2
Perekat Indonesia 3
Pengarah:
Hadiyanto
Penanggung Jawab:
Dini Kusumawati
Kontributor:
Mujiyo, Arif Kurniawan, Ferry Fadillah, Ferry Hidayat,
Hanif Gustav, Arif Hermanu, M. Agung Triwijaya,
Budi Waluyo, Undani, Sidiq Gandi Baskoro, Krisna
Bayu Alamsyah, M. Taufan Dharmawan, Fritz Okta
Nehemnya, Raficha Fachryna, Satria Adhitama,
Ludovicus Fernando Ginting, Akhyar Gunawan,
Bellisa Gamelia Sembiring, Sahruni, Hafiiz Yusuf,
Azharianto Latief Baroto, Faisal Amin, M. Hisyam
Diterbitkan oleh Haikal, Riza Almanfaluthi, A. Govinda Jaharuddin,
Kementerian Keuangan Lis Kartika Sari Husana, Haryono Efendi, Lenni Ika
Republik Indonesia Wahyudiasti, Anandita Ramdhani Widigdya, Avviz
Gedung Djuanda I lt. 3, Jl. Dr. Elfarij, Muslikhudin, Pratanto, Made Krisna Aryawan,
Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat, Cahyo Windu Wibowo, Leonardo Simbolon, M.
10710 Rizky Rahardika Hartono, Siti Mulyanah, Nok Siti
www.kemenkeu.go.id Murni Sulistiyoningsih, Oji Saeroji, Andy Prijanto,
Dwi Joko Kristanto, Julhendra H. Saragih, Marihot
Pahala Siahaan, Adnan Wimbyarto, Abd Gafur,
Casman, Rahmatullah, Ahmad Iqbal Zakyuddin,
Sobron, Drajad Ulung Rachmanto, Ahmad Dahlan,
Teddy Ferdian, M. Try Sutrisno Gaus, Tri Sutopo,
Ayu Widyasari Primanda, Arif Rahman Hakim, Rudi
Andika, Penny Febriana, Afif Dodi Saputra Sinaga,
Muhkamat Anwar.
Editor:
Dodi Purnomo Sidi, Wardjianto, Cecep Hedi
Herdiman, Endi Hazar, Danang Endrayana Syeh
Qodir, Arif Musafa, Rifki Patra Ufasah, M. Azka
Ahdi, Desmiwarni.
Desain Cover dan Layout:
Venggi Obdi Ovisa
Perekat Indonesia 5
K A T
E S I A
E R E
O N
P D
N
I
Sambutan
Menteri Keuangan
dapat menjadi inspirasi dalam bersikap dan berperilaku bagi seluruh pejabat/
pegawai Kementerian Keuangan agar kita sebagai warga negara yang sekaligus
juga sebagai Aparatur Sipil Negara dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa (baik di dunia nyata maupun dunia maya), tidak ikut terpancing pada
aktivitas-aktivitas yang dapat merusak ketahanan NKRI, menjaga netralitas
ASN, dan jangan sampai kita terpecah belah atau bahkan termasuk orang-orang
yang ikut memecah belah rumah kita, Indonesia.
Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada seluruh penulis,
editor, dan tim kerja yang telah berhasil menyusun buku ini. Semoga buku ini
dapat menjadi energi positif dalam berkarya bagi seluruh pejabat/pegawai di
lingkungan Kementerian Keuangan.
S R I M U LYA N I I N D R AWA T I
Perekat Indonesia 9
Daftar Isi
A N TARA
S
NU
A
N
R
A
W
Perekat Indonesia P e r e k a t I n d o n e s17
ia
Kemenkeu Telah
Menyatukan Kami
-
Mujiyo, KPP Klaten - DJP
Dua pepatah itulah modal awal saat aku pertama kali bertugas
di Pulau Bali yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau
Dewata. Selepas lulus STAN tahun 1996, aku ditugaskan di
Kantor Pelayanan Pajak Singaraja, tepatnya tanggal 8 Maret
1997. Sebelum berangkat dari kampung halamanku di Bantul
(DIY), aku diberi petuah/nasihat oleh ayahku akan pitutur
Jawa yang sangat dalam maknanya, yaitu “Desa mawa cara,
negara mawa tata”. Ayahku berpesan untuk berpegang teguh
akan pitutur tersebut. Untuk perjalanan dari Bantul menuju
Bali, aku memilih menggunakan angkutan darat (bus) dengan
pertimbangan lebih hemat dan agar saya bisa merasakan dan
melihat kondisi daerah Bali di sepanjang perjalanan. Berbekal
SK penempatan dengan pangkat IIa, aku menatap masa depan
dengan penuh optimis. Mental yang tertanam di dadaku adalah
mental transmigran, harus terbiasa hidup dalam kondisi serba
terbatas dan berusaha keras hidup mapan. Kebiasaan hidup
Perekat Indonesia 19
Dalam keseharian tidak asing di telinga ini mendengar lantunan doa Puja
Trisandya dari pura dekat rumahku yang terdengar tiga kali sehari, yaitu pagi
(setelah subuh), siang (tengah hari/zuhur), dan sore (menjelang malam/magrib).
Aku merasa tidak terganggu dengan suara tersebut. Seperti halnya saudara-
saudara kami umat Hindu mendengar suara azan lima kali yang bersal dari
musala di samping rumahku. Kami hidup berdampingan dan saling menghormati
satu sama lainnya. Pada bulan Juni 1999 aku mendapatkan pengalaman yang
mungkin tidak dialami oleh PNS di daerah lain. Aku mendapat tugas ikut
program ABRI Masuk Desa yaitu membuat jalan tembus/jalan baru di desa
Gitgit, Sukasada, dan Buleleng. Bersama TNI, Polri, dan PNS dilingkungan
Pemda Buleleng, kami bersama-sama masyarakat sekitar membuat jalan untuk
akses warga yang mayoritas berkebun cengkeh, kopi, dan hasil perkebunan
lainnya dengan harapan setelah dibukanya jalan tersebut dapat mempermudah
mobilisasi warga dalam memasarkan hasil perkebunannya ke kota Singaraja.
20
Tanggal 12 Oktober 1999 adalah hari bersejarah bagi kami keluarga besar
Departemen Keuangan, khususnya GKN Singaraja. GKN Singaraja dibakar oleh
massa karena tidak puas dengan hasil Pemilu 1999. Pagi itu sehabis aku mengisi
presensi pagi, kami didatangi dan diberi tahu oleh aparat keamanan, bahwa
sebentar lagi massa akan menyerbu GKN Singaraja. Kami adalah saksi hidup
GKN Singaraja dibakar dan dijarah oleh massa. Mereka berpikir GKN (Gedung
Keuangan Negara) adalah gedung tempat menyimpan uang. Tiga kantor hangus
terbakar tanpa sisa. Semua gedung Pemerintahan di kabupaten Buleleng habis
dibakar massa. Kami tidak bisa berkata apa-apa, kami hanya bisa menangis atas
perbuatan anarkis massa yang tidak bertanggung jawab. Atas kejadian ini, kami
pegawai GKN Singaraja bersatu padu untuk bangkit dan mengatasi masalah
yang timbul akibat kami sudah tidak memiliki kantor lagi. Selama 3 bulan (dari
bulan Oktober 1999 s.d awal Januari 2000) kami tidak bisa beraktivitas maksimal
dalam pelayanan Wajib Pajak. Hal ini disebabkan sarana dan prasarana kantor
dalam kondisi yang sangat terbatas. Kami seluruh pegawai KPP Singaraja bersatu
tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Kami juga tidak pernah berpikir
atau berprasangka bahwa pembakar kantor kami adalah etnis tertentu. Yang ada
di pikiran kami, perusuh dan pembakar gedung kami adalah orang-orang yang
tidak punya jiwa memiliki dan rasa nasionalisme atas aset negara.
belakang keluarga
muslimah karena mereka
berprinsip wanita harus
besar Muslim dan ikut suami. Ternyata bila
ditelusuri sejarah keluarga
Katolik. Inilah besar istri, ada kaitan antara
Jawa dengan Bali. Kakek
keluarga kami, dari istri adalah seorang
Yogyakarta. Setelah itu, kakek kami balik ke Bali. Ayah mertuaku menikah
dengan seorang bidan yang beragama Katolik, ibu mertua kami ikut ayah mertua
yang beragama Hindu. Ibu mertua dari Blitar dengan latar belakang keluarga
besar Muslim dan Katolik. Inilah keluarga kami, keluarga Pancasila. Sebagai
bentuk penghormatanku pada keluarga besar Bali yang beragama Hindu, nama
istriku tetap memakai nama Bali, yaitu Ni Putu Novy Avianti. Inilah salah satu
komitmen kami untuk keluarga Bali. Aku mendapatkan nasihat dari keluarga
Bali, “Agama boleh berbeda, tetapi hubungan keluarga dan kekeluargaan tidak
boleh putus sampai kapan pun”. Aku harus ingat dengan leluhur keluarga besar
Bali sebagai cikal bakal lahirnya istriku. Jika kuhitung, 25% darah yang mengalir
di tubuh istri adalah darah Bali. Berarti di tubuh anak-anak kami ada12,5%
darah Bali yang mengalir.
Kami tinggal di sebuah rumah sederhana dengan ukuran 72 m2. Kami tinggal
di perumahan BTN dengan penduduk mayoritas warga Bali asli. Warga muslim
lebih kurang 25% dari jumlah penduduk. Perumahan kami ada fasilitas tempat
ibadah pura dan musala. Kami hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Kami saling menghormati satu sama lain. Saat perayaan hari raya umat Hindu,
saudara Hindu selalu mengirim jaje Bali seperti tape ketan, uli, dodol Bali, dan
kue-kue lainnya. Demikian juga saat lebaran aku selalu mengirim opor ayam
dan ketupat kepada tetangga kami yang beragama Hindu. Kami berusaha hidup
menyama braya (bermasyarakat), membaur tanpa melihat perbedaan agama, suku,
dan bahasa. Saat ada kematian, aku pun melayat, demikian juga bila ada upacara
kelahiran (3 bulanan) dan perkawinan, pasti kami diundang. Kami dianggap
sudah menjadi bagian dari masyarakat Bali (semeton Bali).
Aku belajar banyak tentang budaya Bali. Ada hal yang membuatku kagum dan
Perekat Indonesia 23
harus ditularkan ke anak cucu kami atau masyarakat Indonesia pada umumnya,
yaitu menjaga alam dan kekeluargaan, serta gotong royong. Masyarakat Bali
rajin dan selalu menanam tanaman. Setiap rumah pasti ada tanaman bunga
ataupun buah-buahan, sehingga pekarangan ataupun sejengkal tanah yang ada
selalu dimanfaatkan agar menghasilkan. Hal inilah yang membuat Bali sangat
indah dan hijau. Mental petani yang ada di jiwaku dan lokasi tempat tinggal
yang berada di pedesaan menuntutku untuk bercocok tanam di saat hari Sabtu-
Minggu. Sebuah selingan hidup yang menyenangkan di samping rutinitas
pekerjaan kantor yang menyita waktu, pikiran, dan jiwa raga . Bermodalkan
tanah hibah dari orang tua, aku menanam sayur mayur, pisang, pepaya, mangga,
dll. Alhamdulilah hasilnya bisa dibagi-bagi ke tetangga untuk mempererat
kekeluargaan kami dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat.
Pertengahan tahun 2011 aku pindah tugas ke Kantor Pelayanan Pajak Madya
Denpasar. Pindah tugas ini membuatku harus berpisah dengan keluarga. Untuk
menjaga psikologis anak-anak yang baru memasuki dunia sekolah, terpaksa kami
mengambil keputusan aku tinggal sendiri di Denpasar, sementara anak dan istri
tetap tinggal di Singaraja. Tinggal di kota besar Denpasar tentu sangat berbeda
dengan kota Singaraja. Di sini sehari-hari aku harus terbiasa dengan padatnya
penduduk dan hiruk pikuk kehidupan yang sangat dinamis dibandingkan dengan
kota Singaraja. Di kota Denpasar aku mendapatkan tambahan pengalaman
hidup berdampingan. Aku tinggal di perumahan di tengah kota Denpasar
milik orang tua istri. Di sini tetangganya lebih kompleks. Ada Muslim, Hindu,
Kristen, Katolik. Etnis dan sukunya pun beraneka, ada Jawa, Bali, Batak,
dan keturunan Tionghoa. Alhamdulilah kami sudah kenal lama sebelumnya,
sehingga membuat kehidupan sehari-hariku lebih nyaman. Saat aku pulang ke
Singaraja, rumah ku titipkan ke tetangga keturunan Tionghoa karena rumahnya
tepat di depan rumahku. Rekan-rekan kantor kami juga sangat menyenangkan.
Secara persentase hampir 70 % adalah muslim karena sebagian besar dari luar
Bali. Kehidupan di kantor kami pun begitu hangat dalam kekeluargaan. Kami
saling bahu membahu dalam mencapai target penerimaan kantor kami. Dalam
sehari-hari, kami melaksanakan salat Zuhur dan Asar secara berjamaah, rekan-
rekan umat Hindu juga sembahyang di pura belakang kantor. Sebulan sekali
umat Muslim mengadakan acara SABAR (Sarapan Bareng) yang diisi dengan
siraman rohani dengan mengundang ustaz dari luar mulai pukul 07.30 hingga
08.30. Rekan-rekan umat agama lain pun bila berkenan kami undang untuk ikut
sarapan bersama sebagi wujud kebersamaan kami.
24
Sebenarnya aku masih betah dan nyaman tugas di Bali, apalagi kami memiliki
keluarga besar di Bali dan aku sudah hampir tinggal di Bali selama 18 tahun.
Namun ada keinginan juga untuk bisa bertugas di home base agar bisa dekat
dengan orang tua dan anak-anak bisa sekolah di Yogyakarta. Alhamdulilah
tanggal 12 Juli 2015 keluar SK mutasiku ke KPP Pratama Klaten. Aku harus
berkemas dan bergerak cepat untuk mengurus surat pindah sekolah anak-anak
kami. Di Yogyakarta kami tinggal di sebuah dusun di pingggiran kota dengan
suasana desa yang mayoritas warganya sebagai buruh, petani, peternak sapi, dan
penarik andong untuk wisata di Malioboro. Kampungku boleh dibilang kampung
Andong Malioboro. Di sinilah kehidupan yang sebenarnya untuk hari tuaku
dimulai. Semoga ini terminal terakhirku karena di sini aku dapat mengajarkan
kepada anak-anak tentang unggah-ungguh dan tepo seliro sesuai dengan adat Jawa.
KPP Pratama Klaten terletak tepat di kota Klaten. Jarak tempuh dari rumah
lebih kurang 45 menit dengan mengendarai sepeda motor. Lingkungan dan
kondisi kantor sangat berbeda dengan saat aku di Bali. Di sini mayoritas
karyawan beragama Islam dan ada masjid yang cukup bagus sebagai salah
satu fasilitas kantor. Ada pengalaman yang menarik di Klaten, saat aku sedang
bertugas ke luar kantor (kunjungan ke Wajib Pajak), ketika aku memarkir
kendaraan, ada yang aneh yang membuatku serasa di Bali. Ternyata tanpa sadar
aku parkir kendaraan di depan pura! Aku benar-benar merasa seperti di Bali.
Demikian juga saat aku mengunjungi desa-desa di Klaten, banyak ku temui
tempat ibadah umat Hindu. Aku sengaja tidak memutasi plat kendaraanku
menjadi plat kendaraan Yogyakarta dengan pertimbangan sebagai salah satu
kenangan dari Bali. Bila di jalan aku menemukan kendaraan berplat DK, aku
merasa berjumpa dengan semeton Bali.
karakter hidup dalam keluarga kami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Sebagai bentuk kecintaanku dengan budaya Jawa dan Bali, pada tahun 2017,
dengan modal tabungan dan hibah dari orang tua, kami membangun rumah Jawa
(joglo, limasan) dengan konsep budaya Jawa dan Bali. Rumah tersebut kami beri
nama “Omah Pitutur Mudji HW”. Di rumah tersebut sengaja kubuat klasik
dan zadul dengan ornamen nilai-nilai luhur dan pitutur budaya Jawa. Terdapat
lukisan anak-anak yang menggambarkan permainan tempo dulu seperti gobak
sodor, bentik, engklek, boy-boy-an, kasti, lompat tali, dll. Kami juga memfasilitasi
Omah Pitutur dengan wayang, permainan tradisional gasing, dakon, kelereng, dll.
Rumah ini kami gunakan untuk aktivitas sosial nonprofit bagi anak-anak sekolah
mulai SD hingga SMA. Sebagai tempat kami berbagi pengalaman hidup dan
kebudayaan Jawa. Memotivasi anak-anak untuk mencintai budaya bangsa sendiri,
mencintai negeri ini. Konsep kami yaitu anak-anak harus berilmu, beriman, dan
berbudaya. Dalam setiap aktivitas motivasi selalu diselipkan tentang kebangsaan
dan nasionalisme. Anak-anak harus mencintai budaya Indonesia, mencintai
dan memakai produk dalam negeri, dan berwisata di dalam negeri. Kusisipkan
juga tentang APBN, pajak, dan keuangan negara. Harapanku generasi muda
sadar akan pajak dan paham akan keuangan negara. Selain itu, dengan adanya
kebijaksanaan flexi time bagi pegawai Kemenkeu juga merupakan berkah bagiku.
Aku bisa pulang lebih cepat 30 menit karena sudah delapan tahun terakhir ini
aku membiasakan diri datang lebih awal yaitu pukul 06.30 WIB. Dengan pulang
lebih cepat, ternyata memberikan dampak yang baik bagi kehidupan sosialku.
Aku bisa salat Magrib berjamaah di masjid kampung dan bertemu tetangga
setiap hari. Aku juga bisa menghadiri acara-cara keagamaan, kegiatan sosial,
ronda, rapat kampung, dll. Saat bersosialisasi dengan tetangga, aku bisa berbagi
pengalaman dan kisah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tidak sedikit teman-teman yang datang mengajak wedangan sembari mengulas
tentang dolanan anak-anak masa lalu, gamelan, wayang, omah Jawa, dll.
Terima kasih Kementerian Keuangan yang telah mendukung kami untuk dapat
berkontribusi dan bermanfaat, baik di kantor maupun di masyarakat. Perbedaan
adat-istiadat, budaya, dan agama, terbukti dapat menyatukan kita, agen
pemersatu Bangsa.
26
Persaudaraan pun tetap berlangsung erat, walaupun empat bulan setelahnya, ada
ujian besar, ketika kami mesti berjibaku dengan nyawa.
Ketika saatnya hari raya Natal tiba, penduduk sekitar yang beragama Nasrani
berkeliling untuk saling mengucapkan selamat. Tak ketinggalan rumahku pun
ikut disapa. Dengan senang hati aku menyediakan makanan dan minuman
ringan, serta camilan kesukaan anak-anak berupa permen dan uang saku
sekadarnya. Saat itu, aku bahkan sampai hafal beberapa kidung Natal karena
sering mendengarnya ketika rekan-rekan kantor berlatih. Pun saat hari raya
Idulfitri, para tetangga juga berkunjung tanpa mengenal agama dan dengan tulus
saling memaafkan.
Tiba saatnya saat aku dipindahtugaskan ke zona waktu Indonesia bagian tengah,
Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan diamanahi sebagai tenaga protokoler Kanwil
DJPb. Saat itu, dengan status Kepala Kanwil DJPb adalah Kepala Perwadep
(Perwakilan Departemen), membuatku melayani siapa pun yang berkunjung ke
Kanwil DJPb, baik dari internal DJPb, maupun dari unit Eselon I lain yang tidak
memiliki kantor vertikal di daerah, bahkan dari kementerian/lembaga lain saat
ada kegiatan di Mataram, seperti Setwapres. Semuanya kujalani dengan senang
hati karena secara personal aku pun mendapatkan banyak saudara baru.
28
Waktu terus bergerak. Empat tahun berada di zona bagian tengah, aku
dialihtugaskan ke zona waktu Indonesia bagian barat, di ibu kota negara, Jakarta.
Peran sebagai penggawa perancang dan pengharmonisasi peraturan di bidang
perbendaharaan, membuatku berkoordinasi secara intens dengan hampir seluruh
unit Eselon II DJPb dan unit Eselon I Kemenkeu, serta banyak kementerian/
lembaga. Dalam penyusunan PP Nomor 45 Tahun 2013 (Tata Acara Pelaksanaan
APBN) misalnya, aku berkesempatan untuk turut berkoordinasi dan datang ke
Kemenkumham, Kemendagri, Bappenas, Kemensetneg, dan LKPP. Dalam proses
pengalihan administrasi belanja PNS, Polri, dan TNI, aku pun turut wira-wiri
ke KemenPANRB, BKN, Mabes Polri, Mabes TNI, maupun Kemhan. Banyak
hal yang aku dapatkan dari kesempatan ini, paling tidak, setelah aku tidak di
Jakarta lagi, sampai dengan saat ini pun aku masih sering berkomunikasi ataupun
bertukar informasi dengan para pejabat/pegawai dari kementerian/lembaga
tersebut.
Setelah sembilan tahun, akhirnya aku kembali lagi ke zona waktu Indonesia
bagian tengah, tepatnya di Bima, NTB. Dalam waktu tiga tahun itu, dengan
berbagai peristiwa yang kualami, membuatku merasa, inilah nikmatnya berperan
sebagai pejuang perbendaharaan di daerah, walaupun sekali lagi, aku kembali
menjadi pengungsi.
Namun tidak
PLN sepenuhnya padam,
air PDAM tidak mengalir,
itu saja, dengan jaringan komunikasi terputus,
ditambah perdagangan
lingkungan sekitar lumpuh, sehingga para
pengungsi sepenuhnya
yang hampir seratus mengandalkan pasokan
seminggu.
aku dan rekan-rekan KPPN
Bima berkoordinasi dengan
BNPB untuk penyediaan
30
makanan tiga kali sehari, dengan menggunakan handy talky yang disediakan oleh
Polres Bima Kota. Peran penting KPPN Bima dalam menangani para pengungsi
tersebut diakui oleh pemerintah daerah Kota Bima. Selain itu, meskipun masih
dalam masa pengungsian tersebut, KPPN Bima juga masih melayani stakeholders,
walaupun dengan pakaian dan makanan seadanya yang merupakan bantuan
dari Kanwil DJPb dan para KPPN lingkup Provinsi NTB, karena nyaris semua
pakaian ikut terendam lumpur.
Ketika datang ke Bima, aku mengaktifkan kembali hobi yang lama sudah tidak
kujalani, yaitu naik sepeda. Bulan kedua di Bima, aku mulai menelusuri jalanan
setiap Sabtu dan Minggu. Tak ternyana, dengan hobi itu aku bertemu dengan
orang-orang yang punya hobi sama dan dimasukkan ke dalam anggota salah satu
klub. Anggota klub tersebut berjumlah lebih kurang empat puluh orang yang
kemudian secara rutin mengadakan kegiatan bersama pada setiap akhir pekan.
Mereka berasal dari PNS daerah, termasuk beberapa dokter, pegawai BUMN dan
BUMD, dan wirausahawan. Setiap tahun kami juga mengikuti event besar seperti
kegiatan hari ulang tahun Kota Bima maupun acara sepeda wisata Kabupaten
Bima. Banyak hal yang kudapat dari hobi tersebut, misal dari sisi materi, aku
pernah mendapatkan door prize sepeda gunung. Namun yang lebih dari itu, aku
mendapatkan banyak saudara baru yang saling terikat rasa memiliki. Walaupun
sebagian dari anggota grup tersebut telah keluar dari Bima - karena mereka
berstatus seperti aku yang tugasnya dapat dimutasi ke seluruh pelosok negeri, tapi
kami tetap aktif di grup dan saling mengabari.
Sebagai Kepala Seksi Bank, sejak datang ke Bima, aku mencoba aktif
berkomunikasi dengan pemimpin perbankan, pos, dan pegadaian. Mereka
mempertanyakan mengapa tidak ada lagi gebyar Hari Oeang di Bima.
Berdasarkan hal tersebut dan juga atas dasar pemikiran untuk lebih saling
mempererat persaudaraan di internal Kemenkeu, Kepala KPPN Bima
menugasiku untuk menjajaki komunikasi dengan KPP dan KPKNL, agar mulai
tahun 2017 Hari Oeang tidak hanya sekadar diperingati dengan upacara saja,
tapi juga dengan kegiatan-kegiatan yang lebih meriah. Ternyata sambutan dari
KPP dan KPKNL sangat positif, aku pun didaulat untuk menjadi koordinator
kegiatan dengan menyelenggarakan berbagai pertandingan dan perlombaan
antarinstansi, seperti bola voli, tenis meja, bulu tangkis, catur, domino. Sementara
untuk kegiatan kebersamaan dengan stakeholders, dilaksanakan kegiatan jalan
santai, senam, pemeriksanaan kesehatan gratis, donor darah, dan bakti sosial
Perekat Indonesia 31
berupa santunan baju bekas layak pakai dan Sembako. Untuk perbankan, pos, dan
pegadaian, diselenggarakan kegiatan lomba futsal. Hal yang aku kenang dalam
dua tahun penyelenggaraannya adalah para kepala instansi memberikan atensi
dan selamat kepada kami karena penyelenggaraan kegiatan berjalan dengan
meriah dan kembali mempererat hubungan antarpelaku keuangan di Bima.
Multikultural
Ferry Fadillah, Sekretariat DJBC
-
ruhnya saat bekerja di Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB, dan NTT. Tak sebatas
sebagai pegawai kantoran, tetapi juga anggota masyarakat yang turut merasakan
denyut aktivitas Pulau Dewata.
***
Akhir 2009, aku mendarat di Bali bersama nenek dan ibu. Itu adalah kedatangan
pertamaku ke Bali. Sebelumnya aku hanya mengenal Bali dari cerita para
pelancong. Mereka bilang Bali adalah kebebasan, wanita, alkohol, berhala, laut,
dan kemewahan. Aku mengaminkan semua itu dan menjadikannya kepercayaan.
Sejak kecil, aku biasa bergaul dengan teman yang memiliki kesamaan agama dan
etnis. Agama dan kebiasaan yang terbentuk itu secara tidak sadar telah menjadi
acuan kebenaran dalam memandang segala sesuatu. Maka timbul kegelisahan di
dalam batin saat mengamati setiap sudut kehidupan di Bali. Semuanya hampir
berbeda dengan agama dan kebiasaan asalku. Mengapa ada banyak patung?
Mengapa ada banyak sajen di jalanan? Mengapa ada dupa di pojok ruangan?
Kenapa bar terbuka dan terlihat di jalan? Mengapa indekos tidak memisahkan
penghuni pria dan wanita? Dan mengapa-mengapa lain yang menuntut jawaban
pasti.
Bukannya mencari jawaban dari orang Bali atau membaca buku tentang Bali,
aku malah membatasi pergaulan hanya dengan pegawai dan masyarakat dari asal
daerah dan agama yang sama. Sehingga diam-diam aku menumpuk kecurigaan.
Ide tentang negara teokrasi dengan undang-undang berbasis moral ilahiah
sempat menjadi peganganku. Singkat pikir, hanya Islam-lah yang memegang
teguh sila pertama dari Pancasila. Agama-agama nonmonoteisme, apalagi yang
memanifestasikan tuhan dalam sosok anthropomorphism tidak pantas disebut
pengamal Pancasila yang sejati. Aku harus memurnikan Bali dari penyimpangan
itu.
ambang toleransi. Aku tidak lagi risih dengan patung dewa-dewi yang bertebaran
di setiap penjuru kota. Sajen (banten) dan dupa di sudut-sudut ruangan juga hal
yang biasa. Setiap orang di setiap daerah memiliki cara menghayati pengalaman
kebertuhanan mereka. Hal tersebut tidak terbatas antaragama, tapi dalam
spektrum satu agama. Praktik ini sangat terlihat dalam ajaran Hindu Bali yang
mampu berdamai dengan mazhab Syiwa, Wisnu, dan Buddha sekaligus.
Di kantor, tak ada sekat antara dia yang Islam, dia yang Hindu, atau dia yang
Kristen. Semua pegawai bekerja saling tolong-menolong sesuai tugas dan
fungsinya. Saat umat Hindu merayakan hari raya Galungan dan Kuningan,
kawan-kawan Islam dan Kristen dengan ikhlas membantu tugas pengawasan
dan administrasi agar proses bisnis kantor tetap berjalan. Begitu juga ketika
umat Islam dan Kristen merayakan hari raya, umat Hindu turut membantu
tugas mereka di kantor. Keragaman dan kolaborasi yang dinamis inilah miniatur
Indonesia dalam ikat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Kebinekaan ini sebenarnya lebih terasa di luar lingkungan kantor. Bali sebagai
daerah eksotis yang terbuka sudah selama berabad-abad menerima perbedaan
sebagai kenyataan. Perbedaan itu tidak saja berada dalam sekat-sekat dan batas-
batas yang tidak dapat dilampaui, tapi juga mencapai titik akulturasi. Di beberapa
daerah seperti Kuta dan Buleleng, dapat ditemukan perkampungan muslim-
bugis yang ternyata masyarakatnya dapat berbahasa Bali dengan fasih. Di Desa
Adat Tuka yang mayoritas Katolik, penduduknya tetap menggunakan pakaian
adat Bali saat kebaktian di katedral yang juga berarsitektur Bali. Di Ubud,
gaya lukisan batuan yang khas terpengaruh aliran lukis modern yang dibawa
oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Pelukis batuan dapat memadukan gaya
klasik pewayangan dan gaya miniaturis modern sehingga menghasilkan lukisan
hybrid yang khas dan berkesan magis. Pada kasus ini, seni tidak berhenti di titik
akulturasi, tapi menembus hingga titik asimilasi.
Masih banyak contoh kolaborasi antaretnis, agama, atau aliran seni di lingkungan
kantor maupun kehidupan masyarakat. Tak hanya di Bali, tetapi juga di seluruh
daerah penempatan para pegawai Kementerian Keuangan. Kolaborasi itu secara
sporadis diberi label multikulturalisme di dalam pidato para pejabat. Namun,
menurut Amartya Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Identitas”, dukungan
lantang terhadap multikulturalisme akhir-akhir ini sesungguhnya tak sekadar
pleidoi terhadap monokulturalisme majemuk. Sen menjelaskan, “Jika seorang
gadis dari keluarga imigran konservatif hendak pergi kencan dengan cowoknya
36
yang Inggris, maka jelas ada inisiatif multikultural dalam hal ini. Sebaliknya,
upaya orang tua sang gadis untuk mencegah dia berkencan sulit untuk bisa
disebut sebagai sikap multikultural, sebab menjaga agar budaya masing-masing
tetap terpisah. Multikulturalisme ditandai dengan bauran-bauran yang interaktif
antarentitas yang berbeda. Dan dalam hal ini, Kementerian Keuangan berhasil
mewujudkannya sehingga dapat menjadi contoh satu padunya Indonesia dalam
bingkai multikulturalisme.
Perekat Indonesia 37
Anak Indonesia
Ferry Hidayat, KPKNL Tangerang II - DJKN
Najwa Shihab
Perekat Indonesia 41
S AJA
R S AMA
M U
-TI
R AT
BA
42
Saat pertama bergabung dengan Bea Cukai Atambua, angkatan kami di-
brief oleh Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi mengenai tugas
pokok dan fungsi Bea Cukai Atambua dan semua tentang Atambua. Aku juga
mendengar cerita-cerita dari senior yang sudah lebih dahulu mengabdi di Bea
Cukai Atambua. Mayoritas senior mengatakan bahwa angkatan kami sudah lebih
baik daripada angkatan mereka. Senior mengatakan bahwa kehidupan ketika
masih bertugas di Bea Cukai Atapupu jauh lebih sulit.
Sedikit cerita tentang Bea Cukai Atapupu. Bea Cukai Atapupu merupakan unit
Eselon IV (saat ini tipe kantor Pratama dihapuskan) yang berada di pelabuhan
Atapupu yang aktif hingga tahun 2015. Saat itu, sinyal telepon genggam masih
dalam jangkauan 3G. Senior bercerita kala itu mereka harus merapat ke pohon
yang berada di pojok halaman kantor untuk mendapatkan sinyal. Sinyal tersebut
juga hanya dalam jangakauan 2G. Saat itu pemadaman listrik lebih intens,
sehingga ketika listrik padam, pelayanan dengan terpaksa dilakukan secara
manual, ditunda, atau dihentikan. Masih banyak pengalaman senior ketika
mengabdi di Bea Cukai Atapupu yang terlalu panjang apabila dituliskan.
Kembali ke Bea Cukai Atambua, Bea Cukai Atambua memiliki wilayah kerja
meliputi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah
Utara, dan Alor. Sebelum mengusung jargon terdepan terbaik, Bea Cukai
Atambua lebih dahulu menggunakan jargon BATAS (Better Attitude and Service)
dikarenakan Bea Cukai Atambua merupakan garda terdepan kepabeanan
Indonesia di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Meskipun jargon tersebut
sudah diubah, tapi jargon BATAS masih terpampang di Kantor Bea Cukai
Atapupu.
Lima kantor bantu/pos bea cukai tersebut antara lain: KBPBC Motaain, PPBC
Turiskain, KBPBC Wini, KBPBC Motamasin, dan PPBC Napan. Masing-
44
dari
lainnya. Keadaan Pos Bea Cukai yang
diceritakan oleh senior pada saat itu
pinggiran. sama dengan video profil Bea Cukai
Atambua yang pernah kami lihat sebelum
menginjakkan kaki di Atambua.
Fokus utama Bea Cukai Atambua adalah wilayah perbatasan. Kami diberikan
amanah untuk mengawasi barang yang keluar dan masuk wilayah pabean
Indonesia dengan mengutamakan pelayanan untuk kepuasan pemangku
kepentingan. Amanah tersebut berhasil kami wujudkan dengan baik. Faktanya
pada tahun anggaran 2018, Bea Cukai Atambua berhasil mencapai 200%
dari target Bea Masuk yang telah ditetapkan dan sebagai bukti nyata kami
mengutamakan kepuasan pemangku kepentingan adalah angka Indeks Kepuasan
mencapai 4,58 dari skala 5.
Salah satu produk hukum khas Bea Cukai Atambua adalah Surat Permohonan
Membawa Kendaraan (SPMK). SPMK diterbitkan oleh aplikasi hasil inovasi
Bea Cukai Atambua, yang bernama AMANSA (Aplikasi Mandiri SPMK
Atambua).
SPMK sendiri merupakan dokumen legal sebagai dasar pelintas batas yang
membawa kendaraan pribadi ke negeri seberang dengan tempo yang telah
ditentukan (maksimal 30 hari setelah diterbitkan SPMK). SPMK ada tiga
46
jenis, yaitu SPMK dari Indonesia ke Timor Leste, SPMK dari Timor Leste ke
Indonesia dan SPMK Transit (dari Dilli menuju Oecusse).
Kami juga melakukan inovasi kepada masyarakat dengan cara persuasif dan
mendidik. Kami senantiasa membaur dengan masyarakat dan mengikuti setiap
acara adat dan kedaerahan yang diadakan oleh Pemerintah Daerah Atambua.
Di sela-sela acara tersebut, kami memberikan pengertian kepada masyarakat
tentang peranan, tugas pokok, dan fungsi Bea Cukai. Metode ini terbukti
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peraturan kepabeanan Indonesia
dan meminimalkan pelanggaran di bidang kepabeanan.
Mengabdi di batas negeri harus diakui menguras hati. Terpisah dari keluarga
dan kerabat merupakan risiko pekerjaan kami. Kami memberikan yang terbaik
karena kami yakin amanah ini adalah titipan dari ibu pertiwi. Kami totalitas di
tapal batas meskipun untuk tiket pulang ke rumah, dompet harus terkuras. Kami
lakukan pengawasan dan pelayanan terbaik, untuk Bea Cukai makin baik dan
untuk kebanggaan menjadi keluarga besar dari Kementerian Keuangan.
Perekat Indonesia 47
Tahun 1998, tahun yang genting bagi negeri ini. Ya, tahun
reformasi yang sempat menggetarkan hati bangsa ini dengan
segala kejadiannya. Tahun politis yang secara langsung maupun
tidak telah berpengaruh terhadap nasib bangsa ini, termasuk
kami, anak Prodip STAN yang baru lulus. Aku dan teman
seangkatan tidak akan pernah melupakan sejarah ini, kami
setelah lulus ditempatkan menuju tempat tugas masing-masing.
Ketika menerima amplop penempatan dan membukanya,
tertulis “KPKN Wamena”. Artinya aku harus melaksanakan
tugas ini dengan segenap jiwa dan raga. Dulu tidak seperti
sekarang yang begitu penempatan maka dengan mudah dapat
kita search di internet dan mengetahui bagaimana kondisi kota
tersebut. Yang dulu bisa kami lakukan hanya melihat peta dan
mencari di manakah posisi Kota Wamena.
Pertama kali meninggalkan Pulau Jawa menuju Kota Wamena, kami harus
mengarungi samudra biru menaiki “Kapal Putih Rinjani”. Setelah tujuh hari
tujuh malam, kami berkelana bersama Kapal Rinjani di bawah komando Kapten
Dul Khamid dan akhirnya sampailah kami mendarat di Kota Jayapura. Setelah di
Jayapura aku melanjutkan perjalanan menuju tempat tugas, yaitu Wamena. Saat
itu aku masih lajang. Ketika ada panggilan prajab, aku harus mengikuti kegiatan
ini di Jayapura. Akhirnya setelah prajab, aku pun memberanikan diri untuk
menggenapkan separuh agamaku, yaitu menikah.
Setelah menikah, aku dan istri berikhtiar untuk mengambil anak asuh. Anak
asuh Papua yang bisa membantu di rumah dengan tetap kami membantunya,
meskipun sekadar biaya sekolah, membelikan baju sekolah, maupun baju sehari-
hari. Kami juga mencoba mendidik mereka dengan budaya yang lebih baik.
Sebelum kami mengasuh anak Papua, aku sering diberikan “warning” oleh
orang-orang yang sebelumnya juga mengasuh anak Papua. “Hati-hati, mereka
suka mencuri”, maka wajar jika banyak anak asuh yang berganti-ganti ketika
tinggal bersama orang tua asuh. Bahkan akhirnya ada orang tua yang kapok tidak
mengasuh anak lagi.
Setelah ditimbang, akhirnya aku dan istri mengambil anak asuh dari asrama
muslim Walesi di kompleks Yapis karena aku pernah tinggal di rumah kontrakan
bersebelahan dengan tempat tinggal mereka. Haris, begitulah panggilannya.
Dialah anak Papua yang kuajak untuk tinggal di rumah. Anak yang pendiam
Perekat Indonesia 49
tetapi rajin. Hari-hari kami lalui dengan kebersamaan, makan pun kami
bersama. Ya, begitulah anak Papua, mereka makan dengan lahap dengan porsi
yang banyak. Anehnya, kadang makan nasi dengan sayur, sayur dimakan duluan
termasuk sambal. Eh, giliran nasi, malah dimakan belakangan.
Beberapa tahun kami lalui, meskipun ada asam garamnya tinggal serumah
dengan anak Papua. Pernah suatu ketika Haris pergi dan tidak kembali tanpa
kabar. Aku sempat khawatir karena Haris telah meninggalkan rumah selama
beberapa hari. Aku mencoba mencari informasi tentang keberadaan Haris
kepada teman-teman asrama. Informasi yang kudapatkan, Haris sakit. Pernah
juga Haris meninggalkan rumah karena kami tidak terima saat kami peringatkan.
Meskipun demikian, setelah beberapa lama akhirnya dia kembali ke rumah.
Suatu hari Haris dapat kabar bahwa dia masuk kontingen pramuka yang
akan diberangkatkan ke Jambore Nasional di Bumi Perkemahan Baturraden
Purwokerto. Sampai hari H keberangkatan, aku pun mengantarkan
keberangkatannya di bandara menuju Purwokerto karena Purwokerto dekat
dengan kampungku di Banjarnegara. Aku pun meminta tolong ibuku untuk
menjenguk Haris di Purwokerto. Akhirnya bertemulah ibu dengan Haris,
meskipun sebelumnya tidak pernah ketemu.
“Haris itu telinganya sakit”, begitu kata ibu. Ya, Haris memang punya penyakit
telinga. Aku dan istri pernah mengantarkannya ke rumah sakit untuk berobat.
Mungkin ada di antara pasien yang heran melihat aku yang mengantar Haris
seperti orang tua Haris sendiri. Ibu Haris orang yang sudah tua dan tidak bisa
berbahasa Indonesia. Karena itu aku berusaha untuk membantu membawanya ke
dokter, mencoba alternatif pengobatan untuk kesembuhan telinganya.
Lebih kurang dua sampai tiga tahun berlalu bersama Haris. Teringat sepatunya
yang sering rusak karena memang bentuk kakinya yang relatif besar dengan
ukuran yang tidak standar. Maklum selama ini dia terbiasa tanpa alas kaki
kemana pun pergi. Terngiang juga kekuatannya ketika menimba air yang
diperlukan untuk kebutuhan keluarga kami.
Akhirnya SK mutasiku pun tiba. Aku harus berpindah tugas ke KPKN Cilacap
di tahun 2002 dan harus berpisah dengan Haris. Meskipun telah belasan tahun,
tapi kenangan bersamanya masih terngiang. Hingga sekarang.
50
Dan semua manusia yang sedang menenun asa, cita, dan cinta.
Jayapura”. Kamu melenguh sambil mengeluh. Ada derai teriak yang senyap yang
mencoba ingin keluar dari lubuk hatimu paling dalam. Kamu sandarkan raga
fanamu pada dinding rumah yang tak selamanya akan berdiri kokoh. Kamu
menyendiri di kamar seperti melakukan nyepi yang dilakukan masyarakat Hindu
Bali, tetapi ini bukan tanggal pelaksanaan yang seharusnya. Kamu menghabiskan
waktu sangat lama di kamar hingga detik pada jam dindingmu tak berdetak lagi.
Keluargamu dan terutama ibumu sangat mencemaskan keadaanmu. Ketika kamu
masih sedang asyik menyendiri, tiba-tiba pintu kamar yang tidak kamu kunci
seketika terbuka perlahan.
“Yun, kamu kenapa? Dari pagi tadi kamu belum makan, Nak. Ibu cemas, kalau
ada masalah, cerita aja sama Ibu.”
Kamu tidak menjawab barang sepatah kata sekali pun. Kamu hanya
menunjukkan pengumuman yang telah membuat keadaanmu sedemikian rupa.
