DI SUMATERA UTARA
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan belanja modal/pembangunan dan
pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap fiscal stress kabupaten/kota di
Sumatera Utara.
Penelitian ini menggunakan sampel 25 (dua puluh lima) dari 33 (tiga puluh
tiga) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama periode 6 tahun dari tahun 2004-
2009. Variabel pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan belanja
modal/pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) menggunakan data tahun
2004-2008, sedangkan untuk variabel fiscal stress menggunakan data tahun 2005-
2009. Dengan menggunakan metode analisis regresi berganda dan model efek acak
dengan melakukan pengujian asumsi klasik yaitu normalitas, multikolinearitas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Hasil penelitian menunjukkan secara secara simultan Pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan dan
Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian
Haryadi (2002), Jimenez (2007) dan Condrey (2010). Secara parsial hanya variabel
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berpengaruh signifikan terhadap
fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Sedangkan variabel Pertumbuhan
Belanja Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB tidak berpengaruh
signifikan dengan tingkat alpha 5 % terhadap Fiscal Stress di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa 6 % variabel Fiscal Stress dapat
dijelaskan oleh Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB. Sisanya sebesar 94 %
diduga dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.
i
EXECUTIVE SUMMARY
ii
daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah masih dipungut dan disetor kepada
Pemerintah Pusat. Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, suatu bentuk apresiasi
pelaksanaan otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang semakin besar
kepada Daerah dalam rangka penyelenggaran Pemerintah Daerah yang berbasis
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masih minimnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD), basis pajak daerah yang masih terbatas, banyaknya Peraturan Daerah
bermasalah perihal pemungutan, dan lemahnya pengawasan pungutan daerah yang
dikarenakan sistem pengawasan masih bersifat represif juga penerapan sanksi yang
belum maksimal.
Propinsi Sumatera Utara memiliki 33 Kabupaten/Kota, setiap kabupaten/kota
diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan daerahnya yang diharapkan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerahnya. Dan setiap
Kabupaten/Kota memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). dibuat
untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah,
berapa besar biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja
pemerintah tersebut.
PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
memiliki peranan yang besar sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Penurunan kegiatan ekonomi
diberbagai daerah juga menyebabkan penurunan PAD daerah sehingga menghambat
pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh
pemerintah daerah secara otonom. Begitu juga sebaliknya peningkatan kegiatan
ekonomi diberbagai daerah akan meningkatkan PAD daerah sehingga pelaksanaan
kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah
tidak terhambat. UU No. 28 tahun 2009 merupakan peraturan yang memuat pajak
daerah dan retribusi daerah, dimana di dalamnya terdapatnya empat jenis pajak baru
yang diberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah yaitu Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
iii
Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya menjadi wewenang pusat, Pajak Sarang
Burung Walet sebagai pajak Kabupaten/Kota serta Pajak Rokok yang merupakan
pajak baru bagi Propinsi. Disamping itu juga terdapat empat jenis retribusi baru bagi
daerah yaitu Retribusi Pelayanan Tera Ulang, Retribsui Pendidikan, Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Hasil penelitian menunjukkan secara simultan Pertumbuhan Pendapatan Asli
Daerah, Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi/PDRB berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Haryadi (2002), Jimenez
(2007) dan Condrey (2010).
Secara parsial hanya variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
yang berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara. Sedangkan variabel Pertumbuhan Belanja Modal/Pembangunan dan
Pertumbuhan Ekonomi/PDRB tidak berpengaruh signifikan dengan tingkat alpha 5
% terhadap Fiscal Stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
Atas hal tersebut maka rekomendasi kepada Gubernur serta Bupati/Walikota
pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara agar memanfaatkan peluang dari adanya
UU No.28 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah dimana dengan berlakunya UU
tersebut yang efektif mulai dari tanggal 01 Januari 2010 maka dapat memperkecil
terjadinya gap fiskal stress yang ada sehingga dapat meningkatkan kemandirian
Propinsi Sumatera Utara. Upaya yang dilakukan dengan meningkatkan pos Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah serta mengoptimalkan BUMD sebagai salah satu
komponen sumber pendapatan daerah Provinsi Sumatera Utara.
Bagi Bapak/Ibu Anggota Dewan DPRD Provinsi Sumatera Utara agar
melakukan pengawasan lebih intens atas UU No.28 Tentang Pajak dan Retribusi
Daerah dimana berlakunya UU tersebut yang efektif mulai dari tanggal 01 Januari
2010 karena dapat meningkatkan kemadirian Provinsi Sumatera Utara melalui
peningkatan pos penerimaan pada APBD Kabupaten Kota di Sumatera Utara.
iv
DAFTAR ISI
Abstrak i
Executive Summary ii
Daftar Isi v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Penelitian 1
1.2. Perumusan Masalah 7
1.3. Batasan Masalah 8
1.4. Tujuan Penelitian 8
1.4. Manfaat Penelitian 8
v
4.5.1. Pemilihan Model 37
4.5.2. Hasil Analisis 37
4.6. Pembahasan 40
DAFTAR PUSTAKA 56
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Untuk mengatasi permasalahan yang menghambat pencapaian tingkat
kesejahteraan masyarakat, Pemerintah (Daerah) sebagai penyelenggara
pembangunan dan sekaligus abdi masyarakat, harus dapat merencanakan
pembangunan, kini dan di masa yang akan datang. Sehingga untuk mendukung
koordinasi antar pelaku pembangunan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat,
menjamin tercapainya sumber daya secara efisien dan berkeadilan serta menjamin
terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergis diperlukan suatu dokumen
perencanaan, yaitu melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
yang sesuai dengan amanah pasal (3) dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Provinsi Sumatera Utara memiliki
33 Kabupaten/Kota, yang terdiri dari Medan, Pematang Siantar, Binjai, Tobasa,
Tebing Tinggi, Sibolga, Padang Sidempuan, Karo, Deli Serdang, Samosir, Taput,
Tapsel, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Padang
Lawas, Padang Lawas Selatan, Kota Gunung Sitoli, Tanjung Balai, Simalungun,
Langkat, Serdang Bedagai, Dairi, Asahan, Humbahas, Batubara, Tapanuli Tengah,
Madina, Pakpak Bharat, Nias Utara, Nias dan Nias Selatan. Masing-masing
kabupaten/ kota ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan namun
disamping itu tergambar pula keterbatasan kemampuan untuk mengelola baik dari
Pemerintahan Daerah maupun dari masyarakat.
