Anda di halaman 1dari 352

Perekat Indonesia 1

2
Perekat Indonesia 3

“Kementerian Keuangan adalah institusi yang memiliki


kewajiban dan tanggung jawab untuk terus menjaga
jahitan kesatuan Republik Indonesia. Anda bersumpah
setia untuk menjalankan satu misi (yang sama) yaitu
setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

SRI M U LYA N I I N DR AWATI


4

Pengarah:
Hadiyanto
Penanggung Jawab:
Dini Kusumawati
Kontributor:
Mujiyo, Arif Kurniawan, Ferry Fadillah, Ferry Hidayat,
Hanif Gustav, Arif Hermanu, M. Agung Triwijaya,
Budi Waluyo, Undani, Sidiq Gandi Baskoro, Krisna
Bayu Alamsyah, M. Taufan Dharmawan, Fritz Okta
Nehemnya, Raficha Fachryna, Satria Adhitama,
Ludovicus Fernando Ginting, Akhyar Gunawan,
Bellisa Gamelia Sembiring, Sahruni, Hafiiz Yusuf,
Azharianto Latief Baroto, Faisal Amin, M. Hisyam
Diterbitkan oleh Haikal, Riza Almanfaluthi, A. Govinda Jaharuddin,
Kementerian Keuangan Lis Kartika Sari Husana, Haryono Efendi, Lenni Ika
Republik Indonesia Wahyudiasti, Anandita Ramdhani Widigdya, Avviz
Gedung Djuanda I lt. 3, Jl. Dr. Elfarij, Muslikhudin, Pratanto, Made Krisna Aryawan,
Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat, Cahyo Windu Wibowo, Leonardo Simbolon, M.
10710 Rizky Rahardika Hartono, Siti Mulyanah, Nok Siti
www.kemenkeu.go.id Murni Sulistiyoningsih, Oji Saeroji, Andy Prijanto,
Dwi Joko Kristanto, Julhendra H. Saragih, Marihot
Pahala Siahaan, Adnan Wimbyarto, Abd Gafur,
Casman, Rahmatullah, Ahmad Iqbal Zakyuddin,
Sobron, Drajad Ulung Rachmanto, Ahmad Dahlan,
Teddy Ferdian, M. Try Sutrisno Gaus, Tri Sutopo,
Ayu Widyasari Primanda, Arif Rahman Hakim, Rudi
Andika, Penny Febriana, Afif Dodi Saputra Sinaga,
Muhkamat Anwar.
Editor:
Dodi Purnomo Sidi, Wardjianto, Cecep Hedi
Herdiman, Endi Hazar, Danang Endrayana Syeh
Qodir, Arif Musafa, Rifki Patra Ufasah, M. Azka
Ahdi, Desmiwarni.
Desain Cover dan Layout:
Venggi Obdi Ovisa
Perekat Indonesia 5

K A T
E S I A
E R E
O N
P D
N
I

Kisah Inspiratif Gerakan Indonesia Bersatu


di Kementerian Keuangan Republik Indonesia
6
Perekat Indonesia 7

Sambutan
Menteri Keuangan

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Salam sejahtera untuk kita semua.

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang


senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
Kementerian Keuangan sehingga dapat terus menjalankan
amanah membantu Presiden dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dalam mengelola dan menjaga keuangan negara.

Kementerian Keuangan memiliki pegawai lebih dari 80.000


orang yang bertugas di berbagai unit organisasi, baik di pusat
maupun di daerah, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Dengan cakupannya yang begitu luas, Kementerian Keuangan
memiliki potensi besar untuk menjadi perekat Indonesia yang
begitu bineka.

Buku “Perekat Indonesia: Kisah Inspiratif Gerakan Indonesia


Bersatu di Kementerian Keuangan Republik Indonesia”
ini disusun dari kisah dan contoh nyata perilaku jajaran
Kementerian Keuangan dalam upayanya meningkatkan daya
rekat sosial kemajemukan, baik dalam pelaksanaan tugasnya,
maupun di luar itu. Petikan-petikan kisah ini diharapkan
8

dapat menjadi inspirasi dalam bersikap dan berperilaku bagi seluruh pejabat/
pegawai Kementerian Keuangan agar kita sebagai warga negara yang sekaligus
juga sebagai Aparatur Sipil Negara dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa (baik di dunia nyata maupun dunia maya), tidak ikut terpancing pada
aktivitas-aktivitas yang dapat merusak ketahanan NKRI, menjaga netralitas
ASN, dan jangan sampai kita terpecah belah atau bahkan termasuk orang-orang
yang ikut memecah belah rumah kita, Indonesia.

Saya mengharapkan seluruh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan membaca,


memahami, menumbuhkan, dan mempraktikkan Gerakan Indonesia Bersatu
dengan sungguh-sungguh agar kita dapat kembali memaknai persatuan dan
kesatuan. Negeri ini berdiri di atas kemajemukan dan kita sepakat untuk bersatu,
bergotong royong, dan bahu-membahu membangun Indonesia tercinta.

Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada seluruh penulis,
editor, dan tim kerja yang telah berhasil menyusun buku ini. Semoga buku ini
dapat menjadi energi positif dalam berkarya bagi seluruh pejabat/pegawai di
lingkungan Kementerian Keuangan.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

S R I M U LYA N I I N D R AWA T I
Perekat Indonesia 9

Daftar Isi

12 - Gerakan Indonesia 57 - Mengasah Mutiara dari


Bersatu Papua
Penguat Persatuan, Perawat
Kebinekaan 75 - Magdalena, Sa Pu
Nama
Warna Nusantara
Negeri Bahari
18 - Kemenkeu Telah
Menyatukan Kami 82 - Badai Pasti Berlalu,
Insyaallah
26 - Merakit Persatuan di
Setiap Zona Waktu 85 - Sinergi Instansi Dedikasi
Untuk Pertiwi
32 - Multikultural
89 - Lentera Motivasi
37 - Anak Indonesia
96 - Filosofi Ombak
Barat-Timur Sama Saja
Beragam Dalam
42 - Kisah dari Timur Keberagamaan
Timor
104 - Coba Saja! Enak
47 - Anak Asuh Orang Kok!
Papua
107 - Surat Terbuka Untuk
50 - Mengapa Kita Tidak Gung Tirta
Tersenyum Saja?
109 - Peran Bintal Dalam
10

Pemulihan Trauma Pasca Masyarakat Setempat Dalam


Bom Surabaya Rangka Tour Of Duty

112 - Tingkatkan Integritas 176 - Jawaban Tuhan


Dengan Bintalnas Itu Bernama Kanwil
DJPb
Ekualitas Minoritas
180 - SIMPONI: Bukan
120 - Menjadi Bagian dari Sekadar Create Billing Setoran
Tenun Kebangsaan PNBP
124 - Menjadi Minoritas 183 - Satu Bumi Satu Saudara
128 - Gegar Lambung di 186 - Balada Pegawai Dan
Takengon, Gegar Budaya di Nelayan Pantai Fitu
Singkawang
191 - Perjalanan Yang Lebih
130 - Hidup Normal Bersama Berarti
Epilepsiku
Bersama Membangun
Sahabat Masyarakat Bangsa
138 - Layanan Filial di 198 - Infrastruktur Sumatra
Morowali Utara Dan Kesatuan Bangsa
Indonesia
142 - Integritas di Tapal
Batas 202 - Extra Miles Untuk
Indonesia
147 - Penyintas di Tepian
Pasifik 206 - Kolaborasi Tingkat
Dewa Satu untuk Semua
152 - Mitra Kerja
211 - Sosialisasi di Ujung
156 - Ketika Hati Menjadi Negeri
Teguh
216 - Patriotisme di Serambi
159 - PMK dan Perdirjen, Makkah
Pahlawanku
221 - Sei Guntung Merajut
165 - Buku Saku Nasionalisme Dengan Bangga
Istimewa Membayar Pajak
171 - Sinergi Dengan
Perekat Indonesia 11

229 - Rumah Pajak Untuk 292 - Tentang Program


Anak Beasiswa LPDP

235 - Thong Ngin Fan Ngin 296 - Merajut Kesatuan


Jit Jong Melalui Pendidikan
Kedinasan
239 - Pajak Sebagai National
Security 302 - Sekolah Rimba di
Taliabu
Bertaut Melawan Takut
Muda dan Berdaya
244 - Temankeu Lombok
308 - Kisah Kami, Kemenkeu
247 - Berkawan Dengan Rasa Muda Kei
Takut
313 - Nyala Kementerian
252 - Sebelas Ukhuwah di Kegunaan di Pedalaman
Atas Tanah Terbelah Kalimantan Timur
257 - Pahlawan 317 - Menjadi Ikan Besar di
Kolam Kecil
260 - Pengabdian di Tengah
Bencana 323 - Merawat Kebangsaan
Sekaligus Edukasi
265 - Jangan Mencari Keuangan Negara yang
Toleransi di Indonesia Menyenangkan
Kontribusi dalam 330 - Menabur Benih Sedari
Demokrasi Dini Untuk Mengakar
272 - Bersama Tak Harus 339 - Tentang Sinergi
Sama dan Penempatan di Ujung
Negeri
276 - Bergeser Tempat
Duduk 346 - Milenial, Kaum Sosial
Era Modern
Sejajar Belajar

282 - Bukan Mengajar, Kami


Belajar

287 - Semangat Berbagi,


Menebar Inspirasi
12

Gerakan Indonesia Bersatu


Penguat Persatuan, Perawat
Kebinekaan

Revolusi Mental dapat dimaknai sebagai suatu pendekatan


dalam mengejawantahkan cita-cita luhur para pendiri bangsa,
yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
memajukan kesejahteraan umum.

Semangat Revolusi Mental ada untuk melanjutkan perjuangan


besar mengisi janji kemerdekaan yang pertama kali dicetuskan
Presiden RI pertama Soekarno dalam pidato kenegaraan
memperingati proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus
1957. Revolusi Mental ala Soekarno adalah semacam Gerakan
Hidup baru untuk menggembleng manusia Indonesia
menjadi manusia Baru, yang berhati putih, berkemauan baja,
bersemangat Elang Rajawali dan berjiwa Api. Semangat revolusi
mental ini juga kemudian menjadi dasar bagi Soekarno pada
tanggal 17 Agustus 1964 untuk memperkenalkan gagasan
Trisakti, yaitu:

• Indonesia berdaulat dalam politik;


• Indonesia berdikari dalam ekonomi;
• Indonesia Berkepribadian dalam kebudayaan.
Perekat Indonesia 13

Gagasan Revolusi Mental ini kemudian pada tahun 2014


digaungkan kembali oleh Presiden ketujuh Republik Indonesia
Joko Widodo. Presiden Joko Widodo menyerukan untuk
memulai sebuah Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM)
untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru
demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan
berkepribadian. Dalam GNRM ini terdapat 5 (lima) program
yaitu: Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih,
Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan
Gerakan Indonesia Bersatu.

Gerakan Indonesia Bersatu adalah gerakan para penyelenggara


negara dan masyarakat untuk mewujudkan perilaku saling
menghargai dan gotong royong untuk memperkuat jati diri dan
karakter bangsa berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, dan NKRI. Fokus program Gerakan Indonesia
Bersatu terdiri dari:

1. Peningkatan perilaku yang mendukung kehidupan


demokrasi Pancasila.
2. Peningkatan perilaku toleran dan kerukunan inter
dan antarumat beragama.
14

3. Peningkatan perilaku yang mendukung kesadaran nasionalisme,


patriotisme, dan kesetiakawanan sosial.
4. Peningkatan kebijakan yang mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa.
5. Peningkatan perilaku yang memberikan pengakuan dan perlindungan
terhadap kaum minoritas, marginal, dan berkebutuhan khusus.
6. Peningkatan dukungan terhadap inisiatif dan peran masyarakat dalam
pembangunan.
7. Peningkatan perilaku kerja sama inter dan antarlembaga, komponen
masyarakat, dan lintas sektor.
8. Peningkatan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran yang
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
9. Penyelenggaraan pendidikan agama yang mengajarkan keragaman,
toleransi, dan budi pekerti.
10. Peningkatan peran lembaga agama, keluarga, dan media publik dalam
persemaian nilai-nilai budi pekerti, toleransi, dan hidup rukun.

Terkait Gerakan Indonesia Bersatu, Kementerian Keuangan merupakan unit


organisasi yang sangat besar dengan pegawai berjumlah lebih dari 80.000
yang tersebar ke berbagai penjuru Indonesia. Dengan cakupan yang begitu
luas, Kementerian Keuangan memiliki potensi yang besar untuk mendukung
pelaksanaan Gerakan Indonesia Bersatu dalam upayanya meningkatkan daya
rekat sosial dalam kemajemukan.

Beberapa contoh kebijakan/kegiatan yang dilaksanakan di Kementerian


Keuangan yang sejalan dengan Gerakan Indonesia Bersatu, antara lain:

1. Peningkatan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur


(dengan tetap diimbangi dengan pembangunan SDM).
2. Peningkatan standar pelayanan dan peningkatan edukasi publik
untuk membangun kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak
(sebagai salah satu bela negara untuk pembangunan bangsa).
Perekat Indonesia 15

3. Adanya kantor pelayanan/pos bantu/layanan filial di daerah


perbatasan atau yang sulit perhubungannya.
4. Optimalisasi desentralisasi fiskal dalam mendukung pembangunan
daerah yang berkelanjutan.
5. Upaya merangkul masyarakat dalam pembiayaan infrastruktur
(SUKUK Negara).
6. Pemberian materi kuliah Budaya Nusantara (atau materi lain terkait
nasionalisme, kebhinnekaan, patriotisme, bela negara) di PKN
STAN atau pada diklat (seperti kesamaptaan).
7. Kegiatan sosial di Kemenkeu, seperti: Kemenkeu Mengajar,
Kemenkeu Muda, Kemenkeu Peduli Bencana.
8. Pemberian Beasiswa LPDP.
9. Pemberdayaan Bintal, fasilitasi kegiatan keagamaan.
10. Upaya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah,
seperti: membuka ruang dialog publik/persuasif untuk para
pengunjuk rasa.
11. Netralitas pegawai dalam Pemilu/Pilkada.
12. Kebijakan Rekrutmen SDM formasi khusus disabilitas/putra putri
Papua.
13. Penyediaan sarana dan prasarana untuk pengguna layanan
berkebutuhan khusus.
16

A N TARA
S
NU
A
N
R
A
W
Perekat Indonesia P e r e k a t I n d o n e s17
ia

“Keragaman adalah keniscayaan


akan hukum Tuhan atas
ciptaan-Nya”

Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


18

Kemenkeu Telah
Menyatukan Kami
-
Mujiyo, KPP Klaten - DJP

“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Sebaiknya kita selalu mengikuti kebiasaan dan adat istiadat di


manapun kita berada.

“Desa mawa cara, Negara mawa tata”.

Desa mempunyai adat sendiri, Negara mempunyai hukum


sendiri.

Dua pepatah itulah modal awal saat aku pertama kali bertugas
di Pulau Bali yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau
Dewata. Selepas lulus STAN tahun 1996, aku ditugaskan di
Kantor Pelayanan Pajak Singaraja, tepatnya tanggal 8 Maret
1997. Sebelum berangkat dari kampung halamanku di Bantul
(DIY), aku diberi petuah/nasihat oleh ayahku akan pitutur
Jawa yang sangat dalam maknanya, yaitu “Desa mawa cara,
negara mawa tata”. Ayahku berpesan untuk berpegang teguh
akan pitutur tersebut. Untuk perjalanan dari Bantul menuju
Bali, aku memilih menggunakan angkutan darat (bus) dengan
pertimbangan lebih hemat dan agar saya bisa merasakan dan
melihat kondisi daerah Bali di sepanjang perjalanan. Berbekal
SK penempatan dengan pangkat IIa, aku menatap masa depan
dengan penuh optimis. Mental yang tertanam di dadaku adalah
mental transmigran, harus terbiasa hidup dalam kondisi serba
terbatas dan berusaha keras hidup mapan. Kebiasaan hidup
Perekat Indonesia 19

sehari-hari di Bantul seperti bertani, bercocok tanam, memelihara kambing


dan sapi, aku teruskan di Bali agar kelak aku betah tinggal di Bali, karena
ayahku adalah seorang petani kecil. Sebenarnya tidak ada mental birokrat dalam
diriku. KPP Singaraja terletak di Kabupaten Buleleng, tepatnya di Bali Utara.
Kebanyakan orang tidak tahu kota Singaraja. Yang dikenal dari Bali hanya Kuta,
Sanur, Nusa Dua, dan Denpasar yang terletak di Bali Selatan.

KPP Singaraja terletak di Jalan Udayana No. 10, Singaraja, menempati


Gedung Keuangan Negara (GKN) Singaraja. Di GKN tersebut ada 3 kantor
di bawah Departemen Keuangan yaitu Kantor Pelayanan Kas Negara (KPKN)
Singaraja, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) Singaraja,
dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Singaraja. Sebagai pegawai baru, aku belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dengan kondisi bahasa, suku, budaya,
adat istiadat, agama, dan kondisi lingkungan yang berbeda dengan kampung
halamanku. Rekan kerjaku hampir 75% beragama Hindu. Dalam pergaulan
sehari-hari terkadang mereka memakai bahasa Bali yang tidak kupahami artinya.
Tetapi aku berusaha untuk sedikit demi sedikit belajar bahasa Bali agar dalam
percakapan sehari-hari bisa nyambung dan ternyata hal ini mempermudah aku
dalam melayani Wajib Pajak karena memperlancar komunikasi kami. Dalam
hitungan bulan, aku sudah bisa menyesuaikan dengan lingkungan kerja. Dalam
kehidupan sehari-hari, aku tinggal di lingkungan Bali. Di sinilah aku berusaha
mengetahui adat istiadat dan budaya Bali.

Dalam keseharian tidak asing di telinga ini mendengar lantunan doa Puja
Trisandya dari pura dekat rumahku yang terdengar tiga kali sehari, yaitu pagi
(setelah subuh), siang (tengah hari/zuhur), dan sore (menjelang malam/magrib).
Aku merasa tidak terganggu dengan suara tersebut. Seperti halnya saudara-
saudara kami umat Hindu mendengar suara azan lima kali yang bersal dari
musala di samping rumahku. Kami hidup berdampingan dan saling menghormati
satu sama lainnya. Pada bulan Juni 1999 aku mendapatkan pengalaman yang
mungkin tidak dialami oleh PNS di daerah lain. Aku mendapat tugas ikut
program ABRI Masuk Desa yaitu membuat jalan tembus/jalan baru di desa
Gitgit, Sukasada, dan Buleleng. Bersama TNI, Polri, dan PNS dilingkungan
Pemda Buleleng, kami bersama-sama masyarakat sekitar membuat jalan untuk
akses warga yang mayoritas berkebun cengkeh, kopi, dan hasil perkebunan
lainnya dengan harapan setelah dibukanya jalan tersebut dapat mempermudah
mobilisasi warga dalam memasarkan hasil perkebunannya ke kota Singaraja.
20

Kami bergotong royong dengan menggunakan peralatan seperti cangkul, sekop,


dll.

Tanggal 12 Oktober 1999 adalah hari bersejarah bagi kami keluarga besar
Departemen Keuangan, khususnya GKN Singaraja. GKN Singaraja dibakar oleh
massa karena tidak puas dengan hasil Pemilu 1999. Pagi itu sehabis aku mengisi
presensi pagi, kami didatangi dan diberi tahu oleh aparat keamanan, bahwa
sebentar lagi massa akan menyerbu GKN Singaraja. Kami adalah saksi hidup
GKN Singaraja dibakar dan dijarah oleh massa. Mereka berpikir GKN (Gedung
Keuangan Negara) adalah gedung tempat menyimpan uang. Tiga kantor hangus
terbakar tanpa sisa. Semua gedung Pemerintahan di kabupaten Buleleng habis
dibakar massa. Kami tidak bisa berkata apa-apa, kami hanya bisa menangis atas
perbuatan anarkis massa yang tidak bertanggung jawab. Atas kejadian ini, kami
pegawai GKN Singaraja bersatu padu untuk bangkit dan mengatasi masalah
yang timbul akibat kami sudah tidak memiliki kantor lagi. Selama 3 bulan (dari
bulan Oktober 1999 s.d awal Januari 2000) kami tidak bisa beraktivitas maksimal
dalam pelayanan Wajib Pajak. Hal ini disebabkan sarana dan prasarana kantor
dalam kondisi yang sangat terbatas. Kami seluruh pegawai KPP Singaraja bersatu
tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Kami juga tidak pernah berpikir
atau berprasangka bahwa pembakar kantor kami adalah etnis tertentu. Yang ada
di pikiran kami, perusuh dan pembakar gedung kami adalah orang-orang yang
tidak punya jiwa memiliki dan rasa nasionalisme atas aset negara.

Untuk meningkatkan keimanan dan kekeluargaan, kami keluarga besar muslim


GKN Singaraja mengadakan pengajian rutin bulanan di kantor dan setiap
Iduladha kami mengadakan penyembelihan hewan kurban yang dagingnya
selain dibagi ke umat muslim juga dibagi ke keluarga besar GKN Singaraja
yang beragama Hindu, sebagai bentuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan kita.
Bagi umat Hindu di GKN Singaraja, ada pura tempat sembahyang bagi mereka.
Setiap hari ada umat Hindu yang sembahyangan dengan mempersembahkan
bunga atau canang yang ditaruh di tempat-tempat tertentu. Setiap bulan
Purnama dan Tilem ada sembahyangan, demikian juga enam bulan sekali
diadakan Odalan dan setiap perayaan umat Hindu seperti Galungan Kuningan,
Pagerwesi, Nyepi, Saraswati, dan hari raya Hindu lainnya. Saudara kami umat
Hindu melakukan sembahyangan bersama di pura tersebut.

Tuhan memberiku belahan jiwa di GKN Singaraja. Aku tidak pernah


menyangka akan mendapatkan istri gadis Bali. Tepatnya tanggal 28 September
Perekat Indonesia 21

Ayah mertuaku 2000, aku yang seorang


muslim dan calon istri yang
menikah dengan beragama Hindu. Dalam
proses pernikahan kami,
seorang bidan yang alhamdulilah aku sangat

beragama Katolik, dimudahkan dan tidak


ada halangan yang berarti.
ibu mertua kami ikut Dengan disaksikan oleh
Kepala KPP Singaraja, akad
ayah mertua yang nikah dilangsungkan di

beragama Hindu. musala samping rumah kami.


Dari keluarga besar istri
Ibu mertua dari dengan ikhlas melepaskan
kepindahan agama istri
Blitar dengan latar untuk menjadi seorang

belakang keluarga
muslimah karena mereka
berprinsip wanita harus
besar Muslim dan ikut suami. Ternyata bila
ditelusuri sejarah keluarga
Katolik. Inilah besar istri, ada kaitan antara
Jawa dengan Bali. Kakek
keluarga kami, dari istri adalah seorang

keluarga Pancasila. pejuang saat perang gerilya


di Yogyakarta pada tahun
1945. Beliau adalah seorang
polisi yang mengambil istri
dari Trenggalek dan seorang
muslim. Ayah mertua lahir
di Yogyakarta pada tahun
1948 dan mendapatkan
kenangan sebuah nama yang
berbau Jawa, yaitu I Gede
Guritno dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX
yang pada saat itu Beliau
sedang berkunjung ke markas
prajurit di Madukismo,
22

Yogyakarta. Setelah itu, kakek kami balik ke Bali. Ayah mertuaku menikah
dengan seorang bidan yang beragama Katolik, ibu mertua kami ikut ayah mertua
yang beragama Hindu. Ibu mertua dari Blitar dengan latar belakang keluarga
besar Muslim dan Katolik. Inilah keluarga kami, keluarga Pancasila. Sebagai
bentuk penghormatanku pada keluarga besar Bali yang beragama Hindu, nama
istriku tetap memakai nama Bali, yaitu Ni Putu Novy Avianti. Inilah salah satu
komitmen kami untuk keluarga Bali. Aku mendapatkan nasihat dari keluarga
Bali, “Agama boleh berbeda, tetapi hubungan keluarga dan kekeluargaan tidak
boleh putus sampai kapan pun”. Aku harus ingat dengan leluhur keluarga besar
Bali sebagai cikal bakal lahirnya istriku. Jika kuhitung, 25% darah yang mengalir
di tubuh istri adalah darah Bali. Berarti di tubuh anak-anak kami ada12,5%
darah Bali yang mengalir.

Kami tinggal di sebuah rumah sederhana dengan ukuran 72 m2. Kami tinggal
di perumahan BTN dengan penduduk mayoritas warga Bali asli. Warga muslim
lebih kurang 25% dari jumlah penduduk. Perumahan kami ada fasilitas tempat
ibadah pura dan musala. Kami hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Kami saling menghormati satu sama lain. Saat perayaan hari raya umat Hindu,
saudara Hindu selalu mengirim jaje Bali seperti tape ketan, uli, dodol Bali, dan
kue-kue lainnya. Demikian juga saat lebaran aku selalu mengirim opor ayam
dan ketupat kepada tetangga kami yang beragama Hindu. Kami berusaha hidup
menyama braya (bermasyarakat), membaur tanpa melihat perbedaan agama, suku,
dan bahasa. Saat ada kematian, aku pun melayat, demikian juga bila ada upacara
kelahiran (3 bulanan) dan perkawinan, pasti kami diundang. Kami dianggap
sudah menjadi bagian dari masyarakat Bali (semeton Bali).

Kehidupanku sehari-hari dengan semeton Bali ternyata memudahkan dan


membantuku dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari sebagai pegawai DJP.
Dalam menjalankan tugas sehari-hari kami banyak bersentuhan dengan Wajib
Pajak asli Bali. Dengan mempelajari bahasa budaya Bali, sangat memudahkan
kami dalam menyelesaikan tugas sehari-hari terutama saat aku bertemu langsung
secara tatap muka. Aku biasanya berkenalan, menceritakan asal usulku, juga
bercerita bahwa aku mempunyai keluarga besar dari Bali karena aku menikah
dengan orang Bali. Hampir seluruh WP sangat respek dan merasa nyaman saat
berkonsultasi denganku, tentunya dalam hal ini integritas tetap nomor satu dan
harga mati.

Aku belajar banyak tentang budaya Bali. Ada hal yang membuatku kagum dan
Perekat Indonesia 23

harus ditularkan ke anak cucu kami atau masyarakat Indonesia pada umumnya,
yaitu menjaga alam dan kekeluargaan, serta gotong royong. Masyarakat Bali
rajin dan selalu menanam tanaman. Setiap rumah pasti ada tanaman bunga
ataupun buah-buahan, sehingga pekarangan ataupun sejengkal tanah yang ada
selalu dimanfaatkan agar menghasilkan. Hal inilah yang membuat Bali sangat
indah dan hijau. Mental petani yang ada di jiwaku dan lokasi tempat tinggal
yang berada di pedesaan menuntutku untuk bercocok tanam di saat hari Sabtu-
Minggu. Sebuah selingan hidup yang menyenangkan di samping rutinitas
pekerjaan kantor yang menyita waktu, pikiran, dan jiwa raga . Bermodalkan
tanah hibah dari orang tua, aku menanam sayur mayur, pisang, pepaya, mangga,
dll. Alhamdulilah hasilnya bisa dibagi-bagi ke tetangga untuk mempererat
kekeluargaan kami dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat.

Pertengahan tahun 2011 aku pindah tugas ke Kantor Pelayanan Pajak Madya
Denpasar. Pindah tugas ini membuatku harus berpisah dengan keluarga. Untuk
menjaga psikologis anak-anak yang baru memasuki dunia sekolah, terpaksa kami
mengambil keputusan aku tinggal sendiri di Denpasar, sementara anak dan istri
tetap tinggal di Singaraja. Tinggal di kota besar Denpasar tentu sangat berbeda
dengan kota Singaraja. Di sini sehari-hari aku harus terbiasa dengan padatnya
penduduk dan hiruk pikuk kehidupan yang sangat dinamis dibandingkan dengan
kota Singaraja. Di kota Denpasar aku mendapatkan tambahan pengalaman
hidup berdampingan. Aku tinggal di perumahan di tengah kota Denpasar
milik orang tua istri. Di sini tetangganya lebih kompleks. Ada Muslim, Hindu,
Kristen, Katolik. Etnis dan sukunya pun beraneka, ada Jawa, Bali, Batak,
dan keturunan Tionghoa. Alhamdulilah kami sudah kenal lama sebelumnya,
sehingga membuat kehidupan sehari-hariku lebih nyaman. Saat aku pulang ke
Singaraja, rumah ku titipkan ke tetangga keturunan Tionghoa karena rumahnya
tepat di depan rumahku. Rekan-rekan kantor kami juga sangat menyenangkan.
Secara persentase hampir 70 % adalah muslim karena sebagian besar dari luar
Bali. Kehidupan di kantor kami pun begitu hangat dalam kekeluargaan. Kami
saling bahu membahu dalam mencapai target penerimaan kantor kami. Dalam
sehari-hari, kami melaksanakan salat Zuhur dan Asar secara berjamaah, rekan-
rekan umat Hindu juga sembahyang di pura belakang kantor. Sebulan sekali
umat Muslim mengadakan acara SABAR (Sarapan Bareng) yang diisi dengan
siraman rohani dengan mengundang ustaz dari luar mulai pukul 07.30 hingga
08.30. Rekan-rekan umat agama lain pun bila berkenan kami undang untuk ikut
sarapan bersama sebagi wujud kebersamaan kami.
24

Sebenarnya aku masih betah dan nyaman tugas di Bali, apalagi kami memiliki
keluarga besar di Bali dan aku sudah hampir tinggal di Bali selama 18 tahun.
Namun ada keinginan juga untuk bisa bertugas di home base agar bisa dekat
dengan orang tua dan anak-anak bisa sekolah di Yogyakarta. Alhamdulilah
tanggal 12 Juli 2015 keluar SK mutasiku ke KPP Pratama Klaten. Aku harus
berkemas dan bergerak cepat untuk mengurus surat pindah sekolah anak-anak
kami. Di Yogyakarta kami tinggal di sebuah dusun di pingggiran kota dengan
suasana desa yang mayoritas warganya sebagai buruh, petani, peternak sapi, dan
penarik andong untuk wisata di Malioboro. Kampungku boleh dibilang kampung
Andong Malioboro. Di sinilah kehidupan yang sebenarnya untuk hari tuaku
dimulai. Semoga ini terminal terakhirku karena di sini aku dapat mengajarkan
kepada anak-anak tentang unggah-ungguh dan tepo seliro sesuai dengan adat Jawa.

KPP Pratama Klaten terletak tepat di kota Klaten. Jarak tempuh dari rumah
lebih kurang 45 menit dengan mengendarai sepeda motor. Lingkungan dan
kondisi kantor sangat berbeda dengan saat aku di Bali. Di sini mayoritas
karyawan beragama Islam dan ada masjid yang cukup bagus sebagai salah
satu fasilitas kantor. Ada pengalaman yang menarik di Klaten, saat aku sedang
bertugas ke luar kantor (kunjungan ke Wajib Pajak), ketika aku memarkir
kendaraan, ada yang aneh yang membuatku serasa di Bali. Ternyata tanpa sadar
aku parkir kendaraan di depan pura! Aku benar-benar merasa seperti di Bali.
Demikian juga saat aku mengunjungi desa-desa di Klaten, banyak ku temui
tempat ibadah umat Hindu. Aku sengaja tidak memutasi plat kendaraanku
menjadi plat kendaraan Yogyakarta dengan pertimbangan sebagai salah satu
kenangan dari Bali. Bila di jalan aku menemukan kendaraan berplat DK, aku
merasa berjumpa dengan semeton Bali.

Aku sangat bersyukur menjadi bagian dari keluarga besar Kementerian


Keuangan. Dengan penempatan yang menjangkau seluruh Indonesia, aku
bisa belajar keanekaragaman budaya dari daerah lainnya, dalam hal ini Bali.
Aku mendapatkan nilai-nilai luhur budaya Bali yang dapat mempererat rasa
nasionalisme dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ternyata, penempatan
dan mutasi ke seluruh Indonesia memberikan berkah bagiku dan keluarga. Sudah
sepatutnya kebijaksanaan ini bisa dipertahankan. Aku mempunyai utang dengan
negeri ini. Mulai dari sekolah gratis di STAN hingga penugasan di Bali. Sebagai
anak bangsa, aku merasakan betul atas manfaat nilai- nilai luhur budaya bangsa,
dalam hal ini budaya Jawa dan Bali. Dua budaya tersebut telah membentuk
Perekat Indonesia 25

karakter hidup dalam keluarga kami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Sebagai bentuk kecintaanku dengan budaya Jawa dan Bali, pada tahun 2017,
dengan modal tabungan dan hibah dari orang tua, kami membangun rumah Jawa
(joglo, limasan) dengan konsep budaya Jawa dan Bali. Rumah tersebut kami beri
nama “Omah Pitutur Mudji HW”. Di rumah tersebut sengaja kubuat klasik
dan zadul dengan ornamen nilai-nilai luhur dan pitutur budaya Jawa. Terdapat
lukisan anak-anak yang menggambarkan permainan tempo dulu seperti gobak
sodor, bentik, engklek, boy-boy-an, kasti, lompat tali, dll. Kami juga memfasilitasi
Omah Pitutur dengan wayang, permainan tradisional gasing, dakon, kelereng, dll.
Rumah ini kami gunakan untuk aktivitas sosial nonprofit bagi anak-anak sekolah
mulai SD hingga SMA. Sebagai tempat kami berbagi pengalaman hidup dan
kebudayaan Jawa. Memotivasi anak-anak untuk mencintai budaya bangsa sendiri,
mencintai negeri ini. Konsep kami yaitu anak-anak harus berilmu, beriman, dan
berbudaya. Dalam setiap aktivitas motivasi selalu diselipkan tentang kebangsaan
dan nasionalisme. Anak-anak harus mencintai budaya Indonesia, mencintai
dan memakai produk dalam negeri, dan berwisata di dalam negeri. Kusisipkan
juga tentang APBN, pajak, dan keuangan negara. Harapanku generasi muda
sadar akan pajak dan paham akan keuangan negara. Selain itu, dengan adanya
kebijaksanaan flexi time bagi pegawai Kemenkeu juga merupakan berkah bagiku.
Aku bisa pulang lebih cepat 30 menit karena sudah delapan tahun terakhir ini
aku membiasakan diri datang lebih awal yaitu pukul 06.30 WIB. Dengan pulang
lebih cepat, ternyata memberikan dampak yang baik bagi kehidupan sosialku.
Aku bisa salat Magrib berjamaah di masjid kampung dan bertemu tetangga
setiap hari. Aku juga bisa menghadiri acara-cara keagamaan, kegiatan sosial,
ronda, rapat kampung, dll. Saat bersosialisasi dengan tetangga, aku bisa berbagi
pengalaman dan kisah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tidak sedikit teman-teman yang datang mengajak wedangan sembari mengulas
tentang dolanan anak-anak masa lalu, gamelan, wayang, omah Jawa, dll.

Terima kasih Kementerian Keuangan yang telah mendukung kami untuk dapat
berkontribusi dan bermanfaat, baik di kantor maupun di masyarakat. Perbedaan
adat-istiadat, budaya, dan agama, terbukti dapat menyatukan kita, agen
pemersatu Bangsa.
26

Merakit Persatuan di Setiap


Zona Waktu
-
Arif Kurniawan, KPPN Bima - DJPb

Empat kali penempatan tugas membuatku mengenal ragam


bahasa, adat, dan budaya dari berbagai suku, ras, dan agama di
tiga zona waktu Indonesia. Semuanya adalah keluarga besarku.
Selamanya.

November 1998, aku menginjakkan kaki di zona waktu


Indonesia bagian timur, tepatnya di Tual, Maluku Tenggara,
bersama seorang teman satu angkatan. Perjalanan empat hari
tiga malam harus kami tempuh dengan kapal PELNI dari
Surabaya, karena saat itu pesawat terbang tidak terjangkau
harganya. Sebelumnya tidak ada lulusan STAN yang ditugaskan
di sana, sehingga kami mesti intens membaur dengan
masyarakat setempat. Alhamdulillah, kami disambut dengan
baik. Kendala yang ada dalam melayani stakeholders, terutama
dari segi bahasa, dapat diatasi dengan seringnya bertanya kepada
rekan sekantor.

Namun ternyata ada kendala lain menyangkut keberlangsungan


hidup. Kami tinggal di rumah dinas darurat yang saluran air
PDAM-nya sudah diputus. Status sebagai tenaga honorer
dengan upah bulanan yang tidak banyak, sedangkan biaya
hidup sangat tinggi, membuat kami harus pintar-pintar untuk
dapat terus bertahan. Kami pun memutuskan untuk memasak
sendiri. Di situlah kami rasakan rekatnya persaudaraan. Para
tetangga berbaik hati menyumbang peralatan memasak, mulai
Perekat Indonesia 27

dari kompor, panci, dandang, penggorengan, bahkan ember. Untuk memenuhi


kebutuhan air, selain menampung dari air hujan, kami juga mendapatkan
sumbangan dari para tetangga saat air PDAM mengalir seminggu sekali setiap
hari Rabu pukul 09.00 selama 3 jam. Saat penampungan air mereka sudah
penuh, kami menarik selang untuk dialirkan ke penampungan rumah, selain juga
menampung di ember-ember.

Persaudaraan pun tetap berlangsung erat, walaupun empat bulan setelahnya, ada
ujian besar, ketika kami mesti berjibaku dengan nyawa.

1 April 1999, kerusuhan sosial bernuansa agama melanda Maluku Tenggara


dan memaksaku menjadi pengungsi. Lebih kurang dua bulan aku berkelana
dengan status tersebut dan setelahnya aku kembali ke Tual dalam situasi yang
sudah aman tapi mencekam selama sekitar satu tahun. Meskipun demikian, hal
tersebut tak menyurutkan langkahku untuk terus merajut persaudaraan dengan
masyarakat sekitar. Misalnya, dalam perjalanan pulang pergi dari rumah dinas
ke kantor, aku mesti melalui pemukiman penduduk yang umumnya memelihara
anjing penjaga yang akan menyalak ketika lewat orang yang tidak dikenal. Oleh
pemiliknya, anjing-anjing tersebut “dikenalkan” kepadaku dengan menyuruhnya
membaui, sehingga perjalananku pun menjadi aman.

Ketika saatnya hari raya Natal tiba, penduduk sekitar yang beragama Nasrani
berkeliling untuk saling mengucapkan selamat. Tak ketinggalan rumahku pun
ikut disapa. Dengan senang hati aku menyediakan makanan dan minuman
ringan, serta camilan kesukaan anak-anak berupa permen dan uang saku
sekadarnya. Saat itu, aku bahkan sampai hafal beberapa kidung Natal karena
sering mendengarnya ketika rekan-rekan kantor berlatih. Pun saat hari raya
Idulfitri, para tetangga juga berkunjung tanpa mengenal agama dan dengan tulus
saling memaafkan.

Tiba saatnya saat aku dipindahtugaskan ke zona waktu Indonesia bagian tengah,
Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan diamanahi sebagai tenaga protokoler Kanwil
DJPb. Saat itu, dengan status Kepala Kanwil DJPb adalah Kepala Perwadep
(Perwakilan Departemen), membuatku melayani siapa pun yang berkunjung ke
Kanwil DJPb, baik dari internal DJPb, maupun dari unit Eselon I lain yang tidak
memiliki kantor vertikal di daerah, bahkan dari kementerian/lembaga lain saat
ada kegiatan di Mataram, seperti Setwapres. Semuanya kujalani dengan senang
hati karena secara personal aku pun mendapatkan banyak saudara baru.
28

Saat itu, Kanwil DJPb dipercaya untuk menjadi penyelenggara pendaftaran


calon mahasiswa baru STAN. Dengan melihat antusiasme para pendaftar pada
tahun sebelumnya, pada tahun itu kami berinisiatif untuk menyelenggarakan try
out ujian masuk STAN agar para pendaftar memiliki persiapan yang lebih baik.
Kegiatan tersebut akhirnya terselenggara dengan bahu-membahu bersama rekan-
rekan alumni STAN dari DJP, DJBC, dan DJKN, dan kabarnya, acara tersebut
adalah acara yang pertama kali terselenggara di wilayah NTB. Selain bermanfaat
untuk para calon mahasiswa, dengan adanya acara tersebut juga menjadi sarana
untuk menjalin keakraban antaralumni, dengan kegiatan makan siang bersama
setelah acara, serta kunjungan bersama ke tempat wisata yang ada di kota
Mataram.

Waktu terus bergerak. Empat tahun berada di zona bagian tengah, aku
dialihtugaskan ke zona waktu Indonesia bagian barat, di ibu kota negara, Jakarta.
Peran sebagai penggawa perancang dan pengharmonisasi peraturan di bidang
perbendaharaan, membuatku berkoordinasi secara intens dengan hampir seluruh
unit Eselon II DJPb dan unit Eselon I Kemenkeu, serta banyak kementerian/
lembaga. Dalam penyusunan PP Nomor 45 Tahun 2013 (Tata Acara Pelaksanaan
APBN) misalnya, aku berkesempatan untuk turut berkoordinasi dan datang ke
Kemenkumham, Kemendagri, Bappenas, Kemensetneg, dan LKPP. Dalam proses
pengalihan administrasi belanja PNS, Polri, dan TNI, aku pun turut wira-wiri
ke KemenPANRB, BKN, Mabes Polri, Mabes TNI, maupun Kemhan. Banyak
hal yang aku dapatkan dari kesempatan ini, paling tidak, setelah aku tidak di
Jakarta lagi, sampai dengan saat ini pun aku masih sering berkomunikasi ataupun
bertukar informasi dengan para pejabat/pegawai dari kementerian/lembaga
tersebut.

Setelah sembilan tahun, akhirnya aku kembali lagi ke zona waktu Indonesia
bagian tengah, tepatnya di Bima, NTB. Dalam waktu tiga tahun itu, dengan
berbagai peristiwa yang kualami, membuatku merasa, inilah nikmatnya berperan
sebagai pejuang perbendaharaan di daerah, walaupun sekali lagi, aku kembali
menjadi pengungsi.

21 dan 23 Desember 2016, banjir bandang terbesar sepanjang sejarah republik


ini berdiri melanda Kota Bima dua kali. Sekitar tujuh puluh persen wilayah kota
terendam air bercampur lumpur. Rumah dinas KPPN Bima pun turut terendam
setinggi sekitar satu meter, membuat para penghuni harus mengungsi. Beruntung
untuk KPPN Bima bangunannya tinggi, sehingga tidak sampai terendam.
Perekat Indonesia 29

Separuh pegawai KPPN Bima


pun akhirnya berkumpul di
kantor selama hampir dua
minggu. Namun tidak itu saja,
dengan lingkungan sekitar
yang hampir seratus persen
terendam banjir, membuat
aula KPPN Bima menjadi
tempat penampungan sekitar
dua ratus pengungsi dari
warga sekitar selama lebih
kurang seminggu. Saat itu

Namun tidak
PLN sepenuhnya padam,
air PDAM tidak mengalir,
itu saja, dengan jaringan komunikasi terputus,
ditambah perdagangan
lingkungan sekitar lumpuh, sehingga para
pengungsi sepenuhnya
yang hampir seratus mengandalkan pasokan

persen terendam makanan dari BNPB. KPPN


Bima menjadi tumpuan
banjir, membuat dengan adanya generator
set (genset) yang menjamin
aula KPPN Bima para penghuni kantor

menjadi tempat termasuk pengungsi untuk


mendapatkan pasokan listrik
penampungan serta aliran air bersih. Para
pengungsi pun dapat mandi
sekitar dua ratus dan mencuci. Beruntung juga

pengungsi dari masih ada stok air mineral


galon sehingga KPPN Bima
warga sekitar dapat menyediakan air minum
untuk para pengungsi. Selama
selama lebih kurang ada pengungsi di kantor,

seminggu.
aku dan rekan-rekan KPPN
Bima berkoordinasi dengan
BNPB untuk penyediaan
30

makanan tiga kali sehari, dengan menggunakan handy talky yang disediakan oleh
Polres Bima Kota. Peran penting KPPN Bima dalam menangani para pengungsi
tersebut diakui oleh pemerintah daerah Kota Bima. Selain itu, meskipun masih
dalam masa pengungsian tersebut, KPPN Bima juga masih melayani stakeholders,
walaupun dengan pakaian dan makanan seadanya yang merupakan bantuan
dari Kanwil DJPb dan para KPPN lingkup Provinsi NTB, karena nyaris semua
pakaian ikut terendam lumpur.

Ketika datang ke Bima, aku mengaktifkan kembali hobi yang lama sudah tidak
kujalani, yaitu naik sepeda. Bulan kedua di Bima, aku mulai menelusuri jalanan
setiap Sabtu dan Minggu. Tak ternyana, dengan hobi itu aku bertemu dengan
orang-orang yang punya hobi sama dan dimasukkan ke dalam anggota salah satu
klub. Anggota klub tersebut berjumlah lebih kurang empat puluh orang yang
kemudian secara rutin mengadakan kegiatan bersama pada setiap akhir pekan.
Mereka berasal dari PNS daerah, termasuk beberapa dokter, pegawai BUMN dan
BUMD, dan wirausahawan. Setiap tahun kami juga mengikuti event besar seperti
kegiatan hari ulang tahun Kota Bima maupun acara sepeda wisata Kabupaten
Bima. Banyak hal yang kudapat dari hobi tersebut, misal dari sisi materi, aku
pernah mendapatkan door prize sepeda gunung. Namun yang lebih dari itu, aku
mendapatkan banyak saudara baru yang saling terikat rasa memiliki. Walaupun
sebagian dari anggota grup tersebut telah keluar dari Bima - karena mereka
berstatus seperti aku yang tugasnya dapat dimutasi ke seluruh pelosok negeri, tapi
kami tetap aktif di grup dan saling mengabari.

Sebagai Kepala Seksi Bank, sejak datang ke Bima, aku mencoba aktif
berkomunikasi dengan pemimpin perbankan, pos, dan pegadaian. Mereka
mempertanyakan mengapa tidak ada lagi gebyar Hari Oeang di Bima.
Berdasarkan hal tersebut dan juga atas dasar pemikiran untuk lebih saling
mempererat persaudaraan di internal Kemenkeu, Kepala KPPN Bima
menugasiku untuk menjajaki komunikasi dengan KPP dan KPKNL, agar mulai
tahun 2017 Hari Oeang tidak hanya sekadar diperingati dengan upacara saja,
tapi juga dengan kegiatan-kegiatan yang lebih meriah. Ternyata sambutan dari
KPP dan KPKNL sangat positif, aku pun didaulat untuk menjadi koordinator
kegiatan dengan menyelenggarakan berbagai pertandingan dan perlombaan
antarinstansi, seperti bola voli, tenis meja, bulu tangkis, catur, domino. Sementara
untuk kegiatan kebersamaan dengan stakeholders, dilaksanakan kegiatan jalan
santai, senam, pemeriksanaan kesehatan gratis, donor darah, dan bakti sosial
Perekat Indonesia 31

berupa santunan baju bekas layak pakai dan Sembako. Untuk perbankan, pos, dan
pegadaian, diselenggarakan kegiatan lomba futsal. Hal yang aku kenang dalam
dua tahun penyelenggaraannya adalah para kepala instansi memberikan atensi
dan selamat kepada kami karena penyelenggaraan kegiatan berjalan dengan
meriah dan kembali mempererat hubungan antarpelaku keuangan di Bima.

Bulan Oktober 2018, bersama rekan-rekan gabungan KPPN Bima, KPP


Pratama Raba Bima, KPKNL Bima, dan KP2KP Dompu, kami berkesempatan
menyelenggarakan Kemenkeu Mengajar untuk pertama kalinya di Bima.
Kegiatan ini dilaksanakan di SDN 45 Pane Kota Bima yang walaupun berlokasi
di kota, tapi kondisinya cukup memprihatinkan, mengingat bahwa pada saat
banjir bandang tahun 2016, gedung sekolah tersebut terendam sedalam lebih dari
separuhnya, sehingga hampir seluruh peralatan sekolah mengalami kerusakan.
Lokasi sekolah tersebut memang lebih rendah dari jalan raya, terletak di
pemukiman kampung di kota, sehingga murid-muridnya sebagian besar berasal
dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Betapa trenyuhnya ketika aku di
kelas dua yang menjadi tanggunganku, bahwa sebagian murid ditinggalkan orang
tuanya merantau menjadi TKI di negara tetangga, bahkah ada yang diasuh oleh
kakek neneknya atau paman bibinya, karena kedua orang tuanya sama-sama
menjadi TKI. Saat itulah aku merasakan bahwa kehadiran kami sedikit-banyak
dapat memberikan arti, mengajak mereka belajar sambil bergembira selama
separuh hari, hingga ketika tiba waktu kami berpamitan, beberapa siswa pun ada
yang menangis.

Dua puluh tahun aku mengabdi di Kementerian Keuangan di Direktorat


Jenderal Perbendaharaan. Memang hanya empat tempat yang kusinggahi untuk
bekerja, tapi dari semuanya, selalu meninggalkan rasa persaudaraan ketika harus
meninggalkan. Aku berkeyakinan, bahwa di setiap tempat yang kita tempati,
semua tugas akan dapat diselesaikan oleh siapa pun orang yang ada di sana pada
saat itu. Namun di luar hal tersebut, ada hal yang lebih penting yaitu membina
persaudaraan, karena pada saat kita meninggalkan, jejak kitalah yang akan
tertinggal dan itulah yang akan dikenang oleh orang.
32

Multikultural
Ferry Fadillah, Sekretariat DJBC
-

Kementerian Keuangan adalah organisasi pemerintah yang


besar dan memilki sebelas unit Eselon I. Beberapa unit memiliki
satuan kerja vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti
pada Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 11
tahun 2017 memberi isyarat adanya pola mutasi dalam jangka
waktu tertentu. Sebagaimana termaktub dalam pasal 190, “(2)
setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu)
Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat…; (3) Mutasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun”, maka perpindahan pegawai
dari satu satuan kerja pada sebuah kota/provinsi ke kota/
provinsi lain adalah wajar.

Pola mutasi inilah yang menyebabkan komposisi ras, suku,


dan agama pada sebuah kantor menjadi heterogen. Walaupun
bekerja di daerah dengan mayoritas Islam misalnya, sebuah
satker DJBC juga memiliki pegawai yang beragama Hindu dan
Kristen. Dalam setiap agenda keagamaan, mereka diberi ruang
dan waktu untuk mengekspresikan penghayatan ketuhanan
masing-masing. Ini dapat dibuktikan dalam struktur pengurus
pembinaan mental di DJBC yang terdiri dari komponen Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Keragaman agama dalam
mencapai tujuan bersama organisasi ini benar-benar kurasakan
Perekat Indonesia 33

ruhnya saat bekerja di Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB, dan NTT. Tak sebatas
sebagai pegawai kantoran, tetapi juga anggota masyarakat yang turut merasakan
denyut aktivitas Pulau Dewata.

***

Akhir 2009, aku mendarat di Bali bersama nenek dan ibu. Itu adalah kedatangan
pertamaku ke Bali. Sebelumnya aku hanya mengenal Bali dari cerita para
pelancong. Mereka bilang Bali adalah kebebasan, wanita, alkohol, berhala, laut,
dan kemewahan. Aku mengaminkan semua itu dan menjadikannya kepercayaan.

Sejak kecil, aku biasa bergaul dengan teman yang memiliki kesamaan agama dan
etnis. Agama dan kebiasaan yang terbentuk itu secara tidak sadar telah menjadi
acuan kebenaran dalam memandang segala sesuatu. Maka timbul kegelisahan di
dalam batin saat mengamati setiap sudut kehidupan di Bali. Semuanya hampir
berbeda dengan agama dan kebiasaan asalku. Mengapa ada banyak patung?
Mengapa ada banyak sajen di jalanan? Mengapa ada dupa di pojok ruangan?
Kenapa bar terbuka dan terlihat di jalan? Mengapa indekos tidak memisahkan
penghuni pria dan wanita? Dan mengapa-mengapa lain yang menuntut jawaban
pasti.

Bukannya mencari jawaban dari orang Bali atau membaca buku tentang Bali,
aku malah membatasi pergaulan hanya dengan pegawai dan masyarakat dari asal
daerah dan agama yang sama. Sehingga diam-diam aku menumpuk kecurigaan.
Ide tentang negara teokrasi dengan undang-undang berbasis moral ilahiah
sempat menjadi peganganku. Singkat pikir, hanya Islam-lah yang memegang
teguh sila pertama dari Pancasila. Agama-agama nonmonoteisme, apalagi yang
memanifestasikan tuhan dalam sosok anthropomorphism tidak pantas disebut
pengamal Pancasila yang sejati. Aku harus memurnikan Bali dari penyimpangan
itu.

Hidup sebagai minoritas di Bali dengan kecurigaan seperti itu membuat


hatiku sempit. Di mana-mana aku selalu menyalahkan sistem dan masyarakat.
Tak hanya kepada mereka yang berbeda agama, kepada sesama pegawai yang
seagama yang memiliki praktik ibadah yang berbeda pun aku kerap ribut. Zaman
kegelapan itu berlangsung selama satu tahun. Untungnya, identitas itu cair, semua
manusia pembelajar selalu dalam proses menjadi.
34

Tahun-tahun berikutnya, aku banyak membaca


filsafat. Yang paling berkesan adalah saat
Di kantor, tak
mendengar kuliah yang diampu oleh Prof.
Bambang Sugiharto tentang filsafat ilmu
ada sekat
melalui DVD. Di situ dijelaskan bahwa antara dia
kepercayaan akan kemurnian adalah konyol.
Agama itu murni dari level ilahiah tapi saat yang Islam,
ia turun ke bumi melalui para rasul dan
disebar melewati ruang dan waktu akan selalu
dia yang
ada interpretasi terbuka yang disesuaikan Hindu, atau
dengan semangat zaman (zeitgeist). Oleh
sebab itu, agama menjadi dinamis dengan dia yang
tetap memperhatikan hal-hal yang prinsipiil.
Pikiranku terbuka dan perkawanan dengan
Kristen.
penganut Hindu dimulai. Semua
Aku menikmati perbincangan teologis dengan pegawai
kawan Hindu di kantor. Ketika aku bertanya
konsep ketuhanan seperti apakah yang bekerja
dianut Hindu, mereka dapat menguraikan
dengan rinci, sehingga kusimpulkan bahwa
saling
mereka pun tidak menyimpang dari sila tolong-
menolong
pertama Pancasila. Tak berhenti sampai di
sana, aku beberapa kali mengunjungi pura
kantor untuk melihat praktik keberagamaan
mereka dan mengunjungi gereja Katolik
sesuai
untuk memperhatikan kegiatan kepemudaan. tugas dan
Kunjungan itu membawaku kepada
kesadaran bahwa ada kenyataan lain yang fungsinya.
tak terbantahkan di luar praktik agamaku.
Dan kenyataan itu bukan untuk ditiadakan
tapi dipahami untuk mencari simpul-simpul
kesamaan.

Dialog antariman dan melihat langsung


peribadatan pemeluk agama lain selama
bertahun-tahun di Bali telah meningkatkan
Perekat Indonesia 35

ambang toleransi. Aku tidak lagi risih dengan patung dewa-dewi yang bertebaran
di setiap penjuru kota. Sajen (banten) dan dupa di sudut-sudut ruangan juga hal
yang biasa. Setiap orang di setiap daerah memiliki cara menghayati pengalaman
kebertuhanan mereka. Hal tersebut tidak terbatas antaragama, tapi dalam
spektrum satu agama. Praktik ini sangat terlihat dalam ajaran Hindu Bali yang
mampu berdamai dengan mazhab Syiwa, Wisnu, dan Buddha sekaligus.

Di kantor, tak ada sekat antara dia yang Islam, dia yang Hindu, atau dia yang
Kristen. Semua pegawai bekerja saling tolong-menolong sesuai tugas dan
fungsinya. Saat umat Hindu merayakan hari raya Galungan dan Kuningan,
kawan-kawan Islam dan Kristen dengan ikhlas membantu tugas pengawasan
dan administrasi agar proses bisnis kantor tetap berjalan. Begitu juga ketika
umat Islam dan Kristen merayakan hari raya, umat Hindu turut membantu
tugas mereka di kantor. Keragaman dan kolaborasi yang dinamis inilah miniatur
Indonesia dalam ikat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kebinekaan ini sebenarnya lebih terasa di luar lingkungan kantor. Bali sebagai
daerah eksotis yang terbuka sudah selama berabad-abad menerima perbedaan
sebagai kenyataan. Perbedaan itu tidak saja berada dalam sekat-sekat dan batas-
batas yang tidak dapat dilampaui, tapi juga mencapai titik akulturasi. Di beberapa
daerah seperti Kuta dan Buleleng, dapat ditemukan perkampungan muslim-
bugis yang ternyata masyarakatnya dapat berbahasa Bali dengan fasih. Di Desa
Adat Tuka yang mayoritas Katolik, penduduknya tetap menggunakan pakaian
adat Bali saat kebaktian di katedral yang juga berarsitektur Bali. Di Ubud,
gaya lukisan batuan yang khas terpengaruh aliran lukis modern yang dibawa
oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Pelukis batuan dapat memadukan gaya
klasik pewayangan dan gaya miniaturis modern sehingga menghasilkan lukisan
hybrid yang khas dan berkesan magis. Pada kasus ini, seni tidak berhenti di titik
akulturasi, tapi menembus hingga titik asimilasi.

Masih banyak contoh kolaborasi antaretnis, agama, atau aliran seni di lingkungan
kantor maupun kehidupan masyarakat. Tak hanya di Bali, tetapi juga di seluruh
daerah penempatan para pegawai Kementerian Keuangan. Kolaborasi itu secara
sporadis diberi label multikulturalisme di dalam pidato para pejabat. Namun,
menurut Amartya Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Identitas”, dukungan
lantang terhadap multikulturalisme akhir-akhir ini sesungguhnya tak sekadar
pleidoi terhadap monokulturalisme majemuk. Sen menjelaskan, “Jika seorang
gadis dari keluarga imigran konservatif hendak pergi kencan dengan cowoknya
36

yang Inggris, maka jelas ada inisiatif multikultural dalam hal ini. Sebaliknya,
upaya orang tua sang gadis untuk mencegah dia berkencan sulit untuk bisa
disebut sebagai sikap multikultural, sebab menjaga agar budaya masing-masing
tetap terpisah. Multikulturalisme ditandai dengan bauran-bauran yang interaktif
antarentitas yang berbeda. Dan dalam hal ini, Kementerian Keuangan berhasil
mewujudkannya sehingga dapat menjadi contoh satu padunya Indonesia dalam
bingkai multikulturalisme.
Perekat Indonesia 37

Anak Indonesia
Ferry Hidayat, KPKNL Tangerang II - DJKN

Oktober 1996, aku “diterjunkan” oleh kantor pusat DJKN (d/h


BUPLN) untuk membantu tugas-tugas KPKNL Sorong (d/h
KP3N Sorong). Aku termasuk alumni pertama Prodip III
PPLN. Dan itulah awal perkenalanku dengan Indonesia Timur..

Sebagai anak muda yang seumur hidupnya tinggal di Jabotabek,


hidup di Papua tentu merupakan pengalaman baru yang
menakjubkan. Aku belajar tentang keragaman suku bangsa dan
budaya Indonesia. Di sana juga belajar tentang toleransi. Kota
Sorong adalah kota yang sangat majemuk. Hampir semua suku
di Indonesia ada. Para guru banyak berasal dari Toraja, tukang
cukur dari Madura, pedagang dari Bugis – Makassar. Dan
toleransi agama di sana sangat terjaga. Di kota Sorong, jika hari-
hari besar keagamaan datang, warga pun saling mengunjungi.

Aku menikah dengan wanita suku Makassar. Dua anak kami


lahir di Sorong dan satu di Tasikmalaya.

Setelah tugas di Sorong selama 8 tahun, aku dimutasikan ke


Tasikmalaya. Di sini aku belajar tentang bagaimana menjadi
manusia yang santun, gaya berbicara yang halus, dan sangat
menjaga tata krama.

Delapan tahun aku bertugas di Tasikmalaya, memberiku oleh-


oleh berupa penguasaan bahasa Sunda yang baik. Aku bersyukur
karena kelak bahasa ini berguna untuk mengakrabkan suasana
jika aku bertemu warga Sunda.
38

Selesai bertugas di Tasikmalaya, aku dimutasikan ke pulau Bangka. Di sini aku


menemukan, bahwa bukan hanya suku asli Indonesia yang ada di sana, tapi juga
suku keturunan Tionghoa. Ini lebih memberi warna dalam hidupku bagaimana
selama ini orang menilai suku Tionghoa tidak nasionalis dan eksklusif. Ternyata
di Bangka meraka kawin-mawin dengan WNI nonketurunan dan banyak juga
yang menjadi PNS. Mengabdi untuk daerahnya. Bahkan Bupati Belitung Timur
pada saat aku berdinas adalah warga keturunan.

Dan sebagai penutup, aku bersyukur bekerja di Kemenkeu karena aku


mendapatkan kesempatan untuk memahami bagaimana luasnya negeri ini,
bagaimana beragamnya negeri ini, dan bagaimana kami (pegawai Kemenkeu)
menjadi perekat bangsa. Karena bertugas di Kemenkeu, aku menikah dengan
suku lain (aku suku Sumatra Selatan). Sehingga anak-anak kami dengan bangga
kami katakan sebagai anak Indonesia. Bukan anak Makassar. Bukan anak
Sumatra Selatan.
Perekat Indonesia 39
40

“Sebab Indonesia adalah barat, tengah,


dan timur, tak boleh ada bagian yang
jatuh tersungkur.”

Najwa Shihab
Perekat Indonesia 41

S AJA
R S AMA
M U
-TI
R AT
BA
42

Kisah dari Timur Timor


Hanif Gustav, KPPBC TMP B Atambua - DJBC

“Terdepan terbaik” begitu bunyi jargon Bea Cukai Atambua


yang merupakan salah satu unit eselon III di bawah naungan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
Bea Cukai Atambua mungkin satu-satunya unit eselon III
di bawah naungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
naik tipe dua grade, dari sebelumnya Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Pratama Atapupu menjadi
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya
Pabean B Atambua. Lokasi kantor juga sempat berpindah-
pindah dari bangunan kecil di pelabuhan Atapupu ke rumah
toko (ruko) tiga lantai di pusat kota Atambua, hingga terakhir
menjadi bangunan permanen dua lantai di daerah Haliwen,
dekat bandara A.A. Bere Talo, Atambua.

Kami bergabung dengan Bea Cukai pada akhir tahun 2016


sampai dengan saat ini. Kesan pertama ketika berada di
Atambua adalah panas dan susah air. Faktanya salah satu
iklan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan yang pernah
terkenal dengan istilah sumber air su dekat melakukan shooting
di Atambua. Aku masih ingat hari pertama di Atambua. Kala
itu disambut oleh hujan deras, sinyal hilang, listrik padam, dan
air dari PDAM tidak mengalir. Hanya di Atambua aku harus
mengumpulkan air hujan di ember untuk keperluan mandi dan
kakus.
Perekat Indonesia 43

Saat pertama bergabung dengan Bea Cukai Atambua, angkatan kami di-
brief oleh Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi mengenai tugas
pokok dan fungsi Bea Cukai Atambua dan semua tentang Atambua. Aku juga
mendengar cerita-cerita dari senior yang sudah lebih dahulu mengabdi di Bea
Cukai Atambua. Mayoritas senior mengatakan bahwa angkatan kami sudah lebih
baik daripada angkatan mereka. Senior mengatakan bahwa kehidupan ketika
masih bertugas di Bea Cukai Atapupu jauh lebih sulit.

Sedikit cerita tentang Bea Cukai Atapupu. Bea Cukai Atapupu merupakan unit
Eselon IV (saat ini tipe kantor Pratama dihapuskan) yang berada di pelabuhan
Atapupu yang aktif hingga tahun 2015. Saat itu, sinyal telepon genggam masih
dalam jangkauan 3G. Senior bercerita kala itu mereka harus merapat ke pohon
yang berada di pojok halaman kantor untuk mendapatkan sinyal. Sinyal tersebut
juga hanya dalam jangakauan 2G. Saat itu pemadaman listrik lebih intens,
sehingga ketika listrik padam, pelayanan dengan terpaksa dilakukan secara
manual, ditunda, atau dihentikan. Masih banyak pengalaman senior ketika
mengabdi di Bea Cukai Atapupu yang terlalu panjang apabila dituliskan.

Kembali ke Bea Cukai Atambua, Bea Cukai Atambua memiliki wilayah kerja
meliputi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah
Utara, dan Alor. Sebelum mengusung jargon terdepan terbaik, Bea Cukai
Atambua lebih dahulu menggunakan jargon BATAS (Better Attitude and Service)
dikarenakan Bea Cukai Atambua merupakan garda terdepan kepabeanan
Indonesia di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Meskipun jargon tersebut
sudah diubah, tapi jargon BATAS masih terpampang di Kantor Bea Cukai
Atapupu.

Berbicara mengenai batas, Bea Cukai Atambua merupakan satu-satunya Kantor


Bea Cukai yang memiliki Kantor Bantu Pos Bea dan Cukai (KBPBC) dan
Pos Pelayanan Bea dan Cukai (PPBC) terbanyak se-Indonesia. Total KBPBC
dan PPBC Bea Cukai Atambua hingga sembilan pos yang tersebar di seluruh
perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Lima dari sembilan kantor bantu/
pos tersebut berstatus aktif, sedangkan empat sisanya tidak aktif dikarenakan
keterbatasan infrastruktur serta medan tempuh dan intensitas pelintas batas yang
tidak terlalu signifikan.

Lima kantor bantu/pos bea cukai tersebut antara lain: KBPBC Motaain, PPBC
Turiskain, KBPBC Wini, KBPBC Motamasin, dan PPBC Napan. Masing-
44

Tentu masing kantor bantu/pos tersebut memiliki


karakteristik tersendiri. Ada pos yang
pembangunan jalanannya mulus, ada juga pos yang
jalannya terjal dan berbatu. Ada pos yang
ini adalah bangunannya megah dan modern, ada juga

hasil kerja pos yang sudah retak-retak. Ada pos yang


intensitas pelintas batas mencapai 300
keras seluruh orang per hari, ada juga pos yang pelintas
batasnya hanya 30 orang per minggu.
rakyat Ada pos yang jarak tempuh dengan

Indonesia dan menggunakan sepeda motor selama 30


menit, ada juga pos yang jarak tempuh
sesuai dengan dengan menggunakan sepeda motor
mencapai 120 menit.
Nawacita Senior menceritakan pada tahun 2015
Pemerintah, sebelum terjadi pembangunan Pos Lintas

yaitu Batas Negara (PLBN) seperti sekarang,


keadaan pos tersebut sangat sederhana.
membangun Pos Bea Cukai hanya sebuah bangunan
yang tidak terlalu luas, tanpa ada mesin
Indonesia x-ray dan alat-alat pendukung pengawasan

dari
lainnya. Keadaan Pos Bea Cukai yang
diceritakan oleh senior pada saat itu
pinggiran. sama dengan video profil Bea Cukai
Atambua yang pernah kami lihat sebelum
menginjakkan kaki di Atambua.

Pada saat ini, setelah terjadi pembangunan


PLBN di daerah perbatasan, keadaan jauh
lebih baik. Tiga dari lima kantor bantu/
pos bea cukai memiliki fasilitas yang
cukup lengkap dan mendukung fungsi
pengawasan. Selain itu, di Atambua sendiri,
pembangunan sarana prasarana sangat
terasa. Mulai dari pembangunan jalan,
fasilitas kesehatan berupa Puskesmas,
Perekat Indonesia 45

hingga pembangunan sarana komunikasi. Saat ini sebagian besar jalanan


di wilayah Atambua sudah cukup baik dan yang terbaik tentu kelancaraan
komunikasi karena Atambua saat ini telah mendukung jaringan 4G. Tentu
pembangunan ini adalah hasil kerja keras seluruh rakyat Indonesia dan sesuai
dengan Nawacita Pemerintah, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran.

Fokus utama Bea Cukai Atambua adalah wilayah perbatasan. Kami diberikan
amanah untuk mengawasi barang yang keluar dan masuk wilayah pabean
Indonesia dengan mengutamakan pelayanan untuk kepuasan pemangku
kepentingan. Amanah tersebut berhasil kami wujudkan dengan baik. Faktanya
pada tahun anggaran 2018, Bea Cukai Atambua berhasil mencapai 200%
dari target Bea Masuk yang telah ditetapkan dan sebagai bukti nyata kami
mengutamakan kepuasan pemangku kepentingan adalah angka Indeks Kepuasan
mencapai 4,58 dari skala 5.

Perbatasan bukanlah halangan untuk berkontribusi kepada negeri. Dengan total


lebih dari 5.000 Pemberitahuan Ekspor Barang dari 154 eksportir dan 151
Pemberitahuan Impor Barang dari 26 importir merupakan bukti keseriusan kami
mengabdi untuk negeri tercinta.

Salah satu produk hukum khas Bea Cukai Atambua adalah Surat Permohonan
Membawa Kendaraan (SPMK). SPMK diterbitkan oleh aplikasi hasil inovasi
Bea Cukai Atambua, yang bernama AMANSA (Aplikasi Mandiri SPMK
Atambua).

Sedikit bercerita mengenai SPMK. Di pulau Timor ini, masyarakat Indonesia


dan masyarakat Timor Leste mayoritas masih bersaudara. Untuk mengunjungi
saudara mereka di negeri seberang, pilihan yang dimiliki masyarakat adalah
dengan menggunakan jasa agen perjalanan. Seiring waktu, masyarakat meminta
Bea Cukai Atambua agar diizinkan membawa kendaraan ke negeri seberang
untuk efisiensi biaya dan waktu. Untuk menjawab permintaan masyarakat
tersebut maka diterbitkan nota kesepahaman pemerintah Indonesia dan Timor
Leste hal membawa kendaraan pribadi. Dan setelah saat itu, SPMK kemudian
diterbitkan dan menjadi produk khas Bea Cukai Atambua.

SPMK sendiri merupakan dokumen legal sebagai dasar pelintas batas yang
membawa kendaraan pribadi ke negeri seberang dengan tempo yang telah
ditentukan (maksimal 30 hari setelah diterbitkan SPMK). SPMK ada tiga
46

jenis, yaitu SPMK dari Indonesia ke Timor Leste, SPMK dari Timor Leste ke
Indonesia dan SPMK Transit (dari Dilli menuju Oecusse).

Kami juga melakukan inovasi kepada masyarakat dengan cara persuasif dan
mendidik. Kami senantiasa membaur dengan masyarakat dan mengikuti setiap
acara adat dan kedaerahan yang diadakan oleh Pemerintah Daerah Atambua.
Di sela-sela acara tersebut, kami memberikan pengertian kepada masyarakat
tentang peranan, tugas pokok, dan fungsi Bea Cukai. Metode ini terbukti
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peraturan kepabeanan Indonesia
dan meminimalkan pelanggaran di bidang kepabeanan.

Tentu mengabdi di batas negeri bukanlah hal yang mudah. Komunikasi


dengan pengguna jasa tidak selamanya lancar. Ada pengguna jasa yang dapat
menggunakan bahasa Indonesia dan ada juga pengguna jasa yang hanya
bisa berbahasa asli pulau Timor. Kadang kami meminta jasa penerjemah
dari masyarakat sekitar perihal ini. Jika tidak ada masyarakat sekitar ketika
ada wawancara maka kami hanya menggunakan bahasa isyarat yang mudah
dipahami.

Mengabdi di batas negeri harus diakui menguras hati. Terpisah dari keluarga
dan kerabat merupakan risiko pekerjaan kami. Kami memberikan yang terbaik
karena kami yakin amanah ini adalah titipan dari ibu pertiwi. Kami totalitas di
tapal batas meskipun untuk tiket pulang ke rumah, dompet harus terkuras. Kami
lakukan pengawasan dan pelayanan terbaik, untuk Bea Cukai makin baik dan
untuk kebanggaan menjadi keluarga besar dari Kementerian Keuangan.
Perekat Indonesia 47

Anak Asuh Orang Papua


Arif Hermanu, KPPN Balige - DJPb

Tahun 1998, tahun yang genting bagi negeri ini. Ya, tahun
reformasi yang sempat menggetarkan hati bangsa ini dengan
segala kejadiannya. Tahun politis yang secara langsung maupun
tidak telah berpengaruh terhadap nasib bangsa ini, termasuk
kami, anak Prodip STAN yang baru lulus. Aku dan teman
seangkatan tidak akan pernah melupakan sejarah ini, kami
setelah lulus ditempatkan menuju tempat tugas masing-masing.
Ketika menerima amplop penempatan dan membukanya,
tertulis “KPKN Wamena”. Artinya aku harus melaksanakan
tugas ini dengan segenap jiwa dan raga. Dulu tidak seperti
sekarang yang begitu penempatan maka dengan mudah dapat
kita search di internet dan mengetahui bagaimana kondisi kota
tersebut. Yang dulu bisa kami lakukan hanya melihat peta dan
mencari di manakah posisi Kota Wamena.

Wamena ketika dilihat di peta maka posisinya terletak di tengah


antara Kota Jayapura dengan Merauke. Wamena adalah ibu kota
Kabupaten Jayawijaya. Salah satu kota pedalaman yang ada di
Bumi Cendrawasih. Kota yang terletak di lembah Baliem dan
dikelilingi oleh pegunungan nan menjulang tinggi. Meskipun
lembah, tapi termasuk dataran tinggi yang sangat dingin.
Moda transportasi yang menjadi penghubung Wamena dengan
kota kabupaten lain adalah pesawat. Hampir setiap hari Kota
Wamena berkabut. Bahkan pesawat di pagi hari harus berputar
mengelilingi Kota Wamena untuk bisa mendarat di bandara.
48

Pertama kali meninggalkan Pulau Jawa menuju Kota Wamena, kami harus
mengarungi samudra biru menaiki “Kapal Putih Rinjani”. Setelah tujuh hari
tujuh malam, kami berkelana bersama Kapal Rinjani di bawah komando Kapten
Dul Khamid dan akhirnya sampailah kami mendarat di Kota Jayapura. Setelah di
Jayapura aku melanjutkan perjalanan menuju tempat tugas, yaitu Wamena. Saat
itu aku masih lajang. Ketika ada panggilan prajab, aku harus mengikuti kegiatan
ini di Jayapura. Akhirnya setelah prajab, aku pun memberanikan diri untuk
menggenapkan separuh agamaku, yaitu menikah.

Alhamdulillah istriku siap untuk dibawa ke Wamena, meskipun Wamena


adalah sebuah kota pedalaman dengan segala keterbatasan fasilitasnya yang
tidak sebanding dengan kota asal istriku, Jakarta. Aku bersyukur karena di saat
sekarang ini, aku kadang mendengar ada pegawai yang membawa keluarga ke
daerah penempatan, tetapi keluarga yang dibawa tidak betah di sana. Padahal
dibandingkan dengan dulu, sekarang jelas berbeda dengan segala fasilitas dan
kondisi kota yang berbeda pula. Beruntung istriku betah sampai aku mutasi
pada tahun 2002. Mungkin salah satu kuncinya adalah senantiasa bersyukur dan
bersilaturahmi.

Setelah menikah, aku dan istri berikhtiar untuk mengambil anak asuh. Anak
asuh Papua yang bisa membantu di rumah dengan tetap kami membantunya,
meskipun sekadar biaya sekolah, membelikan baju sekolah, maupun baju sehari-
hari. Kami juga mencoba mendidik mereka dengan budaya yang lebih baik.
Sebelum kami mengasuh anak Papua, aku sering diberikan “warning” oleh
orang-orang yang sebelumnya juga mengasuh anak Papua. “Hati-hati, mereka
suka mencuri”, maka wajar jika banyak anak asuh yang berganti-ganti ketika
tinggal bersama orang tua asuh. Bahkan akhirnya ada orang tua yang kapok tidak
mengasuh anak lagi.

Ya, begitulah kehidupan anak Papua dengan segala keterbatasannya. Budaya


yang telah mengubah mereka. Ada juga orang luar Papua yang mengadopsi anak
Papua dan mereka membawa ke luar Papua Tak jarang di antara mereka ada yang
tidak betah dan kabur, meskipun ada juga yang berhasil.

Setelah ditimbang, akhirnya aku dan istri mengambil anak asuh dari asrama
muslim Walesi di kompleks Yapis karena aku pernah tinggal di rumah kontrakan
bersebelahan dengan tempat tinggal mereka. Haris, begitulah panggilannya.
Dialah anak Papua yang kuajak untuk tinggal di rumah. Anak yang pendiam
Perekat Indonesia 49

tetapi rajin. Hari-hari kami lalui dengan kebersamaan, makan pun kami
bersama. Ya, begitulah anak Papua, mereka makan dengan lahap dengan porsi
yang banyak. Anehnya, kadang makan nasi dengan sayur, sayur dimakan duluan
termasuk sambal. Eh, giliran nasi, malah dimakan belakangan.

Beberapa tahun kami lalui, meskipun ada asam garamnya tinggal serumah
dengan anak Papua. Pernah suatu ketika Haris pergi dan tidak kembali tanpa
kabar. Aku sempat khawatir karena Haris telah meninggalkan rumah selama
beberapa hari. Aku mencoba mencari informasi tentang keberadaan Haris
kepada teman-teman asrama. Informasi yang kudapatkan, Haris sakit. Pernah
juga Haris meninggalkan rumah karena kami tidak terima saat kami peringatkan.
Meskipun demikian, setelah beberapa lama akhirnya dia kembali ke rumah.

Suatu hari Haris dapat kabar bahwa dia masuk kontingen pramuka yang
akan diberangkatkan ke Jambore Nasional di Bumi Perkemahan Baturraden
Purwokerto. Sampai hari H keberangkatan, aku pun mengantarkan
keberangkatannya di bandara menuju Purwokerto karena Purwokerto dekat
dengan kampungku di Banjarnegara. Aku pun meminta tolong ibuku untuk
menjenguk Haris di Purwokerto. Akhirnya bertemulah ibu dengan Haris,
meskipun sebelumnya tidak pernah ketemu.

“Haris itu telinganya sakit”, begitu kata ibu. Ya, Haris memang punya penyakit
telinga. Aku dan istri pernah mengantarkannya ke rumah sakit untuk berobat.
Mungkin ada di antara pasien yang heran melihat aku yang mengantar Haris
seperti orang tua Haris sendiri. Ibu Haris orang yang sudah tua dan tidak bisa
berbahasa Indonesia. Karena itu aku berusaha untuk membantu membawanya ke
dokter, mencoba alternatif pengobatan untuk kesembuhan telinganya.

Lebih kurang dua sampai tiga tahun berlalu bersama Haris. Teringat sepatunya
yang sering rusak karena memang bentuk kakinya yang relatif besar dengan
ukuran yang tidak standar. Maklum selama ini dia terbiasa tanpa alas kaki
kemana pun pergi. Terngiang juga kekuatannya ketika menimba air yang
diperlukan untuk kebutuhan keluarga kami.

Akhirnya SK mutasiku pun tiba. Aku harus berpindah tugas ke KPKN Cilacap
di tahun 2002 dan harus berpisah dengan Haris. Meskipun telah belasan tahun,
tapi kenangan bersamanya masih terngiang. Hingga sekarang.
50

Mengapa Kita Tidak


Tersenyum Saja?
M. Agung Triwijaya, Kanwil DJBC Sumbagtim

Teruntuk semua: aku, kamu, kita.

Dan semua manusia yang sedang menenun asa, cita, dan cinta.

Matahari masih berusia kanak saat sebuah notifikasi masuk


pada gawaimu. Sebuah pemberitahuan pengumuman yang
selama ini kautunggu kedatangannya. Namun bila kabar yang
dibawa adalah kabar duka —menurutmu, maka lebih baik kamu
tak pernah membaca dan membuka notifikasi itu. Mungkin
sebaiknya kamu tetap lelap dalam tidurmu, dimanjakan oleh
hangat kasurmu. Tetapi apakah hidup hanya perihal tidur dan
mimpi saja? Bukankah hidup berawal dari membuka mata dan
membuka hati —untuk semua hal. Setelah mencoba bangkit
untuk ke sekian kali dari ranjang empukmu dengan perasaan
hati yang berantakan, kamu masih mencoba melakukan berbagai
tindakan untuk memastikan bahwa yang terjadi sekarang hanya
mimpi belaka. Lalu setelah waktu berlalu selama sepenanakan
nasi dengan hasil yang sia-sia kamu mulai menenangkan dan
meneguhkan diri untuk mempercayai semua kejadian yang
sangat mengguncang pagimu. Ialah sebuah kenyataan.

Kamu mulai membuka kembali pengumuman tersebut dan


mencari keberadaan namamu. Tertera jelas di sana “Ayun
Primadani Penugasan On Job Training di KPPBC TMP C
Perekat Indonesia 51

Jayapura”. Kamu melenguh sambil mengeluh. Ada derai teriak yang senyap yang
mencoba ingin keluar dari lubuk hatimu paling dalam. Kamu sandarkan raga
fanamu pada dinding rumah yang tak selamanya akan berdiri kokoh. Kamu
menyendiri di kamar seperti melakukan nyepi yang dilakukan masyarakat Hindu
Bali, tetapi ini bukan tanggal pelaksanaan yang seharusnya. Kamu menghabiskan
waktu sangat lama di kamar hingga detik pada jam dindingmu tak berdetak lagi.
Keluargamu dan terutama ibumu sangat mencemaskan keadaanmu. Ketika kamu
masih sedang asyik menyendiri, tiba-tiba pintu kamar yang tidak kamu kunci
seketika terbuka perlahan.

“Yun, kamu kenapa? Dari pagi tadi kamu belum makan, Nak. Ibu cemas, kalau
ada masalah, cerita aja sama Ibu.”

Kamu tidak menjawab barang sepatah kata sekali pun. Kamu hanya
menunjukkan pengumuman yang telah membuat keadaanmu sedemikian rupa.
Ibumu paham bahwa kamu hanya butuh waktu sendiri saat ini. Keadaan seperti
itu berlangsung selama seminggu penuh. Hanya saja, hari demi hari kamu mulai
membuka diri. Kamu mulai menikmati sisa waktu sebelum keberangkatanmu ke
tanah tabu. Kamu menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temanmu.
Mungkin berkat dukungan mereka, kamu akhirnya memantapkan diri dan
membulatkan tekad untuk berangkat ke sana.

Namun ada satu hal lagi yang membuatmu dapat menyakinkan ragumu.
Ialah senior perempuanmu di sana yang hanya berbeda umur satu tahun. Dia
berhasil menjinakkan tingginya keraguannya dulu untuk mengabdikan diri
di tanah jauh. Bahkan dia dirundung nasib yang lebih sulit dari kamu. Dia
harus menerima bahwa teman perempuannya yang lain yang seharusnya ikut
berangkat untuk bekerja di sana, hilang tanpa kabar, dan kemungkinan terbesar
ialah mengundurkan diri. Sejak mendengar itu kamu mencoba menguatkan
langkah meskipun belum menemukan tempat berpijak. Mungkin kamu tak mau
aku panjang lebarkan lagi cerita mengenai seniormu karena hanya membuatmu
terlihat lebih lemah. Padahal kamu juga sedang menyiapkan tekad kuat untuk
suatu peran nantinya yang mungkin pada halaman ke sekian baru kamu
ungkapkan.

Akan tetapi sepertinya memang tak mudah membuang pikiran mengenai Papua
dengan segala kengerian yang kamu pikirkan tentang tempat itu. Kamu terus-
menerus mencari informasi mengenai tempat itu. Kamu ingin mencoba mencari
52

sudut pandang lain tentang tanah itu. Namun sekeras apa pun usahamu, masih
saja rentetan hal-hal yang mengerikan tentang Papua muncul. Hingga selama
penerbangan menuju tanah itu, kamu tak bisa tidur dengan nyenyak. Padahal
kamu telah menaiki burung terbang dengan fasilitas yang memanjakan siapa saja.
Pikiran mengerikan tentang tanah itu dan apakah nanti kamu bisa betah, terus
berulang seperti roller coster yang saban liburan selalu kamu lewati untuk tidak
mencoba permainan tersebut.