Ibumu paham bahwa kamu hanya butuh waktu sendiri saat ini. Keadaan seperti
itu berlangsung selama seminggu penuh. Hanya saja, hari demi hari kamu mulai
membuka diri. Kamu mulai menikmati sisa waktu sebelum keberangkatanmu ke
tanah tabu. Kamu menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temanmu.
Mungkin berkat dukungan mereka, kamu akhirnya memantapkan diri dan
membulatkan tekad untuk berangkat ke sana.
Namun ada satu hal lagi yang membuatmu dapat menyakinkan ragumu.
Ialah senior perempuanmu di sana yang hanya berbeda umur satu tahun. Dia
berhasil menjinakkan tingginya keraguannya dulu untuk mengabdikan diri
di tanah jauh. Bahkan dia dirundung nasib yang lebih sulit dari kamu. Dia
harus menerima bahwa teman perempuannya yang lain yang seharusnya ikut
berangkat untuk bekerja di sana, hilang tanpa kabar, dan kemungkinan terbesar
ialah mengundurkan diri. Sejak mendengar itu kamu mencoba menguatkan
langkah meskipun belum menemukan tempat berpijak. Mungkin kamu tak mau
aku panjang lebarkan lagi cerita mengenai seniormu karena hanya membuatmu
terlihat lebih lemah. Padahal kamu juga sedang menyiapkan tekad kuat untuk
suatu peran nantinya yang mungkin pada halaman ke sekian baru kamu
ungkapkan.
Akan tetapi sepertinya memang tak mudah membuang pikiran mengenai Papua
dengan segala kengerian yang kamu pikirkan tentang tempat itu. Kamu terus-
menerus mencari informasi mengenai tempat itu. Kamu ingin mencoba mencari
52
sudut pandang lain tentang tanah itu. Namun sekeras apa pun usahamu, masih
saja rentetan hal-hal yang mengerikan tentang Papua muncul. Hingga selama
penerbangan menuju tanah itu, kamu tak bisa tidur dengan nyenyak. Padahal
kamu telah menaiki burung terbang dengan fasilitas yang memanjakan siapa saja.
Pikiran mengerikan tentang tanah itu dan apakah nanti kamu bisa betah, terus
berulang seperti roller coster yang saban liburan selalu kamu lewati untuk tidak
mencoba permainan tersebut.
Sesampainya di tanah Papua, saat kamu bisa merasakan tanah baru untuk tempat
berpijak kemudian, ada lega di hati. Pikiran dan perasaan buruk terhadap Papua
mulai tergerus. Bersama teman-temanmu yang lain, kalian dijemput senior dan
segera menuju ke tempat tinggal. Selama perjalanan menuju tempat tinggal,
ada pergulatan yang sengit sedang terjadi di dalam batinmu. Di satu sisi kamu
mencoba untuk menerima semua nasib, tetapi di sisi lainnya masih berdiri gagah
pikiran dan perasaan buruk tentang tanah ini. Hingga sesampainya di tujuan,
masih belum ada yang memenangkan pergulatan tersebut. Jauh perjalanan yang
sudah terlewati masih belum mampu membuka jendela mata dan pintu hatimu.
Beberapa hari di Papua telah kamu jalani. Mungkin hari itu kamu tidak memiliki
firasat terhadap kejadian besar yang akan terjadi hari itu. Suatu kejadian yang
akan menjungkirbalikkan pikiran dan sudut pandangmu. Pada hari itu kamu
bersama teman-temanmu diajak senior kalian untuk berkeliling melihat
pemandangan indah tanah Papua.
Pada hari itu, setelah sekian lama matamu tertutup, akhirnya kedua bola mata
indah yang kamu warisi dari mata indah ibumu –mata sendu berona cokelat itu,
kini berbinar-binar melihat keindahan pulau burung cendrawasih. Pada tatapan
itu akhirnya ada rasa syukur masuk perlahan ke dalam jendela matamu. Selama
dua puluh tahun hidup, kamu hanya melihat pemandangan tanah Jawa yang
sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Di dalam batinmu tebersit suatu ungkapan,
“Mungkin kalau aku tidak merantau ke tanah ini, aku tak akan benar-benar bisa
mensyukuri nikmat Tuhan atas indahnya alam negeri ini”. Kamu pun paham
bahwa sejauh apa pun mencoba menerima suatu suratan takdir, itu tidak akan
bisa terbaca dengan jelas bila tidak benar-benar membuka kedua bola mata.
Dalam perjalanan pulang, kamu memikirkan suatu peran yang ingin kamu
berikan untuk negeri ini. Kamu sadar pada era kemajuan teknologi informasi saat
ini, semuanya sangat mudah untuk menemukan informasi apabila dipublikasikan
oleh media. Sebagai pegawai di Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, kamu
sangat ingin memanfaatkan akun media sosial kantor untuk menunjukkan tanah
Papua ini. Kamu ingin orang lain tahu, inilah Papua dengan segala keindahan
alamnya. Dan Papua bukan lagi perihal perang antarsuku atau masyarakat yang
belum mengenal kemajuan dunia. Kamu ingin menunjukkan bahwa Papua telah
berkembang dengan segala pembangunannya. Kamu ingin membuat orang lain
tak memandang Papua sebelah mata karena Papua sekarang terus berkembang.
Dalam benakmu, berharap pegawai Kemenkeu yang lain tidak menjadikan
Papua sebagai momok yang mengerikan. Seperti pesan Ibu Sri Mulyani, bahwa
marilah membangun Indonesia dari pinggiran maka kamu bertekad untuk dapat
merekatkan Indonesia melalui jejaring media sosial.
Seyogianya kamu telah paham betul bahwa sebagai abdi negara, kamu adalah
perpanjangan tangan pemerintah untuk menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Sama seperti halnya jembatan merah yang sebentar lagi rampung. Jembatan
merah yang dibangun pemerintah dengan uang kita yang nantinya digunakan
untuk memendekkan jalan menuju perbatasan negeri. Pada hari yang cerah ini
jembatan merah menjadi saksi bisu tekad muliamu.
Perekat Indonesia 55
Oh ya, ada satu kisah menarik yang kamu ceritakan kepadaku. Sebuah peristiwa
yang membuatmu mengerti apa arti dari kemanusiaan, yaitu ketika Sentani
diluluhlantakkan oleh banjir bandang. Mungkin hidup memang perihal
keseimbangan. Keindahan alam Papua yang barusan kamu elu-elukan, seketika
berubah menjadi daerah penuh duka sukma dan derai air mata. Suatu hari yang
tenang lagi damai dengan diiringi lebat hujan menari-nari di atap rumah, tiba-
tiba berubah menjadi salah satu peristiwa yang nahas untuk daerah Sentani.
Hujan tak bisa dikambinghitamkan dengan sebelah mata, semua juga bersumber
dari ulah tak bertanggung jawab tangan-tangan nakal yang menganiaya alam
hanya untuk keuntungan semu nan fana. Untuk sekarang kamu tak ambil pusing
dulu untuk mencerca semua dalang pelakunya. Ada perihal yang lebih penting,
kamu paham bahwa membantu korban dan memberitakan keadaan di sana
jauh lebih utama. Hanya berbekal tekad dan kamera di tangan, kamu berani
maju untuk menjadi satu-satunya perempuan yang menjadi relawan membantu
para korban. Meskipun keadaan Sentani masih belum bisa dikatakan aman
karena masih berlangsung banjir bandang dengan volume lebih kecil dan harus
menempuh perjalanan dua hingga tiga jam. Tak ada satu pun guncangan yang
mampu merontokkan buah tekad muliamu.
Pada akhirnya kamu paham betapa celaka dan egois dirimu yang hanya ingin
dimanja oleh negara, sedangkan jauh di pelupuk mata, ada banyak orang yang
tetap bisa mencintai negeri ini tanpa pamrih. Bahkan mereka tidak memiliki
waktu untuk mempertanyakan apa yang negara berikan untuk mereka, sebab
mereka terlalu sibuk mempertanyakan apa yang telah mereka berikan untuk
negara ini.
“Penempatan itu hasil dari sebuah penantian dan perjuangan kita selama kuliah.
Di mana pun kita ditempatkan, itu adalah bukti dari hasil perjuangan kita dan
awal kesuksesan kita untuk mengabdi kepada negara. Jangan pernah takut dengan
penempatan, di mana pun itu di seluruh Indonesia, di sanalah rumah kita. Selagi
kita masih muda dan masih sanggup, kenapa tidak? Bukankah kita sudah difasilitasi
dengan sangat baik oleh negara dan melalui penempatan ini kita harus membalas apa
yang telah negara berikan kepada kita? Di mana pun kita bekerja, tetap bisa pulang
kok:)
(Kisah ini merupakan kisah nyata dari teman kelasku sewaktu kuliah dulu, yaitu
Ayun Primadani. Sekarang dia sedang bertugas di KPPBC TMP C Jayapura)
Perekat Indonesia 57
Dari surat itu, aku mengerti kalau UP4B akan mengadakan program pendidikan
khusus untuk putra-putri asli Papua di berbagai kampus milik pemerintah.
Lebih dari tiga puluh kampus negeri dilibatkan sebagai penyelenggara. STAN
ditugaskan menjadi penyelenggara pendidikan Diploma I Kebendaharaan
Daerah dan Diploma I Pajak Daerah.
Kepala UP4B adalah pejebat negara setingkat menteri yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
Program ini khusus ditujukan untuk siswa-siswi lulusan SMA yang merupakan
orang asli Papua. Tujuannya untuk membantu percepatan pembangunan sumber
daya manusia di sana. Lulusan program ini nantinya ditujukan untuk menjadi
PNS pada instansi pengirim di pemerintah daerah masing-masing. Mirip dengan
model penempatan kerja lulusan IPDN, tapi ini hanya mencakup Papua. Dari
Papua untuk Papua.
“Peserta pendidikan afirmasi ini tidak boleh dipungut bayaran”, pimpinan rapat
melanjutkan penjelasan. Mereka dibebaskan dari segala biaya, bahkan harus
disediakan akomodasi gratis dan diberi uang saku untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Semua biaya tersebut ditanggung pemerintah melalui APBN
dan APBD. Bagi kampus-kampus PTN yang menjadi penyelenggara program ini
akan mendapat transfer dana untuk memenuhi biaya pendidikan. Bagi kampus
kedinasan seperti STAN, tak ada kendala terkait dana karena memang STAN
tak pernah memungut biaya dari mahasiswa. Tinggal menambah anggaran untuk
pembayaran akomodasi dan tunjangan biaya hidup.
Selesai rapat, kami istirahat sejenak di lobi kantor UP4B. Di pojok ruangan, aku
melihat foto Professor Yohanes Surya menggandeng seorang siswi berseragam
SMA sambil memegang medali. Aku paham betul wajah professor itu. Waktu
SMA aku sangat mengaguminya. Waktu itu, aku bercita-cita menjadi fisikawan
seperti dia.
Aku berjalan mendekati foto itu. Dari sepenggal keterangan di bawah foto, aku
tahu kalau gadis itu adalah Annike Nelce Bowaire, siswi SMAN 1 Serui peraih
medali emas di kompetisi fisika SMA tingkat dunia tahun 2005. Bangga sekali
Perekat Indonesia 59
aku melihat foto itu. Namun seketika, hatiku bertanya-tanya, “Bagimana bisa
anak Papua yang umumnya memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, dengan
fasilitas pendidikan yang seadanya, bisa memenangkan lomba fisika tingkat
dunia? Aku saja yang sekolah di Jawa, dengan segala fasilitasnya, tak pernah
bisa.” Aku melamun sejenak, teringat waktu kelas 3 SMA. Aku pernah ikut
seleksi olimpiade fisika di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Dari tiga soal yang
diujikan, tak satu pun aku memahaminya, apalagi bisa menjawabnya.
Memberi Toleransi
Ujian seleksi dilaksanakan tanggal 2 Juli 2013, serentak di tujuh lokasi. Lima
lokasi di Papua ( Jayapura, Wamena, Merauke, Biak, Nabire) dan dua lokasi di
Papua Barat (Sorong dan Manokwari). Materi yang diujikan hanya Tes Potensi
Akademik. Tak ada tes kesehatan maupun wawancara.
60
Pagi itu, pesawat lepas landas dari Jakarta. Transit di Makassar. Aku turun dari
pesawat Boeing 737-800 berbadan besar, kemudian naik ke pesawat kecil jenis
ATR 72-600. Pukul 14.30 pesawat mendarat di Bandara Rendani, Manokwari.
Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Papua.
Aku tak perlu menjelaskan kalau koper itu berisi dokumen rahasia yang harus
aku jaga. Kantor Bupati hanya berjarak sepuluh menit dari bandara. Sampai di
sana, aku menuju resepsionis.
“Saya dari Kementerian Keuangan, mau bertemu Pak Daniel”, aku menjelaskan.
Dua menit kemudian, datang pria berseragam cokelat, “Pak Budi, kah?”.
“Tidak usah repot, Pak Daniel. Saya sudah dikasih ongkos untuk naik taksi”.
Namanya Daniel Hobera, lulusan STPDN, sudah bekerja tiga tahun di situ. Dia
mengajakku ke ruangan kantornya. Kami langsung meninjau persiapan ujian,
terutama ruangan yang mau dipakai besok. Semua sudah siap. Aku meninggalkan
kantor Bupati menuju losmen.
Setengah jam di losmen, ada yang mengetuk pintu kamar. Aku buka pintu,
resepsionis berdiri di luar, “Ada tamu untuk Bapa”.
Aku menuju ruang resepsionis. Terlihat seorang laki-laki tua berdiri bersama
anak perempuan berseragam SMA. Aku tak mengenal mereka.
“Iya, saya”, aku menjabatnya. Kami duduk di kursi kayu, di depan losmen. Tak
ada lobi di losmen itu.
“Begini, ini anak saya Maria, mau ikut ujian untuk sekolah di kampus… “
Aku tertegun sejenak. Aku tak sanggup bertanya, kenapa anaknya belum
mendaftar.
“Okto”.
“Pak Okto tunggu sebentar ya”, aku menjauh beberapa langkah dari mereka, ke
samping losmen.
Singkat cerita, panitia mengizinkan anak itu untuk ikut ujian. Kata panitia,
peserta dadakan ini bukan hanya ada di Manokwari, tapi di semua lokasi ujian.
“Jadi besok kalau ada peserta dadakan, diterima saja. Minta saja identitas dan
dokumen-dokumen syarat pendaftaran. Kalaupun belum lengkap, nanti bisa
dikirim lewat pos. Kita harus maklum dengan kondisi mereka”, lanjut seorang
panitia di ujung telepon.
Aku kembali ke depan losmen, lalu duduk di sebelah Maria. Pak Okto duduk di
depanku, mukanya cemas menanti jawaban.
Cukup lama dia tak melepas pelukannya. Aku tak bisa berkata-kata. Lelaki itu
mirip ayahku. Dadaku sesak.
Akhirnya aku bisa bicara, “Dari mana Pak Okto tau saya di sini?”.
Dia menjawab, “Saya dikasih tahu Pa Daniel. Katanya tadi Pa Budi dari sana, tapi
sudah pergi ke losmen. Jadi kami menyusul ke sini”.
“Oh, begitu”, aku menimpali. “Tolong besok bawa dokumen syarat pendaftaran
ya. Sudah tahukah syaratnya apa saja?”
“Tadi kami dapat ini dari Pa Daniel”, Maria menunjukkan selembar kertas.
“Pak Okto dan Maria tunggu sebentar ya”. Aku kembali ke kamar, mengambil
formulir pendaftaran.
“Formulir ini diisi, di bagian atas ditempel foto ukuran 4x6. Besok dibawa,
Perekat Indonesia 63
dilengkapi satu lembar fotokopi ijazah SMA dan dua lembar foto ukuran 4x6”.
Ujian seleksi
Jam tujuh pagi, aku sudah sampai di kantor Bupati. Belum ada orang. Aku
menunggu di lobi. Tiga puluh menit kemudian, Pak Daniel datang bersama dua
orang rekan kerjanya. Kami langsung menuju ke ruang ujian.
Seorang rekan Pak Daniel duduk di meja registrasi, di depan ruang ujian. Aku
duduk di sebelahnya. Dia mendata peserta yang datang, lalu memintanya mengisi
daftar hadir. Bagi peserta yang belum mendaftar, diminta mengisi formulir
pendaftaran dan menyerahkan berkas-berkasnya.
“Saya tidak bawa fotokopi ijazah. Kemarin sore ayah saya pergi ke tempat
fotokopi. Naik motor, dua jam dari rumah, tapi sampai di sana tokonya sudah
tutup”, ucap Maria.
“Ada peserta perlu fotokopi ijazah. Ada mesin copy di kantor ini?”
“Maaf, mesinnya rusak, sudah satu bulan belum diperbaiki”, dia menjelaskan.
“Maria, saya foto saja ijazahnya pakai handphone. Nanti saya print di Jakarta”.
Jam 08.30, seharusnya ujian dimulai. Tapi peserta yang hadir baru setengah. Dari
64 orang yang mendaftar, baru 25 yang hadir. Ditambah tujuh peserta dadakan
yang mendaftar hari ini. Totalnya menjadi 32 orang. Panitia setempat meminta
ujian jangan dimulai dulu. “Mungkin ada yang masih dalam perjalanan, kami
akan coba hubungi mereka”, kata Daniel.
Dia sibuk memijit HP-nya dan sesekali berteriak, “Hei, di manakah? Ini ujian su
dimulai!”.
Daniel terdiam sejenak mendengarkan jawaban, lalu berteriak lagi, “Aah, gimana
kamorang ini! Ya sudahlah.”
Selesai ujian, Daniel menghampiriku, “Nanti malam kita jalan-jalan keliling kota
ya. Sambil makan malam”, dia memberi penawaran.
“Oh, begitu”.
Aku mendapat SMS dari panitia di Jakarta. Secara total, dari 388 peserta
yang mendaftar, hanya 338 orang yang hadir saat ujian. Peserta terbanyak
dari Jayapura 112 orang, Nabire hanya diikuti 17 orang. Sebenarnya, UP4B
telah menginformasikan ke semua kabupaten di Papua dan Papua Barat agar
mengirimkan peserta untuk mengikuti seleksi ini. Ternyata, ada beberapa
kabupaten yang tidak mengirimkan peserta. Dari Papua, ada sembilan daerah
yang absen: kabupaten Asmat, Deiyai, Dogiyai, Keerom, Memberamo Raya,
Memberamo Tengah, Mappi, Nduga, dan Paniai. Sementara dari Papua Barat,
kabupaten Tambraw tak mengirimkan wakilnya.
Selepas magrib, aku berjalan ke rumah makan di seberang losmen. Seorang nenek
Perekat Indonesia 65
tua menjajakan pinang sirih dan kapur di depan rumah makan itu. Ada pinang
segar yang masih utuh, ada pula pinang kering yang telah diiris. Setumpuk buah
sirih tertata di sebelahnya, bersama beberapa lembar daun sirih. Dia duduk di
trotoar, beralas karung beras. Wajahnya tampak lelah. Mungkin sudah berdagang
sejak pagi. Anak seumuran dua tahun, mungkin cucunya, tertidur di sampingnya.
Aku masuk ke rumah makan. Angin pantai mengembus kencang.
Masa orientasi
Sesuai dengan Nota Kesepahaman, biaya pelaksanaan program ini ada yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan dan ada pula yang menjadi
tanggung jawab Pemda masing-masing di Papua, sesuai asal daerah mahasiswa.
Kementerian Keuangan menanggung seluruh biaya pendidikan, buku dan
peralatan, akomodasi, bantuan biaya hidup, dan wisuda. Sedangkan Pemda
menyediakan dana untuk transportasi ujian seleksi, transportasi ke tempat studi,
dan asuransi kesehatan.
Ada 210 peserta ujian seleksi yang lulus, 127 dari Papua dan 83 dari Papua Barat.
Tapi, hanya 205 yang mendaftar ulang. Mereka datang ke Jakarta. Sebelum
mulai pendidikan, mereka mengikuti orientasi selama dua hari di kampus Jurang
Mangu.
Pagi itu, 28 Agustus 2013, mereka berkumpul di Gedung G. Aku masuk dari
pintu timur gedung itu. Ramai sekali. Seorang siswi keluar dari keramaian,
mendekatiku.
“Saya Maria.”
“Iya.”
“Terima kasih. Bapa saya itu suruh saya bilang terima kasih ke Pa Budi”
66
“Oh, iya. Bapak sehat ‘kan?”, aku teringat Pak Okto, ayah Maria yang dulu
menemuiku di losmen.
“Sekitar 20-an”.
“Iya.”
“Tidak Bapa. Kami beli tiket sendiri, katanya uang dari Pemda belum bisa
dicairkan. Tunggu bulan depan.”
Aku terdiam.
Setelah selesai orientasi di hari kedua, bagi yang mendapat lokasi pendidikan
di luar Jakarta, mereka diberangkatkan ke masing-masing lokasi pendidikan.
Ada lima lokasi pendidikan: Jakarta, Cimahi, Palembang, Malang, dan Medan.
Di Jakarta ada 85 siswa. Sementara untuk lokasi lain, masing-masing 30 siswa.
Pelepasan peserta dilakukan oleh pimpinan UP4B bersama-sama dengan
pimpinan STAN.
Perekat Indonesia 67
Berhitung lagi
Aku dapat tugas mengajar matematika. Ini fondasi yang penting untuk persiapan
mata kuliah akuntansi, misalnya menghitung penyusutan berganda. Matrikulasi
matematika tidak lagi mengajarkan konsep, semuanya latihan soal dan berhitung.
Aku masuk ke ruang kelas, lalu membagikan selembar soal hitungan. Kujelaskan
apa isi soalnya, apa yang ditanya, dan bagaimana cara menjawabnya. Ini pekan
kedua aku mengajar mahasiswa Papua.
“Salo, maju ke depan”, aku menunjuk siswi asal Jayapura itu. Aku ingat nama
panggilannya, tapi lupa nama lengkapnya. Kulihat di daftar hadir, namanya
Salomina Gobay. Dia maju ke depan kelas dengan penuh semangat. Cepat sekali
dia menulis jawaban di papan tulis. Cara menghitungnya tepat, jawabannya
akurat.
Di pojok kelas, duduk seorang mahasiswa. Esron Rumbewas, aku hafal nama
lengkapnya, putra asli Sorong. Sebenarnya dia anak yang cerdas, tapi malas.
Hidupnya seperti tak bersemangat. Duduk menyendiri di bangku belakang,
jauh dari teman-temannya di kelas. Pulpennya tergeletak di atas buku tulis.
Sepertinya, untuk menulis pun dia berat. Aku berjalan mendekatinya, lalu duduk
di bangku sebelahnya.
Dia menjawab, “Itu idola saya, Bapa. Pemain bola terkenal. Diorang itu adiknya
Ortizan Solossa.”
“Katanya, tahun ini Boaz pergi dari Persipura Jayapura, pindah ke Persiram Raja
Ampat. Benarkah?”, aku terpengaruh logat mereka.
“Ya, dia su tak sejalan dengan Jacksen Tiago, pelatih Persipura”, Esron antusias
menjelaskan.
“Iya Bapa.”
“Nah, mereka berdua itu orang hebat. Kau juga bisa jadi seperti mereka.”
“Asalkan kau rajin. Nanti kau bisa mengharumkan nama Sorong. Kau bisa
terkenal se-Indonesia, seperti Boaz dan Ortizan itu.”
Sekitar sepuluh menit kami mengobrol tentang sepak bola, sementara mahasiswa
lain melanjutkan mengerjakan soal matematika. Tanah Papua banyak melahirkan
pemain-pemain bola terkemuka. Selain Boaz dan Ortizan, ada Elie Aiboy. Esron
bercerita banyak tentang kaki kiri Elie yang menghasilkan banyak gol indah.
Berikutnya ada Patrich Wanggai, Titus Bonai dan Oktavianus Maniani yang
menjadi “trio Papua” di Timnas Indonesia. Papua menjadi surga talenta bagi
dunia sepak bola.
Inilah akuntansi
Selasa, 8 Juli 2014, aku mengajar mata kuliah Akuntansi Pemerintah Daerah di
semester II. Aku masuk ke ruang kelas. Lima mahasiswa sudah duduk di kelas.
Pagi itu hujan gerimis, banyak mahasiswa tak hadir. Harusnya ada lima belas
mahasiswa di kelas. Sebelum memulai kuliah, aku mengajak mereka ngobrol.
“Tidak. Kami tak dapat undangan. Padahal kami sudah punya KTP, umur sudah
19 tahun”, kata Martha.
“KTP kalian ‘kan alamatnya Papua. Jadi kalian terdaftar di Papua. Kalau mau
pindah TPS, harus bawa formulir A5. Kalian harus urus dulu formulir itu di
Papua”, aku menjelaskan.
“Kalian tahu orang Papua yang jadi menteri?”, aku mengalihkan pertanyaan.
Mereka terdiam.
Aku tayangkan foto pria kelahiran Yapen Waropen itu yang pernah menjadi
Gubernur Papua dan tiga kali menjadi menteri. Sebagai MenPAN di era
Presiden Gus Dur, kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan di periode
pertama Presiden SBY, dan menjadi Menteri Perhubungan untuk kabinet SBY
periode kedua.
Bioskop pertama
Pagi itu hari Jumat, aku masuk kelas jam delapan. Sebelum menyampaikan
materi, aku tayangkan video singkat tentang Franklin Ramses Burumi, sprinter
asal Serui yang menyabet dua medali emas di cabang lari 100 meter dan 200
meter putra dalam ajang SEA Games tahun 2011 di Palembang.
“Kalian juga bisa jadi seperti dia, mengharumkan nama Indonesia”, ucapku
setelah video itu selesai.
“Baiklah. Gimana kalau besok Sabtu kita nonton film di bioskop. Saya yang bayar
tiketnya.”
Sabtu pukul satu siang, aku menuju Plaza Bintaro. Aku masuk ke lobi bioskop.
Mereka sudah berkumpul di sana. Aku beli tiket The Expendables 3, lalu memesan
pop corn dan hot chocolate untuk mereka.
“Ada berita duka dari Cimahi. Salah satu teman kalian ada yang meninggal.”
Perekat Indonesia 71
Kami terdiam.
Selesai
Sebagian orang tua mahasiswa ada yang hadir. Terpancar wajah-wajah bahagia.
Anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi di luar Papua, tanpa biaya. Aku
menyalami mereka.
“Saya kasihan sama anak-anak yang ikut program ini”, dia membuka
72
pembicaraan serius.
“Kok bisa? Bukannya sudah ada Surat Pernyataan Bupati, bahwa akan
mengangkat mereka menjadi PNS di sana. Itu sudah ditandatangani sebelum
program ini berjalan”, aku mengungkapkan.
Oktober 2014, pemerintahan Presiden SBY berakhir. Masa kerja UP4B pun
selesai, karena sesuai dengan Perpres 66 tahun 2011, tugasnya hanya sampai akhir
tahun 2014. Pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perpres
sejenis untuk memperpanjang masa kerja UP4B. Program afirmasi pendidikan
untuk Papua tetap dilanjutkan, tapi dikelola langsung oleh Kemristekdikti dan
Kemdikbud. UP4B dibubarkan.
Aku sering mengatakan, “Orang menjadi brutal dan miskin karena bodoh”.
Mungkin ada yang menjawab, “Apakah pendidikan yang tinggi menjamin orang
berperilaku baik?” atau “Apakah lulusan universitas tidak ada yang jadi penjahat?”,
dan “Berapa banyak sarjana yang menganggur dan miskin?”.
Waktu kecil, tepatnya kelas tiga SD, aku pernah menyobek uang mainan
milik teman sekelas ketika perjalanan pulang sekolah. Temanku menangis,
lalu mengadu ke orang tuanya. Apa yang terjadi? Ayahnya datang ke rumahku
membawa golok, menggedor pintu dengan amarah memuncak. Saat itu orang
tuaku sedang bekerja. Aku ketakutan bukan main di dalam kamar.
Perekat Indonesia 73
Sekarang kalau pulang kampung, aku sering ketemu teman SD itu. Kami
bercanda mengenang masa-masa sekolah dulu. “Kasus” penyobekan uang mainan
tadi malah jadi bahan tertawaan kami. Namun ada satu hal yang membuatku
sedih ketika bertanya, “Kamu sekarang kerja apa?”. “Aku kerja buruh cangkul di
sawah”, katanya. Upahnya dua puluh lima ribu rupiah per hari. Setelah lulus SD,
dia tidak melanjutkan sekolah. Keluarganya memang tak berpendidikan. Ayahnya
tak pernah sekolah sehingga dikenal sangat emosional dan sering menghardik
anak kecil yang “bermasalah” dengan anaknya.
Aku teringat pesan Ayah, “Kamu harus sekolah yang tinggi, supaya kamu
menjadi orang baik. Kamu harus sekolah yang tinggi, supaya kamu mendapat
kehidupan yang layak”. Mendengar kata-kata itu, semangatku meletup untuk
menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi dosen di perguruan
tinggi. Sehingga, ketika lulus kuliah di STAN, aku memilih untuk tetap di
kampus dan langsung mengajar.
Bagiku, mengajar adalah passion sehingga sering lupa waktu dan tak merasakan
lelah meskipun harus mengajar seharian. Bertemu dengan mahasiswa yang masih
polos dan tak terbelit beragam kepentingan, terasa begitu menggembirakan.
Berdiskusi dengan mereka, tak akan ada habisnya. Mengajar selalu memiliki
banyak tantangan. Aku harus mengerti banyak hal karena mahasiswa sering
bertanya hal-hal yang “tak terduga”.
Mereka harus punya kompetensi dan karakter yang matang. Mereka akan
menjadi panutan bagi masyarakat Papua. Mereka harus menjadi generasi cerdas
yang berintegritas, birokrat yang beretika, dan pejabat yang matang dalam
berpikir dan bertindak.
Papua sudah tertinggal sekian lama. Otonomi khusus yang diberlakukan mulai
tahun 2001 belum banyak memperluas akses pendidikan, terutama pendidikan
tinggi. Indeks pembangunan manusia untuk Papua hampir selalu menjadi angka
terendah dari semua provinsi di Indonesia. Padahal, sudah triliunan rupiah dana
otonomi khusus yang digelontorkan.
Aku mengerti, gerakan ini berjalan lambat, banyak kendala dan senyap dari
pemberitaan media. Namun aku menguatkan komitmen untuk memberi
kontribusi semampuku, meskipun hanya seujung kuku. Aku telah menentukan
pilihan, mewakafkan hidupku untuk pendidikan. Aku percaya, suatu hari nanti
aku akan melihat cahaya mutiara yang terpancar dari tanah Papua.
Perekat Indonesia 75
Magdalena, Sa Pu Nama
Undani, KPPBC TMP C Sorong - DJBC
Mereka kaum muda yang meninggalkan rumah dan kampung halaman. Sebagian
dari mereka berasal dari Jawa–pulau dengan segala kemajuan dan modernisasi,
menuju tanah Papua–lahan dengan segala kesederhanaannya. Mereka pergi
dengan sebuah cita-cita di dalam hati, menjadi penggawa di Nagara Dana
Rakça. Banyak tantangan dan hambatan yang harus mereka hadapi, culture shock,
kerinduan pada kampung halaman, tiket mahal yang sulit terjangkau, hingga
tingginya living cost di Kota Sorong. Memang dalam beberapa bulan selama
tahun 2018 misalnya, inflasi di kota Sorong adalah yang tertinggi di Indonesia,
bahkan bisa sampai dua kali lipat dari tingkat inflasi secara nasional, dan salah
78
satu faktor penunjang inflasi itu adalah tingginya tiket pesawat dan harga barang-
barang kebutuhan harian. Keadaan memang tidak selalu menggembirakan, di
tengah keterbatasan gaji dan tunjangan, sebagian dari kami harus menyisihkan
uang demi tabungan untuk bisa membeli tiket pesawat agar pada saat lebaran
atau natal bisa kembali mengunjungi kampung halaman, muara bagi segala
kerinduan.
Aku terpanggil oleh empati, oleh rasa saling memiliki bahwa kita adalah satu
jiwa yang saling mengerti. Untuk menyiasati tingginya standar biaya hidup di
Kota Sorong, akhirnya aku pun berinisiatif membuka dapur sehat, nikmat, dan
murah. Mereka menyebutnya De’Rantanger, mungkin karena menu makanannya
yang kusajikan dalam wadah rantang plastik. Dengan harga separuh dari harga
di warung makan biasa dan porsi yang sama, kini mereka bisa menikmati sajian
bergizi di sore hari tanpa harus khawatir dengan kebersihan dan kenikmatan.
Bahkan mereka bisa membayarnya di akhir pekan jika gajian belum juga datang.
Selain itu, ternyata katering ini juga membuka lahan pekerjaan bagi tetangga
karena mereka dilibatkan agar dapat menikmati pula tambahan penghasilan dari
keberadaan kita. Mungkin ini hal yang sederhana, tetapi bagiku, melihat mereka
menikmati dengan lahap setiap suap sajian yang dihidangkan sudah memberiku
kebahagiaan. Bisa menjadi bagian dari solusi. Mengatasi masalah dengan hati.
Ada bahagia yang tercipta di kerlip cahaya bintang di langit jingga.
Aku selalu berharap bahwa sebagai seorang Papua, aku bisa mengambil
peran bagi kemajuan kedinasan, bagi erat dan akrab persahabatan di tengah
keberagaman. Aku ingin tumbuh dan berkembang, memendarkan cahaya bagi
kehidupan. Menjadi suluh dan pelita bagi sesama ketika gulita tidak juga sirna.
Aku Papua, aku tidak berbeda, maju bersama mengukir karya, memahat karsa di
atas cinta pada Indonesia raya, karena Kitorang** Papua.
“Sudah saatnya
Indonesia sadar diri
bahwa lautnya lebih
kaya dari daratnya yang
membutuhkan bantuan
kita untuk menjaganya.”
Susi Pudjiastuti
Perekat Indonesia 81
BAHARI
ER I
EG
N
82
Beberapa hari mendatang akan ada ekspor iron ore dari Pulau
Taliabu. Kapal berbendera asing akan masuk dan berlabuh
untuk mengangkut iron ore tersebut. Sudah menjadi standar
internasional, para petugas CIQ (Customs, Immigration, dan
Quarantine) akan melakukan pemeriksaan ke atas kapal tersebut
pada saat kedatangan dan pada saat dia akan meninggalkan
Indonesia. Perjalanan menuju Pulau Taliabu dari Ternate
dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, naik kapal laut
dari Ternate ke Pulau Taliabu selama dua hari dua malam.
Kedua, naik pesawat dari Ternate ke Sanana, Kepulauan Sula,
lalu disambung dengan naik kapal laut selama satu malam
perjalanan dari Sanana ke Pulau Taliabu. Namun, pesawat dari
Ternate ke Sanana tidak setiap hari ada. Ketiga, naik pesawat
dari Ternate ke Makassar. Menginap satu malam di Makassar.
Pagi harinya lanjut penerbangan dari Makassar ke Luwuk,
Banggai. Lalu dilanjutkan naik kapal laut selama satu malam
perjalanan dari Pelabuhan Rakyat Luwuk, Banggai, ke Pulau
Taliabu.
tengah malam kapal kayu besar itu dihantam angin kencang dan gelombang laut
dari utara setinggi 2-3 meter. Pintu yang berada di lambung kapal jebol. Banyak
air laut masuk. Para penumpang panik. Live jacket (pelampung) pun segera
dipakai untuk antisipasi kondisi terburuk yang mungkin saja terjadi. Lima puluh
sak semen muatan kapal langsung dibuang ke laut untuk mengurangi muatan.
Ada juga yang menambahkan informasi bahwa mesin kapal juga mati sehingga
kapal tidak bisa melanjutkan pelayaran malam kemarin. Beruntung di depan
ada sebuah pulau kecil, Pulau Sagu namanya. Kapten kapal memutuskan agar
kapal menepi dan berlindung di pulau itu sekitar pukul 02.00 WITA, sambil
melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya. Sekira pukul 07.00 WITA tadi pagi
pertolongan datang. Alhamdulillah kapal pun bisa melanjutkan pelayarannya ke
Taliabu.
Salah seorang pemilik kapal yang malam ini bersamaku juga bercerita bahwa
kapal miliknya yang melayani pelayaran dari Manado ke Kepulauan Sangihe
Talaud, Sulawesi Utara, saat ini dihentikan operasi pelayarannya sampai hari
Kamis besok. Penyebabnya karena gelombang laut sedang tinggi-tingginya dan
tidak bersahabat bagi kapal-kapal.
Malam ini aku bersama Hero Triassosi, seorang dokter perempuan dari Jakarta,
dan tiga puluhan orang karyawan perusahaan tambang pasir besi, PT Servindo
Jaya Utama, menumpang Kapal Gracelia dari Pelabuhan Rakyat Luwuk, Banggai,
menuju Pulau Taliabu. Sesuai jadwal kapal diberangkatkan pukul 21.00 WITA
dan dijadwalkan tiba dua belas jam ke depan di Pulau Taliabu, tanpa banyak
singgah di pulau-pulau yang dilewatinya. Dengan memohon rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kami semua memohon perlindungan dan keselamatan
hanya kepada-Nya. Dialah yang telah menundukkan lautan agar kapal-kapal
aman berlayar dan manusia mengambil pelajaran.
Lautan yang kami seberangi termasuk laut dalam yang dimiliki Indonesia.
Namun, kami berlayar bersama para pelaut ulung yang telah berpengalaman
menaklukkan ganasnya gelombang.
Dari lautan kita banyak belajar. Badai dan gelombang hanyalah penguji untuk
menunjukkan jati diri sang nakhoda pilihan. Sebagaimana siang dan malam,
setelah gelombang hadirlah keteduhan, bersama kesulitan ada kemudahan. Kalau
tiada yang berani melayari lautan maka siapakah yang ‘kan memanen hasil laut
kita? Siapakah yang ‘kan hadir bercerita betapa indahnya kepulauan nusantara?
Dari laut pula sang nabi pilihan diselamatkan melalui seekor ikan.
***
Alhamdulillah hari Kamis, 10 Januari 2019, pukul 08.49 WITA kami tiba di
dermaga Pulau Taliabu. Sepanjang perjalanan gelombang laut sangat tinggi.
Angin bertiup kencang. Desau suaranya terlalu berisik saat beradu dengan lautan.
Kapal berguncang sepanjang waktu. Miring ke kiri, miring ke kanan, kadang
mengayun. Berulang-ulang aku terbangun. Tidur tidak nyenyak untuk sekadar
tetap waspada kalau terjadi apa-apa. Kondisi itu pun akhirnya sampai terbawa
mimpi.
Inilah sepenggal kisah yang dapat kami bagikan sebagai bagian pengalaman
dalam mengawal keuangan negara untuk masa depan Indonesia Raya tercinta.
Perekat Indonesia 85
“Pusat mana tau kita yang di daerah sini selalu bertaruh dengan
nyawa. Ombak dua sampai tiga meter mana ada di pulau Jawa,
yang tau kapal sandar saja. Sedangkan kita harus menempuh
empat jam perjalanan dari darat menuju tengah laut. Kalau
mati, kita hanya dimakamkan dengan balutan bendera merah
putih. Lalu? Hilang”, ucap salah seorang pemuda yang berada di
geladak kapal (perahu kelotok).
parah dari kita. Letak geografis bukanlah suatu halangan. Bukankah kita merdeka
juga harus ada yang diperjuangkan? Tak peduli hidup ataupun mati, yang penting
demi pertiwi. Gampangannya catur, sehebat apa pun orang bermain catur, pasti
ada yang harus berkorban, bukan?” Dua pemuda paruh baya dari dua instansi
yang berbeda masih meneruskan perbincangannya dengan kepulan asap vape
yang dihisapnya. Deburan ombak dan bunyi mesin kelotok menjadi backsound
pelengkapnya. Alam masih mematung mendengar pembicaraan dua orang abdi
negara yang ada di sebelahnya. Hitam putih masih menyelimuti tubuhnya. Ia
belum mengenal apa-apa teori yang belum tentu sama dengan dunia kerja. “Jadi,
kalau kita checking kapal (boatzoeking), kita berangkat bareng sama karantina dan
imigrasi. Nah, karantina yang ikut kita sekarang itu dari kesehatan kapal, bukan
karantina hewan/tumbuhan karena kapal yang kita cek bermuatan minyak, jadi
yang perlu dicek hanya kesehatan kapal dan awaknya”, ucap senior berseragam
biru membuka pembicaraan dengannya. Alam masih tak bergeming dan hanya
memicingkan matanya melihat kapal yang terlihat kecil tepat di depan bola
matanya. Lantas saja ia terheran-heran dengan suasana di sekelilingnya. Delapan
belas tahun adalah usia yang tepat untuk danusan di kampus dan merancang
kepanitiaan di dunia perkuliahan, bukan usia yang tepat untuk bekerja. Namun
Tuhan berkata lain, “Kamu harus lebih!” Tegas-Nya.
“Dalam pengecekan kapal, satu hal yang sangat diperhatikan, yaitu keselamatan.
Cara naik tangga monyet, kaki dilarang untuk sejajar bertumpuan di salah satu
anak tangga. Hati-hati, kamu pasti bisa!” Tegas senior berkacamata. “Ini bukan
hanya layar kaca semata, kitalah pelakunya, centangan di setiap dokumen harus
dapat kita pertanggungjawabkan. Berhati-hatilah! Beban berat berada di dada
garuda dan buktikanlah bahwasannya foto yang terpampang di samping garuda,
tersenyum karena pengorbanan kita.”
“Itu bukanlah cerita menarik untuk dibicarakan, tak sebanding dengan cerita
teman yang ada di pangkalan sarana operasi di sana. Hanya awalan saja, aku
sudah tak tertarik untuk melanjutkannya. Lain waktu saja.” Terpampang jelas di
bagian paling bawah tulisan yang ia ketik.
Layar monitor masih berkedip seiring dengan pupil yang mulai membesar
menginginkan banyak sinar yang masuk ke arah kelopak matanya. Surat
elektronik lalu lalang masuk dan mengendap menunggu antrean untuk
didisposisikan. Senja tersenyum melihat seorang pemuda yang bersedia
menunggunya hingga ia pergi. Sebagai ucapan terima kasih, ia hanya bisa
Perekat Indonesia 87
merangkulnya dengan hangat sinar jingga di tanah nusantara. Sudah lima belas
menit lewat dari jam pulang, tetapi pemuda tersebut masih saja meraba papan
ketikan, “Pulang, dek.” Kata salah seorang senior wanita yang lewat di depan
pandangannya. “Siap, nanggung, mbak”, jawabnya. Tak ada yang menarik lagi
untuk dibicarakan hari ini.