1
daerah melepaskan diri dari belenggu krisis moneter (Saragih, 2003). Secara
eksplisit Brojonegoro (2003) menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi dinilai
sebagai penerapan pendekatan Big Bang dikarenakan pendeknya waktu persiapan
untuk negara yang besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan.
Otonomi daerah dilaksanakan pada saat daerah mempunyai tingkat kesiapan yang
berbeda, baik dari segi sumber daya maupun kemampuan manajerian daerah.
2
Tabel 1.1 : Kondisi Keuangan Kabupaten KotaTahun 2009 (Dalam Jutaan)
Total Belanja % %
Obs KABUPATEN DAU DAK DBH PAD
Transfer Dearah PAD/Transfer Transfer/Belanja
1 Kab. Nias 149250.49 50210.77 8620.85 208082.11 7250 346371 3.48% 60.07%
Kab.
Mandailing
2 Natal 385221 52781 30759 468761 10683 574656 2.28% 81.57%
Kab. Tapanuli
3 Selatan 274928 54190 45632 374750 30998 529958 8.27% 70.71%
Kab. Tapanuli
4 Tengah 311655.65 49299.9 23251.42 384206.97 15500 311450 4.03% 123.36%
Kab. Tapanuli
5 Utara 360547 60756 27106 448409 7809 547347 1.74% 81.92%
Kab. Toba
6 Samosir 279899 50019 28578 358496 14012 490243 3.91% 73.13%
Kab. Labuhan
7 Batu 296250.14 41591.2 47600.85 385442.19 34651.44 247111 8.99% 155.98%
8 Kab. Asahan 446561 77532 38141 562234 20044 648828 3.57% 86.65%
Kab.
9 Simalungun 634437 77477 73565 785479 39113 937193 4.98% 83.81%
10 Kab. Dairi 327835 48026 26346 402207 9134 439818 2.27% 91.45%
11 Kab. Karo 393390 49370 19705 462465 24293 655106 5.25% 70.59%
Kab. Deli
12 Serdang 804029 95766 123956 1023751 102735 1318989 10.04% 77.62%
13 Kab. Langkat 597473 63972 132839 794284 31605 938838 3.98% 84.60%
Kab. Humbang
14 Hasundutan 260055 49257 30023 339335 13949 388606 4.11% 87.32%
Kab. Serdang
15 Bedagai 396352 75214 46266 517832 25439 621646 4.91% 83.30%
16 Kota Sibolga 211207 37461 22186 270854 11515 324942 4.25% 83.35%
Kota Tanjung
17 Balai 227872 41326 20374 289572 15421 380370 5.33% 76.13%
Kota Pematang
18 Siantar 307529 39229 28093 374851 23592 487196 6.29% 76.94%
Kota Tebing
19 Tinggi 221405 33285 18912 273602 15116 362546 5.52% 75.47%
20 Kota Medan 900206 50645 244940 1195791 365979 2138439 30.61% 55.92%
21 Kota Binjai 283641 28399 64106 376146 16157 407488 4.30% 92.31%
Kota Padang
22 Sidempuan 256539 38751 26829 322119 12061 351044 3.74% 91.76%
Sumber : Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Jakarta. 2011.
3
kepada Pemerintah Pusat. Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, suatu bentuk
apresiasi pelaksanaan otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang
semakin besar kepada Daerah dalam rangka penyelenggaran Pemerintah Daerah
yang berbasis pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masih
minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), basis pajak daerah yang masih
terbatas, banyaknya Peraturan Daerah bermasalah perihal pemungutan, dan
lemahnya pengawasan pungutan daerah yang dikarenakan sistem pengawasan
masih bersifat represif juga penerapan sanksi yang belum maksimal.
4
sebaliknya peningkatan kegiatan ekonomi diberbagai daerah akan meningkatkan
PAD daerah sehingga pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan
pelayanan masyarakat oleh pemerintah tidak terhambat. UU No. 28 tahun 2009
merupakan peraturan yang memuat pajak daerah dan retribusi daerah, dimana di
dalamnya terdapatnya empat jenis pajak baru yang diberikan wewenang
sepenuhnya kepada daerah yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
yang sebelumnya menjadi wewenang pusat, Pajak Sarang Burung Walet sebagai
pajak Kabupaten/Kota serta Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi
Propinsi. Disamping itu juga terdapat empat jenis retribusi baru bagi daerah yaitu
Retribusi Pelayanan Tera Ulang, Retribsui Pendidikan, Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
5
Sempitnya waktu berakibat masih banyaknya Pemerintah Daerah belum
mengeluarkan Perda mengenai BPHTB. Karena itu bagi Pemerintah Daerah yang
belum memiliki Perda tidak diperkenankan untuk melakukan pemungutan
BPHTB terhutang kepada masyarakat dalam rangka proses pengalihan hak atas
tanah dan bangunan.
6
(tekanan keuangan), sehingga terjadi penurunan rata-rata pendapatan dan belanja
daerah.
7
1.3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Penelitian ini membatasi aspek fiscal stress dari sisi usaha pencapaian PAD
dibandingkan dengan Anggaran PAD yang ditetapkan. Variabel potensi PAD
seharusnya lebih tepat dmasukkan sebagai indikator fiscal stress.
2. Penelitian ini hanya menggunakan data tahun 2004-2009. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diberlakukan mulai tanggal 01 Januari 2010. Data pada tahun 2010 tidak
disertakan seiring pada proses penyelesaian penelitian ini data tahun 2010
tidak dapat diperoleh.
3. Indikator pertumbuhan ekonomi bukan hanya berdasarkan pendekatan
produksi seperti penggunaan PDRB harga berlaku akan tetapi indikator lain
misalnya pengangguran, kemiskinan atau indikator dibidang kesehatan dan
sumber daya manusia tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
8
faktor-faktor yang mempengaruhi fiscal stress Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara.
2. Sebagai masukan dan rekomendasi kepada Bapak Gubernur Provinsi
Sumatera Utara terkait kebijakan yang diambil dalam menyusun Anggaran
dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi fiscal stress
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
3. Sebagai masukan kepada seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik
dipusat maupun didaerah terutama pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara agar benar-benar mengawasi pelaksanaan penyerapan
Anggaran Belanja yang dikucurkan dari pusat untuk menutupi belanja
daerahnya.
4. Sebagai masukan bagi peneliti lainnya menentukan variabel-varabel apa saja
yang terkait dengan fiscal stress di Sumatera Utara.
9
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Fiscal Stress
10
untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab
fiscal stress.