Sesampainya di tanah Papua, saat kamu bisa merasakan tanah baru untuk tempat
berpijak kemudian, ada lega di hati. Pikiran dan perasaan buruk terhadap Papua
mulai tergerus. Bersama teman-temanmu yang lain, kalian dijemput senior dan
segera menuju ke tempat tinggal. Selama perjalanan menuju tempat tinggal,
ada pergulatan yang sengit sedang terjadi di dalam batinmu. Di satu sisi kamu
mencoba untuk menerima semua nasib, tetapi di sisi lainnya masih berdiri gagah
pikiran dan perasaan buruk tentang tanah ini. Hingga sesampainya di tujuan,
masih belum ada yang memenangkan pergulatan tersebut. Jauh perjalanan yang
sudah terlewati masih belum mampu membuka jendela mata dan pintu hatimu.

Beberapa hari di Papua telah kamu jalani. Mungkin hari itu kamu tidak memiliki
firasat terhadap kejadian besar yang akan terjadi hari itu. Suatu kejadian yang
akan menjungkirbalikkan pikiran dan sudut pandangmu. Pada hari itu kamu
bersama teman-temanmu diajak senior kalian untuk berkeliling melihat
pemandangan indah tanah Papua.

Pada hari itu, setelah sekian lama matamu tertutup, akhirnya kedua bola mata
indah yang kamu warisi dari mata indah ibumu –mata sendu berona cokelat itu,
kini berbinar-binar melihat keindahan pulau burung cendrawasih. Pada tatapan
itu akhirnya ada rasa syukur masuk perlahan ke dalam jendela matamu. Selama
dua puluh tahun hidup, kamu hanya melihat pemandangan tanah Jawa yang
sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Di dalam batinmu tebersit suatu ungkapan,
“Mungkin kalau aku tidak merantau ke tanah ini, aku tak akan benar-benar bisa
mensyukuri nikmat Tuhan atas indahnya alam negeri ini”. Kamu pun paham
bahwa sejauh apa pun mencoba menerima suatu suratan takdir, itu tidak akan
bisa terbaca dengan jelas bila tidak benar-benar membuka kedua bola mata.

Hari-hari berikutnya kamu mulai membiasakan diri untuk menerima lingkungan


baru. Seperti biasa kamu bersama pegawai perempuan lainnya dijemput dengan
mobil dinas menuju kantor yang ditempuh dengan waktu sepuluh menit. Pagi
Perekat Indonesia 53

Kamu paham itu ada sesuatu yang menyangkut di jala


pikiranmu. Kamu merasa apa yang sedang
bahagia itu kamu jalani di sini tidak jauh bedanya sewaktu
kamu kuliah dulu di Jakarta. Mulai dari
letaknya di biaya hidup yang mirip seperti metropolitan

jiwa, bukan –dengan semua penyesuaian, makanan yang


cocok dengan lidah, hingga lingkungan
sekadar di masyarakatnya yang sangat ramah meskipun
kamu seorang pendatang baru. Dan sekarang
Jawa. terhampar luas pada jauh matamu, Papua
dengan semua pembangunannya. Bahkan kamu
masih bisa terus menekuni hobi menonton film
di bioskop.

Kamu mulai belajar bahasa Papua, membaur


bersama masyarakat lain, menyapa ketika
berpapasan di jalan sambil menorehkan
senyum manis pada lekuk wajahmu. Pada
akhirnya kamu sadar bahwa kamu telah
menemukan keluarga baru. Keluarga yang
berhasil mengetuk dan membuka pintu hatimu.
Keluarga yang saling bantu dan selalu ada
saat kaubutuh. Kamu sudah memiliki kembali
senyum merekah dan merakah tanpa malu.
Kamu menyadari sebagai seorang perempuan
Bea Cukai yang ditempatkan di Papua, kamu
memiliki sesuatu yang lebih istimewa dan
kamu patut mensyukuri semua itu. Kamu
paham bahagia itu letaknya di jiwa, bukan
sekadar di Jawa.

Keberadaanmu di tanah timur membuatmu


memiliki banyak pengalaman dan banyak
ilmu. Pada suatu waktu kamu ikut melakukan
sosialisasi perihal rokok ilegal. Kamu sangat
menikmati kegiatan tersebut karena masyarakat
menerima kegiatan tersebut dengan sangat
54

terbuka. Mereka mendengarkan dengan saksama penjelasan yang kamu berikan.


Ketika kamu memberitahukan bahwa rokok yang dijual tersebut ilegal, mereka
tidak marah, tetapi mereka tersenyum lebar dan mengakui kesalahan mereka.
Pada kesempatan lain, kamu diajak mengunjungi pos bantu yang menjaga
perbatasan antara Papua dengan Papua Nugini. Memakan waktu perjalanan darat
lebih kurang dua jam dengan mobil, tak sedikit pun mengurangi gairahmu untuk
melihat perbatasan tersebut. Sesampainya di sana, kamu melihat banyak orang-
orang dari hulu dan hilir melewati pos lintas batas. Pegawai di sana dengan sigap
melayani orang-orang. Kamu sangat mengapresiasi kerja seniormu yang rela
jauh-jauh dan menghabiskan waktu untuk menjaga perbatasan Indonesia tetap
aman. Dan kamu bangga bisa menjadi bagian kantor ini. Kamu sangat bangga
bergabung dalam institusi ini. Kamu sangat bangga serta bersyukur bisa menjadi
keluarga Kementerian Keuangan yang dengan gigih menjadi perekat bangsa dan
bahkan antarnegara.

Dalam perjalanan pulang, kamu memikirkan suatu peran yang ingin kamu
berikan untuk negeri ini. Kamu sadar pada era kemajuan teknologi informasi saat
ini, semuanya sangat mudah untuk menemukan informasi apabila dipublikasikan
oleh media. Sebagai pegawai di Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan, kamu
sangat ingin memanfaatkan akun media sosial kantor untuk menunjukkan tanah
Papua ini. Kamu ingin orang lain tahu, inilah Papua dengan segala keindahan
alamnya. Dan Papua bukan lagi perihal perang antarsuku atau masyarakat yang
belum mengenal kemajuan dunia. Kamu ingin menunjukkan bahwa Papua telah
berkembang dengan segala pembangunannya. Kamu ingin membuat orang lain
tak memandang Papua sebelah mata karena Papua sekarang terus berkembang.
Dalam benakmu, berharap pegawai Kemenkeu yang lain tidak menjadikan
Papua sebagai momok yang mengerikan. Seperti pesan Ibu Sri Mulyani, bahwa
marilah membangun Indonesia dari pinggiran maka kamu bertekad untuk dapat
merekatkan Indonesia melalui jejaring media sosial.

Seyogianya kamu telah paham betul bahwa sebagai abdi negara, kamu adalah
perpanjangan tangan pemerintah untuk menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Sama seperti halnya jembatan merah yang sebentar lagi rampung. Jembatan
merah yang dibangun pemerintah dengan uang kita yang nantinya digunakan
untuk memendekkan jalan menuju perbatasan negeri. Pada hari yang cerah ini
jembatan merah menjadi saksi bisu tekad muliamu.
Perekat Indonesia 55

Oh ya, ada satu kisah menarik yang kamu ceritakan kepadaku. Sebuah peristiwa
yang membuatmu mengerti apa arti dari kemanusiaan, yaitu ketika Sentani
diluluhlantakkan oleh banjir bandang. Mungkin hidup memang perihal
keseimbangan. Keindahan alam Papua yang barusan kamu elu-elukan, seketika
berubah menjadi daerah penuh duka sukma dan derai air mata. Suatu hari yang
tenang lagi damai dengan diiringi lebat hujan menari-nari di atap rumah, tiba-
tiba berubah menjadi salah satu peristiwa yang nahas untuk daerah Sentani.
Hujan tak bisa dikambinghitamkan dengan sebelah mata, semua juga bersumber
dari ulah tak bertanggung jawab tangan-tangan nakal yang menganiaya alam
hanya untuk keuntungan semu nan fana. Untuk sekarang kamu tak ambil pusing
dulu untuk mencerca semua dalang pelakunya. Ada perihal yang lebih penting,
kamu paham bahwa membantu korban dan memberitakan keadaan di sana
jauh lebih utama. Hanya berbekal tekad dan kamera di tangan, kamu berani
maju untuk menjadi satu-satunya perempuan yang menjadi relawan membantu
para korban. Meskipun keadaan Sentani masih belum bisa dikatakan aman
karena masih berlangsung banjir bandang dengan volume lebih kecil dan harus
menempuh perjalanan dua hingga tiga jam. Tak ada satu pun guncangan yang
mampu merontokkan buah tekad muliamu.

Sesampainya di lokasi, kamu merasa sangat prihatin terhadap situasi dan


kondisinya. Rumah-rumah hancur terkena terjangan banjir, memakan banyak
korban, baik yang telah meninggal ataupun luka-luka. Dan kamu tidak mampu
menuliskan di sini berapa banyak jumlah korbannya. Cukup media lain saja.
Karena kamu tak sanggup menuliskan banyaknya kesedihan di sana atas segala
duka nan nestapa, kamu terdiam tanpa suara. Kamu ke posko bantuan di daerah
Doyo Baru, Sentani, untuk membantu para pengungsi di sana. Hatimu terasa
teriris-iris saat melihat para pengungsi tidak memiliki apa-apa lagi untuk
membentengi badan dari serangan dingin atau panasnya cuaca. Dalam senyum
yang coba kamu lemparkan kepada mereka untuk menguatkan jiwa mereka,
tersembunyi jelas derasnya air mata yang berasal dari mata air nuranimu. Lalu
ada anak-anak yang memintamu untuk memotret mereka. Dalam bingkai segi
empat itu terlihat jelas mereka masih dapat tersenyum bahagia. Dalam benakmu
berkata, “Anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini harus ikut menanggung
akibat dari orang-orang yang bahkan tak memikirkan nasib mereka. Tetapi
anak-anak ini mengajarkan kepadaku, kepada kita semua, bahwa seberat apa pun
cobaan yang sedang menguji kita, jangan sampai kita lupa bersyukur atas nikmat
hidup yang tak pernah Tuhan pertanyakan mengenai balasan dari kita.”
56

Pada akhirnya kamu paham betapa celaka dan egois dirimu yang hanya ingin
dimanja oleh negara, sedangkan jauh di pelupuk mata, ada banyak orang yang
tetap bisa mencintai negeri ini tanpa pamrih. Bahkan mereka tidak memiliki
waktu untuk mempertanyakan apa yang negara berikan untuk mereka, sebab
mereka terlalu sibuk mempertanyakan apa yang telah mereka berikan untuk
negara ini.

Pesan kamu untuk mereka,

“Penempatan itu hasil dari sebuah penantian dan perjuangan kita selama kuliah.
Di mana pun kita ditempatkan, itu adalah bukti dari hasil perjuangan kita dan
awal kesuksesan kita untuk mengabdi kepada negara. Jangan pernah takut dengan
penempatan, di mana pun itu di seluruh Indonesia, di sanalah rumah kita. Selagi
kita masih muda dan masih sanggup, kenapa tidak? Bukankah kita sudah difasilitasi
dengan sangat baik oleh negara dan melalui penempatan ini kita harus membalas apa
yang telah negara berikan kepada kita? Di mana pun kita bekerja, tetap bisa pulang
kok:)

Semangat Stanners! Salam dari kota Timur Indonesia.”

Bila derai-derai tangis itu


tak bisa menumbuhkan
buah penyelesaian,
mengapa kita tidak tersenyum saja?

Apakah kita terlalu sibuk membaca


dan menafsir suratan takdir yang terbalik?
Bukankah waktu kita sedikit?
Lalu, mengapa kita tidak tersenyum saja?

(Kisah ini merupakan kisah nyata dari teman kelasku sewaktu kuliah dulu, yaitu
Ayun Primadani. Sekarang dia sedang bertugas di KPPBC TMP C Jayapura)
Perekat Indonesia 57

Mengasah Mutiara Dari


Papua
Budi Waluyo, PKN STAN - BPPK

Prolog: Papua Juga Bisa

Sepucuk surat dinas tergeletak di meja kerja. Aku bergegas membacanya.


“Undangan rapat program pendidikan khusus putra-putri Papua”, begitu
judulnya. Aku perhatikan identitas pengirimnya yang tertera di kop surat, Unit
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, disingkat UP4B.
Nama instansi yang baru aku dengar. Entah di bawah naungan kementerian apa.
Aku tak mengerti tugas mereka. Lalu apa hubungannya dengan STAN—kampus
tempatku bekerja ini? Aku baca instruksi atasan agar aku ikut hadir di rapat
itu nanti. Jadwalnya pekan depan. Aku tandai kalender mini di pojok meja, 12
Februari 2013, “Rapat Papua”.

Dari surat itu, aku mengerti kalau UP4B akan mengadakan program pendidikan
khusus untuk putra-putri asli Papua di berbagai kampus milik pemerintah.
Lebih dari tiga puluh kampus negeri dilibatkan sebagai penyelenggara. STAN
ditugaskan menjadi penyelenggara pendidikan Diploma I Kebendaharaan
Daerah dan Diploma I Pajak Daerah.

Sepekan berlalu, aku berangkat bersama beberapa pejabat STAN menuju


kantor perwakilan UP4B di kompleks perkantoran LIPI—daerah Jalan Jenderal
Sudirman, Jakarta Pusat. Sampai di sana, kami disambut oleh Professor
Ikhwanuddin Mawardi, salah satu Deputi UP4B. Di rapat itu, hadir pula
perwakilan dari kampus-kampus tadi. Kemudian, hadir Kepala UP4B yaitu
Bambang Darmono, seorang purnawirawan TNI berpangkat Letnan Jenderal. Ia
memimpin rapat didampingi oleh Wakil Kepala UP4B dan lima orang Deputi.
58

Kepala UP4B adalah pejebat negara setingkat menteri yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.

“Program afirmasi pendidikan ini merupakan amanat presiden”, begitu kalimat


pembuka dari pemimpin rapat. Beliau menjelaskan, “UP4B merupakan unit
ad hoc yang dibentuk khusus oleh Presiden SBY di tahun 2011 sebagai unit
kerja pembantu presiden”. Kantornya menempati bekas gedung Indonesia
Joint Development Foundation di Jayapura, sedangkan kantor perwakilannya
berlokasi di Jakarta. UP4B bertugas mengoordinasikan program-program
untuk percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satu
programnya adalah afirmasi pendidikan.

Program ini khusus ditujukan untuk siswa-siswi lulusan SMA yang merupakan
orang asli Papua. Tujuannya untuk membantu percepatan pembangunan sumber
daya manusia di sana. Lulusan program ini nantinya ditujukan untuk menjadi
PNS pada instansi pengirim di pemerintah daerah masing-masing. Mirip dengan
model penempatan kerja lulusan IPDN, tapi ini hanya mencakup Papua. Dari
Papua untuk Papua.

“Peserta pendidikan afirmasi ini tidak boleh dipungut bayaran”, pimpinan rapat
melanjutkan penjelasan. Mereka dibebaskan dari segala biaya, bahkan harus
disediakan akomodasi gratis dan diberi uang saku untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Semua biaya tersebut ditanggung pemerintah melalui APBN
dan APBD. Bagi kampus-kampus PTN yang menjadi penyelenggara program ini
akan mendapat transfer dana untuk memenuhi biaya pendidikan. Bagi kampus
kedinasan seperti STAN, tak ada kendala terkait dana karena memang STAN
tak pernah memungut biaya dari mahasiswa. Tinggal menambah anggaran untuk
pembayaran akomodasi dan tunjangan biaya hidup.

Selesai rapat, kami istirahat sejenak di lobi kantor UP4B. Di pojok ruangan, aku
melihat foto Professor Yohanes Surya menggandeng seorang siswi berseragam
SMA sambil memegang medali. Aku paham betul wajah professor itu. Waktu
SMA aku sangat mengaguminya. Waktu itu, aku bercita-cita menjadi fisikawan
seperti dia.

Aku berjalan mendekati foto itu. Dari sepenggal keterangan di bawah foto, aku
tahu kalau gadis itu adalah Annike Nelce Bowaire, siswi SMAN 1 Serui peraih
medali emas di kompetisi fisika SMA tingkat dunia tahun 2005. Bangga sekali
Perekat Indonesia 59

aku melihat foto itu. Namun seketika, hatiku bertanya-tanya, “Bagimana bisa
anak Papua yang umumnya memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, dengan
fasilitas pendidikan yang seadanya, bisa memenangkan lomba fisika tingkat
dunia? Aku saja yang sekolah di Jawa, dengan segala fasilitasnya, tak pernah
bisa.” Aku melamun sejenak, teringat waktu kelas 3 SMA. Aku pernah ikut
seleksi olimpiade fisika di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Dari tiga soal yang
diujikan, tak satu pun aku memahaminya, apalagi bisa menjawabnya.

“Ayo pulang”, aku kaget, bosku memanggilku dari tempat duduknya. Di


perjalanan pulang, aku mencari informasi tentang pendidikan di Papua. Aku
buka internet dengan kata kunci “pendidikan Papua”. Muncul gambar-gambar
gedung sekolah yang hampir roboh. Anak-anak memakai seragam kumal dan
tak bersepatu. Cerita klasik yang sudah terjadi berabad-abad di sana. Di antara
kisah-kisah yang menyedihkan, muncul berita tentang medali emas tadi. Ketika
ditanya oleh wartawan tentang potensi anak Papua, Professor Yohanes Surya
mengatakan, “Anak Papua juga bisa”.

Memberi Toleransi

Sebagai dasar hukum pelaksanaan program afirmasi ini di STAN, dibuatlah


Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan dan UP4B yang ditandatangani
pada bulan April 2013. Berdasarkan kesepakatan itu, dibuatlah pengumuman
penerimaan mahasiswa baru khusus Papua. Pendaftaran dibuka mulai tanggal 7
s.d. 14 Juni 2013.

Persyaratan administrasi dibuat lebih sederhana, peserta cukup mengisi formulir


pendaftaran dan menyertakan satu lembar fotokopi ijazah SMA dan foto.
Persyaratan akademik juga dipermudah dengan menurunkan standar nilai ijazah.
Jika biasanya standar minimal rata-rata nilai 7,00, maka untuk program ini,
cukup 6,00. Kriteria untuk menentukan “keaslian” pendaftar sebagai “orang asli
Papua” ditentukan oleh Pemda. Berkas pendaftaran dikirim secara kolektif dari
Pemda ke UP4B.

Ujian seleksi dilaksanakan tanggal 2 Juli 2013, serentak di tujuh lokasi. Lima
lokasi di Papua ( Jayapura, Wamena, Merauke, Biak, Nabire) dan dua lokasi di
Papua Barat (Sorong dan Manokwari). Materi yang diujikan hanya Tes Potensi
Akademik. Tak ada tes kesehatan maupun wawancara.
60

Aku ditugaskan untuk membawa soal ujian ke Manokwari. Sehari sebelum


berangkat, aku menemui dokter Mila di Poliklinik. Dokter memeriksa denyut
jantungku, lalu memberiku obat antimalaria. “Jangan lupa diminum obatnya
nanti malam”, pesan dokter Mila.

Pagi itu, pesawat lepas landas dari Jakarta. Transit di Makassar. Aku turun dari
pesawat Boeing 737-800 berbadan besar, kemudian naik ke pesawat kecil jenis
ATR 72-600. Pukul 14.30 pesawat mendarat di Bandara Rendani, Manokwari.
Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Papua.

Bandara ini berada di tepi laut, menghadap ke Samudra Pasifik. Bangunannya


kecil dan sederhana. Dari ruang kedatangan, pandanganku menyapu sekitar.
Ada loket Trigana Air dan Wings Air. Di sebelahnya, beberapa kios menjajakan
kerajinan tangan khas Manokwari. Ada noken, cincin, dan gelang dari kulit kayu.
Tak ada pendingin udara di bandara ini. Hanya mengandalkan embusan angin.

Aku menuju ke pangkalan taksi di sebelah kanan pintu keluar.

“Mau ke mana Bapak?”, sopir taksi menyapaku.

“Kantor Bupati”, aku menjawab singkat.

“Mari kopernya”, dia membuka pintu bagasi.

“Tidak usah, biar di dalam saja. Ini koper kecil”.

Aku tak perlu menjelaskan kalau koper itu berisi dokumen rahasia yang harus
aku jaga. Kantor Bupati hanya berjarak sepuluh menit dari bandara. Sampai di
sana, aku menuju resepsionis.

“Saya dari Kementerian Keuangan, mau bertemu Pak Daniel”, aku menjelaskan.

“Sebentar ya, silakan tunggu”, resepsionis mengangkat gagang telepon.

Dua menit kemudian, datang pria berseragam cokelat, “Pak Budi, kah?”.

“Iya, saya Budi dari STAN”.

“Saya Daniel”. Kami berjabat tangan. “Selamat datang di Manokwari. Kenapa


tidak telepon saya kalau sudah mendarat? Biar saya jemput ke bandara”.
Perekat Indonesia 61

“Tidak usah repot, Pak Daniel. Saya sudah dikasih ongkos untuk naik taksi”.

“Biasanya tamu-tamu dari Jakarta minta dijemput”, Daniel bercerita.

Namanya Daniel Hobera, lulusan STPDN, sudah bekerja tiga tahun di situ. Dia
mengajakku ke ruangan kantornya. Kami langsung meninjau persiapan ujian,
terutama ruangan yang mau dipakai besok. Semua sudah siap. Aku meninggalkan
kantor Bupati menuju losmen.

Setengah jam di losmen, ada yang mengetuk pintu kamar. Aku buka pintu,
resepsionis berdiri di luar, “Ada tamu untuk Bapa”.

Aku menuju ruang resepsionis. Terlihat seorang laki-laki tua berdiri bersama
anak perempuan berseragam SMA. Aku tak mengenal mereka.

“Bapa Budi dari Jakartakah?”, dia mengulurkan tangannya.

“Iya, saya”, aku menjabatnya. Kami duduk di kursi kayu, di depan losmen. Tak
ada lobi di losmen itu.

“Begini, ini anak saya Maria, mau ikut ujian untuk sekolah di kampus… “

“STAN”, aku menyambung.

“Ya, itu yang di Jakarta”, dia tersenyum.

“Ujiannya besok pagi, Bapak”, aku menjelaskan.

“Itu masalahnya, kitorang belum mendaftar”.

Aku tertegun sejenak. Aku tak sanggup bertanya, kenapa anaknya belum
mendaftar.

“Siapa nama Bapak?” aku bertanya.

“Okto”.

“Pak Okto tunggu sebentar ya”, aku menjauh beberapa langkah dari mereka, ke
samping losmen.

Kuambil handphone dari saku, telepon ke Jakarta. Aku jelaskan kejadiannya.


62

Singkat cerita, panitia mengizinkan anak itu untuk ikut ujian. Kata panitia,
peserta dadakan ini bukan hanya ada di Manokwari, tapi di semua lokasi ujian.

“Jadi besok kalau ada peserta dadakan, diterima saja. Minta saja identitas dan
dokumen-dokumen syarat pendaftaran. Kalaupun belum lengkap, nanti bisa
dikirim lewat pos. Kita harus maklum dengan kondisi mereka”, lanjut seorang
panitia di ujung telepon.

“Baiklah”, aku mengakhiri pembicaraan.

Aku kembali ke depan losmen, lalu duduk di sebelah Maria. Pak Okto duduk di
depanku, mukanya cemas menanti jawaban.

“Maria boleh ikut ujian besok pagi”, ucapku singkat.

Lelaki tua itu langsung menghampiriku, memelukku.

“Terima kasih, Bapa”, matanya berlinang.

Cukup lama dia tak melepas pelukannya. Aku tak bisa berkata-kata. Lelaki itu
mirip ayahku. Dadaku sesak.

Akhirnya aku bisa bicara, “Dari mana Pak Okto tau saya di sini?”.

Dia menjawab, “Saya dikasih tahu Pa Daniel. Katanya tadi Pa Budi dari sana, tapi
sudah pergi ke losmen. Jadi kami menyusul ke sini”.

“Oh, begitu”, aku menimpali. “Tolong besok bawa dokumen syarat pendaftaran
ya. Sudah tahukah syaratnya apa saja?”

“Sudah”, jawab Maria.

“Tadi kami dapat ini dari Pa Daniel”, Maria menunjukkan selembar kertas.

“Ya, ini persyaratannya”, aku memastikan.

“Pak Okto dan Maria tunggu sebentar ya”. Aku kembali ke kamar, mengambil
formulir pendaftaran.

“Formulir ini diisi, di bagian atas ditempel foto ukuran 4x6. Besok dibawa,
Perekat Indonesia 63

dilengkapi satu lembar fotokopi ijazah SMA dan dua lembar foto ukuran 4x6”.

“Iya”, kata Maria.

“Kalau begitu, kami pulang dulu”, Pak Okto berpamitan.

Ujian seleksi

Jam tujuh pagi, aku sudah sampai di kantor Bupati. Belum ada orang. Aku
menunggu di lobi. Tiga puluh menit kemudian, Pak Daniel datang bersama dua
orang rekan kerjanya. Kami langsung menuju ke ruang ujian.

Seorang rekan Pak Daniel duduk di meja registrasi, di depan ruang ujian. Aku
duduk di sebelahnya. Dia mendata peserta yang datang, lalu memintanya mengisi
daftar hadir. Bagi peserta yang belum mendaftar, diminta mengisi formulir
pendaftaran dan menyerahkan berkas-berkasnya.

Maria datang menghampiriku. Mukanya pucat.

“Saya tidak bawa fotokopi ijazah. Kemarin sore ayah saya pergi ke tempat
fotokopi. Naik motor, dua jam dari rumah, tapi sampai di sana tokonya sudah
tutup”, ucap Maria.

“Bawa ijazah aslinya”? tanyaku.

“Iya, ini ada”, Maria membuka tasnya.

“Sebentar ya”, aku menghampiri Pak Daniel di pojok ruangan.

“Ada peserta perlu fotokopi ijazah. Ada mesin copy di kantor ini?”

“Maaf, mesinnya rusak, sudah satu bulan belum diperbaiki”, dia menjelaskan.

“Baiklah”, aku kembali ke meja registrasi.

“Maria, saya foto saja ijazahnya pakai handphone. Nanti saya print di Jakarta”.

Maria tersenyum lega.


64

Jam 08.30, seharusnya ujian dimulai. Tapi peserta yang hadir baru setengah. Dari
64 orang yang mendaftar, baru 25 yang hadir. Ditambah tujuh peserta dadakan
yang mendaftar hari ini. Totalnya menjadi 32 orang. Panitia setempat meminta
ujian jangan dimulai dulu. “Mungkin ada yang masih dalam perjalanan, kami
akan coba hubungi mereka”, kata Daniel.

Aku jawab, “Baiklah, kita beri waktu lima menit”.

Dia sibuk memijit HP-nya dan sesekali berteriak, “Hei, di manakah? Ini ujian su
dimulai!”.

Daniel terdiam sejenak mendengarkan jawaban, lalu berteriak lagi, “Aah, gimana
kamorang ini! Ya sudahlah.”

Dia menghampiriku, “Mereka tak jadi ikut Pa”.

“Ya sudah, kita mulai saja. Ini sudah jam 08.35”.

Selesai ujian, Daniel menghampiriku, “Nanti malam kita jalan-jalan keliling kota
ya. Sambil makan malam”, dia memberi penawaran.

“Terima kasih, tapi saya mau istirahat saja”, aku menjawab.

“Oh, begitu”.

“Ya. Lagi pula di dekat losmen ada rumah makan”.

Aku kembali ke losmen.

Aku mendapat SMS dari panitia di Jakarta. Secara total, dari 388 peserta
yang mendaftar, hanya 338 orang yang hadir saat ujian. Peserta terbanyak
dari Jayapura 112 orang, Nabire hanya diikuti 17 orang. Sebenarnya, UP4B
telah menginformasikan ke semua kabupaten di Papua dan Papua Barat agar
mengirimkan peserta untuk mengikuti seleksi ini. Ternyata, ada beberapa
kabupaten yang tidak mengirimkan peserta. Dari Papua, ada sembilan daerah
yang absen: kabupaten Asmat, Deiyai, Dogiyai, Keerom, Memberamo Raya,
Memberamo Tengah, Mappi, Nduga, dan Paniai. Sementara dari Papua Barat,
kabupaten Tambraw tak mengirimkan wakilnya.

Selepas magrib, aku berjalan ke rumah makan di seberang losmen. Seorang nenek
Perekat Indonesia 65

tua menjajakan pinang sirih dan kapur di depan rumah makan itu. Ada pinang
segar yang masih utuh, ada pula pinang kering yang telah diiris. Setumpuk buah
sirih tertata di sebelahnya, bersama beberapa lembar daun sirih. Dia duduk di
trotoar, beralas karung beras. Wajahnya tampak lelah. Mungkin sudah berdagang
sejak pagi. Anak seumuran dua tahun, mungkin cucunya, tertidur di sampingnya.
Aku masuk ke rumah makan. Angin pantai mengembus kencang.

Masa orientasi

Sesuai dengan Nota Kesepahaman, biaya pelaksanaan program ini ada yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan dan ada pula yang menjadi
tanggung jawab Pemda masing-masing di Papua, sesuai asal daerah mahasiswa.
Kementerian Keuangan menanggung seluruh biaya pendidikan, buku dan
peralatan, akomodasi, bantuan biaya hidup, dan wisuda. Sedangkan Pemda
menyediakan dana untuk transportasi ujian seleksi, transportasi ke tempat studi,
dan asuransi kesehatan.

Ada 210 peserta ujian seleksi yang lulus, 127 dari Papua dan 83 dari Papua Barat.
Tapi, hanya 205 yang mendaftar ulang. Mereka datang ke Jakarta. Sebelum
mulai pendidikan, mereka mengikuti orientasi selama dua hari di kampus Jurang
Mangu.

Pagi itu, 28 Agustus 2013, mereka berkumpul di Gedung G. Aku masuk dari
pintu timur gedung itu. Ramai sekali. Seorang siswi keluar dari keramaian,
mendekatiku.

“Selamat pagi, Bapa”, ia menyapa.

“Pagi”, aku menjawab.

“Saya Maria.”

“Oh iya, saya ingat. Dari Manokwari ‘kan?”

“Iya.”

“Wah, selamat ya. Kamu lulus dan bisa kuliah di sini.”

“Terima kasih. Bapa saya itu suruh saya bilang terima kasih ke Pa Budi”
66

“Oh, iya. Bapak sehat ‘kan?”, aku teringat Pak Okto, ayah Maria yang dulu
menemuiku di losmen.

“Sehat”, Maria menjawab.

“Berapa orang dari sana yang lulus?”

“Sekitar 20-an”.

“Kemarin berangkat ke sini bersama-sama?”

“Iya.”

“Tiket pesawat dibelikan oleh Pemda?”

“Tidak Bapa. Kami beli tiket sendiri, katanya uang dari Pemda belum bisa
dicairkan. Tunggu bulan depan.”

Aku terdiam.

Peluit panjang berbunyi, tanda kegiatan akan dimulai.

Orientasi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.


Kemudian, Direktur STAN menyampaikan sambutan. Selama orientasi, mereka
diperkenalkan dengan lingkungan kampus, budaya akademis, dan peraturan yang
berlaku, termasuk kedisiplinan. Hadir pula Pak Sudirman Said, Ketua Ikatan
Alumni STAN, memberi ceramah dan motivasi. Selepas istirahat siang, mereka
menyanyikan lagu “Aku Papua” karya Franky Sahilatua.

Hitam kulitku, keriting rambutku, aku Papua…

Biar nanti langit terbelah, aku Papua…

Setelah selesai orientasi di hari kedua, bagi yang mendapat lokasi pendidikan
di luar Jakarta, mereka diberangkatkan ke masing-masing lokasi pendidikan.
Ada lima lokasi pendidikan: Jakarta, Cimahi, Palembang, Malang, dan Medan.
Di Jakarta ada 85 siswa. Sementara untuk lokasi lain, masing-masing 30 siswa.
Pelepasan peserta dilakukan oleh pimpinan UP4B bersama-sama dengan
pimpinan STAN.
Perekat Indonesia 67

Berhitung lagi

Mahasiswa Papua tinggal di rumah-rumah indekos di sekitar kampus, berbaur


dengan mahasiswa lain. Semua biaya indekos dibayar oleh STAN. Mereka juga
diberi uang saku untuk biaya hidup yang dibagikan tiap dua minggu. Sejak awal,
UP4B mengingatkan agar uang saku jangan diberikan satu bulan sekaligus. Kalau
diberikan semua, mereka akan habiskan dalam waktu dua minggu.

Perkuliahan dimulai dengan program matrikulasi, agar mereka bisa beradaptasi


dengan iklim akademik kampus dan menyesuaikan kemampuan untuk
mempelajari materi dari kurikulum inti. Mata kuliah yang diajarkan pada
matrikulasi terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,
Pengenalan Komputer, dan Pengenalan Budaya. Matrikulasi dilaksanakan selama
delapan minggu. Dalam seminggu, dua kali tatap muka untuk setiap mata kuliah.

Aku dapat tugas mengajar matematika. Ini fondasi yang penting untuk persiapan
mata kuliah akuntansi, misalnya menghitung penyusutan berganda. Matrikulasi
matematika tidak lagi mengajarkan konsep, semuanya latihan soal dan berhitung.

Aku masuk ke ruang kelas, lalu membagikan selembar soal hitungan. Kujelaskan
apa isi soalnya, apa yang ditanya, dan bagaimana cara menjawabnya. Ini pekan
kedua aku mengajar mahasiswa Papua.

“Salo, maju ke depan”, aku menunjuk siswi asal Jayapura itu. Aku ingat nama
panggilannya, tapi lupa nama lengkapnya. Kulihat di daftar hadir, namanya
Salomina Gobay. Dia maju ke depan kelas dengan penuh semangat. Cepat sekali
dia menulis jawaban di papan tulis. Cara menghitungnya tepat, jawabannya
akurat.

“Benar itu, Salo”, aku menyanjungnya.

Di pojok kelas, duduk seorang mahasiswa. Esron Rumbewas, aku hafal nama
lengkapnya, putra asli Sorong. Sebenarnya dia anak yang cerdas, tapi malas.
Hidupnya seperti tak bersemangat. Duduk menyendiri di bangku belakang,
jauh dari teman-temannya di kelas. Pulpennya tergeletak di atas buku tulis.
Sepertinya, untuk menulis pun dia berat. Aku berjalan mendekatinya, lalu duduk
di bangku sebelahnya.

“Esron, kau tau Boaz Solossa?”, aku membuka pembicaraan.


68

Dia menjawab, “Itu idola saya, Bapa. Pemain bola terkenal. Diorang itu adiknya
Ortizan Solossa.”

“Katanya, tahun ini Boaz pergi dari Persipura Jayapura, pindah ke Persiram Raja
Ampat. Benarkah?”, aku terpengaruh logat mereka.

“Ya, dia su tak sejalan dengan Jacksen Tiago, pelatih Persipura”, Esron antusias
menjelaskan.

Aku menimpali, “Boaz dan Ortizan itu dari Sorong ‘kan?“

“Iya Bapa.”

“Nah, mereka berdua itu orang hebat. Kau juga bisa jadi seperti mereka.”

“Ah, tidak mungkin, bagaimana caranya?”, dia tertawa kecil.

“Asalkan kau rajin. Nanti kau bisa mengharumkan nama Sorong. Kau bisa
terkenal se-Indonesia, seperti Boaz dan Ortizan itu.”

Sekitar sepuluh menit kami mengobrol tentang sepak bola, sementara mahasiswa
lain melanjutkan mengerjakan soal matematika. Tanah Papua banyak melahirkan
pemain-pemain bola terkemuka. Selain Boaz dan Ortizan, ada Elie Aiboy. Esron
bercerita banyak tentang kaki kiri Elie yang menghasilkan banyak gol indah.
Berikutnya ada Patrich Wanggai, Titus Bonai dan Oktavianus Maniani yang
menjadi “trio Papua” di Timnas Indonesia. Papua menjadi surga talenta bagi
dunia sepak bola.

Perkuliahan selesai. Buku tulis Esron masih kosong.

Inilah akuntansi

Selasa, 8 Juli 2014, aku mengajar mata kuliah Akuntansi Pemerintah Daerah di
semester II. Aku masuk ke ruang kelas. Lima mahasiswa sudah duduk di kelas.
Pagi itu hujan gerimis, banyak mahasiswa tak hadir. Harusnya ada lima belas
mahasiswa di kelas. Sebelum memulai kuliah, aku mengajak mereka ngobrol.

“Besok kita libur ya”, aku membuka perkuliahan.

“Iya, besok Pemilu”, kelas menjadi gaduh.


Perekat Indonesia 69

“Kalian ikut Pemilu?”

“Tidak. Kami tak dapat undangan. Padahal kami sudah punya KTP, umur sudah
19 tahun”, kata Martha.

“KTP kalian ‘kan alamatnya Papua. Jadi kalian terdaftar di Papua. Kalau mau
pindah TPS, harus bawa formulir A5. Kalian harus urus dulu formulir itu di
Papua”, aku menjelaskan.

“Kalian tahu orang Papua yang jadi menteri?”, aku mengalihkan pertanyaan.

Mereka terdiam.

“Freddy Numberi”, aku jawab pertanyaanku sendiri.

Aku tayangkan foto pria kelahiran Yapen Waropen itu yang pernah menjadi
Gubernur Papua dan tiga kali menjadi menteri. Sebagai MenPAN di era
Presiden Gus Dur, kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan di periode
pertama Presiden SBY, dan menjadi Menteri Perhubungan untuk kabinet SBY
periode kedua.

Kuliah akuntansi dimulai. Aku menjelaskan konsep-konsepnya. Kemudian


membahas soal-soal yang ada. Tak perlu memberi banyak materi. Sedikit saja
cukup yang penting mereka mengerti.

Bioskop pertama

Pagi itu hari Jumat, aku masuk kelas jam delapan. Sebelum menyampaikan
materi, aku tayangkan video singkat tentang Franklin Ramses Burumi, sprinter
asal Serui yang menyabet dua medali emas di cabang lari 100 meter dan 200
meter putra dalam ajang SEA Games tahun 2011 di Palembang.

“Kalian juga bisa jadi seperti dia, mengharumkan nama Indonesia”, ucapku
setelah video itu selesai.

Lalu aku bertanya, “Kalau akhir pekan, kalian ngapain?”

“Hari minggu ke gereja”, sahut Yohanes.

“Main bola”, Esron bersuara dari belakang kelas.


70

“Kau ini, bola terus”, Paul menyahut.

“Baiklah. Gimana kalau besok Sabtu kita nonton film di bioskop. Saya yang bayar
tiketnya.”

“Hore.. hore.. “, mereka melompat-lompat.

Sabtu pukul satu siang, aku menuju Plaza Bintaro. Aku masuk ke lobi bioskop.
Mereka sudah berkumpul di sana. Aku beli tiket The Expendables 3, lalu memesan
pop corn dan hot chocolate untuk mereka.

Kami berjalan menuju pintu Theater 1.

“Paul, kenapa kamu diam terus dari tadi?”, aku bertanya.

“Ah, tidak Bapa”, dia tersenyum.

“Dia baru pernah masuk bioskop”, sahut Derek.

“Di Jayawijaya tak ada bioskop”, lanjut Derek.

“Diam kau ini!”, gertak Paul.

Kami tertawa. Pintu teater dibuka.

Setelah pertunjukan film selesai, kami berjalan menyusuri lorong.

“Mantap filmnya, Bapa”, ucap Derek.

“Iya, seru”, aku menjawab.

Keluar dari lorong, kami berhenti sejenak.

“Kalian lanjut saja jalan-jalan di sini. Saya ada keperluan di rumah.”

Aku buka handphone, baca SMS. Aku terkejut.

“Ke sini semua”, aku meminta.

“Ada berita duka dari Cimahi. Salah satu teman kalian ada yang meninggal.”
Perekat Indonesia 71

“Kanapa dia?”, Paul bertanya dengan muka serius.

“Minuman keras”, aku menjawab singkat.

Mereka mengerti maksudku.

Kami terdiam.

Selesai

Periode perkuliahan telah berakhir, dari matrikulasi, semester I, sampai dengan


semester II. Saatnya dilaksanakan rapat kelulusan di Jakarta. Di rapat itu, hadir
para penyelenggara pendidikan dari Cimahi, Palembang, Malang, dan Medan.

Forum rapat memutuskan, 180 mahasiswa dinyatakan lulus. Sedangkan 21


mahasiswa harus mengulang karena tidak memenuhi persyaratan nilai minimum.
Mereka diberi kesempatan mengikuti remedial. Sementara itu, ada 3 mahasiswa
yang dinyatakan tidak lulus karena melakukan pelanggaran disiplin.

Sebagai tahap akhir proses pendidikan, diselenggarakan wisuda di Jakarta pada


Kamis, 25 September 2014. Mahasiswa yang kuliah di Medan, Palembang,
Cimahi, dan Malang, semua datang ke Jakarta. Mereka menginap di penginapan
TMII. Sehari sebelum wisuda, mereka mengikuti yudisium.

Di forum wisuda, Direktur STAN menyampaikan harapan, “Setelah melalui


tahapan-tahapan pendidikan, akhirnya pada hari ini kita semua berada di
ruangan ini untuk melakukan wisuda program studi afirmasi bagi putra-putri
Papua. Diharapkan lulusan program ini mampu memberikan kontribusi positif
bagi terwujudnya pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah yang transparan,
akuntabel, dan bertanggung jawab sehingga bisa memperbaiki capaian opini
LKPD”.

Sebagian orang tua mahasiswa ada yang hadir. Terpancar wajah-wajah bahagia.
Anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi di luar Papua, tanpa biaya. Aku
menyalami mereka.

Pak Daniel datang di wisuda itu, mewakili Kabupaten Manokwari. Setelah


prosesi wisuda selesai, kami mengobrol sambil makan siang.

“Saya kasihan sama anak-anak yang ikut program ini”, dia membuka
72

pembicaraan serius.

“Kenapa?”, aku bertanya.

“Dana untuk membeli tiket pulang belum cair”.

Aku tak bertanya apa sebabnya.

“Lalu, pengangkatan mereka sebagai PNS di Pemda juga terkendala. Mungkin


akan tertunda satu tahun”, Pak Daniel melanjutkan.

“Kok bisa? Bukannya sudah ada Surat Pernyataan Bupati, bahwa akan
mengangkat mereka menjadi PNS di sana. Itu sudah ditandatangani sebelum
program ini berjalan”, aku mengungkapkan.

“Bagian Kepegawaian merasa tidak mendapat informasi tentang surat itu.


Sehingga mereka belum mengajukan formasinya ke MenPAN. Ini bukan
urusan UP4B, apalagi STAN. Ini urusan koordinasi internal kami”, Pak Daniel
menjelaskan.

Oktober 2014, pemerintahan Presiden SBY berakhir. Masa kerja UP4B pun
selesai, karena sesuai dengan Perpres 66 tahun 2011, tugasnya hanya sampai akhir
tahun 2014. Pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perpres
sejenis untuk memperpanjang masa kerja UP4B. Program afirmasi pendidikan
untuk Papua tetap dilanjutkan, tapi dikelola langsung oleh Kemristekdikti dan
Kemdikbud. UP4B dibubarkan.

Epilog: Kemajuan Papua Berawal dari Pendidikan

Aku sering mengatakan, “Orang menjadi brutal dan miskin karena bodoh”.
Mungkin ada yang menjawab, “Apakah pendidikan yang tinggi menjamin orang
berperilaku baik?” atau “Apakah lulusan universitas tidak ada yang jadi penjahat?”,
dan “Berapa banyak sarjana yang menganggur dan miskin?”.

Waktu kecil, tepatnya kelas tiga SD, aku pernah menyobek uang mainan
milik teman sekelas ketika perjalanan pulang sekolah. Temanku menangis,
lalu mengadu ke orang tuanya. Apa yang terjadi? Ayahnya datang ke rumahku
membawa golok, menggedor pintu dengan amarah memuncak. Saat itu orang
tuaku sedang bekerja. Aku ketakutan bukan main di dalam kamar.
Perekat Indonesia 73

Sekarang kalau pulang kampung, aku sering ketemu teman SD itu. Kami
bercanda mengenang masa-masa sekolah dulu. “Kasus” penyobekan uang mainan
tadi malah jadi bahan tertawaan kami. Namun ada satu hal yang membuatku
sedih ketika bertanya, “Kamu sekarang kerja apa?”. “Aku kerja buruh cangkul di
sawah”, katanya. Upahnya dua puluh lima ribu rupiah per hari. Setelah lulus SD,
dia tidak melanjutkan sekolah. Keluarganya memang tak berpendidikan. Ayahnya
tak pernah sekolah sehingga dikenal sangat emosional dan sering menghardik
anak kecil yang “bermasalah” dengan anaknya.

“Semua ini terkait pendidikan”, itulah pemikiranku. Pendidikan tidak hanya


mengajarkan ilmu pengetahuan tapi juga membangun kematangan pribadi. Bagi
orang tua yang “matang”, kejadian anak yang menangis saat bermain itu bukanlah
urusan kritis yang sampai harus dibela dengan golok. Itu cuma “bunga” dalam
pergaulan anak. Aku juga berpikir, kalau temanku itu tak hanya lulus SD, maka
dia bisa hidup layak. Pendidikan memang tidak menjamin dia menjadi kaya, tapi
setidaknya dia tidak jadi orang miskin.

Aku teringat pesan Ayah, “Kamu harus sekolah yang tinggi, supaya kamu
menjadi orang baik. Kamu harus sekolah yang tinggi, supaya kamu mendapat
kehidupan yang layak”. Mendengar kata-kata itu, semangatku meletup untuk
menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi dosen di perguruan
tinggi. Sehingga, ketika lulus kuliah di STAN, aku memilih untuk tetap di
kampus dan langsung mengajar.

Bagiku, mengajar adalah passion sehingga sering lupa waktu dan tak merasakan
lelah meskipun harus mengajar seharian. Bertemu dengan mahasiswa yang masih
polos dan tak terbelit beragam kepentingan, terasa begitu menggembirakan.
Berdiskusi dengan mereka, tak akan ada habisnya. Mengajar selalu memiliki
banyak tantangan. Aku harus mengerti banyak hal karena mahasiswa sering
bertanya hal-hal yang “tak terduga”.

Mengajar mahasiswa Papua, menjadi pengalaman tak terlupakan. Aku menjadi


seorang guru, bukan dosen. Aku harus ekstra sabar mendidik mereka. Bertemu
mereka dua kali dalam seminggu, aku hafal semua nama-nama mereka dan
mengerti siapa yang pintar dan siapa yang sering bingung. Aku memahami,
betapa jauhnya kesenjangan pendidikan antara Jawa dengan Papua.

Di sela-sela mengajarkan materi kuliah, aku sering menyisipkan cerita tentang


74

pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan bagaimana membangun mental yang


kuat. Kuberikan contoh-contoh dan kejadian nyata yang aku alami sendiri dan
cerita para tokoh-tokoh besar. Aku ingin mendidik mereka menjadi pribadi yang
berkarakter karena mereka akan menjadi penggawa pengelola keuangan yang
tersebar di seluruh Papua.

Mereka harus punya kompetensi dan karakter yang matang. Mereka akan
menjadi panutan bagi masyarakat Papua. Mereka harus menjadi generasi cerdas
yang berintegritas, birokrat yang beretika, dan pejabat yang matang dalam
berpikir dan bertindak.

Papua sudah tertinggal sekian lama. Otonomi khusus yang diberlakukan mulai
tahun 2001 belum banyak memperluas akses pendidikan, terutama pendidikan
tinggi. Indeks pembangunan manusia untuk Papua hampir selalu menjadi angka
terendah dari semua provinsi di Indonesia. Padahal, sudah triliunan rupiah dana
otonomi khusus yang digelontorkan.

Maka, program afirmasi pendidikan ini menjadi sebuah gerakan perubahan


dan aku telah ikut berkontribusi dalam gerakan itu, dari ruang kelas. Meskipun
di kelas hanya ada 15 mahasiswa, tetapi mereka adalah calon-calon pemimpin
masa depan Papua. Bagaimana “warna” Papua di masa depan sangat tergantung
bagaimana para pendidik “mewarnai” mereka hari ini di bangku sekolah, di ruang
kuliah.

Aku mengerti, gerakan ini berjalan lambat, banyak kendala dan senyap dari
pemberitaan media. Namun aku menguatkan komitmen untuk memberi
kontribusi semampuku, meskipun hanya seujung kuku. Aku telah menentukan
pilihan, mewakafkan hidupku untuk pendidikan. Aku percaya, suatu hari nanti
aku akan melihat cahaya mutiara yang terpancar dari tanah Papua.
Perekat Indonesia 75

Magdalena, Sa Pu Nama
Undani, KPPBC TMP C Sorong - DJBC

Hari itu Senin, 25 Juni 2018, mentari menyapa sunyi


pada basah embun pagi. Daun-daun matoa bergulung pada
tangkai dan dahan yang memeluk, seolah enggan melepas
pagi untuk pergi. Ada kegundahan sekaligus kebahagiaan
berkelindan dalam ingatan. Hari terasa begitu istimewa,
tidak hanya bagi aku dan keluargaku, tetapi juga bagi insan
penggawa Nagara Dana Rakça di bumi Papua. Ini adalah hari
ketika sebuah sumpah jabatan kuikrarkan di hadapan Tuhan
yang Maharahman, begitu banyak kebaikannya yang telah
dicurahkan. Hari ini aku adalah satu-satunya putri Papua yang
diangkat dan diambil sumpah di Aula Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Sorong sebagai Kepala
Subseksi Kepatuhan Pelaksanaan Tugas.

Aku masih setengah tidak percaya, setelah melewati begitu


banyak rangkaian cerita. Seolah semuanya semu dan tidak
nyata. Masih terasa bagaimana tanganku bergetar dan dadaku
berdebar ketika pertama kali mendapatkan surat keputusan
pengangkatan sebagai CPNS pada bulan April 2004, waktu
itu usiaku 21 tahun. Berbekal ijazah SMK Sekretaris tahun
2002, aku memberanikan diri mengikuti ujian saringan masuk
Kementerian Keuangan jalur khusus rekrutmen Papua dan
sekali lagi Tuhan membuktikan keajaibannya. Dari enam
ratusan peserta yang mendaftar, hanya empat orang dari
wilayah Papua yang diterima, dan aku adalah salah satunya. Ada
76

Satu kebanggaan menjalar di dada. Aku anak Papua


dan aku bisa.
pernyataan Oh ya, perkenalkan sa pu* nama Magdalena,
yang ingin umurku 36 tahun. Saat ini aku bekerja di
KPPBC Sorong. Aku lahir dan besar di kota
sekali Sorong, Papua Barat. Sebagai orang Sorong,

kubuktikan rasanya tidak pernah sedikit pun aku pernah


bermimpi mengenakan pakaian seragam biru,
bahwa apalagi sebagai seorang perempuan. Tengok
saja sebagian besar teman perempuan SMK-
orang Papua ku langsung berakhir di pelaminan, menjadi

juga bisa nelayan, memotong ikan tuna di pabrik,


menjaga toko kelontong, atau berdagang
berkarya, di pasar Remu. Berkarier di Bea dan Cukai
dahulu rasanya satu kemuskilan, tetapi ada
memahatkan satu hal yang selalu menggoda nalar dan

karsa bagi akal sehatku. Satu pernyataan yang ingin


sekali kubuktikan bahwa orang Papua juga
bakti bangsa, bisa berkarya, memahatkan karsa bagi bakti
bangsa, bahwa kami tidak berbeda. Kami ingin
bahwa berjuang demi harum Indonesia jaya.

kami tidak Aku tidak ingin berhenti di sini, pengalaman

berbeda. memberiku keyakinan bahwa selama kita


punya mimpi tidak ada yang tidak dapat
diraih. Aku ingin seperti bintang yang meski
tersembunyi di gelap malam ia tidak pernah
sendirian, ada bintang-bintang lain menemani,
mereka bersama-sama memberi arti pada
indah gelap malam sunyi. Mereka berkerlipan
dari daya dan kekuatan cahaya yang mereka
punya. Filosofis itulah yang mendorongku
untuk tetap ingin bersinar. Tak hanya bagi diri
sendiri, tetapi bagi teman, lingkungan, dan
tentu saja bagi negara yang telah memberiku
kesempatan. Untuk itulah aku harus terus
Perekat Indonesia 77

berkembang mengasah kompetensi dan kemampuan. Aku harus tetap belajar.


Oleh karena itu, saat ini aku sedang menyelesaikan pendidikan di luar kedinasan,
mengambil ijazah strata satu di bidang hukum. Meskipun di tengah kesibukan,
aku tetap sempatkan untuk belajar di salah satu universtitas swasta terkemuka di
kota Sorong.

Di KPPBC Sorong tempatku bekerja, aku pun belajar tentang keberagaman,


tentang hidup berdampingan. Kami bersama-sama merangkai karsa dan bakti
demi nusantara tercinta. Di kantor ini beragam pegawai dengan latar belakang
suku dan daerah dipersatukan. Teman satu ruanganku ada yang berasal dari
Betawi dengan logatnya yang khas, ada dari Jawa, sebagian dari Makasar, ada
juga yang dari Padang, Flores, Sunda, Batak, dan daerah lainnya, serta tentu saja
orang asli Papua. Kami bersatu-padu membangun mimpi yang satu. Seperti rasi
bintang, kami membentuk formasi di gelap malam, setiap posisi akan memberi
arti, tidak ada yang merasa paling berjasa atau paling mulia, karena kita sama.
Kita adalah kumpulan kerlip bintang yang bisa memberi petunjuk dan arah bagi
nelayan ketika tersesat di lautan.

Sebagai seorang perempuan, aku memang dianugerahi kepekaan dalam


memaknai keadaan, mungkin ini terkait dengan rasa keibuanku. Sebagai seorang
ibu yang telah dikarunia dua orang putra, aku selalu bersyukur bahwa selama
ini aku juga bisa menjadi ibu bagi anak-anak muda Bea dan Cukai di Sorong.
Ya, mereka adalah generasi milenial, pemuda dan pemudi yang baru saja lulus
dengan semangat yang membara dan cita-cita yang menyala. Namun terkadang
baranya harus kita arahkan agar menjadi energi bagi kehidupan. Bara yang
menghangatkan dan yang tidak melukai hingga bisa menjadi aib bagi diri sendiri
dan institusi.

Mereka kaum muda yang meninggalkan rumah dan kampung halaman. Sebagian
dari mereka berasal dari Jawa–pulau dengan segala kemajuan dan modernisasi,
menuju tanah Papua–lahan dengan segala kesederhanaannya. Mereka pergi
dengan sebuah cita-cita di dalam hati, menjadi penggawa di Nagara Dana
Rakça. Banyak tantangan dan hambatan yang harus mereka hadapi, culture shock,
kerinduan pada kampung halaman, tiket mahal yang sulit terjangkau, hingga
tingginya living cost di Kota Sorong. Memang dalam beberapa bulan selama
tahun 2018 misalnya, inflasi di kota Sorong adalah yang tertinggi di Indonesia,
bahkan bisa sampai dua kali lipat dari tingkat inflasi secara nasional, dan salah
78

satu faktor penunjang inflasi itu adalah tingginya tiket pesawat dan harga barang-
barang kebutuhan harian. Keadaan memang tidak selalu menggembirakan, di
tengah keterbatasan gaji dan tunjangan, sebagian dari kami harus menyisihkan
uang demi tabungan untuk bisa membeli tiket pesawat agar pada saat lebaran
atau natal bisa kembali mengunjungi kampung halaman, muara bagi segala
kerinduan.

Aku terpanggil oleh empati, oleh rasa saling memiliki bahwa kita adalah satu
jiwa yang saling mengerti. Untuk menyiasati tingginya standar biaya hidup di
Kota Sorong, akhirnya aku pun berinisiatif membuka dapur sehat, nikmat, dan
murah. Mereka menyebutnya De’Rantanger, mungkin karena menu makanannya
yang kusajikan dalam wadah rantang plastik. Dengan harga separuh dari harga
di warung makan biasa dan porsi yang sama, kini mereka bisa menikmati sajian
bergizi di sore hari tanpa harus khawatir dengan kebersihan dan kenikmatan.
Bahkan mereka bisa membayarnya di akhir pekan jika gajian belum juga datang.
Selain itu, ternyata katering ini juga membuka lahan pekerjaan bagi tetangga
karena mereka dilibatkan agar dapat menikmati pula tambahan penghasilan dari
keberadaan kita. Mungkin ini hal yang sederhana, tetapi bagiku, melihat mereka
menikmati dengan lahap setiap suap sajian yang dihidangkan sudah memberiku
kebahagiaan. Bisa menjadi bagian dari solusi. Mengatasi masalah dengan hati.
Ada bahagia yang tercipta di kerlip cahaya bintang di langit jingga.

Aku selalu berharap bahwa sebagai seorang Papua, aku bisa mengambil
peran bagi kemajuan kedinasan, bagi erat dan akrab persahabatan di tengah
keberagaman. Aku ingin tumbuh dan berkembang, memendarkan cahaya bagi
kehidupan. Menjadi suluh dan pelita bagi sesama ketika gulita tidak juga sirna.
Aku Papua, aku tidak berbeda, maju bersama mengukir karya, memahat karsa di
atas cinta pada Indonesia raya, karena Kitorang** Papua.

*Bahasa Papua yang berarti Saya Punya


**Bahasa Papua yang berarti Kita Orang
Perekat Indonesia 79
80

“Sudah saatnya
Indonesia sadar diri
bahwa lautnya lebih
kaya dari daratnya yang
membutuhkan bantuan
kita untuk menjaganya.”

Susi Pudjiastuti
Perekat Indonesia 81

BAHARI
ER I
EG
N
82

Badai Pasti Berlalu,


Insyaallah
Sidiq Gandi Baskoro, KPPBC TMP C Ternate - DJBC

Beberapa hari mendatang akan ada ekspor iron ore dari Pulau
Taliabu. Kapal berbendera asing akan masuk dan berlabuh
untuk mengangkut iron ore tersebut. Sudah menjadi standar
internasional, para petugas CIQ (Customs, Immigration, dan
Quarantine) akan melakukan pemeriksaan ke atas kapal tersebut
pada saat kedatangan dan pada saat dia akan meninggalkan
Indonesia. Perjalanan menuju Pulau Taliabu dari Ternate
dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, naik kapal laut
dari Ternate ke Pulau Taliabu selama dua hari dua malam.
Kedua, naik pesawat dari Ternate ke Sanana, Kepulauan Sula,
lalu disambung dengan naik kapal laut selama satu malam
perjalanan dari Sanana ke Pulau Taliabu. Namun, pesawat dari
Ternate ke Sanana tidak setiap hari ada. Ketiga, naik pesawat
dari Ternate ke Makassar. Menginap satu malam di Makassar.
Pagi harinya lanjut penerbangan dari Makassar ke Luwuk,
Banggai. Lalu dilanjutkan naik kapal laut selama satu malam
perjalanan dari Pelabuhan Rakyat Luwuk, Banggai, ke Pulau
Taliabu.

Pagi tadi Pak Luthfi Sidasi dari Kantor Karantina Kesehatan


Ternate meneleponku. Kemarin malam beliau bersama beberapa
teman dari Kantor Imigrasi Ternate berangkat ke Pulau Taliabu
dari Pelabuhan Luwuk dengan menumpang Kapal Sumber
Raya 3. Berangkat dari Luwuk pukul 21.00 WITA.Awalnya
lautan masih teduh dan nyaman untuk berlayar. Namun pada
Perekat Indonesia 83

tengah malam kapal kayu besar itu dihantam angin kencang dan gelombang laut
dari utara setinggi 2-3 meter. Pintu yang berada di lambung kapal jebol. Banyak
air laut masuk. Para penumpang panik. Live jacket (pelampung) pun segera
dipakai untuk antisipasi kondisi terburuk yang mungkin saja terjadi. Lima puluh
sak semen muatan kapal langsung dibuang ke laut untuk mengurangi muatan.
Ada juga yang menambahkan informasi bahwa mesin kapal juga mati sehingga
kapal tidak bisa melanjutkan pelayaran malam kemarin. Beruntung di depan
ada sebuah pulau kecil, Pulau Sagu namanya. Kapten kapal memutuskan agar
kapal menepi dan berlindung di pulau itu sekitar pukul 02.00 WITA, sambil
melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya. Sekira pukul 07.00 WITA tadi pagi
pertolongan datang. Alhamdulillah kapal pun bisa melanjutkan pelayarannya ke
Taliabu.

Salah seorang pemilik kapal yang malam ini bersamaku juga bercerita bahwa
kapal miliknya yang melayani pelayaran dari Manado ke Kepulauan Sangihe
Talaud, Sulawesi Utara, saat ini dihentikan operasi pelayarannya sampai hari
Kamis besok. Penyebabnya karena gelombang laut sedang tinggi-tingginya dan
tidak bersahabat bagi kapal-kapal.

Mengulas kondisi alam menjelang akhir tahun 2018 kemarin, sampailah


beberapa kabar kepada kita. Di antaranya tingginya gelombang di pantai
Manado sampai air lautnya tumpah ke jalan raya, meletusnya Gunung Anak
Krakatau yang konon menjadi pemicu terjadinya tsunami Selat Sunda, beberapa
gempa yang terjadi di Laut Maluku diduga menyebabkan putusnya kabel optik
Telkomsel di dasar Laut Ternate hingga putusnya jaringan telekomunikasi
Telkomsel se-Maluku Utara selama beberapa hari, dan yang masih hangat adalah
terjadinya gempa dengan magnitudo lima sebanyak puluhan kali pada waktu
tengah malam di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Sedangkan kondisi cuaca pada jalur penerbangan, sempat terlihat gumpalan


awan cumulonimbus yang menyerupai gelombang tsunami di atas Bandara Sultan
Hasanuddin Makassar hingga banyak pesawat harus berputar-putar dulu di
angkasa selama sekitar dua puluh menit karena kondisi tersebut tidak aman
untuk pendaratan. Pada penerbanganku dengan Sriwijaya Air SJ-599 kemarin
dari Ternate ke Makassar di atas Pulau Sulawesi sempat mengalami guncangan
sangat keras beberapa kali, turbulensi, tidak seperti biasanya, dan yang paling
dramatis setelah beberapa guncangan keras itu pesawat seperti terayun ke
bawah, rasanya seperti ketika kita naik ayunan yang terayun kuat ke bawah.
84

Banyak penumpang histris. Seorang perempuan muda di seberang tempatku


duduk sampai berteriak karena ketakutan. Kemudian terdengar banyak orang
melafalkan doa-doa dan bacaan-bacaan sesuai tuntunan agama. Aku yakin yang
diminta dalam doa adalah sama, yaitu keselamatan.

Malam ini aku bersama Hero Triassosi, seorang dokter perempuan dari Jakarta,
dan tiga puluhan orang karyawan perusahaan tambang pasir besi, PT Servindo
Jaya Utama, menumpang Kapal Gracelia dari Pelabuhan Rakyat Luwuk, Banggai,
menuju Pulau Taliabu. Sesuai jadwal kapal diberangkatkan pukul 21.00 WITA
dan dijadwalkan tiba dua belas jam ke depan di Pulau Taliabu, tanpa banyak
singgah di pulau-pulau yang dilewatinya. Dengan memohon rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kami semua memohon perlindungan dan keselamatan
hanya kepada-Nya. Dialah yang telah menundukkan lautan agar kapal-kapal
aman berlayar dan manusia mengambil pelajaran.

Lautan yang kami seberangi termasuk laut dalam yang dimiliki Indonesia.
Namun, kami berlayar bersama para pelaut ulung yang telah berpengalaman
menaklukkan ganasnya gelombang.

Dari lautan kita banyak belajar. Badai dan gelombang hanyalah penguji untuk
menunjukkan jati diri sang nakhoda pilihan. Sebagaimana siang dan malam,
setelah gelombang hadirlah keteduhan, bersama kesulitan ada kemudahan. Kalau
tiada yang berani melayari lautan maka siapakah yang ‘kan memanen hasil laut
kita? Siapakah yang ‘kan hadir bercerita betapa indahnya kepulauan nusantara?
Dari laut pula sang nabi pilihan diselamatkan melalui seekor ikan.

***

Alhamdulillah hari Kamis, 10 Januari 2019, pukul 08.49 WITA kami tiba di
dermaga Pulau Taliabu. Sepanjang perjalanan gelombang laut sangat tinggi.
Angin bertiup kencang. Desau suaranya terlalu berisik saat beradu dengan lautan.
Kapal berguncang sepanjang waktu. Miring ke kiri, miring ke kanan, kadang
mengayun. Berulang-ulang aku terbangun. Tidur tidak nyenyak untuk sekadar
tetap waspada kalau terjadi apa-apa. Kondisi itu pun akhirnya sampai terbawa
mimpi.

Inilah sepenggal kisah yang dapat kami bagikan sebagai bagian pengalaman
dalam mengawal keuangan negara untuk masa depan Indonesia Raya tercinta.
Perekat Indonesia 85

Sinergi Instansi Dedikasi


Untuk Pertiwi
Krisna Bayu Alamsyah, KPPBC TMP C Pangkalan Bun - DJBC

Lamunan di warung kopi membuat cakrawala terbuka. Ada jeda


waktu sembari menunggu pesanan datang. Draf lama sedang
ia buka dan entah kapan ia akan menyelesaikan tulisannya.
Baginya semua tulisannya sebatas hobi saja tanpa harus terakses
oleh media. Laptop usang berbalut microsoft 2007 menemani
perjalanan seorang Alam yang selalu mencatat langkah kakinya.
Suhu 16°C mendinginkan kepalanya. Ia mengeluarkan buku
saku bersampul hitam yang di dalamnya terdapat suatu tulisan,
“Goresan pena telahku tuliskan, aku terlalu takut untuk
berkarya, terlalu bodoh untuk bergema, terlalu pintar untuk
mengada-ada, terlalu sulit untuk mengungkapkannya, hingga
rahasia terselimut rapi di database sanubari ini.” Putaran
loading laptop usang miliknya telah berganti menjadi lembar
putih dengan background dasar berwarna biru, dan ia mulai
memainkan jemarinya.

“Pusat mana tau kita yang di daerah sini selalu bertaruh dengan
nyawa. Ombak dua sampai tiga meter mana ada di pulau Jawa,
yang tau kapal sandar saja. Sedangkan kita harus menempuh
empat jam perjalanan dari darat menuju tengah laut. Kalau
mati, kita hanya dimakamkan dengan balutan bendera merah
putih. Lalu? Hilang”, ucap salah seorang pemuda yang berada di
geladak kapal (perahu kelotok).

“Sudahlah, jangan mengeluh. Masih banyak lagi yang lebih


86

parah dari kita. Letak geografis bukanlah suatu halangan. Bukankah kita merdeka
juga harus ada yang diperjuangkan? Tak peduli hidup ataupun mati, yang penting
demi pertiwi. Gampangannya catur, sehebat apa pun orang bermain catur, pasti
ada yang harus berkorban, bukan?” Dua pemuda paruh baya dari dua instansi
yang berbeda masih meneruskan perbincangannya dengan kepulan asap vape
yang dihisapnya. Deburan ombak dan bunyi mesin kelotok menjadi backsound
pelengkapnya. Alam masih mematung mendengar pembicaraan dua orang abdi
negara yang ada di sebelahnya. Hitam putih masih menyelimuti tubuhnya. Ia
belum mengenal apa-apa teori yang belum tentu sama dengan dunia kerja. “Jadi,
kalau kita checking kapal (boatzoeking), kita berangkat bareng sama karantina dan
imigrasi. Nah, karantina yang ikut kita sekarang itu dari kesehatan kapal, bukan
karantina hewan/tumbuhan karena kapal yang kita cek bermuatan minyak, jadi
yang perlu dicek hanya kesehatan kapal dan awaknya”, ucap senior berseragam
biru membuka pembicaraan dengannya. Alam masih tak bergeming dan hanya
memicingkan matanya melihat kapal yang terlihat kecil tepat di depan bola
matanya. Lantas saja ia terheran-heran dengan suasana di sekelilingnya. Delapan
belas tahun adalah usia yang tepat untuk danusan di kampus dan merancang
kepanitiaan di dunia perkuliahan, bukan usia yang tepat untuk bekerja. Namun
Tuhan berkata lain, “Kamu harus lebih!” Tegas-Nya.

“Dalam pengecekan kapal, satu hal yang sangat diperhatikan, yaitu keselamatan.
Cara naik tangga monyet, kaki dilarang untuk sejajar bertumpuan di salah satu
anak tangga. Hati-hati, kamu pasti bisa!” Tegas senior berkacamata. “Ini bukan
hanya layar kaca semata, kitalah pelakunya, centangan di setiap dokumen harus
dapat kita pertanggungjawabkan. Berhati-hatilah! Beban berat berada di dada
garuda dan buktikanlah bahwasannya foto yang terpampang di samping garuda,
tersenyum karena pengorbanan kita.”

“Itu bukanlah cerita menarik untuk dibicarakan, tak sebanding dengan cerita
teman yang ada di pangkalan sarana operasi di sana. Hanya awalan saja, aku
sudah tak tertarik untuk melanjutkannya. Lain waktu saja.” Terpampang jelas di
bagian paling bawah tulisan yang ia ketik.

Layar monitor masih berkedip seiring dengan pupil yang mulai membesar
menginginkan banyak sinar yang masuk ke arah kelopak matanya. Surat
elektronik lalu lalang masuk dan mengendap menunggu antrean untuk
didisposisikan. Senja tersenyum melihat seorang pemuda yang bersedia
menunggunya hingga ia pergi. Sebagai ucapan terima kasih, ia hanya bisa
Perekat Indonesia 87

merangkulnya dengan hangat sinar jingga di tanah nusantara. Sudah lima belas
menit lewat dari jam pulang, tetapi pemuda tersebut masih saja meraba papan
ketikan, “Pulang, dek.” Kata salah seorang senior wanita yang lewat di depan
pandangannya. “Siap, nanggung, mbak”, jawabnya. Tak ada yang menarik lagi
untuk dibicarakan hari ini.

Alam masih menikmati deburan angin yang menjajaki tubuhnya. Kayuhan


sepeda membuat jiwa muda terbakar, seiring berkurangnya ATP (adenosina
trifosfat) di dalam tubuhnya. Namun semangat akan selalu bersemayam di dalam
sanubarinya. Jam menunjukan pukul 18.45. Alam menyandarkan sepedanya di
sebelah tulisan “pecel lamongan” Menunggu makanan datang, ada jeda untuk
ia berpikir sejenak sembari meminum teh hangat. “Apakah ini yang aku cari?
Hidup dengan segala keseragaman, tak ada waktu untuk berkarya, hanya bisa
melihat mentari datang dan pergi dari bilik-bilik sekat yang terlindungi kaca?”
Pikiran itu selalu saja menghantui, tetapi masih ada tuan ndoro putri yang harus
dibahagiakan. Orang tua bangga dengan pekerjaan anak semata wayangnya.
Alam harus lebih bangga karena keluarga dan tanah airmya.

Notifikasi muncul di sela-sela perbincangan Alam dengan pegawai di


sebelahnya. Terlampir nama seorang yang ada di sebelahnya “pemanggilan diklat
kesamaptaan tertanggal 3 minggu depan.”

“Lam, mbak kepanggil samapta.”

“Haha, penantian akhirnya terpanggil juga ya mbak.”

“Berarti nanti kerjaan mbak serahin ke kamu buat sementara”, dengan nada lirih.

“Yah, mana saya tau, ‘kan saya OJT, mbak.”

“Kamu salah, Alam. Persepsi itu haruslah kamu ubah. Awal kalian menginjakkan
kaki di sini, kalian sudah kami anggap sebagai keluarga, keluarga bea cukai. Mbak
yakin kamu pasti bisa. Nanti mbak ajarin. Kamu boleh berkarya selagi tidak
menyalahi SOP yang ada.”

“Kayaknya aku butuh latihan banyak, mbak.”

“Ya sudah, khusus Sabtu besok, kita intensif latihan ya.”

“Ashiaap.”
88

Dua minggu telah berlalu, membuat Alam terbiasa dengan pekerjaan yang ada.
Tahap transisi telah berubah menjadi tradisi, gigi satu telah berubah menjadi
gigi lima, tetapi lelah akan tetap menjadi teman yang selalu menghantuinya.
Sempat ia berpikir untuk lebih memilih sebagai pekerja lapangan karena dengan
di lapangan, ia akan melihat layar kapal, bukan layar kaca yang membosankan.
Namun lamunannya seketika menghilang tatkala ia teringat kata-kata salah
seorang penyaji di kantor pusat bea cukai yang berkata, “Jangan pernah remehkan
supporting unit karena tanpa supporting unit, semua tak bisa berjalan seperti
semestinya. Mungkin kerjaan kita tak tampak seperti unit di lapangan, namun
peran kita penting dalam satu organisasi ini. Pada intinya adalah sinergi.”
Memang sudah selayaknya semua bekerja beriringan membentuk suatu korelasi
yang menyebabkan suatu aksi dan reaksi selayaknya lima butir Pancasila, mereka
berbeda namun tak dapat berjalan sendiri-sendiri. Satu bintang di langit tak akan
dapat menerangi luasnya bumi pertiwi. Namun jika semua bintang bersatu dalam
satu langit, gelapnya malam akan berubah menjadi keindahan panorama yang
tak terelakkan. Bersatulah demi ibu pertiwi, dimulai dari sinergi dalam organisasi
maupun instansi menuju sinergi perekat negeri ini. Jika lelah, ingatlah kata-
kata seorang pertiwi masa kini yang dapat menggetarkan ribuan generasi muda
Indonesia, “Jangan pernah lelah mencintai negeri ini”, tegasnya tiga kali. Jika kita
membaca tulisan ini dan ada gemuruh dalam hati, itu adalah salah satu wujud
nyata yang tak terlihat bahwasanya kita mencintai negeri ini.
Perekat Indonesia 89

Lentera Motivasi
M. Taufan Dharmawan, KPPBC TMP C Pangkalpinang - DJBC

Tuhan menakdirkan pemikiran Ibuku yang meminta dengan


harap agar aku meninggalkan pendidikan strata satu yang
sudah aku jalani selama dua bulan di Pulau Jawa dan beralih ke
diploma satu di Palembang. “Biaya bulan ini kemungkinan akan
kurang, kalau Ibu minjem uang boleh? Ayah ‘kan udah gak kerja
lagi, maaf ya ngerepotin Ifan terus.” Begitu bunyi pesan singkat
dari bidadari yang mengandungku. Pesan singkat yang selalu
mewarnai dan menyemangati telepon genggam yang selalui
kuisi kuotanya agar terhubung dengan mereka yang kukasihi.
Pesan singkat yang selalu hadir, lebih tepatnya ketika saat aku
melempar topi toga diploma satuku pada bulan Oktober 2015.

Kata orang, “Garis pemisah takdir sering kali hanya setipis


beberapa kalimat motivasi bagi seseorang yang mentalnya
sedang goyah”. Bingung akan nasib dan keadaan yang kadang
bisa menjadi begitu kejam. Kalimat itu melintas begitu saja di
pikiranku ketika matahari berusaha bersenja gurau denganku
(Suatu penggabungan kata yang lumayan bukan? Hehe).

Sore itu di tengah laut yang memisahkan Pulau Sumatra,


tanah kelahiranku dengan Pulau Bangka, tempat pengabdian
pertamaku. Di tengah bunyi mesin yang bersiap mendorong
minyak-minyak mentah keluar dari pipa-pipa raksasa dari satu
kapal ke kapal lainnya dalam proses pemuatan minyak mentah.
Aku selalu membayangkan tugas negara yang berkorelasi
90

dengan tugas rumah tangga, walaupun aku belum berumah tangga. Lamunan
pun terhenti tatkala pesan singkat sang bidadari masuk pas tanggal gajianku.

Di saat teman-temanku yang lain disambut haru oleh keluarga dan teman-teman,
begitu juga dengan diriku yang disambut dengan air mata bangga orang tua dan
tepuk tangan meriah teman-teman. Lulus dalam waktu satu tahun adalah hal
yang luar biasa, sudah terbayang di depan mata ini tantangan dan pengalaman
masuk ke instansi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang selalu aku
banggakan. Tapi ternyata, bukan hanya jalur takdir yang mengantarkanku untuk
menjadi pegawai DJBC di usiaku yang masih relatif muda–dua puluh tahun. Tapi
kenyataan lain dari kesimpulan apa yang ayah dan ibu beritakan ketika aku sudah
sampai di rumah. Waktu itu aku sedang menunggu informasi tanggal masuk
untuk menjalani program On the Job Training (OJT). Ya, ayah ternyata sudah
pensiun setengah tahun sebelum aku wisuda atau lebih cepat tiga setengah tahun
dari prediksiku sebelumnya. Titel baru pun segera harus kuemban, mau tak mau,
menjadi pegawai bea dan cukai, menjadi anak sekaligus tulang punggung bagi
ayah, ibu, dan adik perempuanku yang masih duduk di kelas dua SMP.

Meskipun aku anak ketiga dari empat bersaudara, tetapi aku adalah anak laki-
laki satu-satunya sehingga kewajiban itu mutlak harus kuemban. Dua kakak
perempuanku sudah menikah dan baru memulai hidup mereka masing-masing.
Kondisi tersebut membuat mereka masih sulit untuk mendukung penghidupan
ayah, ibu, dan adik. Beruntung, selama masa OJT, ayah masih mempunyai
Jamsostek sehingga masih bisa mendukung kehidupan kami sekeluarga. Maklum,
masa-masa OJT adalah masa-masa ketika gaji yang kami terima baru sebatas
uang sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu pun belum termasuk akomodasi
seperti biaya indekos, uang bensin, dan lain sebagainya. Beruntungnya lagi, aku
masih ditempatkan di Palembang sehingga masih bisa menekan biaya seperti
tiket atau akomodasi lainnya.

Juli 2016 adalah titik balik dari semuanya ketika UP.9 pengumuman
definitif kami keluar. Aku harus menerima diri ini untuk mengabdi ke kota
Pangkalpinang, tepatnya di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
Tipe Madya Pabean C (KPPBC TMP C) Pangkalpinang yang terletak persis
di samping Pulau Sumatra. Ketika aku pamit kepada ibu dan ayah, ada sedikit
perasaan yang begitu menusuk relung hati ini. Bagaimana tidak, ibu sampai
harus menjual kuda besi satu-satunya milik keluarga untuk membiayai modal
tiket dan kehidupanku di sana. Ingin rasanya aku menangis sambil mengucapkan
Perekat Indonesia 91

maaf yang tidak akan pernah berujung, tapi aku tak ingin membuat Ibu sedih.
Akhirnya dengan penuh tekad untuk berbakti dan mengabdi, aku berangkat ke
Pulau Bangka.

Hidup di tanah rantau dengan segala macam beban dan pikiran yang menurutku
sangat berat tentu tidak mudah. Berapa kali aku hanya bisa menangis dalam
sujud seraya terus meminta bantuan dari Yang Maha Pencipta agar selalu
diberikan kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi hidup yang kadang bisa
segetir ini. Tuhan memang selalu mendengarkan doa-doa hamba-Nya. Hanya
berselang dua bulan dari penempatanku di Pangkalpinang, uang rapelku keluar.
Jumlah yang menurutku sangat banyak sehingga dengan senang hati segera
kukirimkan kepada ayah dan ibu di rumah. Mendengar tangisan haru mereka di
seberang, membuatku kadang menyesali keluhanku di masa lalu. Tuhan memang
mempunyai rencana yang begitu indah dan manis untuk setiap hamba-Nya yang
sabar dan percaya.

Pikiranku langsung kembali ke atas kapal tanker itu. Di suatu sore di bulan
Februari. Ketika temanku–sesama pegawai pemeriksa dari KPBBC TMP C
Pangkalpinang, memberitahuku bahwa kapal yang akan menampung minyak
mentah untuk selanjutnya diekspor, sudah siap untuk dilakukan proses
boatzoeking. Aku pun mengiyakan seraya bersiap-siap. Melakukan boatzoeking
atau pemeriksaan terhadap sarana pengangkut berupa kapal laut adalah salah
satu tugas Bea dan Cukai untuk menerapkan fungsi pengawasan dan pelayanan
terhadap sarana pengangkut yang berasal dari luar negeri dalam rangka impor.
Tentunya hal ini dimaksudkan untuk mencegah barang-barang yang tidak
diinginkan atau yang dilarang masuk ke Indonesia.

Kapal tugboat yang akan membawa kami sudah siap. Sebelum berangkat,
diadakan briefing terlebih dahulu mengingat suasana air laut yang memang agak
sedikit bergelombang. Sempat sedikit muncul rasa ragu ketika kami sudah berada
dalam donut bucket karena bagaimanapun musibah tidak ada yang bisa ditebak
oleh penalaran manusia yang terbatas. Namun sesuai dengan ikrar yang telah
diucapkan, mars yang selalu dinyanyikan, dan korps yang dibanggakan, tekad
kami untuk memberikan pengabdian terbaik tidak boleh goyah hanya karena
cuaca yang tidak bersahabat. Dengan mengucapkan bismillah, kami berdua
akhirnya berangkat.

Di kapal tanker yang akan memuat minyak mentah untuk selanjutnya diekspor,
92

kami disambut oleh kru


kapal yang mengarahkan
…tekad kami untuk
kami untuk menuju ruang
kapten. Rata-rata kru kapal
memberikan
tersebut adalah warga pengabdian terbaik
kewarganegaraan Filipina,
sedangkan kapten kapalnya tidak boleh goyah
adalah pria kerwarganegaraan
Ukraina bernama Kapten
hanya karena
Andy Konstatinov. Suasana cuaca yang tidak
awalnya agak sedikit tegang
dan canggung mengingat bersahabat. Dengan
logat orang-orang yang
berasal dari Negara Eropa
mengucapkan
Timur agak sedikit susah bismillah, kami
berdua akhirnya
untuk dipahami orang-
orang Asia seperti kami.
Tapi bagaimanapun,
profesionalisme kami sebagai
berangkat.
petugas yang harus memeriksa
kelengkapan dokumen dan
melakukan pemeriksaan
sarana pengangkut harus
tetap berjalan sesuai dengan
peraturan dan prosedur yang
berlaku. Di tengah-tengah
pemeriksaan dokumen
iseng-iseng aku menanyakan
terkait hal-hal yang berkaitan
dengan Ukraina kepada
Kapten Andy. Ternyata dia
adalah penggemar sepak
bola, khususnya tim sepak
bola Dinamo Kiev, Timnas
Ukraina, dan juga Liverpool.
Ketika kusinggung mengenai
Andriy Shevchenko–seorang
Perekat Indonesia 93

legenda sepak bola Ukraina yang juga mantan pemain Dinamo Kiev dan sukses
mengantarkan timnas Ukraina sampai ke perempat final Piala Dunia 2006,
dia dengan sangat antusias menjelaskan kebanggaannya. Apalagi nama depan
mereka hampir sama yaitu Andy dan Andriy. Aku pun menjelaskan bahwa
Timnas Indonesia juga mempunyai banyak pemain legenda yang sama perannya
seperti Andriy Shevchenko, seperti Kurniawan Dwi Cahyo ataupun Bambang
Pamungkas. Kami juga sama-sama sepakat bahwa satu malam penuh keajaiban
di Istanbul ketika Liverpool berhasil membalikkan keadaan tertinggal 3-0 dari
AC Milan menjadi 3-3 sebelum memenangkan Piala Champions League melalui
drama adu penalti, adalah salah satu pertandingan paling mengesankan dalam
sejarah. Setelah itu suasana menjadi lebih mencair dan akrab, tanpa mengurangi
profesionalitas kami. Kapten Andy banyak bercerita tentang pengalamannya
dan beberapa kali menanyakan terkait dengan peraturan-peraturan ataupun
kelengkapan dokumen kapalnya.

