. Pengaruh Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan terhadap Fiscal


Stress

Dalam menghadapi otonomi daerah, pemerintah daerah harus lebih


meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya ini akan terus mengalami perbaikan
sepanjang didukung oleh tingkat pembiayaan daerah yang memadai. Alokasi
belanja yang memadai untuk peningkatan pelayanan publik diharapkan
memberikan timbal balik berupa peningkatan peneriamaan pendapatan asli
daerah, baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya.
Penelitian Haryadi (2002) menunjukkan fiscal stress secara signifikan
berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten/kota di Jawa
Timur sebelum dan sesudah krisis. Hasil dari penelitian tersebut adalah tingkat
kemampuan pembiayaan daerah sebelum krisis relatif lebih besar dibandingkan
sesudah krisis, dari segi kemampuan mobilisasi daerah relatif lebih baik sesudah
krisis, dari segi tingkat ketergantungan secara relatif menunjukkan perkembangan
yang positif sesudah krisis. Penelitian Andayani (2004) yang menguji fiscal stress
pada saat krisis ekonomi dan sebelum krisis ekonomi menunjukkan bahwa disaat

17
daerah mengalami fiscal stress yang tinggi (yaitu pada saat krisis ekonomi) maka
terdapat kecenderungan peningkatan belanja daerah.

Purnaninthesa (2006) dan Dongori (2006) menunjukkan fakta empiris yang


hampir sama bahwa, fiscal stress mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat
pembiayaan daerah. Secara komprehensif, Dongori (2006) memberikan gambaran
empirik bahwa dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah, pengaruh fiscal
stress terhadap tingkat pembiayaan sesudah otonomi lebih besar dibandingkan
sebelum otonomi. Perubahan pembiayaan ini lebih banyak disebabkan adanya
tuntutan peningkatan pelayanan publik yang ditunjukkan dengan peningkatan
alokasi ataupun terjadi pergeseran belanja untuk kepentingan-kepentingan
pelayanan publik secara langsung, dalam hal ini belanja pembangunan.

Implementasi Undang-undang otonomi daerah diharapkan dapat


memberikan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya.
Pemerintah diharapkan menggali potensi yang ada di daerahnya, sehingga
pendapatan asli daerahnya dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah,
khususnya yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik ataupun peningkatan
prasarana yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pada
gilirannya harapan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dapat terpenuhi.
Berarti fiscal stress benar-benar memberikan pengaruh terhadap pembelanjaan
daerah.

2.1.6. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Fiscal Stress


Tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah terciptanya kemandirian
daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengali sumber-sumber keuangan
lokal, khususnya melalui Pendapatan Asli Daerah (Sidik, 2002). Daerah yang
memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk
memiliki tingkat pendapatan per Kapita yang lebih baik. PAD berpengaruh positif
dengan petumbuhan ekonomi di daerah (Brata, 2004).
PAD merupakan sumber pembelanjaan daerah, jika PAD meningkat maka
dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi dan tingkat

18
kemandirian daerah akan meningkat pula, sehingga pemerintah daerah akan
berinsisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu (Tambunan, 2006).
Peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah (Saragih,
2003). Oleh karena itu, daerah tidak akan berhasil bila daerah tidak mengalanii
pertumbuhan ekonomi yang berarti meskipun terjadi peningkatan penerimaan
PAD. Bila yang terjadi sebaliknya, maka bisa diindikasikan adanya eksploitasi
PAD terhadap masyarakat secara berlebihan tanpa memperhatikan peningkatan
produktifitas masyarakat itu sendiri. Sidik (2002) menegaskan bahwa keberhasilan
peningkatan PAD hendaknya tidak hanya diukur dari jumlah yang diterima, tetapi
juga diukur dengan perannya untuk mengatur perekonomian masyarakat agar
dapat lebih berkembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Pada gilirannya harapan untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah dapat terpenuhi. Berarti pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh
terhadap fiscal stress.

2.2. Reviu Penelitian Terdahulu


Beberapa literatur penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini
antara lain terdapat pada Tabel 2.1 berikut :

19
Tabel 2.1. Reviu Penelitian Terdahulu
Variabel
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
1 Nanga (2005) Disparitas Fiskal Uji Beda dengan Adanya disparitas
di Indonesia variabel PAD (kapasitas) fiskal yang
dan Pertumbuhan tinggi antar daerah
Ekonomi memasuki era otonomi
2 Haryadi (2002) Analisis Pengaruh Fiscal Stress Fiscal stress secara
Fiscal Stress Terhadap Kinerja signifikan berpengaruh
terhadap Kinerja Keuangan terhadap kinerja
Keuangan Pemerintah keuangan pemerintah
Pemerintah Kabupaten/kota di
Kabupaten/Kota Jawa Timur sebelum
Dalam dan sesudah krisis.
Menghadapi
Pelaksanaan
Otonomi Daerah
3 Andayani (2004) Analisis Anggaran Deskriptif atas Terjadi perubahan
Pendapatan dan Anggaran rata-rata pendapatan
Belanja Daerah Pendapatan dan dan belanja daerah
Belanja Daerah Kabupaten/Kota
sebelum dan sesudah
adanya krisis. Pada
masa krisis ekonomi,
rata-rata pendapatan
dan belanja daerah
kabupaten/kota
mengalami penurunan
yang signifikan.
Penerimaan daerah
yang tidak stabil
selama krisis ekonomi
menyebabkan adanya
kondisi fiscal stress
(tekanan keuangan),
sehingga terjadi
penurunan rata-rata
pendapatan dan
belanja daerah.
4 Kamna Lal dan Assessing the Political The influence of
Benedict Impact of Fiscal variables, fiscal political variables,
Jimenez (2007) Stress on Capital and fiscal and budgetary
Debt Financing : budgetary institutions,
Evidence from the institutions, demographic factors,
States demographic and economic
factors, and variables on capital
economic debt
variables on financing.
capital debt
financing

20
5 Jonathan P. Municipal Demographic Jurisdictions whose
West dan Government and municipal fiscal
Stephen E. Strategies for organizational conditions are
Condrey (2010). Controlling variables and considered to
Personnel Costs economic be fair or poor are
During the Fiscal climate. more likely than cities
Storm whose fiscal
conditions are
perceived to be good
to
excellent to use many
of the cost reduction
strategies. Other
demographic and
organizational
variables had some
limited relationship
with the use of
strategies, but were not
as significantly
associated with cost-
containment actions as
city economic climate
6 Ravi The Transmission Financial crises, Past banking sector
Balakrishnan, of Financial Stress financial stress financial stress in
Stephan from Advanced to index, emerging advanced economies
Danninger, Emerging economies implies that the
Selim Elekdag, Economies decline capital flows
and IrinaTytell may be large and
(2009) drawn-out

2.3. Kerangka Konspetual


Model yang dapat dikembangkan berdasar teori dan pengembangan
hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

21
PERTUMBUHAN
PAD (X1)

PERTUMBUHAN
BELANJA FISCAL
MODAL/PEMBANGU STRESS (Y)
NAN (X2)

PERTUMBUHAN
PDRB (X3)

Gambar 2. 1 : Model Penelitian

2.4. Hipotesis Penelitian


Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh terhadap
fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
2. Pertumbuhan belanja modal/pembangunan secara parsial berpengaruh
terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
3. Pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara parsial berpengaruh terhadap fiscal
stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
4. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja
modal/pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara parsial dan
simultan berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara

22
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu penelitian


yang menjelaskan atas suatu fenomena yang ada serta menggambarkan secara
jelas dari objek penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa
data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten dan
kota di Sumatera Utara. Data diperoleh dari buku APBD Sumatera Utara dan dari
situs Departemen Dalam Negeri serta bersumber dari BPS Sumatera Utara.
Periode APBD yang menjadi pengamatan penelitian adalah periode 2005 sampai
dengan 2009. Data tahun 2010 tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena pada
saat penyusunan penelitian masih dilakukan pertanggungjawaban dari masing-
masing kepala daerah sehingga ketersediaan data belum memungkinkan. Selain
itu diperlukan teknik wawancara untuk mengklarifikasi atas keabsahan data
penelitian kepada pihak-pihak yang kompeten.