11
Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari PAD. Sesuai
dengan UU No.33 Tahun 2004 disebutkan bahwa PAD terdiri dari: pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-
lain PAD yang sah. Namun, diantara semua komponen PAD, pajak dan retribusi
daerah merupakan penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya
PAD identik dengan pajak dan retribusi daerah. Halim (2007:96) menyatakan
bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Yani (2008:44) menjelaskan
bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Dan Lain-lain PAD
yang sah.
12
sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas
tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/ biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan,
pembangunan/ pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk
perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang
menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
13
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu Daerah mengelola
sumber saya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang
dihasilkan oleh masing-masing Propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber
daya alam dan faktor produksi Daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam
penyediaan faktor-faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar
Daerah. Dalam perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung
pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam
tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan
mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan
oleh sektor pertanian dan jasa-jasa.
Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu
pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :
1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha
yaitu ; Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik,
Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran,
Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua
komponen permintaan akhir yaitu :
• Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari laba
• Konsumsi pemerintah
• Pembentukan modal tetap domestik bruto
• Perubahan stok
• Ekspor netto
14
3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam
suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor
produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan
keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan
dan pajak lainnya.
15
domestik bruto (PDB/PDRB), namun demikian indikator ini dianggap tidak selalu
tepat dikarenakan tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya.
Indikator lain, yaitu pendapatan per kapita dapat digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi ini (Kuncoro,2004; Gaspersz dan Feonay, 2003). Indikator
ini lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi dikarenakan lebih
menekankan pada kemampuan negara/daerah untuk meningkatkan PDB/PDRB
agar dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Indikator ini secara simultan
menunjukkan apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan
kesejahteraan seiring dengan semakin cepatnya laju pertambahan penduduk.
16
proporsi pajak daerah relatif tidak terpengaruh, bahkan proporsinya sedikit naik
dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
17
daerah mengalami fiscal stress yang tinggi (yaitu pada saat krisis ekonomi) maka
terdapat kecenderungan peningkatan belanja daerah.
18
kemandirian daerah akan meningkat pula, sehingga pemerintah daerah akan
berinsisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu (Tambunan, 2006).
Peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah (Saragih,
2003). Oleh karena itu, daerah tidak akan berhasil bila daerah tidak mengalanii
pertumbuhan ekonomi yang berarti meskipun terjadi peningkatan penerimaan
PAD. Bila yang terjadi sebaliknya, maka bisa diindikasikan adanya eksploitasi
PAD terhadap masyarakat secara berlebihan tanpa memperhatikan peningkatan
produktifitas masyarakat itu sendiri. Sidik (2002) menegaskan bahwa keberhasilan
peningkatan PAD hendaknya tidak hanya diukur dari jumlah yang diterima, tetapi
juga diukur dengan perannya untuk mengatur perekonomian masyarakat agar
dapat lebih berkembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Pada gilirannya harapan untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah dapat terpenuhi. Berarti pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh
terhadap fiscal stress.
19
Tabel 2.1. Reviu Penelitian Terdahulu
Variabel
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
1 Nanga (2005) Disparitas Fiskal Uji Beda dengan Adanya disparitas
di Indonesia variabel PAD (kapasitas) fiskal yang
dan Pertumbuhan tinggi antar daerah
Ekonomi memasuki era otonomi
2 Haryadi (2002) Analisis Pengaruh Fiscal Stress Fiscal stress secara
Fiscal Stress Terhadap Kinerja signifikan berpengaruh
terhadap Kinerja Keuangan terhadap kinerja
Keuangan Pemerintah keuangan pemerintah
Pemerintah Kabupaten/kota di
Kabupaten/Kota Jawa Timur sebelum
Dalam dan sesudah krisis.
Menghadapi
Pelaksanaan
Otonomi Daerah
3 Andayani (2004) Analisis Anggaran Deskriptif atas Terjadi perubahan
Pendapatan dan Anggaran rata-rata pendapatan
Belanja Daerah Pendapatan dan dan belanja daerah
Belanja Daerah Kabupaten/Kota
sebelum dan sesudah
adanya krisis. Pada
masa krisis ekonomi,
rata-rata pendapatan
dan belanja daerah
kabupaten/kota
mengalami penurunan
yang signifikan.
Penerimaan daerah
yang tidak stabil
selama krisis ekonomi
menyebabkan adanya
kondisi fiscal stress
(tekanan keuangan),
sehingga terjadi
penurunan rata-rata
pendapatan dan
belanja daerah.
4 Kamna Lal dan Assessing the Political The influence of
Benedict Impact of Fiscal variables, fiscal political variables,
Jimenez (2007) Stress on Capital and fiscal and budgetary
Debt Financing : budgetary institutions,
Evidence from the institutions, demographic factors,
States demographic and economic
factors, and variables on capital
economic debt
variables on financing.
capital debt
financing
20
5 Jonathan P. Municipal Demographic Jurisdictions whose
West dan Government and municipal fiscal
Stephen E. Strategies for organizational conditions are
Condrey (2010). Controlling variables and considered to
Personnel Costs economic be fair or poor are
During the Fiscal climate. more likely than cities
Storm whose fiscal
conditions are
perceived to be good
to
excellent to use many
of the cost reduction
strategies. Other
demographic and
organizational
variables had some
limited relationship
with the use of
strategies, but were not
as significantly
associated with cost-
containment actions as
city economic climate
6 Ravi The Transmission Financial crises, Past banking sector
Balakrishnan, of Financial Stress financial stress financial stress in
Stephan from Advanced to index, emerging advanced economies
Danninger, Emerging economies implies that the
Selim Elekdag, Economies decline capital flows
and IrinaTytell may be large and
(2009) drawn-out
21
PERTUMBUHAN
PAD (X1)
PERTUMBUHAN
BELANJA FISCAL
MODAL/PEMBANGU STRESS (Y)
NAN (X2)
PERTUMBUHAN
PDRB (X3)
22
BAB III
METODE PENELITIAN
23
PPAD (t) = PADt/PADt-1 x 100 %
Keterangan:
PPAD (t) = Pertumbuhan Pendapatan Daerah periode t
PAD (t) = Pendapatan Asli Daerah periode t
PAD (t-1) = Pendapatan Asli Daerah periode t-1
24
Tabel 3.1 : Operasionalisasi Variabel
Nama Kriteria
Definisi Indikator Skala
Variabel Ukuran
Fiscal Realisasi penerimaan PAD Realisasi Rasio
Stress (Y) dibandingkan dengan nilai PAD saat ini
potensi pendapatan Asli dibanding
Daerah realisasi PAD
dimasa lalu
Pertumbuhan jumlah Laporan Realisasi Rasio
Pertumbu realisasi penerimaan daerah APBD PAD tahun
han yang bersumber dari hasil Pemkab/Pe 2004-2008
Pendapatapajak daerah, retribusi mko Sumut.
n Asli daerah, hasil pengelolaan
Daerah kekayaan daerah yang
(X1) dipisahkan dan lail-lain
penerimaan PAD yang sah
Pertumbu Pertumbuhan jumlah Laporan Realisasi Rasio
han anggaran pengeluaran baik APBD Belanja
Belanja langsung maupun tidak Pemkab/Pe Modal/Pemba
Modal/Pe langsung terkait dan mko Sumut. ngunan tahun
mbanguna berhubungan dengan 2004-2008
n (X2) program atau kegiatan.