Setelah semua dokumen selesai dan proses checking selesai maka semua
persyaratan sarana pengangkut untuk melakukan kegiatan ekspor sudah dapat
terpenuhi. Aku bersama dengan pegawai lainnya kemudian bersiap-siap untuk
turun lagi ke kapal tugboat. Tiba-tiba Kapten Andy memanggil. Dia hendak
menyerahkan satu slop rokok dan satu botol wine khas dari Ukraina yang sengaja
dia bawa untuk mengurangi rasa kangen rumah. Melihat hal tersebut, tentu
saja aku kaget karena aku tidak mengharapkan akan mendapatkan “oleh-oleh”
dari Kapten Andy. Aku percaya ini bukanlah iktikad buruk ataupun suatu cara
untuk memperoleh kemudahan terkait pelayanan yang sudah kami berikan. Toh,
kelengkapan dokumennya lengkap dan ketika dilaksanakan proses pengecekan
sarana pengangkut pun tidak ditemukan indikasi pelanggaran. Kapten Andy
murni memberikannya karena sama-sama penggemar sepak bola dan The Kops
(sebutan untuk pendukung Liverpool). Tentu, sempat tebersit di pikiranku untuk
dapat menerima saja pemberian Kapten Andy karena memang sekali lagi ini
murni hadiah, bukan atas hasil kemudahan dari pelayanan yang sudah diberikan.
Ditambah lagi, rokok dan wine itu bisa kujual lagi–mengingat aku tidak merokok
dan minum. Uangnya pun bisa kukirimkan kepada ibu dan ayah di rumah.

Tapi di satu sisi, nuraniku yang lain tetap bertekad menolak pemberian Kapten
Andy. Bukan karena tidak menghargai pemberiannya, tetapi semata-mata untuk
menjaga kode etik dan martabat dari pegawai bea cukai untuk tidak menerima
apa pun ketika melaksanakan tugas dan fungsinya, apa pun alasannya. Di saat
94

mental yang mulai goyah itulah, aku teringat dengan kalimat motivasi yang
diucapkan oleh salah satu seniorku ketika mengikuti kegiatan bimbingan
mental,“Tangan yang di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah” (HR.
Bukhari: 1472 dan Muslim: 1035). Sebuah kalimat motivasi dari perkataan
Rasulullah saw. tersebut terus bergema di telingaku. Akhirnya, meskipun di satu
sisi aku sangat butuh tambahan dana untuk ibu dan ayah di rumah, tetapi aku
harus berpegang teguh untuk terus menegakkan kode etik dan martabat bea dan
cukai, bahwa kami memang sudah berubah, bahwa semboyan “makin baik” yang
kami gaungkan terus-menerus bukanlah sekadar kalimat penyemangat belaka.

Akhirnya dengan penuh kesopanan serta menjelaskan mengenai kode etik


Pegawai Negeri Sipil dan pegawai DJBC, kusampaikan bahwa aku tidak bisa
menerima pemberian tersebut, mengingat kontak yang baru saja terjadi antara
diriku–sebagai petugas bea dan cukai, dengan Kapten Andy–sebagai Kapten
dari sarana pengangkut yang akan melaksanakan kegiatan ekspor. Semua
kusampaikan dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Aku
bersyukur Kapten Andy mengerti dan memaklumi. Dia juga mengatakan bahwa
apa yang dia lakukan semata-mata sebagai ungkapan perkenalan dan ucapan
terima kasih atas keramahan dan kerja kami yang sesuai dengan prosedur. Di
akhir sesi, kami pun sempat bertukar email dan mengambil foto bersama.

Diakhiri dengan lambaian tangan persahabatan yang baru terjalin, kami pun
turun menuju tugboat yang akan membawa kami kembali ke kapal tanker tempat
minyak mentah itu ditampung sebelum akhirnya dimuat dan diekspor. Di atas
tugboat itulah aku berpikir, bahwa ada benarnya ungkapan yang menyebutkan
bahwa takdir seseorang mungkin hanya dibatasi oleh hal-hal tipis semacam
antara satu slop rokok dengan beberapa baris kalimat motivasi. Mungkin ketika
aku memang benar-benar menerimanya, aku sekarang sudah bisa membantu ibu
dan ayah di rumah. Tapi mungkin itu akan memberikan persepsi negatif dari
instansi lain yang ikut dalam pengecekan tersebut. Citra bea cukai akan kembali
tertarik mundur ke masa beberapa tahun ke belakang, ketika korps pejuang ini
dilucuti kewenangannya oleh negara karena kesalahannya sendiri. Apa yang
sudah dibangun oleh para senior dan rekan-rekan pejuang integritas akan luntur
begitu saja. Sudah selayaknya aku, kami, dan kita sebagai generasi milenial DJBC
harus bisa terus memiliki tekad yang kuat untuk menjaga martabat dan kode etik
pegawai. Terlepas dari tuntutan ego atau kebutuhan yang kerap kali membuat
semua perjuangan itu kadang terasa getir atau tidak adil, di saat godaan-godaan
Perekat Indonesia 95

dari mereka yang tidak bertanggung jawab yang bisa dengan jelinya melihat ego
tinggi dari generasi milenial adalah celah yang bisa disusupi untuk mendapat
kemudahan secara ilegal, yakinlah dari dalam diri ini bahwa baik buruknya takdir
dan masa depan instansi ini kadang bisa sangat tipis, semua bisa berawal dan
bergantung dari keputusan atau tindakan yang kita lakukan. Kalimat motivasi
tersebut bisa menjadi lentera yang menuntun seseorang ke arah yang lebih baik
di tengah gelapnya rasa ragu dan goyahnya mental.

Sore itu, di tengah terpaan angin laut yang terus memupuk rasa bersyukurku bisa
berbakti pada pertiwi melalui instansi ini, lagi-lagi aku belajar tentang sebuah
arti keikhlasan, semangat, dan juga rasa bangga, bahwa tekad dan juga prinsipku
untuk membuat bea cukai yang semakin baik, masih terus bisa kupertahankan.
Meskipun keadaan kadang membuat mata dan hati ini seakan tertutup dan
mengarahkan ke arah jalan pintas, tapi percayalah selama lentera-lentera itu terus
menyala maka jalan yang terlihat akan senatiasa indah. Seperti kalimat-kalimat
motivasi yang seakan tersenyum di atas cakrawala, yang menyaksikan secara
langsung bukti nyata, bahwa kami, sudah berubah.

Bea Cukai Makin Baik!


96

Filosofi Ombak
Ranu Fatah Wijoyo, Kanwil DJPb Provinsi DKI Jakarta

Bila ada yang tertinggal


Biarlah dia rindu
Yang kutitipkan lewat daun-daun
Dan deru bus antarkota
Bila ada yang dirindu
Biarlah dia engkau
Yang kubawa di jiwa
Dari suatu perjalanan

(Berangkat – Rahmad Sanjaya)

“Sudah dipesan oto (mobil) untuk berangkat nanti, Pak Masri?”


Tanyaku sambil menandatangani dokumen surat.

Orang yang kutanya segera beringsut dari mejanya,


menghampiri mejaku dengan sopan.

“Sudah, Pak. Nanti sore jam tiga datang ke sini”, jawabnya


dengan yakin.

“Barang-barang yang mau dibawa, disiapkan di bawah ya, Pak.”

“Iya, Pak.”

Hari Jumat yang sibuk sekali. Sore itu para pejabat Eselon IV
KPPN Tobelo akan berangkat ke Ternate untuk mengikuti
Perekat Indonesia 97

Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) lingkup Kanwil Provinsi Maluku Utara di


Ternate. Kepala KPPN sudah berada lebih dahulu di sana. Sejumlah bahan harus
segera kusiapkan untuk dipresentasikan oleh para Kepala KPPN nanti malam.
Sementara para pegawai yang lain berjibaku dengan pekerjaan masing-masing.
Sungkan rasanya meminta bantuan mereka. Jumlah personel yang terbatas kerap
memaksa mereka melayani tamu Satuan Kerja (Satker) melewati batas waktu
layanan.

Sambil menyiapkan bahan presentasi Rakor dengan bergesa-gesa, pikiranku


membayangkan beratnya perjalanan nanti. Terasa makin berat seperti memanggul
karung beras di tanjakan. Perjalanan dari Kota Tobelo ke Kota Ternate berjarak
sekitar 220 km yang harus dilalui dengan moda darat dan laut. Sebagian besar
menyisiri tebing, sebagian yang lain membelah hutan. Untungnya kualitas jalan
sangat bagus.

Perjalanan darat biasanya ditempuh dengan kendaraan umum sejenis MPV yang
akrab disebut oto. Lama perjalanan sekitar 4-5 jam hingga tiba di Pelabuhan
Sofifi. Dari Pelabuhan Sofifi dilanjutkan dengan menumpangi speedboat melintasi
Selat Halmahera menuju Pulau Ternate. Perjalanan via laut ditempuh selama
45 menit. Perjalanan lewat laut inilah yang selalu menjadi momok bagi para
pendatang seperti kami.

Selat Halmahera yang memisahkan antara pulau Ternate dengan Pulau


Halmahera memang dikenal dengan ombak yang kurang ramah. Berangkat
dari dermaga biasanya permukaan laut tampak tenang, tapi beberapa kilometer
berikutnya mulai terasa goncangan ombak. Makin ke tengah makin tinggi.
Menumpang speedboat dengan kondisi demikian serasa naik wahana di Dufan.
Laju cepat perahu bertemu dengan ayunan ombak menghasilkan gerakan perahu
yang luar biasa.

Aku teringat waktu awal mulai bertugas di Tobelo. Bersama Pak Fajar (kepala
kantor) dan rekan kepala seksi yang lain, kami transit terlebih dahulu di Ternate
sekaligus silaturahmi dengan Kepala Kanwil DJPb Maluku Utara. Selepas pamit
dari Ternate, rupanya ada dua orang pegawai dari KPPN Tobelo yang telah siap
menjemput kami, yaitu Pak Masri (bendahara) dan Olenk (pelaksana Subbagian
Umum).

Kami berenam pun berangkat menuju Pelabuhan Kota Baru Ternate dan
menyewa sebuah speedboat yang berkapasitas sekitar 16 penumpang. Waktu itu
98

hari Minggu sekitar jam sembilan pagi. Memasuki area pelabuhan, kami dibuat
takjub dengan indahnya pemandangan laut yang menghampar. Air lautnya sangat
jernih sampai bisa terlihat dasar permukaan lautnya dengan warna gradasi hijau dan
biru. Jajaran pulau-pulau kecil yang terpisah menambah keeksotisan panorama yang
terpampang.

“Indahnya ya, Mas”, ujarku mencoba menghibur diri kepada Joko Nurcahyo, rekan
yang sama ditugaskan dan kebetulan kami satu angkatan.

“Iya. Beda banget sama Ancol”, sambil terkekeh-kekeh.

“Di Ancol mah bukan laut. Oli samping tumpeh, hahaha.”

“Lebih indah lagi ke sini kalau pakai ST (Surat Tugas) bukan SK (Surat
Keputusan)”, Herry tak kalah menimpali.

“Prett!”

Kami tertawa bersama.

Kami melangkah di dermaga dari kayu yang sepertinya sudah lama. Kemudian
turun ke perahu motor berbahan fiber dengan berwarna dominasi hitam dengan
setrip oranye. Perahu cepat itu didesain dengan kap tertutup dari depan ke belakang
dengan hanya menyisakan ruang terbuka di bagian buritan. Di bagian paling depan
ruang kemudi yang menyatu dengan penumpang sedangkan di ujung belakang kapal
terpasang tiga buah mesin pendorong.

Aku langsung masuk ke dalam perahu dan duduk di bagian depan. Menyusul
Pak Joko dan Pak Hery. Sedangkan Pak Fajar, Pak Masri dan Olenk justru duduk
di bagian paling belakang. Sempat heran, tapi kuabaikan. Setelah mesin perahu
dinyalakan, kami pun berangkat.

Perahu menderu kencang. Suara bising dari mesin perahu memenuhi udara. Kami
sama sekali tak bisa mendengar suara lain. Kami hanya diam atau menggunakan
bahasa isyarat bila memang penting. Tak lama perahu bergoyang hebat. Kepalaku
nyaris membentur dinding perahu. Aku pun refleks berpegangan. Alamak, ternyata
ombak cukup tinggi! Perahu terus bergoyang hebat sepanjang perjalanan.

Hatiku mulai waswas. Kulihat wajah-wajah di hadapanku seperti mulai dirasuki


Perekat Indonesia 99

kecemasan. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Kami hanya terdiam sambil
sesekali saling memandang. Dalam diriku berkecamuk antara sesal dengan harap.
Benakku mulai mengeluh, “Ya Allah, gini amat ya, cari duit. Harus bertarung
nyawa. Sedang pegawai yang di daerah lain mungkin hanya sejurus langkah
dari rumah ke tempat kerja.” Sementara hati kecilku berupaya memasrahkan
diri kepada Yang Mahakuasa. Belajar ikhlas dari sang ombak yang tak jemu
mengantarkan air laut mengusap pasir. Tekadku semakin kuat kala teringat pesan
almarhum bapak dulu,

“Nu, kamu harus lebih baik, lebih berhasil dari bapak. Bapak dulu menjadi
satu-satunya sarjana di keluarga besar karena kemauan untuk berubah walaupun
dengan perjuangan yang sangat sulit. Pelajaran hidup yang bapak ambil, akhir
yang manis hanya bisa diperoleh dari banyaknya kesulitan. Itulah hidup.”

Aku hanya mengangguk pelan. Dulu gelar sarjana doktorandus sudah merupakan
capaian karier yang terpandang.

Akhirnya perahu motor kami mendekati tujuan. Mesin dimatikan kecuali satu.
Perahu berjalan pelan untuk bersandar. Kulihat dua manusia di belakang sedang
tertawa tertahan. Aku seperti mencium aroma konspirasi. Benar saja, rupanya
kami diisengi dengan naik speedboat pada waktu ombak pasang. “Posisi duduk
paling stabil di belakang, Pak, tidak terlalu goncang, hehehe”.

“Ngomong sana sama kolor ngambang!” Umpatku dalam hati.

Sejak saat itu kami cenderung menolak bila ada tugas ke Ternate. Tak masalah
tidak melihat peradaban kota daripada menggantung nasib di tengah laut.
Namun hal tersebut tak berlangsung lama.

Begitulah pernak-pernik transportasi laut di Indonesia Timur. Sering pula


kami mendengar berita perahu motor yang tenggelam karena gelombang laut
yang tiba-tiba tinggi. Pernah pula terjadi kecelakaan antarperahu motor yang
menewaskan penumpang.

Pak Joko juga pernah mengalami pengalaman yang traumatis. Saat itu di
tengah laut mesin perahu tiba-tiba mati. Beberapa kali awak perahu mencoba
memperbaiki mesin tapi tak kunjung berhasil. Alhasil perahu dengan penumpang
di dalamnya terombang-ambing. Ombak sudah mulai meninggi sehingga
penumpang mulai panik. Sejumlah anak-anak menangis. Begitu pula ada
ibu-ibu yang juga menangis larut dalam keputusasaan. Alhamdulillah, datang
100

bantuan dari speedboat lain


yang melintas. Perahu mogok
tersebut pun dituntun ke
daratan terdekat, Pulau
Tidore.

Aku pun pernah mengalami


hal serupa. Waktu itu kembali
dari tugas di Ternate berdua
dengan kepala kantor, Pak
Fajar. Dikarenakan padatnya
jadwal, kami baru bisa pamit dari Kantor Kanwil DJPb Maluku Utara sekitar jam
satu siang saat laut sedang pasang maksimal. Sewaktu perahu berangkat, air laut
tak menampakkan ombak yang mengkhawatirkan. Kami pun memutuskan naik
perahu motor agar tak terlalu malam sampai di Tobelo. Namun selepas sekitar dua
kilometer dari pelabuhan, kami menemui ombak yang sangat tinggi dari biasanya.
Perahu kami tidak hanya bergerak naik turun secara ekstrem tetapi juga melaju
zigzag. Kulihat nakhoda sangat sibuk di bangku kemudi agar perahu tak menabrak
ombak. Sepanjang perjalanan, aku memperbanyak zikir sambil mengharapkan
pertolongan Allah. “Betapa tak berdayanya manusia, Ya Alloh.” Sungguh
pengalaman yang mendebarkan.

Pengalaman tersebut sempat membuat kami ciut. Namun di satu sisi membuat kami
semakin tegar. Menghadapi beban kerja yang tak sebanding dengan jumlah personel,
tak membuat kami lebay berkepanjangan. Bahkan di sela-sela pekerjaan, kami sering
guyon atau hangout bersama. Ada terselip kebanggaan bertugas di daerah terpencil,
timur negeri. Daerah yang tak dikenal, dihindari banyak orang, bahkan sekadar
destinasi tugas kedinasan sekalipun.

“Kita harus buat perbedaan, Pak Ranu. Kita buat sejarah untuk kantor ini”, ujar
Pak Fajar suatu hari. “Kalau kita bekerja biasa saja, sama dengan yang lain, gak ada
makna kita di sini. Saya ingin KPPN Tobelo ini dikenal orang. Bukan untuk saya.
Tapi supaya KPPN Tobelo selalu diperhatikan dan menjadi contoh bagi KPPN tipe
A2.”

Sebagai Kepala Subbagian Umum, aku sering diajak berdiskusi dan sharing dengan
kepala kantor. Terkadang saling mengutarakan idealisme, kadang juga curhat.
Alhamdulillah bekerja dengan Beliau bisa terbangun suasana harmonis dan bisa
Perekat Indonesia 101

saling menerima ide.

Kalau kubelajar dari ombak, besar kecilnya ombak didukung oleh sang angin.
Angin inilah semangat kita. Makin besar semangat, makin besar pula energi.
Ombak juga mengajarkan kita tentang kesabaran dan konsistensi untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Ah, aku membuyarkan lamunanku. Pekerjaan
sudah selesai dan aku siap berkemas.

Dalam perjalanan menuju Rakorwil tdi Ternate ersebut, kami berempat tiba di
pelabuhan Sofifi sekitar pukul tujuh malam. Ini pengalaman pertama kalinya
naik perahu motor di malam hari. Kami menyewa sebuah speedboat tanpa banyak
tawar. Kami sudah ditunggu peserta Rakorwil yang pada saat itu akan dibuka
oleh kepala kanwil, Bapak Sulaimansyah.

Perahu kami berangkat membelah hamparan kegelapan. Nyaris tak ada cahaya,
kecuali lampu perahu yang bekerlip. Untungnya laut sangat tenang. Awak
perahu mulai menyalakan rokok sambil menjaga mesin. Sementara di bawahnya
terdapat beberapa galon bensin. Aku agak cemas. Kadang miris, security awareness
di negeri ini masih jauh dari harapan. Kecelakaan dan musibah kadang tak
membuat orang jera. Aku memilih menyibukkan diri dengan pikiranku.

aku musafir dan fakir


berjalan antara kerikil
satu dambaan
ketika ajal
ketika maut menjemput
karena mati adalah tunangan hidup
( Perjalanan Malam – Sahril)

Sesampainya di tempat acara, kami langsung bergegas menuju kamar hotel yang
sudah disediakan. Mandi dan berganti baju. Kemudian bergabung dengan peserta
lainnya mengikuti kegiatan Rakorwil. Rasa penat dan lelah selama perjalanan
seketika hilang saat KPPN Tobelo diputuskan sebagai KPPN Terbaik se-Maluku
Utara sekaligus dikabarkan bahwa KPPN Tobelo masuk nominasi dua besar
lomba penilaian KPPN Percontohan nasional tahun 2014. Selalu ada langit yang
cerah di balik mendung yang sesaat.
102

“Negeri ini, Republik Indonesia,


bukanlah milik suatu golongan,
bukan milik suatu agama, bukan
milik suatu kelompok etnis,
bukan juga milik suatu adat-
istiadat tertentu, tapi milik kita
semua dari Sabang sampai
Merauke!”

Soekarno
Perekat Indonesia 103

A AN
R AGAM
EBE
K
AM
AL
D
M
GA
RA
BE
104

Coba Saja! Enak Kok!


Fritz Okta Nehemnya, Pusdiklat PPSDM - BPPK

Kala itu, Sabtu, 12 September 2015 pagi kami berangkat dari


Jakarta Selatan ke Kabupaten Tangerang, Banten, tepatnya
di Desa Mauk dengan tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk
membangun rumah. Yes, literally membangun rumah dengan
memecah batu, menyusun batu bata, mengaduk semen, dan
sejenisnya. Pokoknya rumah harus berdiri. Target kami adalah
membangun enam rumah di desa tersebut. Meskipun bukan
hal mudah melakukan perkerjaan ini, tetapi banyak makna yang
dapat aku ambil dari pengalaman ini.

Kami di sini adalah kelompok kecil di bawah naungan salah


satu gereja di wilayah Bintaro yang terdiri dari 20-25 orang.
Beberapa program yang dicanangkan saat itu banyak difokuskan
pada pekerjaan sosial dengan penggalangan dana mandiri. Pada
cerita kali ini, kami bekerja sama dengan “Habitat” sebagai
salah satu organisasi internasional yang menjadi sponsor untuk
mendirikan rumah di Mauk, Kabupaten Tangerang.

Singkat cerita, setelah sampai di lokasi, kami berdoa bersama


secara Kristen dan melakukan upacara yang diisi dengan
sambutan-sambutan dari panitia dan aparatur setempat. Sampai
di situ aku masih berpikir bahwa kegiatan yang kami lakukan
semuanya berbau Kristen. Aku belum menyadari bahwa
kegiatan mendirikan rumah tersebut juga bekerja sama dengan
organisasi non-Kristen.
Perekat Indonesia 105

Tibalah saatnya kepada detik-detik peristiwa yang akan aku ingat seumur hidup.
Bagimu mungkin sederhana, tetapi bagiku ini tidak akan lekang dimakan waktu.
Satu kalimat respons singkat yang keluar dari mulutku atas pertanyaan satu
peserta yaitu, ”Coba saja, enak kok!”

Pernyataan itu kumaksudkan untuk menjawab keingintahuan seorang bapak


bertopi hitam tentang apakah daging babi itu enak atau tidak. Raut mukanya
pun sontak berubah ketika mendengar kalimat, ”Coba saja, enak kok!” Dan
kesalahanku saat itu adalah masih menganggap bahwa kami semuanya itu full
orang Kristen.

Perlahan tapi pasti, aku mulai menyadari perubahan mimik dan gimmick Beliau.
Aku bertanya kepada peserta lain, siapakah bapak itu. Mengetahui identitasnya,
rasa bersalah menghujamku dengan kuat dan dalam hingga saat ini. Betapa
sakitnya apabila mendapatkan jawaban, ”Coba saja, enak kok!” Padahal Beliau
tidak mengonsumsi babi karena keyakinannya. Beliau adalah salah satu anggota
Pos Keadilan Peduli Umat dan beragama Islam.

Aku mau membagikan pembelajaran berharga ini supaya tidak terulang kembali
peristiwa “tragis” tersebut. Entah sebagai “aku” atau sebagai “bapak bertopi hitam”
tersebut. Aku merasa bahwa jawaban enteng tersebut lahir atas sikap yang merasa
diri mayoritas dan banyak supporter sehingga berpikir dapat berlaku seenaknya.
Belum tentu juga bahwa sikap merasa mayoritas ini dilakukan oleh semua orang.
Mungkin bisa jadi hanya aku saja dan semoga seperti itu adanya.

Mental mayoritas yang semena-mena sangat mudah menyakiti perasaan bahkan


tanpa diketahui secara sadar oleh pelaku. Sering kali tak terasa perkataan
ini menyakiti perasaan sahabat yang berbeda keyakinan. Selain itu, yang lagi
happening di media sosial itu sikap suka mencibir, memaksakan kehendak, tidak
mau dikritik, tidak menghormati perbedaan, dan main hakim sendiri.

Ditarik ke dalam konteks lingkungan kerja yang sarat dengan perbedaan, aku
sangat senang dengan kepedulian Ibu Sri Mulyani Indrawati yang mengingatkan
kita semua untuk belajar “menjadi minoritas“ supaya kita bisa berempati.
Bersyukur sekali bisa memiliki keteladanan pimpinan yang bisa dilihat langsung.

Sebagai penutup, kita adalah bangsa yang sejatinya memiliki cara pandang yang
luar biasa hebatnya, yaitu Pancasila yang memiliki spirit kesatuan, Bhinneka
106

Tunggal Ika. Spirit inilah yang dijaga dan digunakan sebagai alat untuk merajut
benang-benang kesatuan yang mungkin sedang koyak atau sedikit bolong. Spirit
yang mengikis kesalahan persepsi atas perbedaan dan mengubah perbedaan itu
menjadi intangible asset yang suatu saat memberikan benefit tak ternilai. Jangan
ada lagi pengotakan dan istilah-istilah yang bisa ditelikung dalam tafsir guna
memecah belah kita. Karena kita satu. Indonesia.
Perekat Indonesia 107

Surat Terbuka untuk


Gung Tirta
Raficha Fachryna, KPPBC TMP C Madura - DJBC

(Malam boleh gelap, tapi SK mutasi masih tetap terbit di


penghujung malam terakhir pengumpulan).

Tiga muslim, dua hindu, dan satu katolik adalah formasi fresh
graduate PKN STAN yang tengah OJT (On The Job Training) di
Balai Laoratorium Bea dan Cukai Kelas II Surabaya.

Tirta, maaf aku terlalu banyak bertanya tentang bunga kamboja


di ujung ikat rambutmu. Jangan lupa juga memaafkanku soal
beras di dahimu yang kutiup-tiup sampai hanya tinggal sebutir
yang bertahan. Ceritamu kemarin lusa masih basah di telingaku.
Bagaimana mungkin di usia sembilan belas tahunmu ini kau
masih menangis ketika mengingat tentang kebohongan-
kebohongan kecil pada ibumu. Luar biasa sekali. Lensa matamu
sekejap menjadi cermin bahwa aku bukan apa-apa.

I Dewa Agung Istri Tirta Dewi adalah wanita yang biasa


mengucap “maaf ”, “tolong”, dan “terima kasih” lebih dari lima
puluh kali sehari. Seluas itu hatinya. Riwayat panggilannya bisa
ditebak, Aji dan Ibu, kedua orang tuanya saja. Lucu sekali saat
kaubilang empat tahunmu bersama senior sekolah SMA harus
berakhir karena rasa bersalah pada ibumu. Katamu, kau tidak
bisa kemana pun tanpa izinnya. Itulah alasan kenapa tak pernah
ada kata “iya” untuk ajakan sekadar bertemu dengan senior
108

Aku dengan sekolahmu. Kau tak berani pamit pada ibumu


di Bangli meskipun beliau mungkin tak akan
masjidku tahu gerak-gerikmu di Bintaro. Tak akan tahu
menu sarapanmu. Serta tak akan tahu akan ke
dan dirimu mana langkahmu. Baik sekali.

dengan Kata Sherin, kau sering menangis ketika

puramu. Tapi terbangun dari tidur di pagi hari. Saat kutanya


langsung padamu, ternyata karena mimpi.
jangan ada Mimpi tentang pertemuan dengan ibumu
yang bertanya, “Kenapa kemarin tidak ikut
yang berbeda sembahyang?”.

saat reuni Aku tak pernah melihatmu marah. Bahkan

nanti. Tetap ketika Irma terlalu lama mengosongkan isi


piringnya di ruang makan ketika sarapan atau
dengan makan siang dan membuat kita menunggu
setengah jam di sana. Aku yang kesal itu
baikmu itu berdiri begitu saja dan pamit duluan dengan

dan jangan kalimat sekadarnya. Padahal aku tahu darahmu


juga sudah hampir erupsi ke ubun-ubun karena
lupa ajari itu. Namun kau memilih diam saja. Bagaimana
bisa kau sesabar itu setiap hari?
aku menjadi Kita masih ada dua hari lagi sebelum kopermu
seluas kaubawa ke Juanda dan tasku berpindah ke

hatimu. Madura. Kita memang berbeda. Aku dengan


hijabku, dan dirimu dengan rambut kucir
satumu itu. Aku dengan masjidku dan dirimu
dengan puramu. Tapi jangan ada yang berbeda
saat reuni nanti. Tetap dengan baikmu itu dan
jangan lupa ajari aku menjadi seluas hatimu.
Selamat mutasi.
Perekat Indonesia 109

Peran Bintal dalam


Pemulihan Trauma Pasca
Bom Surabaya
Ludovicus Fernando Ginting, KPPBC TMP Tanjung Perak - DJBC

Pagi itu, hari Minggu, tanggal 13 Mei 2018. Aku dan dua
orang temanku yang bernama I Putu Hendra Darmawan
dan I Komang Gde Deva’na mengikuti kegiatan fun run di
Kota Surabaya. Kegiatan fun run tersebut bertajuk kuliner
sehingga setelah berlari, kami dapat menikmati beberapa
hidangan makanan yang tersedia. Saat aku tengah menikmati
salah satu hidangan tersebut, seseorang menunjukkan sebuah
rekaman di smartphone-nya seraya memberitahuku bahwa telah
terjadi pengeboman di salah satu gereja. Saat itu tak kugubris
karena kupikir rekaman itu adalah rekaman lampau. Tak
lama berselang, handphone-ku mulai sibuk berbunyi, pertanda
chat sedang ramai-ramainya. Betul saja, dalam sekejap semua
pembicaraan mengarah pada pengeboman.

Setelah membaca beberapa informasi di handphone, aku mulai


mencari lokasinya. Pengeboman terjadi di Gereja Katolik Santa
Maria Tak Bercela, Surabaya. Tak lama berselang, beredar
informasi telah terjadi ledakan bom kedua di Gereja Kristen
Indonesia Diponegoro dan bom ketiga di GPPS Jemaat
Sawahan. Keduanya berada di Kota Surabaya. Lantas aku berlari
menghampiri salah seorang polisi yang bertugas didekatku dan
menanyakan perihal pengeboman tersebut. Pihak polisi sendiri
masih belum mendapat klarifikasi mengenai informasi tersebut.
Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat di depan ada kepulan
asap hitam pekat membumbung tinggi yang mengundang
110

kecurigaanku bahwa asap hitam tersebut berasal dari salah satu gereja yang
mengalami pengeboman. Aku segera memberitahu kedua temanku untuk
bergerak meninggalkan lokasi fun run dan menghindari keramaian.

Terlintas di pikiranku untuk mengecek beberapa lokasi gereja yang dapat


kusinggahi selama perjalanan pulang, sekaligus melakukan pengecekan terkait
informasi yang tengah beredar bahwa terjadi beberapa ledakan susulan di
berbagai lokasi di Surabaya. Dalam perjalanan pulang, aku melihat pihak
kepolisian telah tiba di beberapa lokasi gereja. Beberapa di antaranya telah
memasang blokade di depan gerbang gereja yang menandakan gereja itu aman
dari serangan ledakan bom. Sesampainya di kos, aku terus menerus dihubungi
oleh orang tua dan teman-temanku. Puji Tuhan, aku baik-baik saja. Aku merasa
bersyukur memiliki orang-orang yang sangat peduli. Aku sangat terharu, banyak
sekali teman-teman yang bersimpati kepadaku.

Pada saat itu, aku sebagai seorang Katolik merasakan teror dan trauma. Trauma
untuk mengunjungi tempat-tempat keramaian seperti mal, maupun tempat
ibadah. Seharian aku mengikuti perkembangan berita kejadian ini. Dalam
seketika “Surabaya Bombing” menjadi sorotan kalangan internasional.

Keesokan paginya, kami yang tergabung dalam Kelompok Bintal Kristiani


yang beranggotakan pegawai yang beragama Katolik dan Kristen Protestan,
berkumpul untuk berdoa bersama. Dalam pergumulan kami, kami saling
menguatkan satu sama lain untuk tidak takut pada aksi teror ini dan tidak takut
untuk beribadah ke gereja. Apabila kami memutuskan untuk tidak beribadah
pada hari-hari selanjutnya maka kami telah dinyatakan kalah dalam aksi keji ini.
Kami berdoa agar diberi keselamatan dan kedamaian di kota ini.

Satu per satu dari kami berbagi cerita mengenai apa yang kami alami pada hari
Minggu kemarin. Yang paling aku ingat adalah cerita salah satu temanku yang
bernama Andri. Pada hari Minggu tersebut, Andri berniat untuk mengikuti
ibadat (misa) pagi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, lokasi ledakan
bom pertama. Ia pun bercerita bahwa ia ketiduran dan akhirnya tidak sempat
untuk mengikuti ibadat (misa) pagi sampai akhirnya ia mengetahui berita
pengeboman tersebut. Ia mengaku beruntung atau bahkan merasa diselamatkan
dengan cara yang tidak terduga. Temanku yang lain bercerita bahwa ia sedang
melakukan kegiatan bersih-bersih di gerejanya saat terjadi ledakan bom ketiga
yang lokasinya berada di dekat gerejanya.
Perekat Indonesia 111

Aku yakin bahwa kami semua diliputi rasa kecemasan, ketakutan, dan
menganggap kami adalah target dalam serangkaian serangan teror ini. Aku
merasa beruntung, dengan adanya kegiatan Pembinaan Mental (Bintal) ini, kami
dapat saling menguatkan satu sama lain. Para pejabat di lingkungan kantor kami
terus memberikan semangat, dorongan, dan menguatkan mental kami agar kami
tidak takut dan gentar. Program Bintal berperan dalam pemulihan traumaku
pasca Peristiwa Bom Surabaya ini.

Tak berselang lama setelah kegiatan Bintal, terjadi ledakan bom di Mapolrestabes
Surabaya yang lokasinya cukup dekat dengan kantor kami. Seketika itu juga, aku
kembali merasakan ketakutan. Namun berkat doa dan penguatan yang diberikan
dalam kegiatan Bintal, aku merasa kembali dikuatkan dan berniat untuk
mengikuti jaga malam di gerejaku, Gereja Katolik Santo Mikael Tanjung Perak
Surabaya. Dengan semangat dan dorongan yang kuterima saat kegiatan Bintal,
aku sebagai salah satu Aparatur Sipil Negara merasa ikut bertanggung jawab dan
bertekad untuk berkontribusi dalam keamanan gerejaku.

Aku merasa beruntung, dengan


adanya kegiatan Pembinaan Mental
(Bintal) ini, kami dapat saling
menguatkan satu sama lain.
112

Tingkatkan Integritas
Dengan Bintalnas
Akhyar Gunawan, Sekretariat DJKN

Tergelitik sebuah berita

Kamis sore, bakda magrib, tanggal 21 Maret 2019, dalam


himpitan di antara sesaknya penumpang commuter line sepulang
kerja, kubuka situs Detik Finance. Mataku tergelitik pada sebuah
berita dengan judul Ingatkan Lembaga Pengawas, Sri Mulyani:
“Uang Bisa Jadi Sumber Celaka”. Berita tersebut menyampaikan
bahwa dalam sebuah Rakornas Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah (APIP), Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani
meminta APIP bisa mengawal keuangan pemerintah dengan
baik karena uang memiliki godaan yang tinggi. Beliau juga
menegaskan betapa orang mudah tergoda dengan uang. Dan
salah satu pernyataan Beliau yang paling menggelitik hati, yaitu,
“Banyak orang mudah tergoda uang meskipun salat rajin, naik
haji ada, umrah sering, puasa Senin-Kamis, waktu lihat uang
lupa semua itu, kayak ngga ada koneksinya.”

“Kenapa orang yang rajin ibadah bisa tergoda dengan materi


(uang) yang bukan haknya? Apakah dia sadar, dengan
melakukan itu akan membawa diri dan instansinya mendapat
citra buruk di mata dunia? Dari dimensi religi, di mana letak
kesalahannya? Apakah karena faktor dalam diri pegawai
tersebut atau pelaksanaan ibadahnya belum sesuai syariat atau
faktor eksternal lainnya?”, benakku.
Perekat Indonesia 113

Terus terang, hatiku bertanya-tanya, separah itukah kondisi “keimanan” pegawai-


pegawai Kemenkeu sampai-sampai Ibu Menteri “menyentil” dengan sindiran,
“Tidak ada koneksi antara ibadah yang dilakukan dengan sikap saat menghadapi
godaan materi”. Namun pertanyaan berikutnya yaitu, “Apakah pegawai
Kemenkeu yang menerima materi yang bukan haknya dikarenakan faktor
keimanan atau faktor ketidaktahuan?” Pastinya jawaban ada dalam benak diri
masing-masing pegawai yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Penegak
Hukum.

Awal sebuah Cerita tentang Pengembangan Integritas dan Toleransi

Awal tahun 2015, aku mulai bergabung dengan kantor pusat (KP) DJKN, saat
itulah aku baru mengetahui di lingkungan KP DJKN telah memiliki unit yang
membidangi keagamaan yang ditandai adanya Keputusan Dirjen Kekayaan
Negara tentang Pembentukan Pengurus Bintal KP DJKN. Namun, saat itu
peran dan gaung Bintal DJKN belum menonjol karena kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan masih terbatas kegiatan yang sifatnya bulanan atau hanya pada saat-
saat tertentu semisal Peringatan Hari Besar Islam.

Secara makro, penguatan eksistensi Bintal mulai muncul saat Sekretariat


Jenderal Kemenkeu mengadakan Launching Bintalnas Kemenkeu pada tanggal
8 Mei 2018. Selain launching, acara tersebut juga menerbitkan Buku Panduan
Pembinaan Mental Nasional Kementerian Keuangan. Buku ini menjadi rujukan
dan pegangan bagi para pembina grup Bintal dalam pelaksanaan. “Wow,
kereeeennnn!” Batinku.

Selepas acara launching, Pengurus Bintal DJKN pun mulai melakukan


persiapan launching kegiatan Bintal DJKN. Dalam suatu kesempatan rapat
persiapan tersebut, perlu adanya pembina-pembina grup Bintal untuk dilatih
kemampuannya dalam suatu pelatihan. Pelatihan dimaksud dikemas oleh DJKN
dalam suatu kegiatan Training of Trainer (ToT) Bintalnas DJKN yang kemudian
dilaksanakan pada tanggal 23 s.d. 25 Oktober 2018 dengan diikuti oleh 61 orang
pegawai yang berasal dari lintas agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik,
dan Hindu. Peserta pelatihan selain dari KP DJKN juga berasal dari perwakilan
Kantor Wilayah DJKN. Pegawai DJKN ini dikumpulkan untuk mengikuti
pelatihan ToT sehingga dapat penggerak kegiatan Bintal DJKN pada unitnya
masing-masing. Harapan ke depannya juga dapat dibentuk Unit Bintal Wilayah/
Unit Bintal KPKNL.
114

Alangkah bahagia dan bersyukur hatiku karena menjadi bagian pelaksanaan ToT
Bintal DJKN. Kegiatan ToT Bintal ini sebagai wujud DJKN memperhatikan
sisi kerohanian pegawainya juga telah sebagai satu langkah ke depan dalam
pembangunan integritas pegawainya.

Menjadi Pembina Grup Bintal

Bertepatan dengan HUT DJKN dan kedua belas, berbarengan dengan acara
Pekan Kekayaan Negara DJKN, Dirjen Kekayaan Negara selaku Pembina Bintal
KP DJKN meresmikan kegiatan Bintal DJKN pada tanggal 15 November
2018 dan selanjutnya sebagai tindak lanjut kegiatan launching, dilaksanakan
rapat program kerja Bintal oleh pengurus Bintal DJKN. Kegiatan Bintal akan
diterapkan lebih dulu kepada seluruh anak-anak OJT (On The Job Training),
ke depannya akan diterapkan kepada seluruh pegawai DJKN. Pegawai yang
telah mengikuti ToT Bintal DJKN akan menjadi Pembina Grup Bintal, atau
penggerak terbentuknya Bintal Daerah, kemudian materi-materi dalam Buku
Panduan Bintalnas Kemenkeu menjadi rujukan Pembina Grup; dan metode
pembelajaran yang akan digunakan adalah Microteaching/Microlearning
(microlearning merupakan pendekatan holistik untuk meningkatkan pembinaan
yang efektif dengan membangun hubungan kedekatan yang lebih baik.
Metode ini mampu meningkatkan pemahaman kognitif, mengubah perilaku,
menanamkan nilai, mengembangkan kecerdasan emosional dan dimensi sosial
seseorang, meskipun anggota grup microlearning bervariasi demografinya).

Penanaman, Pengembangan, dan Aktualisasi Integritas

Berkaca dari beberapa kasus OTT yang pernah terjadi, tentu menjadi tanggung
jawab kita untuk membangun integritas yang dapat dilakukan melalui
penyebarluasan informasi dan peraturan yang dilakukan secara masif dan
berkelanjutan. Penyebarluasan infromasi ini dapat dilakukan secara berkala, dan
dilakukan pula monitoring atas sikap/perilaku kerja pegawai secara pekanan atau
bulanan. Kami menyebutnya sebagai Gerakan Microteaching (GMt) atau Gerakan
Microlearning (GMl) melalui wadah Bintal DJKN.

Melalui GMt/GMl, setiap kantor pelayanan dapat membentuk satu atau lebih
grup bintal yang berangotakan minimal tiga orang pegawai dan maksimal
sepuluh orang pegawai. Pembatasan anggota grup ini bertujuan agar tujuan
microlearning/microteaching lebih efektif dan meningkatkan kedekatan untuk
Perekat Indonesia 115

lebih memahami kepribadian anggota grup sehingga penanaman nilai integritas


lebih terpantau. Dalam satu grup harus memiliki satu Pembina Grup Bintal.
Pembina Grup Bintal bertugas untuk mengooordinasikan pelaksanaan kegiatan
Bintal secara berkelanjutan, memastikan materi dalam buku panduan Bintal
tersampaikan sepenuhnya, dan melaksanakan monitoring hasil pelaksanaan Bintal.

Monitoring hasil pelaksanaan Bintal dapat dibuatkan evaluasi atas pelaksanaan


ibadah secara umum atau kegiatan-kegiatan positif terkait integritas secara
pekanan. Monitoring atas pelaksanaan ibadah secara umum (untuk yang
beragama Islam) contohnya dalam satu pekan berapa kali salat fardu berjamaah,
puasa Senin-Kamis, zikir pagi dan sore. Sedangkan monitoring terkait
kegiatan-kegiatan positif terkait integritas misalnya dalam satu pekan anggota
telah menolak gratifikasi berapa kali atau kegiatan yang berkaitan dengan
keluarga (menyempatkan bicara dengan istri/anak dan kegiatan yang bersifat
kemasyarakatan). Dari hasil monitoring atas pelaksanaan ibadah dan kegiatan
lain inilah pembina grup Bintal dapat menilai peningkatan atas kualitas hidup
anggota. Terutama peningkatan atas penerapan nilai-nilai integritas diri.

Cerita Saat Menjadi Pembina Grup Bintal

Menjadi Pembina Grup Bintal memang sangat berat. Seorang Pembina Grup
Bintal harus dapat menjadi contoh bagi anggota, harus menjaga dinamisasi grup
sehingga tidak monoton dan yang paling penting adalah update pengetahuan
terkait agama dan nilai-nilai Kemenkeu. Menjadi pembina grup bintal juga
mengharuskan saya untuk meningkatkan kualitas hidup dan ibadah. Kualitas
hidup kerja yang didasarkan pada nilai-nilai Kemenkeu, budaya kerja, dan etos
kerja yang berlaku. Namun itulah intisari suatu perubahan, yaitu bagaimana kita
bisa mengubah dunia dan orang lain, kalau bukan dari diri kita sendiri?

Menjadi Pembina Grup Bintal selalu mengingatkan diri pribadi dan anggota
betapa pentingnya nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam
dunia kerja. Sering kali dalam kesempatan kegiatan Bintal, kami berdiskusi dan
berbagi pengetahuan terkait integritas dalam pandangan Islam, urgensi integritas
diri, dan menanyakan apakah kita dalam sepekan ini menghadapi kejadian yang
berkaitan dengan integritas.

Ya, inilah integritas, sebuah nilai Kemenkeu yang melandasi nilai-nilai lainnya.
Apabila seorang pegawai telah memiliki integritas, dia akan melaksanakan
116

pekerjaannya dengan profesional, dia akan bersinergi dengan pegawai lainnya, dia
akan memberikan pelayanan kepada pengguna jasa dengan baik dan benar, serta
dia akan selalu membuat inovasi-inovasi untuk meraih kesempurnaan. Integritas
ibarat hatinya nilai-nilai Kemenkeu. Dalam Islam, dikenal sebuah ajaran, yaitu
suatu ibadah tidak akan bernilai kalau hatinya/niatnya sudah tidak benar.
“Bukankah segala amal tergantung dari niatnya?”

Integritas Dalam Ketentuan

Menjadi Pembina Grup Bintal membuatku berusaha menggali pengetahuan


integritas, khususnya terkait korupsi dan gratifikasi. Sering kali aku harus
membuka ulang tiga paket buku yang kudapatkan dari KPK. Ketiga buku itu
adalah Mengenal Gratifikasi, Pengendalian Gratifikasi, dan Panduan Penggunaan
Aplikasi Gratifikasi Online. Dari buku tersebut, dapat diketahui bahwa indikator
keberhasilan pengendalian gratifikasi, yaitu saat terciptanya budaya antigratifikasi
yang tercermin dari tingkat pemahaman dan kepatuhan pegawai terhadap
aturan gratifikasi, dengan bentuk nyata berupa sikap menolak gratifikasi yang
dilarang, melaporkan penerimaan gratifikasi, mampu memberikan pemahaman
aturan gratifikasi kepada orang lain, serta mengapresiasi pelapor gratifikasi di
lingkungannya.

Rasanya seru banget jadi Pembina Grup Bintal. Kita harus terus menggali
pengetahuan kita, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.

Harapan

Inilah cerita singkatku sebagai Pembina Grup Bintal. Meski baru membina,
tetapi keseruan ini ingin aku sebarkan kepada semua pegawai. Banyak yang
harus diperbaiki dalam diri pribadi yang sejalan pula dengan kewajibanku seagai
seorang muslim untuk amar makruf nahi mungkar. Melalui kegiatan Bintal
DJKN inilah, keinginanku semakin menguat untuk terus mengasah integritas
diri.

Harapanku, semoga ke depannya kegiatan Bintal dapat menjadikan sebuah


alat preventif dan sekaligus menjadi alat kuratif dalam penanganan integritas,
khususnya untuk pegawai Kemenkeu. Sebelum terjadi perilaku negatif yang
mencoreng integritas, kegiatan Bintal diharapkan dapat menjadi wahana paling
efisien dan efektif. Sedangkan dalam hal telah terjadi hal negatif yang mencoreng
dunia kerja pun, kegiatan Bintal dapat menjadi salah satu solusi perbaikan diri.
Perekat Indonesia 117
118

“Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun


harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh
suatu aib yang memalukan. Dalam lebih
setengah abad dan ber-Pancasila, bisa
terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena
hipokrisi pada kekuasaan.”

Pramoedya Ananta Toer


Perekat Indonesia 119

A S
ORIT
A S MI N
L IT
UA
EK
120

Menjadi Bagian dari Tenun


Kebangsaan
Bellisa Gamelia Sembiring, Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan
Utara

Jakarta, September 2017

“Penerimaan CPNS 2017 Periode II Resmi Dibuka, Berikut


Tahapan Pendaftaran.”

Ada bukaan CPNS lagi lho, ayo daftar… :D

Kubaca sekilas pesan singkat dari Ibu, kemudian kuletakkan


telepon genggam dan melanjutkan kembali pekerjaanku
yang cukup bertumpuk. Sambil memeriksa pekerjaan di layar
komputer, ingatanku melayang pada beberapa tahun lampau
saat aku masih duduk di bangku awal kuliah. “Besok kalau
sudah lulus kuliah, aku ingin kerja di perusahaan swasta/asing
dulu untuk membentuk mental dan karakterku, baru setelah itu
aku mau jadi PNS untuk menularkan kebiasaan dan karakter
yang baik di instansi pemerintah, biar tidak kalah pelayanannya
dengan perusahaan swasta/asing,” ujarku pada orang tuaku. Bisa
dibilang, ini hanyalah impian naif seorang mahasiswi semester
awal yang masih penuh dengan gagasan-gagasan idealisme,
sementara saat ini, hal tersebut sudah tergerus oleh realita
kehidupan yang ternyata tidak seindah mimpinya.

Sampai pesan singkat dari Ibu tadi menyadarkanku akan


impianku dulu. Masih perlukah aku memperjuangkannya?
Atau aku harus bersikap realistis dengan kondisiku saat ini?
Memang saat ini aku sudah memiliki pekerjaan di perusahaan
Perekat Indonesia 121

asing dengan posisi yang cukup baik dan lingkungan kerja yang nyaman. Tapi
sejujurnya dalam lubuk hatiku, aku ingin berkontribusi lebih bagi negeri ini, dan
hal ini belum dapat kuwujudkan dari pekerjaan yang kujalani sekarang. Setelah
beberapa pertimbangan dan mencari info lowongan serta persyaratan yang
dibutuhkan, aku pun memantapkan diri untuk mengikuti seleksi CPNS 2017
Periode II Kementerian Keuangan.

“Kamu yakin mau daftar CPNS Kemenkeu? Saingannya banyak lho.”

“Nggak sayang sama posisi kamu sekarang? Nanti kamu ngulang lagi dari awal
lho.”

Begitu pendapat awal beberapa teman saat kuutarakan niatku untuk mengikuti
seleksi CPNS Kemenkeu. Tapi komentar yang paling mengejutkan datang dari
salah satu rekan kerjaku.

“Emang bisa ya orang seperti kita jadi PNS?”

“Orang seperti kita? Maksudnya?” Tanyaku tak mengerti.

“Kita ‘kan minoritas. Keturunan Tionghoa,” balasnya pendek.

Aku terdiam sebentar.

“Memangnya kenapa kalau keturunan? ‘Kan kita warga negara Indonesia, jadi
tetap bisa daftar.”

“Setahuku sih dari dulu sulit buat keturunan Tionghoa masuk jadi PNS. Tapi
kamu coba saja, mungkin sekarang sudah beda zamannya.”

…aku merasa lega karena


kelolosanku ini menjadi pembuktian
bahwa setiap Warga Negara
Indonesia memiliki kesempatan
yang sama untuk menjadi bagian
dari Kementerian Keuangan;
122

Percakapan singkat itu membuatku berpikir ulang tentang keputusan yang telah
kuambil. Kuputuskan untuk mencari tahu lebih dulu kebenaran dari informasi
yang dikatakan rekanku tadi. Bagaimanapun melamar pekerjaan adalah salah satu
keputusan besar dalam hidup dan aku tidak ingin salah mengambil keputusan
karena kurangnya informasi. Aku mencoba mencari tahu tentang isu tersebut,
tapi tidak menemukan info yang bisa dipertanggungjawabkan validitasnya.
Hanya “katanya si anu, pengalamannya si ini” yang sulit ditelusuri kebenarannya.”
Akhirnya kumantapkan hati untuk mencari tahu kebenarannya sendiri dengan
mengikuti seleksi CPNS Kemenkeu. Aku hanya berpegang pada pernyataan di
pengumuman seleksi CPNS Kemenkeu bahwa seleksi ini sepenuhnya didasarkan
pada kemampuan peserta semata. Jadi, tidak ada titipan ataupun unsur SARA
yang mempengaruhi proses seleksi. Aku yakin, instansi pemerintah favorit
sebesar Kemenkeu akan bersikap profesional, transparan, dan tidak melakukan
praktik kecurangan atau hal-hal lain yang berisiko merusak kredibilitas
Kemenkeu yang sudah dibangun susah payah selama ini. Aku bertekad
membuktikan kepada rekan kerjaku bahwa apa yang ia katakan itu tidak benar.

Singkat cerita, tahapan demi tahapan seleksi pun dapat dilalui dengan baik.
Hingga pada akhirnya aku dinyatakan lolos seleksi dan masuk menjadi anggota
dari keluarga besar Kementerian Keuangan, tepatnya di Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara. Bahagia tentu saja. Tapi lebih dari itu, aku merasa lega karena
kelolosanku ini menjadi pembuktian bahwa setiap Warga Negara Indonesia
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari Kementerian
Keuangan; terlepas dari suku, agama, ras, dan golongan mana pun ia berasal.
Aku sampaikan kepada rekanku bahwa aku lolos seleksi CPNS Kemenkeu dan
meyakinkan dia untuk tidak ragu mengikuti seleksi CPNS di tahun mendatang
jika dia mau. Saat memasuki masa orientasi di Kemenkeu, aku melihat banyak
orang dari berbagai latar belakang budaya dan pendidikan. Saat itu aku seperti
melihat “miniatur” Indonesia di Kemenkeu.

Samarinda, Maret 2019

Waktu terus berjalan, tanpa terasa setahun terakhir telah kulalui sebagai CPNS
Kemenkeu. Akhir tahun lalu, aku menerima SK Penempatan pertamaku di
Samarinda. Dan sekarang, siapa yang menyangka kalau saat ini aku dapat
menyaksikan secara langsung budaya Kalimantan yang dulu hanya bisa kubaca
lewat buku saat duduk di bangku sekolah? Memang dari dulu aku percaya bahwa
Indonesia kaya akan budaya, tapi kepercayaanku itu hanya berdasarkan buku
Perekat Indonesia 123

dan kata orang-orang. Namun saat ini aku sudah menjadi saksi secara langsung
betapa luas dan panjangnya Sungai Mahakam itu, keramahan suku Dayak
Kenyah di Desa Pampang, dan juga melihat tiruan prasasti Yupa di Museum
Mulawarman yang menandai dimulainya zaman sejarah di Indonesia. Semua ini
aku jadikan pengalaman berharga yang menambah wawasanku betapa kayanya
negeri ini. Semoga aku dan seluruh pegawai Kemenkeu bisa menjadi bagian yang
merajut dan senantiasa merawat tenun kebangsaan negeri ini.
124

Menjadi Minoritas
Sahruni, KPP Pratama Jakarta Kramat Jati - DJP

Manusia diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna


dengan berbagai karakter, suku, agama, dan budaya masing-
masing. Setiap harinya kita dihadapkan pada banyak pilihan.
Seperti hari ini kita mau makan apa, ke kantor mau naik apa,
mau pakai baju apa, mau bertemu dengan siapa, dan masih
banyak lagi tentunya.

Aku Sahruni yang biasanya dipanggil Uni, asal dari Sulawesi


Selatan, dan aku dari suku Bugis-Makassar, seorang PNS
Kementerian Keuangan di Direktorat Jenderal Pajak. Sekarang
aku bertugas sebagai pelaksana di Seksi Pelayanan, KPP
Pratama Jakarta Kramat Jati. Sebagai petugas front office, setiap
harinya aku harus bertemu banyak orang. Tentunya dengan
karakter yang berbeda-beda dan dengan kepentingan yang
bermacam-macam pula. Terkadang perlakuan atau perkataan
dari Wajib Pajak membuatku tersinggung dan rasanya ingin
marah. Namun aku di front office membawa nama instansiku,
jadi harus kujaga nama baiknya dengan memberikan pelayanan
yang terbaik kepada stakeholders atau wajib pajak yang datang.
Selanjutnya, ketika aku bekerja di back office, aku harus
berinteraksi dengan rekan kerja yang karakternya juga berbeda-
beda. Menjadi satu-satunya orang yang berasal dari Sulawesi
membuatku memiliki banyak ketidaktahuan dengan kebiasaan
orang Jawa. Meskipun demikian, aku tetap berusaha untuk
menjalin kerja sama atau silaturahmi yang baik dengan orang-
orang di sekitar.
Perekat Indonesia 125

Aku kuliah di BDK Malang tahun 2015-2016, di situlah pertama kalinya aku
merasakan menjadi minoritas di kalangan orang Jawa. Tak mudah bagiku untuk
beradaptasi dengan orang yang baru, apalagi dengan budaya atau kebiasaan yang
berbeda. Aku tidak memiliki teman yang banyak sewaktu kuliah dan hanya fokus
ingin lulus dan bekerja kemudian mendapatkan uang. Ketika pengumuman
definitif keluar, aku ditempatkan di ibu kota Jakarta yang terkenal dengan istilah
Kota Metropolitan. Di sinilah aku banyak belajar dan menemukan sesuatu
yang baru, dan tentu saja aku kembali menjadi minoritas di Jakarta. Aku sangat
merasakan perbedaan ketika bertemu dengan teman-temanku yang sama-sama
dari Sulawesi dan dengan teman-temanku di kantor yang mayoritas orang
Jawa. Keduanya baik dan tidak ada yang salah, hanya saja aku merasa tidak bisa
terlalu terbuka dengan teman-temanku yang orang Jawa karena entah kenapa
aku merasa memiliki selera humor yang berbeda dengan mereka. Namun ketika
aku bersama dengan teman-teman yang sama-sama dari Sulawesi, aku merasa
bisa lepas, bahkan tertawa lepas dengan mereka. Terkadang juga kami saling
mendukung, menyemangati, dan mengingatkan.

Sebenarnya menjadi minoritas bukanlah sesuatu yang salah karena intinya adalah
bagaimana kita fokus pada kewajiban dan tanggung jawab masing-masing
dengan tidak mengganggu kehidupan orang lain. Satu hal yang perlu kita sadari
adalah jangan pernah menjadikan minoritas sebagai alasan untuk tidak belajar,
siapa pun kita, dan dari mana pun kita. Karena memang butuh waktu dan
kesabaaran untuk bisa merasa nyaman dengan lingkungan atau orang di sekitar
yang beragam.

Bersyukur adalah obat lelah dari penatnya pekerjaan, obat rindu ketika merasa
kesepian, dan semangat yang terus mengalir. Selain itu, untuk menyeimbangkan
kehidupanku yang sedari pagi hingga malam terus bekerja untuk dunia, aku
mencoba terus belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dengan
berpedoman pada kitab agama yang kuyakini, yaitu Alquran.

Dan pada akhirnya, menjadi minoritas membuatku banyak belajar tentang


kehidupan, kesabaran, kemandirian, dan masih banyak lagi. Aku tak perlu
menyalahkan keadaan karena menjadi minoritas memang tak selalu dapat
kita hindarkan. Yang penting, fokuslah pada apa yang ada di depan mata dan
lakukanlah yang terbaik.
126

Gegar Lambung di Takengon,


Gegar Budaya di Singkawang
Hafiiz Yusuf, KPPN Banjarmasin - DJPb

Pada tahun 2016 saat aku bekerja di KPPN Surabaya II,


aku mendapat surat tugas pendampingan aplikasi ke KPPN
Takengon, di Provinsi Aceh, ujung utara Pulau Sumatra.
Bersama tim dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, kami berangkat menuju Takengon. Rencana
awalnya mendarat di Bandara Kualanamu Medan lalu
melanjutkan penerbangan ke Takengon. Namun ketika sampai
di Kualanamu, penerbangan menuju Takengon dibatalkan
karena cuaca buruk. Apa boleh buat, kami meneruskan
penerbangan menuju Aceh, Bandara Internasional Sultan
Iskandar Muda di Banda Aceh. Sampai di sana sudah
menjelang Magrib. Kami segera mencari rumah makan untuk
berbuka puasa. Sulit. Rupanya banyak rumah makan yang tutup
saat Magrib. Aku memahami ini sebagai bagian dari kebiasaan
lokal yang religius. Setelah mencari, kami pun buka puasa
di sebuah depot yang bersedia membuka pintunya saat kami
datang. Saat itu pemilik depot juga hendak menutup depotnya.
Perjalanan pun dilanjutkan melalui darat. Naik travel.

Memasuki daerah Takengon, pikiranku bermacam-macam.


Kenapa? Karena sebelum berangkat, aku sempat berkomunikasi
dengan rekan yang pernah bekerja di Aceh. Dia memberi aneka
nasihat, termasuk soal daerah yang rawan keamanannya, hingga
penduduk yang tidak suka terhadap pendatang dari Jawa. Aku
belum pernah ke Aceh dan aku tidak tahu benar salahnya.
Perekat Indonesia 127

Dan akhirnya, inilah Takengon. Ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. Kami
menginap di sebuah hotel. Pada suatu malam, aku berjalan kaki ke sebuah
warung pinggir jalan. Memesan kopi. Sambil menunggu, aku bercakap-cakap
dengan beberapa pengunjung warung. Penduduk setempat. Dan hai! Mereka
semua ramah. Kami berkenalan dan aku terbuka mengaku dari Jawa karena dari
logat pun sudah jelas. Ternyata tidak ada masalah. Kami berbincang hangat,
tertawa, dan saling melempar canda. Bahasa Indonesia menjadi jembatan
komunikasi meskipun kadang beberapa kali gagal paham karena terlontar
kalimat dengan bahasa daerah. Tapi kami semua tertawa, menganggapnya sebuah
kelucuan.

Ketika kopi disajikan, seteguk saja cukup membuatku terkejut. Kopinya nikmat
sekali. Rasanya berbeda dengan kopi yang biasa kuminum di warung kopi di
Surabaya. Penjualnya mengatakan itu kopi dari perkebunan lokal. Namanya Kopi
Gayo dan sudah sejak lama dibudidayakan. Aku kembali ke hotel dengan hati
yang hangat dan perut yang juga ikut hangat. Hingga akhirnya kusadari, ada yang
tidak beres! Perut terasa mual seperti diaduk-aduk. Aku pun muntah beberapa
kali. Teman satu timku bertanya kenapa dan kugelengkan kepala. Tidak tahu.
“Aku habis minum kopi”, jawabku singkat. “Oh, mungkin karena kopinya”, sahut
seorang teman. “Bisa jadi. Selama ini aku terbiasa minum kopi instan sachet.
Lalu ketika terisi kopi Gayo, lambungku kaget dan berontak.” Aku cek info dari
Google sekilas, ternyata kopi Arabika Gayo memiliki tingkat keasaman yang
cukup tinggi.

Aku sempat pula naik ojek, mengantarkan pulang-pergi ke beberapa tempat.


Kesan yang kudapatkan sama. Bapak ojeknya ramah dan menyambut baik.
Ternyata apa yang disampaikan rekanku di saat awal sebelum berangkat, tidak
benar. Setidaknya itu kesimpulan dari interaksiku 2-3 hari dengan masyarakat
setempat. Berbincang langsung, bercanda, dan minum kopi bersama. Mungkin
saja rekanku dahulu mengalami pengalaman kurang menyenangkan. Tapi tidak
bagiku. Takengon memberikan kesan mendalam tentang kopi, masyarakat yang
religius, ramah, dan pemandangan alam yang memanjakan mata.

Salam rindu untukmu Takengon, Gayo Highlander, dan tentu saja Kopi Arabica
Gayo.

*********
128

Di tahun yang sama, aku berkesempatan


melakukan pendampingan aplikasi ke KPPN
Kita semua
Singkawang, Kalimantan Barat. Aku belum
pernah ke Pulau Kalimantan sebelumnya, tentu
ini ternyata
perjalanan kala itu kusambut dengan penuh sama saja.
antusias. Tim kami menginap di sebuah hotel
di kawasan Pasar Hongkong, Singkawang. Tidak ada
Menurut cerita yang kudengar, dinamakan
Pasar Hongkong karena mirip suasana di
yang lebih
Hongkong. Banyak penjualnya dari keturunan super, tidak
Tionghoa. Makanan yang dijajakan juga
kebanyakan khas Tionghoa. ada yang
Selepas Subuh aku berbincang dengan manajer lebih tinggi.
hotel. Dia bercerita soal Pasar Hongkong yang
buka mulai sore hari hingga tengah malam.
Jika siang, kawasan ini layaknya kawasan
pertokoan biasa. Bapak manajer ramah ini
ternyata perantauan. Aslinya dari Padang.
Lalu aku duduk santai di lobi, membaca
koran. Pintu hotel terbuka, seseorang masuk
dan langsung menuju ke ruang belakang
resepsionis. Kembali lagi ke lobi dengan
membawa pel dan timba. Dia pun mulai
mengepel lantai, tetapi tidak kuperhatian,
hingga petugas Cleaning Service ini menyapa
dan meminta izin membersihkan lantai di
dekat tempatku duduk. Aku tersenyum,
mengangguk, dan mempersilakan. Sampai di
sini, senyumku tertahan. Aku merasa ada yang
aneh, dahi berkerut. Benar, baru pertama kali
kulihat pemandangan seperti ini. Antara heran,
kaget, aneh, dan merasa takjub. Kira-kira
begitu yang ada di benakku. Aku pun sempat
tertegun beberapa saat.
Perekat Indonesia 129

Petugas Cleaning Service di hotel ini beretnis Tionghoa. Seharusnya tidak ada
yang aneh. Tidak ada yang perlu diherankan dari etnis Tionghoa dan tidak
ada masalah dengan pekerjaan petugas kebersihan. Tapi begini, seumur hidup,
baru pertama kali itulah aku melihat etnis Tionghoa bekerja sebagai petugas
kebersihan hotel. Selama di Surabaya, aku beberapa kali menginap di hotel dan
sering bertemu keturunan Tionghoa. Sebagai resepsionis, tamu, supervisor, koki,
dan lain-lain. Tapi bukan petugas kebersihan seperti di hadapanku.

Koran di tangan jadi tidak menarik. Kuputuskan keluar hotel, berjalan-jalan.


Sepanjang jalan aku bertemu penjual sayur, pedagang kali lima, penjaga warung
kopi, loper koran, dan pedagang lain yang menggelar barang dagangan di tepi
jalan. Mayoritas dari mereka adalah etnis Tionghoa. Aku memandang dengan
penuh rasa takjub. Mendapatkan sebuah kesadaran baru. Sesuatu yang tidak biasa
di suatu tempat, ternyata bisa menjadi sesuatu yang biasa di tempat lain. Suatu
hal yang mengagetkan di daerah lain, bisa jadi merupakan sesuatu yang lumrah
di daerah lainnya. Mungkin ada yang pernah mendengar cerita yang sempat
viral tentang para Crazy Rich Surabayan di media sosial. Cerita tersebut makin
menegaskan stereotip tentang etnis Tionghoa. Ternyata stereotip tersebut salah
di sini. Tidak berlaku. Runtuh. Cerita tentang pribumi yang identik dengan
warga lokal dan nonpribumi yang diasosiasikan dengan etnis Tionghoa juga salah
besar. Tidak ada pribumi dan nonpribumi. Semuanya warga negara. Semuanya
warga lokal.

Justru ternyata akulah yang aneh. Merasa kaget terhadap suatu hal yang
sebenarnya biasa saja. Merasa heran akan suatu fenomena hanya karena hal
tersebut tidak ada di tempat asalku. Pengalaman mengunjungi Singkawang
begitu membekas dalam ingatan. Aku memperoleh pemahaman baru.
Pencerahan atas sebuah anggapan, stigma, dan prasangka. Hancurnya sebuah
stereotip yang sebelumnya tertanam begitu kuat dalam benak. Yang selama
ini kuanggap begini ternyata begitu. Pengalaman itu benar-benar kurasakan
sendiri dengan berinteraksi langsung, melihat dengan mata kepala sendiri, dan
berbincang. Kita semua ini ternyata sama saja. Tidak ada yang lebih super, tidak
ada yang lebih tinggi.
130

Hidup Normal Bersama


Epilepsiku
Azharianto Latief Baroto, Sekretariat BKF

Aku lahir di kota Jakarta tanggal 24 Desember 1962 dalam


kondisi sempurna tanpa ada kelainan apa pun, sedangkan ayah
dari Blitar dan ibu dari Malang, Jawa Timur. Setiap harinya,
kami hidup bahagia bersama keluarga tercinta, saudara-saudara,
dan teman-teman. Kenikmatan hidup tetap membahagiakan,
hingga di awal tahun 1973 saat aku kelas lima SD dan berumur
sebelas tahun, terjadilah keanehan tingkah laku yang membuat
ibuku kaget dan kebingunan. Ketika berjalan kaki menemani
ibu ke pasar, tiba-tiba aku berdiri dengan kondisi kejang,
terdiam tak sadar, tangan bergerak-gerak secara aneh, dan tidak
mau diajak bicara. Beberapa menit kemudian terlihat kembali
normal. Ibu kira saat itu aku kemasukan setan.

Setelah kejadian itu, orang tua segera memeriksakan aku


ke RSCM Jakarta. Rasanya seperti ada bom jatuh ketika
mengetahui hasil pemeriksaan dokter. Aku divonis mengidap
penyakit epilepsi (ayan) jenis Epilepsi Lobus Temporal yang
menyebabkan sesaat aku akan tampak hilang kesadaran saat
kumat (anfal). Kehilangan kesadaran secara bengong ini hanya
beberapa menit. Kedua orang tuaku kaget luar bisa karena
baru saat itu mendengar nama penyakit tersebut. Terlebih
bila melihat kondisi di saat anfal membuat orang tua semakin
sedih. Apalagi dokter mengatakan kalau penyakit ini termasuk
penyakit menahun yang tidak mudah disembuhkan dan harus
mengonsumsi obat tepat waktu.
Perekat Indonesia 131

Melihat kondisi keseharianku yang semakin menurun dalam menghadapi dunia


normal, kesigapan orang tuaku bukan semakin sedih, tetapi malah sungguh luar
biasa membantu agar aku tetap kuat. Mereka secara rutin dan tekun memberikan
obat sebagai konsumsi hidup sehari-hari dan membantu mencari jalan untuk
kesembuhan. Orang tuaku selalu berpikir bahwa apa pun penyakit yang diberikan
Allah Swt. pasti ada obatnya. “Janganlah takut menghadapi penyakit ini”, kata
mereka.

Untuk mengembalikan motivasi, orang tuaku segera mengambil tindakan cepat


dengan memeriksakan aku ke psikiater. Harapannya dapat memperkuat hatiku.
Dan benar. Berkat bantuan psikiater, aku mendapatkan energi tambahan agar
semakin kuat dan mendapatkan keseimbangan batin dalam menghadapi dunia
normal.

Gangguan psikologi memang sangat kuat terhadap penderita epilepsi. Banyak


kejadian menyedihkan dan membuat getir. Ada yang bilang epilepsi itu
kemasukan setan, penyakit menular, dan sebagainya. Sering kali hal-hal tersebut
menusuk ke hati jika dipikirkan dengan perasaan yang sangat mendalam. Hidup
terasa semakin tersingkirkan dari dunia normal. Namun, dengan menguatkan
hati dan tetap berpegang teguh bahwa semua kejadian negatif yang dirasakan
hanyalah cobaan dari Yang Maha Pencipta, dengan menggunakan kekuatan sabar
dan ikhlas, pasti dapat menghadapinya. Psikiater selalu membimbing, ”Jika ada
suara-suara tidak baik, masukkan dari telinga kiri, lalu teruskan saja dikeluarkan
melalui telinga kanan. Jangan dibelokkan masuk ke dalam hati. Buang jauh-jauh
ke belakang, jangan diingat lagi. Tetapi jika ada suara-suara yang baik, arahkan
masuk dari telinga kiri berlanjut ke dalam hati, kemudian diolah dan dilanjutkan
keluar menuju keinginan ke depan, ke semua yang diharapkan”.

Sebagai Orang Dengan Epilepsi (ODE), aku selalu berpikir jauh apakah
mungkin dapat mencapai tingkat kesarjanaan dan berumah tangga? Semua itu
memang menjadi beban di hati. Namun, lagi dan lagi, semua coba dijalankan
dengan niat hati dan kepercayaan diri yang kuat bahwa seorang ODE tidak
kalah dengan manusia normal yang memiliki kemampuan dan energi yang sama.
Tahap demi tahap dalam menuntut ilmu pun dijalankan sebaik-baiknya hingga
menyelesaikan SMA IPA.

Di tahun 1981, tak lama setelah aku kuliah di Universitas Trisakti (S1), ayah
yang juga sebagai sumber penanggung biaya konsumsi obat sehari-hari, dipanggil
132

Allah Swt. Kebingungan mulai terjadi. Melihat kondisi keuangan yang semakin
sulit ditambah kondisi Ibu yang semakin depresi memikirkan biaya obat dan
kuliahku, serta sekolah adik-adikku, maka kuliahku yang sudah masuk Semester
III pun diputuskan untuk tidak dilanjutkan. Waktu terus berjalan dan aku hanya
dapat termenung saja memikirkan bagaimana kelanjutan untuk mendapatkan
obat yang harus dikonsumsi setiap harinya. Aku berdoa kepada Allah Swt. di
masjid dekat rumah, juga menjalankan salat Tahajud di keheningan malam.
Terpikirkan selalu untuk bisa mendapatkan pekerjaan agar obat epilepsiku dapat
dikonsumsi kembali dengan lancar. Aku tak boleh putus asa!

Di tahun 1983, dengan diajak dua tetangga wanita, aku ikut melamar pekerjaan
di Departemen Keuangan. Setelah mengikuti ujian penerimaan pegawai tingkat
SMA Departemen Keuangan di Gelora Senayan (sekarang: Gelora Bung Karno),
sungguh tak disangka hasilnya mengejutkan. Aku diterima sebagai pegawai
Departemen Keuangan! Sempat malu hati ini karena dua tetanggaku tersebut
tidak diterima. Akhirnya, dengan menjadi seorang pegawai negeri sipil, obat
dapat kukonsumsi kembali dengan menggunakan kartu Asuransi Kesehatan/
ASKES (sekarang: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/BPJS). Terima kasih
Allah telah memberikanku jalan melalui Departemen Keuangan (Kementerian
Keuangan) untuk mendapatkan obat yang harus dikonsumsi setiap hari.

Sambil melaksanakan pekerjaan di Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri


(DJMLN), aku berpikir kembali untuk mendapatkan energi yang semakin
kuat sehingga kualitas bekerja pun meningkat. Aku ingin berjuang lagi untuk
mencapai tingkat kesarjanaan (S1) yang sempat tertunda dan bahkan terpikirkan
ketidakmungkinannya. “Pasti dengan berjuang bisa didapat.”

Di tahun 1984 aku mendaftarkan diri di Fakultas Ekonomi Studi Pembangunan


di Universitas Terbuka. Memang dalam kuliah terbuka ini berjalan tersendat-
sendat karena belajar mandiri tanpa adanya dosen pembimbing. Sementara
pekerjaan harian harus tetap dilaksanakan. Untungnya ada teman satu ruangan
yang sudah mencapai S1 lebih dulu yang dapat diajak bertukar pikiran, belajar
menggunakan buku-buku panduan yang diberikan Universitas Terbuka.

Setelah DJMLN berubah nama menjadi Badan Analisa Keuangan Negara,


Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP&NP) pada tahun 1987, secara
tak disangka-sangka aku mendapatkan teman hidup sejati. Padahal dulu
kupikir seorang ODE sangat sulit mendapatkan jodoh, tetapi akhirnya Allah
Perekat Indonesia 133

Swt. memberikan seorang wanita yang bekerja juga di Departemen Keuangan.


Alhamdulillah, setiap harinya hingga kini terjalinlah keluarga yang berjalan
dalam kebersamaan dalam satu payung kehidupan yang aman, nyaman, dan
sejahtera. Setelah lima tahun kami menikah, pada tanggal 29 September 1991
kami dikarunai seorang anak. Cobaan kembali terjadi, kebahagiaan mendapatkan
anak tercinta hanya diterima sekejap karena anak kami sakit di umur sepuluh
bulan dan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Subhanallah, Istri terus-menerus
berpikir dan merasakan kehilangan. Aku mencoba menguatkan hatinya dengan
mengatakan bahwa ini mirip dengan epilepsi, penyakit ini hanya sebagai cobaan
belaka, pasti nanti diberikan gantinya. Janganlah sampai dipikirkan terlalu
berat, kasihan hati memanggulnya. Istri pun mencoba kuat, meskipun tak dapat
ditutupi, raut kesedihan yang terpancar karena ditinggalkan momongan yang
sudah lama diharapkan. Luar biasa cobaan hidup ini.

Akhirnya lambat laun disadari juga semua ini milik Allah Swt. Ketenangan hati
menghadapi cobaan yang berat ini tetap dijalankan dan tetap diperjuangkan
untuk mendapatkan momongan baru. Berjuang berobat ke dokter setelah
bekerja pun tak pernah ditinggalkan. Alhamdullilah, setelah empat tahun
perjuangan, kami diberikan kembali momongan yang uniknya tanggal dan bulan
kelahirannya tepat sama seperti kakaknya di tanggal 29 September 1995. Anak
kedua ini seperti dikembalikan Allah Swt. Kepada hamba-Nya yang berjuang
keras mengharapkan gantinya sebagai penerus keluarga.

Dalam kehidupan sebagai ODE, walaupun ada yang mengejek, tetapi banyak
sahabat-sahabat dekat di kantor yang selalu mendukung dan memberikan
motivasi. Meskipun mempunyai kelemahan tetaplah meneruskan perjuangan
hidup ini dan janganlah berkecil hati, takut, kalah, malas, dan lain-lain.
Hati mengatakan kembali, “Sesulit-sulitnya jalan itu dan seberat-beratnya
membopong beban yang berat ini, pasti ada jalan terbaiknya menuju kesuksesan.
Yang penting, janganlah lupa secara vertikal setiap saat berdoa kepada Allah
Swt. dan secara horizontal tetaplah hidup dalam kejujuran dan keikhlasan

Epilepsi memang penyakit syaraf


(neurologi), tetapi yang sangat berat
justru di bagian jiwanya (psikologi).
134

yang ditopang pula dengan kesederhanaan di kota besar yang sangat berat
gangguannya”.

Akhirnya, di tahun 1996 terselesaikanlah S1 di Universitas Terbuka Fakultas


Ekonomi Studi Pembangunan yang selanjutnya dalam perjalanan bekerja setelah
S1, karena adanya perubahan struktur organisasi, aku pindah bekerja ke Bagian
Moneter di Direktorat Jenderal Anggaran.

Aku berusaha bekerja dengan baik meskipun dukungan maupun ketidaksukaan


tetap mewarnai. Fokusku bukan mendapatkan jabatan yang baik, tetapi hanya
ingin sekali memperlihatkan kepada anak bahwa orang tuanya yang walaupun
secara fisik terlihat lemah, tetapi tetap dapat mencapai kesuksesan Akhirnya
aku melanjutkan kuliah di Universitas Bhayangkara (UBHARA) Fakultas
Manajemen Keuangan untuk mendapatkan gelar S2. Kuliah malam terus
dijalankan dan konsekuensinya setiap harinya selama dua tahun baru tiba di
rumah sekitar pukul sebelas malam. Alhamdulillah, berkat kemauan yang kuat,
S2 yang tadinya terpikirkan tidak mungkin terjadi dalam kehidupan ODE, dapat
diselesaikan di tahun 2000. Hanyalah air mata kegembiraan yang berlinang
bersama istri tercinta.

Setelah melalui S2, dokter yang merawat juga sempat terkaget-kaget sehingga
aku pernah diajak wawancara kesehatan melalui Metro TV, DAAI, dan Trans7,
juga banyak melalui media sosial online. Pesan yang ingin disampaikan adalah
agar memberikan dukungan yang kuat kepada seluruh ODE, agar setiap ODE
dapat mulai membuka diri, berjuang tanpa mengenal lelah untuk tujuan yang
ingin dicapai karena epilepsi bukanlah batu penghalang untuk maju dalam
kehidupan.

Pada tahun 2007, dari bagian Moneter Direktorat Jenderal Anggaran, posisi
kembali lagi ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di sana aku mendapatkan amanah
untuk menjadi pejabat Eselon IV, Kepala Subbagian Data dan Statistik APBN
di Bagian Data dan Informasi, Sekretariat BKF dan saat ini sebagai Kepala
Subbagian Informasi Pustaka di Bagian Informasi Komunikasi Publik.

Akhirnya terasakan juga, sebagai seorang penderita epilepsi dapat hidup di


dunia normal dan mempunyai kepercayaan diri, hingga saat kontrol bulanan ke
RSCM, aku melihat banyak sekali teman-teman seperjuangan yang hanya hidup
termenung, tidak bersemangat, gundah hatinya, dan lain-lain, terpikirkanlah
Perekat Indonesia 135

untuk membentuk komunitas dengan beberapa teman-teman ODE lainnya yang


saat ini berkembang namanya menjadi Komunitas Peduli Epilepsi Jabodetabek
(KOMPI Jabodetabek). Epilepsi memang penyakit syaraf (neurologi), tetapi yang
sangat berat justru di bagian jiwanya (psikologi). Dengan saling tukar pendapat
(sharing) dan hidup dalam kegembiraan, keterbukaan, dan kekeluargaan dalam
berkomunitas, diharapkan seluruh anggota yang tadinya hanya dapat hidup
dalam kesedihan, dapat timbul kegembiraan dan kemajuan hidup sebagai ODE.
Ini semua berkat persatuan ODE yang terbina dengan baik.

Sudah 5 tahun, KOMPI Jabodetabek terbentuk dengan tujuan membina


kekuatan psikis teman-teman ODE. Misalkan seorang anak yang tervonis
epilepsi, jika orang tuanya tidak kuat menahan hatinya dan terus terpikirkan
melihat kondisi anaknya, pasti penyakit psikologis juga ikut terjadi pada dirinya.
Selain itu, harus mengerti pula teknik merawat anak yang tervonis epilepsi
karena banyak juga yang belum mengerti. Ada beberapa teman ODE yang sudah
S1, tadinya dia dapat bekerja di perusahaan swasta, tetapi karena tidak kuat
mentalnya dalam bekerja, akhirnya mengeluarkan diri dari perusahaan, lalu hidup
dalam kesedihan. Setelah orang tuanya mengenal komunitas ini, lambat laun dia
dapat hidup kembali dengan ketenangan di hatinya. Kini dia pun dapat hidup
dalam kegembiraan. Dan masih banyak model-model ODE lainnya. Dengan
adanya komunitas KOMPI Jabodetabek, diharapkan kita semua dapat hidup
dalam kebersamaan dan saling menguatkan.
136

K AT
A SYARA
T M
BA
H A
SA
Perekat Indonesia 137

“Kerjakan dengan
bahasa cinta, karena itu
yang diinginkan setiap
orang terhadap dirinya,
cinta akan membawa
pertanggungjawaban,
masyarakat akan disiplin
sendiri jika ia sudah
mengenal bagaimana
ia mencintai dirinya,
lingkungan dan Tuhan.”

Joko Widodo
138

Layanan Filial di Morowali


Faisal Amin, KPPN Poso - DJPb

Kondisi geografis Indonesia yang luas serta memiliki ribuan


pulau menyebabkan ada beberapa lokasi yang sulit dijangkau.
Belum lagi perjalanan yang harus ditempuh dengan waktu yang
lama untuk mencapai daerah tertentu. Hal itu dirasakan oleh
beberapa petugas satuan kerja yang harus menempuh perjalanan
ratusan kilometer ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) untuk mendapatkan layanan pencairan dana APBN.
Faktor perjalanan yang jauh ini menjadi penghambat satuan
kerja untuk mendapatkan layanan yang diberikan oleh KPPN.
Untuk memudahkan para satuan kerja mendapatkan layanan
dari KPPN, maka Ditjen Perbendaharaan menciptakan layanan
filial. Layanan Filial KPPN atau KPPN Filial adalah layanan
front office KPPN yang ditempatkan di daerah yang jauh atau
sulit ditempuh dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada
satuan kerja dan dilaksanakan oleh pegawai yang berasal dari
KPPN Induk.