3.2. Variabel Penelitian


3.2.1. Klasifikasi Variabel
3.2.1.1. Fiscal Stress (Y)
Fiscal Stress diukur berdasarkan realisasi penerimaan dibandingkan
dengan nilai potensi pendapatan Asli Daerah. Upaya pajak yang tinggi
mencerminkan tingkat fiscal stress yang lebih besar, hal ini berarti bahwa
permintaan untuk jasa tertentu melebihi sumber atau pendapatan yang ada.
Menurut Sukanto R (1999), tekanan fiskal (Fiscal Stress) dapat dirumuskan:
Peningkatan PAD = Realisasi PAD/Potensi PAD x 100 %

3.2.1.2. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (X1)


Pertumbuhan pendapatan asli daerah diukur berdasarkan pendapatan asli
daerah periode APBD dibagi dengan pendapatan asli daerah periode APBD
sebelumnya. Haryadi (2002)

23
PPAD (t) = PADt/PADt-1 x 100 %
Keterangan:
PPAD (t) = Pertumbuhan Pendapatan Daerah periode t
PAD (t) = Pendapatan Asli Daerah periode t
PAD (t-1) = Pendapatan Asli Daerah periode t-1

3.2.1.3. Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan (X2)


Pertumbuhan belanja modal diukur berdasarkan belanja modal periode
APBD dibagi dengan belanja daerah periode APBD sebelumnya. Haryadi (2002)
PBM(t) = BMt/BMt-1 x 100 %
Keterangan:
PBM(t) = Pertumbuhan Belanja Modal periode t
BM(t) = Belanja Modal periode t
BM (t-1) = Belanja Modal periode t-1

3.2.1.4. Pertumbuhan Product Domestic Regional Bruto/PDRB (X3)


Pertumbuhan Product Domestic Regional Bruto/PDRB diukur berdasarkan
PDRB Harga Konstan. Haryadi (2002).
PPDRB (t) = PDRBt/PDRBt-1 x 100 %
Keterangan:
PPDRB (t) = Pertumbuhan Ekonomi periode t
PDRBt = PDRB periode t
PDRBt-1 = PDRB periode t-1

3.2.2. Definisi Operasional


Untuk menjelaskan variabel-variabel yang sudah diidentifikasi, maka
operasioanal variabel terdapat pada Tabel 3.1 sebagai berikut :

24
Tabel 3.1 : Operasionalisasi Variabel
Nama Kriteria
Definisi Indikator Skala
Variabel Ukuran
Fiscal Realisasi penerimaan PAD Realisasi Rasio
Stress (Y) dibandingkan dengan nilai PAD saat ini
potensi pendapatan Asli dibanding
Daerah realisasi PAD
dimasa lalu
Pertumbuhan jumlah Laporan Realisasi Rasio
Pertumbu realisasi penerimaan daerah APBD PAD tahun
han yang bersumber dari hasil Pemkab/Pe 2004-2008
Pendapatapajak daerah, retribusi mko Sumut.
n Asli daerah, hasil pengelolaan
Daerah kekayaan daerah yang
(X1) dipisahkan dan lail-lain
penerimaan PAD yang sah
Pertumbu Pertumbuhan jumlah Laporan Realisasi Rasio
han anggaran pengeluaran baik APBD Belanja
Belanja langsung maupun tidak Pemkab/Pe Modal/Pemba
Modal/Pe langsung terkait dan mko Sumut. ngunan tahun
mbanguna berhubungan dengan 2004-2008
n (X2) program atau kegiatan.
Pertumbu Indikator pertumbuhan Buletin BPS PDRB Harga Rasio
han ekonomi suatu daerah yang Sumut. Berlaku di
Ekonomi diukur dari total 9 sektor Sumut tahun
(X3) yang ada pada suatu 2004-
wilayah/daerah. 2008(Milyar)

3.3. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan
Kota/Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara berjumlah 33 kabupaten dan kota.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 (dua puluh lima)
pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara pada tahun 2004-2009. Data
sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling dengan kriteria yaitu :
1. Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara yang
mempublikasikan laporan keuangannya secara konsisten dari tahun 2004-2009
dan ketersediaan data perhitungan PAD dan Belanja Daerah yang
dianggarkan.
2. Pemerintah daerah kabupaten dan kota yang tidak dimekarkan pada kurun
waktu 2004 -2009.

25
Adapun deskripsi data Kabupaten/Kota yang telah ditentukan sebagai
sampel. Kabupaten/Kota yang terpilih menjadi sampel penelitian adalah sebanyak
25 (dua puluh lima) sampel yang terdapat pada Tabel 3.2 berikut :
Tabel 3.2 : Populasi dan Sampel Penelitian
Kriteria
NO NAMA KABUPATEN/ KOTA Sampel
1 2
1. Kota Binjai v v v
2. Kota Medan v v v
3. Kota Sibolga v v v
4. Kota Padang Sidempuan v v v
5. Kota Tebing Tinggi v v v
6. Kota Tanjung Balai v v v
7. Kota Pematang Siantar v v v
8. Kabupaten Asahan v v v
9. Kabupaten Humbang Hasundutan v v v
10. Kabupaten Toba Samosir v v v
11. Kabupaten Samosir v v v
12. Kabupaten Pakpak Bharat v v v
13. Kabupaten Tapanuli Selatan v v v
14. Kabupaten Tapanuli Tengah v v v
15. Kabupaten Pakphak Barat v v v
16. Kabupaten Tapanuli Utara v v v
17. Kabupaten Nias Selatan v v v
18. Kabupaten Deli Serdang v v v
19. Kabupaten Karo v v v
20. Kabupaten Labuhan Batu v v v
21. Kabupaten Nias v v v
22. Kabupaten Langkat v v v
23. Kabupaten Mandailing Natal v v v
24. Kabupaten Simalungun v v v
25. Kabupaten Dairi v v v
26. Kabupaten Nias Utara x x x
27. Kota Gunung Sitoli x x x
28. Kabupaten Labusel x x x
29. Kabupaten Labura x x x
30. Kabupaten Palas x x x
31. Kabupaten Paluta x x x
32. Kabupaten Batubara x x x
33. Kabupaten Serdang Bedagai x x x
Sumber : www.sumutprov.go.id.