“Berarti nanti kerjaan mbak serahin ke kamu buat sementara”, dengan nada lirih.
“Kamu salah, Alam. Persepsi itu haruslah kamu ubah. Awal kalian menginjakkan
kaki di sini, kalian sudah kami anggap sebagai keluarga, keluarga bea cukai. Mbak
yakin kamu pasti bisa. Nanti mbak ajarin. Kamu boleh berkarya selagi tidak
menyalahi SOP yang ada.”
“Ashiaap.”
88
Dua minggu telah berlalu, membuat Alam terbiasa dengan pekerjaan yang ada.
Tahap transisi telah berubah menjadi tradisi, gigi satu telah berubah menjadi
gigi lima, tetapi lelah akan tetap menjadi teman yang selalu menghantuinya.
Sempat ia berpikir untuk lebih memilih sebagai pekerja lapangan karena dengan
di lapangan, ia akan melihat layar kapal, bukan layar kaca yang membosankan.
Namun lamunannya seketika menghilang tatkala ia teringat kata-kata salah
seorang penyaji di kantor pusat bea cukai yang berkata, “Jangan pernah remehkan
supporting unit karena tanpa supporting unit, semua tak bisa berjalan seperti
semestinya. Mungkin kerjaan kita tak tampak seperti unit di lapangan, namun
peran kita penting dalam satu organisasi ini. Pada intinya adalah sinergi.”
Memang sudah selayaknya semua bekerja beriringan membentuk suatu korelasi
yang menyebabkan suatu aksi dan reaksi selayaknya lima butir Pancasila, mereka
berbeda namun tak dapat berjalan sendiri-sendiri. Satu bintang di langit tak akan
dapat menerangi luasnya bumi pertiwi. Namun jika semua bintang bersatu dalam
satu langit, gelapnya malam akan berubah menjadi keindahan panorama yang
tak terelakkan. Bersatulah demi ibu pertiwi, dimulai dari sinergi dalam organisasi
maupun instansi menuju sinergi perekat negeri ini. Jika lelah, ingatlah kata-
kata seorang pertiwi masa kini yang dapat menggetarkan ribuan generasi muda
Indonesia, “Jangan pernah lelah mencintai negeri ini”, tegasnya tiga kali. Jika kita
membaca tulisan ini dan ada gemuruh dalam hati, itu adalah salah satu wujud
nyata yang tak terlihat bahwasanya kita mencintai negeri ini.
Perekat Indonesia 89
Lentera Motivasi
M. Taufan Dharmawan, KPPBC TMP C Pangkalpinang - DJBC
dengan tugas rumah tangga, walaupun aku belum berumah tangga. Lamunan
pun terhenti tatkala pesan singkat sang bidadari masuk pas tanggal gajianku.
Di saat teman-temanku yang lain disambut haru oleh keluarga dan teman-teman,
begitu juga dengan diriku yang disambut dengan air mata bangga orang tua dan
tepuk tangan meriah teman-teman. Lulus dalam waktu satu tahun adalah hal
yang luar biasa, sudah terbayang di depan mata ini tantangan dan pengalaman
masuk ke instansi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang selalu aku
banggakan. Tapi ternyata, bukan hanya jalur takdir yang mengantarkanku untuk
menjadi pegawai DJBC di usiaku yang masih relatif muda–dua puluh tahun. Tapi
kenyataan lain dari kesimpulan apa yang ayah dan ibu beritakan ketika aku sudah
sampai di rumah. Waktu itu aku sedang menunggu informasi tanggal masuk
untuk menjalani program On the Job Training (OJT). Ya, ayah ternyata sudah
pensiun setengah tahun sebelum aku wisuda atau lebih cepat tiga setengah tahun
dari prediksiku sebelumnya. Titel baru pun segera harus kuemban, mau tak mau,
menjadi pegawai bea dan cukai, menjadi anak sekaligus tulang punggung bagi
ayah, ibu, dan adik perempuanku yang masih duduk di kelas dua SMP.
Meskipun aku anak ketiga dari empat bersaudara, tetapi aku adalah anak laki-
laki satu-satunya sehingga kewajiban itu mutlak harus kuemban. Dua kakak
perempuanku sudah menikah dan baru memulai hidup mereka masing-masing.
Kondisi tersebut membuat mereka masih sulit untuk mendukung penghidupan
ayah, ibu, dan adik. Beruntung, selama masa OJT, ayah masih mempunyai
Jamsostek sehingga masih bisa mendukung kehidupan kami sekeluarga. Maklum,
masa-masa OJT adalah masa-masa ketika gaji yang kami terima baru sebatas
uang sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu pun belum termasuk akomodasi
seperti biaya indekos, uang bensin, dan lain sebagainya. Beruntungnya lagi, aku
masih ditempatkan di Palembang sehingga masih bisa menekan biaya seperti
tiket atau akomodasi lainnya.
Juli 2016 adalah titik balik dari semuanya ketika UP.9 pengumuman
definitif kami keluar. Aku harus menerima diri ini untuk mengabdi ke kota
Pangkalpinang, tepatnya di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
Tipe Madya Pabean C (KPPBC TMP C) Pangkalpinang yang terletak persis
di samping Pulau Sumatra. Ketika aku pamit kepada ibu dan ayah, ada sedikit
perasaan yang begitu menusuk relung hati ini. Bagaimana tidak, ibu sampai
harus menjual kuda besi satu-satunya milik keluarga untuk membiayai modal
tiket dan kehidupanku di sana. Ingin rasanya aku menangis sambil mengucapkan
Perekat Indonesia 91
maaf yang tidak akan pernah berujung, tapi aku tak ingin membuat Ibu sedih.
Akhirnya dengan penuh tekad untuk berbakti dan mengabdi, aku berangkat ke
Pulau Bangka.
Hidup di tanah rantau dengan segala macam beban dan pikiran yang menurutku
sangat berat tentu tidak mudah. Berapa kali aku hanya bisa menangis dalam
sujud seraya terus meminta bantuan dari Yang Maha Pencipta agar selalu
diberikan kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi hidup yang kadang bisa
segetir ini. Tuhan memang selalu mendengarkan doa-doa hamba-Nya. Hanya
berselang dua bulan dari penempatanku di Pangkalpinang, uang rapelku keluar.
Jumlah yang menurutku sangat banyak sehingga dengan senang hati segera
kukirimkan kepada ayah dan ibu di rumah. Mendengar tangisan haru mereka di
seberang, membuatku kadang menyesali keluhanku di masa lalu. Tuhan memang
mempunyai rencana yang begitu indah dan manis untuk setiap hamba-Nya yang
sabar dan percaya.
Pikiranku langsung kembali ke atas kapal tanker itu. Di suatu sore di bulan
Februari. Ketika temanku–sesama pegawai pemeriksa dari KPBBC TMP C
Pangkalpinang, memberitahuku bahwa kapal yang akan menampung minyak
mentah untuk selanjutnya diekspor, sudah siap untuk dilakukan proses
boatzoeking. Aku pun mengiyakan seraya bersiap-siap. Melakukan boatzoeking
atau pemeriksaan terhadap sarana pengangkut berupa kapal laut adalah salah
satu tugas Bea dan Cukai untuk menerapkan fungsi pengawasan dan pelayanan
terhadap sarana pengangkut yang berasal dari luar negeri dalam rangka impor.
Tentunya hal ini dimaksudkan untuk mencegah barang-barang yang tidak
diinginkan atau yang dilarang masuk ke Indonesia.
Kapal tugboat yang akan membawa kami sudah siap. Sebelum berangkat,
diadakan briefing terlebih dahulu mengingat suasana air laut yang memang agak
sedikit bergelombang. Sempat sedikit muncul rasa ragu ketika kami sudah berada
dalam donut bucket karena bagaimanapun musibah tidak ada yang bisa ditebak
oleh penalaran manusia yang terbatas. Namun sesuai dengan ikrar yang telah
diucapkan, mars yang selalu dinyanyikan, dan korps yang dibanggakan, tekad
kami untuk memberikan pengabdian terbaik tidak boleh goyah hanya karena
cuaca yang tidak bersahabat. Dengan mengucapkan bismillah, kami berdua
akhirnya berangkat.
Di kapal tanker yang akan memuat minyak mentah untuk selanjutnya diekspor,
92
legenda sepak bola Ukraina yang juga mantan pemain Dinamo Kiev dan sukses
mengantarkan timnas Ukraina sampai ke perempat final Piala Dunia 2006,
dia dengan sangat antusias menjelaskan kebanggaannya. Apalagi nama depan
mereka hampir sama yaitu Andy dan Andriy. Aku pun menjelaskan bahwa
Timnas Indonesia juga mempunyai banyak pemain legenda yang sama perannya
seperti Andriy Shevchenko, seperti Kurniawan Dwi Cahyo ataupun Bambang
Pamungkas. Kami juga sama-sama sepakat bahwa satu malam penuh keajaiban
di Istanbul ketika Liverpool berhasil membalikkan keadaan tertinggal 3-0 dari
AC Milan menjadi 3-3 sebelum memenangkan Piala Champions League melalui
drama adu penalti, adalah salah satu pertandingan paling mengesankan dalam
sejarah. Setelah itu suasana menjadi lebih mencair dan akrab, tanpa mengurangi
profesionalitas kami. Kapten Andy banyak bercerita tentang pengalamannya
dan beberapa kali menanyakan terkait dengan peraturan-peraturan ataupun
kelengkapan dokumen kapalnya.
Setelah semua dokumen selesai dan proses checking selesai maka semua
persyaratan sarana pengangkut untuk melakukan kegiatan ekspor sudah dapat
terpenuhi. Aku bersama dengan pegawai lainnya kemudian bersiap-siap untuk
turun lagi ke kapal tugboat. Tiba-tiba Kapten Andy memanggil. Dia hendak
menyerahkan satu slop rokok dan satu botol wine khas dari Ukraina yang sengaja
dia bawa untuk mengurangi rasa kangen rumah. Melihat hal tersebut, tentu
saja aku kaget karena aku tidak mengharapkan akan mendapatkan “oleh-oleh”
dari Kapten Andy. Aku percaya ini bukanlah iktikad buruk ataupun suatu cara
untuk memperoleh kemudahan terkait pelayanan yang sudah kami berikan. Toh,
kelengkapan dokumennya lengkap dan ketika dilaksanakan proses pengecekan
sarana pengangkut pun tidak ditemukan indikasi pelanggaran. Kapten Andy
murni memberikannya karena sama-sama penggemar sepak bola dan The Kops
(sebutan untuk pendukung Liverpool). Tentu, sempat tebersit di pikiranku untuk
dapat menerima saja pemberian Kapten Andy karena memang sekali lagi ini
murni hadiah, bukan atas hasil kemudahan dari pelayanan yang sudah diberikan.
Ditambah lagi, rokok dan wine itu bisa kujual lagi–mengingat aku tidak merokok
dan minum. Uangnya pun bisa kukirimkan kepada ibu dan ayah di rumah.
Tapi di satu sisi, nuraniku yang lain tetap bertekad menolak pemberian Kapten
Andy. Bukan karena tidak menghargai pemberiannya, tetapi semata-mata untuk
menjaga kode etik dan martabat dari pegawai bea cukai untuk tidak menerima
apa pun ketika melaksanakan tugas dan fungsinya, apa pun alasannya. Di saat
94
mental yang mulai goyah itulah, aku teringat dengan kalimat motivasi yang
diucapkan oleh salah satu seniorku ketika mengikuti kegiatan bimbingan
mental,“Tangan yang di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah” (HR.
Bukhari: 1472 dan Muslim: 1035). Sebuah kalimat motivasi dari perkataan
Rasulullah saw. tersebut terus bergema di telingaku. Akhirnya, meskipun di satu
sisi aku sangat butuh tambahan dana untuk ibu dan ayah di rumah, tetapi aku
harus berpegang teguh untuk terus menegakkan kode etik dan martabat bea dan
cukai, bahwa kami memang sudah berubah, bahwa semboyan “makin baik” yang
kami gaungkan terus-menerus bukanlah sekadar kalimat penyemangat belaka.
Diakhiri dengan lambaian tangan persahabatan yang baru terjalin, kami pun
turun menuju tugboat yang akan membawa kami kembali ke kapal tanker tempat
minyak mentah itu ditampung sebelum akhirnya dimuat dan diekspor. Di atas
tugboat itulah aku berpikir, bahwa ada benarnya ungkapan yang menyebutkan
bahwa takdir seseorang mungkin hanya dibatasi oleh hal-hal tipis semacam
antara satu slop rokok dengan beberapa baris kalimat motivasi. Mungkin ketika
aku memang benar-benar menerimanya, aku sekarang sudah bisa membantu ibu
dan ayah di rumah. Tapi mungkin itu akan memberikan persepsi negatif dari
instansi lain yang ikut dalam pengecekan tersebut. Citra bea cukai akan kembali
tertarik mundur ke masa beberapa tahun ke belakang, ketika korps pejuang ini
dilucuti kewenangannya oleh negara karena kesalahannya sendiri. Apa yang
sudah dibangun oleh para senior dan rekan-rekan pejuang integritas akan luntur
begitu saja. Sudah selayaknya aku, kami, dan kita sebagai generasi milenial DJBC
harus bisa terus memiliki tekad yang kuat untuk menjaga martabat dan kode etik
pegawai. Terlepas dari tuntutan ego atau kebutuhan yang kerap kali membuat
semua perjuangan itu kadang terasa getir atau tidak adil, di saat godaan-godaan
Perekat Indonesia 95
dari mereka yang tidak bertanggung jawab yang bisa dengan jelinya melihat ego
tinggi dari generasi milenial adalah celah yang bisa disusupi untuk mendapat
kemudahan secara ilegal, yakinlah dari dalam diri ini bahwa baik buruknya takdir
dan masa depan instansi ini kadang bisa sangat tipis, semua bisa berawal dan
bergantung dari keputusan atau tindakan yang kita lakukan. Kalimat motivasi
tersebut bisa menjadi lentera yang menuntun seseorang ke arah yang lebih baik
di tengah gelapnya rasa ragu dan goyahnya mental.
Sore itu, di tengah terpaan angin laut yang terus memupuk rasa bersyukurku bisa
berbakti pada pertiwi melalui instansi ini, lagi-lagi aku belajar tentang sebuah
arti keikhlasan, semangat, dan juga rasa bangga, bahwa tekad dan juga prinsipku
untuk membuat bea cukai yang semakin baik, masih terus bisa kupertahankan.
Meskipun keadaan kadang membuat mata dan hati ini seakan tertutup dan
mengarahkan ke arah jalan pintas, tapi percayalah selama lentera-lentera itu terus
menyala maka jalan yang terlihat akan senatiasa indah. Seperti kalimat-kalimat
motivasi yang seakan tersenyum di atas cakrawala, yang menyaksikan secara
langsung bukti nyata, bahwa kami, sudah berubah.
Filosofi Ombak
Ranu Fatah Wijoyo, Kanwil DJPb Provinsi DKI Jakarta
“Iya, Pak.”
Hari Jumat yang sibuk sekali. Sore itu para pejabat Eselon IV
KPPN Tobelo akan berangkat ke Ternate untuk mengikuti
Perekat Indonesia 97
Perjalanan darat biasanya ditempuh dengan kendaraan umum sejenis MPV yang
akrab disebut oto. Lama perjalanan sekitar 4-5 jam hingga tiba di Pelabuhan
Sofifi. Dari Pelabuhan Sofifi dilanjutkan dengan menumpangi speedboat melintasi
Selat Halmahera menuju Pulau Ternate. Perjalanan via laut ditempuh selama
45 menit. Perjalanan lewat laut inilah yang selalu menjadi momok bagi para
pendatang seperti kami.
Aku teringat waktu awal mulai bertugas di Tobelo. Bersama Pak Fajar (kepala
kantor) dan rekan kepala seksi yang lain, kami transit terlebih dahulu di Ternate
sekaligus silaturahmi dengan Kepala Kanwil DJPb Maluku Utara. Selepas pamit
dari Ternate, rupanya ada dua orang pegawai dari KPPN Tobelo yang telah siap
menjemput kami, yaitu Pak Masri (bendahara) dan Olenk (pelaksana Subbagian
Umum).
Kami berenam pun berangkat menuju Pelabuhan Kota Baru Ternate dan
menyewa sebuah speedboat yang berkapasitas sekitar 16 penumpang. Waktu itu
98
hari Minggu sekitar jam sembilan pagi. Memasuki area pelabuhan, kami dibuat
takjub dengan indahnya pemandangan laut yang menghampar. Air lautnya sangat
jernih sampai bisa terlihat dasar permukaan lautnya dengan warna gradasi hijau dan
biru. Jajaran pulau-pulau kecil yang terpisah menambah keeksotisan panorama yang
terpampang.
“Indahnya ya, Mas”, ujarku mencoba menghibur diri kepada Joko Nurcahyo, rekan
yang sama ditugaskan dan kebetulan kami satu angkatan.
“Lebih indah lagi ke sini kalau pakai ST (Surat Tugas) bukan SK (Surat
Keputusan)”, Herry tak kalah menimpali.
“Prett!”
Kami melangkah di dermaga dari kayu yang sepertinya sudah lama. Kemudian
turun ke perahu motor berbahan fiber dengan berwarna dominasi hitam dengan
setrip oranye. Perahu cepat itu didesain dengan kap tertutup dari depan ke belakang
dengan hanya menyisakan ruang terbuka di bagian buritan. Di bagian paling depan
ruang kemudi yang menyatu dengan penumpang sedangkan di ujung belakang kapal
terpasang tiga buah mesin pendorong.
Aku langsung masuk ke dalam perahu dan duduk di bagian depan. Menyusul
Pak Joko dan Pak Hery. Sedangkan Pak Fajar, Pak Masri dan Olenk justru duduk
di bagian paling belakang. Sempat heran, tapi kuabaikan. Setelah mesin perahu
dinyalakan, kami pun berangkat.
Perahu menderu kencang. Suara bising dari mesin perahu memenuhi udara. Kami
sama sekali tak bisa mendengar suara lain. Kami hanya diam atau menggunakan
bahasa isyarat bila memang penting. Tak lama perahu bergoyang hebat. Kepalaku
nyaris membentur dinding perahu. Aku pun refleks berpegangan. Alamak, ternyata
ombak cukup tinggi! Perahu terus bergoyang hebat sepanjang perjalanan.
kecemasan. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Kami hanya terdiam sambil
sesekali saling memandang. Dalam diriku berkecamuk antara sesal dengan harap.
Benakku mulai mengeluh, “Ya Allah, gini amat ya, cari duit. Harus bertarung
nyawa. Sedang pegawai yang di daerah lain mungkin hanya sejurus langkah
dari rumah ke tempat kerja.” Sementara hati kecilku berupaya memasrahkan
diri kepada Yang Mahakuasa. Belajar ikhlas dari sang ombak yang tak jemu
mengantarkan air laut mengusap pasir. Tekadku semakin kuat kala teringat pesan
almarhum bapak dulu,
“Nu, kamu harus lebih baik, lebih berhasil dari bapak. Bapak dulu menjadi
satu-satunya sarjana di keluarga besar karena kemauan untuk berubah walaupun
dengan perjuangan yang sangat sulit. Pelajaran hidup yang bapak ambil, akhir
yang manis hanya bisa diperoleh dari banyaknya kesulitan. Itulah hidup.”
Aku hanya mengangguk pelan. Dulu gelar sarjana doktorandus sudah merupakan
capaian karier yang terpandang.
Akhirnya perahu motor kami mendekati tujuan. Mesin dimatikan kecuali satu.
Perahu berjalan pelan untuk bersandar. Kulihat dua manusia di belakang sedang
tertawa tertahan. Aku seperti mencium aroma konspirasi. Benar saja, rupanya
kami diisengi dengan naik speedboat pada waktu ombak pasang. “Posisi duduk
paling stabil di belakang, Pak, tidak terlalu goncang, hehehe”.
Sejak saat itu kami cenderung menolak bila ada tugas ke Ternate. Tak masalah
tidak melihat peradaban kota daripada menggantung nasib di tengah laut.
Namun hal tersebut tak berlangsung lama.
Pak Joko juga pernah mengalami pengalaman yang traumatis. Saat itu di
tengah laut mesin perahu tiba-tiba mati. Beberapa kali awak perahu mencoba
memperbaiki mesin tapi tak kunjung berhasil. Alhasil perahu dengan penumpang
di dalamnya terombang-ambing. Ombak sudah mulai meninggi sehingga
penumpang mulai panik. Sejumlah anak-anak menangis. Begitu pula ada
ibu-ibu yang juga menangis larut dalam keputusasaan. Alhamdulillah, datang
100
Pengalaman tersebut sempat membuat kami ciut. Namun di satu sisi membuat kami
semakin tegar. Menghadapi beban kerja yang tak sebanding dengan jumlah personel,
tak membuat kami lebay berkepanjangan. Bahkan di sela-sela pekerjaan, kami sering
guyon atau hangout bersama. Ada terselip kebanggaan bertugas di daerah terpencil,
timur negeri. Daerah yang tak dikenal, dihindari banyak orang, bahkan sekadar
destinasi tugas kedinasan sekalipun.
“Kita harus buat perbedaan, Pak Ranu. Kita buat sejarah untuk kantor ini”, ujar
Pak Fajar suatu hari. “Kalau kita bekerja biasa saja, sama dengan yang lain, gak ada
makna kita di sini. Saya ingin KPPN Tobelo ini dikenal orang. Bukan untuk saya.
Tapi supaya KPPN Tobelo selalu diperhatikan dan menjadi contoh bagi KPPN tipe
A2.”
Sebagai Kepala Subbagian Umum, aku sering diajak berdiskusi dan sharing dengan
kepala kantor. Terkadang saling mengutarakan idealisme, kadang juga curhat.
Alhamdulillah bekerja dengan Beliau bisa terbangun suasana harmonis dan bisa
Perekat Indonesia 101
Kalau kubelajar dari ombak, besar kecilnya ombak didukung oleh sang angin.
Angin inilah semangat kita. Makin besar semangat, makin besar pula energi.
Ombak juga mengajarkan kita tentang kesabaran dan konsistensi untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Ah, aku membuyarkan lamunanku. Pekerjaan
sudah selesai dan aku siap berkemas.
Dalam perjalanan menuju Rakorwil tdi Ternate ersebut, kami berempat tiba di
pelabuhan Sofifi sekitar pukul tujuh malam. Ini pengalaman pertama kalinya
naik perahu motor di malam hari. Kami menyewa sebuah speedboat tanpa banyak
tawar. Kami sudah ditunggu peserta Rakorwil yang pada saat itu akan dibuka
oleh kepala kanwil, Bapak Sulaimansyah.
Perahu kami berangkat membelah hamparan kegelapan. Nyaris tak ada cahaya,
kecuali lampu perahu yang bekerlip. Untungnya laut sangat tenang. Awak
perahu mulai menyalakan rokok sambil menjaga mesin. Sementara di bawahnya
terdapat beberapa galon bensin. Aku agak cemas. Kadang miris, security awareness
di negeri ini masih jauh dari harapan. Kecelakaan dan musibah kadang tak
membuat orang jera. Aku memilih menyibukkan diri dengan pikiranku.
Sesampainya di tempat acara, kami langsung bergegas menuju kamar hotel yang
sudah disediakan. Mandi dan berganti baju. Kemudian bergabung dengan peserta
lainnya mengikuti kegiatan Rakorwil. Rasa penat dan lelah selama perjalanan
seketika hilang saat KPPN Tobelo diputuskan sebagai KPPN Terbaik se-Maluku
Utara sekaligus dikabarkan bahwa KPPN Tobelo masuk nominasi dua besar
lomba penilaian KPPN Percontohan nasional tahun 2014. Selalu ada langit yang
cerah di balik mendung yang sesaat.
102
Soekarno
Perekat Indonesia 103
A AN
R AGAM
EBE
K
AM
AL
D
M
GA
RA
BE
104
Tibalah saatnya kepada detik-detik peristiwa yang akan aku ingat seumur hidup.
Bagimu mungkin sederhana, tetapi bagiku ini tidak akan lekang dimakan waktu.
Satu kalimat respons singkat yang keluar dari mulutku atas pertanyaan satu
peserta yaitu, ”Coba saja, enak kok!”
Perlahan tapi pasti, aku mulai menyadari perubahan mimik dan gimmick Beliau.
Aku bertanya kepada peserta lain, siapakah bapak itu. Mengetahui identitasnya,
rasa bersalah menghujamku dengan kuat dan dalam hingga saat ini. Betapa
sakitnya apabila mendapatkan jawaban, ”Coba saja, enak kok!” Padahal Beliau
tidak mengonsumsi babi karena keyakinannya. Beliau adalah salah satu anggota
Pos Keadilan Peduli Umat dan beragama Islam.
Aku mau membagikan pembelajaran berharga ini supaya tidak terulang kembali
peristiwa “tragis” tersebut. Entah sebagai “aku” atau sebagai “bapak bertopi hitam”
tersebut. Aku merasa bahwa jawaban enteng tersebut lahir atas sikap yang merasa
diri mayoritas dan banyak supporter sehingga berpikir dapat berlaku seenaknya.
Belum tentu juga bahwa sikap merasa mayoritas ini dilakukan oleh semua orang.
Mungkin bisa jadi hanya aku saja dan semoga seperti itu adanya.
Ditarik ke dalam konteks lingkungan kerja yang sarat dengan perbedaan, aku
sangat senang dengan kepedulian Ibu Sri Mulyani Indrawati yang mengingatkan
kita semua untuk belajar “menjadi minoritas“ supaya kita bisa berempati.
Bersyukur sekali bisa memiliki keteladanan pimpinan yang bisa dilihat langsung.
Sebagai penutup, kita adalah bangsa yang sejatinya memiliki cara pandang yang
luar biasa hebatnya, yaitu Pancasila yang memiliki spirit kesatuan, Bhinneka
106
Tunggal Ika. Spirit inilah yang dijaga dan digunakan sebagai alat untuk merajut
benang-benang kesatuan yang mungkin sedang koyak atau sedikit bolong. Spirit
yang mengikis kesalahan persepsi atas perbedaan dan mengubah perbedaan itu
menjadi intangible asset yang suatu saat memberikan benefit tak ternilai. Jangan
ada lagi pengotakan dan istilah-istilah yang bisa ditelikung dalam tafsir guna
memecah belah kita. Karena kita satu. Indonesia.
Perekat Indonesia 107
Tiga muslim, dua hindu, dan satu katolik adalah formasi fresh
graduate PKN STAN yang tengah OJT (On The Job Training) di
Balai Laoratorium Bea dan Cukai Kelas II Surabaya.
Pagi itu, hari Minggu, tanggal 13 Mei 2018. Aku dan dua
orang temanku yang bernama I Putu Hendra Darmawan
dan I Komang Gde Deva’na mengikuti kegiatan fun run di
Kota Surabaya. Kegiatan fun run tersebut bertajuk kuliner
sehingga setelah berlari, kami dapat menikmati beberapa
hidangan makanan yang tersedia. Saat aku tengah menikmati
salah satu hidangan tersebut, seseorang menunjukkan sebuah
rekaman di smartphone-nya seraya memberitahuku bahwa telah
terjadi pengeboman di salah satu gereja. Saat itu tak kugubris
karena kupikir rekaman itu adalah rekaman lampau. Tak
lama berselang, handphone-ku mulai sibuk berbunyi, pertanda
chat sedang ramai-ramainya. Betul saja, dalam sekejap semua
pembicaraan mengarah pada pengeboman.
kecurigaanku bahwa asap hitam tersebut berasal dari salah satu gereja yang
mengalami pengeboman. Aku segera memberitahu kedua temanku untuk
bergerak meninggalkan lokasi fun run dan menghindari keramaian.
Pada saat itu, aku sebagai seorang Katolik merasakan teror dan trauma. Trauma
untuk mengunjungi tempat-tempat keramaian seperti mal, maupun tempat
ibadah. Seharian aku mengikuti perkembangan berita kejadian ini. Dalam
seketika “Surabaya Bombing” menjadi sorotan kalangan internasional.
Satu per satu dari kami berbagi cerita mengenai apa yang kami alami pada hari
Minggu kemarin. Yang paling aku ingat adalah cerita salah satu temanku yang
bernama Andri. Pada hari Minggu tersebut, Andri berniat untuk mengikuti
ibadat (misa) pagi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, lokasi ledakan
bom pertama. Ia pun bercerita bahwa ia ketiduran dan akhirnya tidak sempat
untuk mengikuti ibadat (misa) pagi sampai akhirnya ia mengetahui berita
pengeboman tersebut. Ia mengaku beruntung atau bahkan merasa diselamatkan
dengan cara yang tidak terduga. Temanku yang lain bercerita bahwa ia sedang
melakukan kegiatan bersih-bersih di gerejanya saat terjadi ledakan bom ketiga
yang lokasinya berada di dekat gerejanya.
Perekat Indonesia 111
Aku yakin bahwa kami semua diliputi rasa kecemasan, ketakutan, dan
menganggap kami adalah target dalam serangkaian serangan teror ini. Aku
merasa beruntung, dengan adanya kegiatan Pembinaan Mental (Bintal) ini, kami
dapat saling menguatkan satu sama lain. Para pejabat di lingkungan kantor kami
terus memberikan semangat, dorongan, dan menguatkan mental kami agar kami
tidak takut dan gentar. Program Bintal berperan dalam pemulihan traumaku
pasca Peristiwa Bom Surabaya ini.
Tak berselang lama setelah kegiatan Bintal, terjadi ledakan bom di Mapolrestabes
Surabaya yang lokasinya cukup dekat dengan kantor kami. Seketika itu juga, aku
kembali merasakan ketakutan. Namun berkat doa dan penguatan yang diberikan
dalam kegiatan Bintal, aku merasa kembali dikuatkan dan berniat untuk
mengikuti jaga malam di gerejaku, Gereja Katolik Santo Mikael Tanjung Perak
Surabaya. Dengan semangat dan dorongan yang kuterima saat kegiatan Bintal,
aku sebagai salah satu Aparatur Sipil Negara merasa ikut bertanggung jawab dan
bertekad untuk berkontribusi dalam keamanan gerejaku.
Tingkatkan Integritas
Dengan Bintalnas
Akhyar Gunawan, Sekretariat DJKN
Awal tahun 2015, aku mulai bergabung dengan kantor pusat (KP) DJKN, saat
itulah aku baru mengetahui di lingkungan KP DJKN telah memiliki unit yang
membidangi keagamaan yang ditandai adanya Keputusan Dirjen Kekayaan
Negara tentang Pembentukan Pengurus Bintal KP DJKN. Namun, saat itu
peran dan gaung Bintal DJKN belum menonjol karena kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan masih terbatas kegiatan yang sifatnya bulanan atau hanya pada saat-
saat tertentu semisal Peringatan Hari Besar Islam.
Alangkah bahagia dan bersyukur hatiku karena menjadi bagian pelaksanaan ToT
Bintal DJKN. Kegiatan ToT Bintal ini sebagai wujud DJKN memperhatikan
sisi kerohanian pegawainya juga telah sebagai satu langkah ke depan dalam
pembangunan integritas pegawainya.
Bertepatan dengan HUT DJKN dan kedua belas, berbarengan dengan acara
Pekan Kekayaan Negara DJKN, Dirjen Kekayaan Negara selaku Pembina Bintal
KP DJKN meresmikan kegiatan Bintal DJKN pada tanggal 15 November
2018 dan selanjutnya sebagai tindak lanjut kegiatan launching, dilaksanakan
rapat program kerja Bintal oleh pengurus Bintal DJKN. Kegiatan Bintal akan
diterapkan lebih dulu kepada seluruh anak-anak OJT (On The Job Training),
ke depannya akan diterapkan kepada seluruh pegawai DJKN. Pegawai yang
telah mengikuti ToT Bintal DJKN akan menjadi Pembina Grup Bintal, atau
penggerak terbentuknya Bintal Daerah, kemudian materi-materi dalam Buku
Panduan Bintalnas Kemenkeu menjadi rujukan Pembina Grup; dan metode
pembelajaran yang akan digunakan adalah Microteaching/Microlearning
(microlearning merupakan pendekatan holistik untuk meningkatkan pembinaan
yang efektif dengan membangun hubungan kedekatan yang lebih baik.
Metode ini mampu meningkatkan pemahaman kognitif, mengubah perilaku,
menanamkan nilai, mengembangkan kecerdasan emosional dan dimensi sosial
seseorang, meskipun anggota grup microlearning bervariasi demografinya).
Berkaca dari beberapa kasus OTT yang pernah terjadi, tentu menjadi tanggung
jawab kita untuk membangun integritas yang dapat dilakukan melalui
penyebarluasan informasi dan peraturan yang dilakukan secara masif dan
berkelanjutan. Penyebarluasan infromasi ini dapat dilakukan secara berkala, dan
dilakukan pula monitoring atas sikap/perilaku kerja pegawai secara pekanan atau
bulanan. Kami menyebutnya sebagai Gerakan Microteaching (GMt) atau Gerakan
Microlearning (GMl) melalui wadah Bintal DJKN.
Melalui GMt/GMl, setiap kantor pelayanan dapat membentuk satu atau lebih
grup bintal yang berangotakan minimal tiga orang pegawai dan maksimal
sepuluh orang pegawai. Pembatasan anggota grup ini bertujuan agar tujuan
microlearning/microteaching lebih efektif dan meningkatkan kedekatan untuk
Perekat Indonesia 115
Menjadi Pembina Grup Bintal memang sangat berat. Seorang Pembina Grup
Bintal harus dapat menjadi contoh bagi anggota, harus menjaga dinamisasi grup
sehingga tidak monoton dan yang paling penting adalah update pengetahuan
terkait agama dan nilai-nilai Kemenkeu. Menjadi pembina grup bintal juga
mengharuskan saya untuk meningkatkan kualitas hidup dan ibadah. Kualitas
hidup kerja yang didasarkan pada nilai-nilai Kemenkeu, budaya kerja, dan etos
kerja yang berlaku. Namun itulah intisari suatu perubahan, yaitu bagaimana kita
bisa mengubah dunia dan orang lain, kalau bukan dari diri kita sendiri?
Menjadi Pembina Grup Bintal selalu mengingatkan diri pribadi dan anggota
betapa pentingnya nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam
dunia kerja. Sering kali dalam kesempatan kegiatan Bintal, kami berdiskusi dan
berbagi pengetahuan terkait integritas dalam pandangan Islam, urgensi integritas
diri, dan menanyakan apakah kita dalam sepekan ini menghadapi kejadian yang
berkaitan dengan integritas.
Ya, inilah integritas, sebuah nilai Kemenkeu yang melandasi nilai-nilai lainnya.
Apabila seorang pegawai telah memiliki integritas, dia akan melaksanakan
116
pekerjaannya dengan profesional, dia akan bersinergi dengan pegawai lainnya, dia
akan memberikan pelayanan kepada pengguna jasa dengan baik dan benar, serta
dia akan selalu membuat inovasi-inovasi untuk meraih kesempurnaan. Integritas
ibarat hatinya nilai-nilai Kemenkeu. Dalam Islam, dikenal sebuah ajaran, yaitu
suatu ibadah tidak akan bernilai kalau hatinya/niatnya sudah tidak benar.
“Bukankah segala amal tergantung dari niatnya?”
Rasanya seru banget jadi Pembina Grup Bintal. Kita harus terus menggali
pengetahuan kita, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Harapan
Inilah cerita singkatku sebagai Pembina Grup Bintal. Meski baru membina,
tetapi keseruan ini ingin aku sebarkan kepada semua pegawai. Banyak yang
harus diperbaiki dalam diri pribadi yang sejalan pula dengan kewajibanku seagai
seorang muslim untuk amar makruf nahi mungkar. Melalui kegiatan Bintal
DJKN inilah, keinginanku semakin menguat untuk terus mengasah integritas
diri.
A S
ORIT
A S MI N
L IT
UA
EK
120
asing dengan posisi yang cukup baik dan lingkungan kerja yang nyaman. Tapi
sejujurnya dalam lubuk hatiku, aku ingin berkontribusi lebih bagi negeri ini, dan
hal ini belum dapat kuwujudkan dari pekerjaan yang kujalani sekarang. Setelah
beberapa pertimbangan dan mencari info lowongan serta persyaratan yang
dibutuhkan, aku pun memantapkan diri untuk mengikuti seleksi CPNS 2017
Periode II Kementerian Keuangan.
“Nggak sayang sama posisi kamu sekarang? Nanti kamu ngulang lagi dari awal
lho.”
Begitu pendapat awal beberapa teman saat kuutarakan niatku untuk mengikuti
seleksi CPNS Kemenkeu. Tapi komentar yang paling mengejutkan datang dari
salah satu rekan kerjaku.
“Memangnya kenapa kalau keturunan? ‘Kan kita warga negara Indonesia, jadi
tetap bisa daftar.”
“Setahuku sih dari dulu sulit buat keturunan Tionghoa masuk jadi PNS. Tapi
kamu coba saja, mungkin sekarang sudah beda zamannya.”
Percakapan singkat itu membuatku berpikir ulang tentang keputusan yang telah
kuambil. Kuputuskan untuk mencari tahu lebih dulu kebenaran dari informasi
yang dikatakan rekanku tadi. Bagaimanapun melamar pekerjaan adalah salah satu
keputusan besar dalam hidup dan aku tidak ingin salah mengambil keputusan
karena kurangnya informasi. Aku mencoba mencari tahu tentang isu tersebut,
tapi tidak menemukan info yang bisa dipertanggungjawabkan validitasnya.
Hanya “katanya si anu, pengalamannya si ini” yang sulit ditelusuri kebenarannya.”
Akhirnya kumantapkan hati untuk mencari tahu kebenarannya sendiri dengan
mengikuti seleksi CPNS Kemenkeu. Aku hanya berpegang pada pernyataan di
pengumuman seleksi CPNS Kemenkeu bahwa seleksi ini sepenuhnya didasarkan
pada kemampuan peserta semata. Jadi, tidak ada titipan ataupun unsur SARA
yang mempengaruhi proses seleksi. Aku yakin, instansi pemerintah favorit
sebesar Kemenkeu akan bersikap profesional, transparan, dan tidak melakukan
praktik kecurangan atau hal-hal lain yang berisiko merusak kredibilitas
Kemenkeu yang sudah dibangun susah payah selama ini. Aku bertekad
membuktikan kepada rekan kerjaku bahwa apa yang ia katakan itu tidak benar.
Singkat cerita, tahapan demi tahapan seleksi pun dapat dilalui dengan baik.
Hingga pada akhirnya aku dinyatakan lolos seleksi dan masuk menjadi anggota
dari keluarga besar Kementerian Keuangan, tepatnya di Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara. Bahagia tentu saja. Tapi lebih dari itu, aku merasa lega karena
kelolosanku ini menjadi pembuktian bahwa setiap Warga Negara Indonesia
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari Kementerian
Keuangan; terlepas dari suku, agama, ras, dan golongan mana pun ia berasal.
Aku sampaikan kepada rekanku bahwa aku lolos seleksi CPNS Kemenkeu dan
meyakinkan dia untuk tidak ragu mengikuti seleksi CPNS di tahun mendatang
jika dia mau. Saat memasuki masa orientasi di Kemenkeu, aku melihat banyak
orang dari berbagai latar belakang budaya dan pendidikan. Saat itu aku seperti
melihat “miniatur” Indonesia di Kemenkeu.
Waktu terus berjalan, tanpa terasa setahun terakhir telah kulalui sebagai CPNS
Kemenkeu. Akhir tahun lalu, aku menerima SK Penempatan pertamaku di
Samarinda. Dan sekarang, siapa yang menyangka kalau saat ini aku dapat
menyaksikan secara langsung budaya Kalimantan yang dulu hanya bisa kubaca
lewat buku saat duduk di bangku sekolah? Memang dari dulu aku percaya bahwa
Indonesia kaya akan budaya, tapi kepercayaanku itu hanya berdasarkan buku
Perekat Indonesia 123
dan kata orang-orang. Namun saat ini aku sudah menjadi saksi secara langsung
betapa luas dan panjangnya Sungai Mahakam itu, keramahan suku Dayak
Kenyah di Desa Pampang, dan juga melihat tiruan prasasti Yupa di Museum
Mulawarman yang menandai dimulainya zaman sejarah di Indonesia. Semua ini
aku jadikan pengalaman berharga yang menambah wawasanku betapa kayanya
negeri ini. Semoga aku dan seluruh pegawai Kemenkeu bisa menjadi bagian yang
merajut dan senantiasa merawat tenun kebangsaan negeri ini.
124
Menjadi Minoritas
Sahruni, KPP Pratama Jakarta Kramat Jati - DJP
Aku kuliah di BDK Malang tahun 2015-2016, di situlah pertama kalinya aku
merasakan menjadi minoritas di kalangan orang Jawa. Tak mudah bagiku untuk
beradaptasi dengan orang yang baru, apalagi dengan budaya atau kebiasaan yang
berbeda. Aku tidak memiliki teman yang banyak sewaktu kuliah dan hanya fokus
ingin lulus dan bekerja kemudian mendapatkan uang. Ketika pengumuman
definitif keluar, aku ditempatkan di ibu kota Jakarta yang terkenal dengan istilah
Kota Metropolitan. Di sinilah aku banyak belajar dan menemukan sesuatu
yang baru, dan tentu saja aku kembali menjadi minoritas di Jakarta. Aku sangat
merasakan perbedaan ketika bertemu dengan teman-temanku yang sama-sama
dari Sulawesi dan dengan teman-temanku di kantor yang mayoritas orang
Jawa. Keduanya baik dan tidak ada yang salah, hanya saja aku merasa tidak bisa
terlalu terbuka dengan teman-temanku yang orang Jawa karena entah kenapa
aku merasa memiliki selera humor yang berbeda dengan mereka. Namun ketika
aku bersama dengan teman-teman yang sama-sama dari Sulawesi, aku merasa
bisa lepas, bahkan tertawa lepas dengan mereka. Terkadang juga kami saling
mendukung, menyemangati, dan mengingatkan.
Sebenarnya menjadi minoritas bukanlah sesuatu yang salah karena intinya adalah
bagaimana kita fokus pada kewajiban dan tanggung jawab masing-masing
dengan tidak mengganggu kehidupan orang lain. Satu hal yang perlu kita sadari
adalah jangan pernah menjadikan minoritas sebagai alasan untuk tidak belajar,
siapa pun kita, dan dari mana pun kita. Karena memang butuh waktu dan
kesabaaran untuk bisa merasa nyaman dengan lingkungan atau orang di sekitar
yang beragam.