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Poso (KPPN Poso)


mempunyai tugas untuk menyalurkan dana APBN kepada
satuan kerja yang berada di empat kabupaten sekitarnya yaitu
Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, Kabupaten
Morowali, dan Kabupaten Morowali Utara. Kabupaten
Morowali menjadi kabupaten yang lokasinya terjauh dari
KPPN Poso yaitu berjarak lebih kurang 250 km dari Kabupaten
Poso. Selain jarak yang jauh, perjalanan Kabupaten Morowali
Perekat Indonesia 139

menuju KPPN Poso juga harus melewati perbukitan dengan kondisi jalan yang
belum seluruhnya beraspal. Dengan melihat kondisi seperti itu, akhirnya dibentuk
layanan filial KPPN Poso di Kabupaten Morowali. Layanan Filial KPPN Poso
melayani satuan kerja lingkup Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali
Utara. Layanan Filial KPPN Poso mulai beroperasi bulan Oktober 2016 hingga
saat ini.

Sebelum adanya layanan filial KPPN Poso di Kabupaten Morowali, petugas


satuan kerja harus bersusah payah untuk menuju KPPN Poso. Jarak yang jauh
serta medan tempuh yang berat mengakibatkan kondisi fisik terkuras selama
menempuh perjalanan tersebut. Hampir setiap petugas satuan kerja yang berasal
dari Kabupaten Morowali atau Kabupaten Morowali Utara ketika tiba di KPPN
Poso mengeluh kepada petugas layanan KPPN Poso mengenai beratnya medan
yang ditempuh selama perjalanan. Belum lagi jika musim penghujan datang, jalan
yang terputus akibat mengalami longsor akan mengintai setiap waktu. Bahkan
dikarenakan medan perjalanan yang ditempuh sangat berat, pernah terdapat
petugas satuan kerja yang tengah hamil mengalami keguguran saat menempuh
perjalanan Morowali menuju Poso.

Adanya layanan filial KPPN Poso di Kabupaten Morowali disambut sangat


antusias oleh banyak pihak, mulai dari satuan kerja hingga pemerintah daerah.
Hal ini dapat dilihat pada saat proses pembukaan layanan filial KPPN Poso di
Kabupaten Morowali, pemerintah daerah Kabupaten Morowali memberikan
fasilitas berupa gedung yang dipakai sebagai kantor filial KPPN Poso di
Kabupaten Morowali. Gedung tersebut berada di daerah yang strategis karena
berada di kompleks perkantoran pemerintah daerah Kabupaten Morowali. Satuan
kerja di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara pun menyambut
dengan baik pembukaan layanan filial karena dapat memudahkan mereka dalam
mendapatkan layanan dari KPPN Poso.

Layanan filial KPPN Poso di Kabupaten Morowali dijalankan oleh petugas yang
berasal dari KPPN Induk yaitu para pegawai KPPN Poso. Layanan filial KPPN
Poso di Kabupaten Morowali hanya beroperasi pada dua minggu pertama setiap
bulannya. Pegawai yang bertugas ke sana bergiliran selama seminggu sebanyak dua
pegawai. Sejak beroperasinya layanan filial, para petugas satuan kerja bersyukur
atas adanya layanan tersebut karena mereka tidak perlu lagi bersusah payah
menuju ke KPPN Poso.
140

Banyak pengalaman yang dialami para pegawai KPPN Poso yang ditugaskan
untuk menjalankan layanan filial di Morowali. Melewati perjalanan yang jauh
serta medan jalan yang berat harus dihadapi para pegawai KPPN Poso setiap
akan bertugas ke kantor filial. Selama membuka layanan filial di Morowali, para
pegawai menghabiskan hari-harinya hanya di kantor filial. Mulai dari bekerja
melayani satuan kerja, makan minum, mencuci pakaian, hingga tidur, semua
dilakukan di kantor filial.

Meskipun layanan filial di Morowali telah berjalan, namun masih ada kendala
yang sering dihadapi. Koneksi internet yang lambat di Kabupaten Morowali
menjadi salah satu kendala yang dialami. Lambatnya koneksi internet
menyebabkan layanan kepada satuan kerja juga menjadi terhambat. Pemrosesan
Surat Perintah Membayar (SPM) yang biasanya hanya butuh waktu 5-10 menit
menjadi 15-20 menit.

Selain koneksi internet yang lambat, pemadaman listrik yang sering terjadi
di Morowali juga menjadi hambatan layanan filial. Hampir setiap hari terjadi
pemadaman listrik di Morowali, meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan
penggunaan genset agar peralatan komputer tetap beroperasi. Namun hal ini
masih berdampak kepada koneksi internet yang menjadi lambat. Setiap terjadi
pemadaman listrik maka dipastikan koneksi internet akan menjadi lambat,
bahkan terputus.

Kabupaten Morowali yang kaya akan hasil alam berupa nikel mengakibatkan
daerah tersebut rentan tersambar petir. Setiap akan turun hujan, daerah
Morowali akan tersambar petir yang keras. Dampak dari sambaran petir itu akan
menyebabkan rusaknya peralatan elektronik. Peralatan elektronik yang ada di
kantor filial juga pernah terdampak dari sambaran petir, yaitu kamera pemantau
CCTV dan televisi.

Meskipun demikian, kendala-kendala yang dialami dalam layanan filial di


Morowali bukan menjadi halangan untuk tidak memberikan layanan prima
kepada stakeholders. KPPN Poso tetap mengupayakan yang terbaik demi
peningkatan layanan filial di Morowali karena KPPN Poso ingin bertekad
menjadikan layanan filial di Morowali garda terdepan penyalur APBN di bumi
“Tepe Asa Moroso”.
Perekat Indonesia 141

Bravo KPPN Poso!

Bravo Ditjen Perbendaharaan!

Bravo Kementerian Keuangan!


142

Integritas di Tapal Batas


M. Hisyam Haikal, Sekretariat Itjen

Saat menyimak berita betapa cantiknya Pos Lintas Batas


Negara (PLBN) Entikong yang sekarang, aku jadi terkenang
tiga tahun lalu saat bertugas ke sana. Dalam dua puluh tahun
karierku sebagai auditor, penugasan ke Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong adalah yang
paling mengesankan. Betapa tidak? Entikong adalah wajah
Republik Indonesia tercinta ini yang langsung berhadapan
dengan wajah negara tetangga kita, Malaysia. Saat membuka
jendela hotel (jangan bayangkan hotel seperti di kota lain, ini
tak lebih dari kamar-kamar yang disewakan), negeri jiran bisa
dengan mudah terjangkau oleh pandangan.

Malaysia tak hanya mudah dilihat, tetapi juga dirasakan.


Mobil-mobil “aneh” dengan plat nomor bukan Indonesia,
produk makanan minuman yang tak pernah kami jumpai, beras
dengan merek yang lucu, tabung gas LPG, kebiasaan masyarakat
berobat ke negeri seberang, hingga dialek sebagian masyarakat
Entikong yang tak ada bedanya dengan dialek Malaysia.
Seorang kawan Bea Cukai bahkan bercerita, banyak orang
Entikong yang hanya sekadar minum kopi pagi di Malaysia
untuk kembali lagi ke Indonesia saat siang. Ada juga rumah
warga Entikong yang masuk dalam wilayah dua negara. Beranda
hingga ruang tamu masuk wilayah NKRI, sementara ruang
tengah, kamar tidur, dan dapur masuk Malaysia. Entah benar
entah tidak, tapi cerita semacam itu sungguh luar biasa buat
kami, “anak Jakarta”.
Perekat Indonesia 143

Berbunga hati ini mendengar Entikong menggeliat dalam pembangunan


infrastruktur. Jalan raya dari Pontianak yang dulu kami tempuh dalam
penderitaan selama hampir delapan jam, sekarang sudah mulus dan singkat masa
tempuhnya. Bangunan PLB yang dulu selalu membuat kita minder menatap
ke seberang, sekarang megah, tak kalah. Tak hanya Entikong, pemerintah juga
mempercantik PLB lain di Indonesia. Dan itu membuatku teringat Atambua,
satu perbatasan lagi yang pernah kusinggahi atas titah negara. Ah sudahlah, mari
kita lanjutkan kisah tentang Entikong.

Jangan pernah bayangkan penugasan audit ke Entikong seperti audit pada


umumnya. Mencari temuan, membandingkan dengan kriteria, memberikan
rekomendasi, selesai. Auditor zaman now telah jauh bermetamorfosis dari
sekadar itu. Auditor telah menyesuaikan diri dengan paradigma baru dunia audit
internal. Menyimak keluh kesah auditee, menampung curhat mereka, penuh
dengan empati, dan tentu saja diskusi menemukan solusi. Bukan hit and run
model auditor zadul.

Maka bertaburanlah curhat kawan-kawan kita para pegawai Bea Cukai. Tentang
kerinduan mereka pada kampung halaman, tentang kerinduan tak terperikan
pada anak istri, tentang orang tua yang hanya bisa mendoakan, tentang habisnya
cuti hanya untuk perjalanan pulang pergi, tentang nyawa yang terancam karena
tegaknya peraturan, tentang teror yang kadang bikin gentar, tentang perjalanan
reformasi instansi pemerintah yang belum sejalan seirama, tentang masa lalu Bea
Cukai Entikong yang kelam, juga tentang betapa merah putihnya jiwa mereka
hari ini dan esok. Tentang cinta, tentang semangat, dan tentang bakti pada Ibu
Pertiwi. Ah, terharu aku dibuatnya.

Hari itu Jumat, sepenggal Jumat yang terik dan rumit di PLB. Terik karena
matahari memang tega betul menyengat kepala. Rumit untuk menggambarkan
suasana tapal batas yang penuh, ramai, dan cenderung semrawut. Warga Negara
Indonesia (WNI) yang hendak menyeberang atau kembali, membawa apa yang
bisa dan boleh dibawa. Atau warga negeri jiran yang hendak masuk ke republik
tercinta ini, sekadar jalan-jalan atau silaturahmi keluarga. Silaturahmi karena
banyak sekali warga dua negara ini bertalian darah atau sekadar ikatan sejarah.
Tak semua para pelintas batas ini punya iktikad baik. Satu, dua, tiga, atau entah
berapa, ada saja yang mencoba melakukan perbuatan tak terpuji. Membawa
barang yang jelas-jelas masuk kategori dilarang dan dibatasi. Dan menjadi tugas
mulia para sahabat kita di Bea Cukai, untuk memeriksanya. Mudah mengatasi
144

bila godaan yang dihadapi “cuma” suap. Bagaimana dengan teror, senjata tajam,
dan tindak kekerasan?

Aku duduk tak jauh dari pos pemeriksaan bea cukai, mencari tempat yang agak
teduh. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji. Sebentar lagi saatnya salat
Jumat. Dari tempatku duduk, masjid terlihat belum ramai.

“Mas....,” bahuku ditepuk seseorang.

“Ya....,” aku menyalaminya dengan hangat.

Seorang lelaki muda berseragam bea cukai, bertubuh atletis, dan tentu saja lebih
gagah dari aku.

“Dari Itjen ‘kan? Boleh ngobrol?”

Pasti boleh, kami ‘kan mitra. Mitra yang siap membantu sekaligus mitra yang
tetap kritis mengawasi. Ingin panjang lebar kujelaskan betapa berubahnya Itjen
sekarang. Tapi tampaknya apa yang hendak ia sampaikan jauh lebih penting.
Maka aku menyimaknya dengan menghadapkan tubuhku penuh padanya.
Pandangan yang mencerminkan perhatian seratus persen serta sebagaimana Nabi
yang mulia mengajarkan.

“Mas lihat orang-orang yang antre masuk ke wilayah kita? Semakin mendekati
Jumatan, semakin menumpuk. Semakin galau saya. Perhatikan barang-barang
yang dibawanya. Kami bisa pastikan ada banyak barang-barang yang termasuk
lartas”.

Benar juga. Antrean bukannya menyusut menjelang waktu salat Jumat, tetapi
makin merapat. Aku mengangguk, penuh empati.

“Saya memimpin para petugas memeriksa satu demi satu kendaraan pelintas
batas. Saya harus selalu ada di situ karena situasi akhir-akhir ini sangat tak
terduga. Saya harus meyakinkan anak buah saya bertindak sesuai ketentuan, apa
pun risikonya. Tentu dengan pendekatan yang baik”.

Wajah lelaki yang ternyata juniorku di Jurang Mangu itu mulai mengeras.

“Tak mungkin saya tinggalkan pos pemeriksaan, bahkan untuk sekadar salat
Jumat. Karena PLB tak boleh tutup sekejap pun mulai jam lima pagi hingga jam
lima sore”.
Perekat Indonesia 145

Saat ikamah Kegalauan tetiba menulari diri ini. Tapi tetap


diam menyimaknya baik-baik.
sebagai tanda “Mas tahu yang kami lakukan? Lihat ini…”
salat dimulai, Kulihat di bahu bidangnya tersampir sajadah.
saya gelar “Saya menyimak khotbah Jumat di masjid

sajadah,
itu dari jauh. Saya tetap di pos, melakukan
pemeriksaan. Saat ikamah sebagai tanda
tetap di pos salat dimulai, saya gelar sajadah, tetap di
pos pemeriksaan. Salatlah saya sambil was
pemeriksaan. was. Sambil berharap imam tak seberapa
panjang bacaannya sehingga saya bisa lanjut
Salatlah saya bertugas. Sumpah, saya sedih. Orang tua saya
sambil was mengajarkan ibadah salat Jumat dengan benar.
Duduk khusyuk menyimak khotbah, tak
was. Sambil sepatah kata pun boleh terucap. Datang segera
dan duduklah di saf terdepan, biar dapat pahala
berharap imamsebesar unta katanya. Tapi apa yang kami
tak seberapa lakukan di sini...”
panjang Dia tertunduk, menahan gemuruh. Saya benar-
benar tak tahu mesti berkata apa.
bacaannya “Jumat demi Jumat, begitu saya lalui, sambi
sehingga saya berharap Gusti Allah tak marah. Karena saya
tak pernah berniat mengabaikan perintah-
bisa lanjut Nya. Demi Allah, tidak pernah”, kata-kata

bertugas. terakhirnya terdengar penuh kesungguhan.

Sumpah, saya Aku menepuk bahunya. Menatapnya sambil


tersenyum.
sedih. “Saya bangga punya adik kelas seperti
kamu. Bea Cukai beruntung punya pegawai
sepertimu. Saya kok yakin betul Bu Menteri
dan Pak Dirjen bakal bangga dengan sikapmu.
Mari berdoa pada Allah, Ia Maha Penyayang,
146

Maha Pengasih, Maha Pengampun. Perasaan yang kamu ceritakan pada saya
itu menegaskan bahwa takwa masih kental mewarnai hatimu. Saya bukan ahli
agama, saya tak bisa mengatakan boleh atau tidak atas apa yang kamu lakukan.
Saya tak punya kompetensi untuk itu. Tapi saya yakin, Allah juga tahu bahwa
yang kamu lakukan juga sejalan dengan perintahnya. Kalian melindungi
masyarakat dari barang-barang terlarang, kalian melindungi generasi muda dari
kehancuran, kalian menjaga masyarakat dari orang-orang yang tak punya rasa
tanggung jawab moral apalagi agama”.

Dia menatapku. Seperti biasa, penuh keberanian dan kesungguhan. Kucoba


membaca tatap matanya. Aku menafsirkannya sebagai terima kasih, minimal ada
kelegaan tebersit di sana. Aku tersenyum. Menepuk bahunya lagi.

“Saya ke masjid dulu ya”, kututup pembicaraan.

“Makasih, Mas”, katanya.

Dari masjid kutatap pos pemeriksaan. Dan apa yang kusaksikan persis seperti apa
yang dia ceritakan. Aku tak begitu konsentrasi menyimak khotbah. Fokus pikiran
dan pandanganku selalu ke pos. Anak muda berseragam dengan sajadah di bahu.
Waspada, berani, gagah, tapi tetap santun.

Sorenya, di kantor, ditemani sepiring pisang goreng dan secangkir teh hangat,
aku mencoba mengulik tentang lelaki itu. Lelaki yang siang tadi mengajarkan
padaku tentang integritas pada wujudnya yang paling nyata. Dan aku tak salah,
lelaki muda itu bukan pegawai sembarangan. Keberaniannya melawan para
“penyelundup terang-terangan” sudah membuatnya jadi setengah legenda.
Foto dirinya, berdiri tegak di antara para pelanggar yang menghunus pedang
panjang, membuatku terperagah. Rekaman CCTV menunjukkan nyalinya saat
berhadapan dengan kekerasan para peleceh hukum.

Aku tersenyum, teringat aku menepuk bahunya tadi siang. Saat kukatakan
padanya, aku bangga punya adik kelas seperti kamu. Itu kukatakan dengan
sungguh-sungguh.
Perekat Indonesia 147

Penyintas di Tepian Pasifik


Riza Almanfaluthi, Direktorat P2Humas - DJP

Ahmad Suwardi masih bekerja sampai tengah malam di Kantor


Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tahuna. Sebagai Kepala
Subbagian Umum dan Kepatuhan Internal, ia bersama timnya
menyiapkan segalanya untuk acara besok. Akan banyak pejabat
datang ke Tahuna untuk menguji coba jaringan Palapa Ring
Paket Tengah.

Para pejabat itu antara lain Menteri Keuangan, Sri Mulyani


Indrawati; Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara;
dan Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey. Palapa Ring
adalah proyek pembangunan jaringan serat optik nasional yang
menghubungkan seluruh desa di Indonesia dengan jaringan
internet berkecepatan tinggi.

Awalnya acara akan dilaksanakan di lapangan, namun untuk


mengantisipasi cuaca buruk, Sri Mulyani meminta agenda itu
dilaksanakan di gedung milik Kementerian Keuangan. Hanya
ada dua kantor Kementerian Keuangan di pulau itu: KPP
Pratama Tahuna dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) Tahuna. Akhirnya KPP Pratama Tahuna ditunjuk
sebagai tuan rumah acara.

Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan, yang ikut dalam


rombongan mengaku terkesan dengan suasana KPP Pratama
Tahuna. Dalam sejarah Direktorat Jenderal Pajak, Robert
148

Pakpahan merupakan Direktur Jenderal Pajak yang pertama kali berkunjung ke


sana.

Robert sempat diajak Ahmad Suwardi melihat bentangan pemandangan


belakang kantor: Samudra Pasifik yang biru. “Jadi ingin mancing,” kata Robert.
Namun jadwalnya yang padat tidak memungkinkan untuk itu.

KPP Pratama Tahuna berdiri sejak 2008 yang merupakan gabungan dari
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Tahuna dan Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi (KP2KP) Tahuna.

Letaknya berada di Tahuna, kota kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten


Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Tahuna dilintasi jalur gempa sehingga
kejadian gempa merupakan hal biasa yang sering terjadi dan dialami masyarakat
di sana.

Kepulauan Sangihe sendiri berbatasan langsung dengan negeri jiran, Filipina di


sebelah utara, Laut Sulawesi di sebelah barat, Samudra Pasifik di timur, dan Laut
Maluku di selatan.

Wilayah kerja KPP Pratama Tahuna adalah wilayah kepulauan yang terdiri dari
144 pulau, baik yang berpenghuni maupun yang tidak. Wilayah ini juga dikenal
dengan sebutan Wilayah 144 Pulau, meliputi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), dan
Kabupaten Kepulauan Talaud.

“Ini menjadi tantangan sendiri buat kami. Harusnya ada aset Barang Milik
Negara berupa kapal boat untuk melakukan kunjungan kerja,” tutur Kepala KPP
Pratama Tahuna, Miftahudin.

Secara struktural organisasi KPP Pratama Tahuna di bawah Kantor Wilayah


Direktorat Jenderal Pajak Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara
(Kanwil DJP Suluttenggomalut). Di bawah KPP Pratama Tahuna terdapat
KP2KP Talaud.

Dengan jumlah personel terbatas sebanyak 65 pegawai, Miftahudin menjadi


komandan lapangan untuk menggali potensi perpajakan yang didominasi oleh
sektor bendaharawan dan hasil bumi.
Perekat Indonesia 149

Miftahudin juga harus mengatur komposisi pegawainya dengan cermat untuk


melayani 35.636 wajib pajak yang terdaftar pada 2018. Sebanyak 58 pegawai
berada di Tahuna dan 7 orang lainnya di Talaud. “Hanya empat orang yang
berasal dari Manado, sisanya berasal dari luar Sulawesi Utara,” kata Miftahudin
menjelaskan asal daerah para pegawainya.

Dari Manado, perjalanan menuju Tahuna dapat ditempuh dengan menggunakan


pesawat terbang atau kapal laut. Ada jadwal penerbangan dari Bandara Sam
Ratulangi, Manado, menuju Bandara Naha, Tahuna, yaitu pada pukul 07.00
WITA dengan waktu tempuh lebih kurang 50 menit. Itu pun tidak setiap hari.
Hanya ada empat kali penerbangan dalam seminggu.

Apabila menggunakan kapal cepat, maka perjalanan dapat ditempuh lebih


kurang 6 jam dari Pelabuhan Manado dengan jam keberangkatan pada pukul
09.00 WITA. Jika menggunakan kapal malam yang diberangkatkan pada pukul
19.00 WITA maka perjalanan membutuhkan waktu 9 jam.

Miftahudin harus menyisihkan waktu 20 jam dari rumahnya yang berada di


Surabaya menuju Tahuna. “Itu pun harus dengan menginap terlebih dahulu di
Manado karena jadwal pesawatnya besok pagi,” ujar Miftahudin.

Dengan jarak yang jauh, transportasi yang sulit, dan ongkos yang tinggi itu
membuat para pegawai yang berasal dari luar Sulawesi Utara harus berpikir dua
kali jika sering-sering pulang ke kampung halaman. Paling cepat mereka bisa
pulang sebulan sekali.

Maka menjadi suatu keberkahan yang luar biasa ketika pada 26 Desember
2018, Sri Mulyani mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 877/
KMK.01/2018 tentang Unit Kerja Kementerian Keuangan di Tempat yang
Sulit Perhubungannya. Beleid itu menempatkan Tahuna termasuk salah satu
daerah yang sulit perhubungannya. Artinya, dengan ketentuan cuti yang ada, para
pegawai Kementerian Keuangan di Tahuna mendapatkan cuti tambahan paling
lama 12 hari kalender.

Jarak dan waktu tempuh, jumlah pergantian antarmoda transportasi, dan tingkat
kesulitan penggunaan moda transportasi menjadi pertimbangan keputusan
tersebut. “Tentunya kami sangat senang sekali. Tambahan cuti itu bisa digunakan
sebagai tambahan waktu dalam perjalanan dan membuat pegawai lebih mudah
150

dalam menjalankan nilai-nilai Kementerian Keuangan tanpa banyak alasan,” ujar


Miftahudin.

Hal senada diungkapkan oleh Ahmad Suwardi yang merasa bungah dengan
kebijakan itu. “Kami sudah menggaungkan sejak 2017. Kami di sini nggak
butuh flexitime, kami hanya butuh flexiday. Bayangkan kalau kami pulang Jumat
malam dan sampai tempat tujuan Sabtu hampir Magrib. Supaya tidak bolos ‘kan
Minggu pagi kami sudah harus berangkat supaya Senin pagi sudah bisa kerja
lagi,” kata Ahmad Suwardi yang sejak Januari 2017 berada di Tahuna.

Dari Banyuwangi, tempat keluarganya berada, Ahmad Suwardi membutuhkan


waktu paling cepat 17 jam perjalanan sampai di Tahuna. “Kalau ingin irit karena
harga tiket selangit seperti sekarang ini, ya harus naik kapal laut. Bisa 24 jam
perjalanan. Belum kalau pesawat dari Surabaya delay,” tambahnya.

Dengan segala keterbatasan yang ada, Miftahudin dan seluruh pegawai KPP
Pratama Tahuna tetap fokus pada tugas dan target yang diemban. Pendirian
Pos Pajak, pengembangan sistem permberkasan, dan pembuatan basis data
pemeriksaan menjadi inovasi layanan yang terus dijalankan mereka.

Pos Pajak didirikan di Pulau Siau. Siau merupakan ibu kota Kabupaten
Kepulauan Sitaro. Miftahudin mengirimkan dua pegawainya menjaga pos
itu dalam jangka waktu satu minggu secara bergantian. Mereka memberikan
pelayanan dan konsultasi kepada wajib pajak di sana yang lokasinya sangat jauh
dari Tahuna.

Untuk melaporkan pajak, biasanya wajib pajak dari Pulau Siau naik kapal cepat
menuju Tahuna. Tiba di KPP Tahuna pukul 5 sore pada saat jam layanan kantor
sudah tutup sehingga tidak jarang mereka harus menginap di Tahuna dan besok
paginya pada pukul 09.00 mereka harus segera naik kapal.

Walaupun berada di daerah perbatasan dan terpencil, dengan berbagai layanan


yang diberikan kepada wajib Pajak, KPP Pratama Tahuna menorehkan berbagai
prestasi. Pada 2017, KPP Pratama Tahuna mendapatkan penghargaan atas
prestasinya dalam Persentase Tingkat Kepatuhan Formal Wajib Pajak Badan dan
Orang Pribadi Nonkaryawan Terbaik se-Kanwil DJP Suluttenggomalut.

Selain itu, pada 2018, mendapatkan penghargaan sebagai Wajib Pajak Bayar
Terbaik Rakorda II Tahun 2018, Kinerja Keuangan Terbaik Tahun 2018, Terbaik
Perekat Indonesia 151

Ketiga Pencapaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran Semester I Tahun


2018 di KPPN Tahuna.

Miftahudin tak menampik kalau itu semua berkat kerja sama yang selama ini
dibangun timnya. Sebagai pemimpin, ia harus dapat memberikan keteladanan,
membangun kebersamaan antarpegawai, dan membimbing terus menerus
anggota timnya yang kebanyakan anak muda dan baru ditempatkan di Tahuna
yang minim hiburan. “Tetapi di sini itu pemandangannya bagus, bukit dan
pantainya indah,” ujar Miftahudin.

“Di sini harus bahagia dan jangan sampai sakit,” tambah Ahmad Suwardi. Ia
mengatakan demikian karena fasilitas kesehatan di Tahuna belumlah mencukupi.
Banyak warga Tahuna yang dirujuk ke rumah sakit besar di Manado. Dan tentu
mereka harus berkejaran dengan masa karena transportasi masih menjadi kendala
sempurna.

Miftahudin, Ahmad Suwardi, dan seluruh pegawai KPP Pratama Tahuna adalah
para penyintas yang membuktikan negara hadir di perbatasan. Penugasan mereka
di sana sejatinya untuk kelangsungan NKRI.
152

Mitra Kerja
A. Govinda Jaharuddin, KPPN Fakfak - DJPb

Namaku Achmad. Aku berasal dari Makassar, tetapi


ditempatkan jauh di tanah Papua, tepatnya di Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara Fakfak untuk mengabdi pada negeri
ini. Pengabdianku sebagai insan perbendaharaan kumulai setiap
pagi sebelum berangkat ke kantor dengan memastikan aku
telah berpakaian kemeja rapi, memakai celana kain, bersepatu
pantofel, dan tak lupa kukalungkan nametag identitasku. Aku
berangkat dengan mengendarai Honda Win tahun ‘98 yang
selalu setia menemani perjalananku ke kantor.

Sebagai Front Officer, aku dituntut untuk selalu bersikap ramah


pada mitra kerja dan memfasilitasi apa pun yang mereka
butuhkan demi kelancaran pencairan dana mereka. Namun
ada sesuatu yang membuatku heran, mereka sering melakukan
kesalahan dalam pembuatan Surat Perintah Membayar
(SPM) dan mengajukan SPM yang sering lewat dari batas
waktu layanan. Padahal sudah berkali-kali kuberikan petunjuk
dan informasi yang kukira akan berguna bagi mereka saat
mengajukan pencairan dana juga agar memudahkanku dalam
memprosesnya. Jujur saja, menjadi Front Officer memang sangat
bertolak belakang dengan stereotip orang Makassar yang
dikenal keras. Karena itu, aku berusaha tidak memunculkan
watak tersebut di hadapan mitra kerja demi profesionalisme
dalam bekerja, meskipun, terkadang watak itu hampir muncul
juga saat melayani mitra kerja yang menguji kesabaran. Hingga
Perekat Indonesia 153

Sesampainya di pelabuhan, hal


yang kutakutkan terjadi, kami
harus menaiki perahu kecil untuk
melakukan perjalanan ke desa
Beliau karena tidak ada jadwal kapal
untuk minggu ini.

suatu hari aku mengalami kejadian yang mengubah pandanganku terhadap mitra
kerjaku di sini.

Hari itu saat hujan deras mengguyur kota, tibalah seorang mitra kerja yang
kuketahui sebagai seorang guru yang juga seorang operator aplikasi keuangan.
Ia datang ke depan mejaku pada pukul lima sore, tepat pada saat kantor
akan ditutup. Kami sebenarnya tak heran lagi dengan kedatangan Beliau
yang terlambat karena kami tahu perjalanan dari kantor Beliau ke Fakfak
membutuhkan perjalanan satu hari satu malam menaiki kapal laut yang hanya
lewat satu minggu sekali. Sesuai peraturan yang berlaku, batas pengambilan
nomor antrean layanan adalah pukul 15.00 waktu setempat, namun kantor kami
memiliki kebijakan boleh memberikan layanan hingga waktu tutup kantor, yaitu
pukul 17.00. Melihat bapak tersebut, aku langsung bertanya, “Kok datangnya
terlambat, Pak?” Beliau menjawab dengan nafas yang masih terengah-engah,
“Iya, mas, dompetku hilang waktu di kapal, terus ya saya jalan kaki ke sini.”
Mendengar itu aku sontak terkaget. “Lah, terus gimana penginapannya? Apa
sudah dipesan, Pak?” “Belum, mas, gimana mau pesan, mas, dompetnya aja udah
hilang duluan”, jawab si bapak.

Bapak itu terlihat basah kuyup dan hanya membawa sebuah tas kulit yang
kemungkinan berisi SPM yang akan diserahkan kepada kami. Hati kecilku
tergerak melihat seorang guru yang berjuang keras agar operasional sekolahnya
terus berjalan. Aku yang sudah berganti sandal jepit dan siap untuk pulang,
langsung mengajak si bapak untuk menginap di rumah dinasku yang tidak jauh
dari kantor. Sesampainya di rumah, aku langsung menyiapkan kasur busaku
154

satu-satunya yang sudah tipis untuk dipakai Beliau beristirahat. Beliau terlihat
kedinginan dan kudengar nafasnya berat serta pendek, hingga akhirnya aku sadar
bahwa bapak itu sedang sakit karena terkena hujan tadi sore. Di malam yang
sangat gelap, kunyalakan motorku dan segera kuantar si bapak ke rumah sakit.
Aku yang masih bercelana pendek, hanya bermodalkan sarung yang digunakan
untuk menjaga keseimbangan si bapak agar tidak jatuh dari motor. Aku masih
ingat saat itu pukul dua malam di ruang UGD. Aku masih menunggu hasil
pemeriksaan si bapak dan saat itu aku bingung siapa yang harus kuhubungi
karena yang kutahu hanyalah Beliau seorang guru di suatu desa yang jauh dari
Fakfak.

Pagi buta, aku dengan mata yang terlihat sendu karena kurang istirahat langsung
berangkat ke kantor dan meminta izin cuti kepada atasan untuk mengantar si
bapak kembali ke desanya. Berdasarkan alasan tersebut, kepala kantorku segera
memberikan cuti kepadaku. Aku pun segera menyiapkan barang si bapak dan
langsung membawa Beliau ke pelabuhan dengan ambulans. Sesampainya di
pelabuhan, hal yang kutakutkan terjadi, kami harus menaiki perahu kecil untuk
melakukan perjalanan ke desa Beliau karena tidak ada jadwal kapal untuk
minggu ini. Aku tahu perjalanan dengan perahu kecil ke desa Beliau itu sangat
berbahaya dan harganya pun mahal, tapi waktu itu aku tidak berpikir panjang
sehingga aku langsung mengiyakan apa yang pemilik perahu tawarkan. Pada saat
itu yang kupikirkan hanyalah bagaimana bapak tersebut bisa segera beristirahat
dan operasional sekolahnya tetap berjalan dengan lancar. Hampir dua hari kami
di atas perahu dan tiga kali kami singgah di pinggir hutan untuk beristirahat
sebelum melanjutkan perjalanan. Akhirnya tibalah kami di desa beliau pada
pukul 05.00 WIT. Saat itu matahari masih malu untuk menunjukkan dirinya.
Beliau yang masih terlihat lemas, langsung ke sekolah dan mempersiapkan
dirinya untuk mengajar tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri. Aku hanya
bisa melihatnya mengajar dari depan kelas sembari menunggu Beliau selesai
mengajar.

Pelajaran di sekolah Beliau berakhir, Beliau pun langsung mendatangiku dan


berterima kasih atas apa yang telah kulakukan kepada Beliau. Setelah beristirahat
sebentar dan berbincang dengan Beliau, aku langsung menyiapkan barangku,
berpamitan kepada Beliau, dan berangkat ke pelabuhan agar bisa segera kembali
ke Fakfak untuk bekerja.

Dari kisah itulah mataku semakin terbuka terhadap mitra kerja yang kulayani.
Perekat Indonesia 155

Tidak semua dari mereka itu tidak mampu untuk melakukan apa yang telah
diarahkan, akan tetapi mereka juga punya pekerjaan lain yang harus mereka
lakukan yang membuat fokus mereka terbagi. Aku tidak seharusnya berkeluh
kesah dalam menghadapi mereka yang masih belum mampu untuk melakukan
apa yang aku ajarkan atau mereka yang terkadang datang melewati jam layanan.
Aku juga harus berusaha lebih bersabar dalam melayani mereka dan berusaha
lebih mengerti keadaan mereka. Apalagi sekarang aku tidak menganggap mereka
mitra kerja lagi, melainkan mereka adalah keluargaku.

16 September 2017, hari yang tidak kusangka. Hari yang membuatku sangat
bahagia dan merasakan sedih bercampur aduk menjadi satu perasaan yang tak
dapat kulupakan. SK mutasi yang telah lama kutunggu akhirnya menyebutkan
namaku dan akan mengembalikanku ke tempat asalku, yaitu Kota Makassar. Hal
yang masih membekas di benakku adalah saat para pegawai mengantarkanku
ke pelabuhan. Tak kusangka semua mitra kerjaku yang telah kulayani selama ini
telah berkumpul di sana. Mereka semua masih berpakaian dinas masing-masing,
bahkan ada yang mengeluarkan air matanya saat mengantarkanku ke kapal tujuan
Makassar yang masih menungguku. Yang paling membuatku berat hati ialah si
bapak ternyata datang jauh-jauh khusus untuk turut serta mengantarku. Tidak
hanya sekantong jeruk yang dibawakannya untukku, akan tetapi Beliau juga
membawa serantang makanan yang telah disiapkannya khusus untuk bekalku.
Berat rasanya akan meninggalkan kota ini, tapi keluarga baruku juga telah
menunggu di tujuanku selanjutnya. Pada hari itu, hanya sebuah kalimat yang
dapat mewakili semua yang kurasakan, “Selamat tinggal keluargaku, aku tidak
akan melupakan kalian”.
156

Ketika Hati Menjadi Teguh


Lis Kartika Sari Husana, Kanwil DJPb Provinsi Bangka Belitung

Dini hari itu aku bangun pukul 01.00, bersiap berangkat


ke terminal bus yang akan mengantarkanku ke Bandara
Soekarno-Hatta di Tangerang. Biasanya kami menaiki pesawat
pukul 06.10, maskapai “Garuda Merah” yang menyediakan
penerbangan paling pagi ke Pangkalpinang.

Kenapa pagi sekali? Karena aku tidak ingin melalaikan


kewajibanku. Tugasku banyak dan aku berharap tidak terlambat
ke kantor. Jarak bandara ke kantor yang dapat ditempuh dalam
20 menit memungkinkan kami untuk tidak terlambat ke kantor
kalau maskapai kami tepat waktu. Dalam dinginnya udara dini
hari, kueratkan jaket yang kupakai. Turun dari bus, segera ku
berlari ke pintu keberangkatan di Terminal 1B. Memasuki ruang
tunggu, biasanya aku bertemu dengan teman-teman kantor yang
biasanya sedang ngobrol atau tertidur setengah pulas. Kami
berbincang, membicarakan keluarga maupun pekerjaan kantor.

Tidak terasa, waktu boarding sudah tiba, kami mengantre untuk


pengecekan terakhir sebelum masuk pesawat. Yah, itulah yang
biasanya kami lakukan. Tiap dua minggu sekali kami pulang
menemui keluarga kami. Kami terpaksa meninggalkan anak
dan istri kami di rumah karena rasanya terlalu melelahkan bagi
anak-anakku jika harus ikut berpindah-pindah kota. Pergi saat
anak-anak masih terlelap, menaiki burung besi raksasa, dan
kembali menerima rasa sepi. “Tunggu aku anakku, aku akan
Perekat Indonesia 157

pulang dua minggu lagi, saat kau akan tidur di malam itu”. Selalu kutanamkan
dalam hati bahwa mereka, keluarga yang kucintai, sedang menunggu di rumah.

Sesampainya di bandara, kami berjalan dengan cepat, menuju tempat


penjemputan untuk segera menaiki mobil yang menjemput kami. Betapa
leganya, kami hanya terlambat lima menit. Syukurlah. Segera kami larut dalam
pekerjaan masing-masing. Begitu pula hari-hari selanjutnya. Hari itu sungguh
melelahkan, aku harus menyelesaikan revisi anggaran kantor kami. Kusampaikan
pada stafku bahwa ingin rasanya aku menangis, lelah menjalani hari ini. Betapa
tidak, telah beberapa hari kulewati untuk mengisi aplikasi ini, tapi tiba-tiba
semua pekerjaan yang sudah kami susun, hilang tak berjejak. Meskipun demikian,
kuteguhkan tekadku. Aku bekerja untuk bangsa dan negara, dan aku pun harus
mengerjakannya sampai selesai.

Betapa leganya, saat pekerjaanku akhirnya selesai, walaupun kemudian aku harus
kembali pulang ke rumah tengah malam. Rumah bisu yang hanya bisa terdiam.
Betapa rindunya aku akan keluargaku. Namun, keluargaku tidak boleh tahu
seperti apa perjuanganku, mereka hanya boleh tahu bahwa aku bahagia di sini.
“Sabar, jangan bersedih hati”, ujarku dalam hati.

Besoknya, aku berkunjung ke meja temanku. Canda tawa memenuhi ruangannya.


Para bulok (bujang lokal) yang ada di kantor kami berkumpul, membicarakan
kapan akan pulang ke kampung halaman, memenuhi rasa kangen terhadap
keluarga. “Ayo, Pak, pulang, sudah tiga minggu nih. Bang Jali aja tiga minggu
pulang”, ujar salah seorang rekan. “Ya, sudahlah ayo pulang, sudah kangen
juga dengan keluarga”. Hari itu, kami memutuskan untuk pulang hari Jumat
pekan ini. Kami memutuskan untuk pulang dengan tiket penerbangan yang
tidak mengganggu jam kerja kami. Hari Jumat, kami naik pesawat dengan
penerbangan pukul 17.40 dan hari Seninnya, kami akan kembali mengabdi di
kota serumpun sebalai ini dengan menaiki pesawat dengan penerbangan pukul
06.10 dari Jakarta.

Kami berkumpul bersama keluarga, senang rasanya, bisa tertawa lepas. Melihat
anak-anakku sudah besar membuat hatiku terasa hangat. Ternyata perjuangan
ini berbuah indah, nikmat yang tiada bandingannya. Aku harap dapat bersama
kembali bersama mereka suatu saat nanti.

Kupanjatkan doa, berharap Allah akan memberikan kebaikan di setiap jalan yang
158

kutempuh karena kuyakin Allah Mahabesar, Maha Mengetahui. Dia mengetahui


niat baik setiap manusia. Dan kini, aku akan kembali untuk mengawal APBN,
membangun negeri di kota itu, Pangkalpinang. Dengan mengucap bismillah,
kunaiki pesawat JT 610 dari Jakarta ke Pangkalpinang.

Untuk Abdul Khaer, Mohamad Fadillah, Eko Sutanto, Bambang Rozali Usman,
Akhmad Endang Rokhmana, dan Joyo Nuroso, semoga kalian selalu dalam
lindungan Allah Swt. Amin.
Perekat Indonesia 159

PMK dan Perdirjen,


Pahlawanku
Haryono Efendi, Kanwil DJPb Provinsi Kepulauan Riau

Raha, sore hari sekitar pukul 15.00 waktu setempat di hari


Rabu, bulan Mei 2017, cuaca sangat cerah di Kepulauan
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Cuaca seperti ini sangat
mendukung untuk melakukan perjalanan dinasku, mengikuti
rapat kegiatan rekonsiliasi atas undangan BPJS Cabang Baubau
yang akan diselenggarakan di kantor Wali kota Baubau dengan
peserta dari beberapa Kabupaten Pemda di Provinsi Sultra.

Dimulai dengan doa dan semangat melaksanakan tugas


organisasi, aku berangkat dari KPPN Raha bersama seorang
driver KPPN Raha menuju Pemda Kabupaten Baubau dengan
perjalanan lebih kurang lima jam. Dengan menggunakan
kendaraan dinas dari Raha ke Baubau, biasanya untuk acara
rekonsiliasi seperti itu aku didampingi oleh Kepala Seksi
Verifikasi, Akuntansi dan Kepatuhan Internal (Kasi Veraki).
Namun berhubung dia sedang cuti, maka yang bersangkutan
tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut.

Ada perasaan senang dan bahagia ketika berangkat ke Kota


Baubau. Pun rekan-rekan yang bertugas di kantor ikut senang.
Kenapa demikian? Kami senang berangkat ke Baubau karena
kami akan bisa melihat indahnya lampu lalu lintas yang kedap-
kedip yang menandakan bahwa ada keramaian lalu lintas yang
cukup lumayan di kota Baubau. Dan lebih bahagia lagi kami
bisa melihat swalayan atau mal. Maklum di Raha, di tempat
160

kami bertugas, tidak ada lampu lalu lintas, apalagi mal seperti di kota-kota
lainnya. Namun kondisi demikian tidak menyurutkan semangat para pegawai
KPPN Raha, justru semakin menjadi pemantik semangat dalam melaksanakan
tugas di kota kecil itu.

Para pegawai yang sedang tugas di kantor pun senang, mengingat aku sebagai
teman kerjanya sudah hampir empat bulan belum melihat swalayan ataupun
merasakan makanan-makanan seperti di kota-kota lainnya yang lebih ramai
karena selama itu belum ada tugas ke luar kota ataupun panggilan tugas ke kota
lain, baik panggilan dari Kanwil DJPb Provinsi Sultra, Kantor Pusat DJPb,
ataupun pihak lainnya. Sedangkan yang biasanya ditunggu pegawai ketika ada
rekan yang dinas atau tugas ke Kendari, Makassar, ataupun ke Baubau biasanya
adalah buah tangan berupa fried chicken atapun Roti Boy yang merupakan
makanan kesukaan anak-anak kos seperti mereka, tetapisulit didapat di daerah
seperti Raha pada saat itu.

Seperti biasa, sebelum bertugas ke luar kantor apalagi ke luar kota, tak lupa
terlebih dahulu aku pamitan kepada rekan-rekan semuanya dan sedikit
menyampaikan pesan apa yang harus dilakukan di kantor, baik sebagai
pemimpin, maupun sebagai sahabat di rantauan. Tak lupa juga aku pamitan ke
tokoh masyarakat di lingkungan kantor sebagaimana yang biasa kulakukan kalau
sedang pergi dinas ke luar kota. Hal ini aku lakukan, mengingat keberadaan
KPPN Raha berada di area permukiman penduduk.

Dengan menggunakan mobil dinas Kijang Innova berplat merah serta


berpakaian lengkap kebesaran Kemenkeu, yaitu warna biru dengan nametag yang
tertulis nama pemberian dari orang tuaku, yaitu Haryono Efendi, aku berangkat
menuju ke Kota Baubau.

Dalam perjalanan dari Raha ke Baubau, kami tempuh via jalur darat sampai
di ujung Kepulauan Muna, baru kemudian menyeberang laut sebentar menuju
Kota Baubau. Opsi jalan lain dari Raha menuju Baubau bisa juga melalui jalur
laut langsung dengan kapal feri, tetapi aku lebih memilih jalur darat kemudian
menyeberang laut sebentar dengan pertimbangan karena kapal feri yang langsung
dari Raha ke Baubau hanya dua kali pemberangkatan setiap harinya, yaitu pukul
11.00 dan 13.00, sementara aku harus menyelesaikan tugas terlebih dahulu di
KPPN Raha sampai selesai, yaitu sekira pukul 15.00 waktu setempat dan selesai
rapatnya di Pemda Kota Baubau belum tentu tepat waktu.
Perekat Indonesia 161

Jalan dari Raha ke kota Baubau melewati hutan-hutan dan terkadang melewati
perkampungan sebentar lalu hutan-hutan lagi dan begitu seterusnya selama
hampir sekitar dua jam. Jalan-jalan yang kami lewati pada saat itu penuh dengan
debu, batu-batu (terkadang batu-batu besar), dan tidak jarang ada kayu-kayu
dan pohon-pohon pisang yang rupanya sengaja ditaruh di tengah jalan oleh
sekelompok pemuda masyarakat setempat dengan tujuan agar kendaraan,
khususnya mobil, berjalan pelan-pelan karena kalau ngebut, maka debu
bertebaran di rumah penduduk. Kondisi demikian tergambar dari rumah-rumah
penduduk di sekitar jalan yang penuh dengan debu.

Dalam perjalanan itu, perasaan kami tidak enak dan terkadang bulu kuduk
berdiri ketika memasuki gerbang perkampungan yang terpencil. Perasaan tak
enak yang sedari tadi menghantui perjalanan semakin menjadi-jadi. Semakin
cepat mobi melaju, maka semakin tak enak pula perasaan, dan kami pun mencoba
untuk melambatkan lajunya mobil plat merah itu. Namun, ternyata perasaan
malah semakin takut. Seperti maju kena, mundur juga kena.

Saat kami memasuki desa Parigi, kami berdua terkejut setengah mati dengan
pemandangan yang kami lihat. Ada segerombolan pemuda kampung yang
berbadan besar dengan kulit legam, membawa benda-benda tajam dan kayu-
kayu. Sorot mata mereka tajam. Suasana saat itu sungguh mengerikan bagi kami
yang hanya berdua di dalam mobil.

Panas dingin rasanya badan dan pikiran kami pun sedikit stres. Dalam kondisi
seperti itu, aku berusaha menenangkan driver agar tidak terlalu berat beban
psikologisnya. Aku pun berupaya tenang. Dari arah depan, segerombolan pemuda
tadi menghadang mobil dinas kami yang dari arah depan, tak jauh dari mobil
kami, terdapat mobil dinas lainnya, yaitu milik Pemda Kabupaten Muna yang
sudah musnah dibakar massa.

Saat mobil dihentikan, aku tambah khawatir, tetapi kucoba untuk tetap berdoa
meminta perlindungan Allah. Dalam benak da hatiku, aku meyakini bahwa
jika kita berniat baik, maka insyaallah kita akan dilindungi. Dengan modal
doa, keyakinan, dan niat baik, aku turun dari mobil yang saat itu aku berada di
samping driver, sementara dia masih di belakang setir dengan harapan jika tidak
terdapat masalah, maka bisa segera berangkat meneruskan perjalanan.

Salah satu pemuda gempal dengan didampingi sekitar lima orang langsung
162

menegur kami, “Mau ke mana, Pak?“ Kata mereka dengan nada tinggi. Kujawab
dengan nada sopan dan tetap menghormati mereka, “Mohon maaf, Saudaraku
semuanya, kami mau ke Kota Baubau karena ada acara kedinasan di sana”.
Selanjutnya mereka mengatakan kepadaku dengan nada tinggi lagi, “Anda
tahu tidak bahwa mobil berplat merah dilarang masuk sepanjang jalan ini
karena jalan-jalan di daerah kami maupun kondisi desa kami tidak terurus oleh
pemerintah daerah, maka sebagai bentuk protes ke pemerintah, kami larang
mobil dinas memasuki jalan ini, dan apabila memaksa, akan kami bakar seperti
mobil di depan.” Pemuda itu menunjuk ke arah mobil Pemda Kabupaten Muna
yang sudah dibakar.

Dalam benakku, pasti masyarakat di sini sedang demo, sedang marah ke


Pemda Kabupaten Muna maupun Provinsi Sultra terkait dengan jalan yang
memprihatinkan. Selanjutnya guna meredakan situasi seperti itu, aku langsung
mengambil tas di mobil untuk mengambil uang sekitar Rp300.000,00 untuk
kuserahkan ke mereka. Namun apa yang terjadi, “Mohon maaf, Pak, kami
bukan minta uang, tapi kami butuh jalan yang baik dan pembangunan desa
agar diperhatikan!” Mendengar penjelasan seperti itu, aku langsung berpikir
bahwa pemuda-pemuda itu sebenarnya baik dan mungkin ada komunikasi yang
tersumbat atau pendekatan petugas Pemda yang kurang pas dengan masyarakat
setempat sehingga mereka terpaksa marah.

Dengan kondisi seperti itu, aku berpikir apa yang harus kulakukan agar
sekelompok pemuda tersebut tidak marah. Aku harus bisa menjelaskan
kepada mereka tentang apa-apa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam
memajukan masyarakat desa sebagaimana harapan mereka.

Dan saat itu aku teringat bahwa masih ada berkas dokumen di mobil yang
dipakai saat rapat di Pemda Kabupaten Muna pada beberapa hari sebelumnya,
yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50/PMK.07/2017 tentang
Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, juga Perdirjen Perbendaharaan
Nomor Per-4/PB/2017 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Dana Alokasi
Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa. Berkas tersebut langsung kuambil di mobil
sebagai bahan pendekatan yang cukup relavan dengan sekelompok pemuda yang
menghadang kami tersebut.

Pada saat itu, dengan permohonan maaf aku meminta waktu sedikit untuk
memperkenalkan diri dengan menunjukkan nametag bahwa aku pegawai
Perekat Indonesia 163

KPPN Raha yang sekaligus dipercaya sebagai Kepala KPPN Raha. Kujelaskan
salah satu tugas baru yang dilakukan KPPN Raha, yaitu melaksanakan
penyaluran pembayaran DAK Fisik dan Dana Desa. Aku juga menjelaskan
tata cara pengelolaan DAK Fisik dan Dana Desa, serta peranan pemuda dalam
pengelolaan DAK Fisik maupun Dana Desa. Sebagai bukti bahwa pembayaran
Dana DAK Fisik dan Dana Desa itu ada di KPPN, aku menyerahkan fotokopian
dokumen peraturan yang sudah ada di tanganku kepada pemuda tersebut.

Alhamdulillah, dengan kujelaskan pembayaran dan pengelolaan DAK Fisik


dan Dana Desa kepada para pemuda yang menghadang, respons yang kudapat
bukanlah perlakuan kasar, apalagi menyakiti, tetapi sebaliknya, kami di kawal
dengan sepeda motor mereka menuju pelabuhan yang berada di ujung Pulau
Muna. Setelah sampai di pelabuhan penyeberangan, tak lupa kami mengucapkan
terima kasih dan sampai jumpa di lain kesempatan. Kami pun menyeberang
ke kota Baubau dengan selamat. Di hotel, tak lupa kami sujud syukur kepada
Allah yang telah menyelamatkan jiwa kami dan mobil dinas KPPN Raha untuk
kemudian kami istirahat sebelum esok harinya mengikuti rapat di Pemda Kota
Baubau.

Dari pengalaman saat keberangkatan, untuk kepulangan kembali ke Raha,


terlebih dahulu kami mengganti plat merah menjadi plat hitam sementara waktu.
Hal ini kami lakukan guna menghindari kejadian yang sama, yaitu razia mobil
plat merah di jalan yang akan kami lewati menuju Raha. Dan akhirinya kami
sampai kembali ke Raha dan bisa bertugas untuk mengawal APBN kita dan
bertemu kembali dengan para pegawai KPPN yang ada.

Allah telah menyelamatkan kami dan aset negara melalui berkas yang masih ada
di mobil, yaitu PMK Nomor 50/PMK.07/2017 dan Perdirjen Perbendaharaan
Nomor Per-4/PB/2017.

Pembangunan desa dan daerah jelas menjadi prioritas utama pemerintahan.


Kue pembangunan yang awalnya hanya berkutat di kota-kota, akan lebih
tepat diratakan ke seluruh Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari fenomena
ketimpangan pendapatan antar daerah. Jadi, sangatlah tepat kebijakan
pemerintah dalam pelaksanaan DAK Fisik dan Dana Desa sehingga rakyat di
daerah terpencil ikut merasakan nikmatnya hasil pembangunan.

Dengan kejadian yang kami alami tersebut, kami belajar bahwa selama kita
164

senantiasa berbuat baik dan ramah kepada bumi dan isinya, insyaallah orang lain
akan menghargai kita dan tentunya Allah juga akan selalu melindungi diri kita.
Dan jangan takut untuk bertugas di daerah terpencil karena di sanalah integritas
pengabdian kita diuji.
Perekat Indonesia 165

Buku Saku Istimewa


Lenni Ika Wahyudiasti, Kanwil DJBC Sulawesi Bagian Utara

“Tapi Pak, saya ‘kan cuma bawa oven bekas yang saya pakai
waktu kuliah di Belanda kemarin. Oven itu mau saya hadiahkan
buat mama saya di sini. Mosok begitu aja mesti bayar bea masuk
dan pajak-pajak segini gedenya? Mahalan pajaknya daripada
harga ovennya nih! Bisa nggak, kami nggak usah bayar?”

“Ya, nggak bisa. Saudara wajib membayar bea yang tertera dalam
PIBK (Pemberitahuan Impor Barang Khusus) ini. Barang
impor Saudara tidak memenuhi syarat sebagai barang pindahan
yang berhak mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk.”

“Tapi saya nggak pernah dapat informasi soal kriteria barang


pindahan untuk mahasiswa yang pulang dari belajar di luar
negeri seperti ini, Pak. Apa Bea Cukai pernah menyebarluaskan
informasinya?!”

“Terhadap suatu peraturan yang sudah diundangkan, masyarakat


itu dianggap tahu dan wajib tahu, Mas!”

Uups, perdebatan di ruang konsultasi antara dua orang


tamuku–yang mengaku sebagai mahasiswa yang baru saja
menamatkan pendidikan S2-nya di sebuah perguruan tinggi
ternama di Belanda, dengan salah seorang Kepala Seksi
Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di kantorku siang itu
sepertinya bakal berlangsung “alot” dan tak berujung. Kulihat
sang kepala seksi mulai tak sabar dan tersulut emosi, sementara
166

kedua tamuku pun keukeuh tak bergeming dari keinginannya untuk “tak mau”
membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang impor yang
diakuinya sebagai barang pindahan yang dibawanya dari Belanda.

Kondisi memanas ini tak boleh kubiarkan. Aku harus melakukan sesuatu. Maka,
sebagai petugas Layanan Informasi, kucoba berbicara baik-baik dan menjadi
mediator di antara mereka.

“Begini, Mas Edo, apa yang disampaikan Kepala Seksi PKC bahwa Anda harus
membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang impor yang
Anda bawa memang benar. Prosedur ringkasnya bisa Anda baca di informasi
yang ada di website kami di www.beacukai.go.id,” jelasku sambil menyodorkan
print out dari laman yang kutunjukkan.

Kedua tamuku–Edo dan kakaknya, Beny, manggut-manggut. Agaknya mereka


mulai paham bahwa kewajiban membayar pungutan impor atas barang yang
mereka bawa dari luar negeri tak dapat dihindari lagi. Sejurus kemudian
kulanjutkan penjelasanku, “Terima kasih atas pengertian Anda dan sebagai
ungkapan terima kasih sekaligus permohonan maaf kami atas ketidaknyamanan
yang Anda rasakan, terimalah hadiah kecil ini.”

Kusodorkan sebuah buku mungil bertajuk “Mengenal Kepabeanan” kepadanya.

“Saya pribadi minta maaf bila informasi dari kami kurang memadai. Namun,
untuk selanjutnya Anda bisa membaca berbagai hal seputar masalah kepabeanan
di buku itu. Informasi yang ada di dalamnya bisa pula Anda infokan kepada
rekan-rekan sejawat Anda sehingga kesalahpahaman seperti ini tak terjadi lagi,”
lanjutku.

Lelaki berkacamata minus itu tersenyum. Dibacanya sekilas isi buku


kecil berukuran 10,5 cm x 15 cm itu. “Lumayan lengkap isi buku ini ya?”
Komentarnya. “Masalah impor barang pindahan juga ada.”

Kuanggukkan kepalaku dan membalas senyumnya. Kurasa kekecewaannya


lantaran harus membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor sedikit
terobati oleh small gift dariku ini. Tak lama kemudian mereka berpamitan dan
berjanji akan segera kembali untuk menuntaskan kewajiban kepabeanan yang
harus mereka penuhi.
Perekat Indonesia 167

“Untung Mbak Ika bisa membujuk dia supaya mau bayar. Saya udah capek tadi
meladeni kengototannya, Mbak,” cetus Kepala Seksi PKC lega.

“Berhadapan dengan pengguna jasa memang butuh kesabaran ekstra dan strategi
khusus, Pak. Pemberian hadiah kecil tadi salah satu kiat jitunya,” sahutku dengan
senyum lebar.

Tak dapat kupungkiri, kejadian kecil itu menjadi pelajaran besar buatku dan
rekan-rekan yang bertugas di Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi saat
itu. Sejak itulah, buku saku kepabeanan tersebut menjadi “senjata andalan”
kami untuk menjawab kegundahan para pengguna jasa yang datang ke kantor
kami. Buku kecil itu kami jadikan “hadiah istimewa pelipur lara” atau di lain
kesempatan, ia kami jadikan door prize cantik saat kami melakukan berbagai
aktivitas sosialisasi.

“Hmm, bukankah pada dasarnya setiap orang akan bersuka cita bila diberi
hadiah, sekecil apa pun wujudnya?”

Kujamin senyumku bakal selalu mengembang lebar bila mengenang kejadian


itu. Sekian tahun telah berlalu. Kembali kupandang dan kutimang-timang buku
saku bersampul kuning cerah yang ada di tanganku. Tak pernah kuduga bila
buku kecil berisi tanya-jawab seputar masalah kepabeanan ini akan menjadi
“dewa penyelamat” kami ketika menghadapi “kerewelan” masyarakat yang
berinteraksi dengan institusi kami. Pun tak kusangka bahwa buku yang kubuat
“setengah terpaksa” tersebut bakal menjadi instrumen jitu pereda kemarahan
dan kekecewaan pengguna jasa. Ternyata dampak keberadaannya tak semungil
wujudnya.

Hingga tanpa sadar anganku melayang ke hari-hari ketika kutengggelamkan diri


menyusun buku itu sekian bulan sebelumnya.

***

“Lagi ngapain, Mbak? Bertapa terus nih di ruangan?” Tanya kepala kantor.
Dihampirinya meja kerjaku yang penuh dengan beragam brosur dan aneka
peraturan kepabeanan.

“Ini, Pak, lagi nyiapin buku saku kepabeanan sebagai pelengkap isi goody bag
yang akan kita bagikan kepada para juri dan tamu di acara penilaian lomba
168

kantor percontohan nanti,” jawabku cepat


tanpa menghentikan kegiatanku mengetik
Inovasi itu
materi tanya-jawab yang terpampang di layar
komputerku.
tak selalu
harus berupa
“Memangnya kita harus punya buku ini?”
Tanyanya lagi. Terselip keraguan di balik sesuatu
pertanyaan Beliau.
yang ‘wah’
“Menurut saya begitu, Pak,” sahutku tanpa
mengalihkan pandangan dari layar komputer.
dan rumit.
Waktuku hanya tersisa beberapa hari lagi Menurutku,
untuk menyelesaikan seluruh materi buku
ini sebelum batas waktu naik cetak. Buku ini bikin hal
harus siap sebelum hari “H” Penilaian Kantor
Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian
sederhana
Keuangan yang tinggal hitungan pekan. Aku
tak boleh berleha-leha. “Ketika KPPBC Kediri
yang
ikut lomba kantor percontohan, mereka bikin memudahkan
Buku Saku Cukai, Pak. Karena kantor kita juga
memberikan pelayanan cukai, maka buku yang pekerjaan kita
sama pun saya siapkan berdasarkan materi
yang ada pada mereka dengan sedikit editing.
sehari-hari
Persoalannya, kantor kita ‘kan juga menangani di unit kerja
masalah kepabeanan, bahkan tipologinya pun
sebagai Kantor Madya Pabean. Masa kita kita masing-
hanya menyiapkan buku saku cukai? Kurang
pas dong, Pak,” lanjutku lagi.
masing juga
“Memangnya kantor lain nggak ada yang
bisa disebut
punya? Atau kantor pusat mungkin? Biar sebagai
kita nggak perlu repot-repot bikin sendiri,
Mbak. Ini waktunya ‘kan udah mepet banget,” inovasi lho, Ka!
komentar kepala kantor.

“Saya sudah coba konfirmasi ke kantor pusat


maupun ke KPPBC lainnya, Pak. Ternyata
belum ada satu pun yang punya,” jawabku. “So,
kita bikin sendiri aja deh!”
Perekat Indonesia 169

“Sanggup bikinnya, Mbak? Sendirian?” Sangsinya.

“Insyaallah bisa, Pak,” sahutku yakin. “Dibantu beberapa rekan kok. Ada Pak
Didik dan Mbak Icha yang siap membantu. Kami siap berbagi tugas dan saling
mendukung. Kebetulan sudah saya inventarisasi bahan-bahannya, sudah saya
susun pula daftar isinya sebagai kerangka acuan. Tinggal disusun dalam bentuk
tanya-jawab aja, Pak. Saya rasa, masyarakat akan lebih mudah memahami jika
informasi kepabeanan kita kemas dalam bentuk tanya-jawab seperti ini.”

Begitulah.

Niat awal membuat buku saku itu semata-mata hanya sebagai pelengkap isi
goody bag dalam Penilaian Kantor Pelayanan Percontohan yang diikuti kantor
kami beberapa tahun silam. Idenya pun meneladani KPPBC Kediri yang
terlebih dahulu punya buku saku cukai yang mereka buat saat menjadi peserta
lomba kantor pelayanan percontohan periode sebelumnya. Maka, dengan sedikit
pengetahuan literasi dan jurnalistik yang kumiliki, kucoba meramu sejumlah
peraturan dan brosur-brosur yang ada menjadi sebuah buku saku tanya-jawab
yang menarik agar siapa pun yang membacanya nanti bakal mengenal seluk-
beluk kepabeanan tanpa bersusah-payah membaca ketentuan hukumnya.

“Oke, silakan dilanjutkan inovasi dan kreativitasnya deh, Mbak! Saya dukung
sepenuhnya.”

Hei, apa Beliau bilang? Inovasi? Benarkah yang tengah kulakukan ini sebuah
inovasi? Padahal hanya sebuah buku saku kecil seputar masalah kepabeanan yang
hendak kubuat.

Mendadak kuingat seorang teman pernah berujar, “Inovasi itu tak selalu harus
berupa sesuatu yang ‘wah’ dan rumit. Menurutku, bikin hal sederhana yang
memudahkan pekerjaan kita sehari-hari di unit kerja kita masing-masing
juga bisa disebut sebagai inovasi lho, Ka!”

Hmm, kurasa ia benar.

Inovasi tak melulu identik dengan penciptaan sistem aplikasi rumit yang berbasis
teknologi. Inovasi tak pula harus berupa rancangan hebat yang dibuat dengan
dana besar dan pembahasan berbulan-bulan. Sebuah pembukuan sederhana
yang mempermudah pencarian berkas kerja pun bisa jadi merupakan inovasi!
170

Karena itulah, inovasi bisa dilakukan oleh siapa pun dan kapanpun di setiap lini,
tak melulu oleh mereka yang berada di unit teknis sebuah institusi. Bahkan, tak
jarang, inovasi muncul dari sebuah “keterpaksaan” kondisi seperti yang tengah
kualami!

Ah, aku tak peduli apakah hal kecil yang kulakukan ini terbilang inovasi atau
bukan. Pun tak hendak kutuntut penghargaan serupa namaku tertera sebagai
penyusunnya di sampul depan. Cukuplah bila suatu saat nanti kudapati kantor-
kantor lain melakukan hal yang sama–atau bahkan lebih baik, ataukah direktorat
yang berwenang mengambil alih pembuatan buku sederhana ini sebagai
salah satu instrumen sosialisasi kepabeanan untuk mencerahkan pemahaman
masyarakat akan tugas pokok dan fungsi DJBC. Cukuplah kuyakini, hal
sederhana ini ‘kan mendukung misi Kementerian Keuangan untuk mencapai
tingkat pendapatan negara yang tinggi melalui pelayanan prima serta pengawasan
dan penegakan hukum yang efektif guna mewujudkan visi kementerian yang
kita banggakan ini, “Menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang produktif, kompetitif, inklusif, dan berkeadilan di abad ke-21.”

Maka, adakah hal lain yang lebih membahagiakan selain ketika hasil kerja kita
bernilai dan bermanfaat untuk sebuah kebaikan kecil institusi tercinta sebagai
bagian dari kontribusi kita dalam mewujudkan Indonesia bersatu yang maju dan
bermartabat?
Perekat Indonesia 171

Sinergi Dengan Masyarakat


Setempat dalam Rangka Tour
Of Duty
Anandita Ramdhani Widigdya, Kanwil DJPb Provinsi Jambi

Seberapa dekatkah kita mengenal Ketua Rukun Tetangga (RT)


di rumah masing-masing? Pertanyaan ini kesannya sangat
sederhana tetapi mengandung arti penting mengenai hubungan
antara warga dengan pengurus RT di lingkungannya. Ketua
RT yang notabene didaulat sebagai pihak yang mewakili
masyarakat, memiliki peran strategis bagi pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat dalam berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, seperti keagamaan, kesejahteraan, sosial, politik,
budaya, dan keamanan.

Mungkin bagi pegawai yang bekerja di daerah homebase akan


kenal lebih dekat dengan ketua RT-nya. Bahkan bisa jadi
sebagian pegawai Kementerian Keuangan menjabat sebagai
ketua atau pengurus RT. Akan tetapi, bagaimana dengan
pegawai yang menjalankan tour of duty ke berbagai kota/
kabupaten di penjuru negeri? Kenalkah mereka dengan
warga lingkungan sekitar? Apakah mereka mengetahui
rumah pengurus RT? Atau apakah pegawai tersebut pernah
melaporkan diri bahwa yang bersangkutan merupakan warga
baru di lingkungan tersebut?

Deretan pertanyaan di atas sudah sepatutnya kita pertanyakan


sebagai warga negara yang baik. Namun demikian, kita
sebaiknya memiliki kewajiban dan budaya untuk berbuat
lebih baik dalam berkontribusi, bukan hanya untuk organisasi,
172

melainkan kepada lingkungan masyarakat tempat tinggal masing-masing.

Tour of Duty Insan Perbendaharaan

Direktorat Jenderal Perbendaharaan memiliki sekitar 7.600 pegawai dalam


melaksanakan tugas untuk mengawal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang mencapai lebih dari Rp2.461 triliun pada tahun 2019. Pegawai
tersebut ditugaskan pada kantor pusat dan instansi vertikal yang tersebar di setiap
provinsi dengan total sebanyak 34 Kantor Wilayah (Kanwil) dan 182 Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) di berbagai kabupaten/kota. Sering
kali dalam menjalankan penugasan tersebut, pegawai DJPb ditempatkan pada
kantor yang jauh dari homebase. Walaupun demikian, penempatan yang jauh dari
rumah tetap dipenuhi oleh segenap insan perbendaharaan yang menyadari arti
pentingnya peran mereka pada kantor yang menjadi tempat penugasan.

Sebagai strategi pengelolaan sumber daya manusia dengan lokasi kantor yang
tersebar di nusantara, kantor pusat DJPb memiliki kebijakan mutasi tiap
beberapa tahun atau yang sering dikenal dengan istilah tour of duty. Pola mutasi
tersebut mengakibatkan pegawai berpindah-pindah kantor dalam beberapa
tahun sesuai dengan berbagai faktor, seperti periode penempatan di suatu daerah,
mendapatkan beasiswa, memperoleh promosi atau menjelang masa purnatugas.
Konsekuensi tersebut mengakibatkan para pegawai yang berpindah ke lokasi
penugasan harus cepat beradaptasi pada pekerjaan dan kantor baru, serta
lingkungan tempat tinggal masing-masing

Situasi Lingkungan Perumahan di Jambi

Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: 39/


PB/UP.9/2018 tanggal 16 Agustus 2018 tentang Mutasi dan Pengangkatan
dalam Jabatan Pengawas di Lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
terdapat tujuh pegawai baru yang ditugaskan pada Kanwil DJPb Provinsi Jambi.
Pegawai tersebut berasal dari berbagai kabupaten/kota di pulau Sumatra, Jawa,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Selain berasal dari kantor vertikal di berbagai
daerah tersebut, para pegawai baru turut membawa budaya lokal dari tempat
pegawai tersebut berdomisili. Hal ini tentunya membawa warna tersendiri ketika
bersosialisasi di organisasi dan lingkungan tempat mereka tinggal.

Sebagian pegawai baru tersebut ditempatkan pada rumah dinas yang berjarak
Perekat Indonesia 173

sekitar satu kilometer dari Kanwil DJPb Provinsi Jambi. Kompleks rumah
dinas dimaksud terletak di Kelurahan Telanaipura yang merupakan lingkungan
perumahan yang relatif sepi, tidak jauh dari Kompleks Perkantoran Gubernur
Jambi, dan terletak dekat dengan dua jalan utama di Kota Jambi, yaitu
Jalan Mayjen H.M. Yusuf Singedekane dan Jalan R.E. Martadinata. Lokasi
perumahan yang cukup strategis, bukan hanya memudahkan akses bagi warga,
akan tetapi menyebabkan peluang terjadinya kejahatan dengan memanfaatkan
waktu ketika para warga meninggalkan rumah di siang hari untuk beraktivitas.
Tidak heran jika kerap didengar berita mengenai rumah warga dan rumah dinas
yang dibobol maling ketika para penghuninya sedang berada di luar rumah.

Sosok Ketua RT 03 Telanaipura

Guna menjaga keamanan lingkungan, hubungan yang baik perlu dibina dengan
warga sekitar rumah, termasuk ketua RT setempat. Oleh sebab itu, para pegawai
baru disarankan melaporkan diri kepada perangkat RT di tempat tinggal masing-
masing dan berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang melibatkan warga. Pada
kesempatan ini, para pegawai penghuni rumah dinas di Kelurahan Telanaipura
mengajukan lapor diri kepada Ketua RT 03 yang ternyata hanya berjarak dua
puluh meter dari kompleks rumah dinas.

Kondisi rumah Ketua RT tersebut terbilang cukup sederhana. Rumah bernuansa


hijau itu terdiri dari satu ruang depan, dua kamar tidur, dan hanya memiliki lantai
beralaskan semen. Sebuah TV tabung tampak menjadi hiburan satu-satunya
bagi seluruh anggota keluarga. Sepertinya, aktivitas anggota keluarga berpusat di
ruangan ini. Tampak tumpukan baju yang telah disetrika dan beberapa dokumen
serta kitab suci tersusun rapi di ruangan tersebut. Di depan rumah, terbentang
halaman yang cukup luas dengan runtuhan puing bangunan sebagai alas dan
beberapa pohon untuk peneduh perkarangan.

Sosok pemilik rumah tersebut ialah Bapak Haris Fadilla. Pria paruh baya
kelahiran 54 tahun silam dan merupakan putra daerah Jambi. Berbekal
pendidikan di Universitas Jambi, Pak Haris merantau ke Jakarta di tahun 1990-
an dan kembali ke Jambi tujuh tahun kemudian dengan membawa seorang istri
dan putra. Saat ditanyakan mengenai pekerjaan, Beliau menyatakan bahwa saat
ini menyibukan diri dengan mengabdi kepada masyarakat dengan menjadi Ketua
RT 03 yang menaungi tuju puluh kepala keluarga. Beliau juga aktif di masjid dan
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Kelurahan Telanaipura, seperti menjadi
panitia Pemilu.
174

Tentunya berbagai kegiatan dimaksud tidak memberikan penghasilan


yang sedemikian besar seperti pegawai Kementerian Keuangan. Alih-alih
memanfaatkan latar belakang pendidikannya untuk mendapatkan pekerjaan,
Bapak Haris tetap senang dalam berkontribusi kepada masyarakat secara penuh
waktu dan aktif di kegiatan keagamaan. Untuk menyiasati hal tersebut, Pak
Haris membagi dua rumahnya untuk dikontrakkan dan diisi dengan beberapa
pekerja bangunan dari luar Jambi. Pun putra satu-satunya turut membantu
ekonomi keluarga dengan menjadi tenaga honorer di suatu instansi pemerintah
kota dan bekerja ekstra menjadi pengemudi ojek daring di malam harinya.
Namun demikian, situasi ini tidak membuat Bapak Haris patah arang. Beliau
tetap bersemangat membantu warga memenuhi keperluan terkait administrasi
pemerintahan, serta berkoordinasi dengan perangkat pemerintahan lainnya untuk
menjaga keamanan lingkungan sekitar.

Peran Pegawai DJPb dalam Masyarakat

Berkaca dari sosok Ketua RT 03 dimaksud, tampak besar perjuangan hidup


dan pengabdian yang telah Beliau berikan kepada masyarakat untuk dapat
dijadikan inspirasi bagi segenap pegawai Kementerian Keuangan. Kita yang
telah memberikan kontribusi nyata bagi organisasi dalam pengambilan kebijakan
hingga sebagai penentu keputusan pada berbagai level sampai dengan lingkup
nasional, sudah sepatutnya turut berkontribusi pada masyarakat.

Dengan berbagai keahlian berupa hard competency di bidang keuangan negara,


kemampuan literasi, latar belakang pendidikan yang tinggi, dan juga soft
competency dalam hal kepemimpinan dan pengorganisasian, membuat kita
memiliki potensi yang besar untuk berbuat nyata di lingkungan tempat tinggal.
Ditambah lagi dengan jaringan hubungan kerja yang tersebar dari pemerintah
pusat dan daerah hingga institusi perbankan, menambah luasnya berbagai hal
yang dapat diberikan sebagai pengabdian kepada negara dalam bersosialisasi
dengan masyarakat sekitar.

Sebagai makhluk sosial, interaksi antara pegawai dengan masyarakat diperlukan


sebagai bentuk hubungan majemuk dan meningkatkan kondisi berbagai
faktor lingkungan, termasuk kesejahteraan dan keamanan warga. Saat ini yang
dibutuhkan ialah langkah nyata berupa implementasi keterlibatan para pegawai
di berbagai komunitas masyarakat.
Perekat Indonesia 175

Sebagai ilustrasi, untuk meningkatkan tingkat ekonomi warga, peran pegawai


DJPb yang memiliki informasi dan jaringan pada program kredit Ultra
Mikro (UMi) dapat menjadi langkah kontribusi nyata untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar. Selain dari pada itu, kebutuhan dasar warga
sekitar akan fasilitas umum dan sosial, seperti prasarana jalan, jembatan,
pendidikan, dan kesehatan merupakan salah satu sisi yang dapat dipenuhi melalui
jaringan pegawai DJPb pada pemerintah daerah. Kewenangan pengelolaan
keuangan dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa, membuat
pegawai DJPb memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, kita dapat menyampaikan kebutuhan warga sekitar terkait
infrastruktur yang dapat dipenuhi dari dana transfer dimaksud.

Beberapa contoh di atas merupakan wujud nyata kontribusi yang dapat kita
lakukan. Sebagaimana Bapak Haris selaku Ketua RT 03 Telanaipura yang
memiliki keterbatasan ekonomi, tetapi mampu mengabdikan diri ke masyarakat,
maka sudah sudah sepatutnya pula kita memberikan hal yang terbaik sesuai
dengan kapasitas kita kepada lingkungan warga sekitar.

Dengan berbagai keahlian


berupa hard competency di
bidang keuangan negara,
kemampuan literasi, latar
belakang pendidikan yang tinggi,
dan juga soft competency
dalam hal kepemimpinan dan
pengorganisasian, membuat kita
memiliki potensi yang besar untuk
berbuat nyata di lingkungan tempat
tinggal.
176

Jawaban Tuhan Itu Bernama


Kanwil DJPb
Avviz Elfarij, Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara

Suatu hari di bulan Januari 2018, kepala kanwil di tempatku


bertugas bertanya padaku, “Kamu pernah nanganin masalah
BLUD, dek?”

“Belum pernah, Pak Edo”, jawabku seraya menggelengkan


kepala.

“Mulai sekarang, kamu harus fight ya, target April 2018 harus
beres, nanti saya akan bimbing kamu”, lanjut beliau.

Dengan refleks aku pun menyambutnya dengan kata, “Siap,


Pak”. Entah kekuatan apa yang mendorong aku mengatakan itu
karena bahkan hati kecilku pun berbisik, “Kamu gak tahu apa-
apa tentang BLUD!”

Bagi beberapa kalangan, istilah Badan Layanan Umum


Daerah atau disingkat BLUD mungkin masih terdengar
asing. Berdasarkan pengertiannya, BLUD adalah sistem yang
diterapkan kantor/unit kerja pemerintah daerah dalam rangka
melayani masyarakat dengan fleksibilitas pengelolaan keuangan.
Fleksibilitas tersebut merupakan pengecualian dari pola
pengelolaan keuangan negara/daerah secara umum. Dengan itu,
unit kerja BLUD dapat melayani masyarakat melalui praktik
bisnis yang sehat tanpa terhambat aturan birokrasi seperti pada
umumnya. Di lingkungan pemerintah daerah, BLUD dapat
diterapkan pada unit/dinas yang menyelenggarakan layanan
Perekat Indonesia 177

umum, terutama di bidang kesehatan, unit/dinas yang mengelola dana khusus,


dan unit/dinas yang mengelola kawasan khusus.

Tulisan ini bukan untuk menceritakan apa itu BLUD, tetapi untuk mengisahkan
bagaimana aku bersama tim Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara (Malut),
berupaya untuk memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan BLUD di Malut.
Sesuai tugas dan fungsinya, Kanwil DJPb memiliki peran untuk memberikan
asistensi dan bimbingan kepada BLUD. Entah kebetulan atau mungkin jalan
yang Tuhan berikan, aku memiliki tugas untuk mengoordinasikan pelaksanaan
asistensi dan bimbingan kepada BLUD di wilayah Malut.

Sesuai arahan Kepala Kanwil, sekitar akhir tahun 2017, aku diminta untuk
menginventarisasi BLUD yang ada di Malut. Hasilnya, dari sebelas Pemda
di Malut, hanya terdapat satu BLUD, yakni RSUD Labuha di Kabupaten
Halmahera Selatan. Berbekal kondisi tersebut, Kanwil DJPb Provinsi Malut
berinisiatif menyelenggarakan rapat koordinasi BLUD di wilayah Malut. Seluruh
Rumah Sakit Pemda di wilayah Malut diundang dalam acara tersebut. Kenapa
rumah sakit yang diundang? Alasan kami mungkin sederhana, tetapi lagi-lagi
mungkin ini jalan Tuhan. Ya, kanwil mengundang rumah sakit karena mereka
adalah unit layanan yang sangat dekat dengan masyarakat. Dan tahu ‘kan, mereka
berjuang demi kesehatan manusia yang sering dikaitkan dengan hidup dan mati
seseorang.

Hari itu, Senin 15 Januari 2018 menjadi babak baru bagiku tentunya, berurusan
dengan hal yang bernama BLUD. Kanwil DJPb Malut mengundang rapat
seluruh Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah di
Malut. Hasil rapat memutuskan bahwa Kanwil DJPb Malut akan membantu
pembentukan BLUD rumah sakit di wilayah Malut. Sementara itu, aku
mendapat tugas untuk mengoordinasikan pembentukannya, serta dituntut untuk
dapat menelurkan tiga BLUD baru di Malut pada bulan April 2018. Dengan
kata lain, waktu yang saya miliki adalah tiga bulan!

Apakah tuntutan itu berat? Tentu saja, karena sebuah rumah sakit dapat
ditetapkan sebagai BLUD apabila telah memenuhi berbagai persyaratan. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Namun aku menganggap bahwa ini adalah sebuah tantangan dan aku bertekad
bahwa dalam prosesnya nanti harus bekerja dengan ikhlas. kepala kantorku,
Edward atau biasa dipanggil Pak Edo, adalah sosok yang sangat concern terhadap
178

sesuatu yang menurutnya bermanfaat, dalam hal ini tentu saja penerapan BLUD
di Rumah Sakit Daerah. Dia mememberikan challenge kepadaku untuk menapaki
suatu level baru dalam bekerja.

Hari-hari selanjutnya adalah saat aku harus berjibaku dengan peraturan-


peraturan tentang BLUD, berkomunikasi dengan pihak rumah sakit, dan tentu
saja yang tidak boleh dilupakan tugas-tugas rutin lainnya yang harus tetap
dikerjakan. Mendampingi tim rumah sakit menyusun dokumen persyaratan
administratif menjadi pekerjaan yang paling menguras waktu dan tenaga.
Bayangkan, pegawai rumah sakit yang mayoritas lulusan kesehatan masyarakat
harus menyusun rencana strategi bisnis dan laporan keuangan! Tentu tidak
mudah mendampingi mereka, rasa stres dan gampang marah pun acap kali
muncul ketika progress pekerjaan mereka tak sesuai dengan harapan. Apalagi saat
harus bekerja sampai tengah malam, kondisi badanku jadi lebih mudah menurun.
Namun, perlahan aku mulai memaklumi keadaan yang ada. Kutanamkan dalam
hati bahwa apa yang kulakukan bukan untuk tugas kantor semata, tapi ladang
ibadah untuk mengharap pahala dari Tuhan. Alhamdulillah, badan dan pikiranku
mulai beradaptasi dengan tekanan pekerjaan.

Suatu ketika, aku harus pergi ke RSUD Tobelo karena diminta Tim RSUD
untuk me-review seluruh dokumen persyaratan administratif. Sebenarnya bagiku
tidak masalah pergi ke Tobelo untuk me-review dokumen mereka, tetapi menjadi
berbeda ketika kegiatan itu harus kujalani ketika bulan Ramadan, saat aku
punya kewajiban untuk berpuasa. Perjalanan ke Tobelo harus ditempuh dengan
menyeberangi lautan dan melewati hutan-hutan dan jalan yang berkelok. Apakah
aku pernah mengeluh? Tentu saja pernah dan itu wajar. Tetapi aku kembali
mengingat apa yang sudah aku tekadkan, bekerja sekaligus ibadah sebagai ladang
untuk memperoleh pahala.

“Kamu gak apa-apa ke Tobelo puasa-puasa gini?” Tanya Pak Edo. “Gak apa-
apa, Pak. Justru kalau sambil puasa gini pahalanya dobel”, jawabku mantap.
Alhamdulillah sampai di Tobelo dengan selamat, segera kulaksanakan tugas.
Rasa lelah pudar ketika bertemu dengan wajah-wajah Tim RSUD yang
tampak banyak berharap kepadaku untuk membantu mereka. Dan syukurlah,
perjalanan ke Tobelo tak sia-sia. Setelah dilakukan beberapa perbaikan, dokumen
persyaratan administratif RSUD Tobelo untuk menerapkan BLUD sudah layak
untuk diuji oleh Tim Penilai.
Perekat Indonesia 179

Selepas magrib kami rehat sejenak sambil menikmati hidangan buka puasa.
Direktur RS Tobelo menyampaikan rasa terima kasih. “Terima kasih, mas,
selangkah lagi kami bisa menerapkan BLUD di rumah sakit ini, tinggal
menunggu penilaian dari Tim Penilai”, ujar direktur RS. “Ah, gak apa-apa, Pak,
sudah jadi tugas kami”, jawabku. Dan kemudian dia pun bercerita bahwa sudah
empat tahun terakhir dirinya dan tim berusaha untuk menerapkan pola BLUD
di RS Tobelo. “Tapi gak pernah berhasil, Pak, pelatihan-pelatihan yang diikuti
menjadi mubazir karena tidak ada yang memantau hingga akhir”, lanjutnya.