26
3.4. Model Analisis
Model analisis regresi berganda dengan metode Random Effect Model
yang digunakan adalah :
Y =  + ß1 PPADX1 + ß2 PBMX2 + ß3 PPDRBX3 + e
dimana :
Y = Fiscal Stress
 = Konstanta
ß = Slope atau koefisien regresi
PPAD (X1) = Pertumbuhan PAD
PBM (X2) = Pertumbuhan Belanja Daerah
PPDRB (X3) = Pertumbuhan PDRB
e = error

3.4.1. Uji Asumsi Klasik


Uji Asumsi Klasik yang digunakan adalah Uji Normalitas, Uji
Multikolinieritas, Uji Heteroskedastisitas dan Uji Autokorelasi. (Ghozali, 2005).

3.5 Uji Hipotesis


Untuk membuktikan hipotesis maka digunakan alat uji F, Uji t dan Uji
Koefesien Determinasi (R2).

27
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan model yang diperoleh diperoleh deskripsi statistik dari data


penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut :
Tabel 4.1 : Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
FS_Y 125 .00 8.57 1.2345 .96169
PAD_Growth_X1 125 -1.00 8.40 .3065 .92068
BM_Growth_X2 125 -.88 65.42 4.8629 11.14211
PDRB_Growth_X3 125 -1.04 7.80 .2355 .74911
Valid N (listwise) 125
Sumber : (data diolah SPSS).

Berdasarkan Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa dari jumlah N sampel
sebanyak 125, dimana rata-rata jumlah rasio Fiscal Stress (Y) Kabupaten Kota di
Sumut sebesar 1.23 artinya realisasi perolehan Pendapatan Asli Daerah dengan
Anggaran PAD di Kabupaten Kota di Sumut rata-rata mencapai target yang
ditetapkan bersama dengan DPRD. Rasio Fiscal Stress (Y) terendah sebesar 0.00
dan tertinggi sebesar 8.57 % dengan standar deviasi 0.96 % dari rata - rata.
Dengan melihat angka fiscal stress pada suatu daerah maka dapat memberikan
suatu gambaran bagaimana capaian atas PAD melampaui dari target yang
ditetapkan. Makna lain menunjukkan bahwa seiring diatas rata-rata nya rasio
fiscal stress menunjukkan intensif nya usaha pemerintah daerah untuk
meningkatkan kapasitas pendapatan daerah nya.
Rata-rata peningkatan Belanja Modal (BM) Kabupaten Kota di Sumut
sebanyak 4.86 %. Peningkatan Belanja Modal tersebut mengindikasikan bahwa
kebutuhan untuk mengalokasikan atas belanja pembangunan cenderung
meningkat. Alokasi Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah

28
yang langsung berhubungan ke masyarakat seperti Pembangunan Jalan dan
Jembatan dan juga Irigasi. Semakin tinggi belanja modal suatu daerah
menunjukkan tingginya perhatian pemerintah daerah untuk memenuhi sarana dan
prasarana kepada masyarakat. Persentase Belanja Modal (BM) terendah sebesar -
0.88 % artinya ada alokasi Belanja Modal pada Kabupaten Kota yang cenderung
menurun. Hal ini disebabkan karena kebutuhan untuk menutupi Belanja Tidak
Langsung yang begitu besar sehingga proporsi belanja modal harus dikurangi.
Fokus perhatian bagi Kepala Daerah agar memperhatikan kecenderungan
fenomena ini sehingga defisit APBD dapat dikurangi.
Persentase Belanja Modal (BM) tertinggi sebesar 65.42 %. Tingginya
alokasi belanja modal tersebut disebabkan tinggi nya PAD ataupun adanya daerah
pemekaran baru sehingga alokasi belanja modal lebih banyak dianggarkan.
Beberapa daerah yang memiliki Belanja Modal yang tinggi seperti Kabupaten
Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Nias Selatan. Belanja modal
merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok
Belanja Administrasi Umum. Belanja Modal merupakan belanja daerah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya pembangunan dan perbaikan sektor
pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati manfaat
dari pembangunan daerah. Tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat
menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat
diharapkan menjadi semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan
pertumbuhan ekonomi.
Besarnya Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan oleh PDRB harga
berlaku pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara rata-rata pertumbuhannya
sebesar 0.23 % dari rata-rata. Pertumbuhan PDRB tertinggi mencapai 7.8 % dan
penurunan PDRB terendah sebesar 1.04 %. Penurunan PDRB disebabkan karena
adanya pemekaran dari Kabupaten induk. Dengan demikian terjadi pertumbuhan
yang dinamis pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara. Besarnya Standar deviasi
dari rata-rata PDRB sebesar tersebut menggambarkan tingginya disparitas

29
pertumbuhan ekonomi antar daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
sebesar 0.74 % artinya dispartitas perbedaan tidak terlalu besar dari rata-rata
pertumbuhan yang sebesar 0.23 %. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi
tersebut dapat terus dipertahankan dan diupayakan terus meningkat dan dapat
melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.

4.2. Analisis Data


4.2.1. Uji Asumsi Klasik
4.2.1.1 Pengujian Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi pada
variabel terikat dan variabel bebas mempunyai distribusi normal atau tidak. Untuk
menguji apakah data penelitian ini terdistribusi normal atau tidak dapat dideteksi
melalui 2 cara yaitu analisis grafik dan analisis statistik (uji One sample
Kolmogorov Smirnov).
a. Analisis Grafik

Gambar 4.6 : Grafik Normalitas


Berdasarkan pada Gambar 4.6 tersebut Ghozali (2005) menyatakan jika
distribusi data adalah normal, maka terdapat titik titik yang menyebar disekitar
garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonalnya. Hasil grafik
tersebut terlihat bahwa titik titik yang menyebar disekitar garis diagonalnya maka
dapat dinyatakan bahwa residual terdistribusi normal.

30
b. Uji Statistik
Uji Normalitas bertujuan untuk melihat apakah model regresi, variabel
pengganggu atau residual berdistribusi normal. Untuk itu dilakukan uji one
sample Kolmogorov Smirnov Test. Adapun hasil pengujian terdapat pada Tabel
4.2 berikut :

Tabel 4.2 Hasil Pengujian One Sample Kolmogorov Smirnov Test


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 125
a,,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation .40580820
Most Extreme Differences Absolute .160
Positive .160
Negative -.134
Kolmogorov-Smirnov Z 1.161
Asymp. Sig. (2-tailed) .135
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber : Hasil Output SPSS 17.

Dari hasil pengujian terlihat pada Tabel 4.2 tersebut terlihat besarnya nilai
Kolmogorov- Smirnov adalah 1.161 dan signifikansinya pada 0.135 dan nilainya
jauh diatas α = 0.05 Dalam hal ini berarti H0 ditolak yang berarti data residual
berdistribusi normal.

4.2.1.2. Uji Multikolinearitas


Pengujian multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah pada model
regresi ditemukan ada tidaknya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi multikolinearitas. Cara mendeteksinya adalah
dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Menurut Ghozali (2005:
93), pada umumnya jika VIF > 10, maka variabel tersebut mempunyai persoalan
multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.

31
Tabel 4.3 Uji Multikolinieritas
a
Coefficients
Collinearity Statistics
Model Tolerance VIF
1 PAD_Growth_X1 .976 1.025
BM_Growth_X2 .986 1.015
PDRB_Growth_X3 .988 1.012
a. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Output SPSS 17.
Dari Tabel 4.3 diatas, terlihat bahwa variabel independen yaitu
PAD_Growth_X1, BM_Growth_X2 dan PDRB_Growth_X3 mempunyai angka
Variance Inflation Factor (VIF) dibawah angka 10. Hal ini berarti bahwa regresi
yang dipakai untuk ke 3 (tiga) variabel independen diatas tidak terdapat persoalan
multikolinieritas.