Bersyukur adalah obat lelah dari penatnya pekerjaan, obat rindu ketika merasa
kesepian, dan semangat yang terus mengalir. Selain itu, untuk menyeimbangkan
kehidupanku yang sedari pagi hingga malam terus bekerja untuk dunia, aku
mencoba terus belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dengan
berpedoman pada kitab agama yang kuyakini, yaitu Alquran.
Dan akhirnya, inilah Takengon. Ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. Kami
menginap di sebuah hotel. Pada suatu malam, aku berjalan kaki ke sebuah
warung pinggir jalan. Memesan kopi. Sambil menunggu, aku bercakap-cakap
dengan beberapa pengunjung warung. Penduduk setempat. Dan hai! Mereka
semua ramah. Kami berkenalan dan aku terbuka mengaku dari Jawa karena dari
logat pun sudah jelas. Ternyata tidak ada masalah. Kami berbincang hangat,
tertawa, dan saling melempar canda. Bahasa Indonesia menjadi jembatan
komunikasi meskipun kadang beberapa kali gagal paham karena terlontar
kalimat dengan bahasa daerah. Tapi kami semua tertawa, menganggapnya sebuah
kelucuan.
Ketika kopi disajikan, seteguk saja cukup membuatku terkejut. Kopinya nikmat
sekali. Rasanya berbeda dengan kopi yang biasa kuminum di warung kopi di
Surabaya. Penjualnya mengatakan itu kopi dari perkebunan lokal. Namanya Kopi
Gayo dan sudah sejak lama dibudidayakan. Aku kembali ke hotel dengan hati
yang hangat dan perut yang juga ikut hangat. Hingga akhirnya kusadari, ada yang
tidak beres! Perut terasa mual seperti diaduk-aduk. Aku pun muntah beberapa
kali. Teman satu timku bertanya kenapa dan kugelengkan kepala. Tidak tahu.
“Aku habis minum kopi”, jawabku singkat. “Oh, mungkin karena kopinya”, sahut
seorang teman. “Bisa jadi. Selama ini aku terbiasa minum kopi instan sachet.
Lalu ketika terisi kopi Gayo, lambungku kaget dan berontak.” Aku cek info dari
Google sekilas, ternyata kopi Arabika Gayo memiliki tingkat keasaman yang
cukup tinggi.
Salam rindu untukmu Takengon, Gayo Highlander, dan tentu saja Kopi Arabica
Gayo.
*********
128
Petugas Cleaning Service di hotel ini beretnis Tionghoa. Seharusnya tidak ada
yang aneh. Tidak ada yang perlu diherankan dari etnis Tionghoa dan tidak
ada masalah dengan pekerjaan petugas kebersihan. Tapi begini, seumur hidup,
baru pertama kali itulah aku melihat etnis Tionghoa bekerja sebagai petugas
kebersihan hotel. Selama di Surabaya, aku beberapa kali menginap di hotel dan
sering bertemu keturunan Tionghoa. Sebagai resepsionis, tamu, supervisor, koki,
dan lain-lain. Tapi bukan petugas kebersihan seperti di hadapanku.
Justru ternyata akulah yang aneh. Merasa kaget terhadap suatu hal yang
sebenarnya biasa saja. Merasa heran akan suatu fenomena hanya karena hal
tersebut tidak ada di tempat asalku. Pengalaman mengunjungi Singkawang
begitu membekas dalam ingatan. Aku memperoleh pemahaman baru.
Pencerahan atas sebuah anggapan, stigma, dan prasangka. Hancurnya sebuah
stereotip yang sebelumnya tertanam begitu kuat dalam benak. Yang selama
ini kuanggap begini ternyata begitu. Pengalaman itu benar-benar kurasakan
sendiri dengan berinteraksi langsung, melihat dengan mata kepala sendiri, dan
berbincang. Kita semua ini ternyata sama saja. Tidak ada yang lebih super, tidak
ada yang lebih tinggi.
130
Sebagai Orang Dengan Epilepsi (ODE), aku selalu berpikir jauh apakah
mungkin dapat mencapai tingkat kesarjanaan dan berumah tangga? Semua itu
memang menjadi beban di hati. Namun, lagi dan lagi, semua coba dijalankan
dengan niat hati dan kepercayaan diri yang kuat bahwa seorang ODE tidak
kalah dengan manusia normal yang memiliki kemampuan dan energi yang sama.
Tahap demi tahap dalam menuntut ilmu pun dijalankan sebaik-baiknya hingga
menyelesaikan SMA IPA.
Di tahun 1981, tak lama setelah aku kuliah di Universitas Trisakti (S1), ayah
yang juga sebagai sumber penanggung biaya konsumsi obat sehari-hari, dipanggil
132
Allah Swt. Kebingungan mulai terjadi. Melihat kondisi keuangan yang semakin
sulit ditambah kondisi Ibu yang semakin depresi memikirkan biaya obat dan
kuliahku, serta sekolah adik-adikku, maka kuliahku yang sudah masuk Semester
III pun diputuskan untuk tidak dilanjutkan. Waktu terus berjalan dan aku hanya
dapat termenung saja memikirkan bagaimana kelanjutan untuk mendapatkan
obat yang harus dikonsumsi setiap harinya. Aku berdoa kepada Allah Swt. di
masjid dekat rumah, juga menjalankan salat Tahajud di keheningan malam.
Terpikirkan selalu untuk bisa mendapatkan pekerjaan agar obat epilepsiku dapat
dikonsumsi kembali dengan lancar. Aku tak boleh putus asa!
Di tahun 1983, dengan diajak dua tetangga wanita, aku ikut melamar pekerjaan
di Departemen Keuangan. Setelah mengikuti ujian penerimaan pegawai tingkat
SMA Departemen Keuangan di Gelora Senayan (sekarang: Gelora Bung Karno),
sungguh tak disangka hasilnya mengejutkan. Aku diterima sebagai pegawai
Departemen Keuangan! Sempat malu hati ini karena dua tetanggaku tersebut
tidak diterima. Akhirnya, dengan menjadi seorang pegawai negeri sipil, obat
dapat kukonsumsi kembali dengan menggunakan kartu Asuransi Kesehatan/
ASKES (sekarang: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/BPJS). Terima kasih
Allah telah memberikanku jalan melalui Departemen Keuangan (Kementerian
Keuangan) untuk mendapatkan obat yang harus dikonsumsi setiap hari.
Akhirnya lambat laun disadari juga semua ini milik Allah Swt. Ketenangan hati
menghadapi cobaan yang berat ini tetap dijalankan dan tetap diperjuangkan
untuk mendapatkan momongan baru. Berjuang berobat ke dokter setelah
bekerja pun tak pernah ditinggalkan. Alhamdullilah, setelah empat tahun
perjuangan, kami diberikan kembali momongan yang uniknya tanggal dan bulan
kelahirannya tepat sama seperti kakaknya di tanggal 29 September 1995. Anak
kedua ini seperti dikembalikan Allah Swt. Kepada hamba-Nya yang berjuang
keras mengharapkan gantinya sebagai penerus keluarga.
Dalam kehidupan sebagai ODE, walaupun ada yang mengejek, tetapi banyak
sahabat-sahabat dekat di kantor yang selalu mendukung dan memberikan
motivasi. Meskipun mempunyai kelemahan tetaplah meneruskan perjuangan
hidup ini dan janganlah berkecil hati, takut, kalah, malas, dan lain-lain.
Hati mengatakan kembali, “Sesulit-sulitnya jalan itu dan seberat-beratnya
membopong beban yang berat ini, pasti ada jalan terbaiknya menuju kesuksesan.
Yang penting, janganlah lupa secara vertikal setiap saat berdoa kepada Allah
Swt. dan secara horizontal tetaplah hidup dalam kejujuran dan keikhlasan
yang ditopang pula dengan kesederhanaan di kota besar yang sangat berat
gangguannya”.
Setelah melalui S2, dokter yang merawat juga sempat terkaget-kaget sehingga
aku pernah diajak wawancara kesehatan melalui Metro TV, DAAI, dan Trans7,
juga banyak melalui media sosial online. Pesan yang ingin disampaikan adalah
agar memberikan dukungan yang kuat kepada seluruh ODE, agar setiap ODE
dapat mulai membuka diri, berjuang tanpa mengenal lelah untuk tujuan yang
ingin dicapai karena epilepsi bukanlah batu penghalang untuk maju dalam
kehidupan.
Pada tahun 2007, dari bagian Moneter Direktorat Jenderal Anggaran, posisi
kembali lagi ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di sana aku mendapatkan amanah
untuk menjadi pejabat Eselon IV, Kepala Subbagian Data dan Statistik APBN
di Bagian Data dan Informasi, Sekretariat BKF dan saat ini sebagai Kepala
Subbagian Informasi Pustaka di Bagian Informasi Komunikasi Publik.
K AT
A SYARA
T M
BA
H A
SA
Perekat Indonesia 137
“Kerjakan dengan
bahasa cinta, karena itu
yang diinginkan setiap
orang terhadap dirinya,
cinta akan membawa
pertanggungjawaban,
masyarakat akan disiplin
sendiri jika ia sudah
mengenal bagaimana
ia mencintai dirinya,
lingkungan dan Tuhan.”
Joko Widodo
138
menuju KPPN Poso juga harus melewati perbukitan dengan kondisi jalan yang
belum seluruhnya beraspal. Dengan melihat kondisi seperti itu, akhirnya dibentuk
layanan filial KPPN Poso di Kabupaten Morowali. Layanan Filial KPPN Poso
melayani satuan kerja lingkup Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali
Utara. Layanan Filial KPPN Poso mulai beroperasi bulan Oktober 2016 hingga
saat ini.
Layanan filial KPPN Poso di Kabupaten Morowali dijalankan oleh petugas yang
berasal dari KPPN Induk yaitu para pegawai KPPN Poso. Layanan filial KPPN
Poso di Kabupaten Morowali hanya beroperasi pada dua minggu pertama setiap
bulannya. Pegawai yang bertugas ke sana bergiliran selama seminggu sebanyak dua
pegawai. Sejak beroperasinya layanan filial, para petugas satuan kerja bersyukur
atas adanya layanan tersebut karena mereka tidak perlu lagi bersusah payah
menuju ke KPPN Poso.
140
Banyak pengalaman yang dialami para pegawai KPPN Poso yang ditugaskan
untuk menjalankan layanan filial di Morowali. Melewati perjalanan yang jauh
serta medan jalan yang berat harus dihadapi para pegawai KPPN Poso setiap
akan bertugas ke kantor filial. Selama membuka layanan filial di Morowali, para
pegawai menghabiskan hari-harinya hanya di kantor filial. Mulai dari bekerja
melayani satuan kerja, makan minum, mencuci pakaian, hingga tidur, semua
dilakukan di kantor filial.
Meskipun layanan filial di Morowali telah berjalan, namun masih ada kendala
yang sering dihadapi. Koneksi internet yang lambat di Kabupaten Morowali
menjadi salah satu kendala yang dialami. Lambatnya koneksi internet
menyebabkan layanan kepada satuan kerja juga menjadi terhambat. Pemrosesan
Surat Perintah Membayar (SPM) yang biasanya hanya butuh waktu 5-10 menit
menjadi 15-20 menit.
Selain koneksi internet yang lambat, pemadaman listrik yang sering terjadi
di Morowali juga menjadi hambatan layanan filial. Hampir setiap hari terjadi
pemadaman listrik di Morowali, meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan
penggunaan genset agar peralatan komputer tetap beroperasi. Namun hal ini
masih berdampak kepada koneksi internet yang menjadi lambat. Setiap terjadi
pemadaman listrik maka dipastikan koneksi internet akan menjadi lambat,
bahkan terputus.
Kabupaten Morowali yang kaya akan hasil alam berupa nikel mengakibatkan
daerah tersebut rentan tersambar petir. Setiap akan turun hujan, daerah
Morowali akan tersambar petir yang keras. Dampak dari sambaran petir itu akan
menyebabkan rusaknya peralatan elektronik. Peralatan elektronik yang ada di
kantor filial juga pernah terdampak dari sambaran petir, yaitu kamera pemantau
CCTV dan televisi.
Maka bertaburanlah curhat kawan-kawan kita para pegawai Bea Cukai. Tentang
kerinduan mereka pada kampung halaman, tentang kerinduan tak terperikan
pada anak istri, tentang orang tua yang hanya bisa mendoakan, tentang habisnya
cuti hanya untuk perjalanan pulang pergi, tentang nyawa yang terancam karena
tegaknya peraturan, tentang teror yang kadang bikin gentar, tentang perjalanan
reformasi instansi pemerintah yang belum sejalan seirama, tentang masa lalu Bea
Cukai Entikong yang kelam, juga tentang betapa merah putihnya jiwa mereka
hari ini dan esok. Tentang cinta, tentang semangat, dan tentang bakti pada Ibu
Pertiwi. Ah, terharu aku dibuatnya.
Hari itu Jumat, sepenggal Jumat yang terik dan rumit di PLB. Terik karena
matahari memang tega betul menyengat kepala. Rumit untuk menggambarkan
suasana tapal batas yang penuh, ramai, dan cenderung semrawut. Warga Negara
Indonesia (WNI) yang hendak menyeberang atau kembali, membawa apa yang
bisa dan boleh dibawa. Atau warga negeri jiran yang hendak masuk ke republik
tercinta ini, sekadar jalan-jalan atau silaturahmi keluarga. Silaturahmi karena
banyak sekali warga dua negara ini bertalian darah atau sekadar ikatan sejarah.
Tak semua para pelintas batas ini punya iktikad baik. Satu, dua, tiga, atau entah
berapa, ada saja yang mencoba melakukan perbuatan tak terpuji. Membawa
barang yang jelas-jelas masuk kategori dilarang dan dibatasi. Dan menjadi tugas
mulia para sahabat kita di Bea Cukai, untuk memeriksanya. Mudah mengatasi
144
bila godaan yang dihadapi “cuma” suap. Bagaimana dengan teror, senjata tajam,
dan tindak kekerasan?
Aku duduk tak jauh dari pos pemeriksaan bea cukai, mencari tempat yang agak
teduh. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji. Sebentar lagi saatnya salat
Jumat. Dari tempatku duduk, masjid terlihat belum ramai.
Seorang lelaki muda berseragam bea cukai, bertubuh atletis, dan tentu saja lebih
gagah dari aku.
Pasti boleh, kami ‘kan mitra. Mitra yang siap membantu sekaligus mitra yang
tetap kritis mengawasi. Ingin panjang lebar kujelaskan betapa berubahnya Itjen
sekarang. Tapi tampaknya apa yang hendak ia sampaikan jauh lebih penting.
Maka aku menyimaknya dengan menghadapkan tubuhku penuh padanya.
Pandangan yang mencerminkan perhatian seratus persen serta sebagaimana Nabi
yang mulia mengajarkan.
“Mas lihat orang-orang yang antre masuk ke wilayah kita? Semakin mendekati
Jumatan, semakin menumpuk. Semakin galau saya. Perhatikan barang-barang
yang dibawanya. Kami bisa pastikan ada banyak barang-barang yang termasuk
lartas”.
Benar juga. Antrean bukannya menyusut menjelang waktu salat Jumat, tetapi
makin merapat. Aku mengangguk, penuh empati.
“Saya memimpin para petugas memeriksa satu demi satu kendaraan pelintas
batas. Saya harus selalu ada di situ karena situasi akhir-akhir ini sangat tak
terduga. Saya harus meyakinkan anak buah saya bertindak sesuai ketentuan, apa
pun risikonya. Tentu dengan pendekatan yang baik”.
Wajah lelaki yang ternyata juniorku di Jurang Mangu itu mulai mengeras.
“Tak mungkin saya tinggalkan pos pemeriksaan, bahkan untuk sekadar salat
Jumat. Karena PLB tak boleh tutup sekejap pun mulai jam lima pagi hingga jam
lima sore”.
Perekat Indonesia 145
sajadah,
itu dari jauh. Saya tetap di pos, melakukan
pemeriksaan. Saat ikamah sebagai tanda
tetap di pos salat dimulai, saya gelar sajadah, tetap di
pos pemeriksaan. Salatlah saya sambil was
pemeriksaan. was. Sambil berharap imam tak seberapa
panjang bacaannya sehingga saya bisa lanjut
Salatlah saya bertugas. Sumpah, saya sedih. Orang tua saya
sambil was mengajarkan ibadah salat Jumat dengan benar.
Duduk khusyuk menyimak khotbah, tak
was. Sambil sepatah kata pun boleh terucap. Datang segera
dan duduklah di saf terdepan, biar dapat pahala
berharap imamsebesar unta katanya. Tapi apa yang kami
tak seberapa lakukan di sini...”
panjang Dia tertunduk, menahan gemuruh. Saya benar-
benar tak tahu mesti berkata apa.
bacaannya “Jumat demi Jumat, begitu saya lalui, sambi
sehingga saya berharap Gusti Allah tak marah. Karena saya
tak pernah berniat mengabaikan perintah-
bisa lanjut Nya. Demi Allah, tidak pernah”, kata-kata
Maha Pengasih, Maha Pengampun. Perasaan yang kamu ceritakan pada saya
itu menegaskan bahwa takwa masih kental mewarnai hatimu. Saya bukan ahli
agama, saya tak bisa mengatakan boleh atau tidak atas apa yang kamu lakukan.
Saya tak punya kompetensi untuk itu. Tapi saya yakin, Allah juga tahu bahwa
yang kamu lakukan juga sejalan dengan perintahnya. Kalian melindungi
masyarakat dari barang-barang terlarang, kalian melindungi generasi muda dari
kehancuran, kalian menjaga masyarakat dari orang-orang yang tak punya rasa
tanggung jawab moral apalagi agama”.
Dari masjid kutatap pos pemeriksaan. Dan apa yang kusaksikan persis seperti apa
yang dia ceritakan. Aku tak begitu konsentrasi menyimak khotbah. Fokus pikiran
dan pandanganku selalu ke pos. Anak muda berseragam dengan sajadah di bahu.
Waspada, berani, gagah, tapi tetap santun.
Sorenya, di kantor, ditemani sepiring pisang goreng dan secangkir teh hangat,
aku mencoba mengulik tentang lelaki itu. Lelaki yang siang tadi mengajarkan
padaku tentang integritas pada wujudnya yang paling nyata. Dan aku tak salah,
lelaki muda itu bukan pegawai sembarangan. Keberaniannya melawan para
“penyelundup terang-terangan” sudah membuatnya jadi setengah legenda.
Foto dirinya, berdiri tegak di antara para pelanggar yang menghunus pedang
panjang, membuatku terperagah. Rekaman CCTV menunjukkan nyalinya saat
berhadapan dengan kekerasan para peleceh hukum.
Aku tersenyum, teringat aku menepuk bahunya tadi siang. Saat kukatakan
padanya, aku bangga punya adik kelas seperti kamu. Itu kukatakan dengan
sungguh-sungguh.
Perekat Indonesia 147
KPP Pratama Tahuna berdiri sejak 2008 yang merupakan gabungan dari
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Tahuna dan Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi (KP2KP) Tahuna.
Wilayah kerja KPP Pratama Tahuna adalah wilayah kepulauan yang terdiri dari
144 pulau, baik yang berpenghuni maupun yang tidak. Wilayah ini juga dikenal
dengan sebutan Wilayah 144 Pulau, meliputi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), dan
Kabupaten Kepulauan Talaud.
“Ini menjadi tantangan sendiri buat kami. Harusnya ada aset Barang Milik
Negara berupa kapal boat untuk melakukan kunjungan kerja,” tutur Kepala KPP
Pratama Tahuna, Miftahudin.
Dengan jarak yang jauh, transportasi yang sulit, dan ongkos yang tinggi itu
membuat para pegawai yang berasal dari luar Sulawesi Utara harus berpikir dua
kali jika sering-sering pulang ke kampung halaman. Paling cepat mereka bisa
pulang sebulan sekali.
Maka menjadi suatu keberkahan yang luar biasa ketika pada 26 Desember
2018, Sri Mulyani mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 877/
KMK.01/2018 tentang Unit Kerja Kementerian Keuangan di Tempat yang
Sulit Perhubungannya. Beleid itu menempatkan Tahuna termasuk salah satu
daerah yang sulit perhubungannya. Artinya, dengan ketentuan cuti yang ada, para
pegawai Kementerian Keuangan di Tahuna mendapatkan cuti tambahan paling
lama 12 hari kalender.
Jarak dan waktu tempuh, jumlah pergantian antarmoda transportasi, dan tingkat
kesulitan penggunaan moda transportasi menjadi pertimbangan keputusan
tersebut. “Tentunya kami sangat senang sekali. Tambahan cuti itu bisa digunakan
sebagai tambahan waktu dalam perjalanan dan membuat pegawai lebih mudah
150
Hal senada diungkapkan oleh Ahmad Suwardi yang merasa bungah dengan
kebijakan itu. “Kami sudah menggaungkan sejak 2017. Kami di sini nggak
butuh flexitime, kami hanya butuh flexiday. Bayangkan kalau kami pulang Jumat
malam dan sampai tempat tujuan Sabtu hampir Magrib. Supaya tidak bolos ‘kan
Minggu pagi kami sudah harus berangkat supaya Senin pagi sudah bisa kerja
lagi,” kata Ahmad Suwardi yang sejak Januari 2017 berada di Tahuna.
Dengan segala keterbatasan yang ada, Miftahudin dan seluruh pegawai KPP
Pratama Tahuna tetap fokus pada tugas dan target yang diemban. Pendirian
Pos Pajak, pengembangan sistem permberkasan, dan pembuatan basis data
pemeriksaan menjadi inovasi layanan yang terus dijalankan mereka.
Pos Pajak didirikan di Pulau Siau. Siau merupakan ibu kota Kabupaten
Kepulauan Sitaro. Miftahudin mengirimkan dua pegawainya menjaga pos
itu dalam jangka waktu satu minggu secara bergantian. Mereka memberikan
pelayanan dan konsultasi kepada wajib pajak di sana yang lokasinya sangat jauh
dari Tahuna.
Untuk melaporkan pajak, biasanya wajib pajak dari Pulau Siau naik kapal cepat
menuju Tahuna. Tiba di KPP Tahuna pukul 5 sore pada saat jam layanan kantor
sudah tutup sehingga tidak jarang mereka harus menginap di Tahuna dan besok
paginya pada pukul 09.00 mereka harus segera naik kapal.
Selain itu, pada 2018, mendapatkan penghargaan sebagai Wajib Pajak Bayar
Terbaik Rakorda II Tahun 2018, Kinerja Keuangan Terbaik Tahun 2018, Terbaik
Perekat Indonesia 151
Miftahudin tak menampik kalau itu semua berkat kerja sama yang selama ini
dibangun timnya. Sebagai pemimpin, ia harus dapat memberikan keteladanan,
membangun kebersamaan antarpegawai, dan membimbing terus menerus
anggota timnya yang kebanyakan anak muda dan baru ditempatkan di Tahuna
yang minim hiburan. “Tetapi di sini itu pemandangannya bagus, bukit dan
pantainya indah,” ujar Miftahudin.
“Di sini harus bahagia dan jangan sampai sakit,” tambah Ahmad Suwardi. Ia
mengatakan demikian karena fasilitas kesehatan di Tahuna belumlah mencukupi.
Banyak warga Tahuna yang dirujuk ke rumah sakit besar di Manado. Dan tentu
mereka harus berkejaran dengan masa karena transportasi masih menjadi kendala
sempurna.
Miftahudin, Ahmad Suwardi, dan seluruh pegawai KPP Pratama Tahuna adalah
para penyintas yang membuktikan negara hadir di perbatasan. Penugasan mereka
di sana sejatinya untuk kelangsungan NKRI.
152
Mitra Kerja
A. Govinda Jaharuddin, KPPN Fakfak - DJPb
suatu hari aku mengalami kejadian yang mengubah pandanganku terhadap mitra
kerjaku di sini.
Hari itu saat hujan deras mengguyur kota, tibalah seorang mitra kerja yang
kuketahui sebagai seorang guru yang juga seorang operator aplikasi keuangan.
Ia datang ke depan mejaku pada pukul lima sore, tepat pada saat kantor
akan ditutup. Kami sebenarnya tak heran lagi dengan kedatangan Beliau
yang terlambat karena kami tahu perjalanan dari kantor Beliau ke Fakfak
membutuhkan perjalanan satu hari satu malam menaiki kapal laut yang hanya
lewat satu minggu sekali. Sesuai peraturan yang berlaku, batas pengambilan
nomor antrean layanan adalah pukul 15.00 waktu setempat, namun kantor kami
memiliki kebijakan boleh memberikan layanan hingga waktu tutup kantor, yaitu
pukul 17.00. Melihat bapak tersebut, aku langsung bertanya, “Kok datangnya
terlambat, Pak?” Beliau menjawab dengan nafas yang masih terengah-engah,
“Iya, mas, dompetku hilang waktu di kapal, terus ya saya jalan kaki ke sini.”
Mendengar itu aku sontak terkaget. “Lah, terus gimana penginapannya? Apa
sudah dipesan, Pak?” “Belum, mas, gimana mau pesan, mas, dompetnya aja udah
hilang duluan”, jawab si bapak.
Bapak itu terlihat basah kuyup dan hanya membawa sebuah tas kulit yang
kemungkinan berisi SPM yang akan diserahkan kepada kami. Hati kecilku
tergerak melihat seorang guru yang berjuang keras agar operasional sekolahnya
terus berjalan. Aku yang sudah berganti sandal jepit dan siap untuk pulang,
langsung mengajak si bapak untuk menginap di rumah dinasku yang tidak jauh
dari kantor. Sesampainya di rumah, aku langsung menyiapkan kasur busaku
154
satu-satunya yang sudah tipis untuk dipakai Beliau beristirahat. Beliau terlihat
kedinginan dan kudengar nafasnya berat serta pendek, hingga akhirnya aku sadar
bahwa bapak itu sedang sakit karena terkena hujan tadi sore. Di malam yang
sangat gelap, kunyalakan motorku dan segera kuantar si bapak ke rumah sakit.
Aku yang masih bercelana pendek, hanya bermodalkan sarung yang digunakan
untuk menjaga keseimbangan si bapak agar tidak jatuh dari motor. Aku masih
ingat saat itu pukul dua malam di ruang UGD. Aku masih menunggu hasil
pemeriksaan si bapak dan saat itu aku bingung siapa yang harus kuhubungi
karena yang kutahu hanyalah Beliau seorang guru di suatu desa yang jauh dari
Fakfak.
Pagi buta, aku dengan mata yang terlihat sendu karena kurang istirahat langsung
berangkat ke kantor dan meminta izin cuti kepada atasan untuk mengantar si
bapak kembali ke desanya. Berdasarkan alasan tersebut, kepala kantorku segera
memberikan cuti kepadaku. Aku pun segera menyiapkan barang si bapak dan
langsung membawa Beliau ke pelabuhan dengan ambulans. Sesampainya di
pelabuhan, hal yang kutakutkan terjadi, kami harus menaiki perahu kecil untuk
melakukan perjalanan ke desa Beliau karena tidak ada jadwal kapal untuk
minggu ini. Aku tahu perjalanan dengan perahu kecil ke desa Beliau itu sangat
berbahaya dan harganya pun mahal, tapi waktu itu aku tidak berpikir panjang
sehingga aku langsung mengiyakan apa yang pemilik perahu tawarkan. Pada saat
itu yang kupikirkan hanyalah bagaimana bapak tersebut bisa segera beristirahat
dan operasional sekolahnya tetap berjalan dengan lancar. Hampir dua hari kami
di atas perahu dan tiga kali kami singgah di pinggir hutan untuk beristirahat
sebelum melanjutkan perjalanan. Akhirnya tibalah kami di desa beliau pada
pukul 05.00 WIT. Saat itu matahari masih malu untuk menunjukkan dirinya.
Beliau yang masih terlihat lemas, langsung ke sekolah dan mempersiapkan
dirinya untuk mengajar tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri. Aku hanya
bisa melihatnya mengajar dari depan kelas sembari menunggu Beliau selesai
mengajar.
Dari kisah itulah mataku semakin terbuka terhadap mitra kerja yang kulayani.
Perekat Indonesia 155
Tidak semua dari mereka itu tidak mampu untuk melakukan apa yang telah
diarahkan, akan tetapi mereka juga punya pekerjaan lain yang harus mereka
lakukan yang membuat fokus mereka terbagi. Aku tidak seharusnya berkeluh
kesah dalam menghadapi mereka yang masih belum mampu untuk melakukan
apa yang aku ajarkan atau mereka yang terkadang datang melewati jam layanan.
Aku juga harus berusaha lebih bersabar dalam melayani mereka dan berusaha
lebih mengerti keadaan mereka. Apalagi sekarang aku tidak menganggap mereka
mitra kerja lagi, melainkan mereka adalah keluargaku.
16 September 2017, hari yang tidak kusangka. Hari yang membuatku sangat
bahagia dan merasakan sedih bercampur aduk menjadi satu perasaan yang tak
dapat kulupakan. SK mutasi yang telah lama kutunggu akhirnya menyebutkan
namaku dan akan mengembalikanku ke tempat asalku, yaitu Kota Makassar. Hal
yang masih membekas di benakku adalah saat para pegawai mengantarkanku
ke pelabuhan. Tak kusangka semua mitra kerjaku yang telah kulayani selama ini
telah berkumpul di sana. Mereka semua masih berpakaian dinas masing-masing,
bahkan ada yang mengeluarkan air matanya saat mengantarkanku ke kapal tujuan
Makassar yang masih menungguku. Yang paling membuatku berat hati ialah si
bapak ternyata datang jauh-jauh khusus untuk turut serta mengantarku. Tidak
hanya sekantong jeruk yang dibawakannya untukku, akan tetapi Beliau juga
membawa serantang makanan yang telah disiapkannya khusus untuk bekalku.
Berat rasanya akan meninggalkan kota ini, tapi keluarga baruku juga telah
menunggu di tujuanku selanjutnya. Pada hari itu, hanya sebuah kalimat yang
dapat mewakili semua yang kurasakan, “Selamat tinggal keluargaku, aku tidak
akan melupakan kalian”.
156
pulang dua minggu lagi, saat kau akan tidur di malam itu”. Selalu kutanamkan
dalam hati bahwa mereka, keluarga yang kucintai, sedang menunggu di rumah.
Betapa leganya, saat pekerjaanku akhirnya selesai, walaupun kemudian aku harus
kembali pulang ke rumah tengah malam. Rumah bisu yang hanya bisa terdiam.
Betapa rindunya aku akan keluargaku. Namun, keluargaku tidak boleh tahu
seperti apa perjuanganku, mereka hanya boleh tahu bahwa aku bahagia di sini.
“Sabar, jangan bersedih hati”, ujarku dalam hati.
Kami berkumpul bersama keluarga, senang rasanya, bisa tertawa lepas. Melihat
anak-anakku sudah besar membuat hatiku terasa hangat. Ternyata perjuangan
ini berbuah indah, nikmat yang tiada bandingannya. Aku harap dapat bersama
kembali bersama mereka suatu saat nanti.
Kupanjatkan doa, berharap Allah akan memberikan kebaikan di setiap jalan yang
158
Untuk Abdul Khaer, Mohamad Fadillah, Eko Sutanto, Bambang Rozali Usman,
Akhmad Endang Rokhmana, dan Joyo Nuroso, semoga kalian selalu dalam
lindungan Allah Swt. Amin.
Perekat Indonesia 159
kami bertugas, tidak ada lampu lalu lintas, apalagi mal seperti di kota-kota
lainnya. Namun kondisi demikian tidak menyurutkan semangat para pegawai
KPPN Raha, justru semakin menjadi pemantik semangat dalam melaksanakan
tugas di kota kecil itu.
Para pegawai yang sedang tugas di kantor pun senang, mengingat aku sebagai
teman kerjanya sudah hampir empat bulan belum melihat swalayan ataupun
merasakan makanan-makanan seperti di kota-kota lainnya yang lebih ramai
karena selama itu belum ada tugas ke luar kota ataupun panggilan tugas ke kota
lain, baik panggilan dari Kanwil DJPb Provinsi Sultra, Kantor Pusat DJPb,
ataupun pihak lainnya. Sedangkan yang biasanya ditunggu pegawai ketika ada
rekan yang dinas atau tugas ke Kendari, Makassar, ataupun ke Baubau biasanya
adalah buah tangan berupa fried chicken atapun Roti Boy yang merupakan
makanan kesukaan anak-anak kos seperti mereka, tetapisulit didapat di daerah
seperti Raha pada saat itu.
Seperti biasa, sebelum bertugas ke luar kantor apalagi ke luar kota, tak lupa
terlebih dahulu aku pamitan kepada rekan-rekan semuanya dan sedikit
menyampaikan pesan apa yang harus dilakukan di kantor, baik sebagai
pemimpin, maupun sebagai sahabat di rantauan. Tak lupa juga aku pamitan ke
tokoh masyarakat di lingkungan kantor sebagaimana yang biasa kulakukan kalau
sedang pergi dinas ke luar kota. Hal ini aku lakukan, mengingat keberadaan
KPPN Raha berada di area permukiman penduduk.
Dalam perjalanan dari Raha ke Baubau, kami tempuh via jalur darat sampai
di ujung Kepulauan Muna, baru kemudian menyeberang laut sebentar menuju
Kota Baubau. Opsi jalan lain dari Raha menuju Baubau bisa juga melalui jalur
laut langsung dengan kapal feri, tetapi aku lebih memilih jalur darat kemudian
menyeberang laut sebentar dengan pertimbangan karena kapal feri yang langsung
dari Raha ke Baubau hanya dua kali pemberangkatan setiap harinya, yaitu pukul
11.00 dan 13.00, sementara aku harus menyelesaikan tugas terlebih dahulu di
KPPN Raha sampai selesai, yaitu sekira pukul 15.00 waktu setempat dan selesai
rapatnya di Pemda Kota Baubau belum tentu tepat waktu.
Perekat Indonesia 161
Jalan dari Raha ke kota Baubau melewati hutan-hutan dan terkadang melewati
perkampungan sebentar lalu hutan-hutan lagi dan begitu seterusnya selama
hampir sekitar dua jam. Jalan-jalan yang kami lewati pada saat itu penuh dengan
debu, batu-batu (terkadang batu-batu besar), dan tidak jarang ada kayu-kayu
dan pohon-pohon pisang yang rupanya sengaja ditaruh di tengah jalan oleh
sekelompok pemuda masyarakat setempat dengan tujuan agar kendaraan,
khususnya mobil, berjalan pelan-pelan karena kalau ngebut, maka debu
bertebaran di rumah penduduk. Kondisi demikian tergambar dari rumah-rumah
penduduk di sekitar jalan yang penuh dengan debu.
Dalam perjalanan itu, perasaan kami tidak enak dan terkadang bulu kuduk
berdiri ketika memasuki gerbang perkampungan yang terpencil. Perasaan tak
enak yang sedari tadi menghantui perjalanan semakin menjadi-jadi. Semakin
cepat mobi melaju, maka semakin tak enak pula perasaan, dan kami pun mencoba
untuk melambatkan lajunya mobil plat merah itu. Namun, ternyata perasaan
malah semakin takut. Seperti maju kena, mundur juga kena.
Saat kami memasuki desa Parigi, kami berdua terkejut setengah mati dengan
pemandangan yang kami lihat. Ada segerombolan pemuda kampung yang
berbadan besar dengan kulit legam, membawa benda-benda tajam dan kayu-
kayu. Sorot mata mereka tajam. Suasana saat itu sungguh mengerikan bagi kami
yang hanya berdua di dalam mobil.
Panas dingin rasanya badan dan pikiran kami pun sedikit stres. Dalam kondisi
seperti itu, aku berusaha menenangkan driver agar tidak terlalu berat beban
psikologisnya. Aku pun berupaya tenang. Dari arah depan, segerombolan pemuda
tadi menghadang mobil dinas kami yang dari arah depan, tak jauh dari mobil
kami, terdapat mobil dinas lainnya, yaitu milik Pemda Kabupaten Muna yang
sudah musnah dibakar massa.
Saat mobil dihentikan, aku tambah khawatir, tetapi kucoba untuk tetap berdoa
meminta perlindungan Allah. Dalam benak da hatiku, aku meyakini bahwa
jika kita berniat baik, maka insyaallah kita akan dilindungi. Dengan modal
doa, keyakinan, dan niat baik, aku turun dari mobil yang saat itu aku berada di
samping driver, sementara dia masih di belakang setir dengan harapan jika tidak
terdapat masalah, maka bisa segera berangkat meneruskan perjalanan.
Salah satu pemuda gempal dengan didampingi sekitar lima orang langsung
162
menegur kami, “Mau ke mana, Pak?“ Kata mereka dengan nada tinggi. Kujawab
dengan nada sopan dan tetap menghormati mereka, “Mohon maaf, Saudaraku
semuanya, kami mau ke Kota Baubau karena ada acara kedinasan di sana”.
Selanjutnya mereka mengatakan kepadaku dengan nada tinggi lagi, “Anda
tahu tidak bahwa mobil berplat merah dilarang masuk sepanjang jalan ini
karena jalan-jalan di daerah kami maupun kondisi desa kami tidak terurus oleh
pemerintah daerah, maka sebagai bentuk protes ke pemerintah, kami larang
mobil dinas memasuki jalan ini, dan apabila memaksa, akan kami bakar seperti
mobil di depan.” Pemuda itu menunjuk ke arah mobil Pemda Kabupaten Muna
yang sudah dibakar.
Dengan kondisi seperti itu, aku berpikir apa yang harus kulakukan agar
sekelompok pemuda tersebut tidak marah. Aku harus bisa menjelaskan
kepada mereka tentang apa-apa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam
memajukan masyarakat desa sebagaimana harapan mereka.
Dan saat itu aku teringat bahwa masih ada berkas dokumen di mobil yang
dipakai saat rapat di Pemda Kabupaten Muna pada beberapa hari sebelumnya,
yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50/PMK.07/2017 tentang
Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, juga Perdirjen Perbendaharaan
Nomor Per-4/PB/2017 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Dana Alokasi
Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa. Berkas tersebut langsung kuambil di mobil
sebagai bahan pendekatan yang cukup relavan dengan sekelompok pemuda yang
menghadang kami tersebut.
Pada saat itu, dengan permohonan maaf aku meminta waktu sedikit untuk
memperkenalkan diri dengan menunjukkan nametag bahwa aku pegawai
Perekat Indonesia 163
KPPN Raha yang sekaligus dipercaya sebagai Kepala KPPN Raha. Kujelaskan
salah satu tugas baru yang dilakukan KPPN Raha, yaitu melaksanakan
penyaluran pembayaran DAK Fisik dan Dana Desa. Aku juga menjelaskan
tata cara pengelolaan DAK Fisik dan Dana Desa, serta peranan pemuda dalam
pengelolaan DAK Fisik maupun Dana Desa. Sebagai bukti bahwa pembayaran
Dana DAK Fisik dan Dana Desa itu ada di KPPN, aku menyerahkan fotokopian
dokumen peraturan yang sudah ada di tanganku kepada pemuda tersebut.
Allah telah menyelamatkan kami dan aset negara melalui berkas yang masih ada
di mobil, yaitu PMK Nomor 50/PMK.07/2017 dan Perdirjen Perbendaharaan
Nomor Per-4/PB/2017.
Dengan kejadian yang kami alami tersebut, kami belajar bahwa selama kita
164
senantiasa berbuat baik dan ramah kepada bumi dan isinya, insyaallah orang lain
akan menghargai kita dan tentunya Allah juga akan selalu melindungi diri kita.
Dan jangan takut untuk bertugas di daerah terpencil karena di sanalah integritas
pengabdian kita diuji.
Perekat Indonesia 165
“Tapi Pak, saya ‘kan cuma bawa oven bekas yang saya pakai
waktu kuliah di Belanda kemarin. Oven itu mau saya hadiahkan
buat mama saya di sini. Mosok begitu aja mesti bayar bea masuk
dan pajak-pajak segini gedenya? Mahalan pajaknya daripada
harga ovennya nih! Bisa nggak, kami nggak usah bayar?”
“Ya, nggak bisa. Saudara wajib membayar bea yang tertera dalam
PIBK (Pemberitahuan Impor Barang Khusus) ini. Barang
impor Saudara tidak memenuhi syarat sebagai barang pindahan
yang berhak mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk.”
kedua tamuku pun keukeuh tak bergeming dari keinginannya untuk “tak mau”
membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang impor yang
diakuinya sebagai barang pindahan yang dibawanya dari Belanda.
Kondisi memanas ini tak boleh kubiarkan. Aku harus melakukan sesuatu. Maka,
sebagai petugas Layanan Informasi, kucoba berbicara baik-baik dan menjadi
mediator di antara mereka.
“Begini, Mas Edo, apa yang disampaikan Kepala Seksi PKC bahwa Anda harus
membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang impor yang
Anda bawa memang benar. Prosedur ringkasnya bisa Anda baca di informasi
yang ada di website kami di www.beacukai.go.id,” jelasku sambil menyodorkan
print out dari laman yang kutunjukkan.
“Saya pribadi minta maaf bila informasi dari kami kurang memadai. Namun,
untuk selanjutnya Anda bisa membaca berbagai hal seputar masalah kepabeanan
di buku itu. Informasi yang ada di dalamnya bisa pula Anda infokan kepada
rekan-rekan sejawat Anda sehingga kesalahpahaman seperti ini tak terjadi lagi,”
lanjutku.
“Untung Mbak Ika bisa membujuk dia supaya mau bayar. Saya udah capek tadi
meladeni kengototannya, Mbak,” cetus Kepala Seksi PKC lega.
“Berhadapan dengan pengguna jasa memang butuh kesabaran ekstra dan strategi
khusus, Pak. Pemberian hadiah kecil tadi salah satu kiat jitunya,” sahutku dengan
senyum lebar.
Tak dapat kupungkiri, kejadian kecil itu menjadi pelajaran besar buatku dan
rekan-rekan yang bertugas di Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi saat
itu. Sejak itulah, buku saku kepabeanan tersebut menjadi “senjata andalan”
kami untuk menjawab kegundahan para pengguna jasa yang datang ke kantor
kami. Buku kecil itu kami jadikan “hadiah istimewa pelipur lara” atau di lain
kesempatan, ia kami jadikan door prize cantik saat kami melakukan berbagai
aktivitas sosialisasi.
“Hmm, bukankah pada dasarnya setiap orang akan bersuka cita bila diberi
hadiah, sekecil apa pun wujudnya?”
***
“Lagi ngapain, Mbak? Bertapa terus nih di ruangan?” Tanya kepala kantor.