Selanjutnya, aku berusaha untuk tidak terbuai atas pujian-pujian yang


dilontarkan direktur RS. Kujawab bahwa itu semua bagian dari tugas dan
mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tak disangka, beberapa saat kemudian
aku sedikit tercekat dan kaget ketika dia mengatakan bahwa aku dan tim kanwil
adalah Jawaban Tuhan atas harapan-harapan dia selama ini. “Bagi saya, Kanwil
(DJPb) adalah jawaban Tuhan atas doa dan usaha yang telah kami lakukan untuk
menerapkan BLUD di RS Tobelo”, ujarnya.

“Ah, Bapak bisa saja, tapi makasih, Pak”, jawabku sedikit canggung.

Kini, lima rumah sakit Pemda di Maluku Utara telah menerapkan pola BLUD,
serta tiga Puskesmas dan dua rumah sakit lainnya sedang bersiap diri untuk
penetapan BLUD. Tugas yang kuemban belum usai. Seperti saat ini, telah lewat
waktu isya, aku masih berjibaku untuk membantu mengevaluasi kinerja RS.
Lelah? Pastinya, tetapi apabila mengingat kembali apa yang diucapkan direktur
RS Tobelo tempo hari, rasa lelah itu seakan mundur teratur. Malam ini, hati kecil
ini bertanya, “Adakah hal lain yang membuat kita bangga atas pekerjaan yang
telah kita lakukan selain ucapan Direktur RS Tobelo tempo hari?”

“Hmm, entahlah”, gumamku seraya merebahkan badan ke sandaran kursi. Dan,


tanpa sadar aku pun menggelengkan kepala.

Bagi saya, Kanwil (DJPb) adalah


jawaban Tuhan atas doa dan usaha
yang telah kami lakukan untuk
menerapkan BLUD di RS Tobelo.
180

Simponi: Bukan Sekadar


Create Billing Setoran PNBP
Muslikhudin, Direktorat PNBP - DJA

“Apakah bisa diubah tanggal pelaksanaan nikah dikarenakan


salah ketik?” Sebuah pertanyaan menggelitik di help desk Sistem
Informasi PNBP Online (SIMPONI) dari calon pengantin
yang telah ditentukan tanggal pernikahannya. SIMPONI adalah
Sistem yang memfasilitasi pembayaran/penyetoran PNBP dan
penerimaan negara lainnya secara online yang melayani 24 jam
sehari dan 7 hari full dalam seminggu.

Aku senyum-senyum sendiri ketika membuka help desk


SIMPONI pagi itu. “Hebat banget ya, SIMPONI”, pikirku
dalam hati. Kalau selama ini, di sebagian masyarakat,
menentukan tanggal pernikahan atau mencari tanggal baik
dengan referensi primbon/weton atau shio bagi masyarakat
Tionghoa, maka ada fenomena baru pikirku, “SIMPONI bisa
menentukan tanggal pernikahan seseorang!”

Masih sambil tersenyum, kujawab pertanyaan dari seorang


calon pengantin yang akan menikah tersebut bahwa dia tinggal
membuat billing PNBP kembali yang benar sesuai dengan
tanggal pernikahannya, tanpa harus mengubah hari pernikahan.
Billing yang salah akan terhapus secara otomatis jika tidak
terbayar setelah tanggal kedaluwarsanya billing.

Ada juga pertanyaan lainnya di help desk SIMPONI: “Kode


billing 820180706159151 atas nama Wasta/Suhermi Prihatini
Perekat Indonesia 181

di-cancel karena Beliau menikah di Kantor KUA”. Kalau hal ini adalah
pertanyaan bagaimana calon pengantin mendapatkan kembali biaya nikah yang
telah mereka bayar sebesar Rp600.000,00. Saat ini orang yang tidak mampu
(miskin) dan calon pengantin yang menikah di Kantor KUA tidak dipungut
biaya nikah. Dalam terminologi Undang-Undang PNBP yang baru (UU
9/2018) disebut tarif 0 (nol). Oleh karena itu, calon pengantin tersebut berhak
mendapatkan pengembalian uang sebesar Rp600.000,00 yang telah mereka bayar
dengan mengajukan ke KPPN terdekat.

Lain lagi cerita lagi dengan pertanyaan dari seorang Bendahara Desa: “Mohon
informasinya, saya mau bikin billing untuk pembayaran BPJS Perangkat Desa
di Kabupaten Bangka Tengah, akan tetapi untuk Sayan pembayarannya tidak
muncul. Mohon bantuannya dan terima kasih”. “Hmmm, ternyata ada ya
pembayarannya dari desa-desa di seluruh Indonesia?” Pertanyaan dalam hatiku
ketika membaca pertanyaan tersebut.

Aku langsung mempelajari tentang serba-serbi yang berkaitan dengan


pengelolaan Dana Desa dalam APBDes dengan membaca peraturan-peraturan
terkait dan bertanya kepada para ahli pengelolaan Dana Desa. Ternyata, mulai
tahun 2015, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Berdasarkan
Pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa, Bendahara Desa sebagai wajib pungut Pajak
Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan
potongan dan pajak yang dipungutnya ke Rekening Kas Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini yang menjadi rujukan
Bendahara Desa untuk menyetor Iuran Jaminan Kesehatan BPJS Perangkat
Desa dengan menggunakan SIMPONI. Jika merujuk ke Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 226/PMK.05/2016, Pembayaran Iuran BPJS dari potogan gaji
pemerintah desa tidak masuk sebagai Dana PFK (Perhitungan Fihak Ketiga).
Oleh karena itu, pembayaran Iuran BPJS-nya langsung ke BPJS, tidak melalui
SIMPONI.

Walaupun sudah sering dijelaskan dalam help desk SIMPONI, namun masih
saja pertanyaan yang sama dari para perangkat desa di seluruh Indonesia muncul
dan muncul lagi di papan help desk SIMPONI hingga saat ini. Setiap kali ada
pertanyaan yang sama, setiap kali pula senyum heranku selalu muncul sambil
menjawab pertanyaan dengan sabar.
182

Ada juga cerita menarik lagi dari pengelola keuangan dana dekonsentrasi
dari daerah di Sulawesi Tenggara, tepatnya Kabupaten Muna. Pada awalnya,
pengelola tersebut bertanya melalui help desk SIMPONI, “Apakah bisa bukti
setoran pengembalian belanja, kopnya (identitasnya) adalah Kabupaten Muna,
bukan kementerian/lembaga asal dari dana dekonsentrasi?”

Seperti pertanyaan lainnya, pertanyaan itu aku jawab bahwa dana yang dikelola
oleh pengelola tersebut berasal dari APBN, bukan APBD. Oleh karena itu,
sistem pengelolaannya mengikuti sistem APBN. Maka, kop (identitas) setoran
pengembalian belanja melalui SIMPONI adalah K/L dan unit Eselon I yang
mengalokasikan dana dekonsentrasinya ke satker di Kabupaten Muna.

Kukira pengelola keuangan tersebut sudah puas dengan jawabanku di help


desk SIMPONI. Tak disangka, seminggu kemudian penanya tersebut sudah
berada di Ditjen Anggaran (Direktorat PNBP), membawa misi dari pemimpin
mereka untuk mengubah kop (identitas), sama dengan pertanyaan di help desk
SIMPONI. Setelah kujelaskan panjang lebar dan lebih dari satu jam, barulah
pengelola keuangan tersebut mau menerimanya. Tak lupa, mereka meminta
nomor handphone-ku untuk berjaga-jaga jika pemimpin mereka meminta
penjelasan lebih lanjut.

Masih banyak cerita-cerita (pertanyaan) yang masuk ke help desk SIMPONI yang
menarik untuk diceritakan, tetapi dari beberapa cerita di atas yang kuperoleh
ketika melayani para pengguna SIMPONI, aku baru menyadari betapa beraneka
ragamnya masyarakat Indonesia, ada yang sudah sangat maju, ada pula yang
masih perlu secara pelan-pelan dibantu. Banyak orang-orang pintar dan sudah
berteknologi tinggi, tetapi ada juga masyarakat di ujung negeri yang sedang
berjuang meraih mimpi.

Adanya variasi dan keberagaman stakeholders yang kami layani melalui


SIMPONI membuatku lebih mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) serta aku dapat lebih menghayati arti dari Bhinneka Tunggal Ika,
walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu juga.
Perekat Indonesia 183

Satu Bumi Satu Saudara


Pratanto, Kanwil DJPb Provinsi Sumatra Selatan

Pagi itu kami–rombongan dari Kantor Pelayanan


Perbendaharaan Negara (KPPN) Banjarnegara, melaksanakan
kegiatan Perbendaharaan Peduli Lingkungan. Kami berangkat
di pagi yang cerah setelah sarapan bersama di kantor.

Melintasi jalan sepanjang Kota Banjarnegara-Dawuhan, kami


disuguhi pemandangan hijau yang menghampar di tebing dan
lembah. Tampak dari jauh Gunung Sindoro dan Sumbing
yang puncaknya ditutupi segumpal awan. Jalan berkelok-kelok
dengan pemandangan kebun salak di beberapa tempat.

Sesampai di Desa Dawuhan, kami disambut panitia acara yang


bertajuk “Satu Bumi Satu Saudara”, masyarakat desa yang
antusias, juga sekelompok siswa SD setempat yang memainkan
drumben. Di halaman balai desa, berjajar rapi tanaman kubis.

Ada banyak komunitas yang mengikuti kegiatan itu. Di


antaranya, komunitas umum (Gusdurian) dan komunitas agama,
baik Islam, Kristen, Katolik dan Hindu. Selain itu, ada beberapa
instansi seperti Kepolisian, Pemerintah Daerah, Perwakilan
KPPN, juga perusahaan Indonesia Power yang menyumbangkan
lima ribu bibit kopi gayo.

Daerah Dawuhan yang merupakan daerah berbukit-bukit


sangat rawan dengan bencana tanah longsor. Keinginan
penduduk untuk memperoleh keuntungan dari berkebun salak
184

menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Betapa tidak, akar-akar tanaman salak


bukanlah akar yang mampu menahan tanah dari derasnya air hujan.

Pengalaman pahit akan hal ini dituturkan oleh Kepala Desa Dawuhan tentang
bencana tanah longsor yang pernah terjadi di Desa Sijeruk tahun 2006 dan
bencana longsor lainnya yang terus-menerus menimpa daerah Dawuhan dan
sekitarnya.

Karena itulah, beberapa komunitas mencetuskan gagasan untuk membuat


gerakan menanam lima ribu pohon kopi di Desa Dawuhan. Bersatu padu,
menghilangkan segala perbedaan yang ada. Kita semua bersaudara, demi
kelestarian dan keselamatan lingkungan. Sebuah gagasan yang sebetulnya sarat
dengan makna dan multidimensi manfaat. Tanaman kopi yang ditanam mampu
menyatukan beragam simbol keagamaan dan budaya, menjaga kelestarian alam,
dan memunculkan harapan baru untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Berharap tanaman kopi itu akan tumbuh subur, melindungi tanahnya dari
gerusan air hujan dan dalam jangka panjang memberi manfaat ekonomis berupa
biji-biji kopi yang rasanya pahit, namun manis di dompet.

Didahului upacara seremonial yang dipimpin Kepala Desa Dawuhan, semua


anggota komunitas bergerak menuju bukit-bukit dan menanam bibit-bibit
kopi gayo di sana. Setelah penanaman bibit kopi, seluruh komunitas berjalan
menyusuri perkampungan menuju saung untuk melaksanakan sarasehan. Acara
dipandu oleh anggota komunitas Gusdurian yang membawakan acara dengan
santai namun tidak mengurangi substansi yang hendak dituju. Satu demi satu
perwakilan komunitas yang diawali dari perwakilan keagamaan menyampaikan
pendapat tentang kelestarian alam dari ajaran agamanya masing masing yang
dilanjutkan dari unsur pemerintahan, termasuk kami dari KPPN Banjarnegara.
Bahwa pemerintah sangat mendukung kegiatan riil seperti ini, mengingat
seringnya bencana tanah longsor menyebabkan alokasi pendanaan terserap
untuk kegiatan tanggap bencana, termasuk perbaikan kerusakan fasilitas umum.
Padahal dana yang ada semestinya bisa dipergunakan untuk prioritas kegiatan
pembangunan desa.

Tanpa terasa kegiatan berlangsung melewati tengah hari, kami yang beragama
Islam melaksanakan salat Zuhur berjamaah di lokasi kegiatan, sementara umat
agama lain menunggu dengan sabar sampai ibadah kami selesai. Sebuah wujud
toleransi yang hakiki.
Perekat Indonesia 185

Di ujung kegiatan, kami menandatangani deklarasi “Satu Bumi Satu Saudara”


di sebuah area wisata desa Dawuhan yang dibangun dengan dana desa. Bunga-
bunga ditata sedemikian rupa sehingga tampak asri dengan beberapa tempat
istirahat yang serupa saung. Tempat itu juga dikaruniai sungai yang mengalir
jernih dan deras dengan batu-batu besar tampak di pinggir dan tengah
sungai. Suasana asri lingkungan perdesaan mengingatkan bahwa bumi tempat
berpijak merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga kelestariannya untuk
kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
186

Balada Pegawai dan Nelayan


Pantai Fitu
Made Krisna Aryawan, Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara

Pada suatu pagi yang cukup cerah di Pantai Fitu, pantai nan
eksotis di pinggiran Kota Ternate. Gunung Maitara dan
Gunung Tidore di seberang pantai terlihat gagah menjulang
menantang langit. Matahari muncul dengan ramahnya dari
balik gunung, menyapa setiap butiran pasir pantai yang
berwarna hitam. Kilau sinarnya makin memukau kala terpantul
jernihnya air laut.

Perahu-perahu nelayan banyak tertambat di bibir pantai.


Dibiarkan terombang-ambing, disapu gelombang kecil yang
menepi bersusulan. Pagi itu perahu-perahu seakan saling
bercanda satu sama lain, setelah di malam sebelumnya, bekerja
menemani sang tuan mengarungi laut mencari ikan.

Tampak seorang pegawai dengan kemeja polos berwarna biru


muda sedang berjalan menyusuri pantai. Ada tanda pengenal
sebuah instansi yang kental dengan tema warna biru tersemat
di saku kemejanya. Tangannya menenteng selembar map biru
tua bergambar logo kementerian. Pelan ia berjalan, menghindari
sisa-sisa karang yang banyak terserak di pasir pantai.

Sekian lama melangkah, pegawai itu sejenak berhenti.


Ujung telunjuk tangan kirinya menata posisi kacamata yang
menggantung manis di wajahnya. Pegawai itu lantas merogoh
sesuatu dari balik saku celana. Tangannya berhasil meraih
Perekat Indonesia 187

selembar uang seribuan kertas edisi lama, edisi sebelum terbitnya uang seribuan
baru Tahun Emisi 2016.

Diamatinya dengan saksama gambar pemandangan yang tercetak pada uang


seribuan kertas itu. Kekaguman seketika menyelimuti sanubarinya. Ya, hamparan
pemandangan yang diabadikan dalam uang seribuan kertas itu, kini nyata hadir
di hadapannya. Sungguh indah.

Tak jauh dari posisi pegawai itu berhenti, terlihat dua nelayan sedang turun dari
perahu sambil mengangkat sekeranjang ikan hasil tangkapan semalam. Setelah
meletakkan keranjang ikan di tepi pantai, salah satu nelayan gesit mengambil tali,
lalu menambatkan perahu agar tidak dibawa arus.

Pegawai itu diam-diam mengamati kesibukan kedua nelayan. Setelah dilihatnya


kedua nelayan beristirahat, dengan langkah cepat, pegawai itu pun bergegas
menghampiri.

“Selamat pagi Bapa,” sapa pegawai itu dengan senyuman ramah. “Banyak tangkap
ikan tarada (tidak)?” Lanjutnya dengan sebisa mungkin mengikuti bahasa dan
logat bicara khas Ternate. Bagi pegawai pendatang seperti dia, bisa menguasai
bahasa dan logat bicara setempat merupakan cara tersendiri untuk menghormati
penduduk lokal.

“Pagi juga, Pa,” balas nelayan berbaju hitam tak kalah ramahnya. Selain religius,
penduduk lokal Ternate umumnya ramah dan terbuka terhadap pendatang.

“Sekarang lagi musim ikan, jadi lumayan, Pa, ikan ada banyak,” nelayan berbaju
biru menimpali.

“Wah, kalau musim ikan macam ini, tangkapan ikan jadi banyak ya, pasti kalau
dijual, penghasilan Bapa berdua lumayan banyak ya?” Selidik pegawai itu ingin
tahu.

“Alhamdulillah, Pa, cukup buat torang (kami) makan sehari-hari, bisa juga ada
tabungan sadikit-sadikit,” jawab nelayan berbaju biru.

“Ikan-ikan apa saja yang boleh batangkap (ditangkap), Pa?” Tanya pegawai itu.

“Torang batangkap ikan Tude (sejenis ikan kembung) saja, Pa,” jawab nelayan
berbaju biru.
188

Ngoni sebagai “Ikan Bobara (kakap) atau


Goropa (kerapu) tara bisa
kelompok nelayan tangkap kah?” Sambung
pegawai itu.
juga termasuk
“Torang tara bisa pigi (pergi)
UMKM, jadi berhak ka laut jauh-jauh, Pa. Dekat-

mengajukan KUR ke dekat saja. Torang pe (punya)


mesin tempel di perahu so
Bank Penyalur. Ngoni (sudah) sering rusak, jadi
tara berani pigi jauh-jauh ka
boleh ambil kredit tengah laut,” sahut nelayan

ke Bank Penyalur baju hitam dengan nada


sedikit rendah.
KUR dengan bunga “Wah, sayang sekali ya,”
rendah. Kenapa sambung pegawai itu
bersimpati. “Itu mesin masih
bunganya rendah? boleh diservis tarada? Atau

Karena pemerintah so harus ganti baru?” Kembali


pegawai itu lanjut bertanya.
pusat ada kasih “Masih boleh servis, Pa, tapi
subsidi bunga. kalau ada doi (uang/modal)
mending beli baru sudah,”
sahut nelayan berbaju hitam
sedikit memelas.

Mendengar jawaban tersebut,


pegawai itu sejenak terdiam.
Kembali ia menata posisi
kacamata di wajahnya.
Jawaban kedua nelayan
berusaha diresapi. Pegawai
itu lantas mengambil nafas
dalam-dalam, lalu perlahan
menghembuskannya.
Suasana hening beberapa saat
Perekat Indonesia 189

menyelimuti percakapan ketiganya. Tak ingin hilang momentum, pegawai itu


lantas menata senyuman dan melanjutkan percakapan.

“Bapa-bapa berdua, maaf sebelumnya, perkenalkan torang pegawai Kantor


Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Torang pe kantor ada di Jalan Jati
Lurus. Mungkin torang bisa kasih sadikit info untuk ngoni (anda) berdua,” kata
pegawai itu dengan mantap memecah keheningan.

“Info apa itu, Pa?” Tanya nelayan berbaju biru agak antusias.

“Jadi begini, Pa, torang dari Ditjen Perbendaharaan ada tugas pendampingan
penyaluran KUR dan UMi kepada pemerintah daerah dan UMKM,” jawab
pegawai itu.

“Maksudnya bagaimana, Pa? KUR dan UMi torang tara mengerti,” potong
nelayan berbaju hitam.

Sambil mengeluarkan selembar brosur dari map biru yang dipegangnya sejak tadi,
pegawai itu pun melanjutkan penjelasan. “KUR itu singkatan dari Kredit Usaha
Rakyat. Ngoni sebagai kelompok nelayan juga termasuk UMKM, jadi berhak
mengajukan KUR ke Bank Penyalur. Ngoni boleh ambil kredit ke Bank Penyalur
KUR dengan bunga rendah. Kenapa bunganya rendah? Karena pemerintah pusat
ada kasih subsidi bunga,” pegawai itu menjelaskan.

“Jadi dengan KUR, ngoni boleh pinjam sampai dua puluh lima juta rupiah untuk
jenis KUR Kecil atau pinjam sampai lima ratus juta rupiah untuk KUR Ritel.
Nah, misal perlu modal buat beli mesin perahu baru, ngoni boleh jo pakai doi dari
KUR,” tambah pegawai itu sambil menunjukkan brosur.

“Kalau UMi itu pembiayaan Ultra Mikro. Ini kredit baru pelengkap KUR,
khusus untuk pinjaman sampai dengan 10 juta rupiah. Ngoni boleh pinjam UMi
di lembaga-lembaga macam koperasi atau pegadaian. Untuk Ternate, torang so
kerja sama dengan pegadaian,” sambung pegawai itu lagi.

“Itu cara pinjam KUR dan UMi bagaimana, Pa?” tanya nelayan berbaju biru.

“Ditjen Perbendaharaan so kerja sama dengan Pemda, dengan Dinas Koperasi


dan UMKM. Ditjen Perbendaharaan ada bangun sistem, de pe nama Sistem
Informasi Kredit Program atau SIKP. Ngoni boleh jo datang ke dinas untuk
190

bantuan dan pendampingan proposal. Nanti petugas dinas ada catat ngoni pe
data-data, macam ngoni pe nama, alamat, nomor KTP, jenis usaha, lama atau umur
usaha. Ngoni pe data, nanti ada petugas dinas input di SIKP,” jawab pegawai itu
sedikit detail.

“Nah, kalau ngoni pe data so masuk di SIKP berarti ngoni so jadi calon debitur
KUR,” pungkas pegawai itu.

“Oo, kalau torang pe data-data so masuk SIKP, torang boleh pinjam KUR, boleh
modal buat beli mesin perahu baru, begitu, Pa?” Kembali tanya nelayan berbaju
biru.

“Itu sudah, Pa!” Jawab pegawai itu meyakinkan kedua nelayan.

“Wah, basyukur (bersyukur) Bapa dari Perbendaharaan ada kasih info. Nanti torang
coba tanya-tanya lagi ke dinas atau ke Bapa pe kantor,” kata nelayan berbaju hitam
penuh semangat.

“Dengan senang hati, Bapa, silakan datang ke torang pe kantor. Kalau begitu torang
permisi dulu ya Bapa, semoga Bapa berdua bisa cepat beli mesin perahu baru,”
tutup pegawai itu sambil bersalaman dengan kedua nelayan.

Setelah berpamitan, pegawai itu kembali melanjutkan langkahnya. Pijakan tapak


sepatunya kembali meninggalkan jejak-jejak pada pasir hitam yang mulai hangat
menyerap sinar mentari. Ada bahagia bercampur rasa bangga dalam dirinya dapat
berbagi dengan masyarakat.

Perjalanan pegawai itu masih panjang, entah ke mana ia akan melangkah


berikutnya. Namun, selagi masih bisa menatap gagahnya Gunung Maitara dan
Gunung Tidore, ia akan terus mempersembahkan karya terbaik sebagai wujud
pengabdian insan Perbendaharaan, Kementerian Keuangan.
Perekat Indonesia 191

Perjalanan yang Lebih


Berarti
Cahyo Windu Wibowo, Kanwil DJKN Jawa Tengah dan DIY

Secara geografis, wilayah Kalimantan Tengah banyak dialiri


sungai. Bila dilihat dari batas wilayah kabupaten, area wilayah
kabupaten kebanyakan mengikuti alur sungai. Pusat kegiatan
masyarakat dan perdagangan lebih banyak berada di sekitar
sungai. Dalam perkembangannya, infrastruktur jalan darat yang
mulai dibangun, menjadikan tranportasi darat menjadi alternatif
pilihan lain. Perjalanan melalui darat lebih efisien waktu
tempuhnya, meskipun di beberapa titik jalan kondisinya masih
berupa jalan tanah dan bila musim hujan berubah menjadi
berlumpur dan kadang menjadi kubangan air.

Beberapa kali dalam perjalananku bertugas ke daerah, terjebak


di jalan yang berlumpur, tetapi itu bukan menjadi kendala dalam
bertugas. Budaya yang ada di sana adalah saling menolong.
Ketika ada mobil hendak melintas di daerah yang jalannya tidak
baik, maka ia akan menunggu kendaraan lain di belakangnya,
selanjutnya kendaraan melintas bergantian dan bila salah satu
mengalami selip/terjebak dalam lumpur, maka kendaraan lain
akan menolong menariknya. Para penumpangnya pun tidak
segan-segan untuk membantu mengarahkan mobil atau bahkan
membantu mendorong mobil. Biasanya kendaraan yang lebih
kuat atau jenis double gardan yang lebih dulu melintas, diikuti
di belakangnya kendaraan lainnya. Makanya dalam setiap kali
bertugas, aku selalu menyiapkan pakaian ganti yang cukup dan
tali pengikat mobil tentunya. Dengan budaya saling menolong
192

itu, medan yang berat menjadi terasa ringan.


Nah, sopir
Untuk antisipasi, sehari sebelum berangkat
tugas biasanya salah seorang rekan anggota
truk pasir
tim menelepon teman-teman dari satuan saja bisa
kerja yang tinggal di daerah tujuan untuk
menanyakan cuaca dan kondisi jalan menuju ke berbuat baik
sana sehingga kami dapat mempersiapkan diri
apakah menggunakan mobil dinas, menyewa
seperti itu,
kendaraan double gardan, atau menggunakan
mobil travel, untuk menyesuaikan kondisi
maka aku
medan. Apabila mendapat tugas ke daerah pun juga
yang infrastruktur jalannya lebih baik, maka
kami lebih memilih menggunakan mobil harus bisa
travel. to?
Perjalanan menggunakan mobil travel ternyata
juga memberikan kesan tersendiri, di setiap
perjalanan yang kualami, para penumpang di
Kalimantan Tengah umumnya ramah-ramah.
Sepanjang perjalanan, para penumpang guyub
mengobrol apa saja. Aku biasanya bertanya
seputar apa-apa yang khas di daerah yang
dilalui, misalnya makanan/obat tradisional
atau kerajinan setempat. Kadang juga
satu kendaraan berisi para perantau yang
ingin pulang kampung, maka obrolannya
menyesuaikan menjadi seputar daerah tujuan
mudik, hingga pengalaman kerja.

Pernah juga dalam perjalanan setelah cerita


panjang lebar, seorang penumpang ibu-ibu
tidak percaya kalau aku bekerja di Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara Kementerian
Keuangan karena mungkin melihat tampangku
yang kurus. “Orang Kementerian Keuangan
‘kan biasanya gemuk dan makmur, tapi kok
masnya kurus, memang kerjanya di bagian
Perekat Indonesia 193

apa?” Katanya. “Mengurusi jaringan dan komputer, Bu, saya orangnya konsisten,
Bu, dari dulu ya segini terus”, jawabku biar mudah.

Bila teman seperjalanan bertanya seputar pekerjaan, maka aku sekalian


mengenalkan tugas dan fungsi organisasi, ceritanya biasanya jadi menarik kalau
seputar lelang. Penumpang lainnya pun antusias memperhatikan. Pernah juga
penumpang bertanya seputar permasalahan-permasalahan BMN, aku berusaha
menjawab sesuai yang kuketahui. Apabila tidak bisa menjawab, biasanya aku
minta nomor telepon atau email untuk bisa berdiskusi lebih lanjut. Lebih kurang
4,5 jam pun berlalu, perjalanan dari Palangkaraya menuju Banjarbaru tidak terasa
lama, ditambah dapat cerita hal-hal baru dan teman/kenalan baru.

Adanya pertanyaan-pertanyaan di luar tugas dan fungsiku, menjadikan aku


belajar kembali mengenal tugas dan fungsi tersebut dan diskusi dengan seksi
terkait. Ini menjadikan tambahan pengetahuan juga tentunya. Tambahan
pengetahuan yang demikian ini entah mengapa tidak gampang lupa, di otak
nyantel terus, apalagi teman perjalanannya juga berkesan.

***

Saat ini aku bertugas di Semarang, perjalanan tugas yang kualami saat ini beda
dengan yang dulu. Di sini para penumpang travel/angkutan umum lebih banyak
diam dan sebagian tertidur, sarana transportasi yang digunakan juga lebih banyak
macam dan pilihannya. Untuk efisiensi waktu, aku lebih memilih menggunakan
kendaraan sendiri dalam pelaksanaan tugas, sehingga aku kurang mendapat nilai
tambah dalam setiap perjalanan melaksanakan tugas.

Setiap Jumat malam dalam perjalanan pulang ke rumah, di depan Terminal


Bawen, Kabupaten Semarang, awalnya aku sering mengamati ibu-ibu pekerja
pabrik yang menunggu bis jurusan Magelang. Kadang mereka menumpang truk
kosong yang telah selesai mengangkut pasir.

Suatu saat di tempat itu aku sengaja mengendarai mobil dengan pelan dan agak
menepi. Seorang pekerja pabrik melambaikan tangannya ingin ikut menumpang.
Salah seorang itu mendekat, “Pak, ke Magelang ya? Bisa numpang ikut?”.
“Oh, ini ke Temanggung, Mbak, tapi kalau sampai Secang saja bisa, silakan”.
“Nggih, Pak, nderek mawon (ikut saja)”, sambil membuka pintu naik mobil,
diikuti serombongan orang di belakangnya yang juga ikut naik. Sesuai kapasitas
194

mobilku, hanya delapan orang saja yang dapat kuangkut. “Wah, jadi penuh nih”,
dalam hatiku.

Ternyata untuk perjalanan pulang kerja, mereka lebih sering menumpang


(ikut angkutan bukan umum) kendaraan pribadi atau truk pasir kosong karena
angkutan menuju Magelang sudah jarang ada bila selepas pukul 19.00. Salah
satu keuntungan bagi mereka bila menumpang truk pasir adalah tidak dimintai
ongkos sehingga bisa menghemat pengeluaran. Nah, sopir truk pasir saja bisa
berbuat baik seperti itu, maka aku pun juga harus bisa to? Malahan kadang ketika
menurunkan penumpang, aku dapat bonus, “Matur nuwun, Pak, mugi rejekinipun
diparingi lancar nggih (semoga rezekinya lancar ya)”. “Alhamdulillah didoakan
baik”, dalam hatiku, “Sami-sami, Mbak”, balasku.

Aku senang karena sepanjang perjalanan jadi dapat cerita-cerita baru. Mereka
bercerita seputar pekerjaan di pabrik konveksi, susahnya mencari kerja, hingga
keseharian perjalanan menuju tempat kerja. Aku pun tidak ketinggalan ikut
cerita mengenalkan PKN STAN yang mungkin putra-putrinya/saudara yang
lulus SMA bisa mendaftar dan nantinya setelah lulus langsung bisa bekerja.

Minggu-minggu berikutnya aku melakukan hal yang sama dan para penumpang
pun sudah mengenali kendaraanku. Sampai sekarang, ini menjadi rutinitas
mingguan dan semakin banyak hal-hal baru yang kudapatkan. Ternyata
membantu orang lain itu bisa dengan tanpa biaya dan mudah dilakukan.
Perekat Indonesia 195
196

“Kalau bukan anak bangsa


ini yang membangun
bangsanya, siapa
lagi? Jangan Saudara
mengharapkan orang lain
yang datang membangun
bangsa kita.”

Bacharuddin Jusuf Habibie


Perekat Indonesia 197

S A
ANG
G UN B
BAN
EM
M
A
M
A
RS
BE
198

Infrastruktur Sumatra
Utara dan Kesatuan Bangsa
Indonesia
Leonardo Simbolon, KPPBC TMP B Kualanamu - DJBC

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas lebih


dari 17.000 pulau. Jumlah pulau yang tidak sedikit itu tentu
mengakibatkan sulitnya pemerataan pembangunan infrastruktur
bagi seluruh daerah. Banyak orang berpendapat bahwa
pemerintah selama ini hanya fokus pada Indonesia bagian
barat dan mengabaikan Indonesia bagian tengah dan timur,
meskipun secara pribadi aku sendiri tetap tidak bisa setuju
karena di daerahku sendiri–Sumatra Utara, jika dibandingkan
dengan provinsi-provinsi maju di Pulau Jawa atau Pulau Jawa
pada umumnya sekalipun, kurasa bahwa Sumatra Utara sangat
tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur.

Saat ini aku masih belum bisa berkomentar banyak terkait


pembangunan infrastruktur karena aku masih belum memiliki
kapasitas di bidang ini, baik itu di bidang birokrasi, ekonomi,
maupun di bidang teknis. Namun sebagai masyarakat sipil
tentu selama bertahun-tahun ada rasa cemburu atas daerah
lain yang mendapat perhatian lebih. Apakah yang kurang dari
daerahku? Apakah daerahku tidak layak untuk dibangun? Siapa
dalang di balik ini semua? Spekulasi-spekulasi buruk terus
berputar di tengah masyarakat, khususnya dengan banyaknya
pemberitaan nasional yang semakin membenarkan bahwa
banyak pihak yang menyebabkan pembangunan itu bermasalah.
Mulai dari masyarakat lokal yang kerap menghalangi upaya
pembangunan padahal telah dilakukan mediasi, bandit- bandit
Perekat Indonesia 199

yang mengganggu ketertiban dan keamanan pembangunan, hingga yang paling


klise yaitu dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan, justru hilang
di tangan para pejabat dan petinggi daerah.

Rasanya sampai beberapa tahun yang lalu kota tempat tinggalku, yaitu Kota
Medan adalah kota yang rawan banjir karena drainase yang buruk. Rasanya
sampai beberapa tahun yang lalu aku sangat malas untuk pulang ke kampung
halamanku di kawasan Tarutung karena akses jalan yang buruk. Rasanya sampai
beberapa tahun yang lalu Sumatra Utara hanya memiliki sedikit bandara maupun
pelabuhan yang mampu menampung aktivitas masyarakat. Rasanya sampai
beberapa tahun yang lalu aku masih belum menemukan infrastruktur yang dapat
dibanggakan dari Sumatra Utara.

Dulu Sumatra Utara memang seperti itu...

Tapi, kini tidak lagi.

Kini aku sudah bisa bangga dengan daerahku dan infrastruktur di sana. Kini
aku bisa menikmati fasilitas yang sebelumnya hanya bisa kunikmati di Pulau
Jawa. Kini aku merasakan infrastruktur yang pantas dan layak bagi kemajuan
ekonomi di daerahku. Selain mendapatkan fasilitas, kekhawatiranku terhadap
kemungkinan Kota Medan akan banjir parah seperti pada tahun 2010 juga telah
berkurang, meskipun kemungkinan masih selalu ada. Kekhawatiranku berkurang
karena drainase di Kota Medan saat ini sudah diperbarui sehingga mampu
mengendalikan debit air meskipun pada saat musim hujan. Aku tidak perlu lagi
merasa malas untuk pulang ke kampung halaman karena kini di Sumatra Utara,
baik di jalan arteri dalam kota, di jalan lintas yang menghubungkan antardaerah,
maupun di jalan tol, semua sudah tersedia dan berfungsi dengan sangat baik. Jika
dulu aku harus menempuh jalan hingga sembilan jam untuk tiba di kampung
halamanku di Tarutung, kini aku hanya membutuhkan waktu tujuh jam.

Untuk mendukung ekonomi dan mobilitas masyarakat, kini Sumatra Utara sudah
memiliki pelabuhan di Belawan, Pelabuhan Kuala Tanjung (Kawasan Pantai
Timur Sumatra Utara), dan bahkan sebuah pelabuhan baru di Sibolga (Kawasan
Pantai Barat Sumatra Utara) yang juga dilalui oleh lintasan jalan Tol Sibolga
yang baru saja rampung. Pelabuhan-pelabuhan ini membantu sektor pengiriman
dan transportasi via laut bagi masyarakat Sumatra Utara dengan kualitas yang
bisa disandingkan dengan pelabuhan besar lainnya, bahkan dengan pelabuhan
200

sekelas Singapore Cruise Centre milik Singapura. Meskipun hingga saat ini aku
belum menikmati manfaatnya secara pribadi selain untuk perjalanan laut, namun
pembangunan infrastruktur ini membawa harapan ekonomi jangka panjang
bahwa Sumatra Utara akan dapat menjadi gerbang ekonomi Internasional,
seperti layaknya Batam. Sehingga tidak tertutup kemungkinan Sumatra Utara
berpeluang menjadi benteng ekonomi.

Dan bahkan untuk sektor ekonomi dan pariwisata daerah, Danau Toba tidak
lepas dari pembangunan. Terbukti dari pembangunan dermaga, bahkan
pembaruan Bandara Sisingamangaraja XII menjadi bandara Internasional
yang berjarak hanya 20 km dari Danau Toba. Dengan kehadiran Bandara
Sisingamangaraja XII, maka masyarakat yang hendak berlibur di kawasan Danau
Toba bisa menggunakan pesawat dari Bandara Internasional Kualanamu dan
mendarat pada Bandara Internasional Sisingamangaraja XII yang kini juga telah
menerima penerbangan internasional.

Ada hal yang aku perhatikan, yaitu pada setiap proyek/kegiatan pembangunan
yang dilakukan di suatu daerah, khususnya di daerah yang rawan penolakan
(zona merah), masyarakat di sekitar selalu diberikan kesempatan untuk turut
berkontribusi dalam pembangunan. Kontribusi masyarakat bisa dilihat dari
perusahaan-perusahaan yang merekrut penduduk lokal sebagai pekerja sehingga
selain menciptakan kondisi yang kondusif selama pembangunan (karena
masyarakat turut menjaga), kondisi itu juga membuat ekonomi masyarakat
sekitar berkembang, bahkan sejak infrastruktur tersebut belum berdiri. Hal ini
tentu berbeda bila dibandingkan dengan pembangunan pada zaman dahulu
yang cenderung bersifat tangan besi sehingga menimbulkan kontra karena tidak
adanya pendekatan masyarakat dan cenderung tertutup terhadap kontribusi bagi
masyarakat lokal.

Memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk turut berkontribusi dalam


pembangunan tentunya akan memberikan efek psikologis bagi masyarakat
untuk lebih menjaga dan menghargai fasilitas yang dibangun bersama. Kondisi
yang bersahabat inilah yang perlu dibina demi mencegah agar tidak terjadi
tindakan perusakan fasilitas dan memudahkan jalinan kerja sama sehingga bila
di kemudian hari pemerintah hendak melakukan pembangunan berkelanjutan di
daerah tersebut, masyarakat tentu akan bersedia.

Aku yakin bahwa sesungguhnya pemerintah sadar akan dua hal, yaitu
Perekat Indonesia 201

pembangunan infrastruktur yang merata itu tidak hanya sekadar


menyambungkan ujung Timur ke ujung Barat Indonesia secara teknis dan
ekonomis, tetapi juga menciptakan persatuan dan kesatuan masyarakat sebagai
sebuah Bangsa Indonesia yang utuh. Komponen vital tersebut dibutuhkan untuk
membawa Indonesia menjadi negara maju. Pemerintah tidak akan mampu untuk
menghimpun seluruh masyarakat agar sejalan jika hanya menggunakan lisan,
maka pembangunan infrastruktur adalah langkah pasti untuk menyentuh hati
masyarakat.

Banyaknya pembangunan infrastrukur yang dapat aku dan masyarakat Sumatra


Utara nikmati tentulah bukan tanpa sebab. Pembangunan itu datang dari
kebijakan Kementerian Keuangan yang mengalokasikan anggaran untuk
membangun infrastruktur di Sumatra Utara yang dikelola dan dimanfaatkan
dengan seefisien dan sebaik mungkin sehingga dapat memberikan manfaat yang
sebaik-baiknya pula.

Tentunya upaya Kementerian Keuangan ini dilakukan demi mempererat ikatan


antardaerah di Indonesia sehingga dengan upaya penggelontoran dana ini
Kementerian Keuangan bukan hanya berhasil menyambungkan Sumatra Utara
dengan Indonesia dan dunia secara teknis, tetapi juga berhasil menyatukan
Sumatra Utara dengan Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
202

Extra Miles Untuk Indonesia

M. Rizky Rahardika Hartono, Sekretariat DJPPR

Ini bukan cerita tentangku.

Ketika beberapa orang ditunjukkan ke dua buah benda: sebuah


kertas putih dan sebuah kertas putih dengan sebuah titik hitam
di tengahnya. Apa yang kira-kira mereka pikirkan?

“Kertas putih dan titik hitam.”

“Kertas kosong dan gambar sebuah titik.”

“Kertas baru dan… sebuah noda?”

Mungkin kita harus bertanya ke lebih banyak orang lagi agar


mendapatkan jawaban dengan makna yang berbeda. Apa artinya
ini semua?

Kira-kira begitulah cara kerja pemikiran manusia pada


umumnya. Seseorang tanpa ragu mengatakan sebuah kertas
putih bersih sebagai “kertas putih” atau “kertas kosong”. Namun
ketika ada setitik noda di tengahnya, “kertas putih” tadi sudah
dianggap tidak lagi putih. Satu titik hitam telah mengubah
keseluruhan makna. Seperti sebuah keburukan kecil yang
menutupi begitu banyak kebaikan. Fokus pada kesalahan dan
keburukan. Seperti itulah bagaimana kebanyakan orang melihat
Utang Pemerintah Indonesia.
Perekat Indonesia 203

Kami sadar bahwa keresahan


tersebut akan semakin nyata
Satu titik hitam
kala menginjak tahun politik. telah mengubah
keseluruhan makna.
Isu utang akan datang
gelombang demi gelombang.
Hal tersebut mendorong
aku dan banyak rekan-
Seperti sebuah
rekan hebatku di DJPPR keburukan kecil
untuk memberikan edukasi
kepada masyarakat tentang yang menutupi
manfaat utang, bagaimana
Indonesia mengelola utang,
begitu banyak
dan bagaimana utang menjadi
langkah terbaik yang harus
kebaikan. Fokus
diambil demi kebaikan dan pada kesalahan dan
kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia. Rakyat Indonesia keburukan. Seperti
harus sudah siap sebelum
gelombang tersebut datang.
itulah bagaimana
Kami mengawalinya dari
kebanyakan
cara-cara konvensional orang melihat
seperti kunjungan langsung
dan sosialisasi di seluruh Utang Pemerintah
Indonesia. Dari Aceh
hingga Papua. Kami
Indonesia.
mengunjungi tempat-
tempat diskusi masyarakat,
kantor-kantor vertikal di
daerah, ke pelosok yang
sukar dijangkau sekalipun,
hingga bersilaturahmi dengan
ulama-ulama besar. Membawa
pesan bahwa utang Indonesia
akan selalu dikelola dan
dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya.
204

Apakah selalu disambut baik? Tentu saja tidak. Bukan berarti tidak ramah.
Tentunya Indonesia prominen dengan keramahannya. Hanya saja ketika kami
mulai membahas utang, banyak pemikiran dan sudut pandang bermunculan.
Dari yang disampaikan dengan baik hingga yang sedikit membikin nyeri. Namun
justru karena itulah kami merasa apa yang kami lakukan memang perlu. Rakyat
Indonesia harus memiliki pemahaman yang lebih luas dan tidak mudah percaya
hoaks. Tidak semua orang memahami manfaatnya meskipun telah merasakannya
dalam keseharian. Jalan dan jembatan yang dilewati setiap hari, hingga sumber
air dan pengendali ombak di pantai hanyalah sedikit bagian dari betapa nyatanya
manfaat utang itu.

Seiring waktu, kami tahu cara-cara lama tidak cukup. Dewasa ini menyatukan
dan memecah belah kelompok–kelompok manusia bisa dilakukan dari ujung
jari. Kemudahan penyebaran informasi menjadi pedang bermata ganda bagi
pengguna yang kurang bijak. Di situlah kami tahu, ini adalah medan perang yang
juga harus kami masuki. Dunia digital adalah dunia yang rumit. Dunia yang
cepat. Dunia yang terus berkembang. Kita harus bekerja lebih cerdas, lebih cepat,
dan tidak kalah berkembang. Seluruh potensi yang dimiliki oleh DJPPR harus
dapat dikerahkan untuk mengedukasi masyarakat dalam pengelolaan utang dan
pembiayaan, dan yang terpenting: sinergi.

Lahirlah tim luar biasa dari DJPPR. Lupakan istilah milenial, generasi X, Y, Z,
dan seterusnya. Kita membutuhkan semuanya. Wisdom dan pengalaman dari
generasi yang lebih dulu mengabdi, dilengkapi dengan ide-ide dan kreasi brilian
dari abdi-abdi muda DJPPR. Kombinasi ini menghasilkan konten-konten yang
tidak hanya sekadar berdasarkan data, tetapi juga menyenangkan bagi warganet
Indonesia. Apakah kemudian semudah itu? Tentu tidak. Tidak sama sekali!

Memasuki dunia digital mengharuskan kami untuk selalu siap siaga. Kami
harus tahu siapa yang menjadi target edukasi kami. Jika ini sebuah medan
perang, berarti memahami siapa musuh sama dengan memenangkan setengah
pertempuran. Masuk di dunia digital berarti kita harus siap untuk melawan
kapan pun sebuah isu muncul. Kami bertanya dan belajar dari banyak ahli di
bidang digital. Kami mengikuti pelatihan dalam bermedia sosial. Bahkan untuk
sekadar tahu kapan kita harus melawan balik, kami harus menempuh pelatihan
yang cukup panjang. Semuanya hanya demi Indonesia yang lebih berkembang.
Indonesia yang suatu saat akan benar-benar membuktikan potensi ekonominya
sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Indonesia yang melek akan perubahan-
Perekat Indonesia 205

perubahan baik. Indonesia yang tidak harus memasang tameng terhadap


rakyatnya sendiri.

Di sisi lain, eksplorasi digital yang kami lakukan juga menghemat anggaran
negara yang cukup besar. Sosialisasi secara konvensional mungkin terasa lebih
nyata, namun hanya menjangkau segelintir orang dengan biaya yang tidak sedikit.
Melalui media digital, ketika kita memahami cara kerjanya, kita bisa menjangkau
ratusan ribu bahkan jutaan orang dalam satu kali klik.

Sekali lagi, ini bukan cerita tentangku.

Ini adalah cerita tentang tim tanpa nama dari DJPPR yang luar biasa hebat.
Sebutlah kami Tim Strategi Komunikasi. Katakanlah kami Tim Media Sosial.
Katakanlah kami Tim Counter Issue Utang Pemerintah. Bahkan sebut kami
Content Creator saja tidak masalah. Karena semua itu adalah bagian dari kami.
Semuanya adalah bagian yang sama pentingnya dalam peran DJPPR bagi
Indonesia.

Bagiku, rekan-rekan dan anak-anak muda ini adalah pahlawan yang nyata
di era digital seperti ini. Mereka yang menghabiskan akhir pekannya untuk
mencerdaskan Indonesia secara nasional daripada sekadar menikmati secangkir
Starbucks. Mereka yang sepulang kerja memikirkan cara-cara baru untuk
menyampaikan pesan mulia kepada warganet ketika mereka sebenarnya bisa saja
menonton Netflix dan bersantai di rumah. Mereka yang melakukan extra miles
dalam pekerjaannya sehari-hari.

Ini adalah sedikit caraku untuk menunjukkan betapa bangganya aku terhadap
mereka yang luar biasa. Sedikit membawanya ke permukaan untuk menginspirasi
banyak orang, khususnya anak muda Indonesia. Sekali lagi, mereka adalah
pahlawan yang nyata bagi Indonesia.

Sebagai penutup, ini bukan cerita tentangku. Ini cerita tentang rekan-rekanku
yang luar biasa. Cerita tentang mereka yang memperlihatkan luasnya kertas putih
dari pada satu titik noda hitam.
206

Kolaborasi Tingkat Dewa


Satu untuk Semua
Siti Mulyanah, Direktorat Dana Perimbangan - DJPK

Di hari Sabtu pada pekan terakhir bulan Mei 2018, denting


suara HP bertubi-tubi mengirimkan pesan lewat WhatshApp.
Tidak biasanya. Suara-suara HP tadi awalnya tak kuindahkan,
tetapi frekuensi bunyi yang terdengar terasa makin kerap.
Penasaran juga. Setelah dilihat, ternyata hampir 60 pesan masuk,
baik dari pesan pribadi maupun pesan dalam grup. Sontak
terkejut membaca pertanyaan-pertanyaan seputar adanya
Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap salah satu pegawai
DJPK! Tentu saja aku tidak tahu kabar tersebut karena sejak
tadi pagi hingga malam aku menikmati quality time dengan
keluarga, tanpa televisi dan tanpa HP.

Kasus yang merebak adalah dugaan suap dalam pengalokasian


Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. Aku memang baru dua
bulan mutasi ke unit yang menangani DAK Fisik, tetapi rasanya
janggal jika menilik pada mekanisme yang ada. Apalagi yang
bersangkutan tidak mengemban tugas yang berhubungan
dengan dana tersebut.

Kabar angin yang berembus menceritakan bahwa seolah-olah


DAK ini adalah makhluk yang paling seksi sehingga banyak
yang memperjualbelikan informasinya. Dan anehnya laku keras,
meskipun si pemberi informasi mengarang indah alias ndobos!
Ada syaratnya tentu saja, yaitu sepanjang dalam menyampaikan
informasi sangat meyakinkan. Tak lupa gunakan atribut baju
Perekat Indonesia 207

biru Kementerian Keuangan, “gas pol” keyakinan makin kuat.

Permasalahan DAK menjadi sorotan seluruh jajaran pemimpin Kementerian


Keuangan. Segala upaya dan strategi dituangkan dalam notula-notula arahan.
Dan pemimpin baru DJPK membawa semangat bersatu dan bersinergi. Tak
hanya larut dalam rasa marah yang sama, tetapi juga memacu semangat untuk
menata integritas unit yang terkoyak. Ayunan kapak kebijakan yang pertama
dilakukan oleh Beliau adalah memotong upaya pertemuan dengan Pemerintah
Daerah, baik di kantor maupun di luar kantor, baik secara resmi, apalagi tidak
resmi.

Nah, ada tantangan nih. Lebih positif auranya jika kita menyebut permasalahan
atau hambatan dengan panggilan sayang: “tantangan”. Berawal pada tahun 2015,
proses pengalokasian DAK Fisik secara garis besar dimulai dengan penyampaian
usulan dari daerah, kemudian dilakukan penilain oleh K/L teknis terkait. Usulan
dari daerah disampaikan secara manual dalam bentuk hardcopy berangkap untuk
tiga pihak, yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas, dan K/L teknis terkait.
Kemudian, dalam rangka validasi data K/L dengan data pemerintah daerah,
dilakukan semacam pertemuan yang diberi judul sinkronisasi dan harmonisasi.
Hasil pertemuan tersebut diharapkan dapat menghasilkan keyakinan terbatas
bagi K/L dalam memberikan penilaian akhir sebagai bahan rekomendasi kepada
Kementerian Keuangan untuk selanjutnya dihitung alokasi per daerah.

Upaya mengurangi pertemuan dengan daerah telah dilakukan sebelumnya,


yaitu di tahun berikutnya, tahun 2016, melalui perbaikan metode penyampaian
usulan. DJPK menyiapkan wadah untuk menampung dokumen usulan dalam
konsep web based, yaitu melalui aplikasi e-Proposal yang ditempatkan pada
website DJPK. Rupanya langkah tersebut diikuti oleh K/L teknis dan Bappenas.
Terlihat keren jika dilihat secara masing-masing aplikasi. Namun, tidak tampak
keindahannya karena masing-masing aplikasi tidak terkoneksi. Belum lagi jika
kita coba membayangkan kerumitan daerah dalam menyampaikan usulannya
dengan membuka banyak aplikasi. Terlepas dari hal tersebut, tentu niatan baik
untuk mengurangi pertemuan dengan pemerintah daerah perlu diapresiasi.
Namun pada tahapan sinkronisasi dan harmonisasi, pertemuan tersebut tidak
terhindarkan mengingat belum ditemukan metode yang tepat.

Perbaikan berlanjut tahun berikutnya. Aplikasi yang terserak dicoba disatukan


dengan satu aplikasi yang disepakati bersama tiga pihak, yaitu aplikasi
208

e-Planning. Aplikasi tersebut dibangun oleh Bappenas. Satu langkah besar dalam
kolaborasi tingkat tinggi. Belum sempurna tentunya karena masing-masing
pihak termasuk DJPK mengambil data usulan dari aplikasi e-Planning kemudian
dimasukkan ke dalam aplikasi DAK Sinkron. Hal tersebut juga berlaku
untuk Bappenas dan K/L pengampu DAK Fisik. Jadi, kolaborasinya masih
di permukaan saja, ego sektoral masih kental. Cukup alot sebagaimana yang
diperkirakan oleh Pak Putut selaku Sekretaris DJPK kala itu, sekaligus selaku
Ketua PMO yang mencetuskan Inisiatif Straegis (IS) DJPK yang bertujuan
untuk menghadirkan pemerintah di seluruh wilayah Indonesia.

Mimpi Beliau sebagaimana yang tertuang dalam IS Charter mulai tersibak


dengan berpindahnya Beliau menjadi Direktur Dana Perimbangan yang
menggawangi dana perimbangan tempat bernaungnya makhluk manis yang
bernama DAK. Dengan kewenangan yang dimilikinya dan dengan gaya
kepemimpinannya yang luwes dan tegas, serta dibantu dengan tim kecil di Subdit
DAK Fisik I dan Subdit DAK Fisik II, memperkuat keinginan menyatukan
aplikasi di pemerintah pusat. Arahan Beliau sangat memberi semangat. Beliau
mengatakan bahwa untuk bersinergi, kita tidak perlu menang-menangan, merasa
milik sendiri paling bagus dan paling benar sehingga harus diikuti oleh semua
orang. Prinsip yang harus dipegang adalah, tujuan tercapai, biaya murah, dan
semua pihak dilibatkan dalam pembahasannya, serta diperoleh kesepakatan bulat.

Bulan-bulan terakhir di tahun 2017 telah disepakati aplikasi yang dibangun


oleh Bappenas. Aplikasi ini akan digunakan oleh K/L untuk perencanaan
penganggaran sebagai wujud nyata langkah mewujudkan kehadiran pemerintah
pusat di seluruh wilayah Indonesia dengan berupaya menyinergikan
penganggaran pusat ke daerah melalui belanja K/L dan melalui Transfer
ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Di awal tahun 2018 aplikasi tersebut
dikembangkan kembali agar dapat menampung usulan dari pemerintah daerah
terkait kegiatan DAK Fisik. Namun konsep sinkronisasi dan harmonisasi yang
dirancang masih menggunakan metode tatap muka.

Dengan merebaknya kasus OTT terkait DAK Fisik dan arahan larangan tatap
muka dengan pemerintah daerah dalam tahapan perencanaan dan penganggaran
APBN membuat seluruh unsur bahu-membahu memikirkan solusi terbaik. Di
bawah komando Pak Putut berhasil dicapai kesepakatan bulat dan persetujuan
untuk menghindari tatap muka dengan pemerintah daerah. Kemudian dirancang
metode tatap muka dalam aplikasi. Mantap dan luar biasa! Sebagai orang yang
Perekat Indonesia 209

gagap teknologi aku terkagum-kagum dengan upaya-upaya yang telah dilakukan.

Apakah sudah cukup? Ternyata masih belum. Masih banyak lubang yang
harus ditutupi lagi. Waktu itu selepas magrib, beberapa orang anggota Subdit
DAK Fisik I, Subdit DAK Fisik II, Tata Usaha (TU), dan Bapak Direktur
sedang melepas penat sejenak sebelum lanjut pada pembahasan rencana
penyesuaian PMK, khususnya pada bagian DAK Fisik. Secara tiba-tiba Bapak
Dirjen menyambangi kami. Dengan gaya Beliau yang santai, lepas, namun
tetap tegas penuh tantangan, membawa diskusi kepada pangkal permasalahan
terjadinya OTT. Beliau mengatakan bahwa berangkat dari pemanggilan KPK
terhadap beberapa pejabat di lingkungan DJPK sebagai saksi ahli, mengerucut
pada kesimpulan bahwa dalam pembahasan DPR belum diatur mekanisme
pengusulan anggaran dari anggota dewan. Mekanisme yang diharapkan
mengamankan pemerintah dari jerat hukum tentunya.

Tantangan yang Beliau sampaikan ada dua, yaitu mekanisme pengusulan DAK
Fisik oleh anggota dewan dan mekanisme pemberian keyakinan terbatas pada
pemerintah pusat bahwa uang dibelanjakan oleh pemerintah daerah dari DAK
Fisik sesuai penggunaannya. Selepas Beliau memberikan arahan dan mengobrol
sejenak dengan Kasubbag TU kami, Beliau pun meninggalkan ruangan dan
menyisakan kami yang menarik nafas panjang seraya menerawang. Lamunan
singkat buyar oleh helaan nafas Pak Direktur yang meminta kami segera
menyiapkan ruang rapat untuk membahas Rancangan Peraturan Menteri
Keuangan (RPMK) yang berbeda dari yang telah disiapkan. Karena keterbatasan
ruangan, kami pun meminjam ruang rapat lantai 12 pada Direktorat Pembiayaan
dan Transfer Non Dana Perimbangan.

Singkat kata dan singkat cerita, PMK yang mengatur kriteria DAK Fisik sebagai
dasar menyetujui atau menolak usulan DAK Fisik pun siap. Salut untuk rekan-
rekan Biro Hukum Kementerian Keuangan, Pak Agus dkk. atas kolaborasi
yang dahsyat. Dengan gagahnya Bapak Dirjen berhasil mengimplementasikan
aturan tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan menjaga integritas
pengalokasian DAK Fisik.

Tahun 2019 ini adalah tahun implementasi pengawasan Aparat Pengawasan


Intern Pemerintah (APIP) daerah untuk dapat memberikan keyakinan terbatas
pada pemerintah pusat bahwa penggunaan DAK Fisik di daerah telah sesuai.
Tahun 2019 ini pun kembali dikembangkan sinergi antara aplikasi dari
210

Bappenas dengan aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan


Anggaran Negara (OM SPAN) pada Direktorat Jenderal Perbandaharaan
(DJPb). Sinergi mengalirkan data Rencana Kerja (RK) DAK Fisik per bidang
dan per daerah secara otomatis untuk menjaga integritas data dan meminimalkan
kesalahan yang tak disengaja maupun yang disengaja.

Aplikasi dari Bappenas menjadi jembatan kolaborasi tingkat dewa, menyatukan


K/L dan pemerintah daerah dengan jumlah user yang luar biasa: sejumlah K/L
pengampu DAK sekitar 14 K/L dan akan meningkat setiap tahun, ditambah
dengan 542 daerah dengan setiap daerah memiliki banyak akun yang berbeda
kewenangan, seperti Bappeda, BPKAD, APIP daerah, dan SKPD Pelaksana
DAK Fisik. Kemudian dengan otomasi masuknya data RK ke dalam OM SPAN,
menambah pula jumlah pengakses sebesar 171 KPPN dan tentu saja kantor
pusat. Selanjutnya, kita tunggu saja pengembangan aplikasi tersebut untuk segera
bergabung dengan aplikasi SAKTI.

Semoga semua dapat berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas
pengalokasian dan penggunaan DAK Fisik.
Perekat Indonesia 211

Sosialisasi di Ujung Negeri


Nok Siti Murni Sulistiyoningsih, KPP Pratama Jakarta Kelapa
Gading- DJP

Namaku Nok Siti Murni SN, Kepala Seksi Dukungan Teknis


Komputer di Kanwil DJP Sumatra Utara II. Tugas dan fungsiku
berkaitan dengan IT dan komputer di Kanwil DJP Sumatra
Utara II. Namun seperti kata atasanku, “Pegawai DJP harus
kompeten di segala bidang, tidak peduli apa latar belakang
pendidikan dan jabatannya”. Karena itulah aku menjadi salah
satu anggota Tim Penyuluh di Kanwil DJP Sumatra Utara II.

Suatu hari di tahun 2017, ada perintah untuk melakukan


sosialisasi perpajakan di Kepulauan Nias. Aku ingin menolak
perintah tersebut. Ada rasa keraguan, takut, dan keengganan
melaksanakan tugas ini. Masih tebersit rasa ngeri setelah kasus
“PARADA”, peristiwa yang meninggalkan rasa duka dan cerita
kelam bagi DJP. Apalagi peristiwa itu masih belum lama berlalu.
Ditambah lagi cerita-cerita horor seperti papan tanda disita
dicabut atau bahwa terdakwa kasus parada mempunyai banyak
pengikut yang menandakan bahwa “Nias” kurang bersahabat
terhadap Pajak.

Namun hati kecilku bertanya, apakah memang harus seperti itu,


tidak perlu dilakukan sosialisasi? Pantaskah kita melupakan dan
meninggalkan mereka? Pantaskah kita membiarkan mereka–
Wajib Pajak dan calon-calon Wajib Pajak, tetap buta dan tidak
mengerti peraturan perpajakan? Mereka punya hak untuk
mendapatkan pendidikan, khususnya perpajakan. Walaupun
212

kalau dilihat dari segi penerimaan, kontribusi pajak dari Kepulauan Nias
mungkin hanya 0,0…% dari penerimaan nasional. Setelah melalui kebimbangan
hati, akhirnya perintah melakukan sosialisasi tersebut harus tetap kujalankan.

Nias sebuah kepulauan. Nias merupakan bagian wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Sibolga. Untuk menuju ke sana tidaklah mudah.
Dibutuhkan waktu semalam perjalanan laut dari Sibolga. Itu pun apabila cuaca
sedang baik. Apabila ombak besar, kapal pun tidak akan berlayar. Alternatif lain
adalah melakukan perjalanan udara dari Bandara Kualanamu, Medan. Hanya saja
untuk mencapai Bandara Kualanamu haruslah ditempuh dengan perjalanan darat
sekitar dua belas jam. Di Kepulauan Nias terdapat Kantor Pelayanan Penyuluhan
dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Gunung Sitoli. Kantor tersebut merupakan
perpanjangan tangan dari KPP Pratama Sibolga. Hanya saja dengan keterbatasan
sumber daya manusia, baik jumlah maupun kemampuan teknis perpajakannya,
sering kali masalah sosialisasi masih dilakukan oleh KPP maupun Kanwil. KPP
Pratama Sibolga merupakan salah satu KPP di Kanwil DJP Sumatra Utara II
yang berkedudukan di Pematang Siantar. Jarak Kanwil dengan KPP Pratama
Sibolga sekitar sepuluh jam perjalanan darat. Dapat dibayangkan betapa jauh
perjalanan antarkantor yang ada di luar Pulau Jawa.

Setelah perintah sosialisasi keluar, pembagian tugas dan tim dibentuk. Tim dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari tim dari KPP Pratama
Sibolga yang menempuh perjalanan laut dengan membawa perlengkapan dan
peralatan sosialisasi. Sedangkan tim dari Kanwil DJP Sumatra Utara II sebagai
kelompok kedua dengan menempuh perjalanan udara dari Bandara Kualanamu.
Hal ini kami lakukan untuk menghemat waktu dan tenaga karena jarak tempuh
dari Pematang Siantar ke bandara hanya sekitar tiga jam. Bayangkan kalau kami
berangkat bersama kelompok pertama, kami harus berkendaraan ke Sibolga
dahulu selama sepuluh jam, baru berlayar selama satu malam.

Hari Senin di Bandara Kualanamu. Tas ransel berisi laptop, buku- buku
peraturan perpajakan, baju, dan perlengkapan mandi terasa berat membebani
punggung kami. Pukul 13.00 WIB sudah berlalu, tetapi belum ada panggilan
untuk boarding. Rasa was was dan gelisah mulai menghantui. Walaupun
naik pesawat, tetapi Bandara Binaka, Nias, adalah bandara perintis dengan
segala keterbatasannya. Apabila cuaca kurang bagus, penerbangan pun sering
dibatalkan. Pengumuman pesawat ditunda berkumandang berkali-kali. Menguji
kesabaran kami.
Perekat Indonesia 213

Rasanya sudah capek untuk duduk menunggu,


suara azan salat Asar terdengar sayup di
… jangankan
kejauhan pertanda pukul 15.30 telah terlewati.
Kami masih menunggu. Tas ransel tak lagi
istilah
berdiri tegak karena sekarang telah menjadi alas pemotong,
untuk ganjal kepala karena duduk pun sudah
tak lagi nikmat. Dan akhirnya pengumuman pemungut
kalau penerbangan dibatalkan dan pesawat
baru diberangkatkan besok paginya, merupakan
pajak, atau
puncak kecapekan hari ini. Kami pun berusaha pengusaha
tertawa untuk mengobati rasa capek dan
kekesalan hati. kena pajak.
Kami serombongan satu pesawat diberikan Pengertian
penginapan sebagai kompensasi pembatalan
penerbangan dari maskapai. Diinapkan dengan
pajak, wajib
orang yang tidak kita kenal. Malam pun pajak, dan
terlewati dengan mata terpejam tidak sempurna,
pikiran masih terjaga, rasa was-was karena harus NPWP
bermalam dan sekamar dengan orang yang tidak
kita kenal. Pukul 02.30 kamar diketuk oleh
pun harus
petugas hotel. Pemberitahuan untuk bersiap dijelaskan
dengan
berangkat ke bandara dengan mata masih
terpejam dan terhuyung menuju kamar mandi

Akhirnya pesawat mendarat di bandara Binaka, perlahan-


Gunung Sitoli.
lahan dan
Tak menunggu lama, kami bergegas menuju
ke gedung serba guna di salah satu kantor,
dengan
tempat sosialisasi di Gunung Sitoli. Pukul 09.00 bahasa yang
WIB sosialisasi harus dimulai. Tak lupa kami
sempatkan mampir untuk sarapan di warung mudah.
dekat bandara. Karena mencari warung yang
menjual makanan halal di Nias agak susah, hal
ini disebabkan mayoritas agama yang dianut
masyarakat adalah Kristen Protestan. Hampir
90% penduduknya memeluk agama ini, sisanya
beragama Katolik, Islam, dan Buddha.
214

Kepulauan Nias terdiri dari empat kabupaten dan 1 kota madya, yaitu Kabupaten
Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara,
dan Kota Gunung Sitoli. Selama lima hari kami akan melakukan “roadshow”
dimulai dari Kabupaten Nias, Nias Barat, dan Gunung Sitoli yang bertempat
di Gunung Sitoli. Sudah sering aku melakukan sosialisasi di wilayah Sumatra
Utara, tetapi baru di Niaslah yang jauh dari bayanganku. Teramat sangat jauh.
Jangan pernah membayangkan sosialisasi perpajakan seperti di kota Medan,
apalagi dibandingkan dengan di Jakarta. Mulai dari sarana prasarana yang
serba terbatas, bahkan spanduk yang dibawa dari kantor tidak dapat terpasang
sempurna karena tidak ada tempat untuk memasang. Yang lebih ajaibnya lagi
adalah tidak diperbolehkan memasang paku di dinding. Yah… dengan kreativitas
dan inovasi tingkat tinggi, spanduk dipasang dengan lakban. Belum lagi listrik
yang mati hidup seperti lampu diskotik, akibatnya sound system pun tidak banyak
membantu. Untungnya suaraku keras. Baru kali ini aku merasakan keuntungan
mempunyai suara yang kencang.

Peserta… jangankan istilah pemotong, pemungut pajak, atau pengusaha kena


pajak. Pengertian pajak, wajib pajak, dan NPWP pun harus dijelaskan dengan
perlahan-lahan dan dengan bahasa yang mudah. “Bahasa Bumi “ istilah anak
sekarang.

Akhirnya hari pun menjelang sore, sosialisasi hari pertama usai sudah.

Malam hari waktunya istirahat dan harus kami gunakan sebaik mungkin untuk
menebus kantuk dan lelah kemarin karena besok masih harus menempuh
perjalanan selama lebih kurang lima jam ke Nias Selatan. Ternyata tidur di hotel
pun bukan sesuatu yang nikmat. Jauh dari harapan. Masih enak tidur di indekos
(maklumlah di Kanwil Sumatra Utara II aku tinggal sendiri karena keluarga di
Jakarta. Bulok alias Bujang Lokal). Listrik sebentar-bentar padam dan kondisi
hotel yang tua dengan fasilitas seadanya, menimbulkan rasa horor dan merinding.
Belum lagi kondisi kamar mandi. Inilah alasanku membawa perlengkapan
mandi sendiri. Suka agak jijik menggunakan handuk, sikat gigi, dan sabun yang
disediakan hotel. Ajaibnya kami harus membayar mahal untuk penginapan yang
mereka sebut hotel ini. Alasan mereka kenapa harga hotel mahal karena jarang
ada yang menginap sedangkan biaya perawatannya mahal.

Hari masih gelap walaupun sudah pukul 06.00 WIB. Mungkin teman- teman
yang bertugas di Jakarta sudah berlarian atau bergelayutan di kereta . Dengan
Perekat Indonesia 215

berbekal roti bakar–sarapan dari hotel, rombongan tim sosialisasi berangkat


menuju Nias Selatan, tepatnya Kota Teluk Dalam. Beriringan menelusuri jalan
pinggir pantai yang sangat Indah, pantai yang masih perawan, yang masih sepi,
dan bebas sampah. Matahari terlihat semburat kuning, sunrise kata orang-orang.
Sungguh indah ciptaan Ilahi. Aku terkagum. Pantas saja Nias menjadi tempat
incaran wisatawan asing. Ini terlihat sejak berangkat dari Bandara Kualanamu,
kami berbarengan dengan para turis yang membawa bagasi berupa perlengkapan
selancar. Dan kabarnya Pantai di Nias Selatan mempunyai spot surfing terbaik di
dunia yang menjadi incaran para surfer dunia. Pertanyaan berkecamuk, “Kapan
Nias ini menjadi seperti Hawai? Atau kapan ya seperti pantai yang ada di film
Baywatch?”

Dengan pemandangan yang begitu indah, tak terasa sudah empat jam perjalanan
dan sampailah di Kota Teluk Dalam. Aku dibuat terkaget-kaget lagi. Apa pantas
ini disebut kota? Layaknya desa di kota Jawa. Sarana prasarana serba terbatas.
Tidak ada bangunan yang menjulang bahkan semua tampak sederhana. Apa
benar kita akan melakukan sosialisasi di tempat ini? Dengan semangat yang kuat,
pegawai dari KP2KP Gunung Sitoli menjawab, “Ya!” Ini belum ada apa-apanya
dibandingkan dengan tempat lain di Nias. Angkat topi buat mereka. Pejuang
Pajak sejati.

Rombongan kendaraan, ah… sebenarnya bukan rombongan karena hanya


dua mobil saja, mengarah ke lokasi sosialisasi. Aku pun harus mengelus dada.
Sosialisasi diadakan di aula seperti balai desa dengan fasilitas yang lebih minim
dibanding sosialisasi di Gunung Sitoli kemarin. Dari undangan yang dikirim,
hanya sembilan orang yang datang. Di akhir acara, mereka mendatangi kami
menanyakan uang saku alias honorarium kedatangan. Pingin tertawa dan
menangis, ternyata ini ada di negeriku Indonesia. Pantas saja mereka terkadang
antipati terhadap pajak. Pantas saja sejarah kelam menimpa pegawai DJP. Pantas
saja mereka mempunyai pandangan yang buruk dan menakutkan terhadap pajak.
Mungkin pikiran mereka baru sampai pajak itu seperti merampas harta mereka.
Mungkin pikiran mereka pajak itu tidak ada manfaatnya bagi mereka. Salahkah
mereka? PR berat bagi institusi DJP. Itulah tugas kami untuk melakukan
sosialisasi. Kewajiban kami membuat mereka paham tetang pajak. Harapannya
timbul kesadaran untuk membayar pajak. Walaupun butuh perjuangan dan
pengorbanan. Sosialisasi di ujung negeri ini bukti perjuangan kami untuk bumi
pertiwi.
216

Patriotisme di Serambi
Makkah
Oji Saeroji, KPP Pratama Surabaya Wonocolo - DJP

Menyusuri perjalanan darat selama lebih kurang sepuluh


jam dari Bandara Kualanamu, Medan, ke Kota Tapaktuan
terbayarkan dengan suasana pagi yang sangat indah. Jalan-jalan
di atas perbukitan dan lautan yang biru tampak dari kejauhan
menjadi sebuah oase keindahan yang tidak terlukiskan.

Semakin mendekati kota kecil ini kita akan dimanjakan oleh


hamparan pantai pasir putih dengan ombak yang bergulung
tipis di atas pasir laut yang lembut. Belum lagi pesona Taman
Nasional Gunung Leuser yang konon katanya merupakan
ekosistem terakhir di Bumi. Gajah, harimau, badak, dan orang
utan masih hidup bersama. Sisi indah kota ini akan menemani
pengabdian berikutnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN)
sampai masanya berakhir.

Menjelang akhir 2013, aku dipromosikan menjadi Kepala Seksi


Pelayanan di Kantor Pelayanan Perpajakan (KPP) Pratama
Tapaktuan. Tapaktuan merupakan satu kota indah di pinggiran
Samudra Hindia. Jaraknya 400 kilometer dari Kota Banda
Aceh atau 350 kilometer dari Kota Medan. Tepatnya berada di
wilayah Kabupaten Aceh Selatan.

Tapaktuan memang bukan muara konflik masa lalu dari


Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang banyak bersimpul
di Pantai Timur Aceh, tetapi sebagai bagian dari Aceh,
Perekat Indonesia 217

solidaritasnya tentu saja sampai di tengah-tengah masyarakat wilayah Aceh


Selatan yang sebagian besarnya bersuku Aceh dan Minang.

Banyak keraguan yang hinggap setelah Surat Keputusan promosi tersebut keluar.
Salah satunya tentu saja soal predikat sebagai bekas daerah konflik berdarah di
masa lalu. Apalagi ini dalam rangka tugas sebagai simbol pemerintah bahkan
pemungut pajak. Simpelnya untuk mengakui Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan merah putih saja mereka berani menolak dengan jiwa
raganya, lalu bagaimana mereka mau membayar pajak yang notabene adalah
pengakuan penuh akan NKRI?

Aceh yang kubayangkan tentu saja tidak seseram dalam pemberitaan beberapa
tahun terakhir. Begitulah kesan pertama yang kami dapatkan usai pelantikan
pada jenjang jabatan eselon IV medio Oktober 2013. Sepuluh tahun pasca
Perjanjian Helsinki pada 2005 lalu yang menjadi babak baru kembalinya Aceh di
pangkuan ibu pertiwi, tidak sepenuhnya benar-benar hilang. Ini karena luka yang
diakibatkan konflik berkepanjangan tersebut.

Pembangunan infrastruktur cenderung stagnan di usia republik yang sudah


menginjak setengah abad lebih. Akibat nyata dari konflik yang tersisa barangkali
adanya beberapa bekas bangunan era konflik teronggok seperti sebuah museum
hidup. Kengerian konflik sungguh terasa. Belum lagi luka batin yang kerap
dilontarkan oleh sebagian keluarga korban yang tidak menemukan orang terkasih
dan sanak keluarganya hingga tiada kabar yang jelas tentang keberadaannya.

Mengukuhkan kembali nasionalisme dan patriotisme di daerah yang sebelumnya


dilanda konflik tentu saja merupakan pekerjaan berat dan membutuhkan waktu
yang lama. Dalam pikiran bawah sadarnya, masyarakat telah membentuk
sentimen antara pemerintah dan masyarakat yang demikian kuat dan sulit
dihilangkan. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi psikologis anak dan remaja
korban konflik, maka hambatan dari diri pribadi masyarakat sendiri sudah sangat
kuat. Untuk itu, upaya ini jelas memerlukan kerja keras dan kerja sama sebanyak
mungkin pihak, tidak semata pemerintah, tetapi juga melibatkan tokoh agama
dan pemuka masyarakat.

Pascagempa mahadahsyat yang diiringi dengan gelombang tsunami


menimbulkan korban jiwa yang sangat banyak. Perjanjian Helsinki setelahnya
merupakan ikhtiar dan kerja sama rakyat Aceh dan pemerintah. Boleh dikatakan
218

Perbincangan ini sebagai titik balik bagi pembangunan


berbagai infrastruktur di seluruh wilayah Aceh.
seperti ini Gelontoran dana otonomi khusus (otsus)
awalnya hanya sebagai implementasi perjanjian tersebut

searah. Kami
diserap dalam pembangunan infrastruktur
terutama sarana dan prasarana umum.
yang selalu Walaupun belum sepenuhnya menyembuhkan
luka akibat konflik, tetapi perbaikan di sana-
proaktif ke sini oleh pemerintah diapresiasi dengan tidak
banyaknya gejolak. Peran para tengku–istilah
dayah, tetapi untuk para pemuka agama di Aceh, sangat

lambat laun sentral, bukan hanya soal pelaksanaan syariat


Islam yang menjadi keistimewaanya, tetapi juga
mereka juga soal berintegrasinya mereka dengan NKRI.

menyempatkan Istilah pajak sendiri telah hidup cukup lama


dan dikenal bahkan sangat familier di tengah
diri berkunjung masyarakat dengan sebutan pajak Nanggroe.

ke KPP. Ini suatu bentuk pungutan tidak resmi yang


dilakukan oleh GAM untuk membiayai
perjuangannya. Kini, mereka sudah sepenuhnya
mengakui NKRI dan merah putih serta
berpartisipasi dalam era demokrasi dengan
otonomi khusus berdemokrasi. Mereka
membentuk partai-partai lokal yang dalam
beberapa kali pemilihan umum menguasai
parlemen tingkat kabupaten atau kota dan
provinsi di seluruh wilayah Aceh.

Bahkan keberadaan bupati atau wali kota


juga didukung sepenuhnya oleh mantan
GAM yang beberapa di antaranya adalah para
kombatan atau angkatan perang GAM di masa
lalu. Partisipasi aktif dalam politik ini juga
menandai awal bergabungnya masyarakat Aceh
bersama NKRI hingga mereka berkesempatan
untuk mendaftarkan diri menjadi wajib
Perekat Indonesia 219

pajak dan mendapatkan identitas perpajakan, yaitu Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).

Di wilayah Aceh bagian selatan terdapat salah satu dayah atau istilah sebutan
untuk pesantren di Aceh, tepatnya 65 kilometer arah selatan dari Kota
Tapaktuan. Dalam sejarah konflik yang terjadi di Aceh, dayah ini mempunyai
peran sentral sebagai mediator bahkan beberapanya seolah pemberi semangat
spiritual dan fatwa perjuangan.

Dayah yang kami maksudkan di sini pada masa lalu sering menjadi rujukan
spiritual para anggota GAM di wilayah Aceh bagian selatan. Pemimpin dayah
sendiri umumnya para tengku yang sangat disegani pada masa lalu hingga
kini, bahkan dalam kunjungan wali Nanggroe (pemimpin adat di Aceh) selalu
disempatkan untuk berkunjung ke dayah tersebut.

Momentum kami bisa dekat dengan mereka adalah saat diikutsertakan oleh
Komandan Rayon Militer (Danramil) Aceh Selatan pada 2013 silam kala
melakukan sosialisasi kebangsaan di lingkungan pesantren tersebut. Dari sanalah
kami mulai intensif melakukan komunikasi, silaturahmi, dan pendekatan-
pendekatan.

Beberapa acara pesantren sering juga kami ikuti seperti acara keagamaan, baik
itu syukuran ataupun momentum hari besar keislaman yang mereka lakukan.
Gayung pun bersambut. Kerja tidak pernah membohongi hasilnya. Ada respons
yang positif saat kami bisa berdialog langsung dengan tengku dan pengurus
yayasan dayah tersebut.

Dari sini obrolan berkembang sampai dengan kemanfaatan pajak dan dana
pemerintah untuk pembangunan yang berasal dari pajak, sebagaimana zakat yang
selama ini ditunaikan untuk membangun kemaslahatan bersama.

Perbincangan seperti ini awalnya hanya searah. Kami yang selalu proaktif ke
dayah, tetapi lambat laun mereka juga menyempatkan diri berkunjung ke KPP.
Di situlah barangkali titik baliknya. Pelayanan yang kami berikan mereka anggap
nyaman, ramah, responsif, dan tanggap.

Awal mulanya kami membantu mereka untuk menjadi wajib pajak PBB
Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P3) dengan mendaftarkan aset
dayah berupa kebun kelapa sawit yang selama ini diolah oleh dayah. Selama ini
220

sebagian keuntungan dari hasil perkebunan digunakan untuk operasional dayah.

Bagi para pengurus dayah, pajak yang mereka bayarkan dianggap sebagai sedekah
bagi NKRI. Mereka mau membayar PBB P3 sesuai ketetapan dan tentu saja
tertunaikan dengan baik.

Pada tahun berikutnya kami imbau untuk mendaftarkan wajib pajak badan
usaha yang berbentuk CV untuk menjadi wajib pajak PP 46 (satu persen dari
omset). Pada akhirnya mereka mau mendaftarkannya walaupun masih nihil
pembayarannya dengan alasan sebagian keuntungan untuk membiayai dayah dan
investasi lanjutan.

Setelah berada di Tapaktuan selama tiga tahun lebih, sepeninggal kami, kami
mendengar kabar baik bahwa mereka sudah mau membayar pemenuhan
kewajiban pajak PP 23  (0,5 %) pengganti PP 46 (1 %). Tentu saja tidak ada yang
tiba-tiba. Pendekatan dan pelayanan yang kami lakukan dengan sepenuh hati
berbuah manis dan menjadi penguatan bahwa banyak potensi yang bisa digali
untuk menambah pundi-pundi pajak sekalipun di daerah bekas konflik yang
mengerikan.

Dalam setiap acara internal, kami sering memberikan motivasi bahwa para
pemuka agama GAM pada masa lalu saja mau dan bersedia membayar pajak.
Mereka tidak hanya menghormati simbol bendera merah putih saja, tetapi jiwa
raganya sudah merah putih.

Kini merah putih itu telah kafah menancap di bumi Serambi Makkah. Itulah
jiwa nasionalisme dan patriotisme sesungguhnya. Tidak hanya menjadi
semangat yang membuat bangsa Indonesia mampu berjuang mencapai dan
mempertahankan kemerdekaannya. Lebih dari itu telah menjadi perekat bangsa
ini di saat sejumlah upaya merusak persatuan bangsa datang dari dalam. Semoga
damai dan maju Acehku. Semoga.
Perekat Indonesia 221

Sei Guntung
Merajut Nasionalisme dengan
Bangga Membayar Pajak
Andy Prijanto, KPP Pratama Tanjung Karang - DJP

Matahari mulai bersemayam dan berselimut warna jingga. Kakiku


untuk pertama kalinya menginjak Kelurahan Sei Guntung di
Kecamatan Kateman, Indragiri Hilir, Riau. Saat itu musim
kemarau pada bulan Juni 2014. Embusan angin di pelabuhan
rakyat Pasar Sei Guntung terasa panas. Beriringan dengan
hempasan air akibat belahan speedboat yang hilir mudik. Aroma
amis terasa menyengat. Tak banyak lagi aktivitas di pasar karena
menjelang senja.

Aku mengguyurkan air ke badan di penginapan sembari


pikiranku menghitung ulang waktu perjalananku hari ini. Tiga
jam dengan Avanza ke Tembilahan dan tiga jam dengan speedboat
menyusuri sungai menuju Sei Guntung. Pantas semua badan
terasa lelah dan kaku. Posisi duduk selama enam jam terasa cukup
“menyiksa” badan.

Setelah azan Magrib berkumandang dan kuselesaikan ibadahku,


segera kuajak anggota tim kecilku mencari makan malam.
Menyusuri tepian sungai sejauh satu kilo meter, mencari tempat
makan yang masih buka. Pandanganku tak lepas dari deretan
ruko yang kebanyakan mulai menua.

Mataku tak melihat satu pun mobil di Sei Guntung, selain


sebuah kijang kapsul putih. Lambang palang merah menempel di
pintu depannya. Dia parkir di halaman Puskesmas. Di beberapa
sudut jalan beberapa pasang mata menatap dengan tajam dan
222

kurang bersahabat. Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan kecil.