4.2.1.3. Uji Heteroskedastisitas


Menurut Ghozali (2005 : 107) model regresi yang baik adalah model yang
homoskesdatisitas atau tidak terjadi heteroskedastitas. Untuk mendeteksi ada atau
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan dengan Uji Glesjer. Asumsi
utama Uji Glesjer yaitu dengan melakukan regresi variable independen terhadap
unstandardized residual (Ghozali, 2005 : 111). Adapun hasil pengujian Uji
Glesjer terdapat pada Tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.4 : Uji Glesjer
a
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -.030 .096 -.310 .758

PAD_Growth_X1 .028 .048 .084 .585 .562


BM_Growth_X2 .000 .004 -.010 -.069 .945
PDRB_Growth_X3 .074 .204 .054 .362 .719
a. Dependent Variable: Unstandardized Residual
Sumber : Hasil Olah Data SPSS.
Jika koefesien parameter beta dari persamaan regresi tersebut signifikan
secara statistik, hal ini menunjukkan bahwa dalam data model empiris yang
diestimasi terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya jika parameter beta tidak
signifikan secara statistik, maka asumsi homoskesdatisitas pada data model

32
tersebut tidak dapat ditolak. Hasil yang terlihat pada Tabel 4.4 menunjukkan
koefesien parameter untuk variabel independent PAD_Growth_X1,
BM_Growth_X2 dan PDRB_Growth_X3 tidak ada yang signifikan
(PAD_Growth_X1 dengan tingkat signifikansi 0.562, BM_Growth_X2 dengan
tingkat signifikansi 0.945 dan PDRB_Growth_X3 dengan tingkat signifikansi
0.719. Maka dapat disimpulkan model regresi tidak terdapat heteroskedastisitas.

4.2.1.4. Uji Autokorelasi


Gejala Autokorelasi diditeksi dengan menggunakan uji Durbin-Watson
(DW). Menurut Santoso (2002 : 241), untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi
maka dilakukan pengujian Durbin-Watson (DW). Nilai d tersebut selanjutnya
dibandingkan dengan nilai dtabel dengan tingkat signifikansi 5% dengan df = n-k-1.
Untuk mengetahui adanya autokorelasi digunakan uji Durbin-Watson, dengan
kriteria menurut Santoso (2005 : 242) :
• Angka D-W di bawah -2, berarti ada autokorelasi positif.
• Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi.
• Angka D-W di atas +2, berarti ada autokorelasi negatif.
Dari hasil pengujian terlihat bahwa nilai DW sebesar 1.855, berarti data
tidak terkena autokorelasi. Adapun nilai DW terdapat pada Tabel 4.5 berikut :
Tabel 4.5. Uji Autokorelasi
b
Model Summary
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .288 .083 .060 .93236 1.855
a. Predictors: (Constant), PDRB_Growth_X3, BM_Growth_X2, PAD_Growth_X1
b. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Olah Data SPSS.

Hasil uji autokorelasi di atas menunjukkan nilai statistik Durbin-Watson


(D-W) sebesar 1.855, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi baik
positif maupun negatif (masih dalam kisaran angka D-W -2 dan +2).

33
4.3. Hasil Analisis Dengan SPSS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan pendapatan asli daerah,
pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap
fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara secara simultan dapat diterima.
Sedangkan secara parsial hanya Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah yang
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara. Sedangkan
pertumbuhan belanja modal/pembangunan dan Pertumbuhan ekonomi (PDRB)
tidak berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pengujian uji kesesuaian dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model
regresi, karena variabel penelitian lebih dari dua variabel maka kelayakan tersebut
dapat dilihat dari nilai Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square yang diperoleh
dari hasil pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 4.6 di bawah ini :
Tabel 4.6. Pengujian Kelayakan Model
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .288a .083 .060 .93236 1.855
a. Predictors: (Constant), PDRB_Growth_X3, BM_Growth_X2, PAD_Growth_X1
b. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Olah Data SPSS.

Nilai Adjusted R Square pada Tabel 4.6 diatas sebesar 0,060. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya 6 % variabel fiscal stress dapat dijelaskan oleh
variabel independen yang ada yaitu Pertumbuhan pendapatan asli daerah,
pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap
fiscal stress. Sisanya sebesar 94 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
dijelaskan oleh model penelitian ini. Untuk melihat tingkat kepercayaan hasil uji
hipotesis, selanjutnya dilakukan uji signifikan. Uji signifikan dibedakan atas uji
signifikan simultan (uji F) dan uji signifikan parsial (uji t) dengan taraf signifikan
α = 5%.

34
4.4. Model Uji Hipotesis
4.4.1. Uji Signifikan Simultan (Uji F)
Secara simultan variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah,
pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap
fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara. Indikator signifikansi parameter
koefesien Adjusted R2 signifikan atau tidak maka dapat dilakukan pengujian
dengan bantuan alat uji statistik metode Fisher (Uji F) dengan tingkat keyakinan
(confident level) sebesar 95 %. Kriteria pengujian yang digunakan adalah apabila
Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak; dan apabila Fhitung ≤ Ftabel maka Ho dapat diterima.
Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 4.7 dibawah ini :
Tabel 4.7 Hasil Regresi Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 9.496 3 3.165 3.641 .015a
Residual 105.185 121 .869

Total 114.681 124

a. Predictors: (Constant), PDRB_Growth_X3, BM_Growth_X2, PAD_Growth_X1


b. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Olah Data SPSS.

Dari Tabel 4.7 diperoleh nilai Fhitung sebesar 3,641 sedangkan Ftabel pada
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) adalah 2,52. Hal ini berarti bahwa nilai
Fhitung>Ftabel (3,641 >2,52). Hal ini memberikan arti bahwa pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara. Dengan
demikian hipotesis pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja
modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap fiscal stress
kabupaten/kota di Sumatera Utara diterima (Ho ditolak sedangkan H1 diterima).

4.4.2. Uji Signifikan Parsial (Uji t)


Secara parsial Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh
terhadap kondisi fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dapat diterima
ditunjukkan pada Tabel 4.8 berikut :

35
Tabel 4.8 : Uji t
a
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.129 .099 11.419 .000

PAD_Growth_X1 .261 .092 .250 2.834 .005


BM_Growth_X2 -.005 .008 -.061 -.697 .487
PDRB_Growth_X3 .217 .112 .169 1.929 .056
a. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Olah Data SPSS.