Pertumbu Indikator pertumbuhan Buletin BPS PDRB Harga Rasio
han ekonomi suatu daerah yang Sumut. Berlaku di
Ekonomi diukur dari total 9 sektor Sumut tahun
(X3) yang ada pada suatu 2004-
wilayah/daerah. 2008(Milyar)
25
Adapun deskripsi data Kabupaten/Kota yang telah ditentukan sebagai
sampel. Kabupaten/Kota yang terpilih menjadi sampel penelitian adalah sebanyak
25 (dua puluh lima) sampel yang terdapat pada Tabel 3.2 berikut :
Tabel 3.2 : Populasi dan Sampel Penelitian
Kriteria
NO NAMA KABUPATEN/ KOTA Sampel
1 2
1. Kota Binjai v v v
2. Kota Medan v v v
3. Kota Sibolga v v v
4. Kota Padang Sidempuan v v v
5. Kota Tebing Tinggi v v v
6. Kota Tanjung Balai v v v
7. Kota Pematang Siantar v v v
8. Kabupaten Asahan v v v
9. Kabupaten Humbang Hasundutan v v v
10. Kabupaten Toba Samosir v v v
11. Kabupaten Samosir v v v
12. Kabupaten Pakpak Bharat v v v
13. Kabupaten Tapanuli Selatan v v v
14. Kabupaten Tapanuli Tengah v v v
15. Kabupaten Pakphak Barat v v v
16. Kabupaten Tapanuli Utara v v v
17. Kabupaten Nias Selatan v v v
18. Kabupaten Deli Serdang v v v
19. Kabupaten Karo v v v
20. Kabupaten Labuhan Batu v v v
21. Kabupaten Nias v v v
22. Kabupaten Langkat v v v
23. Kabupaten Mandailing Natal v v v
24. Kabupaten Simalungun v v v
25. Kabupaten Dairi v v v
26. Kabupaten Nias Utara x x x
27. Kota Gunung Sitoli x x x
28. Kabupaten Labusel x x x
29. Kabupaten Labura x x x
30. Kabupaten Palas x x x
31. Kabupaten Paluta x x x
32. Kabupaten Batubara x x x
33. Kabupaten Serdang Bedagai x x x
Sumber : www.sumutprov.go.id.
26
3.4. Model Analisis
Model analisis regresi berganda dengan metode Random Effect Model
yang digunakan adalah :
Y = + ß1 PPADX1 + ß2 PBMX2 + ß3 PPDRBX3 + e
dimana :
Y = Fiscal Stress
= Konstanta
ß = Slope atau koefisien regresi
PPAD (X1) = Pertumbuhan PAD
PBM (X2) = Pertumbuhan Belanja Daerah
PPDRB (X3) = Pertumbuhan PDRB
e = error
27
BAB IV
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa dari jumlah N sampel
sebanyak 125, dimana rata-rata jumlah rasio Fiscal Stress (Y) Kabupaten Kota di
Sumut sebesar 1.23 artinya realisasi perolehan Pendapatan Asli Daerah dengan
Anggaran PAD di Kabupaten Kota di Sumut rata-rata mencapai target yang
ditetapkan bersama dengan DPRD. Rasio Fiscal Stress (Y) terendah sebesar 0.00
dan tertinggi sebesar 8.57 % dengan standar deviasi 0.96 % dari rata - rata.
Dengan melihat angka fiscal stress pada suatu daerah maka dapat memberikan
suatu gambaran bagaimana capaian atas PAD melampaui dari target yang
ditetapkan. Makna lain menunjukkan bahwa seiring diatas rata-rata nya rasio
fiscal stress menunjukkan intensif nya usaha pemerintah daerah untuk
meningkatkan kapasitas pendapatan daerah nya.
Rata-rata peningkatan Belanja Modal (BM) Kabupaten Kota di Sumut
sebanyak 4.86 %. Peningkatan Belanja Modal tersebut mengindikasikan bahwa
kebutuhan untuk mengalokasikan atas belanja pembangunan cenderung
meningkat. Alokasi Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah
28
yang langsung berhubungan ke masyarakat seperti Pembangunan Jalan dan
Jembatan dan juga Irigasi. Semakin tinggi belanja modal suatu daerah
menunjukkan tingginya perhatian pemerintah daerah untuk memenuhi sarana dan
prasarana kepada masyarakat. Persentase Belanja Modal (BM) terendah sebesar -
0.88 % artinya ada alokasi Belanja Modal pada Kabupaten Kota yang cenderung
menurun. Hal ini disebabkan karena kebutuhan untuk menutupi Belanja Tidak
Langsung yang begitu besar sehingga proporsi belanja modal harus dikurangi.
Fokus perhatian bagi Kepala Daerah agar memperhatikan kecenderungan
fenomena ini sehingga defisit APBD dapat dikurangi.
Persentase Belanja Modal (BM) tertinggi sebesar 65.42 %. Tingginya
alokasi belanja modal tersebut disebabkan tinggi nya PAD ataupun adanya daerah
pemekaran baru sehingga alokasi belanja modal lebih banyak dianggarkan.
Beberapa daerah yang memiliki Belanja Modal yang tinggi seperti Kabupaten
Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Nias Selatan. Belanja modal
merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok
Belanja Administrasi Umum. Belanja Modal merupakan belanja daerah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya pembangunan dan perbaikan sektor
pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati manfaat
dari pembangunan daerah. Tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat
menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat
diharapkan menjadi semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan
pertumbuhan ekonomi.