Mereka tak bergeming dengan tatapannya.

Aku masuk ke sebuah rumah makan yang masih melayani pembeli. Kupilih
tempat di sudut dekat meja kasir dengan empat kursi. Pas dengan jumlah tim
kecilku. Malam itu kulalui dengan perut kenyang dan badan yang sangat lelah.

Selama tiga hari tim kecil menyisir Sei Guntung. Cukup banyak informasi yang
kudapat di sana. Mulai banyaknya pengusaha yang belum ber-NPWP, sulitnya
memahami masalah pajak, susahnya menyetor dan melapor pajak, sampai
besarnya biaya kepatuhan pajak.

Tembilahan merupakan ibu kota Indragiri Hilir. Menuju Sei Guntung perlu
waktu tiga jam memakai speedboat. Tidak ada transportasi darat. Sudah kurasakan
terbatasnya transportasi dari dan menuju ke Tembilahan. Kantor administrasi
perpajakan terdekat berupa KP2KP. Namanya KP2KP Tembilahan. Biaya bolak-
balik tanpa menginap sekitar empat ratus ribu rupiah. Jika tertinggal jadwal
speedboat atau kapal pong pong (perahu kayu bermesin), maka ada ekstra biaya
menginap dan makan minum untuk sehari semalam.

Tim sempat juga menengok tempat pembayaran pajak di Sei Guntung. Saat
itu masih tidak dapat diproses langsung. Petugasnya harus membawanya ke
Tembilahan. Pembayar pajak tidak langsung mendapatkan bukti setoran hari itu
juga.

Aku pulang ke Rengat dengan speedboat pukul sepuluh pagi. Hanya ada dua
jadwal dengan yang jam sebelas. SB Rahmat Jaya dan SB Sri Gemilang. Itu yang
kubaca di penjualan loket pelabuhan. Penuh persoalan dalam kepalaku. Kondisi
Sei Guntung bukan semata persoalan kepatuhan pajak. Tapi sudah kompleks dan
belum bisa dipenuhi oleh pemerintah, terutama infrastrukturnya.

Setahun berlalu, aku dan tim kembali menapakkan kaki di pelabuhan Sei
Guntung. Bedanya saat itu hujan berada di penghujung musim. Persis di bulan
Juni dan masih menyebarkan bau amis. Bedanya lagi, di kepalaku sudah ada
solusi yang kubungkus untuk disajikan di sana.

Solusi untuk pengusaha yang belum ber-NPWP adalah dengan program


pendaftaran NPWP door to door go show. Kami datangi setiap toko yang belum
ber-NPWP dan langsung kami buatkan saat itu juga. Solusi untuk masyarakat
Perekat Indonesia 223

yang belum tahu akan pentingnya pajak adalah dengan penyuluhan door to door go
show. Kami sebarkan leaflet dan penjelasan singkat. Solusi untuk wajib pajak agar
lebih mudah dan murah dalam membayar pajak adalah dengan menggunakan
mini ATM.

Otakku juga sudah memetakan kultur sosial masyarakat di sana. Mereka terbagi
atas etnis Tiongha, Banjar, Bugis, Minang, Melayu, dan sebagian kecil Jawa,
Sunda, dan Batak. Kucoba bicara dengan para tokoh mereka. Salah satunya,
aku bertemu tokoh adat Bugis yang sangat berpengaruh di Sei Guntung.
Panggilannya Bang Ali, nama panjangnya tak kuingat lagi. Satu jam kami
bicara tentang kondisi dan kendala kesadaran pajak di Sei Guntung, Bang Ali
memberikan masukan dan dukungan yang luar biasa meskipun baru pertama kali
berjumpa. Dia katakan, “Silakan Pak Andy pakai satu lapak saya. Boleh yang di
ruko permanen berlantai dua atau yang ada di pelabuhan rakyat.”

Intinya, Bang Ali memberikan jaminan bahwa masyarakat Sei Guntung mau
membayar pajak asal ada yang membimbing dan memudahkan mereka di wilayah
itu. Mereka ingin orang pemerintah yang resmi, kompeten, dan berwenang
mengelola pajak. Bukan calo dan oknum yang hanya menggemukkan kantong
pribadi.

Tanpa pikir panjang, kuiyakan keinginan Bang Ali. Kesempatan tak datang dua
kali. Salah satu tokoh adat yang punya pengaruh besar menawarkan sesuatu yang
berharga. Sebuah kepercayaan dan dukungan. Kami berpisah karena Bang Ali
harus meluncur ke Batam dan Malaysia untuk menangani bisnisnya.

Aku kembali ke Rengat dengan hati yang campur aduk. Senang karena kendala
di Sei Guntung mulai teratasi. Risau karena memikirkan bagaimana caranya
memenuhi keinginan Bang Ali. Bagaimana bisa menempatkan staf organik di
Sei Guntung? Apa ada payung hukumnya? Siapa yang menjamin keamanan
dan keselamatan mereka? Sementara malam pertama kemarin, kudengar terjadi
pembunuhan di dekat kantor kelurahan!

Sehari setelah kembali dari Sei Guntung, kulaporkan semua kondisi dan peluang
kepada kepala kantor. Beliau antusias mendukung konsep yang kutawarkan untuk
mengelola Sei Guntung sebagai lumbung penerimaan pajak. Beliau siapkan
semua perangkat dan infrastruktur yang dibutuhkan.
224

Maret 2016, KPP Pratama Rengat mengukir sejarah baru dalam mengelola
potensi pajak di Sei Guntung. Aku dan tim menyulap sebuah lapak sederhana di
pelabuhan rakyat di Sei Guntung, milik Bang Ali, menjadi kantor representative
untuk melayani wajib pajak.

Sebuah meja, sebuah laptop, sebuah mini ATM BRI, dan beberapa jenis leaflet,
beberapa spanduk terpasang, dan dua orang pelaksana Seksi Ekstensifikasi
Dan Penyuluhan setia melayani masayarakat Sei Guntung untuk mendapatkan
layanan apa pun. Mulai informasi, konsultasi, pendaftaran NPWP, pembuatan
billing system, dan apa pun yang dibutuhkan masyarakat diupayakan terpenuhi di
satu tempat yang sederhana dan terbatas fasilitasnya.

Dalam satu bulan Gerai Layanan Pajak (GLP) di Sei Guntung memberikan
layanan selama lima hari kerja mulai Senin sampai dengan Jumat. Dikondisikan
pada tanggal-tanggal yang mendekati jatuh tempo pembayaran pajak setiap
bulannya. Hari pertama gerai dibuka, tidak ada satu pun yang mengunjungi. Hari
kedua, dua orang mulai berani masuk dan hanya meminta informasi. Hari ketiga,
empat orang datang untuk berkonsultasi. Hari keempat dua orang mendaftar
NPWP dan dua orang meminta cetak ulang kartu NPWP. Hari Jumat pertama
gerai dibuka hanya dua orang yang mengajukan permohonan NPWP.

Air mataku menetes saat mendapatkan report day to day lewat aplikasi WhatsApp
(WA) dari staf yang bertugas di Sei Guntung. Perasaanku tambah campur aduk
antara pesimisme dan harapan. Otakku terus berputar dan berkata besok saat
mereka kembali ke kantor harus langsung minta laporan lengkap dan lakukan
evaluasi!

Energiku sangat terkuras memikirkan Sei Guntung. Kukuatkan hatiku untuk


sabar dan percaya bahwa hasil tidak akan mengkhianati usahanya. Ini bukan
masalah gengsi pekerjaan dan ambisi jabatan. Sudah kutaruh di kotak sampah
keduanya bersama serpihan kertas tak berguna. Ini masalah hati nurani dan
tanggung jawab moral kepada masyarakat yang berada di remote area. Mereka
yang dianggap tidak taat pajak. Masyarakat yang dimarginalkan dari sarana dan
infrastruktur kemudahan membayar pajak. Warga negara yang dicap tidak peduli,
tetapi tidak ditelusuri dan dipenuhi kebutuhannya.

Enam bulan tak terasa berlalu seiring masuknya kemarau di Sei Guntung
memuncak. Mulai ada seuntai senyuman dan munculnya keyakinan setelah
Perekat Indonesia 225

harapan. Anggota tim yang


bergantian berangkat ke Sei
Puncaknya saat
Guntung mulai merasakan
candu yang nikmat untuk
program Tax
berlayar ke sana. Bahkan Amnesty (TA)
kudengar beberapa dari
mereka sudah menjadi mulai berjalan,
sahabat bahkan anak angkat
dari masyarakat di Sei
masyarakat Sei
Guntung. Guntung antusias
Warga Sei Guntung sudah mengikutinya.
membutuhkan staf KPP
Pratama Rengat. Mereka Selama bulan Juli
mulai rindu menunggu
kedatangan rombongan
sampai dengan
dari kantor pajak. Padahal September 2016,
sebelumnya mereka sangat
resistan dan enggan jadwal gerai
berhubungan. Puncaknya saat
program Tax Amnesty (TA)
ditambah menjadi
mulai berjalan, masyarakat sepuluh hari untuk
menyukseskan
Sei Guntung antusias
mengikutinya. Selama bulan
Juli sampai dengan September
2016, jadwal gerai ditambah
pelaksanaan TA di
menjadi sepuluh hari untuk daerah terpencil
menyukseskan pelaksanaan
TA di daerah terpencil tersebut.
tersebut.

Alhamdulillah hasil TA dari


Sei Guntung menyumbang
pundi-pundi uang negara
sebesar enam puluh miliar
rupiah. Air mataku kembali
menetes, tetapi hatiku tidak
226

lagi campur aduk. Hanya rasa syukur yang membuatku menangis. Terima kasih
ya Tuhan.

Konsentrasiku sedikit terusik saat dering HP-ku berbunyi. Kulirik sebentar dan
terbaca ada WA yang masuk. Hanya nomor HP saja yang muncul tanpa nama
pemiliknya. Walau sebenarnya malas untuk membuka pesannya, entah kenapa
seperti ada yang menggerakkan tanganku agar menyentuh layar HP untuk
membuka pesan itu.

Sambil perlahan membaca, perasaan haru tiba-tiba mengalir di relung kalbuku.


Sekejap kemudian ingatanku kembali kepada kenangan tahun 2016 lalu. Saat
aku masih bertugas di Rengat dan bersama-sama dengan sahabat satu kantor
menggali potensi di Sei Guntung.

Menjelang selesainya program TA periode kedua, aku mendampingi kepala


kantor dan diiringi cukup banyak staf KPP Pratama Rengat untuk kembali hadir
di Sei Guntung. Ada undangan dari warga setempat untuk menghadiri syukuran
akhir tahun sekalian mengevaluasi pelaksanaan TA di wilayah sana.

Bertemu kembali dengan para tokoh adat seperti Bang Ali yang orang Bugis,
Koh Asan yang tokoh Tiongha, dan beberapa tokoh adat yang sudah lupa
namanya. Surprise! Kami disambut cukup meriah dengan tarian barongsai.
Malam itu acara berlangsung di gedung serba guna milik wihara di Sei Guntung.
Dua ratusan lebih warga setempat berbaur dengan tim KPP Pratama Rengat
untuk menikmati kebersamaan dan melepas rindu persahabatan.

Di saat makan bersama di satu meja bundar, aku mengatakan impianku kepada
Koh Asan. Sebuah keinginan untuk mengangkat nama Sei Guntung sebagai
wilayah taat pajak. Kusampaikan dengan sangat santun agar tidak menyinggung
para tokoh setempat. “Koh Asan, boleh aku minta izin kepada beberapa pemilik
ruko di pelantaran paling depan pasar yang langsung menghadap ke sungai?” Koh
Asan tersenyum lalu justru balik bertanya, “Untuk apa Pak Andy?”

“Begini Koh, aku punya mimpi bahwa orang-orang yang berlalu lalang melewati
Sei Guntung setiap hari, baik dari Tembilahan maupun dari Batam tahu bahwa
Sei Guntung ini adalah wilayah taat pajak.”

“Bagaimana cara saya membantu Pak Andy mewujudkan mimpi itu?” Tanyanya
semakin tertarik.
Perekat Indonesia 227

“Aku ingin memasang spanduk raksasa di dinding paling atas ruko. Tulisannya:
Wilayah Taat Pajak”, jawabku singkat.

Koh Ahsan tersenyum kemudian menjawab, “Tentu saya mendukung dan pasti
akan bantu. Tapi bapak pernah berpikir berapa lama kalau spanduk itu bertahan
dari hujan dan panas?”

“Aku tahu Koh, paling satu sampai tiga bulan. Tapi itulah kemampuan kantorku.
Hanya sanggup menganggarkan biaya untuk spanduk”, jelasku

Koh Ahsan semakin mengembang senyumnya, “Pak Andy, serahkan semua ke


saya. Nanti akan saya buatkan dari bahan stainless steel. Kita pasang persis di
tepian sungai. Lebih terlihat dan yang pasti awet. Kalau malam akan bersinar
karena akan saya kasih lampu sorot.”

Aku terdiam mendengar omongan Koh Ahsan. Lebih tak berkutik saat dia
melanjutkan, “Pak Andy gak perlu pikir masalah biaya. Itu sudah menjadi
kewajiban kami masyarakat Sei Guntung. Ungkapan terima kasih untuk Kantor
Pelayanan Pajak Rengat.”

Pikiranku kembali ke alam nyata saat kurasakan tetesan air mata bahagia.
Bahagia saat melihat sebuah foto yang dikirim Koh Asan lewat pesan WA.
Di bawah foto tertulis sebuah pesan yang menggetarkan sanubariku. “Hari
ini, tanggal 28 Maret 2017 peresmian sekaligus pembukaan selubung tulisan
Kawasan Taat Pajak Kateman. Sayang Pak Andy sudah pindah tugas ke
Lampung. Sayangnya juga bapak tidak bisa bersama kami. Padahal ini mimpi
Bapak. Tapi saya, Ahsan, dan teman-teman tetap akan ingat Bapak karena
peresmian ini.”

Sungguh indah merajut kebersamaan di daerah terpencil saat bertugas. Ada


hikmah dan rahasia besar yang indah di balik kesedihanku saat pertama kali tahu
harus bertugas ke Rengat. Jauh dari rumah dan keluarga. Jarak yang membuatku
hanya mampu bertemu dua minggu sekali dengan keluarga tercinta.

Kisahku ini telah kusampaikan kepada anak lelakiku tercinta yang tahun
2019 ini sedang menjalani on the job training di salah satu kantor pajak. Nilai
moralnya adalah, persoalan yang begitu banyak di DJP ini dengan izin Allah
Swt. akan dapat diselesaikan dengan dua modal yang ada di dalam diri kita
sendiri. Segumpal jaringan yang berisi trilyunan syaraf berupa otak yang harus
228

dimaksimalkan dan segumpal daging di rongga tubuh yaitu hati untuk selalu
meyakini bahwa Allah Swt. akan memudahkan apabila kita mau bekerja keras,
cerdas, ikhlas, dan mencintai DJP dengan hati dan akal sehat.
Perekat Indonesia 229

Rumah Pajak untuk Anak


Dwi Joko Kristanto, Kanwil DJP Jawa Tengah I

Hal apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar


kata pajak? Ya, pasti ada bermacam-macam jawaban, tetapi
mungkin yang pertama kali terlintas adalah bayar, bayar, dan
bayar. Ada yang mengeluh dan ada juga yang bingung dalam
menyikapi pajak yang dibebankan. Kesadaran masyarakat
tentang pentingnya pajak bagi negara pun tergolong masih
cukup rendah. Ada beberapa faktor penyebab kurangnya
kesadaran pajak di Indonesia, salah satunya adalah kurangnya
pengetahuan pentingnya manfaat pajak tersebut. Hal ini wajar
mengingat masyarakat sebagai warga negara, membayar pajak
karena dipaksa oleh undang-undang dan tidak berdasarkan
keinginannya sendiri. Karena tidak ada masyarakat yang rela
apabila sesuatu yang ia miliki harus diberikan ke orang lain
atau ke negara melalui pajak yang ia bayarkan. Selain itu, ketika
masyarakat membayar pajak, ia tidak langsung mendapatkan
imbalan atas apa yang telah dibayarkan. Berbeda ketika
masyarakat membayar di supermarket atau toko syawalan
karena mereka mendapatkan barang yang diinginkan ketika
mereka telah membayarkannya di kasir. Padahal atas pajak yang
telah terkumpul sebagai sebuah penerimaan negara nantinya
akan digunakan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih besar.
Sesuatu yang tidak bisa di wujudkan oleh satu atau sekelompok
masyarakat saja. Sesuatu tersebut antara lain seperti membangun
infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara yang
akan memudahkan masyarakat untuk bepergian; membayar
230

PNS sebagai pelayan masyarakat, polisi, dan tentara untuk menjaga keamanan
negara; membayar guru dan semua kebutuhan untuk pendidikan generasi muda;
dan membayar sesuatu lainnya yang telah direncanakan oleh pemerintah untuk
mencapai kesejahteraan warganya. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya
kesadaran pajak di Indonesia adalah kurangnya kepercayaan masyarakat
terhadap pihak pengelola pajak. Oleh karena itu, untuk mengembalikan dan
menghidupkan kepercayaan masyarakat tersebut terutama generasi milenial,
generasi Z, dan generasi Alfa yang cerdas dapat ditempuh dengan memberikan
informasi terkait pajak secara luas dan transparan.

Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya pajak merupakan salah satu
pendapatan terbesar bagi negara. Lebih dari 70% penerimaan negara bersumber
dari pajak. Tanpa adanya pajak tentunya akan menghambat kemajuan bangsa,
baik dari segi pembangunan infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
maupun kegiatan perekonomian yang juga akan turut terganggu. Mengingat
pentingnya peranan pajak bagi kelangsungan masa depan bangsa dan negara,
sudah seharusnya pajak dikenalkan sejak dini kepada generasi penerus kita.
Generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alfa yang merupakan aset negara
yang paling berharga karena masa depan bangsa dan negara ke depannya ada
di tangan mereka. Mereka yang nantinya akan saling bantu membantu dalam
membangun bangsa dan negara ini. Ada yang berperan sebagai perumus dan
perencana pembangunan negara, ada juga yang berperan sebagai pendukung
kelancaran hal tersebut seperti memastikan ketersediaan dana untuk
pembangunan. Salah satu sumber ketersediaan dana untuk pembangunan berasal
dari pajak yang merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Pengenalan
seperti ini penting dilakukan agar ke depannya para generasi muda terutama
anak-anak menjadi sadar tentang pentingnya membayar pajak sehingga kelak
bisa menjadi warga negara yang sadar dan patuh pajak. Dengan kesadaran
akan pentingnya pajak sejak dini diharapkan dapat mendukung kelancaran
pembangunan bangsa dan negara di masa mendatang.

Hal inilah yang mendorong KPP Pratama Demak membuat sebuah inovasi
Rumah Pajak Untuk Anak, yaitu suatu ruang bermain untuk anak sekaligus
tempat pengenalan dini tentang pajak. Harapannya, inovasi tersebut bisa
mewujudkan generasi muda yang mempunyai kesadaran pajak sejak dini.
Terlebih, wajib pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Demak mempunyai
karakteristik yang unik, yaitu beberapa di antaranya sering membawa anak-anak
Perekat Indonesia 231

pada saat melaksanakan kewajiban perpajakannya. Agar anak-anak tersebut tidak


merasa bosan menunggu dan mengganggu suasana kerja, KPP Pratama Demak
menyediakan Rumah Pajak Untuk Anak tersebut.

Rumah Pajak Untuk Anak didasarkan atas dua aspek. Aspek Orisinalitas,
Rumah Pajak untuk Anak memang disediakan oleh KPP Pratama Demak
untuk memberikan kenyamanan terhadap Wajib Pajak karena permasalahan
karakteristik Wajib Pajak di Demak sebagian di antaranya adalah ibu-ibu yang
datang melaporkan pajak dengan membawa serta anaknya sehingga penciptaan
Rumah Pajak untuk Anak memang sesuai bila diterapkan di Demak. Aspek Asas
Manfaat, Fungsi Rumah Pajak untuk Anak adalah untuk ruang bermain anak
dan pengenalan dini tentang pajak. Program inovasi ini sekaligus memberikan
edukasi perpajakan kepada anak usia dini dan memberikan citra yang ramah dan
menyenangkan tentang kantor pelayanan pajak. Program inovasi Rumah Pajak
untuk Anak telah memenuhi aspek-aspek perubahan dalam pilar-pilar reformasi
birokrasi, yakni aspek Penataan Organisasi.

Rumah Pajak Untuk Anak terletak menyatu dengan ruang Tempat Pelayanan
Terpadu (TPT) tanpa mengganggu proses pelayanan itu sendiri. Sementara
menunggu nomor antreannya dipanggil, para orang tua dapat menemani anak
beraktivitas di ruangan ini sesuai dengan keinginan anak-anaknya. Posisinya
yang strategis juga memungkinkan satpam atau petugas cleaning service dapat
mengarahkan dan membantu anak-anak untuk bermain, membaca, foto-foto,
atau belajar mewarnai gambar yang sudah disediakan. Rumah Pajak Untuk Anak
ini memang disediakan bagi para Wajib Pajak yang datang ke KPP Pratama
Demak dengan membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Tidak menutup
kemungkinan juga bagi anak-anak para pegawai yang kebetulan sedang tidak ada
yang menjaga di rumahnya, bisa dititipkan kepada satpam/cleaning service yang
berjaga pada saat itu (program one day) sehingga tidak mengganggu kinerja para
pegawai yang bersangkutan. Bahkan pada musim libur seperti libur lebaran, tidak
sedikit juga pegawai KPP yang membawa anak-anaknya ke kantor dikarenakan
sedang ditinggal mudik pengasuhnya. Dengan adanya Rumah Pajak untuk
Anak, para pegawai tersebut tidak perlu resah dan repot jika harus membawa
anaknya ke kantor dan pekerjaan mereka pun tidak akan terganggu. Bagi orang
tua yang mempunyai kewajiban melaporkan pajaknya setiap bulan akan dengan
senang hati mengajak anaknya ke KPP karena anak-anaknya akan terhibur dan
mendapatkan edukasi tentang pajak sebagai generasi penerus yang bangga dan
232

cinta akan pajak untuk pembangunan bangsa. Program inovasi ini sekaligus
memberikan edukasi perpajakan kepada anak usia dini dan memberikan citra
yang ramah dan menyenangkan tentang KPP.

Desain Rumah Pajak Untuk Anak ini dibuat dengan konsep yang sangat
menarik dan menyenangkan. Dinding-dinding ruangan diberi gambar-gambar
lucu dengan warna cerah sehingga menarik minat anak kecil. Ada juga boneka
kojib (kontribusi wajib) sebagai identitas visual yang bisa menggambarkan
institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara menarik. Fasilitas yang ada di
dalamnya pun sangat beragam. Di bagian depan sebelum memasuki Rumah
Pajak Untuk Anak disediakan rak tempat sandal/sepatu yang dimaksudkan untuk
melatih anak-anak belajar tertib dan menjaga kerapian dan kebersihan ruangan.
Beberapa permainan interaktif seperti perosotan kecil, kuda-kudaan, serta
kompor yang berisikan game interaktif tentang edukasi perpajakan dan kuis pajak
juga disediakan untuk melatih motorik anak. Dengan game dan kuis interaktif
tersebut, anak-anak tentunya tidak hanya senang dalam bermain, tetapi juga
secara tidak langsung menjadi tahu apa itu pajak dan bagaimana pajak berperan
bagi kelangsungan masa depan bangsa dan negara. Selain itu ada juga beragam
permainan kreatif dan edukatif untuk anak- anak seperti photo booth untuk
berfoto ria, puzzle bertemakan pajak, komik-komik perpajakan yang menarik,
lembar mewarnai dengan gambar bertema pajak yang dilengkapi dengan pensil
warna dan krayon. Hasil karya anak-anak yang dinilai bagus nantinya juga akan
diberikan apresiasi dengan dibuatkan pigura dan dipasang pada dinding-dinding.

Pada tahun 2015, Rumah Pajak untuk Anak berhasil mendapatkan


apresiasi dan penghargaan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB).
Inovasi tersebut masuk dalam Top 99 Inovasi Pelayanan Publik yang diadakan
oleh KemenPANRB di tingkat kementerian/lembaga/pemerintah provinsi/
pemerintah daerah/pemerintah kota. Inovasi tersebut juga diikutsertakan
dalam sebuah pameran yang juga diikuti oleh 255 peserta, antara lain oleh
juara dan finalis UNPSA 2015, Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik
2015, inovasi dari kabupaten/kota se-Jawa Timur, BUMN, swasta, lembaga
mitra pembangunan dari Amerika Serikat, Jerman, dan Korea Selatan. KPP
Pratama Demak sebagai salah satu peraih penghargaan Top 99 Kompetisi
Inovasi Pelayanan Publik tahun 2015, ikut meramaikan acara tersebut dengan
membuka stand “Rumah Pajak Untuk Anak” mewakili Kementerian Keuangan.
Perekat Indonesia 233

Stan didesain dengan unik dan menarik sehingga berhasil mendapatkan antusias
yang luar biasa dari masyarakat, khususnya anak-anak. Berbagai kegiatan pun
diikuti oleh mereka di antaranya lomba mewarnai gambar bertemakan pajak,
ada juga game dan kuis tentang pajak dengan hadiah-hadiah yang tentunya
lucu dan menarik. Selain itu ada juga klinik pajak yang berisikan informasi-
informasi perpajakan yang dikonsep dengan menarik dan menyenangkan. Para
orang tua yang datang pun mengaku sangat senang dengan adanya stan tersebut
karena anak-anaknya bisa bermain, mendapatkan door prize menarik, sekaligus
mendapatkan ilmu tentang pajak.

Bertepatan dengan hari Jumat, 15 Mei 2015, bertempat di Ruang Graha


Wicaksana Praja, Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur, KPP Pratama
Demak menerima penghargaan Apresiasi Top 99 Inovasi Pelayanan Publik
2015 dari KemenPANRB. Tujuan kompetisi inovasi pelayanan publik ini adalah
untuk melakukan evaluasi, sejauh mana upaya-upaya yang telah dilaksanakan
dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di tanah air. Penghargaan tersebut
tentunya menjadi bukti bahwa Rumah Pajak untuk Anak merupakan sebuah
inovasi yang cukup sederhana namun membawa dampak yang luar biasa bagi
masyarakat serta bisa diterapkan pada unit-unit kerja yang lain, khususnya
kantor layanan masyarakat dengan layanan publik yang dapat menyediakan space
sederhana yang ramah anak.

Adanya Rumah Pajak untuk Anak menjadikan KPP berkesan terbuka dan
lebih dekat dengan masyarakat dengan memberikan kebebasan mereka
mengikutsertakan anak-anaknya ketika melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Rumah Pajak untuk Anak menumbuhkan citra di masyarakat bahwa KPP
memberikan pelayanan dengan ramah dan mengayomi demi kelangsungan
masa depan bangsa. Dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan
Wajib Pajak setempat, mereka merasa dihargai dan secara otomatis mereka
pun akan menghargai para pegawai pajak ketika mengunjungi KPP. Dari
sinilah akan muncul persepsi bahwa Wajib Pajak sebagai “mitra” yang dengan
sukarela melaksanakan kewajiban perpajakannya tanpa ada unsur keterpaksaan.
Perhatian dari hal-hal yang kecil akan menciptakan kepercayaan masyarakat
pada umumnya untuk sadar akan arti pentingnya pajak. Selain itu, pemahaman
tentang pajak yang diberikan sejak dini juga diharapkan dapat memberikan
edukasi tentang pajak, manfaat pajak bagi negara dan masyarakat, dan tahu
bagaimana jadinya negara ini berdiri jika tidak ada pajak. Dengan edukasi
234

itu, secara tidak langsung akan menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, serta


kepedulian anak-anak terhadap pajak, dan pada akhirnya kelak mereka akan
tumbuh menjadi warga negara yang sadar dan patuh pajak. Dengan pemahaman
pajak sejak dini, lima sampai sepuluh tahun ke depan ketika anak-anak tersebut
mulai memasuki dunia kerja atau dunia usaha, mereka akan paham dan mudah
dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Tentunya, masa depan negara
kita dipertaruhkan pada usaha kita menyiapkan generasi penerus negeri yang
punya hati dan suka memberi. Indonesia ada karena rakyatnya mau berbagi dan
membayar pajak adalah cara kita berbagi untuk negeri. Oleh karena itu, budaya
sadar pajak harus ditanamkan sejak dini untuk membentuk karakter generasi
bangsa yang cinta tanah air dan bela negara melalui kesadaran melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakan.
Perekat Indonesia 235

Thong Ngin Fan Ngin Jit


Jong
Julhendra H. Saragih, KPP Pratama Jakarta Senen- DJP

Batu-batu granit berukuran raksasa bertebaran di antara


hamparan pantai-pantai indah berpasir putih yang diselingi
barisan nyiur melambai. Ya, itulah panorama eksotis Pulau
Bangka. Pulau ini dianugerahi Tuhan keindahan alam yang
begitu menawan. Mungkin Pulau Bangka diciptakan ketika
Tuhan sedang tersenyum.

Masyarakat Bangka adalah komunitas yang hidup rukun dan


damai. Sebagian besar penduduknya adalah etnis Melayu dan
Tionghoa yang sudah berasimilasi sejak sekian lama. Sebagian
yang lain adalah warga pendatang yang berasal dari berbagai
penjuru Nusantara. Warga Tionghoa sudah sejak abad ke-
17 berdatangan ke Pulau Bangka dalam jumlah besar untuk
bekerja di pertambangan timah, jauh sebelum penjajah Belanda
datang. Orang Tionghoa yang umumnya dari suku Hakka tidak
membawa pasangan perempuan sehingga mereka menikah
dengan para perempuan Melayu di Bangka. Selanjutnya
terbentuklah masyarakat peranakan dari interaksi yang erat
tersebut. Kalau dirunut lebih jauh pasti masih ada hubungan
kerabat jauh antara masyarakat Melayu dengan Tionghoa.

Kebersamaan telah menjadi semangat hidup masyarakat


Bangka, mereka hidup berdampingan tanpa membeda-bedakan.
Thong Ngin Fan Ngin Jit Jong adalah slogan khas dalam bahasa
Hakka yang artinya “orang Tionghoa dan orang Melayu adalah
236

sama”. Roh persaudaraan Melayu-Tionghoa terus dijaga masyarakat Bangka


sejak berabad silam sehingga tidak ada pengotak-kotakan antara Tionghoa dan
Melayu, termasuk dengan suku-suku lainnya. Kedua suku ini sejak lama hidup
dalam harmoni dan penuh kekeluargaan. Saling berkunjung sewaktu Idulfitri,
Imlek, dan Natal sudah sejak lama menjadi tradisi.

Di tengah-tengah masyarakat Bangka yang hidup rukun dan harmonis inilah


Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Bangka dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) Sungailiat hadir guna mendekatkan dan mempermudah Wajib Pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, baik pendaftaran, pelaporan, dan
konsultasi. Dengan kehadiran kantor pajak ini, masyarakat sampai ke pelosok
desa di Pulau Bangka dapat semakin dimudahkan dan pada akhirnya pelayanan
pajak kepada masyarakat bisa lebih optimal.

Pada tahun 2011 DJP mulai menggelar program Sensus Pajak secara nasional,
termasuk juga di Pulau Bangka. Persiapan Sensus Pajak dimulai dengan
membuat rencana kerja dan menyediakan data seperti peta cluster-cluster sentra
ekonomi yang ada di Bangka. Sentra ekonomi di Bangka utamanya berada di
kota Sungailiat dan Belinyu. Setelah menentukan cluster sebagai target sensus,
proses berikutnya adalah melakukan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai
pihak seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat setempat, sampai para ketua
RT/RW. Selanjutnya, petugas sensus dari KPP Pratama Bangka dan KP2KP
Sungailiat dengan didampingi oleh pihak ketiga mendatangi dan melakukan
kunjungan ke lokasi usaha atau tempat tinggal masyarakat secara proaktif dari
pintu ke pintu (door to door). Petugas sensus memberikan penjelasan mengenai
maksud dan tujuan pelaksanaan sensus dan meminta kesediaan responsden untuk
memberikan data dan keterangan melalui wawancara sambil mengisi Formulir
Isian Sensus (FIS). Hasil sensus nantinya dapat dimanfaatkan untuk melakukan
pemutakhiran data dan melengkapi profil Wajib Pajak agar tetap up to date,
lengkap, dan akurat.

Sensus Pajak pada hakikatnya adalah upaya untuk menegakkan keadilan.


Tidak adil jika sebagian masyarakat taat membayar pajak sementara sebagian
masyarakat lain belum membayar pajak dengan semestinya. Ini adalah bentuk
ketidakadilan yang tidak boleh terus-menerus dibiarkan karena bagaimanapun
hasil dari pajak tersebut bisa dirasakan seluruh masyarakat, baik yang taat pajak
maupun yang belum membayar pajak. Melalui sensus ini petugas pajak sekaligus
Perekat Indonesia 237

mengedukasi masyarakat untuk bersama-sama sadar dan peduli pajak dengan


memiliki NPWP, membayar pajak sesuai ketentuan, melunasi utang pajak, dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Dari komunikasi yang dilakukan
pada saat sensus diketahui bahwa masih banyak Wajib Pajak yang belum
memahami hak dan kewajiban perpajakannya, tetapi mereka enggan untuk
mengurus sendiri urusan pajaknya ke kantor pajak. Selama ini Wajib Pajak di
Bangka memang banyak yang lebih mengandalkan jasa konsultan tidak resmi
sebagai perantara dalam urusan perpajakannya. Konsultan seperti ini biasanya
berani menjanjikan sanggup membantu supaya pajak yang dibayar menjadi
lebih kecil. Ketidakpedulian akan urusan pajak sering kali membuat Wajib Pajak
menjadi korban pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Secara umum Sensus Pajak telah memungkinkan pengumpulan data dan


informasi yang lebih berkualitas pada cluster-cluster sentra ekonomi yang menjadi
sasaran sensus. Pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dan potensi
pajak ini dilakukan dalam rangka memperluas basis pajak. Penerimaan negara
akan dapat ditingkatkan jika ada perluasan basis pajak. Perlu dijadikan catatan
bahwa modal sosial berupa semangat kebersamaan dan jaringan sosial masyarakat
Bangka ternyata berhasil meningkatkan partisipasi warga untuk kesuksesan
program ini. Para tokoh masyarakat, ketua RT/RW, bahkan tenaga pendukung
di lingkungan kantor pajak yang seluruhnya adalah penduduk asli Bangka, baik
dari suku Melayu maupun Tionghoa, berperan penting untuk mendampingi dan
menjadi penghubung antara petugas sensus dengan masyarakat. Pendamping dan
penghubung yang sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat dan memahami
kultur setempat dapat meminimalkan potensi resistensi yang mungkin timbul.
Dengan cara ini Wajib Pajak menjadi lebih terbuka untuk menerima petugas
sensus di tempat tinggal atau tempat usahanya dan memberikan data dan
informasi yang diperlukan dengan jujur dan benar. Keberhasilan program sensus
pajak di lapangan memang sebagian besar tergantung pada aspek komunikasi
sehingga terwujud sinergi dan dukungan aktif berbagai pihak.

Sebagai koordinator petugas sensus, aku berusaha mengoptimalkan momentum


Sensus Pajak dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat dan
memberikan pemahaman akan pentingnya pajak. Pada setiap kesempatan
selalu disampaikan bahwa roda pembangunan nasional akan terus bergerak dan
perekonomian negara dapat terus tumbuh karena adanya pajak. Dengan semakin
besarnya penerimaan negara dari pajak tentu akan semakin banyak pula fasilitas
238

publik yang dapat disediakan pemerintah dan langsung dirasakan manfaatnya


oleh masyarakat. Pembangunan terminal Bandara Depati Amir Pangkalpinang,
jembatan baru berteknologi buka tutup yang menghubungkan Kota
Pangkalpinang dengan Sungailiat, dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas  (PLTG)
Air Anyir di Kabupaten Bangka adalah beberapa di antara sarana infrastruktur
yang sedang dibangun di Pulau Bangka. Karena itu, dengan adanya Sensus Pajak
Nasional diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat Bangka secara
bersama-sama untuk patuh dalam membayar kewajiban pajaknya yang pada
akhirnya dapat menjadi sumber pendanaan negara dan daerah yang memadai,
kokoh, dan berkesinambungan.

Momentum Sensus Pajak ternyata telah menjadi terobosan bagi petugas pajak
untuk melakukan kontak langsung dengan masyarakat. Melalui sensus ini
petugas pajak jadi dapat lebih mengenal dan dikenal oleh para Wajib Pajak di
Pulau Bangka. Pemahaman dan pemanfaatan kearifan lokal juga dirasakan sangat
bermanfaat dalam pelaksanaan tugas ini. Ini telah menjadi tonggak penting dan
merupakan permulaan dari perjalanan panjang untuk membangun interaksi yang
lebih intensif antara petugas pajak dengan masyarakat.

Pajak ternyata telah meningkatkan daya rekat sosial dalam kemajemukan


masyarakat Bangka dengan menggugah rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan
sekaligus tanggung jawab akan kemajuan bersama. Kearifan lokal melalui slogan
Thong Ngin Fan Ngin Jit Jong telah memberi inspirasi bagi masyarakat Bangka,
baik Melayu maupun Tionghoa, serta suku-suku lainnya untuk bersama-sama
bergotong royong dan berpartisipasi aktif membiayai pembangunan nasional
dengan membayar pajak. Dengan rasa memiliki dan mencintai tanah air sebagai
pancaran rasa syukur atas karunia Tuhan, masyarakat Bangka tentu akan siap
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Hal tersebut secara
tidak langsung mengindikasikan dampak positif pasca pelaksanaan Sensus Pajak.
Perekat Indonesia 239

Pajak Sebagai
National Security
Marihot Pahala Siahaan, KPP Pratama Ruteng- DJP

Awal tahun bagi kantor pajak selalu menjadi hari yang penuh
kesibukan penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan. Salah satu upaya yang rutin dilakukan adalah
pemberian teladan kepala daerah dalam penyampaian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan. Sebagai negara dengan mayoritas
masyarakat menganut asas patrilineal, teladan dari pemimpin
(kepala daerah) memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat
termasuk bagi wajib pajak di Indonesia. Untuk itu Pekan
Panutan penyampaian SPT Tahunan merupakan cara yang
efektif untuk menunjukkan teladan kepala daerah bagi Aparatur
Sipil Negara dan anggota TNI/Polri serta masyarakat yang
menjadi wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan
Pajak Penghasilan.

Dalam Pekan Panutan Penyampaian SPT Tahunan


Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2018 oleh Bupati dan
Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda)
Kabupaten Manggarai diadakan dialog tentang pajak. Acara
diselenggarakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng
bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Manggarai di
Ruang Rapat VIP Nucalale Kantor Bupati Manggarai pada
tanggal 6 Maret 2019. Kabupaten Manggarai merupakan salah
satu kabupaten yang ada di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Salah satu anggota Forkompimda, yaitu Komandan Komando


240

Distrik Militer (Kodim) 1612 Manggarai, Letnan Kolonel Rudi Markiano


Simangunsong mengemukakan pandangannya tentang pajak. Pandangan yang
menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang arti penting pajak dalam
kehidupan bernegara.

“Pajak merupakan salah satu unsur national security. Ya, berbicara tentang pajak
berarti bicara tentang keamanan negara,” kata pak Dandim dengan mantap. Satu
hal yang menarik tentunya bagi peserta Pekan Panutan. Selain Bupati dan Wakil
Bupati Manggarai turut hadir Ketua DPRD, Ketua Pengadilan Negeri, Wakil
Ketua Pengadilan Agama, Kapolres, Kepala Kejaksaan Negeri, para kepala dinas
di lingkungan Pemerintah Kabupaten Manggarai, pemimpin instansi vertikal
pemerintah pusat, dan pemimpin BUMN/BUMD yang ada di Kota Ruteng, ibu
kota Kabupaten Manggarai. Hadirin tampak menyimak dengan antusias.

Sang Dandim kemudian melanjutkan paparannya, “Rasio pajak kita terhadap


penerimaan negara sampai saat ini ‘kan hampir 80%. Lebih kurang 1.600 triliyun
rupiah penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak, berbanding 2.000
triliyun dari keseluruhan penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran
di APBN kita. Nah kalau pajak kita kolaps apa yang terjadi kira-kira? Belum
banyak yang berbicara tentang ini, tentang national security. Jadi kalau pajak kita
ini drop sama dengan kalau moneter kita drop. Mungkin tidak bisa dibayar gaji
saya, gaji bapak ibu sekalian, gaji ASN (Aparatur Sipil Negara), dan gaji anggota
TNI/Polri. Gaji kita tiba-tiba akan hilang begitu saja, tiba-tiba tidak ada uang.
Dimungkinkan akan terjadi huru hara, kolaps negara”.

“Memang harus kita sadari bersama, teman-teman pajak kita ini salah satu
Nation Fighter juga. Tujuannya untuk negara ini ya dari sektor itu, pajak. Di
samping dari yang lain kita berbicara transportasi, energi, kemudian salah satunya
juga defense, kemudian lain-lainnya. Karena itu pajak masuk dalam national
security kita, keamanan nasional kita. Dalam lingkup negara memang pajak tidak
dinyatakan sebagai unsur keamanan nasional. Keamanan nasional ini kurang
populer di Indonesia padahal sebenarnya keamanan nasional kita ini yang
menjamin keberlangsungan negara kita. Saya selalu membayangkan tiba-tiba
pajak kolaps. Tidak ada orang yang bayar pajak, apa yang terjadi? Pembangunan
semua hilang. Bayangkan saja, APBN disusun 2.000 triliyun misalnya, sementara
2.000 triliyun ini 1.600 triliyunnya dari pajak, kolaps kita. Kita tidak dibayar
misalnya, prajurit tidak dibayar, polisi tidak dibayar. Padahal dia pegang senjata,
datang dia ke toko ambil barang, sambil berkata ‘kasih ga, saya mau makan’.
Perekat Indonesia 241

Tentu keadaan akan chaos, kacau. Hal ini tentunya tidak kita inginkan terjadi.”

Di akhir paparannya Pak Dandim mengimbau, “Mari kita membayar dan


melapor pajak dengan benar. Kita memang harus peduli masalah pajak karena
pajak penting bagi keamanan negara. Kita support teman-teman kita dari kantor
pajak ini, sambil kita awasi teman-teman ini mengelola pajak secara transparan
dan jujur.”

Sungguh suatu paparan yang mendukung keberhasilan pemasyarakatan


kesadaran tentang pajak sebagai kewajiban kenegaraan. Sebagai Kepala KPP
Pratama Ruteng, tentunya aku sangat mendukung dan berterima kasih kepada
Beliau. Aku yakin hadirin, termasuk bupati dan wakil bupati mendapatkan
pencerahan dari sudut pandang lain tentang pajak. Apalagi yang menyampaikan
bukan orang pajak langsung.

Sebagai Komandan Kodim yang bertanggung jawab atas keamanan negara,


khususnya tiga kabupaten yang menjadi wilayah kerjanya, Kabupaten
Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur, tentunya tepat sekali
yang disampaikannya. Beliau melihat keberadaan pajak sebagai unsur penting
dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara, Secara tidak langsung hal ini
berarti pajak berkaitan erat dengan persatuan Indonesia yang mendukung tetap
kokohnya negara Indonesia tercinta.

Terima kasih Pak Dandim yang bijaksana. Asyik sekali kalau sosialisasi pajak
dilakukan oleh pihak ketiga, apalagi pihak yang bertanggung jawab atas
keamanan negara. Pastinya hadirin mendapatkan pencerahan dan wawasan
baru tentang pajak. Pajak dipahami dengan utuh, tidak hanya memahami pajak
sebagai alat pengumpulan penerimaan negara semata. Semoga semakin banyak
pejabat yang memahami arti penting pajak dan mau menyuarakannya kepada
masyarakat. Demi negara Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.
242

T
K U
TA
E L AWAN
T M
AU
RT
BE
Perekat Indonesia 243

”Makna hidup itu bukan


ditentukan panjang pendeknya
usia, tapi seberapa besar
kita bermanfaat bagi sesama
selama hidupnya. Bisa
membantu sesama dalam apa
pun sesuai kapasitas kita.“

Sutopo Purwo Nugroho


244

Temankeu Lombok
Adnan Wimbyarto, KPPN Mataram - DJPb

Komunitas ini lahir dari keinginan anak-anak muda yang


menginginkan Lombok lebih baik, maju, dan sejahtera.
Kelahirannya diawali dengan adanya Kemenkeu Mengajar 2
pada tahun 2017, kegiatan rutin yang dimulai dari tahun 2016
dan pada tahun 2017 salah satunya dilakukan di Pulau Lombok.

Komunitas ini lahir dari rahim yang sama, yaitu Kementerian


Keuangan, tetapi dibesarkan di tempat yang berbeda-beda
karena keinginan dan tekad yang sama untuk memberi warna
bagi negeri ini. Positive thinking dan saling mendukung ke
arah yg lebih baik untuk berbagi ke sesama merupakan dasar
dari komunitas ini bahwa masih banyak saudara-saudara kita
yang membutuhkan uluran tangan kita untuk bersatu dalam
komunitas ini.

Tidak membedakan suku, agama, strata sosial, menjadikan


komunitas anak-anak muda ini mempunyai visi ke depan untuk
Indonesia yang lebih baik. Tidak ada tendensi politik maupun
pencitraan menjadikan keikhlasan dan kebahagiaan anak-anak
muda ini melakukan kegiatan sosial secara bersama-sama. Akan
mendapatkan kepuasan batin yang tiada tara ketika kita bisa
melihat orang lain bahagia.

Banjir Keruak, Lombok Timur pada tanggal 22 November


2017 adalah aksi pertama kali yang dilakukan. Kegiatan lainnya
Perekat Indonesia 245

adalah ikut membantu membuat TPA di daerah Rembiga, Kota Mataram. Selain
membangun, Temankeu Lombok juga ikut terjun langsung mengajar adik-adik
yang belajar di sana, lebih kurang tiga puluh anak. Saat ini juga telah menambah
kegitan berbagi nasi di sekitar Pulau Lombok yang dilakukan setiap akhir pekan.
Satu kejadian yang tidak akan dilupakan adalah Bencana Gempa Lombok.

***

Bumi Seribu Masjid tiba-tiba terentak, terperenyak, terdiam, kaget dengan


gempa bumi yang datangnya berturut turut, dimulai pada tanggal 29 Juli 2018
dengan kekuatan magnitudo 6,4 di kedalaman 10 km pukul 06.47 WITA,
kemudian disusul hari Minggu tanggal 5 Agustus 2018, pukul 19.45.35 WITA.
Berdasarkan informasi dari BMKG pusat gempa bumi berada pada koordinat
8,37° LS  dan 116,48° BT, dengan magnitudo 7,0 di kedalaman 15 km. Gempa
bumi ini menimbulkan kerusakan berat di Pulau Lombok, terutama Kabupaten
Lombok Utara dan Lombok Timur. Gempa susulan terjadi lagi pada Kamis, 9
Agustus 2018 dengan magnitudo 6,2 pukul 13.16.29 WITA, selanjutnya hari
Minggu, 19 Agustus 2018, Pulau Lombok kembali diguncang gempa bumi yang
signifikan pada pukul 22.56.27 WITA, dengan kekuatan magnitudo 6.9, lokasi:
8.44° LS dan 116.68° BT di kedalaman 18 Km.

Rusaknya infrastruktur dan berbagai macam fasilitas umum maupun sosial,


berdampak pula pada perekonomian dengan sepinya transaksi di pasar maupun
tempat-tempat sentra perekonomian. Gedung sekolah, gedung pemerintahan,
rumah-rumah penduduk mengalami kerusakan, hasil pembangunan yang
selama ini dilakukan hampir dapat dikatakan luluh lantak akibat gempa bumi.
Dana APBN maupun APBD yang sudah disalurkan/dicairkan, output-nya
banyak yang tidak tersisa. Dana yang dipergunakan untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi kerugian gempa di Lombok diperkirakan akan menghabiskan 7,7
triliun rupiah.

Ada satu pertanyaan, bagaimana bisa membangun lagi? Bagaimana Lombok


bangkit? Dan bagaimana membangun infrastruktur yang telah hancur?
Tentu saja pemerintah tidak tinggal diam dan telah menyiapkan dana untuk
membangun kembali Pulau Seribu Masjid ini. Sekarang tergantung bagaimana
masyarakat punya gereget untuk bangun dari keterpurukan ini, tidak berpangku
tangan menunggu bantuan pemerintah maupun relawan, tetapi dari dalam
dirinya sendiri memiliki kemauan untuk bangun, gumregah untuk bangkit.
246

Pertanyaan berikutnya, apa saja yang bisa dilakukan oleh para relawan dan
pemerintah? Ketika berbicara masalah infratruktur itu hal yang bisa diselesaikan
dengan cepat bila ada dana yang cukup. Tetapi ketika berbicara masalah SDM,
kita harus berpikir lebih dalam lagi. Bagaimana memberi semangat serta
memberikan gambaran masa depan mereka pascagempa bumi ini. Nah, ini PR
bersama yang harus segera kita pecahkan dalam waktu dekat.

Temankeu Lombok langsung beraksi melakukan bantuan trauma healing dan


membuka posko bantuan di KPPN Mataram, serta membuka rekening donasi
bagi yang ingin meringankan beban saudara-saudara kita. Alhamdulillah
terkumpul dana lebih dari dua ratus juta rupiah dan barang-barang yang tak
terhingga banyaknya dari tenda, selimut, terpal, bahan makanan, biskuit, camilan,
pakaian pantas pakai, dan lain sebagainya yang terkumpul dari seluruh Indonesia.
Salut untuk kalian semua. Lanjutkan dan jangan lelah berbakti pada negeri
tercinta ini. 
Perekat Indonesia 247

Berkawan dengan
Rasa Takut
Abd Gafur, Kanwil DJPb Provinsi Kalimantan Selatan

Bekerja di daerah rawan konflik tentu bukanlah sebuah cita-cita.


Pun hanya sekadar terlintas dalam angan. Namun takdir tak
akan pernah mampu ditepis oleh tangan. Bersedia ditempatkan
di mana saja telah menjadi sebuah ikrar yang kutandatangani
sebelum menyandang status sebagai PNS. Perasaan berkecamuk
di dalam dada tatkala membaca SK mutasi harus kukalahkan
demi sebuah pengabdian.

Untuk kedua kalinya aku harus angkat koper menuju tempat


tugas baru. Sebuah kota yang tidak lebih baik dari kota
penempatanku sebelumnya. Kota yang telah terbangun image
sebagai zona merah yang rawan konflik. Ya, kota itu bernama
Ambon, ibu kota tanah Maluku. Kota kaya yang sejujurnya
memiliki potensi alam yang sangat indah, tetapi kemudian
porak-poranda akibat konflik horizontal yang menghancurkan
segala sendi-sendi kehidupan di sana.

Sebelas tahun silam, untuk pertama kalinya kuinjakkan kaki


di sana. Aku dan tiga orang kawanku berangkat dari Ternate,
kota penempatanku sebelumnya. Perasaan was-was telah
menghinggapi saat seorang kawan harus berbeda jemputan
dengan kami, hanya karena masalah agama. Memang konflik
yang terjadi di sini selalu disangkut-pautkan dengan isu SARA.
Isu yang paling gampang “digoreng” untuk memecah belah
bangsa, bahkan hingga hari ini.
248

Harus kuakui, selentingan


kabar mengerikan yang
Separah apa pun
pernah kudengar dari
media dan kisah pegawai
kondisi yang terjadi,
yang pernah ditugaskan KPPN tetap harus
di sana pada saat konflik,
sedikit banyak mengganggu memberikan layanan.
psikologisku. Perasaan orang
tua tak usah ditanya. Orang
Jika KPPN menutup
tua mana yang tidak was-was layanannya, maka
saat putranya harus bertugas
di Ambon pada waktu itu. siapa yang akan
Hanya pesan untuk selalu
berhati-hati yang mampu
memberi makan
diucapkannya, selebihnya aparat keamanan
itu? Kantor
hanya berserah diri kepada
Yang Mahakuasa. Hari itu aku
dan kawanku menghabiskan
malam dalam sebuah kamar
pemerintahan
kos yang disewa dengan tarif lainnya boleh saja
yang terbilang sangat mahal
untuk kami yang berdompet tutup, tapi tidak
tipis dan belum mendapat
sepeser pun uang pindah.
dengan KPPN!
Namun apa daya, tak ada
pilihan lain. Mes pegawai
tak ada dan rumah dinas pun
sangat terbatas.

Kota Ambon sejatinya


merupakan kota dengan
tingkat toleransi yang tinggi.
Mereka mampu hidup
berdampingan berpuluh-
puluh tahun, saling membaur
dan berinteraksi satu sama
lain. Namun akibat konflik,
Perekat Indonesia 249

kota ini terpecah menjadi berkubu-kubu, tergantung pemeluk agama mana yang
dominan di daerah itu. Kondisi itu kemungkinan tercipta saat konflik, tapi tak
pernah diupayakan kembali seperti sediakala oleh pemerintah setempat. Jangan
heran bila ada bekas rumah ibadah yang tak kunjung direnovasi lagi atau bahkan
telah berubah fungsi menjadi gudang-gudang.

Bagi pegawai yang berstatus mutasi, agenda hari pertama kerja adalah bersegera
melapor di tempat baru dan setelahnya bekerja seperti biasa. Namun tidak
bagi kami, justru di hari itu kami harus terlunta-lunta tak jelas nasibnya kapan
akan memulai kerja. Seharusnya kami memulai aktivitas dengan status sebagai
pegawai KPPN, tetapi dua hari pertama kami hanya bisa menganggur di ruang
rapat Kanwil DJPb Provinsi Maluku. Memang saat itu terjadi masalah resistensi
yang cukup hebat dari pegawai lama akibat kebijakan “ekstrem” di waktu itu.
Penolakan keberadaan kami begitu kuat terasa, bahkan terjadi riak-riak kecil
berupa demonstrasi. Demi alasan keamanan, maka kepala kanwil memutuskan
untuk menunda proses peralihan pegawai. Dan masih banyak lagi kisah di
baliknya.

Hari demi hari terlewati dan suasana kerja pun mulai berangsur normal, walau
tetap tak bisa dikatakan sama seperti di tempat lain dalam situasi normal. Kami
mencoba menikmati rutinitas yang ada. Menikmati keindahan surga dunia yang
tersaji indah membentang di sepanjang pantai di pulau Ambon menjadi selingan
kami. Hingga suatu hari di Minggu siang tepatnya tanggal 9 September 2011,
hal yang kukhawatirkan benar-benar terjadi.

Saat semua orang beraktivitas normal di pusat kota, tiba-tiba saja mereka
berhamburan memisahkan diri menjadi dua kubu. Gemuruh suara bunyi tiang
listrik terdengar di mana-mana yang menguak kembali memori lama warga.
Dahulu saat konflik berkecamuk, bunyi itu menjadi tanda bahwa akan terjadi
perang. Aku yang saat itu sedang di pusat perbelanjaan, segera mengambil
langkah seribu menyelamatkan diri. Ternyata telah beredar sebuah isu
pembunuhan seorang tukang ojek yang lagi-lagi bernuansa SARA. Banyaknya
SMS yang bernada provokatif membuat isu sensitif itu begitu cepat tersebar luas.
Sontak saja suasana Kota Ambon memanas di hari itu.

Dua kelompok telah saling berhadap-hadapan di beberapa titik perbatasan.


Saling lempar batu dan pembakaran tak dapat terelakkan. Jalan-jalan protokol
masing-masing kawasan diblokade warga. Suara tembakan senjata dari aparat
250

keamanan kudengar silih berganti. Kabar simpang siur yang beredar mengatakan
bahwa korban jiwa juga sudah mulai berjatuhan. Hal itu terus berlangsung
hingga malam hari membuat langit Ambon kupandangi telah berubah menjadi
merah. Tak ada tidur nyenyak di malam itu. Semua lelaki diharuskan untuk ronda
malam, terlebih jika berada di daerah perbatasan.

Keesokan harinya, tak ada aktivitas perkantoran apa pun. Tak ada yang
memberanikan diri mengambil risiko. Jalan-jalan di kota begitu lengang. Aparat
keamanan dari TNI dan Polri masih terus berjaga. Layanan di KPPN pun
tak dapat berjalan karena kondisi yang memang sangat tidak memungkinkan.
Kami pun berkumpul di kompleks rumah dinas bersama dengan para pejabat,
berdiskusi mencoba mencari solusi terbaik. Hingga akhirnya keputusan
kepala kantor bahwasanya aktivitas di KPPN akan segera dimulai esok hari
dengan bantuan pengawalan Brimob Polda. Vitalnya fungsi KPPN menjadi
pertimbangan utama keputusan itu. Pesan Beliau, “Separah apa pun kondisi
yang terjadi, KPPN tetap harus memberikan layanan. Jika KPPN menutup
layanannya, maka siapa yang akan memberi makan aparat keamanan itu? Kantor
pemerintahan lainnya boleh saja tutup, tapi tidak dengan KPPN!” Tegasnya.

Sebuah pesan yang tentu saja memberikan kebanggaan dan motivasi tersendiri,
walaupun publik tak banyak yang mengenal kantorku itu. Akhirnya kami pun
memulai aktivitas kembali dengan bantuan aparat Brimob bersenjata lengkap
mengawal dua unit mobil dinas yang kami tumpangi dari titik berkumpul
di kompleks rumah dinas menuju kantor. Tak usah kautanyakan bagaimana
tegangnya melewati jalanan lengang di pagi itu. Sisa-sisa batu di tengah jalan
dan puing sisa bangunan yang dibakar masih tampak begitu jelas. Perlu dicatat
bahwa hari itu tak ada aktivitas perkantoran apa pun kecuali hanya instansi DJPb
serta beberapa perbankan. Itu pun mereka hanya membuka layanan sampai pukul
12.00, tetapi KPPN tetap membuka layanan sampai pukul 17.00.

Saat jam pulang tiba, kami segera berkumpul kembali menumpang mobil dinas
bersama pulang menuju kompleks rumah dinas dengan bantuan pengawalan
dari aparat Brimob. Hal itu berlangsung setiap hari selama seminggu, hingga
akhirnya kondisi berangsur-angsur pulih dan situasi mulai dapat terkontrol
aparat berwenang.

Sebuah pengalaman berharga yang harus kulalui dan mungkin tak banyak orang
yang mengalaminya. Menjadi bagian sejarah berjibaku bersama kawan-kawan
Perekat Indonesia 251

merintis awal KPPN Ambon bersama 17 KPPN Percontohan Tahap I lainnya di


seluruh Indonesia yang mungkin lambat laun sudah mulai terlupakan. Melewati
beberapa kali masa-masa menakutkan yang membahayakan jiwa. Namun
pengabdian tetaplah sebuah dedikasi. Pesan kepala kantorku begitu terngiang-
ngiang hingga detik ini. Maka aku pun tak pernah heran jika saat tsunami Aceh
dahulu, KPPN Khusus Banda Aceh berdiri paling awal menyalurkan bantuan
di sana. Dan saat di Palu sedang tertimpa musibah, KPPN tetap saja menjadi
instansi yang pertama membuka layanan di tengah segala keterbatasannya. Ya,
kantor pemerintah lainnya boleh saja tutup, tetapi tidak dengan KPPN.
252

Sebelas Ukhuwah di Atas


Tanah Terbelah
Casman, Kanwil DJBC Sumatra Bagian Barat

Matahari begitu teriknya menggoreng kepalaku hingga


menembus topi yang kupakai. Bedak debu dari lapangan Graha
Segara yang cukup tebal melapisi wajahku dengan lekatnya.
Alhamdulillah selesai sudah pemeriksaan tiga kontainer hari ini
setelah dua jam menjalaninya. Saatnya aku kembali ke posko
pemeriksa di gedung JICT 1, ditemani pak ojek yang setia
menanti di ujung pintu masuk lapangan ini.

Tangga lantai dua gedung JICT 1 memperhatikanku dengan


saksama ketika gawai di saku kananku tak hentinya memanggil,
bergegas aku mengangkatnya agar dia bisa berhenti berteriak.

“Assalaamu’alaikum, Mas”, di ujung sana, suara Wawan,


sahabatku yang juga bertugas di KPU Priok, menyapa.

“Wa’alaikumussalaam warahamatullahi wa barakaatuh”, jawabku


seraya mendoakan segala keberkahan baginya.

“Padang gempa, Mas, kantor rusak, kita diminta menggantikan


sementara peran pegawai di sana saat ini sehingga mereka bisa
mengurus keluarganya”, suara yang terdengar agak menggebu
tetapi agak terganggu dengan suara trailer dan mobil yang lewat.

“Siap berangkat, Mas? Kalau siap, sore ini kita terbang ke sana,
dari Priok langsung ke bandara?” Ia berkata lebih lanjut.
Perekat Indonesia 253

“Insyaallah siap, Bro, tapi apa kita tidak berganti pakaian dan pamit keluarga dulu
di rumah?” Tanyaku.

“Ini darurat, Mas, semua administrasi akan disiapkan rekan dari kantor pusat
mulai dari tiket, surat tugas, dan yang lainnya. Bagaimana, Mas?”

“Insyaallah saya siap“, jawabku semangat bercampur rasa sedih mendengar


kejadian gempa ini. Ya Allah, lindungilah semua saudaraku di sana.

Udara begitu sejuk pagi ini, awan yang membiru dan kicau burung yang samar
terdengar di antara deru kendaraan bermotor. Aku sampai di gedung B, Kantor
Pusat DJBC di Rawamangun. Di sinilah kami berjanji untuk berkumpul hari
ini sebelum berangkat bersama ke Bandara Soekarno-Hatta untuk selanjutnya
menuju Padang. Akhirnya sore kemarin diputuskan bahwa kami dapat pulang
dulu ke rumah dan berpamitan dengan keluarga serta mempersiapkan kebutuhan
sebelum berangkat karena qqdarulloh untuk hari itu semua tiket fully booked
sehingga kami tidak mendapatkan tiket.

Bermodalkan sebuah nomor telepon yang diberikan Wawan, koordinator tim


kami adalah Wing Hartopo dari Bagian Keuangan Kantor Pusat DJBC yang
akan mengatur semua akomodasi kami ke sana dan keperluan kami di sana.
Tiga pemuda yang sudah terlebih dahulu hadir di sana menyambutku dengan
senyuman hangat. Aku memberi salam dan menyapa mereka kemudian mereka
membalasnya dengan semangat. Aku tidak mengenal satu pun dari mereka. Kami
pun taaruf, saling memperkenalkan diri. Mereka adalah Iswandi, Seva, dan Ade
Hidayat, yang kemudian hari baru kutahu bahwa mereka adalah orang-orang luar
biasa di institusiku ini. Selang tak berapa lama Wing Hartopo hadir bergabung
bersama kami diikuti oleh anggota tim lainnya. Total anggota tim ini menjadi
sebelas orang.

Sang gagah Sriwijaya mendarat mulus di Bandara Internasional Minangkabau.


Ternyata kami dijemput Bang Hengki, salah seorang pegawai KPPBC Teluk
Bayur yang di perintahkan Pak Hilman Satria selaku kepala kantor di sana
untuk menjadi pemandu kami. Dari bandara kami diantar ke rumah dinas
kepala kantor untuk bermalam di sana. Sepanjang perjalanan kami disuguhi
pemandangan menyedihkan dampak dari gempa yang terjadi, rumah dan
bangunan yang hancur, jalanan yang terbelah, pohon-pohon yang tumbang,
belum lagi jumlah korban jiwa yang jatuh. Melihat kondisi itu membuat badan
254

Di sini kami yang sumuk semakin sumuk. Rencana diri


ingin segera mandi terpaksa dibatalkan karena
kami tak krisis air saat itu membuat kami harus bisa
bertahan untuk tidak mandi.
merasa ada
Esok harinya kami berangkat ke bandara
perbedaan untuk mulai bertugas. Tugas utama kami

antarunit adalah mendata dan menyiapkan kelengkapan


administrasi semua barang bantuan yang
ataupun masuk yang dikirim melalui pesawat-pesawat
perang negara sahabat seperti Malaysia,
instansi. Australia, dan lainnya yang hampir setiap

Gempa jam mendarat dengan durasi beberapa menit


untuk selanjutnya terbang kembali, juga
ini sudah menjaga jangan sampai ada pihak-pihak yang
memanfaatkan situasi ini untuk melakukan
menyatukan penyelundupan.

kami dengan Baru dua hari kami bergabung dalam tim

visi yang sebelas, tetapi ikatan yang kami rasakan begitu


dekat seperti sudah bertahun lamanya bersama.
sama, yaitu Mungkin kondisi juga yang mempersatukan
hati kami. Saat ini kami hanya fokus tentang
membantu bagaimana menjaga negara dan membantu

korban dan rekan-rekan di sini. Kami pun berbagi tugas


mulai dari mengurus masalah administrasi,
menjaga perizinan, sampai dengan pengawasan. Aku
bertugas sebagai koordinator pengawasan,
Negara. Penindakan Penyidikan (P2) yang tugas
utamanya adalah naik ke semua pesawat
perang tersebut untuk meminta dokumen
manifes atau minimal dokumen yang berisi
data barang yang diturunkan sebelum mereka
terbang kembali. Kami menikmati setiap tugas
yang dijalani dengan semangat, walau belum
mandi.

Banyak kenangan menarik yang kami alami


Perekat Indonesia 255

di sana. Bukan hanya makan bersama dari dapur umum sebagai ransum harian
kami ataupun susahnya air saat itu, tetapi banyak lagi hal menyenangkan yang
kami rasakan. Salah satunya adalah saat kami mengenal Mr. Steven, ground
marshall alias tukang parkir pesawat asal Australia. Kami mencoba menyapanya
dengan Bahasa inggris yang seadanya, tetapi ternyata dia menjawab dengan
fasih menggunakan bahasa sunda. Oh my God! Usut punya usut ternyata istrinya
memang urang Bandung asli.

Beberapa pengalaman menarik lainnya antara lain kami melihat bagaimana


bantuan dari Malaysia yang datang lengkap dengan kru TV 3 yang mengambil
perhatian sekitar karena cukup heboh ketika barang turun langsung
dilakukan wawancara di lokasi. Juga melihat bagaimana beberapa negara yang
menghadirkan pesawat perangnya untuk membawa bantuan mulai dari Hercules
sampai Antonov Rusia yang memuntahkan barang-barang dari tengan perutnya
yang terbelah dengan cepatnya, hanya hitungan menit. Mereka harus langsung
terbang lagi karena bandara yang tidak bisa dibilang besar ini harus melayani arus
padat pesawat-pesawat bantuan yang hilir mudik.

Bertugas di bandara ini kami tidak sendiri, tetapi bergabung dengan instansi
lain seperti TNI, Kementerian Sosial, pemerintah daerah, dan beberapa
instansi lainnya, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat seperti tim Aksi
Cepat Tanggap, Tagana, PMI, dan lain sebagainya. Di sini kami tak merasa
ada perbedaan antarunit ataupun instansi. Gempa ini sudah menyatukan
kami dengan visi yang sama, yaitu membantu korban dan menjaga negara.
Bahkan komandan dari posko TNI yang aku tahu berpangkat kolonel dengan
keramahannya bahu membahu dengan kami, baik dalam pengamanan ataupun
berkaitan data yang harus dilaporkan perkembangannya ke Presiden setiap
saat. Kadang aku mendapatkan jatah ransum TNI dari Beliau. Betapa indahnya
persatuan bangsa ini.

Tetiba turun satu pesawat perang yang agak berbeda. Selama ini, biasanya aku
harus langsung mengejar naik pesawat-pesawat perang tersebut sebelum pesawat
itu take off lagi, tetapi kali ini agak berbeda. Mereka tidak hanya menurunkan
barang-barang bantuan, tetapi juga sepasukan tentara berseragam loreng biru.
Mirip sih dengan jaket yang kami gunakan. Yang unik dan menjadi perhatian
kami adalah saat mereka mendarat, yang pertama segera mengambil air wudu
dan salat berjamaah masih lengkap dengan seragam PDL terpakai dan tas
dikumpulkan menjadi satu di depan imam. Setelah selesai salat, dua orang di
256

antara mereka masuk ke ruanganku. Salah seorang di antara mereka memberi


kami beberapa kotak piza, mungkin mereka paham bahwa kondisi saat ini
sulit untuk mendapatkan makanan yang layak. Tapi bukan piza itu fokus
perhatianku. Orang berseragam dan berjanggut panjang yang memberi salam dan
menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Ana Jenderal Khomis”, begitu dia memperkenalkan diri. Sebagai seorang


jenderal serta komandan tentara Qatar, Beliau sangat sopan, baik, dan tidak
sombong. Kami berbincang sejenak dengan menggunakan Bahasa Inggris
sampai akhirnya dia pamit karena akan langsung menuju wilayah terdampak
gempa. Ketika kami berjabat tangan, teman-teman berseloroh kepadaku bahwa
Jenderal Khomis sangat mirip denganku. Jenggotnya. Mereka tertawa sehingga
memaksaku ikut tersenyum juga. Menghilanglah beberapa bagian lelah kami saat
tersenyum bersama.

Waktu berjalan begitu cepat, malam pun tiba, saatnya kami untuk kembali.
Kegiatan yang tiada henti hari ini membuat badan kami menuntut untuk
diistirahatkan. Dalam mobil kami bersepakat sepertinya tidak bisa memaksakan
diri untuk melaju dari rumah dinas ke bandara setiap hari. Lebih baik mulai
besok kami tetap stand by di bandara dengan segala kondisi yang ada, minim air,
dan minim makanan. Dalam perjalanan pulang, tak jauh dari gerbang bandara,
kami melihat rambu lalu lintas yang menunjukkan arah masjid. Kami bergegas
menuju ke sana. Masjid ini terlihat sepi, kami hampir tidak menemukan seorang
pun di sini, tetapi Masyaallah, Allahuakbar, ternyata di masjid ini air sangat
berlimpah. Masjid ini adalah satu-satunya tempat yang kami temukan yang
airnya tidak kering. Kami akhirnya mandi dan menyegarkan diri di sini. Kami
salat bersama, tilawah bersama, dan menyatukan hati kami bersama dalam sebuah
lingkaran kecil penuh makna.

Ya Allah betapa manisnya ukhuwah ini. Kami yang minggu lalu belum saling
mengenal, sekarang menjadi satu hati yang tak terpisahkan. Ukhuwah telah
mengalahkan lelah, ukhuwah juga telah menghapus gundah, dan ukhuwah
juga yang menguatkan dakwah. Kutatap saudaraku satu per satu, wajah-wajah
tawadhu’ yang bersinar indah. Tak kuasa aku menahan diri mengatakan pada
mereka. Saudaraku, aku mencintai kalian semua karena Allah.
Perekat Indonesia 257

Pahlawan
Rahmatullah, KPPN Tanjung Selor - DJPb

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti


orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya
dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero.

Pahlawan adalah seseorang yang berpahala yang perbuatannya


berhasil bagi kepentingan orang banyak. Perbuatannya memiliki
pengaruh terhadap tingkah laku orang lain karena dinilai mulia
dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa, atau umat
manusia.

Berbicara mengenai pahlawan tidak lantas membuat kita


berpikir sempit bahwa sosok tersebut hanya ada di masa lalu
yang rela mati demi negara. Pahlawan di masa kini tentunya
tidak harus bersenjata perang dan tidak harus bercucuran darah.

Pahlawan-pahlawan tersebut dapat ditemukan di sekitar kita.


Tentunya dalam masa yang berbeda dan dengan perjuangan
yang berbeda pula. Ada guru atau dosen sebagai pahlawan
pendidikan, bertugas mendidik rakyat Indonesia. Saat kita
sakit ada dokter, sebagai pahlawan kesehatan yang membantu
kesembuhan kita, dan masih banyak pahlawan di bidang lainnya.

Pahlawan bukan hanya yang memiliki jabatan seperti contoh di


atas saja. Tukang becak pun layak menyandang gelar pahlawan
bagi keluarganya, anak-anaknya, atas perjuangannya dalam
mencari nafkah. Orang tua kita juga layak disebut sebagai
258

pahlawan karena rela berkorban serta berani memperjuangkan kebahagiaan


bagi sang buah hati. Dengan demikian, siapa pun dapat disebut pahlawan
jika ia merupakan sosok pemberani yang rela mengorbankan sesuatu bukan
sekadar untuk diri sendiri, tetapi keluarga, masyarakat, atau negeri tercintanya.

Demikian pula yang terjadi di Direktorat Jenderal Perbendaharaan,


Kementerian Keuangan. Masih teringat, saat aku pertama kali datang dan
bertugas di KPPN Manokwari pada tahun 2000 (saat itu masih bernama
KPKN Manokwari), aku mendapat cerita bahwa satu tahun sebelum aku
datang, kantor DPRD Kabupaten Manokwari (saat ini menjadi Hadi Mall)
dibakar massa akibat kerusuhan sosial. Peristiwa ini dipicu oleh adanya isu
salah seorang warga tertembak peluru aparat saat terjadi penurunan bendera
Bintang Kejora di depan halaman DPRD Kabupaten Manokwari. Massa
datang beramai-ramai mendatangi kantor DPRD. Berhubung letak KPPN
Manokwari bersebelahan dengan kantor DPRD, tentu terkena imbas dari
peristiwa tersebut.

Salah seorang pegawai yang kebetulan tinggal di mes yang terletak dalam
kantor, spontan keluar dan menghubungi beberapa rekannya. Rupanya massa
mulai menjarah barang-barang yang berada di dalam gedung KPPN. Sontak,
sambil menunggu rekan-rekan lain yang datang, ia mencoba menyelamatkan
beberapa berkas penting dan aset-aset yang bisa diselamatkan. Ia berjibaku
sendirian menyelamatkan dokumen-dokumen penting. Saat itu, pekerjaan
masih bersifat manual. Tentunya sangat berarti dalam proses pembayaran
tagihan kepada negara. Dalam suasana kacau dan massa yang beringas, ia
tidak menghiraukan keselamatan dirinya. Dalam benaknya, dokumen tersebut
sangatlah penting. Tidak lama, beberapa rekan lain dan beberapa aparat pun
berdatangan dan ikut membantu menyelamatkan dokumen-dokumen penting
dan aset-aset yang masih bisa diselamatkan.

Bagiku, beberapa pegawai KPPN Manokwari tersebut adalah pahlawan.


Dapat dibayangkan, dalam kondisi kacau dan massa yang tidak dapat
dikendalikan, serta kobaran nyala api, tindakan yang dilakukan oleh beberapa
pegawai tersebut tergolong sangat berani. Berkat keberanian dan kesigapan
mereka, beberapa dokumen penting dan aset-aset lainnya bisa diselamatkan.
Mereka layak mendapatkan penghargaan atas pengorbanan yang telah mereka
lakukan.
Perekat Indonesia 259

Nah, apakah kita juga sudah layak menjadi pahlawan? Silakan tanyakan ke diri
kita masing-masing, kebaikan apa yang sudah dilakukan sehingga kita layak
menyandang predikat pahlawan.
260

Pengabdian di Tengah
Bencana
Ahmad Iqbal Zakyuddin, Kanwil DJPb Provinsi Sulawesi Tengah

Hari itu adalah hari Rabu siang, tanggal 25 September 2018,


ketika aku secara resmi menduduki jabatan di Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Tengah,
suatu amanah yang akan menjadi pengalaman yang tidak akan
pernah terlupakan sepanjang hidup. Namun, ada hal yang cukup
mengherankan adalah ketika memutuskan untuk melakukan
web check in untuk penerbangan yang akan dilakukan esok
dini hari, entah mengapa hal yang pertama dilakukan adalah
melakukan pencarian akan musibah gempa yang pernah
melanda Kota Palu. Dari hasil pencarian tersebut ternyata Kota
Palu pernah mengalami gempa yang mengakibatkan kerusakan
yang cukup parah pada tahun 2005 dan ini cukup membuatku
ingin mengubah list dari beberapa item barang yang akan
dibawa.

Perjalanan di Kamis dini hari tanggal 27 September itu terasa


berat, tidak seperti biasanya. Walaupun perjalanan sejauh 2.747
km yang ditembuh selama 2,5 jam ini tidak ada apa-apanya
dibandingkan jarak yang memisahkan Jakarta-Edinburgh
ketika harus menuntut ilmu di sana. Ada rasa sayang yang harus
tertinggal, ada rindu yang mesti dipendam, dan ada bagian yang
tidak dapat mengiringi perjalanan ini. Perjalanan yang singkat
ini pun terasa lama dan tidak urung tiba di tempat tujuan.

Ketika akhirnya pesawat Batik Air ID-7585 mendarat pagi


Perekat Indonesia 261

itu di Bandara Mutiara SIS Al Jufri, ada asa baru yang menyeruak, rasa untuk
berkomitmen sepenuh hati untuk mengembang amanah yang telah diberikan.
Mentari pagi itu pun begitu hangat, seolah menyambut kedatanganku dengan
tangan terbuka dan berjanji akan begitu seterusnya. Ditambah dengan rencana
keluarga yang akan menyusul datang dan kondisi rumah dinas serta sekolah
untuk anak-anak yang sudah dipersiapkan sematang-matangnya dan hanya
tinggal menunggu waktu kedatangan mereka.

Akhirnya kaki ini bisa menjejakkan kaki di kantor yang akan menjadi tempat
mengabdi, hari pertama pun terlewati dan hari kedua yang jatuh pada hari Jumat
tanggal 28 September 2018 ini pun tampak seperti hari yang lain, terlewati
seperti biasanya sampai dengan pukul 14.30 ketika terjadi gempa yang cukup
mengagetkan kita semua di ruangan. Walaupun goncangannya tidak terlalu besar,
tetapi cukup membuat beberapa rekan kerja lekas keluar ruangan dan mencari
tempat yang aman. Website BMKG pun menjadi situs pertama yang diakses
untuk mendapat info lebih lanjut terkait gempa yang terjadi dan didapatkan
informasi bahwa gempa tersebut berkekuatan 5 SR yang terjadi di sekitar Kota
Palu.

Sore itu pun berlalu dengan lambat dan aku pun berniat untuk mengitari kota
selepas Isya untuk mengetahui lebih jauh tentang keindahan kota ini. Tempat
utama yang dituju adalah Pantai Talise dikarenakan ada festival yang sedang
dilangsungkan di daerah itu. Sepulang dari kantor pun tangki motor diisi
penuh karena rencana malam ini akan dihabiskan dengan berkeliling Kota Palu.
Sekitar pukul 17.40 aku pun tiba di rumah dinas dan ini adalah malam keduaku
menempatinya. Karena azan Magrib sudah sayup-sayup terdengar, aku pun
berniat berganti pakaian untuk kemudian mengambil wudu dan berangkat ke
masjid.

Ketika baru melepas pakaian untuk berganti dengan pakaian salat, pengalaman
yang tidak akan pernah kulupakan itu pun terjadi, gempa berkekuatan 7,4 SR
membuatku seketika berusaha bangkit dari posisi duduk dengan susah payah.
Ditambah dengan efek gempa yang membuat tubuh serasa diaduk-aduk dan
kepala pusing, serta menambah sulit usaha untuk sekadar keluar dari dalam
rumah. Setelah sekian lama gempa itu pun usai, aku pun terpaku karena masih
tidak percaya apa yang baru saja kualami. Akan tetapi untung aku segera sadar
karena ancaman belum usai, masih akan ada beberapa gempa susulan maupun
bencana lain yang kemungkinan akan melanda, yaitu tsunami.
262

Saat itu terasa Motor yang terjatuh tadi


pun dengan susah payah
sekali bahwa tidak didirikan kembali dan dicoba
untuk dinyalakan mesinnya.
ada sekat antara Jalanan depan rumah dinas

pegawai dengan pun sudah sepi karena warga


berhamburan menyelamatkan
warga sekitar, kami diri dengan berbagai macam
cara, akhirnya aku bisa
sama-sama tidur menaiki motor untuk mencari

beralaskan bumi tempat teraman dari bencana


ini, walaupun tidak tahu ke
dan beratapkan mana arah yang akan dituju.
Tempat pertama kali yang
langit dengan sama- dituju adalah kantor karena

sama hatinya diliputi


sepanjang dua hari ini aku
hanya menghabiskan waktu
kekhawatiran akan di sini dan hanya rekan-rekan
di kantor sajalah yang baru
datangnya gempa kukenal, sekalian memastikan
bahwa kondisi kantor kami
susulan yang lebih baik-baik saja.

besar. Perjalanan pun kulanjutkan


dengan tak tentu arah karena
tidak mengetahui ke mana
tempat teraman untuk
menyelamatkan diri. Akhirnya
setelah melewati perjalanan
yang panjang dan melelahkan,
maka sampailah aku di arah
bandara ditandai dengan
gapuranya yang sudah hancur
dan aku pun memilih tempat
itu untuk beristirahat, tanpa
mengetahui bahwa tempat
itu tidak jauh dari daerah
Perekat Indonesia 263

Petobo yang terkena bencana likuefaksi. Hal pertama yang dilakukan adalah
membentangkan ponco untuk melaksanakan ibadah salat Magrib dan Isya yang
dijamak karena belum sempat dilakukan saat evakuasi. Namun berada di tempat
ini pun belum terasa nyaman karena masih terjadi beberapa gempa susulan
yang terasa cukup keras, ditambah dengan suara tangisan bayi dan teriakan
ibu-ibu yang membuat suasana semakin mencekam. Malam itu menjadi malam
terpanjang yang pernah kualami, khawatir akan keselamatanku, juga tidak dapat
mengabarkan kondisiku kepada kerabat, ditambah sangat kecilnya kemungkinan
keluargaku untuk dapat menyusulku ke sini.

Tak terasa sang mentari sudah menampakkan dirinya, orang-orang yang


mengungsi pun berangsur-angsur meninggalkan tempat ini. Aku mencoba
untuk kembali ke kantor dan di sepanjang jalan baru disadari bahwa gempa ini
mengakibatkan kerusakan yang cukup parah di Kota Palu. Setibanya di kantor,
aku berjumpa dengan rekan-rekan yang alhamdulillah semuanya selamat dari
gempa, namun dengan ekspresi kekhawatiran yang beragam. Ditambah lagi
dengan situasi halaman kantor yang menjadi kantong pengungsian sementara
bagi warga sekitar karena dipandang relatif aman, membuat situasi kantor
menjadi ramai dan penuh dengan warga yang mengungsi. Kebutuhan logistik
menjadi kebutuhan yang paling utama saat itu, akhirnya dibukalah kotak
sumbangan yang menampung dana yang akan dipakai untuk membeli kebutuhan
logistik untuk kepentingan bersama. Seluruh logistik yang dimiliki oleh kanwil
maupun KPPN pun dikeluarkan, dari mulai bensin mobil dinas yang digunakan
untuk genset, air galon untuk minum bersama, tabung gas dari rumah dinas yang
digunakan untuk dapur umum, dan beberapa hal lain. Hari itu pun dilalui dengan
kesulitan karena terbatasnya logistik, listrik yang belum menyala, dan koneksi
telepon yang belum pulih. Untungnya, keadaan ini segera mendapat respons yang
cepat dari rekan-rekan Ditjen Perbendaharaan yang segera mengirimkan logistik
untuk menopang kehidupan kami pascagempa karena otomatis perekonomian di
Kota Palu ini lumpuh. Saat itu terasa sekali bahwa tidak ada sekat antara pegawai
dengan warga sekitar, kami sama-sama tidur beralaskan bumi dan beratapkan
langit dengan sama-sama hatinya diliputi kekhawatiran akan datangnya gempa
susulan yang lebih besar.