Dari Tabel 4.8 diatas dapat disusun persamaan regresi berganda berikut :
Fiscal Stress_Y = 1.129 +0,261X1 - 0,005X2 + 0,217X3 + e
Model persamaan regresi berganda tersebut bermakna :
1. Nilai konstanta sebesar 1.129 artinya apabila nilai variabel pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan
ekonomi bernilai nol, maka fiscal stress sebesar 1.129 satuan.
2. Variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap
belanja modal dengan nilai koefisien sebesar 0.261, artinya setiap
pertambahan 1 % pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah maka akan
menaikkan kondisi fiscal stress sebesar 2.61 satuan.
3. Variabel Pertumbuhan belanja modal/pembangunan berpengaruh negatif
terhadap fiscal stress dengan nilai koefisien sebesar -0.005, artinya setiap
pertambahan 1 % variabel pertumbuhan belanja modal akan menurunkan
fiscal stress sebesar 0.005 satuan.
4. Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kondisi fiscal
stress dengan nilai koefisien sebesar 0.217, artinya setiap pertambahan 1 %
variabel pertumbuhan ekonomi akan menaikkan fiscal stress sebesar 217
satuan.
Tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa variabel Pertumbuhan pendapatan
asli daerah /X1 (2,837>1,980) bermakna variabel tersebut berpengaruh signifikan
terhadap kondisi fiscal stress di Sumatera Utara dimana nilai thitung > ttabel. Dengan
demikian menolak H0 dan menerima H1. Variabel Pertumbuhan Belanja Modal/X2

36
(1,697<1,980) tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi fiscal stress di
Sumatera Utara dimana nilai thitung < ttabel. Dengan demikian menerima H0 dan
menolak H1. Sedangkan variabel Pertumbuhan Ekonomi (X3) dengan arah positif
(1,929 < 1,980) tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi fiscal stress di
Sumatera Utara dengan nilai thitung<ttabel dengan demikian menerima H0 dan
menolak H1.

4.5. Analisis Data dengan E-Views


4.5.1. Pemilihan Model
Berdasarkan hal tersebut peneliti menggunakan model Random Effect
Model (REM) dimana jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (T)
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah individu (N) maka disarankan untuk
menggunakan model efek random (random effect).

4.5.2. Hasil Analisis


Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh signifikan antara
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja modal dan
pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara simultan dan secara parsial terhadap
Fiscal Stress, cateris paribus dapat diterima.
Pengujian uji kesesuaian dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu
model regresi, karena variabel penelitian lebih dari dua variabel maka kelayakan
tersebut dapat dilihat dari nilai Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square yang
diperoleh dari hasil pengolahan sebesar 0,047168. Hal ini menunjukkan bahwa
4,72% variabel fiscal stress dapat dijelaskan oleh variabel independen yang ada
yaitu variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Sisanya sebesar 95,28 %
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.
Untuk melihat tingkat kepercayaan hasil uji hipotesis, selanjutnya dilakukan uji
signifikan. Adapun hasil pengujian atas pola data gabungan time series dengan
cross section terdapat pada Tabel 4.9. berikut :

37
Tabel 4.9. : Hasil Pengujian Statistik dengan E-Views
Dependent Variable: FSG?
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)
Date: 06/05/11 Time: 21:33
Sample: 2005 2009
Included observations: 5
Cross-sections included: 25
Total pool (balanced) observations: 125
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.142458 0.097232 11.74982 0.0000


PADG? 0.248012 0.085019 2.917129 0.0042
BMG? -0.005191 0.006842 -0.758620 0.4496
PDRBG? 0.175288 0.102864 1.704082 0.0909
Random Effects (Cross)
_NIAS--C -0.017649
_MANDAILINGNATAL--C -0.104108
_TAPANULISELATAN--C 0.010953
_TAPANULITENGAH--C -0.098670
_TAPANULIUTARA--C -0.087317
_TOBASAMOSIR--C -0.092020
_LABUHANBATU--C -0.061853
_ASAHAN--C -0.037063
_SIMALUNGUN--C 0.046593
_DAIRI--C -0.045793
_KARO--C -0.009913
_DELISERDANG--C 0.004947
_LANGKAT--C -0.023973
_NIASSELATAN--C 0.380039
_HUMBANGHASUNDUTAN--C 0.109993
_PAKPAKBHARAT--C -0.066517
_SAMOSIR--C 0.108928
_SERDANGBEDAGAI--C 0.029514
_SIBOLGA--C -0.037800
_TANJUNGBALAI--C -0.055004
_PEMATANGSIANTAR--C -0.043534
_TEBINGTINGGI--C -0.085381
_MEDAN--C 0.274958
_BINJAI--C -0.074048
_PADANGSIDEMPUAN--C -0.025282

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 0.194310 0.0512


Idiosyncratic random 0.836832 0.9488

Weighted Statistics

R-squared 0.070220 Mean dependent var 1.095654


Adjusted R-squared 0.047168 S.D. dependent var 0.921323
S.E. of regression 0.899332 Sum squared resid 97.86462
F-statistic 3.046109 Durbin-Watson stat 1.889690
Prob(F-statistic) 0.031414

38
Unweighted Statistics

R-squared 0.081688 Mean dependent var 1.234534


Sum squared resid 105.3130 Durbin-Watson stat 1.756039

Sumber : Hasil Pengujian Eviews

Uji signifikan dibedakan atas uji signifikan simultan (uji F) dan uji
signifikan parsial (uji t) dengan taraf signifikan α = 5%. Berdasarkan Tabel
tersebut juga maka dapat dibentuk persamaan regresi dengan konstanta adalah
variabel penelitian dengan model sebagai berikut :
FS_Y = 1.142458+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB
_X3
Berdasarkan Tabel 4.9. tersebut juga maka dapat dibentuk persamaan
regresi dengan konstanta adalah objek penelitian sebagai berikut :
Nias_FS_Y = -0.017649 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Madina_FS_Y = -0.104108 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Tapsel_FS_Y = 0.010953 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Tapteng_FS_Y = -0.098670 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Taput_FS_Y = -0.087317 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Tobasa_FS_Y = -0.092020 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

LabuhanBatu_FS_Y = -0.061853 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB


_X3

Asahan_FS_Y = -0.037063 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Simalungun_FS_Y = 0.046593 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Dairi_FS_Y = -0.045793 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Karo_FS_Y = -0.009913 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

DeliSerdang_FS_Y = -0.004947 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB


_X3

Langkat_FS_Y = -0.023973 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Nias Selatan_FS_Y = 0.380039 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Humbahas_FS_Y = 0.109993 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

39
Pakpak_Bharat_FS_Y = -0.066517 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB
_X3

Samosir_FS_Y = 0.108928 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Sergai _FS_Y = 0.029514 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Sibolga _FS_Y = -0.037800 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Tanjung_Balai _FS_Y = -0.055004 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB


_X3

Pematang_Siantar _FS_Y = -0.043534+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 +


0.175288_PDRB _X3

Tebing_Tinggi_FS_Y = -0.085381+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB


_X3

Medan _FS_Y = 0.274958+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Binjai _FS_Y = -0.074048+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3

Padang_Sidempuan _FS_Y = -0.074048+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 +


0.175288_PDRB _X3

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konstanta terbesar adalah


Kabupaten Nias Selatan dengan nilai konstanta 3.80 dan konstanta terkecil adalah
Kabupaten Mandailing Natal sebesar -10.41. Semakin besar konstanta maka
semakin besar sebuah persamaan regresi dalam kekuatan memprediksi suatu
model. Untuk daerah yang memperoleh koefesien contanta yang negatif perlu
mendapat perhatian pemerintah.