Dihampirinya meja kerjaku yang penuh dengan beragam brosur dan aneka
peraturan kepabeanan.
“Ini, Pak, lagi nyiapin buku saku kepabeanan sebagai pelengkap isi goody bag
yang akan kita bagikan kepada para juri dan tamu di acara penilaian lomba
168
“Insyaallah bisa, Pak,” sahutku yakin. “Dibantu beberapa rekan kok. Ada Pak
Didik dan Mbak Icha yang siap membantu. Kami siap berbagi tugas dan saling
mendukung. Kebetulan sudah saya inventarisasi bahan-bahannya, sudah saya
susun pula daftar isinya sebagai kerangka acuan. Tinggal disusun dalam bentuk
tanya-jawab aja, Pak. Saya rasa, masyarakat akan lebih mudah memahami jika
informasi kepabeanan kita kemas dalam bentuk tanya-jawab seperti ini.”
Begitulah.
Niat awal membuat buku saku itu semata-mata hanya sebagai pelengkap isi
goody bag dalam Penilaian Kantor Pelayanan Percontohan yang diikuti kantor
kami beberapa tahun silam. Idenya pun meneladani KPPBC Kediri yang
terlebih dahulu punya buku saku cukai yang mereka buat saat menjadi peserta
lomba kantor pelayanan percontohan periode sebelumnya. Maka, dengan sedikit
pengetahuan literasi dan jurnalistik yang kumiliki, kucoba meramu sejumlah
peraturan dan brosur-brosur yang ada menjadi sebuah buku saku tanya-jawab
yang menarik agar siapa pun yang membacanya nanti bakal mengenal seluk-
beluk kepabeanan tanpa bersusah-payah membaca ketentuan hukumnya.
“Oke, silakan dilanjutkan inovasi dan kreativitasnya deh, Mbak! Saya dukung
sepenuhnya.”
Hei, apa Beliau bilang? Inovasi? Benarkah yang tengah kulakukan ini sebuah
inovasi? Padahal hanya sebuah buku saku kecil seputar masalah kepabeanan yang
hendak kubuat.
Mendadak kuingat seorang teman pernah berujar, “Inovasi itu tak selalu harus
berupa sesuatu yang ‘wah’ dan rumit. Menurutku, bikin hal sederhana yang
memudahkan pekerjaan kita sehari-hari di unit kerja kita masing-masing
juga bisa disebut sebagai inovasi lho, Ka!”
Inovasi tak melulu identik dengan penciptaan sistem aplikasi rumit yang berbasis
teknologi. Inovasi tak pula harus berupa rancangan hebat yang dibuat dengan
dana besar dan pembahasan berbulan-bulan. Sebuah pembukuan sederhana
yang mempermudah pencarian berkas kerja pun bisa jadi merupakan inovasi!
170
Karena itulah, inovasi bisa dilakukan oleh siapa pun dan kapanpun di setiap lini,
tak melulu oleh mereka yang berada di unit teknis sebuah institusi. Bahkan, tak
jarang, inovasi muncul dari sebuah “keterpaksaan” kondisi seperti yang tengah
kualami!
Ah, aku tak peduli apakah hal kecil yang kulakukan ini terbilang inovasi atau
bukan. Pun tak hendak kutuntut penghargaan serupa namaku tertera sebagai
penyusunnya di sampul depan. Cukuplah bila suatu saat nanti kudapati kantor-
kantor lain melakukan hal yang sama–atau bahkan lebih baik, ataukah direktorat
yang berwenang mengambil alih pembuatan buku sederhana ini sebagai
salah satu instrumen sosialisasi kepabeanan untuk mencerahkan pemahaman
masyarakat akan tugas pokok dan fungsi DJBC. Cukuplah kuyakini, hal
sederhana ini ‘kan mendukung misi Kementerian Keuangan untuk mencapai
tingkat pendapatan negara yang tinggi melalui pelayanan prima serta pengawasan
dan penegakan hukum yang efektif guna mewujudkan visi kementerian yang
kita banggakan ini, “Menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang produktif, kompetitif, inklusif, dan berkeadilan di abad ke-21.”
Maka, adakah hal lain yang lebih membahagiakan selain ketika hasil kerja kita
bernilai dan bermanfaat untuk sebuah kebaikan kecil institusi tercinta sebagai
bagian dari kontribusi kita dalam mewujudkan Indonesia bersatu yang maju dan
bermartabat?
Perekat Indonesia 171
Sebagai strategi pengelolaan sumber daya manusia dengan lokasi kantor yang
tersebar di nusantara, kantor pusat DJPb memiliki kebijakan mutasi tiap
beberapa tahun atau yang sering dikenal dengan istilah tour of duty. Pola mutasi
tersebut mengakibatkan pegawai berpindah-pindah kantor dalam beberapa
tahun sesuai dengan berbagai faktor, seperti periode penempatan di suatu daerah,
mendapatkan beasiswa, memperoleh promosi atau menjelang masa purnatugas.
Konsekuensi tersebut mengakibatkan para pegawai yang berpindah ke lokasi
penugasan harus cepat beradaptasi pada pekerjaan dan kantor baru, serta
lingkungan tempat tinggal masing-masing
Sebagian pegawai baru tersebut ditempatkan pada rumah dinas yang berjarak
Perekat Indonesia 173
sekitar satu kilometer dari Kanwil DJPb Provinsi Jambi. Kompleks rumah
dinas dimaksud terletak di Kelurahan Telanaipura yang merupakan lingkungan
perumahan yang relatif sepi, tidak jauh dari Kompleks Perkantoran Gubernur
Jambi, dan terletak dekat dengan dua jalan utama di Kota Jambi, yaitu
Jalan Mayjen H.M. Yusuf Singedekane dan Jalan R.E. Martadinata. Lokasi
perumahan yang cukup strategis, bukan hanya memudahkan akses bagi warga,
akan tetapi menyebabkan peluang terjadinya kejahatan dengan memanfaatkan
waktu ketika para warga meninggalkan rumah di siang hari untuk beraktivitas.
Tidak heran jika kerap didengar berita mengenai rumah warga dan rumah dinas
yang dibobol maling ketika para penghuninya sedang berada di luar rumah.
Guna menjaga keamanan lingkungan, hubungan yang baik perlu dibina dengan
warga sekitar rumah, termasuk ketua RT setempat. Oleh sebab itu, para pegawai
baru disarankan melaporkan diri kepada perangkat RT di tempat tinggal masing-
masing dan berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang melibatkan warga. Pada
kesempatan ini, para pegawai penghuni rumah dinas di Kelurahan Telanaipura
mengajukan lapor diri kepada Ketua RT 03 yang ternyata hanya berjarak dua
puluh meter dari kompleks rumah dinas.
Sosok pemilik rumah tersebut ialah Bapak Haris Fadilla. Pria paruh baya
kelahiran 54 tahun silam dan merupakan putra daerah Jambi. Berbekal
pendidikan di Universitas Jambi, Pak Haris merantau ke Jakarta di tahun 1990-
an dan kembali ke Jambi tujuh tahun kemudian dengan membawa seorang istri
dan putra. Saat ditanyakan mengenai pekerjaan, Beliau menyatakan bahwa saat
ini menyibukan diri dengan mengabdi kepada masyarakat dengan menjadi Ketua
RT 03 yang menaungi tuju puluh kepala keluarga. Beliau juga aktif di masjid dan
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Kelurahan Telanaipura, seperti menjadi
panitia Pemilu.
174
Beberapa contoh di atas merupakan wujud nyata kontribusi yang dapat kita
lakukan. Sebagaimana Bapak Haris selaku Ketua RT 03 Telanaipura yang
memiliki keterbatasan ekonomi, tetapi mampu mengabdikan diri ke masyarakat,
maka sudah sudah sepatutnya pula kita memberikan hal yang terbaik sesuai
dengan kapasitas kita kepada lingkungan warga sekitar.
“Mulai sekarang, kamu harus fight ya, target April 2018 harus
beres, nanti saya akan bimbing kamu”, lanjut beliau.
Tulisan ini bukan untuk menceritakan apa itu BLUD, tetapi untuk mengisahkan
bagaimana aku bersama tim Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara (Malut),
berupaya untuk memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan BLUD di Malut.
Sesuai tugas dan fungsinya, Kanwil DJPb memiliki peran untuk memberikan
asistensi dan bimbingan kepada BLUD. Entah kebetulan atau mungkin jalan
yang Tuhan berikan, aku memiliki tugas untuk mengoordinasikan pelaksanaan
asistensi dan bimbingan kepada BLUD di wilayah Malut.
Sesuai arahan Kepala Kanwil, sekitar akhir tahun 2017, aku diminta untuk
menginventarisasi BLUD yang ada di Malut. Hasilnya, dari sebelas Pemda
di Malut, hanya terdapat satu BLUD, yakni RSUD Labuha di Kabupaten
Halmahera Selatan. Berbekal kondisi tersebut, Kanwil DJPb Provinsi Malut
berinisiatif menyelenggarakan rapat koordinasi BLUD di wilayah Malut. Seluruh
Rumah Sakit Pemda di wilayah Malut diundang dalam acara tersebut. Kenapa
rumah sakit yang diundang? Alasan kami mungkin sederhana, tetapi lagi-lagi
mungkin ini jalan Tuhan. Ya, kanwil mengundang rumah sakit karena mereka
adalah unit layanan yang sangat dekat dengan masyarakat. Dan tahu ‘kan, mereka
berjuang demi kesehatan manusia yang sering dikaitkan dengan hidup dan mati
seseorang.
Hari itu, Senin 15 Januari 2018 menjadi babak baru bagiku tentunya, berurusan
dengan hal yang bernama BLUD. Kanwil DJPb Malut mengundang rapat
seluruh Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah di
Malut. Hasil rapat memutuskan bahwa Kanwil DJPb Malut akan membantu
pembentukan BLUD rumah sakit di wilayah Malut. Sementara itu, aku
mendapat tugas untuk mengoordinasikan pembentukannya, serta dituntut untuk
dapat menelurkan tiga BLUD baru di Malut pada bulan April 2018. Dengan
kata lain, waktu yang saya miliki adalah tiga bulan!
Apakah tuntutan itu berat? Tentu saja, karena sebuah rumah sakit dapat
ditetapkan sebagai BLUD apabila telah memenuhi berbagai persyaratan. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Namun aku menganggap bahwa ini adalah sebuah tantangan dan aku bertekad
bahwa dalam prosesnya nanti harus bekerja dengan ikhlas. kepala kantorku,
Edward atau biasa dipanggil Pak Edo, adalah sosok yang sangat concern terhadap
178
sesuatu yang menurutnya bermanfaat, dalam hal ini tentu saja penerapan BLUD
di Rumah Sakit Daerah. Dia mememberikan challenge kepadaku untuk menapaki
suatu level baru dalam bekerja.
Suatu ketika, aku harus pergi ke RSUD Tobelo karena diminta Tim RSUD
untuk me-review seluruh dokumen persyaratan administratif. Sebenarnya bagiku
tidak masalah pergi ke Tobelo untuk me-review dokumen mereka, tetapi menjadi
berbeda ketika kegiatan itu harus kujalani ketika bulan Ramadan, saat aku
punya kewajiban untuk berpuasa. Perjalanan ke Tobelo harus ditempuh dengan
menyeberangi lautan dan melewati hutan-hutan dan jalan yang berkelok. Apakah
aku pernah mengeluh? Tentu saja pernah dan itu wajar. Tetapi aku kembali
mengingat apa yang sudah aku tekadkan, bekerja sekaligus ibadah sebagai ladang
untuk memperoleh pahala.
“Kamu gak apa-apa ke Tobelo puasa-puasa gini?” Tanya Pak Edo. “Gak apa-
apa, Pak. Justru kalau sambil puasa gini pahalanya dobel”, jawabku mantap.
Alhamdulillah sampai di Tobelo dengan selamat, segera kulaksanakan tugas.
Rasa lelah pudar ketika bertemu dengan wajah-wajah Tim RSUD yang
tampak banyak berharap kepadaku untuk membantu mereka. Dan syukurlah,
perjalanan ke Tobelo tak sia-sia. Setelah dilakukan beberapa perbaikan, dokumen
persyaratan administratif RSUD Tobelo untuk menerapkan BLUD sudah layak
untuk diuji oleh Tim Penilai.
Perekat Indonesia 179
Selepas magrib kami rehat sejenak sambil menikmati hidangan buka puasa.
Direktur RS Tobelo menyampaikan rasa terima kasih. “Terima kasih, mas,
selangkah lagi kami bisa menerapkan BLUD di rumah sakit ini, tinggal
menunggu penilaian dari Tim Penilai”, ujar direktur RS. “Ah, gak apa-apa, Pak,
sudah jadi tugas kami”, jawabku. Dan kemudian dia pun bercerita bahwa sudah
empat tahun terakhir dirinya dan tim berusaha untuk menerapkan pola BLUD
di RS Tobelo. “Tapi gak pernah berhasil, Pak, pelatihan-pelatihan yang diikuti
menjadi mubazir karena tidak ada yang memantau hingga akhir”, lanjutnya.
“Ah, Bapak bisa saja, tapi makasih, Pak”, jawabku sedikit canggung.
Kini, lima rumah sakit Pemda di Maluku Utara telah menerapkan pola BLUD,
serta tiga Puskesmas dan dua rumah sakit lainnya sedang bersiap diri untuk
penetapan BLUD. Tugas yang kuemban belum usai. Seperti saat ini, telah lewat
waktu isya, aku masih berjibaku untuk membantu mengevaluasi kinerja RS.
Lelah? Pastinya, tetapi apabila mengingat kembali apa yang diucapkan direktur
RS Tobelo tempo hari, rasa lelah itu seakan mundur teratur. Malam ini, hati kecil
ini bertanya, “Adakah hal lain yang membuat kita bangga atas pekerjaan yang
telah kita lakukan selain ucapan Direktur RS Tobelo tempo hari?”
di-cancel karena Beliau menikah di Kantor KUA”. Kalau hal ini adalah
pertanyaan bagaimana calon pengantin mendapatkan kembali biaya nikah yang
telah mereka bayar sebesar Rp600.000,00. Saat ini orang yang tidak mampu
(miskin) dan calon pengantin yang menikah di Kantor KUA tidak dipungut
biaya nikah. Dalam terminologi Undang-Undang PNBP yang baru (UU
9/2018) disebut tarif 0 (nol). Oleh karena itu, calon pengantin tersebut berhak
mendapatkan pengembalian uang sebesar Rp600.000,00 yang telah mereka bayar
dengan mengajukan ke KPPN terdekat.
Lain lagi cerita lagi dengan pertanyaan dari seorang Bendahara Desa: “Mohon
informasinya, saya mau bikin billing untuk pembayaran BPJS Perangkat Desa
di Kabupaten Bangka Tengah, akan tetapi untuk Sayan pembayarannya tidak
muncul. Mohon bantuannya dan terima kasih”. “Hmmm, ternyata ada ya
pembayarannya dari desa-desa di seluruh Indonesia?” Pertanyaan dalam hatiku
ketika membaca pertanyaan tersebut.
Walaupun sudah sering dijelaskan dalam help desk SIMPONI, namun masih
saja pertanyaan yang sama dari para perangkat desa di seluruh Indonesia muncul
dan muncul lagi di papan help desk SIMPONI hingga saat ini. Setiap kali ada
pertanyaan yang sama, setiap kali pula senyum heranku selalu muncul sambil
menjawab pertanyaan dengan sabar.
182
Ada juga cerita menarik lagi dari pengelola keuangan dana dekonsentrasi
dari daerah di Sulawesi Tenggara, tepatnya Kabupaten Muna. Pada awalnya,
pengelola tersebut bertanya melalui help desk SIMPONI, “Apakah bisa bukti
setoran pengembalian belanja, kopnya (identitasnya) adalah Kabupaten Muna,
bukan kementerian/lembaga asal dari dana dekonsentrasi?”
Seperti pertanyaan lainnya, pertanyaan itu aku jawab bahwa dana yang dikelola
oleh pengelola tersebut berasal dari APBN, bukan APBD. Oleh karena itu,
sistem pengelolaannya mengikuti sistem APBN. Maka, kop (identitas) setoran
pengembalian belanja melalui SIMPONI adalah K/L dan unit Eselon I yang
mengalokasikan dana dekonsentrasinya ke satker di Kabupaten Muna.
Masih banyak cerita-cerita (pertanyaan) yang masuk ke help desk SIMPONI yang
menarik untuk diceritakan, tetapi dari beberapa cerita di atas yang kuperoleh
ketika melayani para pengguna SIMPONI, aku baru menyadari betapa beraneka
ragamnya masyarakat Indonesia, ada yang sudah sangat maju, ada pula yang
masih perlu secara pelan-pelan dibantu. Banyak orang-orang pintar dan sudah
berteknologi tinggi, tetapi ada juga masyarakat di ujung negeri yang sedang
berjuang meraih mimpi.
Pengalaman pahit akan hal ini dituturkan oleh Kepala Desa Dawuhan tentang
bencana tanah longsor yang pernah terjadi di Desa Sijeruk tahun 2006 dan
bencana longsor lainnya yang terus-menerus menimpa daerah Dawuhan dan
sekitarnya.
Tanpa terasa kegiatan berlangsung melewati tengah hari, kami yang beragama
Islam melaksanakan salat Zuhur berjamaah di lokasi kegiatan, sementara umat
agama lain menunggu dengan sabar sampai ibadah kami selesai. Sebuah wujud
toleransi yang hakiki.
Perekat Indonesia 185
Pada suatu pagi yang cukup cerah di Pantai Fitu, pantai nan
eksotis di pinggiran Kota Ternate. Gunung Maitara dan
Gunung Tidore di seberang pantai terlihat gagah menjulang
menantang langit. Matahari muncul dengan ramahnya dari
balik gunung, menyapa setiap butiran pasir pantai yang
berwarna hitam. Kilau sinarnya makin memukau kala terpantul
jernihnya air laut.
selembar uang seribuan kertas edisi lama, edisi sebelum terbitnya uang seribuan
baru Tahun Emisi 2016.
Tak jauh dari posisi pegawai itu berhenti, terlihat dua nelayan sedang turun dari
perahu sambil mengangkat sekeranjang ikan hasil tangkapan semalam. Setelah
meletakkan keranjang ikan di tepi pantai, salah satu nelayan gesit mengambil tali,
lalu menambatkan perahu agar tidak dibawa arus.
“Selamat pagi Bapa,” sapa pegawai itu dengan senyuman ramah. “Banyak tangkap
ikan tarada (tidak)?” Lanjutnya dengan sebisa mungkin mengikuti bahasa dan
logat bicara khas Ternate. Bagi pegawai pendatang seperti dia, bisa menguasai
bahasa dan logat bicara setempat merupakan cara tersendiri untuk menghormati
penduduk lokal.
“Pagi juga, Pa,” balas nelayan berbaju hitam tak kalah ramahnya. Selain religius,
penduduk lokal Ternate umumnya ramah dan terbuka terhadap pendatang.
“Sekarang lagi musim ikan, jadi lumayan, Pa, ikan ada banyak,” nelayan berbaju
biru menimpali.
“Wah, kalau musim ikan macam ini, tangkapan ikan jadi banyak ya, pasti kalau
dijual, penghasilan Bapa berdua lumayan banyak ya?” Selidik pegawai itu ingin
tahu.
“Alhamdulillah, Pa, cukup buat torang (kami) makan sehari-hari, bisa juga ada
tabungan sadikit-sadikit,” jawab nelayan berbaju biru.
“Ikan-ikan apa saja yang boleh batangkap (ditangkap), Pa?” Tanya pegawai itu.
“Torang batangkap ikan Tude (sejenis ikan kembung) saja, Pa,” jawab nelayan
berbaju biru.
188
“Info apa itu, Pa?” Tanya nelayan berbaju biru agak antusias.
“Jadi begini, Pa, torang dari Ditjen Perbendaharaan ada tugas pendampingan
penyaluran KUR dan UMi kepada pemerintah daerah dan UMKM,” jawab
pegawai itu.
“Maksudnya bagaimana, Pa? KUR dan UMi torang tara mengerti,” potong
nelayan berbaju hitam.
Sambil mengeluarkan selembar brosur dari map biru yang dipegangnya sejak tadi,
pegawai itu pun melanjutkan penjelasan. “KUR itu singkatan dari Kredit Usaha
Rakyat. Ngoni sebagai kelompok nelayan juga termasuk UMKM, jadi berhak
mengajukan KUR ke Bank Penyalur. Ngoni boleh ambil kredit ke Bank Penyalur
KUR dengan bunga rendah. Kenapa bunganya rendah? Karena pemerintah pusat
ada kasih subsidi bunga,” pegawai itu menjelaskan.
“Jadi dengan KUR, ngoni boleh pinjam sampai dua puluh lima juta rupiah untuk
jenis KUR Kecil atau pinjam sampai lima ratus juta rupiah untuk KUR Ritel.
Nah, misal perlu modal buat beli mesin perahu baru, ngoni boleh jo pakai doi dari
KUR,” tambah pegawai itu sambil menunjukkan brosur.
“Kalau UMi itu pembiayaan Ultra Mikro. Ini kredit baru pelengkap KUR,
khusus untuk pinjaman sampai dengan 10 juta rupiah. Ngoni boleh pinjam UMi
di lembaga-lembaga macam koperasi atau pegadaian. Untuk Ternate, torang so
kerja sama dengan pegadaian,” sambung pegawai itu lagi.
“Itu cara pinjam KUR dan UMi bagaimana, Pa?” tanya nelayan berbaju biru.
bantuan dan pendampingan proposal. Nanti petugas dinas ada catat ngoni pe
data-data, macam ngoni pe nama, alamat, nomor KTP, jenis usaha, lama atau umur
usaha. Ngoni pe data, nanti ada petugas dinas input di SIKP,” jawab pegawai itu
sedikit detail.
“Nah, kalau ngoni pe data so masuk di SIKP berarti ngoni so jadi calon debitur
KUR,” pungkas pegawai itu.
“Oo, kalau torang pe data-data so masuk SIKP, torang boleh pinjam KUR, boleh
modal buat beli mesin perahu baru, begitu, Pa?” Kembali tanya nelayan berbaju
biru.
“Wah, basyukur (bersyukur) Bapa dari Perbendaharaan ada kasih info. Nanti torang
coba tanya-tanya lagi ke dinas atau ke Bapa pe kantor,” kata nelayan berbaju hitam
penuh semangat.
“Dengan senang hati, Bapa, silakan datang ke torang pe kantor. Kalau begitu torang
permisi dulu ya Bapa, semoga Bapa berdua bisa cepat beli mesin perahu baru,”
tutup pegawai itu sambil bersalaman dengan kedua nelayan.
apa?” Katanya. “Mengurusi jaringan dan komputer, Bu, saya orangnya konsisten,
Bu, dari dulu ya segini terus”, jawabku biar mudah.
***
Saat ini aku bertugas di Semarang, perjalanan tugas yang kualami saat ini beda
dengan yang dulu. Di sini para penumpang travel/angkutan umum lebih banyak
diam dan sebagian tertidur, sarana transportasi yang digunakan juga lebih banyak
macam dan pilihannya. Untuk efisiensi waktu, aku lebih memilih menggunakan
kendaraan sendiri dalam pelaksanaan tugas, sehingga aku kurang mendapat nilai
tambah dalam setiap perjalanan melaksanakan tugas.
Suatu saat di tempat itu aku sengaja mengendarai mobil dengan pelan dan agak
menepi. Seorang pekerja pabrik melambaikan tangannya ingin ikut menumpang.
Salah seorang itu mendekat, “Pak, ke Magelang ya? Bisa numpang ikut?”.
“Oh, ini ke Temanggung, Mbak, tapi kalau sampai Secang saja bisa, silakan”.
“Nggih, Pak, nderek mawon (ikut saja)”, sambil membuka pintu naik mobil,
diikuti serombongan orang di belakangnya yang juga ikut naik. Sesuai kapasitas
194
mobilku, hanya delapan orang saja yang dapat kuangkut. “Wah, jadi penuh nih”,
dalam hatiku.
Aku senang karena sepanjang perjalanan jadi dapat cerita-cerita baru. Mereka
bercerita seputar pekerjaan di pabrik konveksi, susahnya mencari kerja, hingga
keseharian perjalanan menuju tempat kerja. Aku pun tidak ketinggalan ikut
cerita mengenalkan PKN STAN yang mungkin putra-putrinya/saudara yang
lulus SMA bisa mendaftar dan nantinya setelah lulus langsung bisa bekerja.
Minggu-minggu berikutnya aku melakukan hal yang sama dan para penumpang
pun sudah mengenali kendaraanku. Sampai sekarang, ini menjadi rutinitas
mingguan dan semakin banyak hal-hal baru yang kudapatkan. Ternyata
membantu orang lain itu bisa dengan tanpa biaya dan mudah dilakukan.
Perekat Indonesia 195
196
S A
ANG
G UN B
BAN
EM
M
A
M
A
RS
BE
198
Infrastruktur Sumatra
Utara dan Kesatuan Bangsa
Indonesia
Leonardo Simbolon, KPPBC TMP B Kualanamu - DJBC
Rasanya sampai beberapa tahun yang lalu kota tempat tinggalku, yaitu Kota
Medan adalah kota yang rawan banjir karena drainase yang buruk. Rasanya
sampai beberapa tahun yang lalu aku sangat malas untuk pulang ke kampung
halamanku di kawasan Tarutung karena akses jalan yang buruk. Rasanya sampai
beberapa tahun yang lalu Sumatra Utara hanya memiliki sedikit bandara maupun
pelabuhan yang mampu menampung aktivitas masyarakat. Rasanya sampai
beberapa tahun yang lalu aku masih belum menemukan infrastruktur yang dapat
dibanggakan dari Sumatra Utara.
Kini aku sudah bisa bangga dengan daerahku dan infrastruktur di sana. Kini
aku bisa menikmati fasilitas yang sebelumnya hanya bisa kunikmati di Pulau
Jawa. Kini aku merasakan infrastruktur yang pantas dan layak bagi kemajuan
ekonomi di daerahku. Selain mendapatkan fasilitas, kekhawatiranku terhadap
kemungkinan Kota Medan akan banjir parah seperti pada tahun 2010 juga telah
berkurang, meskipun kemungkinan masih selalu ada. Kekhawatiranku berkurang
karena drainase di Kota Medan saat ini sudah diperbarui sehingga mampu
mengendalikan debit air meskipun pada saat musim hujan. Aku tidak perlu lagi
merasa malas untuk pulang ke kampung halaman karena kini di Sumatra Utara,
baik di jalan arteri dalam kota, di jalan lintas yang menghubungkan antardaerah,
maupun di jalan tol, semua sudah tersedia dan berfungsi dengan sangat baik. Jika
dulu aku harus menempuh jalan hingga sembilan jam untuk tiba di kampung
halamanku di Tarutung, kini aku hanya membutuhkan waktu tujuh jam.
Untuk mendukung ekonomi dan mobilitas masyarakat, kini Sumatra Utara sudah
memiliki pelabuhan di Belawan, Pelabuhan Kuala Tanjung (Kawasan Pantai
Timur Sumatra Utara), dan bahkan sebuah pelabuhan baru di Sibolga (Kawasan
Pantai Barat Sumatra Utara) yang juga dilalui oleh lintasan jalan Tol Sibolga
yang baru saja rampung. Pelabuhan-pelabuhan ini membantu sektor pengiriman
dan transportasi via laut bagi masyarakat Sumatra Utara dengan kualitas yang
bisa disandingkan dengan pelabuhan besar lainnya, bahkan dengan pelabuhan
200
sekelas Singapore Cruise Centre milik Singapura. Meskipun hingga saat ini aku
belum menikmati manfaatnya secara pribadi selain untuk perjalanan laut, namun
pembangunan infrastruktur ini membawa harapan ekonomi jangka panjang
bahwa Sumatra Utara akan dapat menjadi gerbang ekonomi Internasional,
seperti layaknya Batam. Sehingga tidak tertutup kemungkinan Sumatra Utara
berpeluang menjadi benteng ekonomi.
Dan bahkan untuk sektor ekonomi dan pariwisata daerah, Danau Toba tidak
lepas dari pembangunan. Terbukti dari pembangunan dermaga, bahkan
pembaruan Bandara Sisingamangaraja XII menjadi bandara Internasional
yang berjarak hanya 20 km dari Danau Toba. Dengan kehadiran Bandara
Sisingamangaraja XII, maka masyarakat yang hendak berlibur di kawasan Danau
Toba bisa menggunakan pesawat dari Bandara Internasional Kualanamu dan
mendarat pada Bandara Internasional Sisingamangaraja XII yang kini juga telah
menerima penerbangan internasional.
Ada hal yang aku perhatikan, yaitu pada setiap proyek/kegiatan pembangunan
yang dilakukan di suatu daerah, khususnya di daerah yang rawan penolakan
(zona merah), masyarakat di sekitar selalu diberikan kesempatan untuk turut
berkontribusi dalam pembangunan. Kontribusi masyarakat bisa dilihat dari
perusahaan-perusahaan yang merekrut penduduk lokal sebagai pekerja sehingga
selain menciptakan kondisi yang kondusif selama pembangunan (karena
masyarakat turut menjaga), kondisi itu juga membuat ekonomi masyarakat
sekitar berkembang, bahkan sejak infrastruktur tersebut belum berdiri. Hal ini
tentu berbeda bila dibandingkan dengan pembangunan pada zaman dahulu
yang cenderung bersifat tangan besi sehingga menimbulkan kontra karena tidak
adanya pendekatan masyarakat dan cenderung tertutup terhadap kontribusi bagi
masyarakat lokal.
Aku yakin bahwa sesungguhnya pemerintah sadar akan dua hal, yaitu
Perekat Indonesia 201
Apakah selalu disambut baik? Tentu saja tidak. Bukan berarti tidak ramah.
Tentunya Indonesia prominen dengan keramahannya. Hanya saja ketika kami
mulai membahas utang, banyak pemikiran dan sudut pandang bermunculan.
Dari yang disampaikan dengan baik hingga yang sedikit membikin nyeri. Namun
justru karena itulah kami merasa apa yang kami lakukan memang perlu. Rakyat
Indonesia harus memiliki pemahaman yang lebih luas dan tidak mudah percaya
hoaks. Tidak semua orang memahami manfaatnya meskipun telah merasakannya
dalam keseharian. Jalan dan jembatan yang dilewati setiap hari, hingga sumber
air dan pengendali ombak di pantai hanyalah sedikit bagian dari betapa nyatanya
manfaat utang itu.
Seiring waktu, kami tahu cara-cara lama tidak cukup. Dewasa ini menyatukan
dan memecah belah kelompok–kelompok manusia bisa dilakukan dari ujung
jari. Kemudahan penyebaran informasi menjadi pedang bermata ganda bagi
pengguna yang kurang bijak. Di situlah kami tahu, ini adalah medan perang yang
juga harus kami masuki. Dunia digital adalah dunia yang rumit. Dunia yang
cepat. Dunia yang terus berkembang. Kita harus bekerja lebih cerdas, lebih cepat,
dan tidak kalah berkembang. Seluruh potensi yang dimiliki oleh DJPPR harus
dapat dikerahkan untuk mengedukasi masyarakat dalam pengelolaan utang dan
pembiayaan, dan yang terpenting: sinergi.
Lahirlah tim luar biasa dari DJPPR. Lupakan istilah milenial, generasi X, Y, Z,
dan seterusnya. Kita membutuhkan semuanya. Wisdom dan pengalaman dari
generasi yang lebih dulu mengabdi, dilengkapi dengan ide-ide dan kreasi brilian
dari abdi-abdi muda DJPPR. Kombinasi ini menghasilkan konten-konten yang
tidak hanya sekadar berdasarkan data, tetapi juga menyenangkan bagi warganet
Indonesia. Apakah kemudian semudah itu? Tentu tidak. Tidak sama sekali!
Memasuki dunia digital mengharuskan kami untuk selalu siap siaga. Kami
harus tahu siapa yang menjadi target edukasi kami. Jika ini sebuah medan
perang, berarti memahami siapa musuh sama dengan memenangkan setengah
pertempuran. Masuk di dunia digital berarti kita harus siap untuk melawan
kapan pun sebuah isu muncul. Kami bertanya dan belajar dari banyak ahli di
bidang digital. Kami mengikuti pelatihan dalam bermedia sosial. Bahkan untuk
sekadar tahu kapan kita harus melawan balik, kami harus menempuh pelatihan
yang cukup panjang. Semuanya hanya demi Indonesia yang lebih berkembang.
Indonesia yang suatu saat akan benar-benar membuktikan potensi ekonominya
sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Indonesia yang melek akan perubahan-
Perekat Indonesia 205
Di sisi lain, eksplorasi digital yang kami lakukan juga menghemat anggaran
negara yang cukup besar. Sosialisasi secara konvensional mungkin terasa lebih
nyata, namun hanya menjangkau segelintir orang dengan biaya yang tidak sedikit.
Melalui media digital, ketika kita memahami cara kerjanya, kita bisa menjangkau
ratusan ribu bahkan jutaan orang dalam satu kali klik.
Ini adalah cerita tentang tim tanpa nama dari DJPPR yang luar biasa hebat.
Sebutlah kami Tim Strategi Komunikasi. Katakanlah kami Tim Media Sosial.
Katakanlah kami Tim Counter Issue Utang Pemerintah. Bahkan sebut kami
Content Creator saja tidak masalah. Karena semua itu adalah bagian dari kami.
Semuanya adalah bagian yang sama pentingnya dalam peran DJPPR bagi
Indonesia.
Bagiku, rekan-rekan dan anak-anak muda ini adalah pahlawan yang nyata
di era digital seperti ini. Mereka yang menghabiskan akhir pekannya untuk
mencerdaskan Indonesia secara nasional daripada sekadar menikmati secangkir
Starbucks. Mereka yang sepulang kerja memikirkan cara-cara baru untuk
menyampaikan pesan mulia kepada warganet ketika mereka sebenarnya bisa saja
menonton Netflix dan bersantai di rumah. Mereka yang melakukan extra miles
dalam pekerjaannya sehari-hari.
Ini adalah sedikit caraku untuk menunjukkan betapa bangganya aku terhadap
mereka yang luar biasa. Sedikit membawanya ke permukaan untuk menginspirasi
banyak orang, khususnya anak muda Indonesia. Sekali lagi, mereka adalah
pahlawan yang nyata bagi Indonesia.
Sebagai penutup, ini bukan cerita tentangku. Ini cerita tentang rekan-rekanku
yang luar biasa. Cerita tentang mereka yang memperlihatkan luasnya kertas putih
dari pada satu titik noda hitam.
206
Nah, ada tantangan nih. Lebih positif auranya jika kita menyebut permasalahan
atau hambatan dengan panggilan sayang: “tantangan”. Berawal pada tahun 2015,
proses pengalokasian DAK Fisik secara garis besar dimulai dengan penyampaian
usulan dari daerah, kemudian dilakukan penilain oleh K/L teknis terkait. Usulan
dari daerah disampaikan secara manual dalam bentuk hardcopy berangkap untuk
tiga pihak, yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas, dan K/L teknis terkait.
Kemudian, dalam rangka validasi data K/L dengan data pemerintah daerah,
dilakukan semacam pertemuan yang diberi judul sinkronisasi dan harmonisasi.
Hasil pertemuan tersebut diharapkan dapat menghasilkan keyakinan terbatas
bagi K/L dalam memberikan penilaian akhir sebagai bahan rekomendasi kepada
Kementerian Keuangan untuk selanjutnya dihitung alokasi per daerah.
e-Planning. Aplikasi tersebut dibangun oleh Bappenas. Satu langkah besar dalam
kolaborasi tingkat tinggi. Belum sempurna tentunya karena masing-masing
pihak termasuk DJPK mengambil data usulan dari aplikasi e-Planning kemudian
dimasukkan ke dalam aplikasi DAK Sinkron. Hal tersebut juga berlaku
untuk Bappenas dan K/L pengampu DAK Fisik. Jadi, kolaborasinya masih
di permukaan saja, ego sektoral masih kental. Cukup alot sebagaimana yang
diperkirakan oleh Pak Putut selaku Sekretaris DJPK kala itu, sekaligus selaku
Ketua PMO yang mencetuskan Inisiatif Straegis (IS) DJPK yang bertujuan
untuk menghadirkan pemerintah di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan merebaknya kasus OTT terkait DAK Fisik dan arahan larangan tatap
muka dengan pemerintah daerah dalam tahapan perencanaan dan penganggaran
APBN membuat seluruh unsur bahu-membahu memikirkan solusi terbaik. Di
bawah komando Pak Putut berhasil dicapai kesepakatan bulat dan persetujuan
untuk menghindari tatap muka dengan pemerintah daerah. Kemudian dirancang
metode tatap muka dalam aplikasi. Mantap dan luar biasa! Sebagai orang yang
Perekat Indonesia 209
Apakah sudah cukup? Ternyata masih belum. Masih banyak lubang yang
harus ditutupi lagi. Waktu itu selepas magrib, beberapa orang anggota Subdit
DAK Fisik I, Subdit DAK Fisik II, Tata Usaha (TU), dan Bapak Direktur
sedang melepas penat sejenak sebelum lanjut pada pembahasan rencana
penyesuaian PMK, khususnya pada bagian DAK Fisik. Secara tiba-tiba Bapak
Dirjen menyambangi kami. Dengan gaya Beliau yang santai, lepas, namun
tetap tegas penuh tantangan, membawa diskusi kepada pangkal permasalahan
terjadinya OTT. Beliau mengatakan bahwa berangkat dari pemanggilan KPK
terhadap beberapa pejabat di lingkungan DJPK sebagai saksi ahli, mengerucut
pada kesimpulan bahwa dalam pembahasan DPR belum diatur mekanisme
pengusulan anggaran dari anggota dewan. Mekanisme yang diharapkan
mengamankan pemerintah dari jerat hukum tentunya.
Tantangan yang Beliau sampaikan ada dua, yaitu mekanisme pengusulan DAK
Fisik oleh anggota dewan dan mekanisme pemberian keyakinan terbatas pada
pemerintah pusat bahwa uang dibelanjakan oleh pemerintah daerah dari DAK
Fisik sesuai penggunaannya. Selepas Beliau memberikan arahan dan mengobrol
sejenak dengan Kasubbag TU kami, Beliau pun meninggalkan ruangan dan
menyisakan kami yang menarik nafas panjang seraya menerawang. Lamunan
singkat buyar oleh helaan nafas Pak Direktur yang meminta kami segera
menyiapkan ruang rapat untuk membahas Rancangan Peraturan Menteri
Keuangan (RPMK) yang berbeda dari yang telah disiapkan. Karena keterbatasan
ruangan, kami pun meminjam ruang rapat lantai 12 pada Direktorat Pembiayaan
dan Transfer Non Dana Perimbangan.
Singkat kata dan singkat cerita, PMK yang mengatur kriteria DAK Fisik sebagai
dasar menyetujui atau menolak usulan DAK Fisik pun siap. Salut untuk rekan-
rekan Biro Hukum Kementerian Keuangan, Pak Agus dkk. atas kolaborasi
yang dahsyat. Dengan gagahnya Bapak Dirjen berhasil mengimplementasikan
aturan tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan menjaga integritas
pengalokasian DAK Fisik.
Semoga semua dapat berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas
pengalokasian dan penggunaan DAK Fisik.
Perekat Indonesia 211
kalau dilihat dari segi penerimaan, kontribusi pajak dari Kepulauan Nias
mungkin hanya 0,0…% dari penerimaan nasional. Setelah melalui kebimbangan
hati, akhirnya perintah melakukan sosialisasi tersebut harus tetap kujalankan.
Nias sebuah kepulauan. Nias merupakan bagian wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Sibolga. Untuk menuju ke sana tidaklah mudah.
Dibutuhkan waktu semalam perjalanan laut dari Sibolga. Itu pun apabila cuaca
sedang baik. Apabila ombak besar, kapal pun tidak akan berlayar. Alternatif lain
adalah melakukan perjalanan udara dari Bandara Kualanamu, Medan. Hanya saja
untuk mencapai Bandara Kualanamu haruslah ditempuh dengan perjalanan darat
sekitar dua belas jam. Di Kepulauan Nias terdapat Kantor Pelayanan Penyuluhan
dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Gunung Sitoli. Kantor tersebut merupakan
perpanjangan tangan dari KPP Pratama Sibolga. Hanya saja dengan keterbatasan
sumber daya manusia, baik jumlah maupun kemampuan teknis perpajakannya,
sering kali masalah sosialisasi masih dilakukan oleh KPP maupun Kanwil. KPP
Pratama Sibolga merupakan salah satu KPP di Kanwil DJP Sumatra Utara II
yang berkedudukan di Pematang Siantar. Jarak Kanwil dengan KPP Pratama
Sibolga sekitar sepuluh jam perjalanan darat. Dapat dibayangkan betapa jauh
perjalanan antarkantor yang ada di luar Pulau Jawa.
Setelah perintah sosialisasi keluar, pembagian tugas dan tim dibentuk. Tim dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tim dari KPP Pratama
Sibolga yang menempuh perjalanan laut dengan membawa perlengkapan dan
peralatan sosialisasi. Sedangkan tim dari Kanwil DJP Sumatra Utara II sebagai
kelompok kedua dengan menempuh perjalanan udara dari Bandara Kualanamu.
Hal ini kami lakukan untuk menghemat waktu dan tenaga karena jarak tempuh
dari Pematang Siantar ke bandara hanya sekitar tiga jam. Bayangkan kalau kami
berangkat bersama kelompok pertama, kami harus berkendaraan ke Sibolga
dahulu selama sepuluh jam, baru berlayar selama satu malam.
Hari Senin di Bandara Kualanamu. Tas ransel berisi laptop, buku- buku
peraturan perpajakan, baju, dan perlengkapan mandi terasa berat membebani
punggung kami. Pukul 13.00 WIB sudah berlalu, tetapi belum ada panggilan
untuk boarding. Rasa was was dan gelisah mulai menghantui. Walaupun
naik pesawat, tetapi Bandara Binaka, Nias, adalah bandara perintis dengan
segala keterbatasannya. Apabila cuaca kurang bagus, penerbangan pun sering
dibatalkan. Pengumuman pesawat ditunda berkumandang berkali-kali. Menguji
kesabaran kami.
Perekat Indonesia 213
Kepulauan Nias terdiri dari empat kabupaten dan 1 kota madya, yaitu Kabupaten
Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara,
dan Kota Gunung Sitoli. Selama lima hari kami akan melakukan “roadshow”
dimulai dari Kabupaten Nias, Nias Barat, dan Gunung Sitoli yang bertempat
di Gunung Sitoli. Sudah sering aku melakukan sosialisasi di wilayah Sumatra
Utara, tetapi baru di Niaslah yang jauh dari bayanganku. Teramat sangat jauh.