Akhirnya beberapa logistik yang dikirim pun tiba dan semuanya dikumpulkan di
salah satu ruangan yang kuncinya harus kami jaga dan tidak kami buat mencolok
karena masih maraknya penjarahan. Logistik kami ini ditambah dengan tenaga
264

untuk memasak dari warga sekitar membuat pengungsi di kantor tercukupi


kebutuhannya. Hal ini pun berlangsung beberapa hari dengan motivasi untuk
bisa selamat dari bencana ini.

Setelah beberapa hari, dengan inisiatif untuk memulihkan pelayanan dalam


kondisi darurat, maka kami pun berusaha untuk dapat menyelamatkan server
yang digunakan untuk pelayanan dan memanfaatkan sarana yang tersedia untuk
tetap dapat melakukan pelayanan yang terbaik walaupun risiko untuk melakukan
hal tersebut tidak dapat dianggap remeh. Ancaman gempa susulan yang terus
datang, sulitnya mengeluarkan peralatan yang akan digunakan untuk pelayanan
dari dalam gedung kantor, maupun terbatasnya listrik yang harus disiasati
semaksimal mungkin adalah tantangan yang ada. Akan tetapi, keinginan untuk
tetap dapat berkontribusi karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat
untuk orang lain membuat semua kekhawatiran itu menjadi sirna. Hari-hari
ke depan pun akan dilalui dengan pengalaman dan cara pandang yang berbeda
dengan tetap menjaga asa untuk tetap berkontribusi bagi negara ini, membuat
kami tetap bertahan di sini, dengan segala konsekuensinya.
Perekat Indonesia 265

Jangan Mencari Toleransi


di Indonesia
Made Krisna Aryawan, Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara

Aku menyelesaikan masa perkuliahan Program Diploma I


Kepabeanan dan Cukai pada Balai Diklat Keuangan Medan
dan dinyatakan lulus pada tahun 2003. Ketika menjalani On the
Job Training di Kantor Wilayah I Bea dan Cukai di Belawan,
terbitlah Surat Keputusan mutasi pertamaku dari Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Aku masih ingat, saat itu
aku bersama teman-teman satu angkatan sedang menjalani
Diklat Kesamaptaan di Pusdiklat Bea dan Cukai Jakarta.

Ketika pertama melihat surat mutasi itu, sebagian dari kami


menangis di barak. Kenapa? Sebagian dari kami mendapatkan
penempatan tugas di wilayah provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, sementara aku dapat penempatan di KPBC
Meulaboh, sebagian yang lain ada di wilayah Banda Aceh,
Sabang, dan Kuala Langsa. Saat itu di Nanggroe Aceh
Darussalam masih bergejolak karena Gerakan Aceh Merdeka.
Ditambah lagi ketika aku selesai Diklat Kesamaptaan dan
kembali ke Belawan, ada teman di kantor yang berasal dari Aceh
mengatakan, “Hati-hati kerja di sana, Bron, Aceh masih rawan
dan orang-orang Aceh paling benci sama orang Jawa.”

Ya Allah, bagaimana ini?

Dengan hati yang setengah was-was dan setengah pasrah,


aku pergi bersama rekanku, Suhrawardi Badrun dari Medan
menuju Meulaboh menggunakan pesawat perintis (SMAC) dari
Bandara Polonia.
266

Ternyata kisah di Meulaboh berbanding terbalik dengan apa yang ada di pikiranku
ketika mau berangkat dari Medan.

Sesampainya di Bandara Meulaboh, aku disambut oleh orang Aceh yang ramah
dan baik hati. Kami diantar dari bandara menuju rumah dinas Bea dan Cukai.
Selama perjalanan, orang itu menenangkan hati kami berdua.

“Adek-adek ini bukan orang Aceh asli ya? Tenang saja, Dek, di Meulaboh ini sudah
aman, gak ada yang namanya Gerakan Aceh Merdeka.”

Melewati kebun-kebun sawit, jari orang itu menunjuk beberapa orang selama
perjalanan sambil tersenyum berkata, “Itu dulunya anggota GAM, sekarang sudah
bertobat, kembali berkebun.”

Kemudian kami diantar dengan selamat oleh orang itu sampai di rumah dinas
Bea dan Cukai Meulaboh. Sesampainya di rumah dinas, kami juga disambut dan
diterima dengan baik oleh senior-senior yang kebetulan orang Aceh asli.

Selama bekerja di Meulaboh, masyarakatnya juga ramah-ramah. Selain orang Aceh


asli, ada juga orang Minang dan orang Jawanya. Kami berbaur dengan mereka dan
mereka pun mau menerima kami dengan baik. Kami kadang-kadang diajak keluar
malam oleh senior-senior untuk minum kopi (favoritku adalah kopi campur susu
dan telur) dan makan mi aceh serta menonton bola di warung kopi. Alhamdulillah
tidak terjadi hal-hal buruk dan kami baik – baik saja.

Sejak dulu inilah Indonesia, orang-orang yang berbeda suku dan agama dapat
hidup berdampingan dengan damai dan menjunjung tinggi toleransi. Sering kali
keadaan yang sebenarnya tidak seburuk sebagaimana yang diberitakan oleh media
massa.

Selama bekerja di Aceh, ada pengalaman yang tidak akan kulupakan sepanjang
hidup. Ketika itu pagi hari Minggu tanggal 26 Desember 2004. Pada hari Sabtu,
sehari sebelumnya kami yang tinggal di kompleks rumah dinas sudah berencana
bahwa pada hari Minggu akan berolah raga dengan lari pagi di Pantai Meulaboh.
Tetapi entah kenapa, pada malam harinya kami begadang dan tidur larut malam.
Sebagian dari kami ada sekadar ngobrol-ngobrol hingga larut malam dan sebagian
yang lain nyanyi sumbang dengan main gitar, tentunya dengan ditemani secangkir
kopi. Kemudian entah pukul berapa persisnya, mungkin sekitar pukul dua dini hari,
aku baru bisa tidur. Sebelum tidur aku sudah pasang alarm pukul lima pagi.
Perekat Indonesia 267

Tadinya kami mau Saat alarm berbunyi pertama


kali, hanya ku-pause kemudian
menuju ke situ, tidur lagi. Mungkin karena
mata yang terlalu lelah untuk
tetapi ketika mau terbuka, ketika alarm yang

melangkah, dari kedua pun hanya kumatikan


dan tidur lagi sampai terlewat
belakang masjid waktu salat Subuh.

datang ombak yang Ketika masih tertidur, aku


setengah bermimpi ada yang
tinggi, semua orang menggoyang-goyang badanku

yang berada di dan semakin lama semakin


kencang. Dalam tidur setengah
masjid ikut tersapu sadar, aku berpikir, “Ini saya
tidurnya ‘kan di lantai, kenapa
ombak. Akhirnya bisa digoyang-goyang?”

kami pasrah Seketika itu kupaksa diri untuk

berdiam diri di membuka mata dan ternyata


ada gempa bumi! Langsung
depan ruko tersebut. aku bangun keluar rumah dan
berkumpul di halaman bersama
Sementara posisi air teman-teman yang tinggal di

sudah setinggi dagu. kompleks rumah dinas Bea dan


Cukai. Gempa bumi ketika itu
sangat besar, seumur hidup baru
merasakan gempa bumi sebesar
dan selama itu. Saat itu, tiang
listrik yang besar dan terbuat
dari beton pun seakan mau
roboh.

Ketika gempa bumi telah selesai


(mungkin sekitar pukul tujuh
pagi), kami masih bertahan
di halaman kompleks rumah
dinas dan berbincang-bincang.
268

Antara takut dengan lega, ada yang ngomong pas gempa bumi sedang BAB dan
ada juga yang keluar cuma pakai sarung saja (langsung disambut tawa teman-
teman yang lain).

Tiba-tiba kami melihat orang-orang (jumlahnya banyak) berbondong-bondong


di jalan raya dari arah belakang rumah dinas menuju ke pusat kota sambil
teriak-teriak (tak kudengar jelas itu teriakan apa), kami pikir orang-orang itu
mau demonstrasi atau mau ada acara perkumpulan apa gitu. Tapi semakin lama,
jumlah orangnya semakin banyak. Karena penasaran aku pun melihat ke jalan
raya itu.

Astagfirullah...

Di jalan raya itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlari sambil berteriak,
“Air naik, air naik” dan di belakangnya mengikuti ombak besar berwarna hitam
kecoklatan bercampur serpihan kayu yang tinggi ombaknya melebihi tinggi
badan orang. Orang-orang tersebut beradu cepat berlari dengan ombak tersebut.

Seketika itu, aku berdua bersama temanku, Suhrawardi Badrun, langsung berlari
menghindari ombak tersebut. Sepanjang jalan, orang-orang pada panik sambil
menangis dan teriak teriak.

Ketika kami berlari, dari arah depan datang air laut, kami langsung berbelok arah
untuk menghindari ombak. Begitu terus sampai semua daratan yang kami lewati
terendam air.

Sambil berlari menyelamatkan diri, dalam hati terus membaca istigfar. Dalam
hati berdoa secara terus menerus, “Jika saat ini aku tidak diberi keselamatan,
ampuni dosa-dosaku, ya Allah.”

Badanku terasa lelah, sejauh mata memandang, daratan sudah terendam air
yang semakin lama semakin tinggi. Rasanya mau menyerah, tapi hati kecil ini
menyuruh untuk tetap berlari. Sampai pada akhirnya sudah tidak dapat berlari
lagi, air yang merendam sudah setinggi dada. Kami terjebak di depan deretan
rumah toko tiga lantai. Kami mencoba masuk ke ruko tersebut dengan tujuan
untuk naik ke lantai tiga atau atap lantai tiga, tetapi tidak bisa karena pintunya
terkunci.

Di sebelah kiri ruko, sekitar 100 meter ada sebuah masjid yang lantainya sekitar
Perekat Indonesia 269

dua meter dari permukaan jalan, banyak orang yang berkumpul di situ dan belum
terendam. Tadinya kami mau menuju ke situ, tetapi ketika mau melangkah, dari
belakang masjid datang ombak yang tinggi, semua orang yang berada di masjid
ikut tersapu ombak. Akhirnya kami pasrah berdiam diri di depan ruko tersebut.
Sementara posisi air sudah setinggi dagu.

Posisi air semakin tinggi dan badan sudah mau tenggelam, tiba-tiba terlihat akan
datang ombak yang sangat tinggi berbarengan dari sebelah kiri (belakang masjid)
dan sebelah kanan (bibir laut).

Astagfirullah...

Sudah tidak bisa bergerak ke mana-mana, aku pasti tenggelam dan sepertinya
akan mati.

Dalam hati, “Ya Allah, sepertinya sekarang aku akan mati, aku terima, ya Allah,
tapi ampuni dosa-dosaku.”

Qadarullah, ketika ombak-ombak tersebut sampai ke kami, tenggelam sekejap,


tiba-tiba pintu ruko tempat kami berdiam (rolling door dari besi) jebol terhempas
terbuka dan kami terlempar ke dalam bersama pintu tersebut. Kami langsung
bangun dan naik tangga menuju lantai tiga dengan selamat. Ketika itu air
langsung naik setinggi atap lantai dua.

Dari lantai tiga tersebut, kami memandang ke luar, seluruh daratan sudah
terendam air setinggi enam meter.

“Ya Allah, apakah ini mau kiamat?”

Ada banyak hikmah di setiap kejadian yang kita alami di dunia ini. Karena
kejadian ini, banyak orang di Banda Aceh dan Meulaboh yang kehilangan
nyawanya dan tak sedikit yang kehilangan keluarga dan hartanya. Tetapi seluruh
warga negara Indonesia jadi semakin bersatu, terbukti langsung bahu-membahu
memberikan doa dan bantuan kepada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
yang terkena bencana. Demikian juga masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
yang selamat dari bencana, mereka semakin menghargai perbedaan, tidak ada lagi
Gerakan Aceh Merdeka, dan semakin taat menjalankan agamanya, yaitu dengan
Perda syariatnya. Toleransi itu sudah ada dan terpelihara sejak dulu, kenapa kita
harus mencarinya?
270

SI
KRA
M DEMO
ALA
I D
U S
B
RI
NT
KO
Perekat Indonesia 271

“Demokrasi penting. Kebaikan


bersama (common good) adalah
sasaran kita. Mari kita pastikan
demokrasi membawa kebaikan
bersama.”

Susilo Bambang Yudhoyono


272

Bersama Tak Harus Sama


Drajad Ulung Rachmanto, KPP Pratama Boyolali- DJP

Memasuki tahun politik, selalu ada cerita-cerita menarik. Pesta


demokrasi lima tahun sekali ini memang kerap menyuguhkan
ragam isu yang menjadi tren tersendiri. Tepatnya pada tanggal
17 April 2019, aku dan seluruh rakyat Indonesia menggunakan
hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta
anggota Legislatif.

Aku bekerja di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama


Boyolali. Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka aku
dituntut untuk menjaga netralitas. Tidak diperkenankan
secara terang-terangan untuk menyatakan dukungan kepada
salah satu pasangan calon tertentu. Baik melalui kampanye
langsung ataupun hanya sekadar berupa simbol-simbol seperti
mengacungkan jari atau penggunaan simbol lain yang berkaitan
dengan salah satu pasangan calon. Semakin berkembangnya
teknologi, maka banyak ditemui kampanye terselubung di
media-media sosial. Tak sedikit pula berita-berita bohong
tersebar, debat antarwarganet semakin menjadi-jadi, dan apabila
dibiarkan, bisa memecah belah bangsa. Setiap orang memiliki
pendapat dan masing-masing akan mempertahankannya.
Terlebih apabila orang tersebut sudah terlalu fanatik terhadap
salah satu pasangan calon, maka dia akan membela mati-matian
pasangan calon tersebut tanpa melihat dari sudut pandang dan
kenyataan lain.
Perekat Indonesia 273

Sebagai warga Tak sedikit pula yang saling mencaci-maki,


menghina, dan menjelekkan sesama hanya
negara dan karena beda pandangan politik. Tentu
saja hal tersebut membuat kita khawatir.
rakyat yang Apabila semakin berlanjut, maka hanya

baik, kita akan menuai hal-hal buruk yang tidak


bermanfaat. Karena meskipun beda pilihan,
tetap harus kita tetap satu Indonesia. Di media sosial
orang-orang lebih gencar menyuarakan
menggunakan pendapat mereka, bahkan ada hal-hal yang

hak pilih mengkhawatirkan karena ada beberapa


oknum yang menyebarluaskan konten
karena masa negatif dan provokatif. Parahnya, sering
kali berita-berita tersebut diterima secara
depan bangsa mentah-mentah oleh banyak orang tanpa

ada di tangan
melakukan verifikasi, apakah berita itu
benar atau tidak. Alhasil banyak kita temui,
kita. antara manusia satu dengan manusia lain
pun akan saling berkomentar buruk yang
berdampak pula ke dunia nyata.

Kita mesti berpikir jauh ke depan karena


Pemilu, khususnya Pilpres merupakan
sebuah pesta demokrasi yang diadakan
rutin setiap lima tahun sekali sehingga
perpecahan antarmasyarakat yang dapat
merugikan itu tidak diperlukan. Ketika
Pemilu selesai, maka yang tersisa hanyalah
kebencian antartetangga dan sifat-sifat
negatif lainnya. Padahal kita tidak dapat
apa-apa dari hal-hal provokatif tersebut.
Misalnya, kita berbeda pendapat dan
pilihan dengan tetangga kita sehingga
hubungan tidak lagi berjalan harmonis,
namun bukankah ketika kita sakit, tetangga
kita itulah yang paling dekat dan paling
mampu untuk menolong kita? Mungkin
274

orang lain bisa, tetapi tetanggalah yang memiliki keleluasaan untuk segera
berhubungan dengan kita secara langsung, cepat, dan tanggap. Maka permusuhan
dan perpecahan hanya karena beda pendapat itu tidak dibenarkan. Karena
kebersamaan lebih dari segalanya. Dan apabila ingin mendukung, boleh saja,
asal dengan cara yang lebih elegan dan bermanfaat. Bukan saling menjatuhkan,
tetapi dengan berusaha untuk meyakinkan masyarakat melalui visi dan misi yang
dicanangkan.

Beberapa hari lalu ketika aku sedang ngopi bersama teman, dia tiba-tiba
membahas tentang Pilpres. Dia ternyata aktif untuk mendukung salah satu
calon melalui media sosial, entah dengan cara membangun opini melalui tulisan
ataupun sekadar berkomentar buruk terhadap lawan dari pasangan calon yang
didukungnya. Aku yang diajaknya berdiskusi tetap menghargai tanpa ada maksud
untuk mengiyakan atau menolak pendapatnya. Selama apa yang dia bicarakan
itu benar, maka aku tetap menerima dan menghargainya. Namun apabila dia ikut
menyebarkan isu yang belum pasti kebenarannya, maka aku tetap mengingatkan
dengan sopan dan tidak bermaksud menggurui. Pada intinya aku menghindari
sebuah perdebatan karena bagiku debat semacam itu tidak akan ada habisnya.
Yang ada hanyalah rasa benci ataupun jengkel terhadap teman sendiri. Maka
aku lebih memilih mengalah untuk keutuhan persahabatan. Aku juga tidak
memberitahukan pasangan calon mana yang aku dukung sehingga kita hanya
sebatas bertukar pikiran dan pendapat saja.

Beberapa teman di luar PNS memang sering kali secara terang-terangan


menyatakan dukungan kepada salah satu calon. Dan mereka berkontribusi paling
gencar di media sosial sehingga tak jarang komentar mereka selalu muncul di
kolom komentar akun-akun publik. Meskipun kadang gatal ingin membalas,
tetapi aku harus tetap menjaga komitmen untuk bersikap netral. Sebenarnya aku
ingin berkomentar, bukan dalam hal menyatakan dukungan atau menyudutkan
salah satu pasangan calon, tetapi sepertinya akan lebih baik jika aku diam saja.
Karena aku sadar apabila tidak bisa memberi kata yang baik, maka lebih baik
diam.

Aku juga menolak segala atribut yang diberikan oleh partai-partai peserta
Pemilu. Meskipun ada tetangga yang menjadi calon legislatif atau orang-orang
dekat yang menjadi tim kampanye. Di rumah, nenekku memiliki warung usaha
minuman kecil-kecilan. Di situ tidak diperbolehkan untuk dipasangi spanduk,
stiker, bendera, atau atribut apa pun karena aku tidak ingin terlibat dalam
Perekat Indonesia 275

kampanye politik. Meskipun demikian, aku tetap menggunakan hak pilih dengan
sebaik-baiknya sesuai asas Pemilu.

Sebagai warga negara dan rakyat yang baik, kita tetap harus menggunakan hak
pilih karena masa depan bangsa ada di tangan kita. Memilih sesuai dengan
hati nurani, bukan karena terprovokasi oleh isu-isu dan berita bohong yang
menyesatkan. Meskipun pilihan kita beda, kita mesti menjaga persatuan dan
kesatuan bersama-sama. Karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar,
maka kita harus bersatu untuk mewujudkan Indonesia yang lebih berjaya. Tak
perlu melakukan hal-hal besar, tetapi cukup memulainya dari hal-hal kecil dan
dari diri sendiri terlebih dulu. Aku yakin kita mampu berjalan berdampingan
karena bersama tak harus sama.
276

Bergeser Tempat Duduk

Ahmad Dahlan, KPP Penanaman Modal Asing Enam - DJP

Prolog

Dua orang murid laki-laki dan perempuan sedang berdebat.


Mereka sedang mengerjakan soal matematika yang
diberikan oleh gurunya. Keduanya bersikeras dengan cara
penghitungannya masing-masing.

Si laki-laki bertahan dengan pendapatnya bahwa cara


penghitungannyalah yang paling benar dan menganggap cara
penghitungan si perempuan salah. Pun demikian dengan si
perempuan. Dia bersikeras bahwa caranyalah yang paling benar.
Penghitungan si laki-laki adalah salah.

Begitu terus tanpa ada yang mau mengalah. Bahkan keduanya


saling ejek dan menganggap bodoh lawannya. Sampai kemudian
gurunya datang.

Melihat muridnya bertengkar saling mempertahankan egonya,


sang guru hanya tersenyum. Lalu menyuruh keduanya duduk
saling berhadapan. Di tengahnya diletakkan sebuah bola. Bola
itu memiliki dua sisi dengan warna yang berbeda, hitam dan
putih.

Sisi yang berwarna hitam dihadapkan kepada murid laki-laki.


Sisi putih ke perempuan. Lalu, kepada murid laki-laki sang
guru bertanya, apa warna bola itu. Dengan mantap dan penuh
Perekat Indonesia 277

keyakinan, si laki-laki menjawab, “Hitam”.

Mendengar jawaban hitam, si perempuan tertawa mengejek, “Bagaimana


ceritanya bola putih begini dibilang hitam?” Si laki-laki balik mengejek, “Dasar
mata buta, bola hitam dibilang putih.” Guru masih saja senyum-senyum.

Lalu sang guru menyuruh kedua murid yang masih terus saling ejek itu bertukar
posisi. Si laki-laki duduk menghadap sisi bola berwarna putih. Si perempuan
menghadap bola sisi hitam. Kemudian guru bertanya apa warna bola kepada
murid perempuan. Sambil tersenyum, si perempuan menjawab, “Hehe… hitam,
Bu.” Sambil senyum-senyum pula si laki-laki menjawab, “Hihi... putih, Bu.”

***

Sejak menjelang Pemilu 2014 lalu, masyarakat kita seperti terbelah. Sebelah
mendukung Capres A, sebelah yang lain mendukung Capres B. Pemilu usai.
Salah satu Capres terpilih jadi presiden. Tapi masyarakat tetap terbelah. Bahkan
makin lebar. Hingga bertahun-tahun.

Sialnya, Pemilu 2019 ini, Capres yang bertarung sama seperti 2014 lalu. Maka
pertentangan itu masih terus terjadi. Bahkan makin panas. Mungkin akan
berlangsung terus, meskipun Pemilu 2019 telah usai.

Apa yang dilakukan oleh salah satu Capres atau oleh tokoh pendukung Capres,
akan selalu salah dinilai oleh pendukung Capres lainnya. Hal-hal sepele selalu
dibesar-besarkan. Dijadikan olok-olokan tiap hari di medsos. Bahkan terkadang

Dan di lain tempo, saat


argumentasinya terpatahkan
oleh lawan, alih-alih mengakui
kekalahan, yang ada malah
perasaan dendam untuk bisa
menjatuhkan lawan pada debat
berikutnya.
278

hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kedua Capres pun akan dikait-
kaitkan. Dijadikan senjata untuk menyerang lawan.

Aku pernah berada di salah satu sisi yang terbelah itu. Sangat ekstrem. Melihat
apa yang dilakukan pihak lawan akan selalu tampak buruk. Hampir setiap hari
berdebat di medsos dengan teman sendiri yang berada di posisi ekstrem lawan.
Masing-masing mempertahankan egonya. Merasa paling benar.

Hasilnya? Tak ada. Kecuali perasaan gagah perkasa ketika memenangkan debat.
Dan di lain tempo, saat argumentasinya terpatahkan oleh lawan, alih-alih
mengakui kekalahan, yang ada malah perasaan dendam untuk bisa menjatuhkan
lawan pada debat berikutnya. Lebih buruk lagi, hati selalu diliputi prasangka
negatif.

Sampai kemudian seorang kawan memberi saran. Bahwa apa yang selama ini kita
pegang erat-erat sebagai sebuah kebenaran, terkadang hanyalah persepsi balaka.
Hanya masalah sudut pandang. Maka cobalah menggeser tempat duduk. Melihat
sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Hasilnya akan lain.

Maka sekarang, ketika melihat hal-hal yang sedang ramai diperdebatkan,


aku mencoba menggeser sudut pandang agar menjadi agak ke tengah. Dan
hasilnya jadi lebih objektif. Yang selama ini tampak buruk, tak selalu demikian
kenyataannya.

***

Epilog

Mempunyai kecenderungan terhadap salah satu pasangan calon, baik calon


presiden, kepala daerah, maupun calon anggota legislatif, adalah keniscayaan.
Namun sebagai anggota Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebuah
pelanggaran jika kecenderungan tersebut ditampakkan dalam bentuk perbuatan.

Berkaitan dengan hal sebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan


Reformasi Birokrasi (MenPANRB), Asman Abnur, pada tanggal 27 Desember
2017 telah mengirimkan surat kepada para pejabat Negara, mulai Menteri
Kabinet Kerja hingga Gubernur dan Bupati/Wali Kota mengenai pelaksanaan
netralitas ASN.
Perekat Indonesia 279

Dalam surat tersebut, MenPANRB juga mengutip ketentuan dalam Peraturan


Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik PNS.

Berikut contoh larangan dimaksud.

1. PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait


rencana pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala
daerah/wakil kepala daerah.

2. PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya


atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah.

3. PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon kepala


daerah/wakil kepala daerah.

4. PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon kepala daerah/wakil


kepala daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan
calon/atribut partai politik.

5. PNS dilarang mengunggah, menanggapi, atau menyebarluaskan


gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon kepala daerah melalui
media online, termasuk media sosial.

6. PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon kepala


daerah/wakil kepala daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan
yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan.

7. PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan


partai politik.
280

BE L AJAR
JAR
E JA
S
Perekat Indonesia 281

“Pendidikan bukanlah proses


alienasi seseorang dari
lingkungannya, atau dari potensi
alamiah dan bakat bawaannya,
melainkan proses pemberdayaan
potensi dasar yang alamiah
bawaan untuk menjadi benar-
benar aktual secara positif bagi
dirinya dan sesamanya.”

Butet Manurung
282

Bukan Mengajar, Kami


Belajar
Teddy Ferdian, KPP Pratama Subulussalam - DJP

Tahun 2017 merupakan awal aku berkenalan dengan


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mengajar. Tepatnya sekitar
empat bulan setelah Surat Keputusan (SK) yang membawaku
mutasi ke tanah rencong, “Bumi Sada Kata”, Kota Subulussalam.
Berawal dari niatan hati ingin memperkenalkan kota
Subulussalam ke seantero penjuru negeri, aku memberanikan
diri mendaftar sebagai Koordinator Kota Subulussalam untuk
Kemenkeu Mengajar 2. Kemenkeu Mengajar sendiri merupakan
program kegiatan Kemenkeu yang bersifat kerelawanan, dalam
artian seluruh rangkaian kegiatan menggunakan dana yang
murni dari relawan. Kegiatan sendiri menitikberatkan pada
upaya memperkenalkan Kemenkeu kepada peserta didik di
tingkat Sekolah Dasar (SD) untuk lebih mengenal profesi yang
ada di Kemenkeu serta memotivasi siswa untuk menggapai cita-
cita mereka.

Mengenal “Bumi Sada Kata”

“Bumi Sada Kata” merupakan julukan dari Kota Subulussalam,


kota di ujung selatan provinsi Aceh. Subulussalam merupakan
kota termuda di provinsi Aceh yang baru terbentuk pada tahun
2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007
tanggal 2 Januari 2007. Kota ini merupakan hasil pemekaran
Kabupaten Aceh Singkil. Percaya atau tidak, kota dengan lebih
kurang 82.000 penduduk ini merupakan kota terluas keempat di
Indonesia dengan luas wilayah 1.391 km2.
Perekat Indonesia 283

Faktanya masih banyak orang yang tidak mengetahui tentang eksistensi kota
ini. Tidak dapat disalahkan memang karena di peta terbitan lama kita tidak
dapat menemukan letak kota Subulussalam. Sehingga tidak mengherankan jika
banyak orang yang tidak familier dengan nama kota Subulussalam. Jangankan
masyarakat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, bahkan orang Aceh
sendiri masih ada yang tidak mengetahui ada kota bernama Subulussalam di
provinsi Aceh.

Hal ini menjadi alasan utamaku untuk mencoba peruntungan mendaftarkan


kota Subulussalam sebagai salah satu kota penyelenggara kegiatan Kemenkeu
Mengajar. Bak gayung bersambut, Subulussalam pun terpilih sebagai salah
satu dari 51 kota/kabupaten tempat terselenggaranya kegiatan tahunan kedua
Kemenkeu Mengajar. Bersama Banda Aceh, Subulussalam menjadi wakil
provinsi Aceh dalam perhelatan Kemenkeu Mengajar 2.

Kemenkeu Mengajar 2 Subulussalam

Alhamdulillah Kemenkeu Mengajar 2 di kota Subulussalam berjalan lancar


pada tanggal 23 Oktober 2017 di tengah keterbatasan yang ada. Pertama,
keikutsertaan kota Subulussalam ternyata kurang menarik minat para relawan
untuk mendaftarkan diri menjadi relawan Kemenkeu Mengajar di Subulussalam.
Bagi mereka mungkin nama Subulussalam masih terdengar asing sehingga
belum menjadi pilihan. Alhasil, hanya dua relawan yang mendaftarkan diri
sebagai relawan pengajar. Mereka pun adalah teman sekantor di KPP Pratama
Subulussalam dan mantan pegawai KPP Pratama Subulussalam.

Keterbatasan kedua adalah kepanitiaan. Tidak seperti kota lain, penyelenggara


Kemenkeu Mengajar 2 di Subulussalam tidak ada kantor unit Eselon I
Kementerian Keuangan yang lain, hanya ada KPP Pratama Subulussalam.
Hal ini mengakibatkan kepanitiaan hanya terdiri dari para pegawai di KPP
Pratama Subulussalam. Bersyukurnya, ternyata banyak rekan di KPP Pratama
Subulussalam yang berminat ikut serta dalam kepanitiaan. Ketiga, sebagai efek
dari keterbatasan jumlah pengajar, kegiatan hanya bisa dilaksanakan di satu
sekolah, itu pun panitia ada yang berperan sebagai pengajar dan dokumentator
untuk mengisi kekurangan pengajar.

Surprisingly kegiatan dapat berjalan lancar dan sukses. Gembira sekali melihat
wajah penuh senyum semringah dan tawa merekah di sudut bibir mungil anak-
284

anak saat menerima kedatangan sekelompok


orang yang sebenarnya asing bagi mereka.
Adalah tugas
Tidak tampak raut wajah khawatir di ekspresi
mereka. Hal ini yang menambah semangat
kita untuk
kami dalam menghidupkan suasana di kelas. mengantarkan
Kemenkeu Mengajar 3 Pulau Banyak mereka
Berkaca pada pergelaran Kemenkeu Mengajar meraih cita-
2 Subulussalam, tebersit dalam hati dan
benakku untuk menghadirkan kegiatan yang
cita mereka.
lebih baik lagi di tahun depan dengan tetap
menonjolkan daerah tempatku bekerja ini.
Rasanya ada yang kurang dari perhelatan
Kemenkeu Mengajar 2 Subulussalam. Aku
ingin kegiatan yang lebih menarik minat
banyak kalangan dan melibatkan pegawai dari
Eselon I lain di luar DJP dan unit kerja yang
jauh dari Subulusalam.

Diskusi dengan beberapa teman mengarah


pada pemilihan alternatif tempat kegiatan
untuk tahun berikutnya. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya aku merasa bagus juga
untuk mengusulkan kegiatan di Pulau Banyak,
Aceh Singkil. Lokasinya tidak jauh dari
Subulussalam, namun lokasi di pulau berjarak
lebih kurang empat jam perjalanan membelah
lautan ini menjadi tantangan sendiri bagi kami
pastinya. Dalam kegiatan tersebut, aku ingin
mencoba peran lain sebagai relawan pengajar.

Sebagai langkah awal mewujudkan niat


tersebut, aku mencoba berkoordinasi dengan
Kepala Kantor Penyuluhan, Pelayanan,
dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Aceh
Singkil yang akhirnya setuju untuk menjadi
Koordinator Kota Kemenkeu Mengajar 3
Perekat Indonesia 285

Pulau Banyak, Aceh Singkil. Aku pun memulai peran baru sebagai relawan
pengajar. Tantangan berbeda pun kami hadapi mulai saat itu.

Sesuai harapan, ternyata Kemenkeu mengajar 3 Pulau Banyak cukup mendapat


respons dari pegawai Kementerian Keuangan, tidak hanya DJP, tetapi juga
teman-teman dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN), dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
(BPPK) turut bergabung, bahkan ada teman dari Jakarta yang ikut serta. Total
24 relawan pengajar, dokumentator, dan panitia yang terlibat. Kami bergabung
dengan 63 kota/kabupaten lain di Indonesia yang turut menggelar Kemenkeu
Mengajar 3. Kegiatan pun dapat dilaksanakan di dua sekolah.

Sama seperti pengalaman di tahun lalu, interaksi dengan siswa-siswi di Pulau


Banyak pun berjalan dengan penuh keceriaan. Bedanya kali ini aku merasakan
langsung aura kebahagiaan di dalam kelas selama kegiatan berlangsung. Hanya
dalam waktu singkat, seluruh relawan dan para siswa serta guru dapat membaur
selayaknya sudah saling kenal untuk waktu yang lama. Keceriaan yang bukan
hanya milik para relawan, tetapi juga seluruh siswa dan guru. Tatapan mata
bahagia terpancar dari wajah-wajah mungil para siswa. Rasa bangga dan
haru pun terlihat jelas di wajah para relawan. Satu hari yang semoga menjadi
pengantar cita-cita anak bangsa untuk Indonesia tercinta.

Pelajaran dan Pengalaman Berharga

Ketika mendengar kegiatan yang kami laksanakan di Kemenkeu Mengajar, setiap


orang pasti akan mengatakan bahwa kami mengajar di sana. Pendapat ini tidak
salah, namun tidak sepenuhnya benar. Nyatanya kami banyak belajar dari pada
mengajar. Pertama, kami belajar mencintai negeri ini dengan mengeksplorasi
keindahan ujung barat ibu pertiwi. Kami belajar bahwa ada kota atau kabupaten
kecil di negeri ini yang memiliki harapan untuk bangkit dengan banyaknya
anak-anak cerdas dengan cita-cita yang luar biasa. Adalah tugas kita untuk
mengantarkan mereka meraih cita-cita mereka.

Kedua, kami belajar bahwa Kemenkeu adalah organisasi yang besar dengan
banyak unit Eselon I di dalamnya. Sinergi antarunit mutlak diperlukan untuk
lebih menguatkan Kemenkeu. Dari Kemenkeu Mengajar, kami dapat berinteraksi
dengan saudara-saudara kami lintas unit Eselon I. Saling berbagi dan saling
menguatkan menjadi bagian dari silaturahmi kami selama kegiatan.
286

Ketiga, kami belajar bahwa banyak teman-teman pegawai Kemenkeu yang rela
mengorbankan materi, tenaga, dan waktu untuk berbakti pada negeri. Hal ini
terbukti dari jumlah relawan dan kota/kabupaten penyelenggara yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Tidak melihat jabatannya, mereka mau turun
untuk terlibat langsung dalam kegiatan ini. Satu hari menggantikan peran guru
di sekolah bukanlah hal yang mudah. Namun semua dijalani dengan penuh
semangat dan keceriaan.

Masih banyak pelajaran berharga dari partisipasi dalam Kemenkeu Mengajar.


Pelajaran yang pastinya tidak didapat dari jalur formal di bangku sekolah
ataupun kuliah. Belajar mencintai negeri ini dan peduli terhadap kelangsungan
ibu pertiwi. Menanamkan semangat cinta tanah air pada generasi penerus serta
mengantar mereka menggapai cita-cita, menjadi pengalaman dan pelajaran
berharga. Generasi penerus yang kelak akan menjadi generasi emas Indonesia
untuk bersaing di kancah dunia. Inilah yang kami dapat dari Kemenkeu
Mengajar, “Bukan Mengajar, Kami Belajar”.
Perekat Indonesia 287

Semangat Berbagi, Menebar


Inspirasi
Drajad Ulung Rachmanto, KPP Pratama Boyolali - DJP

“Dari Kami Untuk Negeri”, sebuah tulisan yang terpampang


menghiasi dinding-dinding sekolah yang bakal dikunjungi,
menjadi penyemangat tersendiri untuk berbagi dan menyalurkan
semangat lintas generasi. Sebuah komitmen dan inovasi dalam
upaya memperluas wujud pengabdian dan bakti kita untuk
negeri sebagai wujud sebuah kebanggaan.

Kementerian Keuangan selalu memiliki inovasi dalam hal


pengabdian masyarakat. Dan Kemenkeu Mengajar adalah
salah satu wujud nyata sebuah pengabdian melalui berbagi
hal-hal positif yang dilakukan bertepatan dengan peringatan
Hari Oeang. Hingga tahun 2018 Kemenkeu Mengajar
telah dilaksanakan tiga kali di berbagai kota. Dipelopori
pada kesuksesan Kemenkeu Mengajar 1 sehingga kegiatan
inspiratif ini mampu berkembang pesat dan menyebar luas guna
menebar manfaat positif. Tepat pada tanggal 22 Oktober 2018
dilaksanakan Kemenkeu Mengajar 3 secara serentak di berbagai
kota di Indonesia. Kemenkeu Mengajar ini memberikan
informasi seputar peran dan seluk beluk Kementerian
Keuangan yang dikemas secara menarik untuk diterima oleh
adik-adik di Sekolah Dasar. Karena pengenalan akan sesuatu
yang positif memang harus dilakukan sejak dini. Dan inilah
salah satu bentuk komitmen Kementerian Keuangan dalam
mempersiapkan dan mencetak generasi muda yang berkualitas
di masa mendatang.
288

Kota Bandung menjadi tempat yang kupilih untuk mengenyam cerita-cerita


keseruan Kemenkeu Mengajar 3. Aku sendiri sudah mengikuti kegiatan
Kemenkeu Mengajar ini sebanyak dua kali. Pertama kali aku mengikuti
Kemenkeu Mengajar 2 di kota Semarang dan aku bertekad untuk terus menjadi
bagian dari relawan Kemenkeu Mengajar ini, tepatnya sebagai relawan pengajar.

Mengapa memilih Bandung? Karena bagiku, Bandung termasuk kota yang


romantis. Setiap sudut kota yang dinamis selalu memberikan kesan optimis.
Menjadi angin segar tersendiri mengingat banyak hal perlu diselami. Dari
kuliner, budaya, wisata, lingkungan, dan lebih banyak lagi yang bisa kita jadikan
inspirasi. Aku berkeinginan untuk terus menjadi relawan Kemenkeu Mengajar
dengan berpindah-pindah kota, merekam sebuah jejak perjalanan yang kelak
akan memberikan sebuah makna dan cerita. Memahami bahwa Indonesia itu luas
dan ada banyak nilai-nilai yang berjalan selaras. Hidup berdampingan di antara
banyak perbedaan, tetapi tetap mengedepankan persatuan dengan semangat
keberagaman. Perbedaan itulah yang membuat Indonesia indah dan berjaya
yang mesti dipupuk dengan rasa syukur sebagai aset yang perlu dijaga. Maka
yang telah kuat, jangan terlemahkan oleh berbagai gesekan kepentingan. Sudah
selayaknya sebagai generasi muda harus mampu berperan aktif dalam merawat
kebinekaan.

Kemenkeu Mengajar ini adalah salah satu sarana dalam menyalurkan semangat
keberagaman. Bagiku, banyak hal yang bisa dilakukan dalam upaya bakti untuk
negeri. Sebuah aksi nyata dalam hal berbagi. Dan selama itu bermanfaat, sekecil
apa pun peranku, maka aku akan tetap berjalan maju penuh semangat.

Menjadi relawan pengajar bagiku sangat menyenangkan. Meskipun segala


akomodasi ditanggung sendiri itu tidak menyurutkan semangat dalam berbagi.
Banyak hal yang bisa dibagi, misalnya tentang tugas pokok dan fungsi sehari-
hari sebagai bagian dari keluarga besar Kementerian Keuangan, nilai-nilai
Kementerian Keuangan, cita-cita, nasionalisme, dan lain sebagainya. Mulai dari
hal-hal kecil hingga manfaat yang lebih besar. Tak sedikit pula cerita menarik
yang ditemui selama menjadi relawan dan canda tawa selalu menjadi bumbu yang
mengesankan.

Relawan dalam Kemenkeu Mengajar terbagi menjadi beberapa bagian, antara


lain koordinator daerah, koordinator sekolah, fasilitator, relawan pengajar, relawan
dokumentator, dan lain sebagainya. Aku sendiri memilih untuk menjadi relawan
Perekat Indonesia 289

Aku pengajar karena aku ingin terjun langsung di


kelas bersama adik-adik Sekolah Dasar. Bagiku
berkeinginan semua bagian penting dan saling menunjang
satu sama lain. Aku memilih untuk menjadi
untuk terus pengajar karena aku ingin berinteraksi secara

menjadi langsung dengan adik-adik sekolah dasar,


ingin merasakan menjadi seorang pengajar
relawan yang mampu mentransfer ilmu dan melatih
komunikasi secara kontinu. Karena komunikasi
Kemenkeu dengan adik-adik akan sedikit berbeda

Mengajar mengingat setiap harinya aku dihadapkan pada


masalah-masalah yang lebih kompleks dan
dengan tentu ini menjadi tantangan sendiri yang patut
untuk dicoba dan ditaklukkan.
berpindah- Menjadi relawan pengajar tentu tidak mudah.
pindah kota, Banyak hal yang mesti dipersiapkan, mulai dari

merekam segi materi hingga tata cara berkomunikasi.


Kadang apabila kita kurang tepat dalam
sebuah jejak berbicara, maka si penerima pesan–dalam
hal ini adik-adik, juga akan mendapatkan
perjalanan informasi yang kurang tepat pula. Maka

yang kelak
komunikasi harus dibangun sedemikian
rupa agar dapat dipahami oleh adik-adik
akan dengan tetap esensi dari sebuah materi
itu sendiri. Terlebih tantangan juga sangat
memberikan kompleks. Menjadi guru dalam sehari ternyata
tidak semudah yang dibayangkan. Banyak
sebuah kejadian-kejadian lucu ataupun kejadian yang

makna dan membuat kita harus lebih bersabar dalam


menghadapi adik-adik ini. Seperti ketika
cerita. kita menggambar di papan tulis, tiba-tiba
ada yang menangis atau ketika kita sedang
bercerita ada beberapa anak yang berlarian
ke sana ke mari dan bermain dengan meja.
Ada banyak kesan menarik selama menjadi
pengajar. Namun tentunya itu tidak dialami
290

oleh relawan pengajar saja melainkan oleh relawan dokumentator, fasilitator, dan
lain sebagainya.

Salah satu momen favorit dari rangkaian acara Kemenkeu Mengajar khususnya
bagi adik-adik yang diampu, yakni membuat sebuah karya yang dilakukan
bersama-sama di akhir waktu sebagai tanda penutupan acara. Di Kemenkeu
Mengajar 2 lalu, adik-adik dipandu untuk membuat origami berbentuk pesawat
terbang dari kertas lipat yang nantinya akan diterbangkan bersama-sama ketika
penutupan acara. Aku masih ingat betul betapa antusiasnya adik-adik dalam
membuat karya itu dan momen tersebut diabadikan dalam bentuk foto yang
sangat cantik dan ceria.

Kemenkeu Mengajar 3 juga tak kalah seru, panitia membiarkan kreativitas kita
sebagai relawan berkembang. Melalui diskusi-diskusi maka kita putuskan untuk
membuat origami berbentuk bunga yang nantinya akan ditulisi kesan dan pesan
untuk bapak dan ibu guru. Benar saja, kita sebagai relawan pengajar di masing-
masing kelas memberikan contoh dan membantu adik-adik dalam membuat
origami tersebut. Kelas berlangsung seru karena antusiasme adik-adik membuat
origami bunga bertuliskan kesan mereka terhadap bapak ibu guru. Setelah jadi,
barulah kita mengadakan acara penutupan di halaman sekolah. Dengan diiringi
lagu “Terima Kasih Guruku,” para siswa ini langsung memberikan hasil karya
mereka kepada bapak ibu guru. Dan itu momen yang mengharukan dan tidak
pernah terlupakan bagi mereka. Bahkan isak tangis terdengar di berbagai sudut,
tak sedikit pula guru mereka yang ikut meneteskan air mata. Suasana mengharu
biru pertanda jika pesan yang ingin disampaikan cukup berhasil. Setidaknya
terkenang di memori adik-adik tentang acara ini juga dapat mengingatkan
kembali kepada mereka akan jasa-jasa bapak ibu guru yang mungkin selama ini
kurang mendapat perhatian. Dan semoga kebaikan akan merasuk di hati adik-
adik setelah acara ini selesai.

Dengan adanya Kemenkeu Mengajar ini ada banyak hal yang kudapat. Dari sisi
internal, aku semakin mengenal banyak orang dan menjalin relasi sesama pegawai
Kementerian Keuangan karena di sini kita merasa satu dan memiliki satu tujuan
yang sama pula. Berbagai unit vertikal menyatu untuk membawa sebuah nama
kebanggaan Kementerian Keuangan. Dari sisi eksternal, kita juga menjalin
hubungan yang baik dengan masyarakat, khususnya dengan pihak sekolah.
Mengukir sebuah sejarah dan citra yang baik untuk instansi dan tentu menebar
manfaat untuk saling berbagi. Kita juga banyak belajar dari dunia anak-anak–
Perekat Indonesia 291

dalam hal ini adik-adik Sekolah Dasar yang kita ampu, yaitu dunia yang jujur.
Mengajarkan kepada kita akan sebuah integritas dan nilai-nilai kesederhanaan.
Menjadi apa adanya dan terus berupaya memperbaiki diri untuk memberikan
karya yang terbaik. Semoga kegiatan Kemenkeu Mengajar ini semakin baik dan
terus menginspirasi sesuai dengan tagline-nya, “Sehari Mengajar, Seumur Hidup
Menginspirasi.”
292

Tentang Program Beasiswa


LPDP
M. Try Sutrisno Gaus, LPDP - Sekretariat Jenderal

Sejak tahun 2013, Pemerintah melalui LPDP telah membuka


program beasiswa S2 dan S3 ke perguruan tinggi terbaik
di dalam dan di luar negeri dalam rangka mempersiapkan
pemimpin masa depan Indonesa. Untuk mencapai mimpi
tersebut, LPDP perlu menyediakan program yang beragam yang
dapat membuka peluang ditemukannya potensi putra-putri
terbaik Indonesia di berbagai daerah hingga, termasuk daerah-
daerah pelosok dengan berbagai latar belakang. Sehingga
diharapkan program beasiswa LPDP ini dapat diakses oleh
seluruh rakyat Indonesia dan melahirkan pemimpin masa depan
dengan jumlah yang banyak di berbagai daerah. Oleh karena itu,
sejak tahun 2013 pula, LPDP telah membuka program beasiswa
tidak hanya dengan proses seleksi menggunakan jalur reguler
tetapi juga dengan proses seleksi melalui jalur lainnya secara
afirmatif.

Salah satu daerah yang menjadi perhatian LPDP adalah daerah


tertinggal, terluar, dan terdepan, atau yang biasa dikenal dengan
sebutan daerah 3T. LPDP sejak awal terus mendorong agar
para penerima beasiswa LPDP yang berasal dari daerah 3T ini
dapat terus bertambah dengan target minimal sebanyak 30%
dari seluruh penerima beasiswa LPDP. Walaupun target 30%
ini tidak mudah untuk dicapai, beragam kreativitas dan inovasi
terus LPDP lakukan agar beasiswa LPDP dapat dirasakan
oleh seluruh putra-putri terbaik Indonesia di berbagai daerah
Perekat Indonesia 293

sehingga kehadiran pemerintah dapat dirasakan hingga di pelosok-pelosok


negeri. Dengan semakin dirasakannya kehadiran pemerintah di seluruh pelosok
negeri diharapkan dapat semakin menyatukan Indonesia, tidak hanya di daerah
perkotaan, tetapi juga hingga di daerah perbatasan dan daerah terluar Indonesia.

Salah satu program inovasi LPDP yang diharapkan dapat meningkatkan jumlah
penerima beasiswa afirmasi dalam rangka mendorong persatuan Indonesia
adalah program Beasiswa Indonesia Timur (BIT). Target penerima Program ini
dikhususkan kepada 5 provinsi di daerah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara
Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara (Malut), Papua, dan Papua Barat. Untuk
membuat program ini berkualitas, LPDP membentuk tim penyusun program
tersebut dengan melibatkan pegawai LPDP maupun para pakar dari luar LPDP.
Pada kesempatan tersebut, aku sangat bersyukur telah mendapatkan kesempatan
untuk dipercaya bergabung dalam tim tersebut dari unsur pegawai LPDP.

Dalam proses pengkajian dan pendalaman konsep program BIT yang telah
disusun sejak tahun 2015 hingga akhir 2016, LPDP telah melibatkan berbagai
unsur seperti dari praktisi, akademisi, pemerintah provinsi, dan dari lembaga
masyarakat setempat. Dengan mendapatkan masukan dari berbagai unsur,
diharapkan program ini dapat sesuai dengan kebutuhan Indonesia dalam rangka
mendorong persiapan pemimpin masa depan khususnya di 5 provinsi yang akan
menjadi perhatian program BIT.

Pada awal tahun 2017, dengan melibatkan Pemerintah Provinsi setempat, LPDP
telah membuka program BIT untuk pertama kalinya. Pada angkatan pertama ini,
LPDP telah menghasilkan 102 penerima beasiswa. Hal ini patut kami syukuri
sebagai langkah awal dalam memberikan perhatian terhadap pengembangan
SDM di Indonesia Timur. Namun tentunya LPDP masih terus berharap pada
kesempatan selanjutnya para penerimai BIT dapat terus bertambah dalam
jumlah yang lebih besar lagi.

Pada tahun 2018, LPDP terus berusaha agar program ini dapat secara
masif mengakar di masyarakat, khususnya di provinsi target penerima BIT.
Sebagaimana tugas dan fungsiku dalam unit pengembangan layanan LPDP,
aku pun sangat ingin program ini dapat terus berkembang dan infonya dapat
tersampaikan ke pelosok-pelosok daerah, khususnya di Papua dan Papua Barat.
Berbagai cara telah dilakukan, baik melalui komunikasi jalur formal maupun jalur
informal. Hingga akhirnya aku teringat dengan informasi dari ayahku bahwa
294

aku mempunyai seorang kakek yang belum lama mengakhiri masa jabatannya
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Provinsi Papua Barat, Drs.
KH. Musa Abdul Hakim Altuaraw. Beliau ini menjadi pintu awal untukku dapat
mengembangkan informasi beasiswa LPDP, khususnya di daerah Papua dan
Papua Barat.

Kakekku, yang akrab dengan sebutan Opa Musa, sangat mengapresiasi


upayaku dan LPDP dalam berusaha memasifkan informasi beasiswa LPDP ke
pelosok daerah di daerah Papua dan Papua Barat. Beliau memperkenalkan aku
kepada kakek jauhku yang belum pernah aku kenal sebelumnya yang ternyata
juga menjadi salah satu anggota dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan
nama Robby Altuaraw yang akrab disapa dengan sebutan Opa Robby. MRP
merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang
tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan
berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Berdasarkan aturan yang berlaku, apabila LPDP ingin memperbanyak jumlah


penerima BIT dari unsur orang asli Papua, maka LPDP perlu melibatkan
para kepala adat dari berbagai suku di Papua dan Papua Barat yang terkumpul
dalam MRP dalam penyelenggaraan program BIT. Dengan dibantu oleh Opa
Robby, akhirnya pertemuan dengan MRP Papua di Papua maupun Papua Barat
pun dapat berlangsung. Kepada seluruh perwakilan kepala adat yang hadir,
Opa memperkenalkanku tidak hanya sebagai perwakilan dari LPDP, tetapi
juga sebagai cucu dari para kepala adat Papua tersebut sehingga pertemuan-
pertemuan ini berlangsung dengan sangat kekeluargaan.

Pengalaman dalam menyusun program BIT hingga dalam proses


pengembangannya, menjadikanku bertemu dengan keluarga jauh yang
sebelumnya sudah lama tidak bertemu dan bahkan aku juga berkenalan dengan
keluarga jauh yang tidak pernah kusangka sebelumnya bahwa Beliau merupakan
salah satu anggota MRP di Papua. Saat ini aku semakin akrab dengan keluarga
jauh di Papua dan Papua Barat. LPDP pun kini semakin dekat dengan para
kepala adat di Papua dan Papua Barat. Dengan semakin baiknya komunikasi
LPDP, tidak hanya dengan pemerintah provinsi tetapi juga dengan para
perwakilan kepala adat di Papua dan Papua Barat, diharapkan informasi beasiswa
LPDP, khususnya program Beasiswa Indonesia Timur, dapat semakin mengakar
dan menyebar hingga ke berbagai pelosok daerah terpencil di Papua dan Papua
Perekat Indonesia 295

Barat. Dengan demikian diharapkan dapat semakin meningkatkan kehadiran


pemerintah di masyarakat Papua dalam rangka menyatukan Indonesia dalam
satu kesatuan NKRI.
296

Merajut Kesatuan Melalui


Pendidikan Kedinasan
Tri Sutopo, KPPN Raha - DJPb

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari ribuan


pulau dan suku bangsa juga kaya akan adat-istiadat dan budaya
yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud
sampai Pulau Rote, dan merupakan negara kepulauan yang
mempunyai wilayah sangat luas dan dihubungkan oleh lautan.
Tidak mudah menjaga keutuhan negara apabila tidak ada ikatan
yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah sistem Otonomi
Daerah, yaitu daerah diberi kewenangan untuk melaksanakan
pemerintahan sendiri dalam bingkai NKRI. Sistem sentralisasi
diubah menjadi sistem desentralisasi, pemerintah pusat tetap
hadir di seluruh daerah di wilayah NKRI melalui penempatan
kantor-kantor vertikal dan pengalokasian Dana Dekonsentrasi,
Tugas Pembantuan, dan Dana Transfer ke Daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan
Otonomi tersebut, daerah tidak dibiarkan berjalan sendiri tanpa
dukungan dari Pemerintah Pusat.

Salah satu peran Pemerintah Pusat dalam proses pemerataan


pembangunan daerah utamanya Wilayah Indonesia Bagian
Tengah dan Indonesia BagianTimur adalah menempatkan
kantor vertikal kementerian (khususnya Kementerian
Keuangan) di daerah yang bertujuan untuk mendekatkan
kantor bayar dengan stakeholders (satuan kerja dan Satuan
Kerja Perangkat Daerah atau SKPD). Kantor Pelayanan
Perekat Indonesia 297

Membimbing Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah salah


satu instansi vertikal Kementerian Keuangan
siswa-siswa di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan
(DJPb) yang saat ini memiliki peran sebagai
dengan latar perekat hubungan dengan Pemerintah Daerah,

belakang dan yakni sebagai Kuasa Pengguna Anggaran


Penyaluran Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK F)
kemampuan dan Dana Desa (DD).

yang berbeda KPPN Raha adalah salah satu instansi vertikal


DJPb, di bawah kendali Kantor Wilayah DJPb
tentu tidak Provinsi Sulawesi Tenggara. KPPN Raha yang

mudah berkedudukan di Kabupaten Muna. Pulau


Muna menjadi bagian dari gugusan pulau-pulau
sehingga di ujung Sulawesi Tenggara dengan luas lebih
kurang 2.889km², komoditas asli dari bumi
muncul Muna adalah kayu jati dan kacang mede. Pulau

suka dan Muna mulanya hanya satu kabupaten, yaitu


Kabupaten Muna dengan Ibu Kotanya Raha.
duka seiring Namun sejak tahun 2017 terjadi pemekaran
daerah menjadi dua wilayah, yaitu Kabupaten
berjalannya Muna dan Muna Barat. Raha merupakan sebuah

waktu.
kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan
Kabupaten Muna dan KPPN Raha berada di
sana. Predikat terpencil karena pada mulanya
transportasi keluar dari Pulau Muna hanya
melalui dua pelabuhan penyeberangan, yaitu
Pelabuhan Raha dan pelabuhan penyeberangan
feri, Tampo. Waktu tempuh dari Raha menuju
ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara lebih
kurang 6-7 jam dengan menggunakan kapal
malam, sedangkan jika melalui pelabuhan feri,
dibutuhkan 3-4 jam perjalanan laut dan 2 jam
perjalanan darat. Bandar udara mulai beroperasi
pada bulan Juli tahun 2017, menggunakan
penerbangan perintis berupa pesawat jenis
AvionsdeTransport Regional (ATR) .
298

Pegawai KPPN Raha sebagian besar lulusan PKN STAN. Pada tahun 2014
mendapatkan tambahan dua pegawai baru, salah satunya bernama Muhamad
Yani Nursyamsu. KPPN Raha mempunyai beban kerja cukup besar sedangkan
pegawai terbatas. Berperan membantu siswa menghadapi dunia kerja, KPPN
Raha selalu menerima siswa SMK di wilayah Kabupaten Muna untuk
melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Bukan bermaksud merendahkan
kualitas pendidikan di Muna, tetapi jika dibandingkan dengan di kota-kota besar,
tentu berbeda, di samping itu sebelum tahun 2014 belum ada yang menjadi
mahasiswa PKN STAN sehingga informasi tentang profil perguruan tinggi
kedinasan ini belum ada yang tahu. kepala kantor (Bapak Haryono) berinisiatif
memperkenalkan tentang KPPN sekaligus PKN STAN kepada siswa PKL. Pada
tahun 2016, Syamsu menawarkan diri untuk memberikan bimbingan belajar
Ujian Saringan Masuk (USM) PKN STAN dengan keyakinan dan kerja keras
insyaallah putra-putri Muna bisa kuliah di PKN STAN.

Akhir tahun 2016 menjadi titik awal Syamsu memulai kegiatan memberi
bimbingan belajar kepada lima siswa SMK Negeri 1 Raha yang sedang
melaksanakan PKL. Metode bimbingan yang dilakukan adalah Try Out soal-
soal standar USM PKN STAN kemudian dilanjutkan pembahasannya secara
perlahan-lahan sampai siswa paham. Penyampaian materi pelajaran tidak
dilakukan karena materi dirasa sudah cukup disampaikan oleh guru di sekolah.
Soal-soal yang disampaikan adalah khusus mata pelajaran untuk USM PKN
STAN (TPA, Psikotes, Bahasa Inggris). Khusus untuk mata pelajaran Bahasa
Inggris disarankan untuk memperbanyak perbendaharaan kosa kata. Bimbingan
belajar dilaksanakan setiap hari kerja mulai pukul 19.00 s.d 21.00 WITA,
sedangkan untuk hari Minggu dimulai pukul 16.00 s.d 18.00 WITA, bertempat
di aula kantor. Namun apabila sebagian siswa berhalangan karena ada kegiatan
sekolah, maka bimbingan pun diliburkan. Peserta bimbingan berasal dari
beberapa SMA di Raha dengan jumlah bervariasi setiap periodenya.

Periode pertama akhir tahun 2016 sebanyak lima siswa, awal tahun 2017
sebanyak dua puluh siswa, akhir tahun 2017 hanya enam siswa, tahun 2018
sampai menjelang USM PKN STAN siswa yang aktif hanya empat orang,
dan untuk tahun 2019 jumlah siswa seluruhnya sebanyak lima belas orang.
Naik turunnya siswa ini dipengaruhi oleh penyampaian informasi kepada
para calon peserta Pertama kali informasi tersebar dari lima siswa PKL yang
menyampaikan kepada teman dan orang tua siswa lainnya. KPPN Raha setiap
Perekat Indonesia 299

tahun melaksanakan sosialisasi tentang peran KPPN dalam pengelolaan APBN


ke sekolah-sekolah. Saat materi tentang PKN STAN, Syamsu menawarkan
diri untuk memberikan bimbingan belajar (bimbel). Dampak dari sosialisasi
ke sekolah-sekolah tersebut, beberapa siswa tertarik untuk mengikuti bimbel
USM PKN STAN di awal tahun 2017. Setelah pelaksanaan USM, informasi
pembukaan bimbingan tidak disampaikan sampai dengan awal 2018.
Dikarenakan tidak ada informasi, maka siswa PKL menanyakan pembukaan
bimbel, bahkan ada orang tua siswa menemui Syamsu di kantor untuk
menanyakan bagaimana cara mendaftar bimbel dan berapa biayanya.

Muhamad Yani Nursyamsu membuka bimbel khusus menghadapi USM


PKN STAN. Berangkat dari niat tulus menambah pengalaman dan mencoba
bermanfaat bagi orang lain dengan mengajarkan ilmu yang dimiliki, juga
keinginan besar agar warga asli Muna bergabung dengan Kementerian Keuangan
melalui PKN STAN. Hal tersebut dapat dikatakan melatarbelakangi Syamsu
bersedia memberi bimbingan belajar tanpa biaya. Terkait pertanyaan orang
tua siswa mengenai bagaimana cara pendaftaran dan berapa biayanya, maka ia
jawab jika ingin ikut, langsung datang saja sesuai waktunya dan bimbel tersebut
tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis. Syamsu membuat soal-soal sendiri
dalam memberikan try out, bahkan untuk membantu pengayaan soal latihan,
dia membeli beberapa buku Soal dan Pembahasan USM PKN STAN untuk
dibagikan kepada siswa dengan tujuan agar siswa-siswa bisa mendapatkan nilai
tertinggi. Ketulusan Syamsu tercermin dari kalimat bijaknya, “Tenaga, waktu,
pikiran, dan dana yang saya keluarkan, tidak sebanding dengan pengalaman yang
saya peroleh. Pengalaman yang saya peroleh sangat berharga dan tidak ternilai
harganya”. Kegiatan bimbel ini sangat didukung oleh pimpinan baru, yaitu Bapak
Ma’ruf dalam melanjutkan estafet kepemimpinan sebelumya. Pejabat lain serta
seluruh pegawai KPPN Raha juga memberikan dukungan secara penuh.

Salah satu bentuk dukungan adalah pemanfaatan aula kantor beserta fasilitasnya
untuk digunakan sebagai tempat proses belajar mengajar dan rekan kerja
lainnya memberikan suasana lingkungan kondusif sehingga proses belajar
mengajar tidak terganggu. Membimbing siswa-siswa dengan latar belakang
dan kemampuan yang berbeda tentu tidak mudah sehingga muncul suka dan
duka seiring berjalannya waktu. Sukanya ketika mengajari para siswa, melihat
pemuda-pemudi yang sangat antusias untuk belajar, saat melihat ekspresi
wajah mereka ketika gagal dalam mengerjakan try out kemudian segera bangkit
300

kembali, mencoba, dan terus mencoba memperbaiki diri agar menjadi yang
terbaik dan lebih bersemangat belajar lagi, seperti menyuntikan semangat dalam
diri Syamsu untuk mengajar. Dukanya pada saat ada siswa yang tidak bisa hadir
karena terlalu malam, tidak diizinkan oleh orang tua, tidak punya kendaraan,
maka di saat itulah Syamsu merasa sedih karena tidak bisa membatu lebih.
Perlu kusampaikan bahwa siswa pesera bimbingan belajar adalah putra dan
putri dengan jarak antara rumah mereka dengan KPPN yang jauh dan bebera
adi antaranya berlatarbelakang ekonomi yang kurang, sedangkan Syamsu hanya
bisa mengalokasikan waktu di luar jam kerja. Begitu juga dengan kondisi Kota
Raha yang merupakan kota kecil di daerah terpencil menyebabkan angkutan kota
sangat terbatas. Pada pukul 17.00 WITA sudah tidak ada lagi yang beroperasi,
ditambah lokasi KPPN Raha yang tidak dilewati jalur trayek angkot sehingga
butuh kendaraan pribadi untuk sampai ke KPPN.

Seluruh waktu, tenaga, biaya, pikiran termasuk suka dan duka yang selama ini
telah dikeluarkan, akhirnya terjawab pada tahun 2018 dengan dua siswa berhasil
lulus USM PKN STAN dan saat ini sedang menempuh pendidikan di kampus
Jurang Mangu Tangerang Selatan tersebut. Walaupun baru dua siswa yang
berhasil, tetapi hal ini sanggat membanggakan bagi Syamsu dan seluruh jajaran
KPPN Raha, terlebih bagi orang tua mereka, guru, sekolah (SMAN 1 Raha dan
MAN 1 Raha), serta daerah mereka, yaitu Kabupaten Muna. Semangat mengajar
ini juga akan dibawa apabila Syamsu ditugaskan di tempat lain karena sebagai
pegawai Kementerian Keuangan, khususnya DJPb yang senantiasa ditugaskan
pada seluruh kantor vertikal maupun kantor pusat.

Ketulusan dan keikhlasan Muhamad Yani Nursyamsu dalam berkarya untuk


merajut NKRI melalui Pendidikan Kedinasan Kementerian Keuangan seirama
dengan satu kalimat dalam yel-yel KPPN Raha, “Membangun Indonesia dari
Pulau Muna”.

Keberhasilan 2 siswa bimbel Syamsu menjadi awal dari kelulusan-kelulusan


berikutnya agar tercapai cita-cita pembangunan nasional yaitu pemerataan
pendidikan sehingga PKN STAN tidak hanya menjadi langganan bagi siswa-
siwa di wilayah kota besar, tetapi juga siswa-siswa di wilayah terpencil seperti
Kabupaten Muna dan Muna Barat. Semakin banyak yang berhasil, semakin erat
juga rajutan NKRI karena semakin banyak anak negeri di Wilayah Indonesia
Timur yang bergabung dengan Kementerian Keuangan untuk mengabdi kepada
Ibu Pertiwi.
Perekat Indonesia 301

Selamat bergabung adik-adikku, semoga berhasil menyelesaikan pendidikan


untuk selanjutnya mengabdi bersama kami. Jangan takut dan jangan minder
untuk mencoba dan berkompetisi demi meraih mimpi menjadi yang tertinggi.
Terima kasih Mas Muhamad Yani Nursyamsu ketulusan dan keikhlasanmu
dalam merajut kesatuan melalui pendidikan kedinasan akan selalu terkenang dan
semoga mendapatkan balasan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan terima
kasih atas dukungan pimpinan serta seluruh pegawai KPPN Raha, semoga
menjadi amal ibadah. Amin.
302

Sekolah Rimba di Taliabu


Sidiq Gandi Baskoro, KPPBC TMP C Ternate - DJBC

Mereka anak-anak Kampung Fango, Pulau Taliabu, Maluku


Utara. Tinggalnya di tengah hutan. Rumah-rumah mereka
berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jalan menuju
Fango masih berupa tanah. Jaringan telekomunikasi didominasi
jaringan E, bukan 4G. Dalam candaannya, orang sini
mengatakan jaringan E itu singkatan dari Error-G. Jaringan 4G
hanya ada sesekali, suka-suka dia pas dia mau lewat barang satu
atau dua jam saja. Setelah itu berhari-hari tidak muncul lagi.

Anak-anak Fango tidak bersekolah sebagaimana anak-anak


seusianya. Namun mereka memiliki kemauan dan semangat
untuk belajar. Mereka adalah penerus masa depan Pulau Taliabu.

Ada sebuah bangunan kayu berbentuk panggung yang tidak


begitu luas di tengah perkampungan mereka. Anak-anak ini
datang ke panggung untuk belajar kalau ada orang yang datang
dan mau mengajar mereka. Meja, kursi, white board, seragam,
dan alat tulis yang mereka miliki adalah sumbangan dari
donatur atau pemberian dari program CSR beberapa perusahaan
di Pulau Taliabu.

Panggung belajar ini di kelilingi kolam ikan yang tidak dalam,


ikan air tawar. Di sampingnya lagi terdapat sebuah gereja kecil
yang baru saja dibangun. Belum ada namanya. Hendrikus,
seorang laki-laki kurus, datang dari Flores ke pedalaman
Perekat Indonesia 303

Pulau Taliabu pada tahun 2009. Lalu pada 2010 pindah ke Fango. Dialah yang
membangun gereja kecil dengan sumbangan beberapa donatur. Hendrikus sering
ditemani seorang laki-laki yang selalu mengenakan kalung salib, Moses namanya.

Kampung terdekat dengan Fango adalah Kampung Tolong, sebuah kampung


kecil dengan beberapa rumah. Berjarak paling cepat 30 menit melewati lembah,
hutan, dan sungai lebar yang tak memiliki jembatan. Di Kampung Tolong ada
gereja kecil dan masjid. Pada arah lainnya yang menjadi kampung terdekat
dengan Fango–setelah Tolong, adalah Kampung Lede dan Tikong. Berupa
pemukiman besar dan padat penduduk yang dihuni masyarakat beragama Islam.
Jalan-jalan di Lede dan Tikong sudah sangat tertata, sebagiannya sudah diplester,
sudah banyak warga membangun rumah dari bahan batako, banyak masjid, dan
terdapat pelabuhan atau dermaga. Jarak dari Fango ke Lede atau Tikong paling
cepat ditempuh satu jam perjalanan naik turun bukit dengan jalur terjal berliku,
Jabal Mubarak kita menyebutnya.

Anak-anak Fango ada yang sudah bisa membaca dan ada yang belum. Mereka
semua belajar bersama, usia berapa pun digabung dalam satu kelas. Tidak
ada jenjang atau klasifikasi dalam proses belajar mengajar. Hal itu disebabkan
keterbatasan tempat dan juga pengajar. Tidak setiap hari ada orang datang
mengajar mereka. Seringnya beberapa karyawan perusahaan yang bekerja di
Pulau Taliabu datang pada hari tertentu, sore sepulang kerja. Itu pun mereka
harus menempuh perjalanan sangat jauh.

Tidak ada batasan materi yang diajarkan. Bebas. Terserah yang mengajar mau
ngajari apa. Anak-anak siap menyimak, mencatat, dan mengikuti. Relawan bisa
mengajarkan baca tulis, sejarah, geografi, Bahasa Inggris, matematika, cinta tanah
air dan bangsa, ataupun yang lainnya. Namun, satu hal yang menurutku tidak
boleh ditinggalkan guru untuk diajarkan, yaitu nilai-nilai, akhlak, dan tata karma
agar anak didik tidak sekadar pintar, tetapi juga bermoral.

Ada empat kunci sukses yang kurumuskan dan kuminta anak-anak ini mencatat
dan menghafalnya. Aku bilang, “Nanti saya cek hafalannya”. Pertama, Jujur.
Kedua, Sopan Santun. Ketiga, Tekun. Dan keempat, Doa.

Kujelaskan secara ringkas agar lebih mudah dimaknai dan dipahami mereka.
Sukses itu berhasil, bahagia. Kalau lomba dia menang. Kalau bertanding menjadi
juara. Kalau bekerja menjadi kaya. Kalau punya cita-cita tercapai cita-citanya.
304

Menjadi yang terbaik. Jujur itu kalau bicara tidak berbohong. Mengatakan
sesuai kenyataan. Apa adanya. Lalu kubuat ilustrasi kejujuran, mana jujur mana
bohong. Sopan santun artinya menghormati yang lebih tua, menyayangi yang
lebih muda, tidak kasar, tersenyum kepada teman, hidup rukun, memaafkan, dan
tahu berterima kasih. Tekun artinya rajin. Tidak malas-malasan. Kalau tidak
tahu, dia belajar. Kalau tidak bias, dia bertanya. Kalau bekerja, dia bersemangat
kerjanya. Kalau ada teman kesulitan, dia bantu. Terkahir, iringi semuanya dengan
doa. Memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan memohon kepada batu
karena batu bisa dipecah. Bukan memohon kepada pohon karena pohon bisa
ditebang. Nilai keempat ini untuk menanamkan nilai Ketuhanan, sesuai dengan
sila pertama Pancasila.

“Apa empat kunci sukses, adik-adik sekalian?”

Mereka pun membacanya.

***

Seharusnya Selasa kemarin aku datang lagi untuk mengajar mereka. Namun,
sejak pagi hujan lebat. Awan gelap pekat seolah memenuhi seantero jagad.
Seharian tidak terlihat secuil pun sinar sang surya, apalagi birunya angkasa. Air
sungai meluap. Banjir. Tidak aman dan berbahaya untuk diseberangi. Padahal
itulah jalur satu-satunya yang harus dilewati. Tidak ada jembatan sehingga
kendaraan harus masuk sungai untuk melewatinya.

Seharusnya kemarin aku juga pergi ke SMA Negeri 1 Lede untuk berbagi
inspirasi, mengenalkan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Kementerian Keuangan, dan sekalian sosialisasi PKN STAN. Tapi, kami tidak
bisa pergi. Jalan yang kami lalui terhalang banjir. Ada sungai yang juga harus
dilewati. “Ampuni kami, ya Rab. Semoga hari ini atau besok pagi kita bisa
kembali berbagi.”

Ilmu dan pengalaman adalah titipan. Ia amanah untuk diamalkan dan dibagikan.
Bukan sekadar disimpan. Mewujudkan kejayaan Indonesia Raya adalah impian.
Ia butuh perjuangan segenap pihak. Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan.
Tidak ada pengorbanan tanpa kepayahan.

Orang bijak menasihatkan, “Berlelah-lelahlah! Manisnya hidup terasa setelah


lelah berjuang.”
Perekat Indonesia 305

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda yang intinya,
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Para motivator mengatakan, “Kebahagiaan akan diraih pada saat kita berhasil
membahagiakan orang lain.”

Dan para pejuang sering bilang, “Dunia hanyalah persinggahan. Dunia itu
tempat berjuang dan berlelah-lelah. Bukan tempat berleha-leha. Kalau mau
beristirahat, nanti setelah di surga.”
306

E R DAYA
AN B
A D
UD
M
Perekat Indonesia 307

“Beranjak tua itu pasti, tetapi


menjadi dewasa, bijaksana, dan
berprestasi itu pilihan.”

Bambang Pamungkas
308

Kisah Kami,
Kemenkeu Muda Kei
Ayu Widyasari Primanda, KPPBC TMP C Tual - DJBC

Kepulauan Kei? Pasti banyak dari kalian yang asing dengan


nama itu. Di manakah pulau itu? Ada apa di sana? Dan apakah
mereka merupakan bagian dari Indonesia? Pertanyaan itu
tidak asing bagi kami, masyarakat Kepulauan Kei yang sudah
lahir dan hidup di pulau kecil di tengah lautan ini. Tak jarang,
kami–masyarakat Kepulauan Kei, tidak tahu apa yang terjadi
di luar pulau kami. Bagaimana majunya teknologi di luar
sana? Bagaimana tinggi dan megahnya bangunan-bangunan
bertingkat dan rasanya melihat ke luar jendela saat berdiri di
lantai 10 atau 20? Bagaimana rasanya naik di puncak monumen
paling bersejarah Indonesia–Monas? Bagaimana rasanya
belajar di ruang ber-AC dengan meja dan kursi yang nyaman?
Bagaimana mudahnya membeli banyak buku-buku menarik dan
mendapatkan bimbingan belajar untuk kegiatan belajar kami?
Dan bagaimana rasanya menjadi anak-anak yang merasakan
pendidikan secara layak untuk masa depan? Iya, kami tidak
tahu rasanya dan akhirnya kakak-kakak berhati baik ini datang
seperti malaikat dunia yang kami harap akan menjadi malaikat
di surga nanti. Inilah sedikit gambaran hidup kami, anak-anak
penuh semangat di pulau kecil bagian Waktu Indonesia Timur
dengan tanah berkarang dan laut yang sangat indah. Kami,
anak-anak pulau Kei.

***
Perekat Indonesia 309

Perkenalkan, namaku Ayu Widyasari Primanda. Aku adalah salah satu pegawai
DJBC yang baru lulus dari sekolah tinggi kedinasan Kementerian Keuangan–
PKN STAN yang berada di Bintaro, Tangerang Selatan. Sekarang aku sedang
menjalankan tugas pertamaku di Tual, Maluku Tenggara, tepatnya Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP)
C Tual. Dan ini adalah salah satu kisah yang ingin aku bagikan kepada kalian
yang masih mengeluh dengan takdir yang Tuhan tetapkan.

Ya, pertama kali mendengarnya pun aku takut, aku pun bertanya-tanya di
manakah pulau itu? Apa yang akan aku lakukan di sana? Dan apa yang terjadi
jika aku jauh dari rumah dan orang tuaku yang selama 20 tahun aku bergantung
dan mengeluhkan segala masalahku kepada mereka? Ini tidak mudah untukku
dan saat itu aku merasa dirikulah yang paling tidak beruntung. Apalagi saat
melihat teman-temanku mendapatkan tugas sesuai dengan keinginannya, bahkan
dekat dengan rumah. Membayangkan mereka bisa terus berkumpul dengan
keluarga setiap harinya cukup membuatku iri. Namun, inilah konsekuensi yang
harus aku siapkan dan terima sejak awal aku memutuskan untuk mendaftarkan
diri di PKN STAN, “Kamu siap memberikan masa mudamu untuk negara dan
siap mengabdi di mana saja untuk Indonesia.“

Dengan hati yang masih sangat merindukan rumah, aku pun berangkat untuk
pertama kalinya pada tanggal 24 Desember 2018 bersama enam orang teman
seangkatanku, sama-sama meninggalkan “rumah”, tempat ternyaman kami
selama ini.

Untuk mencapai Pulau Kei, kami harus menaiki pesawat transit di Bandara
Pattimura, Ambon dan melanjutkannya ke Bandara Karel Sadsuitubun, Langgur,
dan pada tanggal 25 Desember 2018, aku dan enam temanku tersebut–yang
sekarang adalah keluargaku, menginjakkan kaki di Kepulauan Kei. Ya, pulau yang
sangat asing.

Kami pun dijemput oleh senior kami dan diantar menuju rumah dinas. Untuk
sementara waktu kami akan menetap di rumah dinas tersebut selama kami
menjalankan tugas di tempat ini. Singkat cerita, hari ke hari berganti minggu dan
bulan, kami pun semakin akrab satu sama lain. Bukan hanya kepada rekan-rekan
kami di kantor bea cukai, tetapi juga terhadap rekan-rekan sesama Kementerian
Keuangan yang juga bertugas di pulau ini. Kami pun sering menghabiskan
waktu bersama, walau hanya sekadar menikmati kopi, bermain kartu, bermain
310

game online, ataupun hanya mengobrol topik-


topik hangat yang bisa kami bahas. Yang jelas,
Kami juga
dengan takdir Tuhan ini, walaupun kami jauh
dari rumah tempat kami lahir, kami tetap
ada, kami
merasa dekat dengan keluarga karena sekarang juga hidup,
kami sudah menjadi keluarga.
kami juga
Perkenalkan, nama keluarga kami, Kemenkeu
Muda Kei.
belajar, kami
Kemenkeu Muda Kei terdiri dari seluruh
berjuang,
pegawai muda Kementerian Keuangan untuk masa
Republik Indonesia yang bertugas di Pulau
Kei, dari mulai Bea Cukai (KPPBC TMP C depan.
Tual), Pajak (KPP Mikro Tual), dan KPPN
Tual. Kami adalah anak-anak muda berusia
19-25 tahun yang sama-sama memilki tujuan
yang sama, yaitu mengabdikan diri kami untuk
kemajuan dan kemakmuran negara kami
tercinta, Indonesia.

Hingga suatu saat ide ini muncul, ide yang


bertujuan membantu mengubah nasib generasi
muda yang berada di pulau ini. Yaitu, dengan
membuat sosialisasi tentang sekolah kedinasan
PKN STAN yang berkembang menjadi
bimbingan belajar gratis persiapan masuk
bagi anak-anak kelas 3 SMA yang ingin
melanjutkan studinya ke PKN STAN.

Kegiatan ini dilakukan karena sebelumnya


nama sekolah kedinasan yang paling diminati
oleh seluruh lulusan SMA dari seluruh
Indonesia ini, tidak dikenal dan diketahui
anak-anak Kepulauan Kei! Minimnya
informasi dan pengetahuan serta keterbatasan
ekonomi menyebabkan anak-anak ini memilih
untuk putus sekolah setelah lulus dari SMA.
Perekat Indonesia 311

Dan kami, tidak ingin mutiara-mutiara bangsa yang seharusnya bisa diolah
menjadi lebih indah harus terbuang sia-sia karena kurangnya kesempatan yang
diberikan.

Kegiatan ini dimulai dengan “Customs Talkshow” yang dibawakan oleh KPPBC
TMP C Tual yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Tual
dan dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku Tenggara
dan Kota Tual, siswa-siswi pilihan, serta seluruh kepala sekolah dari Kota Tual
dan Maluku Tenggara. Acara ini menjelaskan tentang apa itu sekolah kedinasan
PKN STAN dan bagaimana caranya untuk menjadi salah satu siswa-siswi yang
berkesempatan bisa mendapatkan pendidikan di sana. Acara ini juga telah
disiarkan di seluruh Indonesia melalui siaran radio. Sekali lagi, biarkan cerita
perjuangan anak-anak Pulau Kei mengudara.

Setelah itu, kami berkoordinasi dengan seluruh kepala sekolah di Kepulauan Kei,
instansi daerah, dan pemerintahan terkait untuk mengadakan bimbel gratis yang
bisa diikuti oleh 120 anak-anak kelas 3 SMA Pulau Kei yang telah lolos seleksi.
Seleksi bimbel gratis ini mendapatkan banyak respons positif dari berbagai pihak
terkait, terbukti jumlah siswa-siswi terdaftar yang mengikuti seleksi mencapai
487 peserta. Setelah terpilih 120 siswa-siswi pilihan dengan nilai terbaik melalui
tes seleksi, anak-anak ini dibagi menjadi enam kelas untuk mengikuti kelas
bimbingan belajar setiap hari Sabtu dan Minggu, dimulai dari pukul 10.30
hingga 17.00 selama 6 minggu.

Kami, Kemenkeu Muda Kei, kamilah guru mereka, mengabdi bukan hanya
sebagai penggawa keuangan negara pada hari Senin hingga Jumat, tetapi juga
sebagai kakak dan abang dari anak-anak penuh impian Pulau Kei. Kami harap,
pengabdian kami ini tidak sia-sia dan dapat diterapkan oleh manusia-manusia
penuh kelebihan di luar sana. Bahwa di dunia yang segalanya sudah terasa
mudah, masih ada anak-anak yang penuh perjuangan dalam mendapatkan
pendidikan untuk menggapai impian mereka.

Kami, Kemenkeu Muda Kei, gabungan dari Bea Cukai, Pajak, dan
Perbendaharaan di Tual, bersatu untuk membuat perubahan. Memang tidak bisa
mengubah seluruh dunia, tetapi setidaknya bisa mengubah dunia untuk anak-
anak Pulau Kei. Bersinergi dengan berbagai pihak, menyingkirkan berbagai
keterbatasan dan perbedaan, bersatu untuk masa depan masyarakat Pulau Kei
yang lebih baik lagi.
312

“Setiap anak-anak Indonesia harus memilki kesempatan yang sama untuk meraih
impiannya. Tolong jaga mimpi-mimpi mereka.” – Kemenkeu Muda Kei

Termasuk kami, anak-anak dari pulau terpencil bagian Waktu Indonesia Timur
yang jarang diketahui oleh masyarakat luar. Kami juga ada, kami juga hidup, kami
juga belajar, kami berjuang, untuk masa depan.
Perekat Indonesia 313

Nyala Kementerian Kegunaan


Di Pedalaman Kalimantan
Timur
Arif Rahman Hakim, Biro Organta- Sekretariat Jenderal

Kala itu adalah tanggal 2 Maret 2015, saat yang bersejarah


bagiku. Aku mendapat tugas dinas ke luar kota yang pertama
kali sejak 1 tahun 4 bulan bekerja. Sebelumnya, aku tak pernah
sekalipun menerima penugasan ke luar kota. Waktu itu aku
adalah seorang pegawai yang bertugas di Subbagian Layanan
Pengguna, Bagian Operasional TIK di Pusat Sistem Informasi
dan Teknologi Keuangan (Pusintek). Namun, menariknya
keberangkatanku tersebut tidak menggunakan Surat Tugas
(ST), tetapi menggunakan Surat Keputusan (SK). Aku
dipercaya oleh kantor untuk ditempatkan di unit baru, yaitu
Kantor Pengelolaan Pemulihan Data (KPPD) di Balikpapan.
Hal yang lucu lainnya adalah, ini adalah pertama kalinya aku
menaiki pesawat, namun tiketnya bukan untuk pulang-pergi,
hanya pergi saja dan tidak pulang.