4.6. Pembahasan
Secara simultan variabel pertumbuhan PAD, Pertumbuhan Belanja Modal
dan Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap fiskal stress di
Sumatera Utara. Secara parsial hanya variabel Pertumbuhan PAD berpengaruh
signifikan terhadap kondisi fiscal stress di Sumatera Utara. Sedangkan variabel
Variabel Pertumbuhan Belanja Modal dan pertumbuhan ekonomi yang
diproksikan oleh Product Domestic Regional Bruto (PDRB) tidak berpengaruh
signifikan terhadap fiscal stress pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara.
Hal ini disebabkan oleh perkembangan belanja modal mengalami penurunan dan

40
minimnya belanja modal yang dialokasikan, begitu juga pertumbuhan ekonomi
mengalami peningkatan tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress
di Sumatera Utara. Hal ini paling tidak memberikan indikasi adanya penggunaan
sumber daya secara efisien dan efektif, tetapi berbagai fasilitas yang disediakan
dapat dioptimalkan kemanfaatannya, sehingga memberikan dampak yang cukup
tinggi terhadap PE/PDRB. Hal ini disebabkan bahwa besarnya PE/PDRB sangat
ditentukan oleh besarnya Pendapatan Asli Daerah (adanya korelasi yang
signifikan). BAPENAS (2003) yang menegaskan bahwa pertumbuhan PAD
seharusnya sensitif terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi, karena
pertumbuhan ekonomi diukur dengan mengunakan PE/PDRB dan Pendapatan per
Kapita.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja
modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini
didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya
mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak
digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif.
Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja modal hendaknya
dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas
pembangunan. Dampak penggunaan belanja modal akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah dan akan berdampak meningkatnya perekonomian
masyarakat. Penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-
program pelayanan publik, hal ini menyiratkan pentingnya mengalokasikan
belanja pemerintah daerah untuk berbagai kepentingan publik.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa potensi
fiskal pemerintah daerah antara satu dengan daerah yang lain bisa jadi sangat
beragam. Perbedaan ini pada gilirannnya dapat menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang beragam pula. Pemberian otonomi yang lebih besar akan
memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang

41
mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai potensi
lokal untuk kepentingan pelayanan publik.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap fiscal stress. Hal ini
konsisten dengan hasil yang dicapai oleh Maimunah (2004) dan Darwanto (2007).
Kemandirian dalam APBD sangat terkait dengan kemandirian PAD, sebab
semakin besar sumber pendapatan yang berasal dari potensi daerah, bukan sumber
pendapatan dari bantuan, maka daerah akan semakin leluasa untuk
mengakomodasikan kepentingan masyarakatnya tanpa muatan kepentingan
Pemerintah Pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah.
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai daerah
otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam
menghasilkan Pendapatan Daerah. Semakin besar upaya maksimalisasi
Pendapatan Asli daearah yang dilakukan suatu daerah, maka semakin besar pula
kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya.
Maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam pengertian bahwa
keleluasaan yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun untuk menggali sumber-sumber
penerimaan yang baru. PAD adalah pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain. Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan. Pemerintah daerah di dalam membiayai belanja
daerahnya, selain dengan menggunakan transfer dari pemerintah pusat, mereka
juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu PAD. Selain itu, adanya
Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta
peralihan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
sebagai pajak daerah, dapat membuat perubahan yang positif khususnya yang
berkaitan mengenai upaya peningkatan pelayanan terhadap wajib pajak dan
optimalisasi serta penguatan penyelenggaraan daerah juga merupakan potensi
untuk meningkatkan PAD.
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak

42
Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai
pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi
fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam
penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Terdapat
beberapa poin yang relatif menguntungkan pemerintah daerah, baik di level
propinsi maupun kabupaten/kota. Daerah mempunyai peluang untuk
meningkatkan PAD mengingat adanya sumber-sumber penerimaan yang cukup
potensial, yang kewenangan pemungutannya akan diserahkan kepada pemerintah
daerah, misalnya PBB dan BPHTB.
Selama ini daerah sangat tertatih-tatih untuk meningkatkan penerimaan
sendiri (PAD). Beberapa penelitian Adi (2007), Setiaji dan Adi (2007)
memberikan fakta empirik, rata-rata kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah
masih sangat minim (kurang dari 20%). Sehingga bila hakekat otonomi
ditujukan untuk peningkatan kemandirian (pembiayaan) daerah, maka bisa
dikatakan hakekat ini merupakan sesuatu yang sangat mustahil terwujud.
Selama ini, pemerintah daerah Kabupaten Kota di Sumatera Utara
memperoleh penerimaan dari pajak-pajak ini melalui mekanisme bagi hasil,
misalnya untuk PBB daerah mendapatkan minimum 80% sedangkan pusat 20%.
Bagian pemerintah pusat ini termasuk didalamnya adalah untuk menutup biaya-
biaya pemungutan pajak ini. Apabila biaya tersebut 5%, maka bersih diterima oleh
pemerintah pusat 15% dari total penerimaan PBB ini. Berarti yang diupayakan
daerah adalah tambahan penerimaan sebesar 15% itu.
Hal ini merupakan tantangan tersendiri mengingat daerah dituntut untuk
lebih efisien agar tambahan penerimaan dapat diperoleh. Alih-alih 15%, bila
daerah tidak efisien, bukan tidak mungkin bagian 20% (yang selama ini menjadi
bagian pusat) justru tidak bisa diperoleh. Disisi lain, kedua pajak
ini sangat potensial menambah PAD, dikarenakan nilai jual obyek pajak (NJOP)
akan selalu merangkak naik. Nilai properti tanah dan bangunan mempunyai
kecenderungan meningkat, khususnya tanah. Logikanya, bisa dilakukan

43
penyesuaian setiap tahunnya terhadap NJOP sepanjang ketentuan regulasi
nantinya memperkenankan. Penentuan besarnya kenaikan ini harus dilakukan
secara cermat, dilakukan oleh tenaga profesional, dan harus dikontrol secara
intensif untuk menghindari kemungkinan praktek negosiasi NJOP oleh oknum
petugas.
Meningkatnya investasi dibidang properti ini juga menjadi indikasi
penting betapa penerimaan dari sumber ini sangat berpontensial menambah
PAD. Persoalannya terletak pada bagaimana upaya daerah untuk menarik minat
investor di bidang ini. Perlu dibangun iklim investasi yang kondusif, yang
menambah daya tarik investor. Reformasi birokrasi dalam hal perijinan yang saat
ini sudah mulai dijalankan melalui kebijakan PPTSP (Pelayanan Perijinan
Terpadu Satu Pintu), akankah menjadi jargon semata atau benar-benar efektif
dijalankan
Undang-undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam
perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan
daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang
dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak
terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List).

44
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak
daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam
Undang-undang. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan
retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan
daerah. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan
secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak
dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi
Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) No.28
Tahun 2009 yang disahkan hari ini adalah sebagai berikut:
1. Penambahan jenis pajak daerah
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi
dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan
terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak
kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3
jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan,
BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota
ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan
pajak provinsi.
a. Pajak Rokok
Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan
jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu
membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok
dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain,
pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban
Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional
dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural
growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.

45
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk
mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang
memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang
bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta
penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan
mengenai larangan merokok).
b. PBB Perdesaan dan Perkotaan
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh
penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan
dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB
Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini
akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya
diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB
sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD.
d. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang
dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan
dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang
memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan PAD.