Jangan pernah membayangkan sosialisasi perpajakan seperti di kota Medan,
apalagi dibandingkan dengan di Jakarta. Mulai dari sarana prasarana yang
serba terbatas, bahkan spanduk yang dibawa dari kantor tidak dapat terpasang
sempurna karena tidak ada tempat untuk memasang. Yang lebih ajaibnya lagi
adalah tidak diperbolehkan memasang paku di dinding. Yah… dengan kreativitas
dan inovasi tingkat tinggi, spanduk dipasang dengan lakban. Belum lagi listrik
yang mati hidup seperti lampu diskotik, akibatnya sound system pun tidak banyak
membantu. Untungnya suaraku keras. Baru kali ini aku merasakan keuntungan
mempunyai suara yang kencang.
Akhirnya hari pun menjelang sore, sosialisasi hari pertama usai sudah.
Malam hari waktunya istirahat dan harus kami gunakan sebaik mungkin untuk
menebus kantuk dan lelah kemarin karena besok masih harus menempuh
perjalanan selama lebih kurang lima jam ke Nias Selatan. Ternyata tidur di hotel
pun bukan sesuatu yang nikmat. Jauh dari harapan. Masih enak tidur di indekos
(maklumlah di Kanwil Sumatra Utara II aku tinggal sendiri karena keluarga di
Jakarta. Bulok alias Bujang Lokal). Listrik sebentar-bentar padam dan kondisi
hotel yang tua dengan fasilitas seadanya, menimbulkan rasa horor dan merinding.
Belum lagi kondisi kamar mandi. Inilah alasanku membawa perlengkapan
mandi sendiri. Suka agak jijik menggunakan handuk, sikat gigi, dan sabun yang
disediakan hotel. Ajaibnya kami harus membayar mahal untuk penginapan yang
mereka sebut hotel ini. Alasan mereka kenapa harga hotel mahal karena jarang
ada yang menginap sedangkan biaya perawatannya mahal.
Hari masih gelap walaupun sudah pukul 06.00 WIB. Mungkin teman- teman
yang bertugas di Jakarta sudah berlarian atau bergelayutan di kereta . Dengan
Perekat Indonesia 215
Dengan pemandangan yang begitu indah, tak terasa sudah empat jam perjalanan
dan sampailah di Kota Teluk Dalam. Aku dibuat terkaget-kaget lagi. Apa pantas
ini disebut kota? Layaknya desa di kota Jawa. Sarana prasarana serba terbatas.
Tidak ada bangunan yang menjulang bahkan semua tampak sederhana. Apa
benar kita akan melakukan sosialisasi di tempat ini? Dengan semangat yang kuat,
pegawai dari KP2KP Gunung Sitoli menjawab, “Ya!” Ini belum ada apa-apanya
dibandingkan dengan tempat lain di Nias. Angkat topi buat mereka. Pejuang
Pajak sejati.
Patriotisme di Serambi
Makkah
Oji Saeroji, KPP Pratama Surabaya Wonocolo - DJP
Banyak keraguan yang hinggap setelah Surat Keputusan promosi tersebut keluar.
Salah satunya tentu saja soal predikat sebagai bekas daerah konflik berdarah di
masa lalu. Apalagi ini dalam rangka tugas sebagai simbol pemerintah bahkan
pemungut pajak. Simpelnya untuk mengakui Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan merah putih saja mereka berani menolak dengan jiwa
raganya, lalu bagaimana mereka mau membayar pajak yang notabene adalah
pengakuan penuh akan NKRI?
Aceh yang kubayangkan tentu saja tidak seseram dalam pemberitaan beberapa
tahun terakhir. Begitulah kesan pertama yang kami dapatkan usai pelantikan
pada jenjang jabatan eselon IV medio Oktober 2013. Sepuluh tahun pasca
Perjanjian Helsinki pada 2005 lalu yang menjadi babak baru kembalinya Aceh di
pangkuan ibu pertiwi, tidak sepenuhnya benar-benar hilang. Ini karena luka yang
diakibatkan konflik berkepanjangan tersebut.
searah. Kami
diserap dalam pembangunan infrastruktur
terutama sarana dan prasarana umum.
yang selalu Walaupun belum sepenuhnya menyembuhkan
luka akibat konflik, tetapi perbaikan di sana-
proaktif ke sini oleh pemerintah diapresiasi dengan tidak
banyaknya gejolak. Peran para tengku–istilah
dayah, tetapi untuk para pemuka agama di Aceh, sangat
pajak dan mendapatkan identitas perpajakan, yaitu Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
Di wilayah Aceh bagian selatan terdapat salah satu dayah atau istilah sebutan
untuk pesantren di Aceh, tepatnya 65 kilometer arah selatan dari Kota
Tapaktuan. Dalam sejarah konflik yang terjadi di Aceh, dayah ini mempunyai
peran sentral sebagai mediator bahkan beberapanya seolah pemberi semangat
spiritual dan fatwa perjuangan.
Dayah yang kami maksudkan di sini pada masa lalu sering menjadi rujukan
spiritual para anggota GAM di wilayah Aceh bagian selatan. Pemimpin dayah
sendiri umumnya para tengku yang sangat disegani pada masa lalu hingga
kini, bahkan dalam kunjungan wali Nanggroe (pemimpin adat di Aceh) selalu
disempatkan untuk berkunjung ke dayah tersebut.
Momentum kami bisa dekat dengan mereka adalah saat diikutsertakan oleh
Komandan Rayon Militer (Danramil) Aceh Selatan pada 2013 silam kala
melakukan sosialisasi kebangsaan di lingkungan pesantren tersebut. Dari sanalah
kami mulai intensif melakukan komunikasi, silaturahmi, dan pendekatan-
pendekatan.
Beberapa acara pesantren sering juga kami ikuti seperti acara keagamaan, baik
itu syukuran ataupun momentum hari besar keislaman yang mereka lakukan.
Gayung pun bersambut. Kerja tidak pernah membohongi hasilnya. Ada respons
yang positif saat kami bisa berdialog langsung dengan tengku dan pengurus
yayasan dayah tersebut.
Dari sini obrolan berkembang sampai dengan kemanfaatan pajak dan dana
pemerintah untuk pembangunan yang berasal dari pajak, sebagaimana zakat yang
selama ini ditunaikan untuk membangun kemaslahatan bersama.
Perbincangan seperti ini awalnya hanya searah. Kami yang selalu proaktif ke
dayah, tetapi lambat laun mereka juga menyempatkan diri berkunjung ke KPP.
Di situlah barangkali titik baliknya. Pelayanan yang kami berikan mereka anggap
nyaman, ramah, responsif, dan tanggap.
Awal mulanya kami membantu mereka untuk menjadi wajib pajak PBB
Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P3) dengan mendaftarkan aset
dayah berupa kebun kelapa sawit yang selama ini diolah oleh dayah. Selama ini
220
Bagi para pengurus dayah, pajak yang mereka bayarkan dianggap sebagai sedekah
bagi NKRI. Mereka mau membayar PBB P3 sesuai ketetapan dan tentu saja
tertunaikan dengan baik.
Pada tahun berikutnya kami imbau untuk mendaftarkan wajib pajak badan
usaha yang berbentuk CV untuk menjadi wajib pajak PP 46 (satu persen dari
omset). Pada akhirnya mereka mau mendaftarkannya walaupun masih nihil
pembayarannya dengan alasan sebagian keuntungan untuk membiayai dayah dan
investasi lanjutan.
Setelah berada di Tapaktuan selama tiga tahun lebih, sepeninggal kami, kami
mendengar kabar baik bahwa mereka sudah mau membayar pemenuhan
kewajiban pajak PP 23 (0,5 %) pengganti PP 46 (1 %). Tentu saja tidak ada yang
tiba-tiba. Pendekatan dan pelayanan yang kami lakukan dengan sepenuh hati
berbuah manis dan menjadi penguatan bahwa banyak potensi yang bisa digali
untuk menambah pundi-pundi pajak sekalipun di daerah bekas konflik yang
mengerikan.
Dalam setiap acara internal, kami sering memberikan motivasi bahwa para
pemuka agama GAM pada masa lalu saja mau dan bersedia membayar pajak.
Mereka tidak hanya menghormati simbol bendera merah putih saja, tetapi jiwa
raganya sudah merah putih.
Kini merah putih itu telah kafah menancap di bumi Serambi Makkah. Itulah
jiwa nasionalisme dan patriotisme sesungguhnya. Tidak hanya menjadi
semangat yang membuat bangsa Indonesia mampu berjuang mencapai dan
mempertahankan kemerdekaannya. Lebih dari itu telah menjadi perekat bangsa
ini di saat sejumlah upaya merusak persatuan bangsa datang dari dalam. Semoga
damai dan maju Acehku. Semoga.
Perekat Indonesia 221
Sei Guntung
Merajut Nasionalisme dengan
Bangga Membayar Pajak
Andy Prijanto, KPP Pratama Tanjung Karang - DJP
Aku masuk ke sebuah rumah makan yang masih melayani pembeli. Kupilih
tempat di sudut dekat meja kasir dengan empat kursi. Pas dengan jumlah tim
kecilku. Malam itu kulalui dengan perut kenyang dan badan yang sangat lelah.
Selama tiga hari tim kecil menyisir Sei Guntung. Cukup banyak informasi yang
kudapat di sana. Mulai banyaknya pengusaha yang belum ber-NPWP, sulitnya
memahami masalah pajak, susahnya menyetor dan melapor pajak, sampai
besarnya biaya kepatuhan pajak.
Tembilahan merupakan ibu kota Indragiri Hilir. Menuju Sei Guntung perlu
waktu tiga jam memakai speedboat. Tidak ada transportasi darat. Sudah kurasakan
terbatasnya transportasi dari dan menuju ke Tembilahan. Kantor administrasi
perpajakan terdekat berupa KP2KP. Namanya KP2KP Tembilahan. Biaya bolak-
balik tanpa menginap sekitar empat ratus ribu rupiah. Jika tertinggal jadwal
speedboat atau kapal pong pong (perahu kayu bermesin), maka ada ekstra biaya
menginap dan makan minum untuk sehari semalam.
Tim sempat juga menengok tempat pembayaran pajak di Sei Guntung. Saat
itu masih tidak dapat diproses langsung. Petugasnya harus membawanya ke
Tembilahan. Pembayar pajak tidak langsung mendapatkan bukti setoran hari itu
juga.
Aku pulang ke Rengat dengan speedboat pukul sepuluh pagi. Hanya ada dua
jadwal dengan yang jam sebelas. SB Rahmat Jaya dan SB Sri Gemilang. Itu yang
kubaca di penjualan loket pelabuhan. Penuh persoalan dalam kepalaku. Kondisi
Sei Guntung bukan semata persoalan kepatuhan pajak. Tapi sudah kompleks dan
belum bisa dipenuhi oleh pemerintah, terutama infrastrukturnya.
Setahun berlalu, aku dan tim kembali menapakkan kaki di pelabuhan Sei
Guntung. Bedanya saat itu hujan berada di penghujung musim. Persis di bulan
Juni dan masih menyebarkan bau amis. Bedanya lagi, di kepalaku sudah ada
solusi yang kubungkus untuk disajikan di sana.
yang belum tahu akan pentingnya pajak adalah dengan penyuluhan door to door go
show. Kami sebarkan leaflet dan penjelasan singkat. Solusi untuk wajib pajak agar
lebih mudah dan murah dalam membayar pajak adalah dengan menggunakan
mini ATM.
Otakku juga sudah memetakan kultur sosial masyarakat di sana. Mereka terbagi
atas etnis Tiongha, Banjar, Bugis, Minang, Melayu, dan sebagian kecil Jawa,
Sunda, dan Batak. Kucoba bicara dengan para tokoh mereka. Salah satunya,
aku bertemu tokoh adat Bugis yang sangat berpengaruh di Sei Guntung.
Panggilannya Bang Ali, nama panjangnya tak kuingat lagi. Satu jam kami
bicara tentang kondisi dan kendala kesadaran pajak di Sei Guntung, Bang Ali
memberikan masukan dan dukungan yang luar biasa meskipun baru pertama kali
berjumpa. Dia katakan, “Silakan Pak Andy pakai satu lapak saya. Boleh yang di
ruko permanen berlantai dua atau yang ada di pelabuhan rakyat.”
Intinya, Bang Ali memberikan jaminan bahwa masyarakat Sei Guntung mau
membayar pajak asal ada yang membimbing dan memudahkan mereka di wilayah
itu. Mereka ingin orang pemerintah yang resmi, kompeten, dan berwenang
mengelola pajak. Bukan calo dan oknum yang hanya menggemukkan kantong
pribadi.
Tanpa pikir panjang, kuiyakan keinginan Bang Ali. Kesempatan tak datang dua
kali. Salah satu tokoh adat yang punya pengaruh besar menawarkan sesuatu yang
berharga. Sebuah kepercayaan dan dukungan. Kami berpisah karena Bang Ali
harus meluncur ke Batam dan Malaysia untuk menangani bisnisnya.
Aku kembali ke Rengat dengan hati yang campur aduk. Senang karena kendala
di Sei Guntung mulai teratasi. Risau karena memikirkan bagaimana caranya
memenuhi keinginan Bang Ali. Bagaimana bisa menempatkan staf organik di
Sei Guntung? Apa ada payung hukumnya? Siapa yang menjamin keamanan
dan keselamatan mereka? Sementara malam pertama kemarin, kudengar terjadi
pembunuhan di dekat kantor kelurahan!
Sehari setelah kembali dari Sei Guntung, kulaporkan semua kondisi dan peluang
kepada kepala kantor. Beliau antusias mendukung konsep yang kutawarkan untuk
mengelola Sei Guntung sebagai lumbung penerimaan pajak. Beliau siapkan
semua perangkat dan infrastruktur yang dibutuhkan.
224
Maret 2016, KPP Pratama Rengat mengukir sejarah baru dalam mengelola
potensi pajak di Sei Guntung. Aku dan tim menyulap sebuah lapak sederhana di
pelabuhan rakyat di Sei Guntung, milik Bang Ali, menjadi kantor representative
untuk melayani wajib pajak.
Sebuah meja, sebuah laptop, sebuah mini ATM BRI, dan beberapa jenis leaflet,
beberapa spanduk terpasang, dan dua orang pelaksana Seksi Ekstensifikasi
Dan Penyuluhan setia melayani masayarakat Sei Guntung untuk mendapatkan
layanan apa pun. Mulai informasi, konsultasi, pendaftaran NPWP, pembuatan
billing system, dan apa pun yang dibutuhkan masyarakat diupayakan terpenuhi di
satu tempat yang sederhana dan terbatas fasilitasnya.
Dalam satu bulan Gerai Layanan Pajak (GLP) di Sei Guntung memberikan
layanan selama lima hari kerja mulai Senin sampai dengan Jumat. Dikondisikan
pada tanggal-tanggal yang mendekati jatuh tempo pembayaran pajak setiap
bulannya. Hari pertama gerai dibuka, tidak ada satu pun yang mengunjungi. Hari
kedua, dua orang mulai berani masuk dan hanya meminta informasi. Hari ketiga,
empat orang datang untuk berkonsultasi. Hari keempat dua orang mendaftar
NPWP dan dua orang meminta cetak ulang kartu NPWP. Hari Jumat pertama
gerai dibuka hanya dua orang yang mengajukan permohonan NPWP.
Air mataku menetes saat mendapatkan report day to day lewat aplikasi WhatsApp
(WA) dari staf yang bertugas di Sei Guntung. Perasaanku tambah campur aduk
antara pesimisme dan harapan. Otakku terus berputar dan berkata besok saat
mereka kembali ke kantor harus langsung minta laporan lengkap dan lakukan
evaluasi!
Enam bulan tak terasa berlalu seiring masuknya kemarau di Sei Guntung
memuncak. Mulai ada seuntai senyuman dan munculnya keyakinan setelah
Perekat Indonesia 225
lagi campur aduk. Hanya rasa syukur yang membuatku menangis. Terima kasih
ya Tuhan.
Konsentrasiku sedikit terusik saat dering HP-ku berbunyi. Kulirik sebentar dan
terbaca ada WA yang masuk. Hanya nomor HP saja yang muncul tanpa nama
pemiliknya. Walau sebenarnya malas untuk membuka pesannya, entah kenapa
seperti ada yang menggerakkan tanganku agar menyentuh layar HP untuk
membuka pesan itu.
Bertemu kembali dengan para tokoh adat seperti Bang Ali yang orang Bugis,
Koh Asan yang tokoh Tiongha, dan beberapa tokoh adat yang sudah lupa
namanya. Surprise! Kami disambut cukup meriah dengan tarian barongsai.
Malam itu acara berlangsung di gedung serba guna milik wihara di Sei Guntung.
Dua ratusan lebih warga setempat berbaur dengan tim KPP Pratama Rengat
untuk menikmati kebersamaan dan melepas rindu persahabatan.
Di saat makan bersama di satu meja bundar, aku mengatakan impianku kepada
Koh Asan. Sebuah keinginan untuk mengangkat nama Sei Guntung sebagai
wilayah taat pajak. Kusampaikan dengan sangat santun agar tidak menyinggung
para tokoh setempat. “Koh Asan, boleh aku minta izin kepada beberapa pemilik
ruko di pelantaran paling depan pasar yang langsung menghadap ke sungai?” Koh
Asan tersenyum lalu justru balik bertanya, “Untuk apa Pak Andy?”
“Begini Koh, aku punya mimpi bahwa orang-orang yang berlalu lalang melewati
Sei Guntung setiap hari, baik dari Tembilahan maupun dari Batam tahu bahwa
Sei Guntung ini adalah wilayah taat pajak.”
“Bagaimana cara saya membantu Pak Andy mewujudkan mimpi itu?” Tanyanya
semakin tertarik.
Perekat Indonesia 227
“Aku ingin memasang spanduk raksasa di dinding paling atas ruko. Tulisannya:
Wilayah Taat Pajak”, jawabku singkat.
Koh Ahsan tersenyum kemudian menjawab, “Tentu saya mendukung dan pasti
akan bantu. Tapi bapak pernah berpikir berapa lama kalau spanduk itu bertahan
dari hujan dan panas?”
“Aku tahu Koh, paling satu sampai tiga bulan. Tapi itulah kemampuan kantorku.
Hanya sanggup menganggarkan biaya untuk spanduk”, jelasku
Aku terdiam mendengar omongan Koh Ahsan. Lebih tak berkutik saat dia
melanjutkan, “Pak Andy gak perlu pikir masalah biaya. Itu sudah menjadi
kewajiban kami masyarakat Sei Guntung. Ungkapan terima kasih untuk Kantor
Pelayanan Pajak Rengat.”
Pikiranku kembali ke alam nyata saat kurasakan tetesan air mata bahagia.
Bahagia saat melihat sebuah foto yang dikirim Koh Asan lewat pesan WA.
Di bawah foto tertulis sebuah pesan yang menggetarkan sanubariku. “Hari
ini, tanggal 28 Maret 2017 peresmian sekaligus pembukaan selubung tulisan
Kawasan Taat Pajak Kateman. Sayang Pak Andy sudah pindah tugas ke
Lampung. Sayangnya juga bapak tidak bisa bersama kami. Padahal ini mimpi
Bapak. Tapi saya, Ahsan, dan teman-teman tetap akan ingat Bapak karena
peresmian ini.”
Kisahku ini telah kusampaikan kepada anak lelakiku tercinta yang tahun
2019 ini sedang menjalani on the job training di salah satu kantor pajak. Nilai
moralnya adalah, persoalan yang begitu banyak di DJP ini dengan izin Allah
Swt. akan dapat diselesaikan dengan dua modal yang ada di dalam diri kita
sendiri. Segumpal jaringan yang berisi trilyunan syaraf berupa otak yang harus
228
dimaksimalkan dan segumpal daging di rongga tubuh yaitu hati untuk selalu
meyakini bahwa Allah Swt. akan memudahkan apabila kita mau bekerja keras,
cerdas, ikhlas, dan mencintai DJP dengan hati dan akal sehat.
Perekat Indonesia 229
PNS sebagai pelayan masyarakat, polisi, dan tentara untuk menjaga keamanan
negara; membayar guru dan semua kebutuhan untuk pendidikan generasi muda;
dan membayar sesuatu lainnya yang telah direncanakan oleh pemerintah untuk
mencapai kesejahteraan warganya. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya
kesadaran pajak di Indonesia adalah kurangnya kepercayaan masyarakat
terhadap pihak pengelola pajak. Oleh karena itu, untuk mengembalikan dan
menghidupkan kepercayaan masyarakat tersebut terutama generasi milenial,
generasi Z, dan generasi Alfa yang cerdas dapat ditempuh dengan memberikan
informasi terkait pajak secara luas dan transparan.
Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya pajak merupakan salah satu
pendapatan terbesar bagi negara. Lebih dari 70% penerimaan negara bersumber
dari pajak. Tanpa adanya pajak tentunya akan menghambat kemajuan bangsa,
baik dari segi pembangunan infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
maupun kegiatan perekonomian yang juga akan turut terganggu. Mengingat
pentingnya peranan pajak bagi kelangsungan masa depan bangsa dan negara,
sudah seharusnya pajak dikenalkan sejak dini kepada generasi penerus kita.
Generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alfa yang merupakan aset negara
yang paling berharga karena masa depan bangsa dan negara ke depannya ada
di tangan mereka. Mereka yang nantinya akan saling bantu membantu dalam
membangun bangsa dan negara ini. Ada yang berperan sebagai perumus dan
perencana pembangunan negara, ada juga yang berperan sebagai pendukung
kelancaran hal tersebut seperti memastikan ketersediaan dana untuk
pembangunan. Salah satu sumber ketersediaan dana untuk pembangunan berasal
dari pajak yang merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Pengenalan
seperti ini penting dilakukan agar ke depannya para generasi muda terutama
anak-anak menjadi sadar tentang pentingnya membayar pajak sehingga kelak
bisa menjadi warga negara yang sadar dan patuh pajak. Dengan kesadaran
akan pentingnya pajak sejak dini diharapkan dapat mendukung kelancaran
pembangunan bangsa dan negara di masa mendatang.
Hal inilah yang mendorong KPP Pratama Demak membuat sebuah inovasi
Rumah Pajak Untuk Anak, yaitu suatu ruang bermain untuk anak sekaligus
tempat pengenalan dini tentang pajak. Harapannya, inovasi tersebut bisa
mewujudkan generasi muda yang mempunyai kesadaran pajak sejak dini.
Terlebih, wajib pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Demak mempunyai
karakteristik yang unik, yaitu beberapa di antaranya sering membawa anak-anak
Perekat Indonesia 231
Rumah Pajak Untuk Anak didasarkan atas dua aspek. Aspek Orisinalitas,
Rumah Pajak untuk Anak memang disediakan oleh KPP Pratama Demak
untuk memberikan kenyamanan terhadap Wajib Pajak karena permasalahan
karakteristik Wajib Pajak di Demak sebagian di antaranya adalah ibu-ibu yang
datang melaporkan pajak dengan membawa serta anaknya sehingga penciptaan
Rumah Pajak untuk Anak memang sesuai bila diterapkan di Demak. Aspek Asas
Manfaat, Fungsi Rumah Pajak untuk Anak adalah untuk ruang bermain anak
dan pengenalan dini tentang pajak. Program inovasi ini sekaligus memberikan
edukasi perpajakan kepada anak usia dini dan memberikan citra yang ramah dan
menyenangkan tentang kantor pelayanan pajak. Program inovasi Rumah Pajak
untuk Anak telah memenuhi aspek-aspek perubahan dalam pilar-pilar reformasi
birokrasi, yakni aspek Penataan Organisasi.
Rumah Pajak Untuk Anak terletak menyatu dengan ruang Tempat Pelayanan
Terpadu (TPT) tanpa mengganggu proses pelayanan itu sendiri. Sementara
menunggu nomor antreannya dipanggil, para orang tua dapat menemani anak
beraktivitas di ruangan ini sesuai dengan keinginan anak-anaknya. Posisinya
yang strategis juga memungkinkan satpam atau petugas cleaning service dapat
mengarahkan dan membantu anak-anak untuk bermain, membaca, foto-foto,
atau belajar mewarnai gambar yang sudah disediakan. Rumah Pajak Untuk Anak
ini memang disediakan bagi para Wajib Pajak yang datang ke KPP Pratama
Demak dengan membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Tidak menutup
kemungkinan juga bagi anak-anak para pegawai yang kebetulan sedang tidak ada
yang menjaga di rumahnya, bisa dititipkan kepada satpam/cleaning service yang
berjaga pada saat itu (program one day) sehingga tidak mengganggu kinerja para
pegawai yang bersangkutan. Bahkan pada musim libur seperti libur lebaran, tidak
sedikit juga pegawai KPP yang membawa anak-anaknya ke kantor dikarenakan
sedang ditinggal mudik pengasuhnya. Dengan adanya Rumah Pajak untuk
Anak, para pegawai tersebut tidak perlu resah dan repot jika harus membawa
anaknya ke kantor dan pekerjaan mereka pun tidak akan terganggu. Bagi orang
tua yang mempunyai kewajiban melaporkan pajaknya setiap bulan akan dengan
senang hati mengajak anaknya ke KPP karena anak-anaknya akan terhibur dan
mendapatkan edukasi tentang pajak sebagai generasi penerus yang bangga dan
232
cinta akan pajak untuk pembangunan bangsa. Program inovasi ini sekaligus
memberikan edukasi perpajakan kepada anak usia dini dan memberikan citra
yang ramah dan menyenangkan tentang KPP.
Desain Rumah Pajak Untuk Anak ini dibuat dengan konsep yang sangat
menarik dan menyenangkan. Dinding-dinding ruangan diberi gambar-gambar
lucu dengan warna cerah sehingga menarik minat anak kecil. Ada juga boneka
kojib (kontribusi wajib) sebagai identitas visual yang bisa menggambarkan
institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara menarik. Fasilitas yang ada di
dalamnya pun sangat beragam. Di bagian depan sebelum memasuki Rumah
Pajak Untuk Anak disediakan rak tempat sandal/sepatu yang dimaksudkan untuk
melatih anak-anak belajar tertib dan menjaga kerapian dan kebersihan ruangan.
Beberapa permainan interaktif seperti perosotan kecil, kuda-kudaan, serta
kompor yang berisikan game interaktif tentang edukasi perpajakan dan kuis pajak
juga disediakan untuk melatih motorik anak. Dengan game dan kuis interaktif
tersebut, anak-anak tentunya tidak hanya senang dalam bermain, tetapi juga
secara tidak langsung menjadi tahu apa itu pajak dan bagaimana pajak berperan
bagi kelangsungan masa depan bangsa dan negara. Selain itu ada juga beragam
permainan kreatif dan edukatif untuk anak- anak seperti photo booth untuk
berfoto ria, puzzle bertemakan pajak, komik-komik perpajakan yang menarik,
lembar mewarnai dengan gambar bertema pajak yang dilengkapi dengan pensil
warna dan krayon. Hasil karya anak-anak yang dinilai bagus nantinya juga akan
diberikan apresiasi dengan dibuatkan pigura dan dipasang pada dinding-dinding.
Stan didesain dengan unik dan menarik sehingga berhasil mendapatkan antusias
yang luar biasa dari masyarakat, khususnya anak-anak. Berbagai kegiatan pun
diikuti oleh mereka di antaranya lomba mewarnai gambar bertemakan pajak,
ada juga game dan kuis tentang pajak dengan hadiah-hadiah yang tentunya
lucu dan menarik. Selain itu ada juga klinik pajak yang berisikan informasi-
informasi perpajakan yang dikonsep dengan menarik dan menyenangkan. Para
orang tua yang datang pun mengaku sangat senang dengan adanya stan tersebut
karena anak-anaknya bisa bermain, mendapatkan door prize menarik, sekaligus
mendapatkan ilmu tentang pajak.
Adanya Rumah Pajak untuk Anak menjadikan KPP berkesan terbuka dan
lebih dekat dengan masyarakat dengan memberikan kebebasan mereka
mengikutsertakan anak-anaknya ketika melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Rumah Pajak untuk Anak menumbuhkan citra di masyarakat bahwa KPP
memberikan pelayanan dengan ramah dan mengayomi demi kelangsungan
masa depan bangsa. Dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan
Wajib Pajak setempat, mereka merasa dihargai dan secara otomatis mereka
pun akan menghargai para pegawai pajak ketika mengunjungi KPP. Dari
sinilah akan muncul persepsi bahwa Wajib Pajak sebagai “mitra” yang dengan
sukarela melaksanakan kewajiban perpajakannya tanpa ada unsur keterpaksaan.
Perhatian dari hal-hal yang kecil akan menciptakan kepercayaan masyarakat
pada umumnya untuk sadar akan arti pentingnya pajak. Selain itu, pemahaman
tentang pajak yang diberikan sejak dini juga diharapkan dapat memberikan
edukasi tentang pajak, manfaat pajak bagi negara dan masyarakat, dan tahu
bagaimana jadinya negara ini berdiri jika tidak ada pajak. Dengan edukasi
234
Pada tahun 2011 DJP mulai menggelar program Sensus Pajak secara nasional,
termasuk juga di Pulau Bangka. Persiapan Sensus Pajak dimulai dengan
membuat rencana kerja dan menyediakan data seperti peta cluster-cluster sentra
ekonomi yang ada di Bangka. Sentra ekonomi di Bangka utamanya berada di
kota Sungailiat dan Belinyu. Setelah menentukan cluster sebagai target sensus,
proses berikutnya adalah melakukan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai
pihak seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat setempat, sampai para ketua
RT/RW. Selanjutnya, petugas sensus dari KPP Pratama Bangka dan KP2KP
Sungailiat dengan didampingi oleh pihak ketiga mendatangi dan melakukan
kunjungan ke lokasi usaha atau tempat tinggal masyarakat secara proaktif dari
pintu ke pintu (door to door). Petugas sensus memberikan penjelasan mengenai
maksud dan tujuan pelaksanaan sensus dan meminta kesediaan responsden untuk
memberikan data dan keterangan melalui wawancara sambil mengisi Formulir
Isian Sensus (FIS). Hasil sensus nantinya dapat dimanfaatkan untuk melakukan
pemutakhiran data dan melengkapi profil Wajib Pajak agar tetap up to date,
lengkap, dan akurat.
Momentum Sensus Pajak ternyata telah menjadi terobosan bagi petugas pajak
untuk melakukan kontak langsung dengan masyarakat. Melalui sensus ini
petugas pajak jadi dapat lebih mengenal dan dikenal oleh para Wajib Pajak di
Pulau Bangka. Pemahaman dan pemanfaatan kearifan lokal juga dirasakan sangat
bermanfaat dalam pelaksanaan tugas ini. Ini telah menjadi tonggak penting dan
merupakan permulaan dari perjalanan panjang untuk membangun interaksi yang
lebih intensif antara petugas pajak dengan masyarakat.
Pajak Sebagai
National Security
Marihot Pahala Siahaan, KPP Pratama Ruteng- DJP
Awal tahun bagi kantor pajak selalu menjadi hari yang penuh
kesibukan penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan. Salah satu upaya yang rutin dilakukan adalah
pemberian teladan kepala daerah dalam penyampaian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan. Sebagai negara dengan mayoritas
masyarakat menganut asas patrilineal, teladan dari pemimpin
(kepala daerah) memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat
termasuk bagi wajib pajak di Indonesia. Untuk itu Pekan
Panutan penyampaian SPT Tahunan merupakan cara yang
efektif untuk menunjukkan teladan kepala daerah bagi Aparatur
Sipil Negara dan anggota TNI/Polri serta masyarakat yang
menjadi wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan
Pajak Penghasilan.
“Pajak merupakan salah satu unsur national security. Ya, berbicara tentang pajak
berarti bicara tentang keamanan negara,” kata pak Dandim dengan mantap. Satu
hal yang menarik tentunya bagi peserta Pekan Panutan. Selain Bupati dan Wakil
Bupati Manggarai turut hadir Ketua DPRD, Ketua Pengadilan Negeri, Wakil
Ketua Pengadilan Agama, Kapolres, Kepala Kejaksaan Negeri, para kepala dinas
di lingkungan Pemerintah Kabupaten Manggarai, pemimpin instansi vertikal
pemerintah pusat, dan pemimpin BUMN/BUMD yang ada di Kota Ruteng, ibu
kota Kabupaten Manggarai. Hadirin tampak menyimak dengan antusias.
“Memang harus kita sadari bersama, teman-teman pajak kita ini salah satu
Nation Fighter juga. Tujuannya untuk negara ini ya dari sektor itu, pajak. Di
samping dari yang lain kita berbicara transportasi, energi, kemudian salah satunya
juga defense, kemudian lain-lainnya. Karena itu pajak masuk dalam national
security kita, keamanan nasional kita. Dalam lingkup negara memang pajak tidak
dinyatakan sebagai unsur keamanan nasional. Keamanan nasional ini kurang
populer di Indonesia padahal sebenarnya keamanan nasional kita ini yang
menjamin keberlangsungan negara kita. Saya selalu membayangkan tiba-tiba
pajak kolaps. Tidak ada orang yang bayar pajak, apa yang terjadi? Pembangunan
semua hilang. Bayangkan saja, APBN disusun 2.000 triliyun misalnya, sementara
2.000 triliyun ini 1.600 triliyunnya dari pajak, kolaps kita. Kita tidak dibayar
misalnya, prajurit tidak dibayar, polisi tidak dibayar. Padahal dia pegang senjata,
datang dia ke toko ambil barang, sambil berkata ‘kasih ga, saya mau makan’.
Perekat Indonesia 241
Tentu keadaan akan chaos, kacau. Hal ini tentunya tidak kita inginkan terjadi.”
Terima kasih Pak Dandim yang bijaksana. Asyik sekali kalau sosialisasi pajak
dilakukan oleh pihak ketiga, apalagi pihak yang bertanggung jawab atas
keamanan negara. Pastinya hadirin mendapatkan pencerahan dan wawasan
baru tentang pajak. Pajak dipahami dengan utuh, tidak hanya memahami pajak
sebagai alat pengumpulan penerimaan negara semata. Semoga semakin banyak
pejabat yang memahami arti penting pajak dan mau menyuarakannya kepada
masyarakat. Demi negara Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.
242
T
K U
TA
E L AWAN
T M
AU
RT
BE
Perekat Indonesia 243
Temankeu Lombok
Adnan Wimbyarto, KPPN Mataram - DJPb
adalah ikut membantu membuat TPA di daerah Rembiga, Kota Mataram. Selain
membangun, Temankeu Lombok juga ikut terjun langsung mengajar adik-adik
yang belajar di sana, lebih kurang tiga puluh anak. Saat ini juga telah menambah
kegitan berbagi nasi di sekitar Pulau Lombok yang dilakukan setiap akhir pekan.
Satu kejadian yang tidak akan dilupakan adalah Bencana Gempa Lombok.
***
Pertanyaan berikutnya, apa saja yang bisa dilakukan oleh para relawan dan
pemerintah? Ketika berbicara masalah infratruktur itu hal yang bisa diselesaikan
dengan cepat bila ada dana yang cukup. Tetapi ketika berbicara masalah SDM,
kita harus berpikir lebih dalam lagi. Bagaimana memberi semangat serta
memberikan gambaran masa depan mereka pascagempa bumi ini. Nah, ini PR
bersama yang harus segera kita pecahkan dalam waktu dekat.
Berkawan dengan
Rasa Takut
Abd Gafur, Kanwil DJPb Provinsi Kalimantan Selatan
kota ini terpecah menjadi berkubu-kubu, tergantung pemeluk agama mana yang
dominan di daerah itu. Kondisi itu kemungkinan tercipta saat konflik, tapi tak
pernah diupayakan kembali seperti sediakala oleh pemerintah setempat. Jangan
heran bila ada bekas rumah ibadah yang tak kunjung direnovasi lagi atau bahkan
telah berubah fungsi menjadi gudang-gudang.
Bagi pegawai yang berstatus mutasi, agenda hari pertama kerja adalah bersegera
melapor di tempat baru dan setelahnya bekerja seperti biasa. Namun tidak
bagi kami, justru di hari itu kami harus terlunta-lunta tak jelas nasibnya kapan
akan memulai kerja. Seharusnya kami memulai aktivitas dengan status sebagai
pegawai KPPN, tetapi dua hari pertama kami hanya bisa menganggur di ruang
rapat Kanwil DJPb Provinsi Maluku. Memang saat itu terjadi masalah resistensi
yang cukup hebat dari pegawai lama akibat kebijakan “ekstrem” di waktu itu.
Penolakan keberadaan kami begitu kuat terasa, bahkan terjadi riak-riak kecil
berupa demonstrasi. Demi alasan keamanan, maka kepala kanwil memutuskan
untuk menunda proses peralihan pegawai. Dan masih banyak lagi kisah di
baliknya.
Hari demi hari terlewati dan suasana kerja pun mulai berangsur normal, walau
tetap tak bisa dikatakan sama seperti di tempat lain dalam situasi normal. Kami
mencoba menikmati rutinitas yang ada. Menikmati keindahan surga dunia yang
tersaji indah membentang di sepanjang pantai di pulau Ambon menjadi selingan
kami. Hingga suatu hari di Minggu siang tepatnya tanggal 9 September 2011,
hal yang kukhawatirkan benar-benar terjadi.
Saat semua orang beraktivitas normal di pusat kota, tiba-tiba saja mereka
berhamburan memisahkan diri menjadi dua kubu. Gemuruh suara bunyi tiang
listrik terdengar di mana-mana yang menguak kembali memori lama warga.
Dahulu saat konflik berkecamuk, bunyi itu menjadi tanda bahwa akan terjadi
perang. Aku yang saat itu sedang di pusat perbelanjaan, segera mengambil
langkah seribu menyelamatkan diri. Ternyata telah beredar sebuah isu
pembunuhan seorang tukang ojek yang lagi-lagi bernuansa SARA. Banyaknya
SMS yang bernada provokatif membuat isu sensitif itu begitu cepat tersebar luas.
Sontak saja suasana Kota Ambon memanas di hari itu.
keamanan kudengar silih berganti. Kabar simpang siur yang beredar mengatakan
bahwa korban jiwa juga sudah mulai berjatuhan. Hal itu terus berlangsung
hingga malam hari membuat langit Ambon kupandangi telah berubah menjadi
merah. Tak ada tidur nyenyak di malam itu. Semua lelaki diharuskan untuk ronda
malam, terlebih jika berada di daerah perbatasan.
Keesokan harinya, tak ada aktivitas perkantoran apa pun. Tak ada yang
memberanikan diri mengambil risiko. Jalan-jalan di kota begitu lengang. Aparat
keamanan dari TNI dan Polri masih terus berjaga. Layanan di KPPN pun
tak dapat berjalan karena kondisi yang memang sangat tidak memungkinkan.
Kami pun berkumpul di kompleks rumah dinas bersama dengan para pejabat,
berdiskusi mencoba mencari solusi terbaik. Hingga akhirnya keputusan
kepala kantor bahwasanya aktivitas di KPPN akan segera dimulai esok hari
dengan bantuan pengawalan Brimob Polda. Vitalnya fungsi KPPN menjadi
pertimbangan utama keputusan itu. Pesan Beliau, “Separah apa pun kondisi
yang terjadi, KPPN tetap harus memberikan layanan. Jika KPPN menutup
layanannya, maka siapa yang akan memberi makan aparat keamanan itu? Kantor
pemerintahan lainnya boleh saja tutup, tapi tidak dengan KPPN!” Tegasnya.
Sebuah pesan yang tentu saja memberikan kebanggaan dan motivasi tersendiri,
walaupun publik tak banyak yang mengenal kantorku itu. Akhirnya kami pun
memulai aktivitas kembali dengan bantuan aparat Brimob bersenjata lengkap
mengawal dua unit mobil dinas yang kami tumpangi dari titik berkumpul
di kompleks rumah dinas menuju kantor. Tak usah kautanyakan bagaimana
tegangnya melewati jalanan lengang di pagi itu. Sisa-sisa batu di tengah jalan
dan puing sisa bangunan yang dibakar masih tampak begitu jelas. Perlu dicatat
bahwa hari itu tak ada aktivitas perkantoran apa pun kecuali hanya instansi DJPb
serta beberapa perbankan. Itu pun mereka hanya membuka layanan sampai pukul
12.00, tetapi KPPN tetap membuka layanan sampai pukul 17.00.
Saat jam pulang tiba, kami segera berkumpul kembali menumpang mobil dinas
bersama pulang menuju kompleks rumah dinas dengan bantuan pengawalan
dari aparat Brimob. Hal itu berlangsung setiap hari selama seminggu, hingga
akhirnya kondisi berangsur-angsur pulih dan situasi mulai dapat terkontrol
aparat berwenang.
Sebuah pengalaman berharga yang harus kulalui dan mungkin tak banyak orang
yang mengalaminya. Menjadi bagian sejarah berjibaku bersama kawan-kawan
Perekat Indonesia 251
“Siap berangkat, Mas? Kalau siap, sore ini kita terbang ke sana,
dari Priok langsung ke bandara?” Ia berkata lebih lanjut.
Perekat Indonesia 253
“Insyaallah siap, Bro, tapi apa kita tidak berganti pakaian dan pamit keluarga dulu
di rumah?” Tanyaku.
“Ini darurat, Mas, semua administrasi akan disiapkan rekan dari kantor pusat
mulai dari tiket, surat tugas, dan yang lainnya. Bagaimana, Mas?”
Udara begitu sejuk pagi ini, awan yang membiru dan kicau burung yang samar
terdengar di antara deru kendaraan bermotor. Aku sampai di gedung B, Kantor
Pusat DJBC di Rawamangun. Di sinilah kami berjanji untuk berkumpul hari
ini sebelum berangkat bersama ke Bandara Soekarno-Hatta untuk selanjutnya
menuju Padang. Akhirnya sore kemarin diputuskan bahwa kami dapat pulang
dulu ke rumah dan berpamitan dengan keluarga serta mempersiapkan kebutuhan
sebelum berangkat karena qqdarulloh untuk hari itu semua tiket fully booked
sehingga kami tidak mendapatkan tiket.
di sana. Bukan hanya makan bersama dari dapur umum sebagai ransum harian
kami ataupun susahnya air saat itu, tetapi banyak lagi hal menyenangkan yang
kami rasakan. Salah satunya adalah saat kami mengenal Mr. Steven, ground
marshall alias tukang parkir pesawat asal Australia. Kami mencoba menyapanya
dengan Bahasa inggris yang seadanya, tetapi ternyata dia menjawab dengan
fasih menggunakan bahasa sunda. Oh my God! Usut punya usut ternyata istrinya
memang urang Bandung asli.