Besarnya Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan oleh PDRB harga
berlaku pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara rata-rata pertumbuhannya
sebesar 0.23 % dari rata-rata. Pertumbuhan PDRB tertinggi mencapai 7.8 % dan
penurunan PDRB terendah sebesar 1.04 %. Penurunan PDRB disebabkan karena
adanya pemekaran dari Kabupaten induk. Dengan demikian terjadi pertumbuhan
yang dinamis pada Kabupaten Kota di Sumatera Utara. Besarnya Standar deviasi
dari rata-rata PDRB sebesar tersebut menggambarkan tingginya disparitas
29
pertumbuhan ekonomi antar daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
sebesar 0.74 % artinya dispartitas perbedaan tidak terlalu besar dari rata-rata
pertumbuhan yang sebesar 0.23 %. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi
tersebut dapat terus dipertahankan dan diupayakan terus meningkat dan dapat
melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
30
b. Uji Statistik
Uji Normalitas bertujuan untuk melihat apakah model regresi, variabel
pengganggu atau residual berdistribusi normal. Untuk itu dilakukan uji one
sample Kolmogorov Smirnov Test. Adapun hasil pengujian terdapat pada Tabel
4.2 berikut :
Dari hasil pengujian terlihat pada Tabel 4.2 tersebut terlihat besarnya nilai
Kolmogorov- Smirnov adalah 1.161 dan signifikansinya pada 0.135 dan nilainya
jauh diatas α = 0.05 Dalam hal ini berarti H0 ditolak yang berarti data residual
berdistribusi normal.
31
Tabel 4.3 Uji Multikolinieritas
a
Coefficients
Collinearity Statistics
Model Tolerance VIF
1 PAD_Growth_X1 .976 1.025
BM_Growth_X2 .986 1.015
PDRB_Growth_X3 .988 1.012
a. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Output SPSS 17.
Dari Tabel 4.3 diatas, terlihat bahwa variabel independen yaitu
PAD_Growth_X1, BM_Growth_X2 dan PDRB_Growth_X3 mempunyai angka
Variance Inflation Factor (VIF) dibawah angka 10. Hal ini berarti bahwa regresi
yang dipakai untuk ke 3 (tiga) variabel independen diatas tidak terdapat persoalan
multikolinieritas.
32
tersebut tidak dapat ditolak. Hasil yang terlihat pada Tabel 4.4 menunjukkan
koefesien parameter untuk variabel independent PAD_Growth_X1,
BM_Growth_X2 dan PDRB_Growth_X3 tidak ada yang signifikan
(PAD_Growth_X1 dengan tingkat signifikansi 0.562, BM_Growth_X2 dengan
tingkat signifikansi 0.945 dan PDRB_Growth_X3 dengan tingkat signifikansi
0.719. Maka dapat disimpulkan model regresi tidak terdapat heteroskedastisitas.
33
4.3. Hasil Analisis Dengan SPSS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan pendapatan asli daerah,
pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap
fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara secara simultan dapat diterima.
Sedangkan secara parsial hanya Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah yang
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara. Sedangkan
pertumbuhan belanja modal/pembangunan dan Pertumbuhan ekonomi (PDRB)
tidak berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pengujian uji kesesuaian dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model
regresi, karena variabel penelitian lebih dari dua variabel maka kelayakan tersebut
dapat dilihat dari nilai Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square yang diperoleh
dari hasil pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 4.6 di bawah ini :
Tabel 4.6. Pengujian Kelayakan Model
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .288a .083 .060 .93236 1.855
a. Predictors: (Constant), PDRB_Growth_X3, BM_Growth_X2, PAD_Growth_X1
b. Dependent Variable: FS_Y
Sumber : Hasil Olah Data SPSS.
Nilai Adjusted R Square pada Tabel 4.6 diatas sebesar 0,060. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya 6 % variabel fiscal stress dapat dijelaskan oleh
variabel independen yang ada yaitu Pertumbuhan pendapatan asli daerah,
pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap
fiscal stress. Sisanya sebesar 94 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
dijelaskan oleh model penelitian ini. Untuk melihat tingkat kepercayaan hasil uji
hipotesis, selanjutnya dilakukan uji signifikan. Uji signifikan dibedakan atas uji
signifikan simultan (uji F) dan uji signifikan parsial (uji t) dengan taraf signifikan
α = 5%.
34
4.4. Model Uji Hipotesis
4.4.1. Uji Signifikan Simultan (Uji F)
Secara simultan variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah,
pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap
fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara. Indikator signifikansi parameter
koefesien Adjusted R2 signifikan atau tidak maka dapat dilakukan pengujian
dengan bantuan alat uji statistik metode Fisher (Uji F) dengan tingkat keyakinan
(confident level) sebesar 95 %. Kriteria pengujian yang digunakan adalah apabila
Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak; dan apabila Fhitung ≤ Ftabel maka Ho dapat diterima.
Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 4.7 dibawah ini :
Tabel 4.7 Hasil Regresi Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 9.496 3 3.165 3.641 .015a
Residual 105.185 121 .869
Dari Tabel 4.7 diperoleh nilai Fhitung sebesar 3,641 sedangkan Ftabel pada
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) adalah 2,52. Hal ini berarti bahwa nilai
Fhitung>Ftabel (3,641 >2,52). Hal ini memberikan arti bahwa pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh terhadap fiscal stress kabupaten/kota di Sumatera Utara. Dengan
demikian hipotesis pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja
modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap fiscal stress
kabupaten/kota di Sumatera Utara diterima (Ho ditolak sedangkan H1 diterima).
35
Tabel 4.8 : Uji t
a
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.129 .099 11.419 .000
Dari Tabel 4.8 diatas dapat disusun persamaan regresi berganda berikut :
Fiscal Stress_Y = 1.129 +0,261X1 - 0,005X2 + 0,217X3 + e
Model persamaan regresi berganda tersebut bermakna :
1. Nilai konstanta sebesar 1.129 artinya apabila nilai variabel pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan belanja modal dan pertumbuhan
ekonomi bernilai nol, maka fiscal stress sebesar 1.129 satuan.
2. Variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap
belanja modal dengan nilai koefisien sebesar 0.261, artinya setiap
pertambahan 1 % pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah maka akan
menaikkan kondisi fiscal stress sebesar 2.61 satuan.
3. Variabel Pertumbuhan belanja modal/pembangunan berpengaruh negatif
terhadap fiscal stress dengan nilai koefisien sebesar -0.005, artinya setiap
pertambahan 1 % variabel pertumbuhan belanja modal akan menurunkan
fiscal stress sebesar 0.005 satuan.
4. Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kondisi fiscal
stress dengan nilai koefisien sebesar 0.217, artinya setiap pertambahan 1 %
variabel pertumbuhan ekonomi akan menaikkan fiscal stress sebesar 217
satuan.
Tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa variabel Pertumbuhan pendapatan
asli daerah /X1 (2,837>1,980) bermakna variabel tersebut berpengaruh signifikan
terhadap kondisi fiscal stress di Sumatera Utara dimana nilai thitung > ttabel. Dengan
demikian menolak H0 dan menerima H1. Variabel Pertumbuhan Belanja Modal/X2
36
(1,697<1,980) tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi fiscal stress di
Sumatera Utara dimana nilai thitung < ttabel. Dengan demikian menerima H0 dan
menolak H1. Sedangkan variabel Pertumbuhan Ekonomi (X3) dengan arah positif
(1,929 < 1,980) tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi fiscal stress di
Sumatera Utara dengan nilai thitung<ttabel dengan demikian menerima H0 dan
menolak H1.
37
Tabel 4.9. : Hasil Pengujian Statistik dengan E-Views
Dependent Variable: FSG?
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)
Date: 06/05/11 Time: 21:33
Sample: 2005 2009
Included observations: 5
Cross-sections included: 25
Total pool (balanced) observations: 125
Swamy and Arora estimator of component variances
Effects Specification
S.D. Rho
Weighted Statistics
38
Unweighted Statistics
Uji signifikan dibedakan atas uji signifikan simultan (uji F) dan uji
signifikan parsial (uji t) dengan taraf signifikan α = 5%. Berdasarkan Tabel
tersebut juga maka dapat dibentuk persamaan regresi dengan konstanta adalah
variabel penelitian dengan model sebagai berikut :
FS_Y = 1.142458+ 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB
_X3
Berdasarkan Tabel 4.9. tersebut juga maka dapat dibentuk persamaan
regresi dengan konstanta adalah objek penelitian sebagai berikut :
Nias_FS_Y = -0.017649 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB _X3
39
Pakpak_Bharat_FS_Y = -0.066517 + 0.248012_PAD_X1 - 0.005191_BM_X2 + 0.175288_PDRB
_X3
4.6. Pembahasan
Secara simultan variabel pertumbuhan PAD, Pertumbuhan Belanja Modal
dan Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap fiskal stress di
Sumatera Utara. Secara parsial hanya variabel Pertumbuhan PAD berpengaruh
signifikan terhadap kondisi fiscal stress di Sumatera Utara. Sedangkan variabel
Variabel Pertumbuhan Belanja Modal dan pertumbuhan ekonomi yang
diproksikan oleh Product Domestic Regional Bruto (PDRB) tidak berpengaruh
signifikan terhadap fiscal stress pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara.
Hal ini disebabkan oleh perkembangan belanja modal mengalami penurunan dan
40
minimnya belanja modal yang dialokasikan, begitu juga pertumbuhan ekonomi
mengalami peningkatan tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress
di Sumatera Utara. Hal ini paling tidak memberikan indikasi adanya penggunaan
sumber daya secara efisien dan efektif, tetapi berbagai fasilitas yang disediakan
dapat dioptimalkan kemanfaatannya, sehingga memberikan dampak yang cukup
tinggi terhadap PE/PDRB. Hal ini disebabkan bahwa besarnya PE/PDRB sangat
ditentukan oleh besarnya Pendapatan Asli Daerah (adanya korelasi yang
signifikan). BAPENAS (2003) yang menegaskan bahwa pertumbuhan PAD
seharusnya sensitif terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi, karena
pertumbuhan ekonomi diukur dengan mengunakan PE/PDRB dan Pendapatan per
Kapita.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja
modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini
didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya
mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak
digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif.
Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja modal hendaknya
dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas
pembangunan. Dampak penggunaan belanja modal akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah dan akan berdampak meningkatnya perekonomian
masyarakat. Penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-
program pelayanan publik, hal ini menyiratkan pentingnya mengalokasikan
belanja pemerintah daerah untuk berbagai kepentingan publik.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa potensi
fiskal pemerintah daerah antara satu dengan daerah yang lain bisa jadi sangat
beragam. Perbedaan ini pada gilirannnya dapat menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang beragam pula. Pemberian otonomi yang lebih besar akan
memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang
41
mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai potensi
lokal untuk kepentingan pelayanan publik.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap fiscal stress. Hal ini
konsisten dengan hasil yang dicapai oleh Maimunah (2004) dan Darwanto (2007).
Kemandirian dalam APBD sangat terkait dengan kemandirian PAD, sebab
semakin besar sumber pendapatan yang berasal dari potensi daerah, bukan sumber
pendapatan dari bantuan, maka daerah akan semakin leluasa untuk
mengakomodasikan kepentingan masyarakatnya tanpa muatan kepentingan
Pemerintah Pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah.
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai daerah
otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam
menghasilkan Pendapatan Daerah. Semakin besar upaya maksimalisasi
Pendapatan Asli daearah yang dilakukan suatu daerah, maka semakin besar pula
kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya.
Maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam pengertian bahwa
keleluasaan yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun untuk menggali sumber-sumber
penerimaan yang baru. PAD adalah pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain. Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan. Pemerintah daerah di dalam membiayai belanja
daerahnya, selain dengan menggunakan transfer dari pemerintah pusat, mereka
juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu PAD. Selain itu, adanya
Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta
peralihan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
sebagai pajak daerah, dapat membuat perubahan yang positif khususnya yang
berkaitan mengenai upaya peningkatan pelayanan terhadap wajib pajak dan
optimalisasi serta penguatan penyelenggaraan daerah juga merupakan potensi
untuk meningkatkan PAD.
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak
42
Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai
pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi
fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam
penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Terdapat
beberapa poin yang relatif menguntungkan pemerintah daerah, baik di level
propinsi maupun kabupaten/kota. Daerah mempunyai peluang untuk
meningkatkan PAD mengingat adanya sumber-sumber penerimaan yang cukup
potensial, yang kewenangan pemungutannya akan diserahkan kepada pemerintah
daerah, misalnya PBB dan BPHTB.
Selama ini daerah sangat tertatih-tatih untuk meningkatkan penerimaan
sendiri (PAD). Beberapa penelitian Adi (2007), Setiaji dan Adi (2007)
memberikan fakta empirik, rata-rata kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah
masih sangat minim (kurang dari 20%). Sehingga bila hakekat otonomi
ditujukan untuk peningkatan kemandirian (pembiayaan) daerah, maka bisa
dikatakan hakekat ini merupakan sesuatu yang sangat mustahil terwujud.