2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah


Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/ Tera
Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan
Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara
keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang

46
dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai
fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan
perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengendalian tersebut, alat ukur, takar,
dan timbang akan berfungsi dengan baik, sehingga penggunaannya tidak
merugikan masyarakat.
b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan
untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan
dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan
menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan
keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
melampaui 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.

c. Retribusi Pelayanan Pendidikan


Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan
pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan
pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
dapat dikenakan pungutan dan hasilnya digunakan untuk membiayai
kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dimaksud.
d. Retribusi Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban
tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah
dipungut oleh sejumlah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana
halnya dengan jenis retribusi lainnya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan
dimaksudkan agar pelayanan dan pengendalian kegiatan di bidang perikanan
dapat terlaksana secara terus menerus dengan kualitas yang lebih baik.

47
2. Perluasan Basis Pajak Daerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: PKB dan BBNKB,
termasuk kendaraan pemerintah. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di
hotel, dan Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.

4. Perluasan Basis Retribusi Daerah


Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan
pengenaan Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang
berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin
Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya
dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan,
penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum
beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain:
• Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%.
Khusus untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif.
• Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10%
menjadi 20%.
• Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5%
menjadi 10%. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan
lebih rendah.
• Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20% menjadi 30%.
• Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20% menjadi 25%.

48
6. Bagi Hasil Pajak Provinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan
keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat,
pajak provinsi dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai
berikut:
1. Pajak Kenderaan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
3. Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
4. Pajak Air Permukaan: Provinsi 50%, Kab/Kot 50%.
5. Pajak Rokok: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.

7. Earmarking
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus
dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan
beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai
pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh
pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut adalah :
• 10% dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk
pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi
umum.
• 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan
kesehatan dan penegakan hukum.
• Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan
penerangan jalan.
Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi
lebih baik, iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda
pungutan daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari,
serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Upaya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah yaitu melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi baik obyek pajak maupun subyek pajak daerah,
intensifikasi maksudnya adalah melakukan pendataan ulang terhadap obyek pajak

49
daerah. Sedangkan kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan pendapatan
asli daerah melalui penerimaan pajak daerah adalah masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui peraturan yang menyangkut tentang jenis-jenis pungutan
pajak, penentuan jumlah tarif pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak,
pemberian sanksi yang diberikan serta hal-hal yang berkaitan erat dengan
pelaksanaan pungutan Pajak dan Retribusi Daerah yang dipungut oleh Pemda.
Upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten kota terhadap peningkatan
pendapatan asli daerah melalui penerimaan pajak daerah yaitu:
a. Mengakuratkan data para wajib pajak sebagai potensi penerimaan Pendapatan,
b. Meningkatkan kesadaran wajib pajak,
c. Meningkatkan kualitas sistem pemungutan dan peralatan pemungutan yang
digunakan, sehingga dapat memudahkan control hasil pangutan dalam
meningkatkan penerimaan. Peningkatan pengawasan terhadap masyarakat dan
wajib pajak, misalnya dengan melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan
pajak dan pengawasan pajak yang intensif serta mengobservasi sumber-sumber
pendapatan lain untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Selain itu Formulasi strategi yang direkomendasikan yaitu (1) Isu-isu
strategis yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia dan isu
bagaimana mengeliminir kultur organisasi yang negatif, dengan strategi : (a)
Kebijakan peningkatan pendidikan; (b) Kebijakan peningkatan ketrampilan teknis;
(c) Kebijakan re-orientasi kultur organisasi (2) Isu-isu strategis yang berkaitan
prosedur manajemen perpajakan dan retribusi yang terdiri dari isu strategis
tentang bagaimana memperbaiki prosedur manajemen pemungutan pajak
/retribusi daerah, bagaimana memperbaiki mekanisme pendataan, bagaimana
meningkatkan evaluasi kegiatan, bagaimana meningkatkan koordinasi antara
dinas terkaft dengan strategi : (a) Kebijakan Manajemen "Jemput Bola"; (b)
Kebijakan Net Working System; (c) Kebijakan peningkatan kapasitas olah data;
(d) Kebijakan peningkatan mekanisme koordinasi dan evaluasi. (3) Isu strategis
optimalisasi implementasi perda pajak /retribusi dengan strategi : (a) Kebijakan
Sosialisasi; (b) Kebijakan Kolaborasi disemua lini; (4) Isu Strategis peningkatan
sarana dan pra sarana, dengan strategi : (a) Kebijakan peningkatan sarana dan

50
prasarana tekonologi informasi; (b) Kebijakan peningkatan sarana/prasarana
operasional; (5) Isu strategis penegakan hukum (Law Enforcement), dengan
strategi : (a) Kebijakan pembentukan Tim penegakan Hukum; (b) Kebijakan
Kebijakan Pemberlakuan sanksi hukum.
Beberapa kebijakan yang mendukung optimalisasi PAD diantaranya :
1. Pemerintah Pusat
Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan kepada tingkat
pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk beberapa daerah
yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia,
otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka sanggup
untuk mengelola daerahnya sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat.
Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki prasyarat
kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam euforia
otonomi itu sendiri. Banyak kebijakan yang bersifat merugikan dan sangat
prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka. Karenanya peran pusat
dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya saja ada beberapa elaborasi dan
penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran pemerintah itu nantinya juga tetap
berada dikoridor hukum, selaras dengan napas otonomi daerah. Peran tersebut
antara lain berupa penciptaan kondisi yang kondusif bagi perkembangan pajak
dan retribusi dengan tetap memperhatikan landasan hukum yang sudah disepakati
bersama. Kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah pusat dapat dibagi
menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak baik ekstensifikasi maupun
intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari sisi penggunaannya.

2. Reformasi dan Restrukturisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)


BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah dapat mendayagunakan
aset daerah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. BUMD adalah penyedia
pelayanan umum yang menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan.
BUMD mampu berperan sebagai pendukung perekonomian daerah dengan
memberikan kontribusi kepada APBD, baik dalam bentuk pajak maupun deviden
dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah melalui multiplier effect yang

51
tercipta dari kegiatan bisnis yang efisien seperti bertambahnya lapangan kerja dan
kepedulian sosial. BUMD mampu berperan sebagai countervailing power
terhadap kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan
berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan kerjasama
dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint Venture/Joint
Operation Company (JV/OC).
Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD,
yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba
termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang
semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan
petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah
Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan
kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh
manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada
benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis; Pengkajian secara
komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap
kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan
upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan
daerah;
Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat
dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :
a. Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan restrukturisasi
Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang dihadapi dan
potensi yang tersedia;
b. Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus per kasus
dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang
bersangkutan.
Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan keuntungan atau laba serta
memberikan kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai
berikut :

52
a. Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan
meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya Manusia;
b. Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan terspesialisasi
dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan professional;
c. Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan sosial,
diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
d. Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan bekerja
berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper test;
e. Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar, kenaikan
harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif listrik, BBM, dan
lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi yang jauh lebih mahal,
sehingga profit dapat diraih.

3. Kebijakan dari sisi penggunaan


Adapun beberapa kebijakan dari sisi pengguna anggaran sebagai berikut :
1. Meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM terhadap
pelaksanaan pengelolaan keuangan Daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan
asas transparansi dan akuntabilitas fiskal.
2. Memberikan arahan yang jelas tentang alokasi anggaran terhadap sumber -
sumber penerimaan baik PAD maupun transfer pusat. Adapun peran pusat
hanya sekedar memberikan arahan tentang hal yang seyogyanya dilakukan oleh
Daerah. Adapun aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai prosentase
tertentu digunakan untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan
memberikan standar yang sama di seluruh Indonesia. Sementara DAU yang
diterima sampai prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional
(tunjangan) aparat Daerah, pelayanan publik yang bersifat intangible serta
proyek pembangunan jangka pendek. Sementara DAK diarahkan untuk
mensukseskan program nasional yang bersifat prioritas serta pencapaian
Standar Pelayanan Minimal di masing-masing Daerah. Sementara untuk proyek
pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan pada sumber dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan Menteri Teknis.