Bertugas di bandara ini kami tidak sendiri, tetapi bergabung dengan instansi
lain seperti TNI, Kementerian Sosial, pemerintah daerah, dan beberapa
instansi lainnya, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat seperti tim Aksi
Cepat Tanggap, Tagana, PMI, dan lain sebagainya. Di sini kami tak merasa
ada perbedaan antarunit ataupun instansi. Gempa ini sudah menyatukan
kami dengan visi yang sama, yaitu membantu korban dan menjaga negara.
Bahkan komandan dari posko TNI yang aku tahu berpangkat kolonel dengan
keramahannya bahu membahu dengan kami, baik dalam pengamanan ataupun
berkaitan data yang harus dilaporkan perkembangannya ke Presiden setiap
saat. Kadang aku mendapatkan jatah ransum TNI dari Beliau. Betapa indahnya
persatuan bangsa ini.
Tetiba turun satu pesawat perang yang agak berbeda. Selama ini, biasanya aku
harus langsung mengejar naik pesawat-pesawat perang tersebut sebelum pesawat
itu take off lagi, tetapi kali ini agak berbeda. Mereka tidak hanya menurunkan
barang-barang bantuan, tetapi juga sepasukan tentara berseragam loreng biru.
Mirip sih dengan jaket yang kami gunakan. Yang unik dan menjadi perhatian
kami adalah saat mereka mendarat, yang pertama segera mengambil air wudu
dan salat berjamaah masih lengkap dengan seragam PDL terpakai dan tas
dikumpulkan menjadi satu di depan imam. Setelah selesai salat, dua orang di
256
Waktu berjalan begitu cepat, malam pun tiba, saatnya kami untuk kembali.
Kegiatan yang tiada henti hari ini membuat badan kami menuntut untuk
diistirahatkan. Dalam mobil kami bersepakat sepertinya tidak bisa memaksakan
diri untuk melaju dari rumah dinas ke bandara setiap hari. Lebih baik mulai
besok kami tetap stand by di bandara dengan segala kondisi yang ada, minim air,
dan minim makanan. Dalam perjalanan pulang, tak jauh dari gerbang bandara,
kami melihat rambu lalu lintas yang menunjukkan arah masjid. Kami bergegas
menuju ke sana. Masjid ini terlihat sepi, kami hampir tidak menemukan seorang
pun di sini, tetapi Masyaallah, Allahuakbar, ternyata di masjid ini air sangat
berlimpah. Masjid ini adalah satu-satunya tempat yang kami temukan yang
airnya tidak kering. Kami akhirnya mandi dan menyegarkan diri di sini. Kami
salat bersama, tilawah bersama, dan menyatukan hati kami bersama dalam sebuah
lingkaran kecil penuh makna.
Ya Allah betapa manisnya ukhuwah ini. Kami yang minggu lalu belum saling
mengenal, sekarang menjadi satu hati yang tak terpisahkan. Ukhuwah telah
mengalahkan lelah, ukhuwah juga telah menghapus gundah, dan ukhuwah
juga yang menguatkan dakwah. Kutatap saudaraku satu per satu, wajah-wajah
tawadhu’ yang bersinar indah. Tak kuasa aku menahan diri mengatakan pada
mereka. Saudaraku, aku mencintai kalian semua karena Allah.
Perekat Indonesia 257
Pahlawan
Rahmatullah, KPPN Tanjung Selor - DJPb
Salah seorang pegawai yang kebetulan tinggal di mes yang terletak dalam
kantor, spontan keluar dan menghubungi beberapa rekannya. Rupanya massa
mulai menjarah barang-barang yang berada di dalam gedung KPPN. Sontak,
sambil menunggu rekan-rekan lain yang datang, ia mencoba menyelamatkan
beberapa berkas penting dan aset-aset yang bisa diselamatkan. Ia berjibaku
sendirian menyelamatkan dokumen-dokumen penting. Saat itu, pekerjaan
masih bersifat manual. Tentunya sangat berarti dalam proses pembayaran
tagihan kepada negara. Dalam suasana kacau dan massa yang beringas, ia
tidak menghiraukan keselamatan dirinya. Dalam benaknya, dokumen tersebut
sangatlah penting. Tidak lama, beberapa rekan lain dan beberapa aparat pun
berdatangan dan ikut membantu menyelamatkan dokumen-dokumen penting
dan aset-aset yang masih bisa diselamatkan.
Nah, apakah kita juga sudah layak menjadi pahlawan? Silakan tanyakan ke diri
kita masing-masing, kebaikan apa yang sudah dilakukan sehingga kita layak
menyandang predikat pahlawan.
260
Pengabdian di Tengah
Bencana
Ahmad Iqbal Zakyuddin, Kanwil DJPb Provinsi Sulawesi Tengah
itu di Bandara Mutiara SIS Al Jufri, ada asa baru yang menyeruak, rasa untuk
berkomitmen sepenuh hati untuk mengembang amanah yang telah diberikan.
Mentari pagi itu pun begitu hangat, seolah menyambut kedatanganku dengan
tangan terbuka dan berjanji akan begitu seterusnya. Ditambah dengan rencana
keluarga yang akan menyusul datang dan kondisi rumah dinas serta sekolah
untuk anak-anak yang sudah dipersiapkan sematang-matangnya dan hanya
tinggal menunggu waktu kedatangan mereka.
Akhirnya kaki ini bisa menjejakkan kaki di kantor yang akan menjadi tempat
mengabdi, hari pertama pun terlewati dan hari kedua yang jatuh pada hari Jumat
tanggal 28 September 2018 ini pun tampak seperti hari yang lain, terlewati
seperti biasanya sampai dengan pukul 14.30 ketika terjadi gempa yang cukup
mengagetkan kita semua di ruangan. Walaupun goncangannya tidak terlalu besar,
tetapi cukup membuat beberapa rekan kerja lekas keluar ruangan dan mencari
tempat yang aman. Website BMKG pun menjadi situs pertama yang diakses
untuk mendapat info lebih lanjut terkait gempa yang terjadi dan didapatkan
informasi bahwa gempa tersebut berkekuatan 5 SR yang terjadi di sekitar Kota
Palu.
Sore itu pun berlalu dengan lambat dan aku pun berniat untuk mengitari kota
selepas Isya untuk mengetahui lebih jauh tentang keindahan kota ini. Tempat
utama yang dituju adalah Pantai Talise dikarenakan ada festival yang sedang
dilangsungkan di daerah itu. Sepulang dari kantor pun tangki motor diisi
penuh karena rencana malam ini akan dihabiskan dengan berkeliling Kota Palu.
Sekitar pukul 17.40 aku pun tiba di rumah dinas dan ini adalah malam keduaku
menempatinya. Karena azan Magrib sudah sayup-sayup terdengar, aku pun
berniat berganti pakaian untuk kemudian mengambil wudu dan berangkat ke
masjid.
Ketika baru melepas pakaian untuk berganti dengan pakaian salat, pengalaman
yang tidak akan pernah kulupakan itu pun terjadi, gempa berkekuatan 7,4 SR
membuatku seketika berusaha bangkit dari posisi duduk dengan susah payah.
Ditambah dengan efek gempa yang membuat tubuh serasa diaduk-aduk dan
kepala pusing, serta menambah sulit usaha untuk sekadar keluar dari dalam
rumah. Setelah sekian lama gempa itu pun usai, aku pun terpaku karena masih
tidak percaya apa yang baru saja kualami. Akan tetapi untung aku segera sadar
karena ancaman belum usai, masih akan ada beberapa gempa susulan maupun
bencana lain yang kemungkinan akan melanda, yaitu tsunami.
262
Petobo yang terkena bencana likuefaksi. Hal pertama yang dilakukan adalah
membentangkan ponco untuk melaksanakan ibadah salat Magrib dan Isya yang
dijamak karena belum sempat dilakukan saat evakuasi. Namun berada di tempat
ini pun belum terasa nyaman karena masih terjadi beberapa gempa susulan
yang terasa cukup keras, ditambah dengan suara tangisan bayi dan teriakan
ibu-ibu yang membuat suasana semakin mencekam. Malam itu menjadi malam
terpanjang yang pernah kualami, khawatir akan keselamatanku, juga tidak dapat
mengabarkan kondisiku kepada kerabat, ditambah sangat kecilnya kemungkinan
keluargaku untuk dapat menyusulku ke sini.
Akhirnya beberapa logistik yang dikirim pun tiba dan semuanya dikumpulkan di
salah satu ruangan yang kuncinya harus kami jaga dan tidak kami buat mencolok
karena masih maraknya penjarahan. Logistik kami ini ditambah dengan tenaga
264
Ternyata kisah di Meulaboh berbanding terbalik dengan apa yang ada di pikiranku
ketika mau berangkat dari Medan.
Sesampainya di Bandara Meulaboh, aku disambut oleh orang Aceh yang ramah
dan baik hati. Kami diantar dari bandara menuju rumah dinas Bea dan Cukai.
Selama perjalanan, orang itu menenangkan hati kami berdua.
“Adek-adek ini bukan orang Aceh asli ya? Tenang saja, Dek, di Meulaboh ini sudah
aman, gak ada yang namanya Gerakan Aceh Merdeka.”
Melewati kebun-kebun sawit, jari orang itu menunjuk beberapa orang selama
perjalanan sambil tersenyum berkata, “Itu dulunya anggota GAM, sekarang sudah
bertobat, kembali berkebun.”
Kemudian kami diantar dengan selamat oleh orang itu sampai di rumah dinas
Bea dan Cukai Meulaboh. Sesampainya di rumah dinas, kami juga disambut dan
diterima dengan baik oleh senior-senior yang kebetulan orang Aceh asli.
Sejak dulu inilah Indonesia, orang-orang yang berbeda suku dan agama dapat
hidup berdampingan dengan damai dan menjunjung tinggi toleransi. Sering kali
keadaan yang sebenarnya tidak seburuk sebagaimana yang diberitakan oleh media
massa.
Selama bekerja di Aceh, ada pengalaman yang tidak akan kulupakan sepanjang
hidup. Ketika itu pagi hari Minggu tanggal 26 Desember 2004. Pada hari Sabtu,
sehari sebelumnya kami yang tinggal di kompleks rumah dinas sudah berencana
bahwa pada hari Minggu akan berolah raga dengan lari pagi di Pantai Meulaboh.
Tetapi entah kenapa, pada malam harinya kami begadang dan tidur larut malam.
Sebagian dari kami ada sekadar ngobrol-ngobrol hingga larut malam dan sebagian
yang lain nyanyi sumbang dengan main gitar, tentunya dengan ditemani secangkir
kopi. Kemudian entah pukul berapa persisnya, mungkin sekitar pukul dua dini hari,
aku baru bisa tidur. Sebelum tidur aku sudah pasang alarm pukul lima pagi.
Perekat Indonesia 267
Antara takut dengan lega, ada yang ngomong pas gempa bumi sedang BAB dan
ada juga yang keluar cuma pakai sarung saja (langsung disambut tawa teman-
teman yang lain).
Astagfirullah...
Di jalan raya itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlari sambil berteriak,
“Air naik, air naik” dan di belakangnya mengikuti ombak besar berwarna hitam
kecoklatan bercampur serpihan kayu yang tinggi ombaknya melebihi tinggi
badan orang. Orang-orang tersebut beradu cepat berlari dengan ombak tersebut.
Seketika itu, aku berdua bersama temanku, Suhrawardi Badrun, langsung berlari
menghindari ombak tersebut. Sepanjang jalan, orang-orang pada panik sambil
menangis dan teriak teriak.
Ketika kami berlari, dari arah depan datang air laut, kami langsung berbelok arah
untuk menghindari ombak. Begitu terus sampai semua daratan yang kami lewati
terendam air.
Sambil berlari menyelamatkan diri, dalam hati terus membaca istigfar. Dalam
hati berdoa secara terus menerus, “Jika saat ini aku tidak diberi keselamatan,
ampuni dosa-dosaku, ya Allah.”
Badanku terasa lelah, sejauh mata memandang, daratan sudah terendam air
yang semakin lama semakin tinggi. Rasanya mau menyerah, tapi hati kecil ini
menyuruh untuk tetap berlari. Sampai pada akhirnya sudah tidak dapat berlari
lagi, air yang merendam sudah setinggi dada. Kami terjebak di depan deretan
rumah toko tiga lantai. Kami mencoba masuk ke ruko tersebut dengan tujuan
untuk naik ke lantai tiga atau atap lantai tiga, tetapi tidak bisa karena pintunya
terkunci.
Di sebelah kiri ruko, sekitar 100 meter ada sebuah masjid yang lantainya sekitar
Perekat Indonesia 269
dua meter dari permukaan jalan, banyak orang yang berkumpul di situ dan belum
terendam. Tadinya kami mau menuju ke situ, tetapi ketika mau melangkah, dari
belakang masjid datang ombak yang tinggi, semua orang yang berada di masjid
ikut tersapu ombak. Akhirnya kami pasrah berdiam diri di depan ruko tersebut.
Sementara posisi air sudah setinggi dagu.
Posisi air semakin tinggi dan badan sudah mau tenggelam, tiba-tiba terlihat akan
datang ombak yang sangat tinggi berbarengan dari sebelah kiri (belakang masjid)
dan sebelah kanan (bibir laut).
Astagfirullah...
Sudah tidak bisa bergerak ke mana-mana, aku pasti tenggelam dan sepertinya
akan mati.
Dalam hati, “Ya Allah, sepertinya sekarang aku akan mati, aku terima, ya Allah,
tapi ampuni dosa-dosaku.”
Dari lantai tiga tersebut, kami memandang ke luar, seluruh daratan sudah
terendam air setinggi enam meter.
Ada banyak hikmah di setiap kejadian yang kita alami di dunia ini. Karena
kejadian ini, banyak orang di Banda Aceh dan Meulaboh yang kehilangan
nyawanya dan tak sedikit yang kehilangan keluarga dan hartanya. Tetapi seluruh
warga negara Indonesia jadi semakin bersatu, terbukti langsung bahu-membahu
memberikan doa dan bantuan kepada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
yang terkena bencana. Demikian juga masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
yang selamat dari bencana, mereka semakin menghargai perbedaan, tidak ada lagi
Gerakan Aceh Merdeka, dan semakin taat menjalankan agamanya, yaitu dengan
Perda syariatnya. Toleransi itu sudah ada dan terpelihara sejak dulu, kenapa kita
harus mencarinya?
270
SI
KRA
M DEMO
ALA
I D
U S
B
RI
NT
KO
Perekat Indonesia 271
ada di tangan
melakukan verifikasi, apakah berita itu
benar atau tidak. Alhasil banyak kita temui,
kita. antara manusia satu dengan manusia lain
pun akan saling berkomentar buruk yang
berdampak pula ke dunia nyata.
orang lain bisa, tetapi tetanggalah yang memiliki keleluasaan untuk segera
berhubungan dengan kita secara langsung, cepat, dan tanggap. Maka permusuhan
dan perpecahan hanya karena beda pendapat itu tidak dibenarkan. Karena
kebersamaan lebih dari segalanya. Dan apabila ingin mendukung, boleh saja,
asal dengan cara yang lebih elegan dan bermanfaat. Bukan saling menjatuhkan,
tetapi dengan berusaha untuk meyakinkan masyarakat melalui visi dan misi yang
dicanangkan.
Beberapa hari lalu ketika aku sedang ngopi bersama teman, dia tiba-tiba
membahas tentang Pilpres. Dia ternyata aktif untuk mendukung salah satu
calon melalui media sosial, entah dengan cara membangun opini melalui tulisan
ataupun sekadar berkomentar buruk terhadap lawan dari pasangan calon yang
didukungnya. Aku yang diajaknya berdiskusi tetap menghargai tanpa ada maksud
untuk mengiyakan atau menolak pendapatnya. Selama apa yang dia bicarakan
itu benar, maka aku tetap menerima dan menghargainya. Namun apabila dia ikut
menyebarkan isu yang belum pasti kebenarannya, maka aku tetap mengingatkan
dengan sopan dan tidak bermaksud menggurui. Pada intinya aku menghindari
sebuah perdebatan karena bagiku debat semacam itu tidak akan ada habisnya.
Yang ada hanyalah rasa benci ataupun jengkel terhadap teman sendiri. Maka
aku lebih memilih mengalah untuk keutuhan persahabatan. Aku juga tidak
memberitahukan pasangan calon mana yang aku dukung sehingga kita hanya
sebatas bertukar pikiran dan pendapat saja.
Aku juga menolak segala atribut yang diberikan oleh partai-partai peserta
Pemilu. Meskipun ada tetangga yang menjadi calon legislatif atau orang-orang
dekat yang menjadi tim kampanye. Di rumah, nenekku memiliki warung usaha
minuman kecil-kecilan. Di situ tidak diperbolehkan untuk dipasangi spanduk,
stiker, bendera, atau atribut apa pun karena aku tidak ingin terlibat dalam
Perekat Indonesia 275
kampanye politik. Meskipun demikian, aku tetap menggunakan hak pilih dengan
sebaik-baiknya sesuai asas Pemilu.
Sebagai warga negara dan rakyat yang baik, kita tetap harus menggunakan hak
pilih karena masa depan bangsa ada di tangan kita. Memilih sesuai dengan
hati nurani, bukan karena terprovokasi oleh isu-isu dan berita bohong yang
menyesatkan. Meskipun pilihan kita beda, kita mesti menjaga persatuan dan
kesatuan bersama-sama. Karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar,
maka kita harus bersatu untuk mewujudkan Indonesia yang lebih berjaya. Tak
perlu melakukan hal-hal besar, tetapi cukup memulainya dari hal-hal kecil dan
dari diri sendiri terlebih dulu. Aku yakin kita mampu berjalan berdampingan
karena bersama tak harus sama.
276
Prolog
Lalu sang guru menyuruh kedua murid yang masih terus saling ejek itu bertukar
posisi. Si laki-laki duduk menghadap sisi bola berwarna putih. Si perempuan
menghadap bola sisi hitam. Kemudian guru bertanya apa warna bola kepada
murid perempuan. Sambil tersenyum, si perempuan menjawab, “Hehe… hitam,
Bu.” Sambil senyum-senyum pula si laki-laki menjawab, “Hihi... putih, Bu.”
***
Sejak menjelang Pemilu 2014 lalu, masyarakat kita seperti terbelah. Sebelah
mendukung Capres A, sebelah yang lain mendukung Capres B. Pemilu usai.
Salah satu Capres terpilih jadi presiden. Tapi masyarakat tetap terbelah. Bahkan
makin lebar. Hingga bertahun-tahun.
Sialnya, Pemilu 2019 ini, Capres yang bertarung sama seperti 2014 lalu. Maka
pertentangan itu masih terus terjadi. Bahkan makin panas. Mungkin akan
berlangsung terus, meskipun Pemilu 2019 telah usai.
Apa yang dilakukan oleh salah satu Capres atau oleh tokoh pendukung Capres,
akan selalu salah dinilai oleh pendukung Capres lainnya. Hal-hal sepele selalu
dibesar-besarkan. Dijadikan olok-olokan tiap hari di medsos. Bahkan terkadang
hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kedua Capres pun akan dikait-
kaitkan. Dijadikan senjata untuk menyerang lawan.
Aku pernah berada di salah satu sisi yang terbelah itu. Sangat ekstrem. Melihat
apa yang dilakukan pihak lawan akan selalu tampak buruk. Hampir setiap hari
berdebat di medsos dengan teman sendiri yang berada di posisi ekstrem lawan.
Masing-masing mempertahankan egonya. Merasa paling benar.
Hasilnya? Tak ada. Kecuali perasaan gagah perkasa ketika memenangkan debat.
Dan di lain tempo, saat argumentasinya terpatahkan oleh lawan, alih-alih
mengakui kekalahan, yang ada malah perasaan dendam untuk bisa menjatuhkan
lawan pada debat berikutnya. Lebih buruk lagi, hati selalu diliputi prasangka
negatif.
Sampai kemudian seorang kawan memberi saran. Bahwa apa yang selama ini kita
pegang erat-erat sebagai sebuah kebenaran, terkadang hanyalah persepsi balaka.
Hanya masalah sudut pandang. Maka cobalah menggeser tempat duduk. Melihat
sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Hasilnya akan lain.
***
Epilog
BE L AJAR
JAR
E JA
S
Perekat Indonesia 281
Butet Manurung
282
Faktanya masih banyak orang yang tidak mengetahui tentang eksistensi kota
ini. Tidak dapat disalahkan memang karena di peta terbitan lama kita tidak
dapat menemukan letak kota Subulussalam. Sehingga tidak mengherankan jika
banyak orang yang tidak familier dengan nama kota Subulussalam. Jangankan
masyarakat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, bahkan orang Aceh
sendiri masih ada yang tidak mengetahui ada kota bernama Subulussalam di
provinsi Aceh.
Surprisingly kegiatan dapat berjalan lancar dan sukses. Gembira sekali melihat
wajah penuh senyum semringah dan tawa merekah di sudut bibir mungil anak-
284
Pulau Banyak, Aceh Singkil. Aku pun memulai peran baru sebagai relawan
pengajar. Tantangan berbeda pun kami hadapi mulai saat itu.
Kedua, kami belajar bahwa Kemenkeu adalah organisasi yang besar dengan
banyak unit Eselon I di dalamnya. Sinergi antarunit mutlak diperlukan untuk
lebih menguatkan Kemenkeu. Dari Kemenkeu Mengajar, kami dapat berinteraksi
dengan saudara-saudara kami lintas unit Eselon I. Saling berbagi dan saling
menguatkan menjadi bagian dari silaturahmi kami selama kegiatan.
286
Ketiga, kami belajar bahwa banyak teman-teman pegawai Kemenkeu yang rela
mengorbankan materi, tenaga, dan waktu untuk berbakti pada negeri. Hal ini
terbukti dari jumlah relawan dan kota/kabupaten penyelenggara yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Tidak melihat jabatannya, mereka mau turun
untuk terlibat langsung dalam kegiatan ini. Satu hari menggantikan peran guru
di sekolah bukanlah hal yang mudah. Namun semua dijalani dengan penuh
semangat dan keceriaan.
Kemenkeu Mengajar ini adalah salah satu sarana dalam menyalurkan semangat
keberagaman. Bagiku, banyak hal yang bisa dilakukan dalam upaya bakti untuk
negeri. Sebuah aksi nyata dalam hal berbagi. Dan selama itu bermanfaat, sekecil
apa pun peranku, maka aku akan tetap berjalan maju penuh semangat.
yang kelak
komunikasi harus dibangun sedemikian
rupa agar dapat dipahami oleh adik-adik
akan dengan tetap esensi dari sebuah materi
itu sendiri. Terlebih tantangan juga sangat
memberikan kompleks. Menjadi guru dalam sehari ternyata
tidak semudah yang dibayangkan. Banyak
sebuah kejadian-kejadian lucu ataupun kejadian yang
oleh relawan pengajar saja melainkan oleh relawan dokumentator, fasilitator, dan
lain sebagainya.
Salah satu momen favorit dari rangkaian acara Kemenkeu Mengajar khususnya
bagi adik-adik yang diampu, yakni membuat sebuah karya yang dilakukan
bersama-sama di akhir waktu sebagai tanda penutupan acara. Di Kemenkeu
Mengajar 2 lalu, adik-adik dipandu untuk membuat origami berbentuk pesawat
terbang dari kertas lipat yang nantinya akan diterbangkan bersama-sama ketika
penutupan acara. Aku masih ingat betul betapa antusiasnya adik-adik dalam
membuat karya itu dan momen tersebut diabadikan dalam bentuk foto yang
sangat cantik dan ceria.
Kemenkeu Mengajar 3 juga tak kalah seru, panitia membiarkan kreativitas kita
sebagai relawan berkembang. Melalui diskusi-diskusi maka kita putuskan untuk
membuat origami berbentuk bunga yang nantinya akan ditulisi kesan dan pesan
untuk bapak dan ibu guru. Benar saja, kita sebagai relawan pengajar di masing-
masing kelas memberikan contoh dan membantu adik-adik dalam membuat
origami tersebut. Kelas berlangsung seru karena antusiasme adik-adik membuat
origami bunga bertuliskan kesan mereka terhadap bapak ibu guru. Setelah jadi,
barulah kita mengadakan acara penutupan di halaman sekolah. Dengan diiringi
lagu “Terima Kasih Guruku,” para siswa ini langsung memberikan hasil karya
mereka kepada bapak ibu guru. Dan itu momen yang mengharukan dan tidak
pernah terlupakan bagi mereka. Bahkan isak tangis terdengar di berbagai sudut,
tak sedikit pula guru mereka yang ikut meneteskan air mata. Suasana mengharu
biru pertanda jika pesan yang ingin disampaikan cukup berhasil. Setidaknya
terkenang di memori adik-adik tentang acara ini juga dapat mengingatkan
kembali kepada mereka akan jasa-jasa bapak ibu guru yang mungkin selama ini
kurang mendapat perhatian. Dan semoga kebaikan akan merasuk di hati adik-
adik setelah acara ini selesai.
Dengan adanya Kemenkeu Mengajar ini ada banyak hal yang kudapat. Dari sisi
internal, aku semakin mengenal banyak orang dan menjalin relasi sesama pegawai
Kementerian Keuangan karena di sini kita merasa satu dan memiliki satu tujuan
yang sama pula. Berbagai unit vertikal menyatu untuk membawa sebuah nama
kebanggaan Kementerian Keuangan. Dari sisi eksternal, kita juga menjalin
hubungan yang baik dengan masyarakat, khususnya dengan pihak sekolah.
Mengukir sebuah sejarah dan citra yang baik untuk instansi dan tentu menebar
manfaat untuk saling berbagi. Kita juga banyak belajar dari dunia anak-anak–
Perekat Indonesia 291
dalam hal ini adik-adik Sekolah Dasar yang kita ampu, yaitu dunia yang jujur.
Mengajarkan kepada kita akan sebuah integritas dan nilai-nilai kesederhanaan.
Menjadi apa adanya dan terus berupaya memperbaiki diri untuk memberikan
karya yang terbaik. Semoga kegiatan Kemenkeu Mengajar ini semakin baik dan
terus menginspirasi sesuai dengan tagline-nya, “Sehari Mengajar, Seumur Hidup
Menginspirasi.”
292
Salah satu program inovasi LPDP yang diharapkan dapat meningkatkan jumlah
penerima beasiswa afirmasi dalam rangka mendorong persatuan Indonesia
adalah program Beasiswa Indonesia Timur (BIT). Target penerima Program ini
dikhususkan kepada 5 provinsi di daerah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara
Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara (Malut), Papua, dan Papua Barat. Untuk
membuat program ini berkualitas, LPDP membentuk tim penyusun program
tersebut dengan melibatkan pegawai LPDP maupun para pakar dari luar LPDP.
Pada kesempatan tersebut, aku sangat bersyukur telah mendapatkan kesempatan
untuk dipercaya bergabung dalam tim tersebut dari unsur pegawai LPDP.
Dalam proses pengkajian dan pendalaman konsep program BIT yang telah
disusun sejak tahun 2015 hingga akhir 2016, LPDP telah melibatkan berbagai
unsur seperti dari praktisi, akademisi, pemerintah provinsi, dan dari lembaga
masyarakat setempat. Dengan mendapatkan masukan dari berbagai unsur,
diharapkan program ini dapat sesuai dengan kebutuhan Indonesia dalam rangka
mendorong persiapan pemimpin masa depan khususnya di 5 provinsi yang akan
menjadi perhatian program BIT.
Pada awal tahun 2017, dengan melibatkan Pemerintah Provinsi setempat, LPDP
telah membuka program BIT untuk pertama kalinya. Pada angkatan pertama ini,
LPDP telah menghasilkan 102 penerima beasiswa. Hal ini patut kami syukuri
sebagai langkah awal dalam memberikan perhatian terhadap pengembangan
SDM di Indonesia Timur. Namun tentunya LPDP masih terus berharap pada
kesempatan selanjutnya para penerimai BIT dapat terus bertambah dalam
jumlah yang lebih besar lagi.
Pada tahun 2018, LPDP terus berusaha agar program ini dapat secara
masif mengakar di masyarakat, khususnya di provinsi target penerima BIT.
Sebagaimana tugas dan fungsiku dalam unit pengembangan layanan LPDP,
aku pun sangat ingin program ini dapat terus berkembang dan infonya dapat
tersampaikan ke pelosok-pelosok daerah, khususnya di Papua dan Papua Barat.
Berbagai cara telah dilakukan, baik melalui komunikasi jalur formal maupun jalur
informal. Hingga akhirnya aku teringat dengan informasi dari ayahku bahwa
294
aku mempunyai seorang kakek yang belum lama mengakhiri masa jabatannya
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Provinsi Papua Barat, Drs.
KH. Musa Abdul Hakim Altuaraw. Beliau ini menjadi pintu awal untukku dapat
mengembangkan informasi beasiswa LPDP, khususnya di daerah Papua dan
Papua Barat.
waktu.
kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan
Kabupaten Muna dan KPPN Raha berada di
sana. Predikat terpencil karena pada mulanya
transportasi keluar dari Pulau Muna hanya
melalui dua pelabuhan penyeberangan, yaitu
Pelabuhan Raha dan pelabuhan penyeberangan
feri, Tampo. Waktu tempuh dari Raha menuju
ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara lebih
kurang 6-7 jam dengan menggunakan kapal
malam, sedangkan jika melalui pelabuhan feri,
dibutuhkan 3-4 jam perjalanan laut dan 2 jam
perjalanan darat. Bandar udara mulai beroperasi
pada bulan Juli tahun 2017, menggunakan
penerbangan perintis berupa pesawat jenis
AvionsdeTransport Regional (ATR) .
298
Pegawai KPPN Raha sebagian besar lulusan PKN STAN. Pada tahun 2014
mendapatkan tambahan dua pegawai baru, salah satunya bernama Muhamad
Yani Nursyamsu. KPPN Raha mempunyai beban kerja cukup besar sedangkan
pegawai terbatas. Berperan membantu siswa menghadapi dunia kerja, KPPN
Raha selalu menerima siswa SMK di wilayah Kabupaten Muna untuk
melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Bukan bermaksud merendahkan
kualitas pendidikan di Muna, tetapi jika dibandingkan dengan di kota-kota besar,
tentu berbeda, di samping itu sebelum tahun 2014 belum ada yang menjadi
mahasiswa PKN STAN sehingga informasi tentang profil perguruan tinggi
kedinasan ini belum ada yang tahu. kepala kantor (Bapak Haryono) berinisiatif
memperkenalkan tentang KPPN sekaligus PKN STAN kepada siswa PKL. Pada
tahun 2016, Syamsu menawarkan diri untuk memberikan bimbingan belajar
Ujian Saringan Masuk (USM) PKN STAN dengan keyakinan dan kerja keras
insyaallah putra-putri Muna bisa kuliah di PKN STAN.
Akhir tahun 2016 menjadi titik awal Syamsu memulai kegiatan memberi
bimbingan belajar kepada lima siswa SMK Negeri 1 Raha yang sedang
melaksanakan PKL. Metode bimbingan yang dilakukan adalah Try Out soal-
soal standar USM PKN STAN kemudian dilanjutkan pembahasannya secara
perlahan-lahan sampai siswa paham. Penyampaian materi pelajaran tidak
dilakukan karena materi dirasa sudah cukup disampaikan oleh guru di sekolah.
Soal-soal yang disampaikan adalah khusus mata pelajaran untuk USM PKN
STAN (TPA, Psikotes, Bahasa Inggris). Khusus untuk mata pelajaran Bahasa
Inggris disarankan untuk memperbanyak perbendaharaan kosa kata. Bimbingan
belajar dilaksanakan setiap hari kerja mulai pukul 19.00 s.d 21.00 WITA,
sedangkan untuk hari Minggu dimulai pukul 16.00 s.d 18.00 WITA, bertempat
di aula kantor. Namun apabila sebagian siswa berhalangan karena ada kegiatan
sekolah, maka bimbingan pun diliburkan. Peserta bimbingan berasal dari
beberapa SMA di Raha dengan jumlah bervariasi setiap periodenya.
Periode pertama akhir tahun 2016 sebanyak lima siswa, awal tahun 2017
sebanyak dua puluh siswa, akhir tahun 2017 hanya enam siswa, tahun 2018
sampai menjelang USM PKN STAN siswa yang aktif hanya empat orang,
dan untuk tahun 2019 jumlah siswa seluruhnya sebanyak lima belas orang.
Naik turunnya siswa ini dipengaruhi oleh penyampaian informasi kepada
para calon peserta Pertama kali informasi tersebar dari lima siswa PKL yang
menyampaikan kepada teman dan orang tua siswa lainnya. KPPN Raha setiap
Perekat Indonesia 299
Salah satu bentuk dukungan adalah pemanfaatan aula kantor beserta fasilitasnya
untuk digunakan sebagai tempat proses belajar mengajar dan rekan kerja
lainnya memberikan suasana lingkungan kondusif sehingga proses belajar
mengajar tidak terganggu. Membimbing siswa-siswa dengan latar belakang
dan kemampuan yang berbeda tentu tidak mudah sehingga muncul suka dan
duka seiring berjalannya waktu. Sukanya ketika mengajari para siswa, melihat
pemuda-pemudi yang sangat antusias untuk belajar, saat melihat ekspresi
wajah mereka ketika gagal dalam mengerjakan try out kemudian segera bangkit
300
kembali, mencoba, dan terus mencoba memperbaiki diri agar menjadi yang
terbaik dan lebih bersemangat belajar lagi, seperti menyuntikan semangat dalam
diri Syamsu untuk mengajar. Dukanya pada saat ada siswa yang tidak bisa hadir
karena terlalu malam, tidak diizinkan oleh orang tua, tidak punya kendaraan,
maka di saat itulah Syamsu merasa sedih karena tidak bisa membatu lebih.
Perlu kusampaikan bahwa siswa pesera bimbingan belajar adalah putra dan
putri dengan jarak antara rumah mereka dengan KPPN yang jauh dan bebera
adi antaranya berlatarbelakang ekonomi yang kurang, sedangkan Syamsu hanya
bisa mengalokasikan waktu di luar jam kerja. Begitu juga dengan kondisi Kota
Raha yang merupakan kota kecil di daerah terpencil menyebabkan angkutan kota
sangat terbatas. Pada pukul 17.00 WITA sudah tidak ada lagi yang beroperasi,
ditambah lokasi KPPN Raha yang tidak dilewati jalur trayek angkot sehingga
butuh kendaraan pribadi untuk sampai ke KPPN.
Seluruh waktu, tenaga, biaya, pikiran termasuk suka dan duka yang selama ini
telah dikeluarkan, akhirnya terjawab pada tahun 2018 dengan dua siswa berhasil
lulus USM PKN STAN dan saat ini sedang menempuh pendidikan di kampus
Jurang Mangu Tangerang Selatan tersebut. Walaupun baru dua siswa yang
berhasil, tetapi hal ini sanggat membanggakan bagi Syamsu dan seluruh jajaran
KPPN Raha, terlebih bagi orang tua mereka, guru, sekolah (SMAN 1 Raha dan
MAN 1 Raha), serta daerah mereka, yaitu Kabupaten Muna. Semangat mengajar
ini juga akan dibawa apabila Syamsu ditugaskan di tempat lain karena sebagai
pegawai Kementerian Keuangan, khususnya DJPb yang senantiasa ditugaskan
pada seluruh kantor vertikal maupun kantor pusat.
Pulau Taliabu pada tahun 2009. Lalu pada 2010 pindah ke Fango. Dialah yang
membangun gereja kecil dengan sumbangan beberapa donatur. Hendrikus sering
ditemani seorang laki-laki yang selalu mengenakan kalung salib, Moses namanya.
Anak-anak Fango ada yang sudah bisa membaca dan ada yang belum. Mereka
semua belajar bersama, usia berapa pun digabung dalam satu kelas. Tidak
ada jenjang atau klasifikasi dalam proses belajar mengajar. Hal itu disebabkan
keterbatasan tempat dan juga pengajar. Tidak setiap hari ada orang datang
mengajar mereka. Seringnya beberapa karyawan perusahaan yang bekerja di
Pulau Taliabu datang pada hari tertentu, sore sepulang kerja. Itu pun mereka
harus menempuh perjalanan sangat jauh.
Tidak ada batasan materi yang diajarkan. Bebas. Terserah yang mengajar mau
ngajari apa. Anak-anak siap menyimak, mencatat, dan mengikuti. Relawan bisa
mengajarkan baca tulis, sejarah, geografi, Bahasa Inggris, matematika, cinta tanah
air dan bangsa, ataupun yang lainnya. Namun, satu hal yang menurutku tidak
boleh ditinggalkan guru untuk diajarkan, yaitu nilai-nilai, akhlak, dan tata karma
agar anak didik tidak sekadar pintar, tetapi juga bermoral.
Ada empat kunci sukses yang kurumuskan dan kuminta anak-anak ini mencatat
dan menghafalnya. Aku bilang, “Nanti saya cek hafalannya”. Pertama, Jujur.
Kedua, Sopan Santun. Ketiga, Tekun. Dan keempat, Doa.
Kujelaskan secara ringkas agar lebih mudah dimaknai dan dipahami mereka.
Sukses itu berhasil, bahagia. Kalau lomba dia menang. Kalau bertanding menjadi
juara. Kalau bekerja menjadi kaya. Kalau punya cita-cita tercapai cita-citanya.
304
Menjadi yang terbaik. Jujur itu kalau bicara tidak berbohong. Mengatakan
sesuai kenyataan. Apa adanya. Lalu kubuat ilustrasi kejujuran, mana jujur mana
bohong. Sopan santun artinya menghormati yang lebih tua, menyayangi yang
lebih muda, tidak kasar, tersenyum kepada teman, hidup rukun, memaafkan, dan
tahu berterima kasih. Tekun artinya rajin. Tidak malas-malasan. Kalau tidak
tahu, dia belajar. Kalau tidak bias, dia bertanya. Kalau bekerja, dia bersemangat
kerjanya. Kalau ada teman kesulitan, dia bantu. Terkahir, iringi semuanya dengan
doa. Memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan memohon kepada batu
karena batu bisa dipecah. Bukan memohon kepada pohon karena pohon bisa
ditebang. Nilai keempat ini untuk menanamkan nilai Ketuhanan, sesuai dengan
sila pertama Pancasila.
***
Seharusnya Selasa kemarin aku datang lagi untuk mengajar mereka. Namun,
sejak pagi hujan lebat. Awan gelap pekat seolah memenuhi seantero jagad.
Seharian tidak terlihat secuil pun sinar sang surya, apalagi birunya angkasa. Air
sungai meluap. Banjir. Tidak aman dan berbahaya untuk diseberangi. Padahal
itulah jalur satu-satunya yang harus dilewati. Tidak ada jembatan sehingga
kendaraan harus masuk sungai untuk melewatinya.
Seharusnya kemarin aku juga pergi ke SMA Negeri 1 Lede untuk berbagi
inspirasi, mengenalkan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Kementerian Keuangan, dan sekalian sosialisasi PKN STAN. Tapi, kami tidak
bisa pergi. Jalan yang kami lalui terhalang banjir. Ada sungai yang juga harus
dilewati. “Ampuni kami, ya Rab. Semoga hari ini atau besok pagi kita bisa
kembali berbagi.”
Ilmu dan pengalaman adalah titipan. Ia amanah untuk diamalkan dan dibagikan.
Bukan sekadar disimpan. Mewujudkan kejayaan Indonesia Raya adalah impian.
Ia butuh perjuangan segenap pihak. Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan.
Tidak ada pengorbanan tanpa kepayahan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda yang intinya,
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Para motivator mengatakan, “Kebahagiaan akan diraih pada saat kita berhasil
membahagiakan orang lain.”
Dan para pejuang sering bilang, “Dunia hanyalah persinggahan. Dunia itu
tempat berjuang dan berlelah-lelah. Bukan tempat berleha-leha. Kalau mau
beristirahat, nanti setelah di surga.”
306
E R DAYA
AN B
A D
UD
M
Perekat Indonesia 307
Bambang Pamungkas
308
Kisah Kami,
Kemenkeu Muda Kei
Ayu Widyasari Primanda, KPPBC TMP C Tual - DJBC
***
Perekat Indonesia 309
Perkenalkan, namaku Ayu Widyasari Primanda. Aku adalah salah satu pegawai
DJBC yang baru lulus dari sekolah tinggi kedinasan Kementerian Keuangan–
PKN STAN yang berada di Bintaro, Tangerang Selatan. Sekarang aku sedang
menjalankan tugas pertamaku di Tual, Maluku Tenggara, tepatnya Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP)
C Tual. Dan ini adalah salah satu kisah yang ingin aku bagikan kepada kalian
yang masih mengeluh dengan takdir yang Tuhan tetapkan.
Ya, pertama kali mendengarnya pun aku takut, aku pun bertanya-tanya di
manakah pulau itu? Apa yang akan aku lakukan di sana? Dan apa yang terjadi
jika aku jauh dari rumah dan orang tuaku yang selama 20 tahun aku bergantung
dan mengeluhkan segala masalahku kepada mereka? Ini tidak mudah untukku
dan saat itu aku merasa dirikulah yang paling tidak beruntung. Apalagi saat
melihat teman-temanku mendapatkan tugas sesuai dengan keinginannya, bahkan
dekat dengan rumah. Membayangkan mereka bisa terus berkumpul dengan
keluarga setiap harinya cukup membuatku iri. Namun, inilah konsekuensi yang
harus aku siapkan dan terima sejak awal aku memutuskan untuk mendaftarkan
diri di PKN STAN, “Kamu siap memberikan masa mudamu untuk negara dan
siap mengabdi di mana saja untuk Indonesia.“
Dengan hati yang masih sangat merindukan rumah, aku pun berangkat untuk
pertama kalinya pada tanggal 24 Desember 2018 bersama enam orang teman
seangkatanku, sama-sama meninggalkan “rumah”, tempat ternyaman kami
selama ini.
Untuk mencapai Pulau Kei, kami harus menaiki pesawat transit di Bandara
Pattimura, Ambon dan melanjutkannya ke Bandara Karel Sadsuitubun, Langgur,
dan pada tanggal 25 Desember 2018, aku dan enam temanku tersebut–yang
sekarang adalah keluargaku, menginjakkan kaki di Kepulauan Kei. Ya, pulau yang
sangat asing.