Selama ini, pemerintah daerah Kabupaten Kota di Sumatera Utara
memperoleh penerimaan dari pajak-pajak ini melalui mekanisme bagi hasil,
misalnya untuk PBB daerah mendapatkan minimum 80% sedangkan pusat 20%.
Bagian pemerintah pusat ini termasuk didalamnya adalah untuk menutup biaya-
biaya pemungutan pajak ini. Apabila biaya tersebut 5%, maka bersih diterima oleh
pemerintah pusat 15% dari total penerimaan PBB ini. Berarti yang diupayakan
daerah adalah tambahan penerimaan sebesar 15% itu.
Hal ini merupakan tantangan tersendiri mengingat daerah dituntut untuk
lebih efisien agar tambahan penerimaan dapat diperoleh. Alih-alih 15%, bila
daerah tidak efisien, bukan tidak mungkin bagian 20% (yang selama ini menjadi
bagian pusat) justru tidak bisa diperoleh. Disisi lain, kedua pajak
ini sangat potensial menambah PAD, dikarenakan nilai jual obyek pajak (NJOP)
akan selalu merangkak naik. Nilai properti tanah dan bangunan mempunyai
kecenderungan meningkat, khususnya tanah. Logikanya, bisa dilakukan
43
penyesuaian setiap tahunnya terhadap NJOP sepanjang ketentuan regulasi
nantinya memperkenankan. Penentuan besarnya kenaikan ini harus dilakukan
secara cermat, dilakukan oleh tenaga profesional, dan harus dikontrol secara
intensif untuk menghindari kemungkinan praktek negosiasi NJOP oleh oknum
petugas.
Meningkatnya investasi dibidang properti ini juga menjadi indikasi
penting betapa penerimaan dari sumber ini sangat berpontensial menambah
PAD. Persoalannya terletak pada bagaimana upaya daerah untuk menarik minat
investor di bidang ini. Perlu dibangun iklim investasi yang kondusif, yang
menambah daya tarik investor. Reformasi birokrasi dalam hal perijinan yang saat
ini sudah mulai dijalankan melalui kebijakan PPTSP (Pelayanan Perijinan
Terpadu Satu Pintu), akankah menjadi jargon semata atau benar-benar efektif
dijalankan
Undang-undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam
perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan
daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang
dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak
terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List).
44
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak
daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam
Undang-undang. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan
retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan
daerah. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan
secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak
dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi
Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) No.28
Tahun 2009 yang disahkan hari ini adalah sebagai berikut:
1. Penambahan jenis pajak daerah
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi
dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan
terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak
kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3
jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan,
BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota
ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan
pajak provinsi.
a. Pajak Rokok
Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan
jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu
membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok
dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain,
pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban
Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional
dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural
growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.
45
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk
mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang
memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang
bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta
penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan
mengenai larangan merokok).
b. PBB Perdesaan dan Perkotaan
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh
penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan
dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB
Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini
akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya
diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB
sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD.
d. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang
dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan
dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang
memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan PAD.
46
dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai
fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan
perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengendalian tersebut, alat ukur, takar,
dan timbang akan berfungsi dengan baik, sehingga penggunaannya tidak
merugikan masyarakat.
b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan
untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan
dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan
menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan
keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
melampaui 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
47
2. Perluasan Basis Pajak Daerah
Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: PKB dan BBNKB,
termasuk kendaraan pemerintah. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di
hotel, dan Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.
48
6. Bagi Hasil Pajak Provinsi
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan
keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat,
pajak provinsi dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai
berikut:
1. Pajak Kenderaan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%, Kab/Kot 30%.
3. Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
4. Pajak Air Permukaan: Provinsi 50%, Kab/Kot 50%.
5. Pajak Rokok: Provinsi 30%, Kab/Kot 70%.
7. Earmarking
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus
dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan
beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai
pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh
pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut adalah :
• 10% dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk
pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi
umum.
• 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan
kesehatan dan penegakan hukum.
• Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan
penerangan jalan.
Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi
lebih baik, iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda
pungutan daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari,
serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Upaya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah yaitu melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi baik obyek pajak maupun subyek pajak daerah,
intensifikasi maksudnya adalah melakukan pendataan ulang terhadap obyek pajak
49
daerah. Sedangkan kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan pendapatan
asli daerah melalui penerimaan pajak daerah adalah masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui peraturan yang menyangkut tentang jenis-jenis pungutan
pajak, penentuan jumlah tarif pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak,
pemberian sanksi yang diberikan serta hal-hal yang berkaitan erat dengan
pelaksanaan pungutan Pajak dan Retribusi Daerah yang dipungut oleh Pemda.
Upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten kota terhadap peningkatan
pendapatan asli daerah melalui penerimaan pajak daerah yaitu:
a. Mengakuratkan data para wajib pajak sebagai potensi penerimaan Pendapatan,
b. Meningkatkan kesadaran wajib pajak,
c. Meningkatkan kualitas sistem pemungutan dan peralatan pemungutan yang
digunakan, sehingga dapat memudahkan control hasil pangutan dalam
meningkatkan penerimaan. Peningkatan pengawasan terhadap masyarakat dan
wajib pajak, misalnya dengan melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan
pajak dan pengawasan pajak yang intensif serta mengobservasi sumber-sumber
pendapatan lain untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Selain itu Formulasi strategi yang direkomendasikan yaitu (1) Isu-isu
strategis yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia dan isu
bagaimana mengeliminir kultur organisasi yang negatif, dengan strategi : (a)
Kebijakan peningkatan pendidikan; (b) Kebijakan peningkatan ketrampilan teknis;
(c) Kebijakan re-orientasi kultur organisasi (2) Isu-isu strategis yang berkaitan
prosedur manajemen perpajakan dan retribusi yang terdiri dari isu strategis
tentang bagaimana memperbaiki prosedur manajemen pemungutan pajak
/retribusi daerah, bagaimana memperbaiki mekanisme pendataan, bagaimana
meningkatkan evaluasi kegiatan, bagaimana meningkatkan koordinasi antara
dinas terkaft dengan strategi : (a) Kebijakan Manajemen "Jemput Bola"; (b)
Kebijakan Net Working System; (c) Kebijakan peningkatan kapasitas olah data;
(d) Kebijakan peningkatan mekanisme koordinasi dan evaluasi. (3) Isu strategis
optimalisasi implementasi perda pajak /retribusi dengan strategi : (a) Kebijakan
Sosialisasi; (b) Kebijakan Kolaborasi disemua lini; (4) Isu Strategis peningkatan
sarana dan pra sarana, dengan strategi : (a) Kebijakan peningkatan sarana dan
50
prasarana tekonologi informasi; (b) Kebijakan peningkatan sarana/prasarana
operasional; (5) Isu strategis penegakan hukum (Law Enforcement), dengan
strategi : (a) Kebijakan pembentukan Tim penegakan Hukum; (b) Kebijakan
Kebijakan Pemberlakuan sanksi hukum.