53
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
1. Secara simultan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh
signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hasil
penelitian ini memperkuat penelitian Haryadi (2002), Jimenez (2007) dan
Condrey (2010).
2. Secara parsial hanya variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
yang berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Sedangkan variabel Pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB tidak berpengaruh
signifikan dengan tingkat alpha 5 % terhadap Fiscal Stress di
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

5.2. Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian ini yaitu :
1. Sampel dalam penelitian ini dibatasi pada kabupaten/kota tertentu yang
memiliki ketersediaan data, yaitu 25 kabupaten/ kota di Propinsi Sumatera
Utara. Hal ini menyebabkan hasil penelitian hanya berlaku untuk kabupaten/
kota yang menjadi sampel penelitian, sehingga belum dapat di generalisasi
untuk seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
2. Penelitian ini tidak memberikan secara rinci alokasi penggunaan Pendapatan
Asli Daerah dan Komponen Belanja Modal/Pembangunan manakah yang
memberikan kontribusi yang besar terhadap perubahan Fiscal Stress dan
variabel Pertumbuhan ekonomi diproksikan hanya dengan PDRB harga
berlaku sehingga terdapat pengaruh inflasi dan perkembangan harga.

5.3. Rekomendasi
1. Bagi Bapak Gubernur Sumatera Utara agar memanfaatkan peluang dari
adanya UU No.28 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah dimana dengan

54
berlakunya UU tersebut yang efektif mulai dari tanggal 01 Januari 2010 maka
dapat memperkecil terjadinya gap fiskal stress yang ada sehingga dapat
meningkatkan kemandirian Propinsi Sumatera Utara. Upaya yang dilakukan
dengan meningkatkan pos Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta
mengoptimalkan BUMD sebagai salah satu komponen sumber pendapatan
daerah Provinsi Sumatera Utara.
2. Bagi Bapak/Ibu Anggota Dewan DPRD Provinsi Sumatera Utara agar
melakukan pengawasan lebih intens atas UU No.28 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah dimana dengan berlakunya UU tersebut yang efektif mulai
dari tanggal 01 Januari 2010 karena dapat meningkatkan kemadirian Provinsi
Sumatera Utara melalui peningkatan pos penerimaan pada APBD Kabupaten
Kota di Sumatera Utara.
3. Bagi peneliti berikutnya dimasa mendatang agar memperkecil sampel
penelitian pada skop Kabupaten atau Kota sehingga bisa diidentifikasi
permasalahan utama pada kasus Kabupaten/Kota tertentu.
4. Komponen PAD dan komponen Belanja Modal agar diteliti lebih lanjut pos
manakan yang berperan dominan dan mampu memberikan masukan dan saran
kepada kepala daerah.
5. Penelitian berikutnya agar meneliti persegmen atas kondisi BUMD sehingga
mampu memberikan solusi dan saran yang tepat kepada Bapak Gubernur
bagaimana penyelesaian yang ideal atas permasalahan BUMD pada
Kabupaten Kota di Sumatera Utara dan peneliti berikutnya sebaiknya
menggunakan komponen pertumbuhan ekonomi dengan PDRB harga konstan
sehingga dapat mengurangi efek inflasi dan perkembangan barang dan jasa.

55
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

_____________ 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja


Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan
Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.

_____________ 2007. Kemampuan Keuangan Daerah dan Relevansinya dengan


Pertumbuhan Ekonomi. The 1st National Accounting Conference.
Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Jakarta.

Andrew Young School of Policy Studies. Working Paper. Dongori,Dessy Patricia


F. 2006. Pengaruh Tekanan Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah
Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Fakultas Ekonomi Universitas
Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Andayani W, 2004. Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Jurnal


Akuntansi dan Keuangan Sektor publik vol 05, No 1 Februari.

Bappenas. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Propinsi dalam Era Otonomi


Daerah (Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan
Daerah)“, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah.
www.bappenas.go.id.

Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martines Vasques. 2002. An Analysis of


Indonesia’s TransferSystem : Recent Performance and Future Prospect.
George State University.

Brata, Aloysius Gunadi. 2004. Komposisi Penerimaan Sektor Publik Dan


Pertumbuhan Ekonomi Regional. Lembaga Penelitian Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.

Dongori,Dessy Patricia F. 2006. Pengaruh Tekanan Fiskal Terhadap Kinerja


Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Fakultas
Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS,


Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Halim, Abdul. 2001. Analisis Deskriptif Pengaruh Fiscal stress Pada APBD
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kompak. STIE
Yogyakarta.

56
Haryadi, Bambang, 2002. Analisis Pengaruh Fiscal Stress Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Menghadapi Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Simposium Nasional Akuntansi V. Semarang.

Jonathan P. West dan Stephen E. Condrey. 2010. Municipal Government


Strategies for Controlling Personnel Costs During the Fiscal Storm.
Working Paper IMF.

Kamna Lal dan Benedict Jimenez. 2007. Assessing the Impact of Fiscal Stress on
Capital Debt Financing : Evidence from the States. Working Paper.

Menchick, Paul L, 2002. Demographic Change and Fiscal Stress on States: The
Case of Michigan. Michigan State University. Applied Research.

Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis


Perekonomian Daerah:. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Pendalaman Ekonomi Rakyat.

Mullen, K Jhon, 1990. Property Tax Exemption and Local Fiscal Stress. National
Tax Journal. Vol 43. No.4.

Nanga, 2005. Disparitas Fiskal di Indonesia. Jurnal Kritis. Universitas Kristen


Satya Wacana. Salatiga.

Pratomo, Wahyu dan Paidi Hidayat, 2009. Pedoman Praktis Penggunaan E-views
dalam Ekonometrika. Penerbit USU Press Medan.

Purnaninthesa. Anggita. 2006. Analisis Pengaruh Fiscal Stress terhadap Tingkat


Pembiayaan Daerah, Mobilisasi Daerah, Ketergantungan dan
Desentralisasi Fiskal Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Menghadapi
Otonomi Daerah (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota Se Jawa Tengah).
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya. Wacana. Salatiga.

Ravi Balakrishnan, et al. 2009. The Transmission of Financial Stress from


Advanced to Emerging Economies. IMF Working Paper.

Reschovsky, Andrew, 2003. The Implication of State Fiscal Stress for Local
Governments. Fiscal Journal. Vol 4. No.3.

Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia.

Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah
Sesudah Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran? Simposium
Nasional Akuntansi X. Makassar.

57
Shamsub, Hannarong., Joseph B Akoto. 2004. State and Local Fiscal Structures
and Fiscal Stress. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial
Management, Vol 16, No 1 Hal: 40-61.

Sukarwo, 2003. Berbagai Permasalahan Keuangan daerah, Airlangga University


Press. Surabaya

Sidik, Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Makalah
disampaikan Acara Orasi Ilmiah. Bandung. 10 April 2002.

Syaiful, 2006. Pengertian dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang dan Belanja
Modal dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan.

Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah.

Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).

58

Anda mungkin juga menyukai