Kami pun dijemput oleh senior kami dan diantar menuju rumah dinas. Untuk
sementara waktu kami akan menetap di rumah dinas tersebut selama kami
menjalankan tugas di tempat ini. Singkat cerita, hari ke hari berganti minggu dan
bulan, kami pun semakin akrab satu sama lain. Bukan hanya kepada rekan-rekan
kami di kantor bea cukai, tetapi juga terhadap rekan-rekan sesama Kementerian
Keuangan yang juga bertugas di pulau ini. Kami pun sering menghabiskan
waktu bersama, walau hanya sekadar menikmati kopi, bermain kartu, bermain
310
Dan kami, tidak ingin mutiara-mutiara bangsa yang seharusnya bisa diolah
menjadi lebih indah harus terbuang sia-sia karena kurangnya kesempatan yang
diberikan.
Kegiatan ini dimulai dengan “Customs Talkshow” yang dibawakan oleh KPPBC
TMP C Tual yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Tual
dan dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku Tenggara
dan Kota Tual, siswa-siswi pilihan, serta seluruh kepala sekolah dari Kota Tual
dan Maluku Tenggara. Acara ini menjelaskan tentang apa itu sekolah kedinasan
PKN STAN dan bagaimana caranya untuk menjadi salah satu siswa-siswi yang
berkesempatan bisa mendapatkan pendidikan di sana. Acara ini juga telah
disiarkan di seluruh Indonesia melalui siaran radio. Sekali lagi, biarkan cerita
perjuangan anak-anak Pulau Kei mengudara.
Setelah itu, kami berkoordinasi dengan seluruh kepala sekolah di Kepulauan Kei,
instansi daerah, dan pemerintahan terkait untuk mengadakan bimbel gratis yang
bisa diikuti oleh 120 anak-anak kelas 3 SMA Pulau Kei yang telah lolos seleksi.
Seleksi bimbel gratis ini mendapatkan banyak respons positif dari berbagai pihak
terkait, terbukti jumlah siswa-siswi terdaftar yang mengikuti seleksi mencapai
487 peserta. Setelah terpilih 120 siswa-siswi pilihan dengan nilai terbaik melalui
tes seleksi, anak-anak ini dibagi menjadi enam kelas untuk mengikuti kelas
bimbingan belajar setiap hari Sabtu dan Minggu, dimulai dari pukul 10.30
hingga 17.00 selama 6 minggu.
Kami, Kemenkeu Muda Kei, kamilah guru mereka, mengabdi bukan hanya
sebagai penggawa keuangan negara pada hari Senin hingga Jumat, tetapi juga
sebagai kakak dan abang dari anak-anak penuh impian Pulau Kei. Kami harap,
pengabdian kami ini tidak sia-sia dan dapat diterapkan oleh manusia-manusia
penuh kelebihan di luar sana. Bahwa di dunia yang segalanya sudah terasa
mudah, masih ada anak-anak yang penuh perjuangan dalam mendapatkan
pendidikan untuk menggapai impian mereka.
Kami, Kemenkeu Muda Kei, gabungan dari Bea Cukai, Pajak, dan
Perbendaharaan di Tual, bersatu untuk membuat perubahan. Memang tidak bisa
mengubah seluruh dunia, tetapi setidaknya bisa mengubah dunia untuk anak-
anak Pulau Kei. Bersinergi dengan berbagai pihak, menyingkirkan berbagai
keterbatasan dan perbedaan, bersatu untuk masa depan masyarakat Pulau Kei
yang lebih baik lagi.
312
“Setiap anak-anak Indonesia harus memilki kesempatan yang sama untuk meraih
impiannya. Tolong jaga mimpi-mimpi mereka.” – Kemenkeu Muda Kei
Termasuk kami, anak-anak dari pulau terpencil bagian Waktu Indonesia Timur
yang jarang diketahui oleh masyarakat luar. Kami juga ada, kami juga hidup, kami
juga belajar, kami berjuang, untuk masa depan.
Perekat Indonesia 313
Hampir di setiap malam selepas jam kerja, aku juga aktif sebagai musisi
tradisional Dayak atau biasa disebut dengan Sape’ Dayak. Karena antusiasme
bersama kawan-kawan yang tergabung dalam melestarikan budaya tersebut
di berbagai kegiatan di tingkat kota dan provinsi, kami pun pernah lolos
dan ditunjuk untuk mewakili Kota Balikpapan di Jambore Pemuda tingkat
provinsi Kalimantan Timur bersama utusan kota lainnya seperti Mahakam Ulu,
Samarinda, Paser, Bontang, Kutai Barat, Penajam, dan lain sebagainya. Dari
pertemuan itu, aku mendapat banyak masukan tentang kondisi daerah mereka
yang masih memerlukan pembangunan infrastruktur dan subsidi transportasi
karena akses yang sangat terpencil seperti Kabupaten Mahakam Ulu yang
terletak di “jantung” Pulau Kalimantan. “Kalau kita mau balik kampung itu pakai
perahu long boat dan menyusuri sungai Mahakam dari hilir di Tering Kutai Barat
lalu ke hulu dengan melawan arus dan riam yang banyak bahaya”, ujar Monica
Dea Eugenia Buaq Hiit dan Maria Hangin Ibo.
Sampai suatu kala, aku diajak oleh tiga rekan untuk mendirikan suatu organisasi
nirlaba bernama Rawikara Indonesia yang bergerak dalam bidang energi dengan
tujuan untuk membantu dalam bentuk penerangan hunian ke berbagai desa
terpencil yang tidak memiliki akses listrik di berbagai pelosok Kalimantan Timur,
Dayak Punan di Kalimantan Utara, bahkan di Pegunungan Bintang di Papua.
Aku mendirikan kampanye sosial bertagar #MenyalakanMeratus, sebuah gerakan
crowd funding untuk menggalang donasi pengadaan lampu tenaga surya portable
kepada tiga puluh kepala keluarga suku Dayak Meratus di dusun Pusarangin dan
Nininyao di Desa Muara Andeh, Kecamatan Muara Samu, Kabupaten Paser
316
Saat penggalangan dana, kami bekerja sama dengan berbagai tim di Balikpapan
dan berbagai teman yang tersebar di berbagai kota dunia, dari Jepang, Australia,
Turki, Italia, China, Spanyol, hingga kutub utara untuk menyebarkan tajuk
tersebut. Kami mengajak komunitas mobil offroad VES Balikpapan sebagai
transportasi kami menuju desa tempat donasi kami. Selain menyalurkan donasi
lampu, kami juga mendonasikan berbagai kebutuhan logistik yang mempu
menunjang kehidupan mereka. Kami juga memberikan motivasi kepada anak-
anak dan para pemuda untuk belajar dan terus melanjutkan pendidikan agar
bisa memajukan desa mereka dan berharap semoga ada putra daerah yang bisa
cemerlang di Indonesia bahkan dunia.
Dari berbagai kegiatan tersebut, aku merasa bahwa apa pun yang bisa kita
lakukan kepada sekitar, lakukanlah. Sebagai pegawai negeri, kita harus multiguna.
Aku memiliki sudut pandang bahwa Kementerian Keuangan itu lebih luas dari
pada sekadar KEUANGAN. Dan kalau kita acak lagi hurufnya, maka kata
keuangan bisa disusun menjadi KEGUNAAN.
Perekat Indonesia 317
hampir semua anak didikku lewat WA. Umumnya mereka menanyakan nilai atas
mata kuliah yang kuampu. Kadang juga bertanya materi kuliah yang tidak sempat
ditanyakan di kelas. Ada nama Iren di sana.
Lalu, kepada Iren kuucapkan selamat. Kusampaikan bahwa itu adalah hikmah
ditempatkan di Ternate. Aku juga mendoakan agar ia maju terus hingga juara.
“Alhamdulillah, Pak. Amin. Terima kasih banyak, mohon doa dan dukungannya,”
balasnya. Besoknya aku meminta izin agar kisahnya aku tulis. Ia mengizinkan.
“Dengan senang hati,” katanya.
Kisah Bermula
“Dari dulu, Iren selalu ingin ikut ajang kecantikan,” begitu Iren membuka
kisahnya. Tetapi tidak pernah mendapat izin dari kedua orang tuanya karena
mereka menginginkan ia fokus pendidikan dulu. Iren yang merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara pun menurut saja. Demi tidak mengecewakan kedua
orang tuanya, rencana itu ia simpan. Akhirnya setelah lulus kuliah, barulah ia
diizinkan untuk memasuki dunia ajang kecantikan.
Mulanya, gadis cantik yang kini berusia 19 tahun itu sempat ikut Mojang Jajaka
Kota Bandung 2017. Saat itu, ia baru selesai sidang yudisium di PKN STAN,
sambil menunggu wisuda. Ia berhasil mendapat Award Best Talent Mojang Kota
Bandung 2017 dengan menampilkan bakat menari daerah sambil memakai
sepatu roda. Karena kebetulan, ia juga atlet Freestyle Inline Skating.
Bidang yang umumnya disebut sepatu roda itu, ia geluti sejak 2011. Memasuki
2016 ia berhenti berkompetisi, yakni saat diterima di PKN STAN. Jam kuliah
yang padat akan bentrok dengan jadwal latihan yang harus dilakukan secara
rutin. Alasan lainnya, ia sudah beberapa kali juara dalam kompetisi skala
internasional. Sempat sebagai juara keempat Classic Senior Women di ajang
Singapore International Freestyle Slalome Championship 2014. “Jadi rasa penasaran
untuk menang sudah terbayarkan,” begitu Iren beralasan. Tapi sekali-kali, ia
masih main sepatu roda hanya untuk fun saja, tidak untuk kompetisi.
Sayangnya, hidup tak selamanya indah. Tidak ada pesta yang tak berakhir.
Setelah bergembira atas kelulusan dari sekolah kedinasan yang terkenal dengan
“kekejaman” sistem droup out (DO)-nya dan keberhasilan mendapat sebuah
Perekat Indonesia 319
award dalam ajang mojang Kota Bandung itu, kini tiba giliran kesedihan
menyapanya.
Namun terkadang, bahagia dan sedih hanyalah persepsi belaka. Saat kita
menjalaninya, sesuatu yang semula dianggap membahagiakan, bisa jadi nyatanya
tidak. Pun kesedihan. Iren membayangkan, di Kupang nanti ia akan sendirian. Ia
akan kesepian karena jauh dari orang-orang yang dicintainya.
“Tapi setelah sampai di sana dan masuk kantor di hari pertama, semuanya
berubah,” Iren membuka kisah lembaran barunya. Kondisi kantor itu lebih terasa
kekeluargaanya. “Mungkin karena banyak anak rantaunya”, ia melanjutkan.
Suasana kantor seperti itu membuat Iren merasa nyaman untuk bekerja.
Pun tinggal di kotanya. Meskipun jarang sekali tempat hiburan seperti mal dan
lainnya, tidak ada transportasi daring, dan cuacanya yang panas ekstrem. Tapi
semua itu terkesampingkan oleh keindahan alamnya. Sehingga Iren sudah merasa
benar-benar betah tinggal di kota yang sepulau dengan negara Timor Leste itu.
Penempatan Definitif
Hidup selalu mengajarkan bahwa tawa dan tangis akan datang silih berganti.
Sesuka hati. Tanpa kita minta dan tanpa kita duga. Begitu pun yang terjadi
dengan Iren. Saat ia sudah merasa betah dan senang tinggal di Kupang, tiga
bulan kemudian, keluar pengumuman definitif. Ia ditempatkan di KPP Pratama
Ternate.
Sedih? Tentu saja. Karena alih-alih balik ke homebase, ia malah makin jauh ke
timur. Tapi Iren sudah mulai belajar legawa dan ikhlas. “Iren percaya, Allah pasti
mempunyai rencana indah buat Iren,” ungkapnya bijak.
320
Di Ternate, hal yang sama seperti di Kupang terulang kembali. Di sana tidak
ada bioskop, mal pun hanya satu-dua saja. Itu pun kecil. Tidak ada transportasi
daring juga. Biaya hidup tinggi karena hampir semua barang kebutuhan
merupakan barang impor atau didatangkan dari pulau lain. Tapi semua itu
terkalahkan dengan keeksotisan alamnya. “Wah… Subhanallah ciptaan Allah
memang luar biasa pokoknya,” Iren memuji kebesaran Tuhannya.
Sejak Iren mulai merantau ke luar Bandung, satu yang menjadi moto hidupnya,
“Lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil, daripada menjadi ikan kecil di
kolam besar.” Maka ia sebisa mungkin melakukan yang terbaik di sana. Baik
dalam segi pekerjaan, maupun dalam segi soft skill–membangun relasi dengan
rekan kerja satu instansi, di luar instansi, dan dengan stakeholders. Semua ia
lakukan dengan maksimal agar ia lebih menonjol.
“Kalau mengenai mengapa Iren bisa menjadi Puteri Indonesia mewakili Maluku
Utara, ceritanya begini Pak...” Iren membuka kisah mengenai keterlibatannya
dalam ajang kecantikan paling bergengsi di Indonesia itu.
Awalnya, Iren merasa sudah hampir setahun tinggal di Ternate, tetapi hanya
kenal dengan orang-orang kantor saja. Akhirnya ia mulai ikut komunitas-
komunitas daerah untuk memperluas relasi dan wawasan. Dari situ, Iren kenal
dengan seseorang, Kak Ian namanya. Kak Ian sering mengajak Iren jalan-jalan
hunting foto-foto. Terus Kak Ian unggah foto-foto itu ke akun medsosnya.
Unggahannya itu dilihat oleh Koko, orang yang membantu Iren hingga bisa
mendapatkan gelar Puteri Indonesai Maluku Utara.
Tidak mudah untuk Iren mendapatkan gelar itu. Bersaing dengan banyak putri
daerah lain yang cukup berkompeten. Mulanya ia–selaku pendatang, merasa
pesimis. Tapi pihak Yayasan Puteri Indonesia menekankan bahwa syarat untuk
mewakili suatu provinsi itu: (1) mempunyai garis keturunan daerah dari provinsi,
dan/atau (2) kelahiran/bertempat tinggal di provinsi, dan/atau (3) kuliah/bekerja
Perekat Indonesia 321
Motivasi
“Iren sudah mengunjungi beberapa destinasi wisata di Maluku Utara dan Iren
merasa sedih,” ia mengawali kisah tentang motivasinya. “Dengan alam yang
seindah dan secantik itu, masyarakat tidak melihatnya sebagai peluang mereka
untuk menarik wisatawan dan menyejahterakan hidup mereka. Pemerintah
memang telah banyak membuat program untuk menarik wisatawan. Namun
hal itu seharusnya tertanam di masyarakatnya dulu, harus sadar akan pariwisata
berkelanjutan.” Karena itu, ia pun mengambil advokasi, “Pentingnya edukasi
pelestarian lingkungan di wilayah terpencil timur Indonesia.”
Hal itulah yang menurut Iren membuat wisatawan enggan datang ke Ternate.
Sudahlah tiketnya mahal, para wisatawan masih kesulitan mencari informasi
mengenai akomodasi, transportasi, dan sebagainya. Padahal, para pekerja
speedboat daripada hanya diam di pelabuhan menunggu penumpang yang akan ke
pulau seberang, lebih baik disewa untuk membawa turis-turis.
terbelakang. “Sedih Iren, Pak. Waktu ikut acara seribu guru di desa Tolofuo.
Anak-anak di sana kalau ditanya cita-citanya apa, jawabnya pengin jadi pemanjat
kelapa, pengin jadi sopir speedboat, ya semacam begitu saja karena yang mereka
lihat sehari-hari hanya seperti itu,” jelas Iren. Ia juga menjelaskan, desa Tolofuo
bisa ditempuh dari Ternate selama 23 jam perjalanan darat ditambah 3 jam
perjalanan laut.
Wilayah Indonesia memang begitu luas. Terdiri dari ribuan pulau. Dengan
keragaman suku dan budaya. Pun keelokan alamnya. Kekayaan yang luar biasa
itu sekaligus juga merupakan ancaman bangsa ini menjadi terpecah-pecah, tanpa
kesadaran dan usaha dari semua pihak akan pentingnya persatuan dan kesatuan
bangsa. Juga perlunya kesadaran ikut memajukan saudara-saudara kita nun jauh
di sana yang masih tertinggal dalam segala hal.
Ternyata selain cantik, Iren juga telah menginspirasi kita semua tentang
perilaku yang mendukung kesadaran nasionalisme, kesetiakawanan sosial, dan
perilaku yang memberikan pengakuan terhadap kaum marginal. Ia juga telah
menunjukkan dukungannya terhadap inisiatif dan peran masyarakat dalam
pembangunan.
Tahun ini, ajang kecantikan yang dipelopori oleh Ibu Mooryati Soedibyo itu,
merupakan perhelatan yang ke-23. Puncak acaranya digelar pada tanggal 8 Maret
2019 di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat. Iren bersama
38 finalis lainnya yang mewakili provinsinya masing-masing berjuang untuk
menyandang gelar Puteri Indonesia 2019.
Meskipun Iren belum berhasil menjadi Puteri Indonesia 2019, sejatinya ia pun
telah menjadi juara atas inspirasi-inspirasinya, memajukan daerahnya yang
terletak ribuan mil dari ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Ia
telah menjadi ikan besar di kolam kecil.
Perekat Indonesia 323
Merawat Kebangsaan
Sekaligus Edukasi Keuangan
Negara yang Menyenangkan
Rudi Andika, Staf Tenaga Pengkaji Bidang Perbendaharaan - DJPb
Dani Dwi Permana adalah pelaku bom bunuh diri Hotel JW Marriott, Jakarta,
beberapa waktu silam. Yang mengejutkan adalah ia seusia pelajar SMA dan
hanya bersama seorang remaja lainnya melakukan pengeboman. Padahal, selama
menjadi pelajar di sekolah, ia dikenal sebagai murid yang berprestasi dan dikenal
sebagai anak yang baik, sering menghabiskan waktunya dengan ibadah, bahkan
menjadi marbot masjid. Di Surabaya, sepasang suami-istri melibatkan anak-
anaknya untuk menjadi pelaku bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya.
Ini hanya dua dari banyak hal yang melatarbelakangi perlunya merekatkan
bangsa ini. Yang jelas, mereka butuh ruang perjumpaan!
untuk memikirkan kontribusi apa yang dapat dilakukan, daripada hanya sekadar
nyinyir tanpa faedah. Sehebat apa pun solusi yang dikembangkan/ditawarkan
pemerintah, ia akan optimal jika ada dukungan kontribusi dari rakyatnya. Itulah
sisi kontributif.
Seperti pada semua Institution Visit Beneran Indonesia sebelumnya, visit ini
membutuhkan relawan. Keberadaan relawan tidak hanya membantu persiapan
teknis kunjungan, namun visi ruang perjumpaan ini juga menyasar para relawan
juga. Sesuai arahan Biro KLI, para pegawai Kemenkeu dilibatkan untuk menjadi
relawan sehingga memunculkan kesadaran (awareness) juga di kalangan pegawai
Kemenkeu untuk berinteraksi dan memberikan edukasi kepada masyarakat/
pelajar. Dari puluhan pendaftar, enam belas relawan dipilih sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkan.
“Jangan pernah lelah mencintai negeri ini!”, ucap Ibu Menteri Keuangan dalam
berbagai kesempatan. Mari bersama merekatkan Indonesia dalam Gerakan
Indonesia Bersatu!
330
Atas benturan realita ini, sempat aku termakan oleh pesimisme dan ketakutan
bahwa institusi pemerintahan hanya mengantarkan aku kepada kemandekan.
Sempat aku merasa keputusan ini telah meniadakan ruang untuk diriku bisa
332
berkembang. Sempat pula aku meragukan mimpi yang telah aku gantungkan
dengan mengorbankan pengalaman profesional yang telah aku bangun selama
lima tahun. Mimpi untuk mengguncang kultur birokrasi dan membuatnya
menjadi seideal yang kuinginkan, mengubah budaya birokrasi untuk bisa lebih
adaptif dan responsif terhadap dinamika perubahan zaman, mengubah persepsi
masyarakat atas birokrasi yang kaku, apakah mungkin?
Namun dalam hal ini aku merasa beruntung bahwa yang terlahir dari
ketidaknyamanan tersebut adalah keresahan yang membuatku mempertanyakan
kembali visiku menjadi Aparatur Sipil Negara. Penguraian benang-benang kusut
ini pun dimulai dari pelurusan niatku dalam menjadi Abdi Negara.
Dari pemikiran yang didasarkan pada keresahan tersebut, aku akhirnya tersadar,
kekusutan benang-benang tersebut didominasi oleh egosentrisme dalam
diri sebagai individu yang sedang merasa kecewa karena tidak mendapatkan
sesuatu sesuai dengan yang diekspektasikan. Di sela-sela pemikiran yang rumit
tersebut, terbacalah pesan, yang anehnya meskipun bukan pertama kali aku baca,
tetapi kala itu seperti memberikan makna berbeda yang mampu mengubah
pandanganku, “Jangan pernah lelah mencintai negeri ini”
Perspektif baru. Dari sebaris kalimat singkat tersebut, aku tersadar bahwa yang
kujalankan bukan lagi pekerjaan, melainkan pengabdian yang harus didasarkan
pada rasa cinta. Dalam pengabdian tidak patut rasanya jika kekecewaan atas tidak
terpenuhinya ekspektasi diri sendiri dimanjakan menjadi keluhan demi keluhan
yang tidak akan mengubah apa pun. Dari situ, aku mulai membenahi pemikiran
bahwa untuk memelihara mimpi yang besar kepada negeri ini dibutuhkan bukan
hanya tekad, tetapi juga niat yang tulus dalam menerima fakta “pengabdian bisa
saja menghantarkanku kepada kondisi yang jauh dari ideal”. Ketulusan tersebut
akan memiliki force yang lebih besar dalam memelihara pengabdian kepada
negeri ini. Ketulusan itu juga yang akhirnya menyadarkanku bahwa pekerjaan
klerikal yang kerap dikeluhkan, yang mungkin hanya dapat dianalogikan sebagai
baut-baut kecil mesin kenegaraan, tetap sejatinya perlu dijalankan dengan baik
untuk membuat mesin tetap berfungsi.
itu, “start small” tampaknya menjadi penyemangat paling realistis dan paling
manis bagiku saat ini. Memaksimalkan peran yang aku punya saat ini dengan
segala keterbatasan otoritas dan ruang kreasi yang kupunya untuk berkontribusi
kepada bukan hanya institusi, tetapi kepada negeri ini, aku nyatakan sebagai visi
baruku dalam mengarungi birokrasi.
Lebih mendalam, aku juga menyadari kultur birokrasi saat ini merupakan
hal yang telah dipupuk puluhan tahun. Seperti pohon yang sudah mengakar,
aku sepatutnya sadar bahwa menebang pohon yang sudah tumbuh belasan
bahkan puluhan tahun tidaklah mudah. Sehingga tampaknya kurang realistis
jika perubahan yang kudambakan harus aku capai hanya dalam satu kedipan
mata. Lalu aku pun menyadari bahwa keberadaanku di dalam organisasi bukan
sejatinya untuk menebang pohon yang sudah mengakar tersebut. Perspektif
baruku menghantarkan aku pada intuisi untuk menanamkan pohon lain yang
sama kokohnya yang bisa memberikan nuansa baru bagi organisasi.
Aku percaya perspektif itu penting karena sejatinya respons kita terhadap
sesuatu yang terjadi di sekeliling kitalah yang memberikan nilai kepada masing-
masing kita sebagai individu. Sebaris kalimat di atas secara kuat mewakili apa
yang terjadi saat itu. Seperti gayung bersambut, di tengah pergolakan batin
dan pencerahan yang kudapatkan, semesta seperti berkonspirasi mendukung
niatan baikku, atau bisa jadi ingin menantang sekuat apa ketulusan niat tersebut.
Satu pintu kesempatan terbuka bagiku melalui seorang teman yang telah sejak
kecil aku kenal namun takdir membawanya lebih cepat untuk menjalankan
pengabdiannya pada negara. Temanku ini berasal juga dari Kementerian
Keuangan, tetapi dari Unit Eselon I yang berbeda denganku. Sempat pula
kuceritakan kepadanya mengenai pergolakan dalam proses adaptasiku tersebut.
Dari perbincangan tersebut, sebuah fakta akhirnya kuketahui bahwa yang
memiliki pandangan sepertiku bukan hanya aku sendiri. Dia pun telah merasakan
keresahan yang sama hingga akhirnya menginisiasi sebuah gerakan muda
di Kementerian Keuangan yang dilabelkan dengan nama Kemenkeu Muda.
Jejaringnya begitu luar biasa, mampu menyatukan seluruh aspirasi pegawai
334
Dia menceritakan niatannya untuk membuat sebuah inisiatif baru yang bisa
menciptakan jejaring yang lebih luas cakupannya. Berangkat dari pengalamannya
bergelut di Kemenkeu Muda, dia pun menyadari walaupun tidak diikat dalam
naungan institusi yang sama, tetapi ikatan orang-orang yang memiliki satu
kesamaan visi sejatinya jauh lebih kuat. Dari ikatan tersebut maka tercetuslah
salah satu inisiatif yang menjawab segala ketakutan dan pesimisme kami, yang
sepakat kami namakan Aparatur Muda. Aparatur Muda menyatakan dirinya
sebagai komunitas golongan muda Para Aparatur Sipil Negara dan Pegawai
Pemerintahan di beberapa Kementerian/Lembaga dan Institusi Publik lainnya.
Komunitas ini dibentuk dengan keanggotaan yang tanpa paksaan. Anggota-
anggota yang memutuskan untuk ambil andil dalam komunitas ini tidak
memiliki ikatan formal dan juga tanpa adanya kepastian keuntungan.
Menjadi Aparatur Muda. Jika ada yang mempertanyakan apa sebenarnya yang
ingin kami capai dari inisiatif ini, kami pun belum tentu memiliki keberanian
untuk menyatakan visi yang muluk dan besar, seperti menginisiasi adanya
transformasi birokrasi antara Kementerian/Lembaga atau memberikan usulan
kebijakan kepada Pemerintah misalnya. Kami masih jauh dari itu.
Tidak ingin memulai dengan visi yang terlalu ambisius, namun memilih
menjalaninya dengan semangat dalam melakukan hal yang sederhana dan
secara konsisten memiliki progres, layaknya bayi yang perlahan sedang belajar
merangkak sebelum mengokohkan kaki untuk bisa berlari. Itulah jalan yang
kami pilih. Visi Aparatur Muda adalah fokus untuk menjadi komunitas yang bisa
mewadahi semangat para ASN Muda untuk meningkatkan integritas, sinergi,
dan inovasi dalam menjalankan peran sebagai pegawai muda pemerintahan di
lintas Kementerian/Lembaga.
Forum Diskusi. Kami yakini ini menjadi salah satu wadah yang baik untuk bisa
mengumpulkan lebih banyak partisipan dan mempersatukan lebih banyak ide
dengan beragam perspektif. Pada tanggal 19 Juli 2018, Aparatur Muda telah
berhasil menjejakkan langkahnya yang pertama dalam kegiatan Nyata (Ngobrol
Santai Aparatur Muda) Volume 1. Konsep acara diskusi adalah dengan membagi
para peserta ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas 2 topik
berbeda (SDM dan Teknologi) dengan tema besar “Quo Vadis Indonesia Emas
2045? Inovasi Pengembangan SDM dan Teknologi Indonesia”. Kelompok-
Perekat Indonesia 335
kelompok kecil tersebut akan difasilitasi oleh satu moderator dan diberikan
waktu lebih kurang satu jam untuk berdiskusi dan mencapai beberapa usulan
kebijakan tentang mempersiapkan Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas
di tahun 2045. Aku masih ingat betul atmosfer di ruangan tersebut pada
sore itu. Mungkin sore itu sebagian dari kami mengalami hari yang berat di
pekerjaan, ada yang kelelahan menghadapi kemacetan Jakarta, ataupun ada yang
mengorbankan waktu untuk segera pulang ke rumah untuk berkumpul bersama
keluarga. Namun, sore itu, diskusi berjalan dengan amat seru. Kebebasan yang
terasa seperti kemewahan bagi kami benar-benar menjadi pengobat lelah.
Secara pribadi aku yakin rekan-rekan yang kutemui di Aparatur Muda memiliki
banyak sekali ide-ide yang masih tertahan dan menunggu untuk dikeluarkan.
Ketiadaan ruang yang kami rasakan selama ini, mungkin bisa terbantu dengan
adanya kegiatan seperti Forum Diskusi ini. Ada salah satu anggota Aparatur
Muda yang berasal dari Kantor Staf Presiden menyatakan akan berupaya
menyampaikan ide dan aspirasi kami kepada pejabat-pejabat yang terkait, tetapi
kami tetap tidak menggantungkan semangat kami pada akan ditindaklanjutinya
atau tidak usulan kebijakan tersebut. Untuk akhirnya menemukan “suara” pun
sudah menjadi sebuah oase bagi kami. Selain itu, kami menyadari dengan saling
beradu argumen dalam menyampaikan ide bisa mengasah kapabilitas kami
sebagai kaum muda untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa. Hal
yang dirasa perlu kami mulai sejak dini untuk bisa mengakar di masa depan.
Senang rasanya bisa menciptakan “ruang” kecil untuk berkreasi dan berkolaborasi.
Senang rasanya bisa menjalin jejaring-jejaring dengan teman-teman
seperjuangan di lintas Kementerian/Lembaga untuk mempermudah koordinasi.
Yang kami lakukan pun sebenarnya hanya koordinasi informal sederhana yang
kerap muncul di sela-sela perbincangan pertemuan kami atau melalui notifikasi
WhatsApp pada grup kami.
“Eh, kemarin aku ketemu bosmu, Beliau rapat dengan bosku. Besok rapat lagi
‘kan jam 9? Kamu ikut?”
Atau sesederhana,
Dari kelakar dan obrolan ringan, kami bisa saling bertukar informasi mengenai
336
bahwa aku tidak lagi bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sudah kulakukan
sejak lama sebelumnya.
Namaku Putra. Aku adalah seorang laki-laki keturunan Batak dan Jawa yang
tinggal di Jakarta. Sebagaimana remaja pada umumnya, aku menyukai kopi dan
senja. Saat ini aku bekerja pada sebuah kantor Kementerian Keuangan yang
berada di Ternate. Kalian tahu di mana Ternate? Ternate berada di Indonesia
Timur. Ya, aku akhirnya ditempatkan di sebuah kantor di Indonesia Timur. Dan
benar saja kalau di kota ini tidak ada bioskop!
Aku masih mengingat bahwa aku sudah diharuskan untuk pergi ke Ternate pada
pertengahan Desember 2016. Waktu itu umurku masih 19 tahun. Di saat banyak
teman seusiaku berkutat dengan tugas kuliah dan dosen yang menyebalkan, aku
justru harus mulai berbakti pada ibu pertiwi. Terlebih aku ditempatkan pada
sebuah kota yang terdengar asing. Berbagai kemungkinan buruk menyeruak
dari pikiranku. Bagaimana kalau di Ternate aku tidak mengerti bahasa
masyarakatnya? Bagaimana kalau di Ternate tidak ada hiburan sama sekali?
Bagaimana kalau di Ternate tidak ada tukang martabak? Terlalu banyak kata
bagaimana yang membuatku sakit kepala.
Setelah meneguhkan hati dan pikiran, aku akhirnya siap untuk berangkat ke
Ternate bersama teman-teman seperjuanganku. Jumlah keseluruhan kami
adalah dua belas orang. Namun, malam itu di Bandara Soekarno-Hatta hanya
ada sepuluh orang termasuk diriku. Dua orang lainnya akan menyusul keesokan
hari karena masih harus menyelesaikan satu dan lain hal. Malam itu, dengan
dilepas oleh pelukan hangat dari keluarga, aku meninggalkan Jakarta dan segala
kenyamanannya.
Waktu perjalanan dari Jakarta ke Ternate adalah sekitar tiga setengah jam.
Ditemani musik dari handphone dan buku “Tentang Kamu” karya Tere Liye, aku
memutuskan untuk tidak tidur. Sembari sesekali memandangi kegelapan di luar
jendela, aku kembali mempertanyakan banyak hal tentang Ternate yang bagiku
masih abu-abu. Malam itu aku mengumpulkan semua pertanyaan dan bersiap
menemukan jawabannya pada keesokan harinya.
Sekitar pukul tujuh pagi, pesawat yang kunaiki mendarat di Bandara Sultan
Babullah, Ternate. Keraguanku sudah sedikit berkurang seketika sebelum
mendarat. Adalah pemandangan yang luar biasa menakjubkan yang akhirnya
Perekat Indonesia 341
Aku disambut oleh beberapa orang senior dan atasan. Setelahnya aku langsung
diantar menuju sebuah rumah dinas yang akan kugunakan. Rumah yang
sederhana dengan sebuah lapangan badminton di depannya. Nantinya, lapangan
badminton itu akan lebih sering digunakan untuk bermain futsal dibanding
bermain badminton. Aku juga disuguhi makanan khas Ternate, yaitu nasi kuning.
Nasi kuning yang ada di ternate sedikit berbeda daripada yang ada di pulau Jawa.
Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi kalau kalian mau merasakannya, kalian bisa
mampir ke Ternate dan menghubungiku. Nanti aku yang traktir.
Setelah melewati hari pertama, ternyata tinggal di Ternate tidak seburuk yang
kukira. Ternate memang tidak memiliki bioskop, tetapi Ternate memiliki banyak
tempat yang bisa dijadikan tempat untuk menghabiskan waktu selain bioskop.
Pantai Sulamadaha, Pantai Jikomalamo, Danau Tolire, dan Batu Angus adalah
beberapa nama tempat yang bisa dijadikan opsi lain untuk menghabiskan waktu.
Memang tidak ada yang bisa menggantikan sensasi menonton film sambil
menghabiskan popcorn yang ada di tangan, tapi segelas es kelapa segar dan
semburat senja yang indah bisa sejenak membuatku melupakan bioskop.
Selama satu tahun pertama aku menghabiskan hampir seluruh waktuku bersama
342
teman-teman satu kantor. Sebenarnya semua berjalan biasa saja hingga akhirnya
ada satu titik yang membuatku merasa bahwa memiliki teman-teman satu
kantor saja tidaklah cukup. Tadi sudah kujelaskan ‘kan bahwa aku memiliki
sebelas orang teman seperjuangan? Seperjuangan yang kumaksud adalah teman-
teman yang sama-sama mendapat penempatan di Ternate pada waktu yang
sama. Dalam periode satu tahun pertama, kami selalu resah untuk menunggu
panggilan diklat prajabatan dan diklat kesamaptaan yang wajib untuk dijalani
oleh semua pegawai baru. Sialnya, kami tidak dipanggil secara sekaligus untuk
melakukan kedua diklat tersebut. Dan yang lebih sial lagi, aku jadi salah satu
orang yang tertinggal dalam daftar kelompok yang dipanggil diklat. Lalu
tersisalah aku dan dua teman lain yang juga ikut tertinggal. Efek samping
yang paling menyebalkan dari tertinggal diklat adalah kehilangan teman untuk
menghabiskan waktu.
Dalam menentukan relasi, selain faktor kesamaan, kita juga harus jeli dalam
melihat faktor lain. Aku akhirnya kembali meruncingkan parameter pencarian
relasi yang kubutuhkan. Sekarang aku bukan hanya mencari pegawai
Kementerian Keuangan yang ada di Ternate, aku menambahkan sebuah
kriteria lain, yaitu umur. Relasi yang kucari adalah mereka yang berumur tidak
terlalu jauh dariku. Dengan segala hormat, aku tidak pernah bermaksud untuk
menghindari golongan senior, hanya saja biasanya mereka yang seumuran
memiliki pola pikir dan hobi yang tidak jauh berbeda. Aku menghindari konflik
yang mungkin terjadi ke depannya.
orang sudah mulai terkumpul dan membuat sebuah grup pada aplikasi WhatsApp.
Orang-orang inilah yang nantinya jadi penggagas pergerakan anak-anak muda
Kementerian Keuangan di Ternate. Beberapa orang mungkin memandang
perkumpulan ini dengan sebelah mata, tetapi menurutku, kami yang mencoba
untuk membangun sinergi lebih baik daripada mereka yang memutuskan untuk
tidak peduli dan hidup dengan dunianya sendiri.
Puncak acara terbesar yang kami selenggerakan adalah Try Out PKN STAN
perdana di Maluku Utara. Di tengah sesaknya pekerjaan di kantor, kami bersusah
payah meluangkan waktu dan tenaga demi terselenggaranya acara ini. Tidak
sedikit kesulitan yang harus kami lalui, terlebih karena nama PKN STAN masih
asing di telinga anak-anak yang bersekolah di Indonesia Timur. Rentetan Try
Out PKN STAN yang kami selenggarakan dimulai dari tahap pembentukan
panitia, penyusunan waktu, sosialisasi, pemantapan acara, pelaksanaan, dan yang
terakhir adalah evaluasi.
Acara Try Out PKN STAN yang kami buat memang tidak semegah try out
yang ada di daerah lain. Tapi kami patut berbangga bahwa acara yang kami
selenggarakan murni dilaksanakan dari hati. Yang mungkin berbeda dengan
daerah lain, Try Out PKN STAN yang kami selenggarakan sama sekali tidak
dipungut biaya. Hebatnya lagi, semua peserta try out berhak mendapatkan snack
ringan. Belum lagi ditambah hadiah bagi tiga peringkat teratas. Dan hadiah yang
diberikan benar-benar bukan hanya sebuah formalitas. Peringkat pertama berhak
mendapat sebuah smartphone. Kalian bisa membayangkan sendiri bagaimana
perjuangan kami hingga semua hal yang kusebutkan tadi bisa benar-benar terjadi.
Setahun setelah terselenggaranya acara Try Out PKN STAN Perdana di Maluku
344
Utara, aku mendapat sebuah kabar yang mengejutkan. Ternyata, salah seorang
perserta try out tersebut benar-benar masuk PKN STAN. Dia adalah peringkat
pertama yang sebelumnya berhasil membawa pulang smartphone. Aku terkejut
karena ternyata try out yang terlaksana tidak hanya menjadi sebuah acara coba-
coba, tetapi juga memberikan dampak positif bagi pesertanya. Sebuah perasaan
yang tidak bisa dibayarkan oleh apa pun di dunia. Sebuah kebanggaan.
Selain mengadakan try out, kami juga sempat membuat kegiatan lain yang tidak
kalah menarik. Pada bulan Ramadan, kami sempat mengadakan acara buka puasa
bersama anak yatim dan pembagian takjil gratis di jalan. Mungkin perihal buka
puasa bersama anak yatim bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pembagian takjil
gratis di jalan jelas merupakan sesuatu yang tabu di Ternate. Tidak sekali takjil
yang mau kami bagikan ditolak karena kami dikira berjualan. Terkadang ketika
kita ingin melakukan sesuatu yang baik, belum tentu kita mendapatkan respons
yang baik juga. Tapi respons penolakan yang kami dapatkan adalah sesuatu
yang wajar karena di Ternate terdapat banyak sekali mahasiswa yang mencari
dana untuk kegiatannya di kampus dengan cara berjualan di sepanjang lampu
merah atau pinggir jalan. Untungnya, setelah orang-orang sadar bahwa kami
membagikan takjil secara gratis, mereka tidak segan untuk mengambil takjil yang
kami bagikan. Tepat beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang, takjil
kami habis.
Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan acara atau kegiatan yang kami
lakukan, kami bersyukur bisa saling mengenal satu lain. Terlebih karena sebuah
fakta bahwa kami adalah adalah seorang pendatang di sebuah kota di ujung
timur Indonesia. Kami telah sukses menjadi sebuah keluarga baru. Keluarga yang
mungkin tidak bisa didapatkan di tempat lain di Indonesia. Coba bayangkan, dari
sekian banyak daerah di Indonesia, berapa banyak daerah yang anak-anak muda
Kementerian Keuangannya mau bersatu untuk membuat sebuah perkumpulan
yang menghasilkan banyak hal positif?
Dua tahun yang lalu aku datang ke Ternate dengan langkah yang penuh
keraguan. Namun sekarang, dua tahun kemudian, sisa-sisa keraguan itu tidak
lagi tampak. Aku justru bersyukur ditempatkan di sini. Begitu banyak memori
dan hal yang mengesankan yang telah kulakukan. Kalau definisi rumah adalah
sebuah tempat yang membuatmu nyaman dan menjadi diri sendiri, maka kota
ini telah layak kusebut rumah. Lalu penghuninya tentu saja mereka semua yang
telah membantuku untuk bersenang-senang di kota ini. Terima kasih karena
Perekat Indonesia 345
telah mau membangun sinergi, karena tanpa kalian semua, kota ini mungkin
tidak akan terasa semenyenangkan ini. Oh iya, satu lagi, ternyata selain Ambon
dan Jayapura, Ternate juga akhirnya memiliki bioskop setelah setahun aku tinggal
di sini.
346
Salah satu upaya peningkatan kualitas negeri ditunjukkan oleh seorang figur
PNS KPP Pratama Banjarbaru, Fatimah Zachra Fauziah atau Lala. Banjarbaru
merupakan salah satu kota di Provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan
kota penempatan pertama Lala bekerja di Direktorat Jenderal Pajak sejak 18
Januari 2016. Selain sebagai PNS yang aktif dalam setiap pelaksanaan tugas
sebagai pelaksana, perempuan kelahiran Cirebon ini aktif dalam berbagai
bidang terutama untuk memajukan pendidikan Indonesia. Mengikuti program
Kemenkeu Mengajar Balikpapan 2016, sebuah kegiatan mengajar selama satu
hari di Sekolah Dasar yang digagas oleh Kemenkeu tentang peran Kementerian
Keuangan dalam upaya menjaga ekonomi negeri dan memperkenalkan profesi
yang ada di Kementerian Keuangan menjadi pilihan kali pertama Lala sebagai
relawan pengajar. Memiliki keinginan menjadi pengajar merupakan impian Lala
dan sifat yang melekat pada dirinya. Dekat dengan anak, melihat anak-anak
tersenyum, hingga berbagi ilmu mendorong dirinya untuk ikut berpatisipasi
menjadi relawan. Melihat respons anak-anak yang luar biasa, mendorong Lala
untuk terus mengembangkan kegiatan sosial terutama dengan pendidikan anak.
Yang tak kalah penting, menjadi sosok yang lebih percaya diri, menambah ilmu
kependidikan, memperbanyak relasi, serta bertemu dengan sosok-sosok hebat
dan menginspirasi menjadikan Lala lebih menemukan arti manusia sebagai
makhluk sosial sesungguhnya.