Beberapa kebijakan yang mendukung optimalisasi PAD diantaranya :
1. Pemerintah Pusat
Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan kepada tingkat
pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk beberapa daerah
yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia,
otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka sanggup
untuk mengelola daerahnya sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat.
Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki prasyarat
kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam euforia
otonomi itu sendiri. Banyak kebijakan yang bersifat merugikan dan sangat
prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka. Karenanya peran pusat
dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya saja ada beberapa elaborasi dan
penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran pemerintah itu nantinya juga tetap
berada dikoridor hukum, selaras dengan napas otonomi daerah. Peran tersebut
antara lain berupa penciptaan kondisi yang kondusif bagi perkembangan pajak
dan retribusi dengan tetap memperhatikan landasan hukum yang sudah disepakati
bersama. Kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah pusat dapat dibagi
menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak baik ekstensifikasi maupun
intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari sisi penggunaannya.
51
tercipta dari kegiatan bisnis yang efisien seperti bertambahnya lapangan kerja dan
kepedulian sosial. BUMD mampu berperan sebagai countervailing power
terhadap kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan
berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan kerjasama
dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint Venture/Joint
Operation Company (JV/OC).
Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD,
yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba
termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang
semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan
petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah
Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan
kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh
manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada
benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis; Pengkajian secara
komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap
kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan
upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan
daerah;
Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat
dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :
a. Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan restrukturisasi
Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang dihadapi dan
potensi yang tersedia;
b. Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus per kasus
dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang
bersangkutan.
Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan keuntungan atau laba serta
memberikan kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai
berikut :
52
a. Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan
meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya Manusia;
b. Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan terspesialisasi
dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan professional;
c. Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan sosial,
diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
d. Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan bekerja
berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper test;
e. Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar, kenaikan
harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif listrik, BBM, dan
lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi yang jauh lebih mahal,
sehingga profit dapat diraih.
53
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
1. Secara simultan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, Pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB berpengaruh
signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hasil
penelitian ini memperkuat penelitian Haryadi (2002), Jimenez (2007) dan
Condrey (2010).
2. Secara parsial hanya variabel pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
yang berpengaruh signifikan terhadap fiscal stress di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Sedangkan variabel Pertumbuhan Belanja
Modal/Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi/PDRB tidak berpengaruh
signifikan dengan tingkat alpha 5 % terhadap Fiscal Stress di
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
5.3. Rekomendasi
1. Bagi Bapak Gubernur Sumatera Utara agar memanfaatkan peluang dari
adanya UU No.28 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah dimana dengan
54
berlakunya UU tersebut yang efektif mulai dari tanggal 01 Januari 2010 maka
dapat memperkecil terjadinya gap fiskal stress yang ada sehingga dapat
meningkatkan kemandirian Propinsi Sumatera Utara. Upaya yang dilakukan
dengan meningkatkan pos Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta
mengoptimalkan BUMD sebagai salah satu komponen sumber pendapatan
daerah Provinsi Sumatera Utara.
2. Bagi Bapak/Ibu Anggota Dewan DPRD Provinsi Sumatera Utara agar
melakukan pengawasan lebih intens atas UU No.28 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah dimana dengan berlakunya UU tersebut yang efektif mulai
dari tanggal 01 Januari 2010 karena dapat meningkatkan kemadirian Provinsi
Sumatera Utara melalui peningkatan pos penerimaan pada APBD Kabupaten
Kota di Sumatera Utara.
3. Bagi peneliti berikutnya dimasa mendatang agar memperkecil sampel
penelitian pada skop Kabupaten atau Kota sehingga bisa diidentifikasi
permasalahan utama pada kasus Kabupaten/Kota tertentu.
4. Komponen PAD dan komponen Belanja Modal agar diteliti lebih lanjut pos
manakan yang berperan dominan dan mampu memberikan masukan dan saran
kepada kepala daerah.
5. Penelitian berikutnya agar meneliti persegmen atas kondisi BUMD sehingga
mampu memberikan solusi dan saran yang tepat kepada Bapak Gubernur
bagaimana penyelesaian yang ideal atas permasalahan BUMD pada
Kabupaten Kota di Sumatera Utara dan peneliti berikutnya sebaiknya
menggunakan komponen pertumbuhan ekonomi dengan PDRB harga konstan
sehingga dapat mengurangi efek inflasi dan perkembangan barang dan jasa.
55
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.
Halim, Abdul. 2001. Analisis Deskriptif Pengaruh Fiscal stress Pada APBD
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kompak. STIE
Yogyakarta.
56
Haryadi, Bambang, 2002. Analisis Pengaruh Fiscal Stress Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Menghadapi Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Simposium Nasional Akuntansi V. Semarang.
Kamna Lal dan Benedict Jimenez. 2007. Assessing the Impact of Fiscal Stress on
Capital Debt Financing : Evidence from the States. Working Paper.
Menchick, Paul L, 2002. Demographic Change and Fiscal Stress on States: The
Case of Michigan. Michigan State University. Applied Research.
Mullen, K Jhon, 1990. Property Tax Exemption and Local Fiscal Stress. National
Tax Journal. Vol 43. No.4.
Pratomo, Wahyu dan Paidi Hidayat, 2009. Pedoman Praktis Penggunaan E-views
dalam Ekonometrika. Penerbit USU Press Medan.
Reschovsky, Andrew, 2003. The Implication of State Fiscal Stress for Local
Governments. Fiscal Journal. Vol 4. No.3.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia.
Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah
Sesudah Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran? Simposium
Nasional Akuntansi X. Makassar.
57
Shamsub, Hannarong., Joseph B Akoto. 2004. State and Local Fiscal Structures
and Fiscal Stress. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial
Management, Vol 16, No 1 Hal: 40-61.
Sidik, Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Makalah
disampaikan Acara Orasi Ilmiah. Bandung. 10 April 2002.
Syaiful, 2006. Pengertian dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang dan Belanja
Modal dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan.
Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).
58