Pertama kali kuinjakkan kaki di pulau Kalimantan ini serasa


asing bagiku, tidak ada orang yang kukenal dan tidak ada nama
teman yang kutahu sebelumnya. Selama bekerja di Balikpapan,
aku tinggal di kantor. Ya, aku tidur di bawah meja kantor. Tidak
ideal memang karena aku tidak memiliki aktivitas lain selepas
jam kerja. Bulan demi bulan berlalu, aku harus bergerak dan
tidak boleh berkubang dalam keadaan seperti ini. Aku harus
bermanfaat untuk daerah tempatku bekerja. Bekerja di kantor
adalah kewajiban setiap hari Senin hingga Jumat, mulai pukul
07.30 hingga petang. Namun di luar itu, aku merasa bahwa kita
314

harus bermanfaat. Tujuan kita ditempatkan di


suatu daerah, menurutku tidak lain bertujuan
Bulan demi
untuk memberi manfaat di setiap daerah yang
kita tempati.
bulan berlalu,
aku harus
Aku pun mencari aktivitas yang pernah
kutekuni, yaitu pendidikan. Aku mulai bergerak dan
mengikuti kegiatan yang kutemukan di
Balikpapan. Dimulai dengan adanya Kelas
tidak boleh
Inspirasi Balikpapan, sebuah kegiatan
yang pengajarnya adalah sukarelawan dari
berkubang
profesional dan diwajibkan mengambil cuti dalam
sehari untuk mengajar di sekolah dasar. Di
tahun pertamaku mendaftar sebagai inspirator keadaan
dan mengajar tentang dunia Kementerian
Keuangan di sebuah SD yang terletak di dalam
seperti ini.
perkebunan karet yang letaknya cukup jauh Aku harus
di daerah timur Kota Balikpapan. Pada tahun
kedua, aku dipercaya untuk menjadi fasilitator bermanfaat
atau Liaison Officer/LO untuk mendampingi
para pengajar di perbatasan Balikpapan Utara
untuk daerah
dan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. tempatku
bekerja.
Tahun ketiga, aku pun dipercaya sebagai
Koordinator Fasilitator serta merangkap
sebagai pengajar di SDN Luar Biasa bersama
anak-anak yang istimewa. Aku mengenalkan
diri sebagai Budayawan yang memberi musik
dan cerita berbagai budaya daerah dengan latar
penempatan pegawai Kementerian Keuangan
di seluruh Indonesia. Waktu itu aku mengajar
di depan para anak tunanetra, tunarungu,
dan autis. Aku kagum dengan seorang anak
tunanetra yang mahir memainkan piano saat
upacara bendera, sungguh suatu keistimewaan
yang luar biasa.

Pada akhir pekan, aku juga kerap mengajar


Perekat Indonesia 315

di kegiatan 1000 Guru Balikpapan serta 1000 Guru Samarinda untuk


mengajar di berbagai daerah terpencil seperti di Pulau Gusung Bontang,
Perkampungan terpencil di Muara Andeh Kabupaten Paser, sebuah pulau kecil
Kepulauan Balabalakang di Selat Makassar, serta sebuah SD kecil di Biduk-
biduk Kabupaten Berau yang terletak tepat di “hidung” Pulau Kalimantan.
Keberangkatan yang sangat berisiko dengan jalur setapak di tepi jurang yang
terjal hingga menggunakan kapal ikan nelayan di tengah badai ombak Sulawesi.
Tujuanku adalah untuk menjelaskan tentang keuangan negara dalam pemahaman
sekolah dasar dan aku senang sekali karena berhasil menanamkan kesadaran
kepada mereka bahwa negara ini membutuhkan kontribusi wajib yang akan
digunakan untuk pembangunan guna memajukan daerah tempat tinggal mereka.
Banyak di antara mereka yang bercita-cita ingin menjadi Menteri Keuangan.

Hampir di setiap malam selepas jam kerja, aku juga aktif sebagai musisi
tradisional Dayak atau biasa disebut dengan Sape’ Dayak. Karena antusiasme
bersama kawan-kawan yang tergabung dalam melestarikan budaya tersebut
di berbagai kegiatan di tingkat kota dan provinsi, kami pun pernah lolos
dan ditunjuk untuk mewakili Kota Balikpapan di Jambore Pemuda tingkat
provinsi Kalimantan Timur bersama utusan kota lainnya seperti Mahakam Ulu,
Samarinda, Paser, Bontang, Kutai Barat, Penajam, dan lain sebagainya. Dari
pertemuan itu, aku mendapat banyak masukan tentang kondisi daerah mereka
yang masih memerlukan pembangunan infrastruktur dan subsidi transportasi
karena akses yang sangat terpencil seperti Kabupaten Mahakam Ulu yang
terletak di “jantung” Pulau Kalimantan. “Kalau kita mau balik kampung itu pakai
perahu long boat dan menyusuri sungai Mahakam dari hilir di Tering Kutai Barat
lalu ke hulu dengan melawan arus dan riam yang banyak bahaya”, ujar Monica
Dea Eugenia Buaq Hiit dan Maria Hangin Ibo.

Sampai suatu kala, aku diajak oleh tiga rekan untuk mendirikan suatu organisasi
nirlaba bernama Rawikara Indonesia yang bergerak dalam bidang energi dengan
tujuan untuk membantu dalam bentuk penerangan hunian ke berbagai desa
terpencil yang tidak memiliki akses listrik di berbagai pelosok Kalimantan Timur,
Dayak Punan di Kalimantan Utara, bahkan di Pegunungan Bintang di Papua.
Aku mendirikan kampanye sosial bertagar #MenyalakanMeratus, sebuah gerakan
crowd funding untuk menggalang donasi pengadaan lampu tenaga surya portable
kepada tiga puluh kepala keluarga suku Dayak Meratus di dusun Pusarangin dan
Nininyao di Desa Muara Andeh, Kecamatan Muara Samu, Kabupaten Paser
316

yang terletak di pegunungan Meratus, dekat dengan perbatasan Kalimantan


Selatan. Survei tersebut aku lakukan sendiri menggunakan sepeda motor selama
sembilan jam dengan berbagai rintangan seperti tersesat di hutan, medan yang
sangat terjal, dan beberapa komunikasi bahasa lokal. “Mun ulun handak bagawi di
kota kawa haja, tapi kadada bubuhan wan kakanakan nang jagakan hutan saurang”,
ujar Ibun yang menerjemahkan ucapan bapaknya ke dalam Bahasa Banjar agar
kami mengerti yang kira-kira artinya, “Jikalau kami ingin bekerja di kota, bisa
saja, tapi nanti siapa yang akan menjaga hutan ini kalau penduduknya habis
pergi semua?” Aku yang berbahasa ibu–Bahasa Jawa pun harus mempelajari
bahasa mereka agar mudah untuk berkomunikasi dengan penduduk lokal yang
berbahasa Banjar dengan dialek Meratus.

Saat penggalangan dana, kami bekerja sama dengan berbagai tim di Balikpapan
dan berbagai teman yang tersebar di berbagai kota dunia, dari Jepang, Australia,
Turki, Italia, China, Spanyol, hingga kutub utara untuk menyebarkan tajuk
tersebut. Kami mengajak komunitas mobil offroad VES Balikpapan sebagai
transportasi kami menuju desa tempat donasi kami. Selain menyalurkan donasi
lampu, kami juga mendonasikan berbagai kebutuhan logistik yang mempu
menunjang kehidupan mereka. Kami juga memberikan motivasi kepada anak-
anak dan para pemuda untuk belajar dan terus melanjutkan pendidikan agar
bisa memajukan desa mereka dan berharap semoga ada putra daerah yang bisa
cemerlang di Indonesia bahkan dunia.

Dari berbagai kegiatan tersebut, aku merasa bahwa apa pun yang bisa kita
lakukan kepada sekitar, lakukanlah. Sebagai pegawai negeri, kita harus multiguna.
Aku memiliki sudut pandang bahwa Kementerian Keuangan itu lebih luas dari
pada sekadar KEUANGAN. Dan kalau kita acak lagi hurufnya, maka kata
keuangan bisa disusun menjadi KEGUNAAN.
Perekat Indonesia 317

Menjadi Ikan Besar di


Kolam Kecil
Ahmad Dahlan, KPP Penanaman Modal Asing Enam - DJP

Namanya Irena Shafira. Biasa dipanggil Iren, adalah salah satu


anak didikku di Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN
STAN).

Aku memang pernah mengajar di sekolah kedinasan di


bawah naungan Kementerian Keuangan itu, selama lebih
kurang tiga tahun, dari 2014 sampai dengan 2017. Kala itu,
pendidikan tinggi yang berkampus di Jurang Mangu Timur
ini “menitipkan” peserta didik program diploma satunya ke
Balai Diklat Keuangan (BDK) yang tersebar di beberapa kota.
BDK Cimahi adalah salah satunya. Di sanalah aku mengajar
dengan bermodalkan nota dinas dari atasan. Kantorku saat itu
berdekatan dengan lokasi BDK Cimahi, yakni KPP Pratama
Soreang–sebelum aku pindah ke Jakarta. Dan Iren adalah salah
satu peserta didiknya.

Lama tak berkomunikasi dengan anak-anak didik, tiba-tiba


salah seorang dari mereka berkirim pesan lewat WhatsApp
(WA). Ia menanyakan, apakah aku masih ingat dengan Irena
Shafira atau tidak. Lalu ia menceritakan bahwa sekarang ia
menjadi salah satu finalis Puteri Indonesia 2019 perwakilan
Maluku Utara.

Beberapa jenak aku mengingat-ingat. Kubuka kronologi


percakapan di WA. Aku memang melayani percakapan dengan
318

hampir semua anak didikku lewat WA. Umumnya mereka menanyakan nilai atas
mata kuliah yang kuampu. Kadang juga bertanya materi kuliah yang tidak sempat
ditanyakan di kelas. Ada nama Iren di sana.

Lalu, kepada Iren kuucapkan selamat. Kusampaikan bahwa itu adalah hikmah
ditempatkan di Ternate. Aku juga mendoakan agar ia maju terus hingga juara.
“Alhamdulillah, Pak. Amin. Terima kasih banyak, mohon doa dan dukungannya,”
balasnya. Besoknya aku meminta izin agar kisahnya aku tulis. Ia mengizinkan.
“Dengan senang hati,” katanya.

Kisah Bermula

“Dari dulu, Iren selalu ingin ikut ajang kecantikan,” begitu Iren membuka
kisahnya. Tetapi tidak pernah mendapat izin dari kedua orang tuanya karena
mereka menginginkan ia fokus pendidikan dulu. Iren yang merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara pun menurut saja. Demi tidak mengecewakan kedua
orang tuanya, rencana itu ia simpan. Akhirnya setelah lulus kuliah, barulah ia
diizinkan untuk memasuki dunia ajang kecantikan.

Mulanya, gadis cantik yang kini berusia 19 tahun itu sempat ikut Mojang Jajaka
Kota Bandung 2017. Saat itu, ia baru selesai sidang yudisium di PKN STAN,
sambil menunggu wisuda. Ia berhasil mendapat Award Best Talent Mojang Kota
Bandung 2017 dengan menampilkan bakat menari daerah sambil memakai
sepatu roda. Karena kebetulan, ia juga atlet Freestyle Inline Skating.

Bidang yang umumnya disebut sepatu roda itu, ia geluti sejak 2011. Memasuki
2016 ia berhenti berkompetisi, yakni saat diterima di PKN STAN. Jam kuliah
yang padat akan bentrok dengan jadwal latihan yang harus dilakukan secara
rutin. Alasan lainnya, ia sudah beberapa kali juara dalam kompetisi skala
internasional. Sempat sebagai juara keempat Classic Senior Women di ajang
Singapore International Freestyle Slalome Championship 2014. “Jadi rasa penasaran
untuk menang sudah terbayarkan,” begitu Iren beralasan. Tapi sekali-kali, ia
masih main sepatu roda hanya untuk fun saja, tidak untuk kompetisi.

On the Job Training

Sayangnya, hidup tak selamanya indah. Tidak ada pesta yang tak berakhir.
Setelah bergembira atas kelulusan dari sekolah kedinasan yang terkenal dengan
“kekejaman” sistem droup out (DO)-nya dan keberhasilan mendapat sebuah
Perekat Indonesia 319

award dalam ajang mojang Kota Bandung itu, kini tiba giliran kesedihan
menyapanya.

Beberapa saat setelah wisuda, Iren mendapat pengumuman penempatan On the


Job Training (OJT). Ia ditempatkan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Kupang. Ia shock berat dan membuat rengsa badannya. Aku memaklumi. Ia
perempuan yang pada saat itu baru berusia 17 tahun dan harus pergi merantau
sendirian di kota nun jauh, meninggalkan orang tuanya di Bandung. Sempat
ia berpikir untuk resign, tetapi akhirnya ia berangkat juga ke Kupang, ibu kota
Provinsi Nusa Tenggara Timur itu, dengan air mata yang terus rebas. “Iren tidak
bisa berhenti menangis, Pak,” ungkapnya menggambarkan kesedihannya.

Namun terkadang, bahagia dan sedih hanyalah persepsi belaka. Saat kita
menjalaninya, sesuatu yang semula dianggap membahagiakan, bisa jadi nyatanya
tidak. Pun kesedihan. Iren membayangkan, di Kupang nanti ia akan sendirian. Ia
akan kesepian karena jauh dari orang-orang yang dicintainya.

“Tapi setelah sampai di sana dan masuk kantor di hari pertama, semuanya
berubah,” Iren membuka kisah lembaran barunya. Kondisi kantor itu lebih terasa
kekeluargaanya. “Mungkin karena banyak anak rantaunya”, ia melanjutkan.
Suasana kantor seperti itu membuat Iren merasa nyaman untuk bekerja.

Pun tinggal di kotanya. Meskipun jarang sekali tempat hiburan seperti mal dan
lainnya, tidak ada transportasi daring, dan cuacanya yang panas ekstrem. Tapi
semua itu terkesampingkan oleh keindahan alamnya. Sehingga Iren sudah merasa
benar-benar betah tinggal di kota yang sepulau dengan negara Timor Leste itu.

Penempatan Definitif

Hidup selalu mengajarkan bahwa tawa dan tangis akan datang silih berganti.
Sesuka hati. Tanpa kita minta dan tanpa kita duga. Begitu pun yang terjadi
dengan Iren. Saat ia sudah merasa betah dan senang tinggal di Kupang, tiga
bulan kemudian, keluar pengumuman definitif. Ia ditempatkan di KPP Pratama
Ternate.

Sedih? Tentu saja. Karena alih-alih balik ke homebase, ia malah makin jauh ke
timur. Tapi Iren sudah mulai belajar legawa dan ikhlas. “Iren percaya, Allah pasti
mempunyai rencana indah buat Iren,” ungkapnya bijak.
320

Di Ternate, hal yang sama seperti di Kupang terulang kembali. Di sana tidak
ada bioskop, mal pun hanya satu-dua saja. Itu pun kecil. Tidak ada transportasi
daring juga. Biaya hidup tinggi karena hampir semua barang kebutuhan
merupakan barang impor atau didatangkan dari pulau lain. Tapi semua itu
terkalahkan dengan keeksotisan alamnya. “Wah… Subhanallah ciptaan Allah
memang luar biasa pokoknya,” Iren memuji kebesaran Tuhannya.

Iren mempunyai kegemaran travelling. Ia juga anak yang mudah beradaptasi


dengan lingkungan sekitar. Hal itulah yang membuat ia betah tinggal di kota
yang berada di bawah gunung api Gamalama di Provinsi Maluku Utara itu.
Malah lebih betah dari saat tinggal di Kupang.

Sejak Iren mulai merantau ke luar Bandung, satu yang menjadi moto hidupnya,
“Lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil, daripada menjadi ikan kecil di
kolam besar.” Maka ia sebisa mungkin melakukan yang terbaik di sana. Baik
dalam segi pekerjaan, maupun dalam segi soft skill–membangun relasi dengan
rekan kerja satu instansi, di luar instansi, dan dengan stakeholders. Semua ia
lakukan dengan maksimal agar ia lebih menonjol.

Menjadi Finalis Puteri Indonesia

“Kalau mengenai mengapa Iren bisa menjadi Puteri Indonesia mewakili Maluku
Utara, ceritanya begini Pak...” Iren membuka kisah mengenai keterlibatannya
dalam ajang kecantikan paling bergengsi di Indonesia itu.

Awalnya, Iren merasa sudah hampir setahun tinggal di Ternate, tetapi hanya
kenal dengan orang-orang kantor saja. Akhirnya ia mulai ikut komunitas-
komunitas daerah untuk memperluas relasi dan wawasan. Dari situ, Iren kenal
dengan seseorang, Kak Ian namanya. Kak Ian sering mengajak Iren jalan-jalan
hunting foto-foto. Terus Kak Ian unggah foto-foto itu ke akun medsosnya.
Unggahannya itu dilihat oleh Koko, orang yang membantu Iren hingga bisa
mendapatkan gelar Puteri Indonesai Maluku Utara.

Tidak mudah untuk Iren mendapatkan gelar itu. Bersaing dengan banyak putri
daerah lain yang cukup berkompeten. Mulanya ia–selaku pendatang, merasa
pesimis. Tapi pihak Yayasan Puteri Indonesia menekankan bahwa syarat untuk
mewakili suatu provinsi itu: (1) mempunyai garis keturunan daerah dari provinsi,
dan/atau (2) kelahiran/bertempat tinggal di provinsi, dan/atau (3) kuliah/bekerja
Perekat Indonesia 321

di provinsi tersebut. Kata “atau” di situ menandakan bahwa syarat dimaksud


adalah syarat alternatif. Iren memenuhi salah satu syarat, yakni bekerja di provinsi
tersebut. Dengan itu, Iren jadi optimis karena memang mengikuti ajang seperti
itu merupakan impiannya sejak lama.

Motivasi

Aku bertanya perihal motivasinya mengikuti ajang kecantikan itu. Ia menjawab


panjang lebar. Jawaban-jawabannya menunjukkan bahwa Iren, meskipun masih
remaja, tetapi pemikirannya sudah jauh ke depan. Tampak jelas dari kalimat-
kalimatnya itu tidak dibuat-buat. Motivasinya sangat mulia. Aku hampir tak
percaya bahwa ia pernah menjadi anak didikku.

“Iren sudah mengunjungi beberapa destinasi wisata di Maluku Utara dan Iren
merasa sedih,” ia mengawali kisah tentang motivasinya. “Dengan alam yang
seindah dan secantik itu, masyarakat tidak melihatnya sebagai peluang mereka
untuk menarik wisatawan dan menyejahterakan hidup mereka. Pemerintah
memang telah banyak membuat program untuk menarik wisatawan. Namun
hal itu seharusnya tertanam di masyarakatnya dulu, harus sadar akan pariwisata
berkelanjutan.” Karena itu, ia pun mengambil advokasi, “Pentingnya edukasi
pelestarian lingkungan di wilayah terpencil timur Indonesia.”

Menurutnya, kalau saja masyarakatnya mau bergerak untuk merapikan dan


menata tempat wisata yang dekat dengan pemukiman mereka, misalnya dengan
membuat trip organizer atau semacamnya, untuk menjemput tamu langsung
dari bandara dan menyiapkan transportasi serta segala macamnya, pasti banyak
yang akan datang ke sana. Sejauh ini hanya ada satu dua saja, itu pun jenis
pelayanannya masih tidak selengkap seperti yang Iren harapkan.

Hal itulah yang menurut Iren membuat wisatawan enggan datang ke Ternate.
Sudahlah tiketnya mahal, para wisatawan masih kesulitan mencari informasi
mengenai akomodasi, transportasi, dan sebagainya. Padahal, para pekerja
speedboat daripada hanya diam di pelabuhan menunggu penumpang yang akan ke
pulau seberang, lebih baik disewa untuk membawa turis-turis.

Harapan ke depannya, Iren bisa memotivasi masyarakat di sana, khususnya kaum


melenial yang sedang produktif-produktifnya untuk berani bersaing dengan
dunia luar. Mereka harus bisa membuktikan kalau masyarakat di timur itu tidak
322

terbelakang. “Sedih Iren, Pak. Waktu ikut acara seribu guru di desa Tolofuo.
Anak-anak di sana kalau ditanya cita-citanya apa, jawabnya pengin jadi pemanjat
kelapa, pengin jadi sopir speedboat, ya semacam begitu saja karena yang mereka
lihat sehari-hari hanya seperti itu,” jelas Iren. Ia juga menjelaskan, desa Tolofuo
bisa ditempuh dari Ternate selama 23 jam perjalanan darat ditambah 3 jam
perjalanan laut.

“Makanya, Iren di sana ingin menginspirasi mereka, membantu mengenalkan


kalau di ‘dunia luar’ itu ada apa saja, agar mereka ada acuan untuk belajar
setinggi-tingginya,” Iren menutup kisahnya dengan kalimat yang merupakan
keinginan luhurnya.

Wilayah Indonesia memang begitu luas. Terdiri dari ribuan pulau. Dengan
keragaman suku dan budaya. Pun keelokan alamnya. Kekayaan yang luar biasa
itu sekaligus juga merupakan ancaman bangsa ini menjadi terpecah-pecah, tanpa
kesadaran dan usaha dari semua pihak akan pentingnya persatuan dan kesatuan
bangsa. Juga perlunya kesadaran ikut memajukan saudara-saudara kita nun jauh
di sana yang masih tertinggal dalam segala hal.

Ternyata selain cantik, Iren juga telah menginspirasi kita semua tentang
perilaku yang mendukung kesadaran nasionalisme, kesetiakawanan sosial, dan
perilaku yang memberikan pengakuan terhadap kaum marginal. Ia juga telah
menunjukkan dukungannya terhadap inisiatif dan peran masyarakat dalam
pembangunan.

Tahun ini, ajang kecantikan yang dipelopori oleh Ibu Mooryati Soedibyo itu,
merupakan perhelatan yang ke-23. Puncak acaranya digelar pada tanggal 8 Maret
2019 di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat. Iren bersama
38 finalis lainnya yang mewakili provinsinya masing-masing berjuang untuk
menyandang gelar Puteri Indonesia 2019.

Meskipun Iren belum berhasil menjadi Puteri Indonesia 2019, sejatinya ia pun
telah menjadi juara atas inspirasi-inspirasinya, memajukan daerahnya yang
terletak ribuan mil dari ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Ia
telah menjadi ikan besar di kolam kecil.
Perekat Indonesia 323

Merawat Kebangsaan
Sekaligus Edukasi Keuangan
Negara yang Menyenangkan
Rudi Andika, Staf Tenaga Pengkaji Bidang Perbendaharaan - DJPb

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan


lebih dari 17.000 pulau dan berpopulasi lebih dari 262 juta jiwa.
Ia menjadi rumah bagi 350 kelompok etnis yang menuturkan
725 bahasa. Indonesia sering dijadikan contoh sebagai sebuah
negara dengan penduduk yang sangat beragam namun dapat
hidup berdampingan dengan damai. Bapak-bapak pendiri
bangsa pun memformulasikan sebuah prinsip pemersatu yang
kemudian diekspresikan dengan semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” sebagai semboyan bangsa.

Sangat disayangkan bahwa wajah Indonesia akhir-akhir ini


semakin menjauh dari citra tersebut. Warga negara yang
berbeda latar belakang semakin sulit untuk hidup berdampingan
dengan damai. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) yang menjadi mata pelajaran wajib di bangku sekolah
seakan tidak efektif menghasilkan warga negara yang aktif
berkontribusi karena lebih banyak dilakukan dalam bentuk
hafalan. Sekolah tidak lagi menjadi ruang perjumpaan bagi
siswa dari berbagai latar belakang karena sekolah negeri yang
semakin tidak kondusif bagi siswa minoritas dan menjamurnya
sekolah-sekolah swasta eksklusif berbasis agama. Lebih
jauh lagi, Revolusi Mental yang menjadi program andalan
pemerintah hingga hari ini masih belum memiliki wujud nyata
di tengah masyarakat. Sejatinya, revolusi mental adalah revolusi
karakter warga negara yang semula lebih banyak menuntut dan
324

memikirkan kepentingan diri dan golongan sendiri (self-centered) menjadi lebih


banyak berkontribusi dan memikirkan kesejahteraan bersama (others-oriented).

Dani Dwi Permana adalah pelaku bom bunuh diri Hotel JW Marriott, Jakarta,
beberapa waktu silam. Yang mengejutkan adalah ia seusia pelajar SMA dan
hanya bersama seorang remaja lainnya melakukan pengeboman. Padahal, selama
menjadi pelajar di sekolah, ia dikenal sebagai murid yang berprestasi dan dikenal
sebagai anak yang baik, sering menghabiskan waktunya dengan ibadah, bahkan
menjadi marbot masjid. Di Surabaya, sepasang suami-istri melibatkan anak-
anaknya untuk menjadi pelaku bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya.
Ini hanya dua dari banyak hal yang melatarbelakangi perlunya merekatkan
bangsa ini. Yang jelas, mereka butuh ruang perjumpaan!

Sebuah sekolah umumnya cenderung homogen. Madrasah umumnya berisi


murid-murid Muslim, sekolah seminari umumnya berisi siswa Kristen/
Katolik, sekolah swasta kebanyakan dihuni oleh siswa dari etnis tertentu
yang sebagian besar orang tuanya kaya dan sang anak akan bergaul dengan
anak orang kaya lainnya. Siswa sekolah negeri pun berisi anak-anak yang bisa
kita lihat kekhasannya sendiri. Para pelajar tengah dalam segregasi. Tanpa
mengetahui “dunia luar”, masing-masing individu akan rentan menerima
informasi yang keliru tentang dunia luar. Mereka rentan terpapar kabar bohong
(hoaks). Hoaks yang bermuatan kebencian akan bermuara pada intoleransi -
memecah belah tanpa sadar bahwa semua informasi tersebut tidak benar. Ruang
perjumpaan memimpikan para siswa dari berbagai sekolah berkumpul, berbagi,
mengekspresikan toleransi, serta terluruskannya pandangan yang keliru dalam
pikiran mereka selama ini.

Selain mimpi ruang perjumpaan, berikutnya adalah mimpi generasi kontributif.


Masyarakat kita cukup dikenal dengan nyinyiran-nya. Memang, mengkritik
tidak harus selalu dilengkapi dengan alternatif solusi karena tidak memiliki
kompetensi. Bagi kaum awam, mengeluhkan kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) atau mengkritik pemerintah yang berutang tetap sah-sah saja
meskipun kaum awam tersebut tidak sanggup menawarkan solusi. Mereka
mengeluhkan apa yang mereka lihat atau rasakan. Namun paling tidak misalnya,
jika masyarakat benar-benar mendalami apa yang dihadapi pemerintah, mereka
akan memahami bahwa mengambil keputusan memang tidak mudah di tengah
ketidakleluasaan (constraint) yang dihadapi. Demikian juga bagi para pelajar
yang adalah tunas bangsa. Pendalaman situasi akan membuat mereka belajar
Perekat Indonesia 325

untuk memikirkan kontribusi apa yang dapat dilakukan, daripada hanya sekadar
nyinyir tanpa faedah. Sehebat apa pun solusi yang dikembangkan/ditawarkan
pemerintah, ia akan optimal jika ada dukungan kontribusi dari rakyatnya. Itulah
sisi kontributif.

Kondisi ini yang memanggil Yayasan Beneran Indonesia, sebuah yayasan


nonprofit yang terpanggil untuk menegakkan pendidikan karakter dan
kewarganegaraan anak-anak Indonesia. Dengan kalimat lain, yayasan (atau bisa
juga disebut dengan komunitas) ini memiliki visi untuk membentuk generasi
muda yang toleran dan kontributif, melalui kegiatan yang menyenangkan
(fun) dan relevan. Beberapa rekan juga menyebutnya sebagai “pembelajaran
PPKn di luar ruangan”. Beneran Indonesia sendiri adalah sebuah singkatan,
yaitu Bela Negara Nasional Indonesia. Berbagai kegiatan pernah dilakukan
oleh Beneran Indonesia antara lain: Amazing Race (disebut juga Aku Cinta
Indonesia/ACI), sebuah pembelajaran aplikasi Pancasila di luar ruangan
dengan metode permainan dan kegiatan kelompok; Life Skills Training, sebuah
pembekalan keterampilan untuk remaja; dan Volunteer Now!, sebuah kegiatan
kesukarelawanan yang dikemas seru dan menyenangkan.

Pada 11 Desember 2018, Beneran Indonesia bekerja sama dengan Kementerian


Keuangan mengadakan Institution Visit ke kompleks Kantor Pusat Kementerian
Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta, yang melibatkan berbagai siswa dari
beberapa sekolah di Jakarta. Melalui Institution Visit, pelajar dapat melihat
langsung profil institusi pemerintah yang sejatinya bekerja bagi mereka.
Institution Visit berusaha untuk menghilangkan jurang antara pemerintah dengan
rakyat, apalagi generasi pelajar adalah generasi yang kelak akan meneruskan
pemerintahan ini. Selain itu, kunjungan ini bertujuan juga untuk menciptakan
ruang perjumpaan para pelajar yang plural. Institution Visit menjadi manifestasi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang relevan, menciptakan ruang
perjumpaan bagi siswa berbagai latar belakang, serta menjadikan revolusi mental
menjadi sebuah praktik nyata. Diharapkan, para pelajar Indonesia menjadi warga
negara yang mampu melihat permasalahan yang terjadi di sekitar mereka dan
menganalisa penyebab (complex problem solving dan analytical thinking), serta
mengambil langkah nyata berupa kontribusi sebagai warga negara yang baik
(creativity) sehingga Pancasila tetap relevan dan pelaksanaan penerapan Pancasila
menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan secara khusus bagi generasi muda.

Sebagai salah satu penggiat komunitas Beneran Indonesia, aku bersama


326

rekan-rekan Beneran Indonesia mengawali persiapan dengan mengutarakan


inisiatif ini kepada Ibu Adelina Sirait, salah seorang pengarah pada Program
Kemenkeu Muda, yang kemudian bermuara pada komunikasi dengan Biro
Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Setjen Kemenkeu. Puji Tuhan, Biro
KLI menyambut baik dan mendukung penuh inisiatif ini. Inisiatif ini selaras
dengan visi dan strategi komunikasi (strakom) publik Kementerian Keuangan
sehingga diharapkan memenuhi ekspektasi edukasi publik oleh pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Keuangan. Aku merasakan betul atmosfer dukungan
biro dalam persiapan dan penyelenggaraan kunjungan ini. Demikian halnya
atasanku, Tenaga Pengkaji Bidang Perbendaharaan–Bapak Syafriadi yang juga
mengizinkan dan mendukung keterlibatanku dalam kegiatan ini.

Seperti pada semua Institution Visit Beneran Indonesia sebelumnya, visit ini
membutuhkan relawan. Keberadaan relawan tidak hanya membantu persiapan
teknis kunjungan, namun visi ruang perjumpaan ini juga menyasar para relawan
juga. Sesuai arahan Biro KLI, para pegawai Kemenkeu dilibatkan untuk menjadi
relawan sehingga memunculkan kesadaran (awareness) juga di kalangan pegawai
Kemenkeu untuk berinteraksi dan memberikan edukasi kepada masyarakat/
pelajar. Dari puluhan pendaftar, enam belas relawan dipilih sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkan.

Persiapan penyelenggaraan Institution Visit tanggal 11 Desember 2018


yang dikombinasikan dengan meningkatnya beban pekerjaan di akhir tahun
anggaran 2018 cukup menguras tenaga para relawan maupun rekan-rekan di
Beneran Indonesia. Namun, semua terbayar lunas pada hari pelaksanaan visit
tatkala melihat antusiasme para pelajar dalam mengikuti visit. Pagi itu, wajah-
wajah ceria dan penuh keingintahuan membuat rasa lelah ini berguguran dan
menyalakan semangat bagi diri. Institution Visit ini dihadiri oleh 91 siswa
dari beberapa sekolah se-Jabodetabek. Sekolah-sekolah yang terlibat didesain
merupakan sekolah yang berbeda “jenis” dengan sekolah lainnya, yaitu sekolah
negeri, sekolah swasta, homeschooling, bahkan panti asuhan. Belum lagi ketika
sempat melihat bahwa ada peserta dari Kota Bandung yang berangkat saat
subuh ke Jakarta untuk mengikuti Institution Visit ini. Ia berkebutuhan khusus,
namun tidak menahannya untuk bergabung. Bahkan, kami semula mendengar
bahwa ada peserta dari panti asuhan yang sedang berjuang melawan kanker,
meskipun pada akhirnya tidak diizinkan ikut oleh pihak panti karena alasan
kesehatan.
Perekat Indonesia 327

Para peserta kemudian dibagi menjadi


beberapa kelompok. Masing-masing kelompok
Negara yang
diberi nama para Menteri Keuangan RI
terdahulu dan didampingi oleh kakak-
kuat adalah
kakak relawan. Pembagian kelompok juga negara yang
memisahkan #Temankeu (demikian para
peserta kemudian disebut dalam visit tersebut) memiliki
dari agama dan suku yang sama, demi
terjalinnya interaksi melalui ruang perjumpaan.
warga
Acara diawali dengan penayangan video negara yang
sambutan Menteri Keuangan yang diproduksi
khusus untuk kunjungan siswa (study tour) ke kontribusinya
Kementerian Keuangan. Para siswa tampak
antusias menyimak pesan dari Ibu Menteri
jauh melebihi
Keuangan agar menggunakan kesempatan ini tuntutannya
dan cakap
untuk memperoleh pengetahuan dan inspirasi
dari Kementerian Keuangan.

Acara diisi dengan berbagai permainan bekerja sama


menarik yang tidak hanya membuat para
#Temankeu berbaur, namun juga mengenalkan
dengan warga
tusi Kemenkeu kepada mereka. Acara dikemas lainnya yang
berbeda latar
begitu seru sehingga tawa ceria #Temankeu
tidak tertahankan untuk meledak di Aula
Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Di dalam
aula BKF pada saat itu, sedang terjadi jalinan
belakang
kebinekaan, edukasi keuangan negara, dan untuk mencari
sukacita bermain yang menyenangkan.
solusi bagi
kebaikan
Turut hadir dalam acara adalah Bapak Letkol
Eko dari Direktorat Bela Negara Kementerian
Pertahanan. Dalam sambutannya, Beliau
mengapresiasi Yayasan Beneran Indonesia atas
bersama.
inisiatif menciptakan generasi yang kontributif
nan toleran. Beliau juga mengapresiasi
Kementerian Keuangan yang membuka
“pintu rumah” untuk melayani antusiasme
328

#Temankeu. Kemudian, acara juga diisi dengan talkshow yang menghadirkan


Tenaga Pengkaji Bidang Sumber Daya Aparatur, Bapak Adi Budiarso; Chief
Reporting Officer Central Transformation Office (CTO), Ibu Adelina Sirait; dan
Koordinator Tim Program Kemenkeu Muda, Luh Putu Rina Maharani. Bapak
Adi dan Ibu Adelina banyak melayani keingintahuan para #Temankeu mengenai
berbagai isu keuangan dan ekonomi negara, tidak terkecuali perihal utang dan
pendapatan negara. Beliau menyampaikan juga prospek negara Indonesia di
tahun-tahun mendatang, misalnya bahwa pada tahun 2030 kelak Indonesia akan
mengalami bonus demografi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan
ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045, tantangan Revolusi Industri 4.0,
dan sebagainya. Oleh karena itu, para #Temankeu perlu sadar dan diperlengkapi
untuk berkontribusi bagi kesejahteraan bangsanya dan tidak hanya memikirkan
diri sendiri. Kak Rani pun banyak menginspirasi para #Temankeu melalui
contoh kehidupannya yang tetap dapat menjaga keseimbangan antara bekerja
dan aktivitas “ekstrakurikuler”, bahwa bekerja tidak lantas membuat passion-nya
padam. Secara pribadi aku merasa salut dengan kesediaan para narasumber yang
telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan yang pastinya padat. Talkshow
yang melibatkan ketiga narasumber/inspirator tersebut begitu berkualitas dan
inspiratif. Aku sangat berharap api inspirasi ini bertahan awet dalam diri para
#Temankeu dan bahkan membakar kayu-kayu bakar lainnya di sekeliling mereka.

Seusai talkshow, para #Temankeu diajak untuk bermain simulasi APBN.


#Temankeu dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang diisi oleh #Temankeu
yang berasal dari sekolah yang berbeda-beda. Dalam permainan ini, setiap
kelompok seolah dipercayakan dana APBN sebesar satu miliar rupiah yang
kemudian diminta untuk menentukan besaran alokasi belanja tiap-tiap fungsi.
Dibantu oleh dua kakak relawan di tiap kelompok, para #Temankeu dalam satu
kelompok secara bergantian melihat infografik kondisi Indonesia sesuai fungsi
belanja yang tersaji pada bilik/booth/chamber. Para #Temankeu melihat infografik
kondisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pelayanan umum, ketertiban dan
keamanan, hingga pariwisata Indonesia. Para kakak relawan menjawab hal-hal
yang kurang dapat dipahami oleh #Temankeu. Kemudian, setiap kelompok
melakukan simulasi alokasi anggaran pada tiap-tiap fungsi tersebut. Selain itu,
ada sebuah activity game ketika #Temankeu diminta untuk mendeskripsikan
tusi Kemenkeu yang menjadi salah satu ukuran #Temankeu memahami
Kemenkeu, dengan tulus menyampaikan apa yang sudah baik dari Kemenkeu,
respectfully menyampaikan apa yang masih perlu diperbaiki dari Kemenkeu serta
Perekat Indonesia 329

mengusulkan program Kemenkeu yang perlu diselenggarakan untuk generasi


muda.

Kuperhatikan banyak ekspresi sukacita juga dari rekan-rekan relawan karena


dapat terlibat dalam kegiatan ini. Para relawan memberikan yang terbaik saat
menyumbangkan kontribusi konten handout dan kontribusi konten booth kondisi
Indonesia sesuai fungsi APBN. Indonesia adalah negara dengan persentase
rakyat yang terlibat dalam kegiatan kesukarelawanan tertinggi di dunia. Aku
berharap kita semua dapat terus menjaga hati yang melayani ini.

Kekuatan suatu negara adalah sebesar kekuatan warga negaranya. Negara


yang kuat adalah negara yang memiliki warga negara yang kontribusinya jauh
melebihi tuntutannya dan cakap bekerja sama dengan warga lainnya yang
berbeda latar belakang untuk mencari solusi bagi kebaikan bersama. Terlebih
lagi hal ini sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2019
sebagaimana juga tertuang dalam APBN 2019 yang mengambil tema “APBN
Untuk Mendorong Investasi dan Daya Saing Melalui Pembangunan Sumber
Daya Manusia”. Generasi muda Indonesia perlu diperlengkapi secara serius,
terlebih dalam rangka memasuki era disrupsi Revolusi Industri 4.0 maupun
Society 5.0. Pemerintah maupun Non-Government Organization (NGO) serta
seluruh komponen bangsa perlu bersinergi demi mewujudkan sejumlah program
nyata untuk melatih warga negara memiliki mentalitas kontribusi yang aktif
menyejahterakan bangsa dan sesamanya. Pendidikan jelas masih menjadi cara
yang paling tepat dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, namun harus
dilakukan dengan cara yang relevan, berkelanjutan, dan aplikatif.

“Jangan pernah lelah mencintai negeri ini!”, ucap Ibu Menteri Keuangan dalam
berbagai kesempatan. Mari bersama merekatkan Indonesia dalam Gerakan
Indonesia Bersatu!
330

Menabur Benih Sedari Dini


untuk Mengakar
Penny Febriana, Sekretariat Pengadilan Pajak - Sekretariat
Jenderal

Mengarungi Birokrasi. Dua kata yang aku tetapkan akan


menjadi satu hal yang menjadi tantangan terbesar dalam
perjalanan karierku saat ini. Membawa latar belakang pekerjaan
di sektor privat selama lebih kurang lima tahun membuatku
menyadari hal ini justru akan semakin berat. Pun hal tersebut
yang sempat mengernyitkan kening cukup banyak orang ketika
mengetahui keputusan yang aku ambil untuk terjun ke sektor
publik.

Aparatur Sipil Negara. Januari 2019, secara resmi aku


menyandang predikat tersebut, setelah tentunya satu
tahun penuh bergulat dengan berbagai proses yang masih
menempelkan kata Calon di depannya. Menapaki kembali
waktu demi waktu dalam satu tahun menyandang predikat
Calon tersebut, tidak bisa kugambarkan pergolakan di
dalam diri mengenai apa yang aku rasakan dan perubahan
apa yang aku hadapi dalam ruang lingkup baru ini. Begitu
hebat pergolakannya sehingga dalam hatiku berjanji jika
benang-benang kusut yang ada di dalam otakku ini berhasil
aku luruskan, aku harus membagikannya kepada orang
lain. Tujuannya hanya sederhana, tidak boleh ada lagi yang
kebingungan dan meragukan dirinya seperti aku.

Ada hal yang perlu aku akui. Sempat terlintas di dalam


benakku bahwa bisa jadi yang orang-orang jadikan doktrin
Perekat Indonesia 331

tentang budaya birokrasi di pemerintahan yang coba aku sangkal demi


optimisme, mungkin ternyata benar. Sehingga menyiratkan sedikit rasa ragu
dan menggantikan tanda seru dengan tanda tanya di akhir kalimat menjadi abdi
negara.

Ironi pun kerap menyelinap masuk ke dalam realita kehidupanku. Walau


terhubung hanya dari media sosial dan poster acara yang sering muncul melalui
kiriman surat elektronik yang dikirimkan untuk seluruh pegawai, namun tidak
mengurangi kekagumanku terhadap sosok yang memimpin institusi ini, Ibu Sri
Mulyani Indrawati. Kebanggaan atas keberhasilan untuk memperoleh predikat
“anak buah” Ibu Sri Mulyani pun kerap kulontarkan menjadi canda jika sedang
berkumpul dengan teman-teman, setelah kepindahanku ke Kementerian
Keuangan.

Jika optimisme dan kebanggaan tersebut tidak surut mengiringi langkah


keseharian pekerjaanku, maka tidak mungkin aku sebut ini ironi. Dan tidak
perlu juga aku sampai menciptakan begitu banyak benang-benang di dalam
labirin otakku hingga kusut. Sayangnya, benturan realita yang aku dapati sempat
berhasil mengalahkan optimisme awal yang aku bawa untuk mengubah stigma
masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan.

Benturan realita. Bentuknya adalah pekerjaan klerikal dan serangkaian hierarki


yang harus dihadapi setiap harinya. Realita itu berupa adanya keterbatasan ruang
untuk berkreasi dan merasakan pekerjaan yang kulakukan tidak memberikan
kontribusi esensial kepada negeri. Aku merasa posisiku saat ini justru
membawaku semakin jauh dengan sosok idola sekaligus pemimpin institusi
tempatku bekerja. Aku tentunya tidak dapat menyangkal kodratku sebagai kaum
milenial yang mungkin dalam pernyataan ini terdengar sangat subjektif. Seberapa
pun seringnya aku mendengar isu adanya gap antargenerasi diperbincangkan
untuk ditemukan solusinya, tetap saja hierarki birokrasi melahirkan keresahan
bagiku. Dan seberapa pun seringnya aku dan rekan-rekanku sebagai kaum
milenial mengeluhkan tentang hierarki yang menurut kami membelenggu,
tetap saja hierarki yang melekat pada peraturan dan kebijakan harus ditaati dan
dijalankan sebaik-baiknya.

Atas benturan realita ini, sempat aku termakan oleh pesimisme dan ketakutan
bahwa institusi pemerintahan hanya mengantarkan aku kepada kemandekan.
Sempat aku merasa keputusan ini telah meniadakan ruang untuk diriku bisa
332

berkembang. Sempat pula aku meragukan mimpi yang telah aku gantungkan
dengan mengorbankan pengalaman profesional yang telah aku bangun selama
lima tahun. Mimpi untuk mengguncang kultur birokrasi dan membuatnya
menjadi seideal yang kuinginkan, mengubah budaya birokrasi untuk bisa lebih
adaptif dan responsif terhadap dinamika perubahan zaman, mengubah persepsi
masyarakat atas birokrasi yang kaku, apakah mungkin?

Namun dalam hal ini aku merasa beruntung bahwa yang terlahir dari
ketidaknyamanan tersebut adalah keresahan yang membuatku mempertanyakan
kembali visiku menjadi Aparatur Sipil Negara. Penguraian benang-benang kusut
ini pun dimulai dari pelurusan niatku dalam menjadi Abdi Negara.

Dari pemikiran yang didasarkan pada keresahan tersebut, aku akhirnya tersadar,
kekusutan benang-benang tersebut didominasi oleh egosentrisme dalam
diri sebagai individu yang sedang merasa kecewa karena tidak mendapatkan
sesuatu sesuai dengan yang diekspektasikan. Di sela-sela pemikiran yang rumit
tersebut, terbacalah pesan, yang anehnya meskipun bukan pertama kali aku baca,
tetapi kala itu seperti memberikan makna berbeda yang mampu mengubah
pandanganku, “Jangan pernah lelah mencintai negeri ini”

Perspektif baru. Dari sebaris kalimat singkat tersebut, aku tersadar bahwa yang
kujalankan bukan lagi pekerjaan, melainkan pengabdian yang harus didasarkan
pada rasa cinta. Dalam pengabdian tidak patut rasanya jika kekecewaan atas tidak
terpenuhinya ekspektasi diri sendiri dimanjakan menjadi keluhan demi keluhan
yang tidak akan mengubah apa pun. Dari situ, aku mulai membenahi pemikiran
bahwa untuk memelihara mimpi yang besar kepada negeri ini dibutuhkan bukan
hanya tekad, tetapi juga niat yang tulus dalam menerima fakta “pengabdian bisa
saja menghantarkanku kepada kondisi yang jauh dari ideal”. Ketulusan tersebut
akan memiliki force yang lebih besar dalam memelihara pengabdian kepada
negeri ini. Ketulusan itu juga yang akhirnya menyadarkanku bahwa pekerjaan
klerikal yang kerap dikeluhkan, yang mungkin hanya dapat dianalogikan sebagai
baut-baut kecil mesin kenegaraan, tetap sejatinya perlu dijalankan dengan baik
untuk membuat mesin tetap berfungsi.

Berangkat dari pemikiran ini, aku mulai melepaskan pemikiran-pemikiran


negatif yang memudarkan optimisme dalam diri selama ini. Bukan berarti
berhenti mengkritisi dan mencari “what went wrong” tetapi aku menjadi lebih
realistis dan menyadari keterbatasan otoritas yang kumiliki saat ini. Oleh sebab
Perekat Indonesia 333

itu, “start small” tampaknya menjadi penyemangat paling realistis dan paling
manis bagiku saat ini. Memaksimalkan peran yang aku punya saat ini dengan
segala keterbatasan otoritas dan ruang kreasi yang kupunya untuk berkontribusi
kepada bukan hanya institusi, tetapi kepada negeri ini, aku nyatakan sebagai visi
baruku dalam mengarungi birokrasi.

Lebih mendalam, aku juga menyadari kultur birokrasi saat ini merupakan
hal yang telah dipupuk puluhan tahun. Seperti pohon yang sudah mengakar,
aku sepatutnya sadar bahwa menebang pohon yang sudah tumbuh belasan
bahkan puluhan tahun tidaklah mudah.  Sehingga tampaknya kurang realistis
jika perubahan yang kudambakan harus aku capai hanya dalam satu kedipan
mata. Lalu aku pun menyadari bahwa keberadaanku di dalam organisasi bukan
sejatinya untuk menebang pohon yang sudah mengakar tersebut. Perspektif
baruku menghantarkan aku pada intuisi untuk menanamkan pohon lain yang
sama kokohnya yang bisa memberikan nuansa baru bagi organisasi.

“When things change inside you, things change around you.”

Aku percaya perspektif itu penting karena sejatinya respons kita terhadap
sesuatu yang terjadi di sekeliling kitalah yang memberikan nilai kepada masing-
masing kita sebagai individu. Sebaris kalimat di atas secara kuat mewakili apa
yang terjadi saat itu. Seperti gayung bersambut, di tengah pergolakan batin
dan pencerahan yang kudapatkan, semesta seperti berkonspirasi mendukung
niatan baikku, atau bisa jadi ingin menantang sekuat apa ketulusan niat tersebut.
Satu pintu kesempatan terbuka bagiku melalui seorang teman yang telah sejak
kecil aku kenal namun takdir membawanya lebih cepat untuk menjalankan
pengabdiannya pada negara. Temanku ini berasal juga dari Kementerian
Keuangan, tetapi dari Unit Eselon I yang berbeda denganku. Sempat pula
kuceritakan kepadanya mengenai pergolakan dalam proses adaptasiku tersebut.
Dari perbincangan tersebut, sebuah fakta akhirnya kuketahui bahwa yang
memiliki pandangan sepertiku bukan hanya aku sendiri. Dia pun telah merasakan
keresahan yang sama hingga akhirnya menginisiasi sebuah gerakan muda
di Kementerian Keuangan yang dilabelkan dengan nama Kemenkeu Muda.
Jejaringnya begitu luar biasa, mampu menyatukan seluruh aspirasi pegawai
334

Kementerian Keuangan di seluruh pelosok negeri.

Dia menceritakan niatannya untuk membuat sebuah inisiatif baru yang bisa
menciptakan jejaring yang lebih luas cakupannya. Berangkat dari pengalamannya
bergelut di Kemenkeu Muda, dia pun menyadari walaupun tidak diikat dalam
naungan institusi yang sama, tetapi ikatan orang-orang yang memiliki satu
kesamaan visi sejatinya jauh lebih kuat. Dari ikatan tersebut maka tercetuslah
salah satu inisiatif yang menjawab segala ketakutan dan pesimisme kami, yang
sepakat kami namakan Aparatur Muda. Aparatur Muda menyatakan dirinya
sebagai komunitas golongan muda Para Aparatur Sipil Negara dan Pegawai
Pemerintahan di beberapa Kementerian/Lembaga dan Institusi Publik lainnya.
Komunitas ini dibentuk dengan keanggotaan yang tanpa paksaan. Anggota-
anggota yang memutuskan untuk ambil andil dalam komunitas ini tidak
memiliki ikatan formal dan juga tanpa adanya kepastian keuntungan.

Menjadi Aparatur Muda. Jika ada yang mempertanyakan apa sebenarnya yang
ingin kami capai dari inisiatif ini, kami pun belum tentu memiliki keberanian
untuk menyatakan visi yang muluk dan besar, seperti menginisiasi adanya
transformasi birokrasi antara Kementerian/Lembaga atau memberikan usulan
kebijakan kepada Pemerintah misalnya. Kami masih jauh dari itu.

Tidak ingin memulai dengan visi yang terlalu ambisius, namun memilih
menjalaninya dengan semangat dalam melakukan hal yang sederhana dan
secara konsisten memiliki progres, layaknya bayi yang perlahan sedang belajar
merangkak sebelum mengokohkan kaki untuk bisa berlari. Itulah jalan yang
kami pilih. Visi Aparatur Muda adalah fokus untuk menjadi komunitas yang bisa
mewadahi semangat para ASN Muda untuk meningkatkan integritas, sinergi,
dan inovasi dalam menjalankan peran sebagai pegawai muda pemerintahan di
lintas Kementerian/Lembaga.

Forum Diskusi. Kami yakini ini menjadi salah satu wadah yang baik untuk bisa
mengumpulkan lebih banyak partisipan dan mempersatukan lebih banyak ide
dengan beragam perspektif. Pada tanggal 19 Juli 2018, Aparatur Muda telah
berhasil menjejakkan langkahnya yang pertama dalam kegiatan Nyata  (Ngobrol
Santai Aparatur Muda) Volume 1. Konsep acara diskusi adalah dengan membagi
para peserta ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas 2 topik
berbeda (SDM dan Teknologi) dengan tema besar “Quo Vadis Indonesia Emas
2045? Inovasi Pengembangan SDM dan Teknologi Indonesia”. Kelompok-
Perekat Indonesia 335

kelompok kecil tersebut akan difasilitasi oleh satu moderator dan diberikan
waktu lebih kurang satu jam untuk berdiskusi dan mencapai beberapa usulan
kebijakan tentang mempersiapkan Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas
di tahun 2045. Aku masih ingat betul atmosfer di ruangan tersebut pada
sore itu. Mungkin sore itu sebagian dari kami mengalami hari yang berat di
pekerjaan, ada yang kelelahan menghadapi kemacetan Jakarta, ataupun ada yang
mengorbankan waktu untuk segera pulang ke rumah untuk berkumpul bersama
keluarga. Namun, sore itu, diskusi berjalan dengan amat seru. Kebebasan yang
terasa seperti kemewahan bagi kami benar-benar menjadi pengobat lelah.

Secara pribadi aku yakin rekan-rekan yang kutemui di Aparatur Muda memiliki
banyak sekali ide-ide yang masih tertahan dan menunggu untuk dikeluarkan.
Ketiadaan ruang yang kami rasakan selama ini, mungkin bisa terbantu dengan
adanya kegiatan seperti Forum Diskusi ini. Ada salah satu anggota Aparatur
Muda yang berasal dari Kantor Staf Presiden menyatakan akan berupaya
menyampaikan ide dan aspirasi kami kepada pejabat-pejabat yang terkait, tetapi
kami tetap tidak menggantungkan semangat kami pada akan ditindaklanjutinya
atau tidak usulan kebijakan tersebut. Untuk akhirnya menemukan “suara” pun
sudah menjadi sebuah oase bagi kami. Selain itu, kami menyadari dengan saling
beradu argumen dalam menyampaikan ide bisa mengasah kapabilitas kami
sebagai kaum muda untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa. Hal
yang dirasa perlu kami mulai sejak dini untuk bisa mengakar di masa depan.

Senang rasanya bisa menciptakan “ruang” kecil untuk berkreasi dan berkolaborasi.
Senang rasanya bisa menjalin jejaring-jejaring dengan teman-teman
seperjuangan di lintas Kementerian/Lembaga untuk mempermudah koordinasi.
Yang kami lakukan pun sebenarnya hanya koordinasi informal sederhana yang
kerap muncul di sela-sela perbincangan pertemuan kami atau melalui notifikasi
WhatsApp pada grup kami.

“Eh, kemarin aku ketemu bosmu, Beliau rapat dengan bosku. Besok rapat lagi
‘kan jam 9? Kamu ikut?”

Atau sesederhana,

“Ada yang mau ikut acara seminar minggu depan di kantorku?”

Dari kelakar dan obrolan ringan, kami bisa saling bertukar informasi mengenai
336

isu yang sedang hangat dibicarakan


di masing-masing Kementerian dan
…kami
Lembaga atau seputar Pemerintahan.
Kami bisa menyelipkan promosi inovasi
menyadari
yang sedang dilakukan di satuan kerja dengan
atau institusi kami. Aku dan teman-
teman yang berasal dari Kementerian saling beradu
Keuangan bisa menceritakan tentang
#UangKita yang kerap disosialisasikan
argumen dalam
oleh institusi kami, dan kerap menyampaikan
disambung dengan gurauan tentang
permintaan penambahan anggaran di ide bisa
masing-masing Kementerian. Kami
bisa bertukar pandangan, bertukar
mengasah
keluh kesah, ataupun menggambar kapabilitas kami
sebagai kaum
mimpi bersama. Topik bisa apa saja dan
berubah-ubah di setiap pertemuannya,
tetapi yang selalu sama adalah
optimisme kami yang selalu menggebu
muda untuk
karena kami tahu, setidaknya suara kami mempersiapkan
mulai terdengar.
diri menjadi
pemimpin
Memperluas Kolaborasi. Satu hal
tersebut disepakati oleh para anggota
Aparatur Muda, menjadi cara yang
esensial untuk mencapai visi kami.
bangsa.
Dibutuhkan benih yang berbeda
untuk dapat menanam pohon yang
menghasilkan buah yang berbeda.
Secara pribadi aku merasa bahwa
perubahan akan bisa dilakukan jika
“benih-benih” muda yang ada saat ini
bersinggungan dengan lebih banyak
orang yang memiliki karakteristik yang
berbeda-beda atau dengan mengenal
lingkungan di dunia profesional
yang lebih beragam. Oleh sebab itu,
Perekat Indonesia 337

berkolaborasi dengan pihak di luar sektor publik untuk membangun kerangka


berpikir yang lebih luas adalah salah satu jalan yang efektif bagi Aparatur
Muda, membantu untuk menciptakan benih-benih unggul calon pemimipin
di masa depan. Jika di beberapa bulan awal, Aparatur Muda fokus untuk
meningkatkan kolaborasi antar-Kementerian dan Lembaga, tetapi di tahun
kedua berjalannya, organisasi ini ingin meningkatkan kolaborasi bukan hanya
antarsesama Kementerian/ Lembaga, tetapi juga dengan lingkungan luar seperti
golongan akademisi atau sektor privat. Jejaring media sosial membukakan banyak
kesempatan bagi Aparatur Muda. Ajakan-ajakan untuk berkolaborasi pun mulai
berdatangan dan berhasil melambungkan optimisme masing-masing kami
sebagai anggota Aparatur Muda.

Beberapa rangkaian kolaborasi pun telah sukses dilaksanakan. Di akhir tahun


2018, Aparatur Muda menandai kolaborasi yang pertama dengan Google
Indonesia bertajuk “Gapura Digital”. Banyak hal menarik yang dibahas pada
saat itu, salah satunya mengenai panduan dunia digital yang dapat dimanfaatkan
untuk mempermudah pekerjaan-pekerjaan di kantor melalui platform teknologi
yang ada saat ini. Selanjutnya di awal tahun 2019, Aparatur Muda kembali
diberikan kesempatan berkolaborasi dengan Konekin Indonesia (Koneksi
Indonesia Inklusif ) dalam acara “Kongkow Inklusif 2019” yang ditujukan untuk
engaging dengan para ASN disabilitas. Yang kedua di tahun 2019, Aparatur
Muda berkolaborasi dengan yang menggandeng sederet aktivis ternama di
bidang Pemerintahan dan akademisi yang tergabung dalam organisasi Roundtable
on Youth and Demographic Development (RYDD) untuk berpartisipasi dalam
forum diskusi kebijakan publik . Diskusi yang dilaksanakan awal Februari 2019
ini membahas mengenai kebijakan di bidang edukasi dan ketenagakerjaan.

Di satu kesempatan lainnya, Aparatur Muda pernah diajak berdiskusi oleh


satu institusi pendidikan ternama di Indonesia. Sebuah pertanyaan akhirnya
dilontarkan dalam diskusi tersebut, yang tidak bisa tidak melambungan masing-
masing kami ke awan. Bagaimana tidak jika kira-kira bentuk pertanyaannya
adalah seperti ini: “Jika kami tertarik untuk membuka program Public Policy
di Indonesia, program-program atau mata kuliah seperti apa yang kalian lihat
akan cocok dan bisa memberikan dampak signifikan untuk Pejabat Pemerintah
di masa mendatang?” Pertanyaan ini seperti membangunkan kami dan
membuat kami tersadar sepenuhnya bahwa suara kami didengarkan. Suara kami
dibutuhkan.
338

Rangkaian kolaborasi tersebut meninggalkan jejak tersendiri bagiku dan berhasil


mengubah perspektifku akan banyak hal. Kini aku menyadari bahwa membawa
perubahan tidak akan bisa dicapai jika aku tidak menjadi perubahan itu sendiri.
Mungkin membutuhkan belasan atau bahkan puluhan tahun untuk memetik
buah dari benih yang ditabur saat ini. Namun saat ini setidaknya kuketahui
bahwa setiap optimisme dalam diri mulai redup, diskusi bulanan atau agenda-
agenda pertemuan dengan Aparatur Muda bisa mengingatkanku kembali
tentang mimpi yang harus terus kujaga.

Dari Aparatur Sipil Negara menjadi “Aparatur Muda”. Sebuah perjalanan


yang sungguh aku maknai istimewa dalam mengarungi birokrasi. Perjalanan
tersebut telah mengisi tiap sudut perspektif di dalam diri ini, mengubahkan kata
perjalanan karier menjadi sebuah pengabdian. Kata “muda” yang telah mengubah
banyak hal dalam hidupku, patutnya tidak hanya dimaknai sebagai deretan angka
yang menjadi tolak ukur usia semata. Kata “muda” ini istimewa karena mewakili
semangat optimisme untuk menjadi perubahan yang kuharapkan bisa mengakar
dari waktu ke waktu.
Perekat Indonesia 339

Tentang Sinergi dan


Penempatan di Ujung Negeri
Afif Dodi Saputra Sinaga, KPPBC TMP C Ternate - DJBC

Bagi seorang pegawai Kementerian Keuangan, perihal


penempatan dan mutasi bukanlah sesuatu yang ringan. Begitu
banyak kantor-kantor milik Kementerian Keuangan yang
tersebar dari ujung Sabang hingga penjuru Merauke. Beberapa
kantor tersebut berada di kota besar yang penuh dengan gedung
pencakar langit, sedangkan beberapa di antaranya berada di
daerah yang bahkan namanya saja asing didengar. Orang-orang
tidak akan bingung ketika mendengar Kota Jakarta, Surabaya,
dan Makassar. Tapi bagaimana dengan Tahuna? Atambua?
Sangatta? Orang-orang yang tinggal di pulau Jawa biasanya
akan menaikkkan alis dan berpikir keras ketika daerah itu
disebutkan.

Aku sendiri sudah menandatangani sebuah pernyataan yang


menyatakan bahwa aku siap ditempatkan di mana saja. Pada
awalnya, pernyataan itu terasa menggelikan karena aku merasa
tidak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah penempatan.
Namun hal itu berubah ketika aku telah menyelesaikan
pendidikanku di PKN STAN. Segala isu dan desas-desus terkait
penempatan membuat suasana tidak lagi sederhana. Sebelumnya
aku merasa ditempatkan di Indonesia Timur bukanlah
sesuatu yang berat, hingga aku sadar bahwa hanya Ambon
dan Jayapuralah kota yang memiliki bioskop. Aku bukannya
mengatakan bahwa ketiadaan bioskop adalah sebuah kiamat
kecil, namun ketiadaan bioskop adalah sebuah contoh kecil
340

bahwa aku tidak lagi bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sudah kulakukan
sejak lama sebelumnya.

Namaku Putra. Aku adalah seorang laki-laki keturunan Batak dan Jawa yang
tinggal di Jakarta. Sebagaimana remaja pada umumnya, aku menyukai kopi dan
senja. Saat ini aku bekerja pada sebuah kantor Kementerian Keuangan yang
berada di Ternate. Kalian tahu di mana Ternate? Ternate berada di Indonesia
Timur. Ya, aku akhirnya ditempatkan di sebuah kantor di Indonesia Timur. Dan
benar saja kalau di kota ini tidak ada bioskop!

Aku masih mengingat bahwa aku sudah diharuskan untuk pergi ke Ternate pada
pertengahan Desember 2016. Waktu itu umurku masih 19 tahun. Di saat banyak
teman seusiaku berkutat dengan tugas kuliah dan dosen yang menyebalkan, aku
justru harus mulai berbakti pada ibu pertiwi. Terlebih aku ditempatkan pada
sebuah kota yang terdengar asing. Berbagai kemungkinan buruk menyeruak
dari pikiranku. Bagaimana kalau di Ternate aku tidak mengerti bahasa
masyarakatnya? Bagaimana kalau di Ternate tidak ada hiburan sama sekali?
Bagaimana kalau di Ternate tidak ada tukang martabak? Terlalu banyak kata
bagaimana yang membuatku sakit kepala.

Setelah meneguhkan hati dan pikiran, aku akhirnya siap untuk berangkat ke
Ternate bersama teman-teman seperjuanganku. Jumlah keseluruhan kami
adalah dua belas orang. Namun, malam itu di Bandara Soekarno-Hatta hanya
ada sepuluh orang termasuk diriku. Dua orang lainnya akan menyusul keesokan
hari karena masih harus menyelesaikan satu dan lain hal. Malam itu, dengan
dilepas oleh pelukan hangat dari keluarga, aku meninggalkan Jakarta dan segala
kenyamanannya.

Waktu perjalanan dari Jakarta ke Ternate adalah sekitar tiga setengah jam.
Ditemani musik dari handphone dan buku “Tentang Kamu” karya Tere Liye, aku
memutuskan untuk tidak tidur. Sembari sesekali memandangi kegelapan di luar
jendela, aku kembali mempertanyakan banyak hal tentang Ternate yang bagiku
masih abu-abu. Malam itu aku mengumpulkan semua pertanyaan dan bersiap
menemukan jawabannya pada keesokan harinya.

Sekitar pukul tujuh pagi, pesawat yang kunaiki mendarat di Bandara Sultan
Babullah, Ternate. Keraguanku sudah sedikit berkurang seketika sebelum
mendarat. Adalah pemandangan yang luar biasa menakjubkan yang akhirnya
Perekat Indonesia 341

membuatku terpesona. Dan sebuah kisah tentang keindahan Indonesia Timur


ternyata bukanlah hanya isapan jempol semata. Keindahan yang luar biasa
menakjubkan walau hanya dilihat dari atas pesawat. Satu pertanyaanku tentang
tembat hiburan terjawab sudah. Ternate penuh akan tempat wisata alam.

Aku disambut oleh beberapa orang senior dan atasan. Setelahnya aku langsung
diantar menuju sebuah rumah dinas yang akan kugunakan. Rumah yang
sederhana dengan sebuah lapangan badminton di depannya. Nantinya, lapangan
badminton itu akan lebih sering digunakan untuk bermain futsal dibanding
bermain badminton. Aku juga disuguhi makanan khas Ternate, yaitu nasi kuning.
Nasi kuning yang ada di ternate sedikit berbeda daripada yang ada di pulau Jawa.
Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi kalau kalian mau merasakannya, kalian bisa
mampir ke Ternate dan menghubungiku. Nanti aku yang traktir.

Setelah melewati hari pertama, ternyata tinggal di Ternate tidak seburuk yang
kukira. Ternate memang tidak memiliki bioskop, tetapi Ternate memiliki banyak
tempat yang bisa dijadikan tempat untuk menghabiskan waktu selain bioskop.
Pantai Sulamadaha, Pantai Jikomalamo, Danau Tolire, dan Batu Angus adalah
beberapa nama tempat yang bisa dijadikan opsi lain untuk menghabiskan waktu.
Memang tidak ada yang bisa menggantikan sensasi menonton film sambil
menghabiskan popcorn yang ada di tangan, tapi segelas es kelapa segar dan
semburat senja yang indah bisa sejenak membuatku melupakan bioskop.

Terlepas dari masalah bioskop, Ternate sebenarnya tidak terlalu tertinggal


dibandingkan kota lain yang ada di pulau Jawa. Ternate memiliki pusat
perbelanjaan yang tidak buruk. Beberapa makanan fast food yang ada di Jakarta
juga bisa di temukan di Ternate. Kedai kopi khas kekinian juga mulai bertumbuh
subur. Belum lagi ditambah dengan adat dan budaya yang masih terus dipegang
oleh masyarakatnya. Ternate menjadi hebat dengan caranya sendiri. Dan satu lagi,
Ternate ternyata memiliki banyak tukang martabak!

Sedikit demi sedikit pertanyaanku tentang penempatan di Indonesia Timur


mulai terjawab. Keraguan mulai terganti oleh kenyamanan, lalu akhirnya
kenyamanan menghasilkan kecintaan. Ternate tidak lagi abu-abu bagiku. Ternate
menjadi sepenuhnya terang dan menyenangkan. Aku menikmati setiap detikku
di kota ini hingga tidak sadar bahwa tahun pertama berlalu begitu saja.

Selama satu tahun pertama aku menghabiskan hampir seluruh waktuku bersama
342

teman-teman satu kantor. Sebenarnya semua berjalan biasa saja hingga akhirnya
ada satu titik yang membuatku merasa bahwa memiliki teman-teman satu
kantor saja tidaklah cukup. Tadi sudah kujelaskan ‘kan bahwa aku memiliki
sebelas orang teman seperjuangan? Seperjuangan yang kumaksud adalah teman-
teman yang sama-sama mendapat penempatan di Ternate pada waktu yang
sama. Dalam periode satu tahun pertama, kami selalu resah untuk menunggu
panggilan diklat prajabatan dan diklat kesamaptaan yang wajib untuk dijalani
oleh semua pegawai baru. Sialnya, kami tidak dipanggil secara sekaligus untuk
melakukan kedua diklat tersebut. Dan yang lebih sial lagi, aku jadi salah satu
orang yang tertinggal dalam daftar kelompok yang dipanggil diklat. Lalu
tersisalah aku dan dua teman lain yang juga ikut tertinggal. Efek samping
yang paling menyebalkan dari tertinggal diklat adalah kehilangan teman untuk
menghabiskan waktu.

Setelah sadar bahwa sewaktu-waktu lingkaran pertemananku di Ternate


bisa mengecil karena hal-hal yang tidak terduga. Aku memutuskan untuk
membangun relasi. Biasanya, cara paling mudah untuk membangun relasi adalah
mencari orang-orang yang memiliki kesamaan dengan diri kita. Karena aku
adalah seorang pendatang yang bekerja pada salah satu instansi Kementerian
Keuangan yang ada di Ternate, maka hal itu memudahkanku untuk mencari
relasi yang berasal dari instansi lain yang juga Kementerian Keuangan. Oh iya,
aku tadi belum menjelaskan di instansi apa aku bekerja. Aku bekerja pada Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP)
C Ternate. Jadi, aku harus mulai bergerak untuk mengumpulkan relasi yang
berasal dari KPP, KPKNL, KPPN, dan Kanwil Perbendaharaan.

Dalam menentukan relasi, selain faktor kesamaan, kita juga harus jeli dalam
melihat faktor lain. Aku akhirnya kembali meruncingkan parameter pencarian
relasi yang kubutuhkan. Sekarang aku bukan hanya mencari pegawai
Kementerian Keuangan yang ada di Ternate, aku menambahkan sebuah
kriteria lain, yaitu umur. Relasi yang kucari adalah mereka yang berumur tidak
terlalu jauh dariku. Dengan segala hormat, aku tidak pernah bermaksud untuk
menghindari golongan senior, hanya saja biasanya mereka yang seumuran
memiliki pola pikir dan hobi yang tidak jauh berbeda. Aku menghindari konflik
yang mungkin terjadi ke depannya.

Singkat cerita, perjuanganku mengumpulkan relasi yang sama-sama berasal dari


Kementerian Keuangan yang ada di Ternate menemui titik terang. Beberapa
Perekat Indonesia 343

orang sudah mulai terkumpul dan membuat sebuah grup pada aplikasi WhatsApp.
Orang-orang inilah yang nantinya jadi penggagas pergerakan anak-anak muda
Kementerian Keuangan di Ternate. Beberapa orang mungkin memandang
perkumpulan ini dengan sebelah mata, tetapi menurutku, kami yang mencoba
untuk membangun sinergi lebih baik daripada mereka yang memutuskan untuk
tidak peduli dan hidup dengan dunianya sendiri.

Langkah selanjutnya adalah menentukan akan dibawa ke mana perkumpulan


ini. Apakah hanya akan berakhir pada obrolan di sebuah kedai kopi? Atau hanya
akan meramaikan perjalanan untuk menghabiskan akhir minggu? Seperti yang
kubilang tadi bahwa mereka yang sepantar memiliki pemikiran yang tidak jauh
berbeda. Akhirnya sepakatlah kami untuk melakukan sesuatu yang tidak hanya
menguntungkan diri sendiri. Dalam setahun perkumpulan ini berjalan, beberapa
acara yang bermanfaat sudah berhasil terselenggara. Apakah acaranya berjalan
sukses? Jika indikator kesuksesan ditentukan dari kebahagiaan kami dalam
menyelenggarakan sebuah acara, maka dengan bangga aku menyatakan bahwa
semua acara yang kami selenggarakan pantas mendapatkan label “sukses”.

Puncak acara terbesar yang kami selenggerakan adalah Try Out PKN STAN
perdana di Maluku Utara. Di tengah sesaknya pekerjaan di kantor, kami bersusah
payah meluangkan waktu dan tenaga demi terselenggaranya acara ini. Tidak
sedikit kesulitan yang harus kami lalui, terlebih karena nama PKN STAN masih
asing di telinga anak-anak yang bersekolah di Indonesia Timur. Rentetan Try
Out PKN STAN yang kami selenggarakan dimulai dari tahap pembentukan
panitia, penyusunan waktu, sosialisasi, pemantapan acara, pelaksanaan, dan yang
terakhir adalah evaluasi.

Acara Try Out PKN STAN yang kami buat memang tidak semegah try out
yang ada di daerah lain. Tapi kami patut berbangga bahwa acara yang kami
selenggarakan murni dilaksanakan dari hati. Yang mungkin berbeda dengan
daerah lain, Try Out PKN STAN yang kami selenggarakan sama sekali tidak
dipungut biaya. Hebatnya lagi, semua peserta try out berhak mendapatkan snack
ringan. Belum lagi ditambah hadiah bagi tiga peringkat teratas. Dan hadiah yang
diberikan benar-benar bukan hanya sebuah formalitas. Peringkat pertama berhak
mendapat sebuah smartphone. Kalian bisa membayangkan sendiri bagaimana
perjuangan kami hingga semua hal yang kusebutkan tadi bisa benar-benar terjadi.

Setahun setelah terselenggaranya acara Try Out PKN STAN Perdana di Maluku
344

Utara, aku mendapat sebuah kabar yang mengejutkan. Ternyata, salah seorang
perserta try out tersebut benar-benar masuk PKN STAN. Dia adalah peringkat
pertama yang sebelumnya berhasil membawa pulang smartphone. Aku terkejut
karena ternyata try out yang terlaksana tidak hanya menjadi sebuah acara coba-
coba, tetapi juga memberikan dampak positif bagi pesertanya. Sebuah perasaan
yang tidak bisa dibayarkan oleh apa pun di dunia. Sebuah kebanggaan.

Selain mengadakan try out, kami juga sempat membuat kegiatan lain yang tidak
kalah menarik. Pada bulan Ramadan, kami sempat mengadakan acara buka puasa
bersama anak yatim dan pembagian takjil gratis di jalan. Mungkin perihal buka
puasa bersama anak yatim bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pembagian takjil
gratis di jalan jelas merupakan sesuatu yang tabu di Ternate. Tidak sekali takjil
yang mau kami bagikan ditolak karena kami dikira berjualan. Terkadang ketika
kita ingin melakukan sesuatu yang baik, belum tentu kita mendapatkan respons
yang baik juga. Tapi respons penolakan yang kami dapatkan adalah sesuatu
yang wajar karena di Ternate terdapat banyak sekali mahasiswa yang mencari
dana untuk kegiatannya di kampus dengan cara berjualan di sepanjang lampu
merah atau pinggir jalan. Untungnya, setelah orang-orang sadar bahwa kami
membagikan takjil secara gratis, mereka tidak segan untuk mengambil takjil yang
kami bagikan. Tepat beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang, takjil
kami habis.

Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan acara atau kegiatan yang kami
lakukan, kami bersyukur bisa saling mengenal satu lain. Terlebih karena sebuah
fakta bahwa kami adalah adalah seorang pendatang di sebuah kota di ujung
timur Indonesia. Kami telah sukses menjadi sebuah keluarga baru. Keluarga yang
mungkin tidak bisa didapatkan di tempat lain di Indonesia. Coba bayangkan, dari
sekian banyak daerah di Indonesia, berapa banyak daerah yang anak-anak muda
Kementerian Keuangannya mau bersatu untuk membuat sebuah perkumpulan
yang menghasilkan banyak hal positif?

Dua tahun yang lalu aku datang ke Ternate dengan langkah yang penuh
keraguan. Namun sekarang, dua tahun kemudian, sisa-sisa keraguan itu tidak
lagi tampak. Aku justru bersyukur ditempatkan di sini. Begitu banyak memori
dan hal yang mengesankan yang telah kulakukan. Kalau definisi rumah adalah
sebuah tempat yang membuatmu nyaman dan menjadi diri sendiri, maka kota
ini telah layak kusebut rumah. Lalu penghuninya tentu saja mereka semua yang
telah membantuku untuk bersenang-senang di kota ini. Terima kasih karena
Perekat Indonesia 345

telah mau membangun sinergi, karena tanpa kalian semua, kota ini mungkin
tidak akan terasa semenyenangkan ini. Oh iya, satu lagi, ternyata selain Ambon
dan Jayapura, Ternate juga akhirnya memiliki bioskop setelah setahun aku tinggal
di sini.
346

Milenial, Kaum Sosial Era


Modern
Muhkamat Anwar, KPP Pratama Banjar Baru - DJP

Memiliki puluhan ribu pulau, wilayah Negara Kesatuan


Republik Indonesia dengan berbagai keberagaman yang
dimiliki, disatukan dengan semboyan bangsa Indonesia
“Bhinneka Tunggal Ika” yang tertulis pada lambang negara
Indonesia, Garuda Pancasila. Berdasarkan fungsi semboyan
bangsa, keberagaman digunakan sebagai pembentuk negara
yang besar.

Sebagai negara yang memiliki luas wilayah 1.904.569 km2


menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-15 dunia
versi world population review. Dengan daerah yang sangat luas,
berbagai kendala dialami oleh Indonesia terutama pemerataan
ekonomi dan pendidikan. Pada abad ke-21, Indonesia masih
memiliki berbagai masalah yang belum terselesaikan. Fakta
tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden
Republik Indonesia nomor 131 tahun 2015 tentang Penetapan
Daerah Tertinggal tahun 2015-2019 yang menyebutkan 122
kabupaten di Indonesia dengan kategori daerah tertinggal
tahun 2015-2019. Daerah Tertinggal yang dimaksud adalah
daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang
berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala
nasional. Beberapa kriteria penetapan daerah tertinggal tersebut,
yaitu perekonomian masyarakat serta sumber daya manusia.

Beberapa kriteria yang dimaksud menjadi latar belakang


Perekat Indonesia 347

penggerak kaum milenial untuk turut andil dalam melakukan kegiatan


pembangunan negeri. Prihatin terhadap ketidakmerataan pembangunan
Indonesia adalah kata yang tepat dan sebagai alasan utama generasi muda
ikut serta menjadikan Indonesia lebih baik. Pendidikan dan kesejahteraan
bagi masyarakat merupakan tujuan Indonesia seperti yang disebutkan dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, meskipun pada kenyataannya
Indonesia masih jauh dari tujuan yang telah ditetapkan.

Salah satu upaya peningkatan kualitas negeri ditunjukkan oleh seorang figur
PNS KPP Pratama Banjarbaru, Fatimah Zachra Fauziah atau Lala. Banjarbaru
merupakan salah satu kota di Provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan
kota penempatan pertama Lala bekerja di Direktorat Jenderal Pajak sejak 18
Januari 2016. Selain sebagai PNS yang aktif dalam setiap pelaksanaan tugas
sebagai pelaksana, perempuan kelahiran Cirebon ini aktif dalam berbagai
bidang terutama untuk memajukan pendidikan Indonesia. Mengikuti program
Kemenkeu Mengajar Balikpapan 2016, sebuah kegiatan mengajar selama satu
hari di Sekolah Dasar yang digagas oleh Kemenkeu tentang peran Kementerian
Keuangan dalam upaya menjaga ekonomi negeri dan memperkenalkan profesi
yang ada di Kementerian Keuangan menjadi pilihan kali pertama Lala sebagai
relawan pengajar. Memiliki keinginan menjadi pengajar merupakan impian Lala
dan sifat yang melekat pada dirinya. Dekat dengan anak, melihat anak-anak
tersenyum, hingga berbagi ilmu mendorong dirinya untuk ikut berpatisipasi
menjadi relawan. Melihat respons anak-anak yang luar biasa, mendorong Lala
untuk terus mengembangkan kegiatan sosial terutama dengan pendidikan anak.
Yang tak kalah penting, menjadi sosok yang lebih percaya diri, menambah ilmu
kependidikan, memperbanyak relasi, serta bertemu dengan sosok-sosok hebat
dan menginspirasi menjadikan Lala lebih menemukan arti manusia sebagai
makhluk sosial sesungguhnya.

Kesadaran terhadap tidak meratanya kualitas pendidikan Indonesia


melatarbelakangi anak muda berkreasi demi membangun Indonesia. Seperti
Kelas Inspirasi Banjarmasin yang menjadi pilihan Lala setelah berakhirnya
Kemenkeu Mengajar 2016. Menjadi inspirator “SDN Kelayan Dalam 2
Banjarmasin” merupakan pengalaman baru bagi Lala. Kegiatan mengajar satu
hari yang dilaksanakan pada 2016 ini terdiri dari tiga fasilitator, empat belas
inspirator, dan tiga dokumentator yang berasal dari berbagai latar perkerjaan
dan beragam daerah. Perawat, wirausaha, teknisi telekomunikasi, teknisi
348

pertambangan, florist, dosen, penyiar radio, accounting, fotografer, PNS, sekretaris


perusahaan, dan analis pengembangan SDM merupakan pekerjaan utama para
relawan Kelas Inspirasi Banjarmasin. Proses memperkenalkan profesi sebagai
pegawai pajak sempat terkendala karena profesi tersebut tidak dikenal oleh
anak Sekolah Dasar. Mengatasi ketidaktahuan tersebut, sebagai inspirator
ia telah menyiapkan berbagai puzzle tebak gambar seperti jembatan, rumah
sakit, bandara, stasiun kereta api, serta gedung sekolah yang memiliki tujuan
untuk menyadarkan bahwa fasilitas umum yang dinikmati masyarakat dibiayai
dari penerimaan negara sektor pajak. Berkontrubusi kepada negara melalui
pembayaran pajak, setelah dewasa, dan setelah memiliki pekerjaan dengan tujuan
terciptanya Indonesia yang lebih berkembang di berbagai sektor menjadi kalimat
penutup Kelas Inspirasi Banjarmasin.

Lapak Membaca Pintar (Lampin) merupakan acara mingguan yang digelar


Lala beserta beberapa pegawai KPP Pratama Banjarbaru. Awal 2017 mulai
terbentuknya ide gerakan membaca untuk anak-anak. Berlatar belakang
pada kecintaan terhadap anak serta menumbuhkan minat baca dari usia dini,
menyatukan relawan hingga terbentuknya komunitas “Lapak Membaca Pintar”.
Penamaan ini juga mengambil dari bahasa Banjar yang berarti selimut bayi. Alat
dan buku baca Lampin terkumpul dari beberapa pendonor seperti dari anggota
komunitas, pegawai KPP Pratama Banjarbaru, dan pihak lain. Acara rutin digelar
setiap minggu di Kompleks Perkantoran Gurbernur Provinsi Kalimantan Selatan,
Banjarbaru. Beberapa buku bacaan ditata rapi mulai pukul 07.00 WITA hingga
09.30 WITA, beberapa pengunjung yang berdatangan membuat kami merasa
mendapatkan penghargaan. Lampin terus berlanjut dengan minat baca yang
semakin meningkat. Dikarenakan beberapa faktor, aktivitas Lampin berakhir
pada akhir 2018 dan buku bacaan anak disumbangkan kepada Komunitas
Teaching and Trip Kalimantan Selatan, sebuah wadah gerakan sosial yang
menggabungkan antara teknik mengajar dan berwisata. Sebelumnya Lampin dan
Teaching and Trip pernah bekerja sama dalam pembukaan lapak minat baca di
Lapangan Murjani Banjarbaru.

Kemenkeu Mengajar bagaikan penyeimbang kehidupan kerja dan keinginan


berbagi ilmu, cerita, dan keceriaan dengan anak-anak. Tahun 2017, Lala sebagai
inspirator muda KPP Pratama Banjarbaru, pengaruh keikutsertaan Lala dalam
Kemenkeu Mengajar sebelumnya menjadi penggerak pegawai muda untuk
mengikuti Kemenkeu Mengajar 2017. Tercatat peningkatan generasi milenial
Perekat Indonesia 349

KPP Pratama Banjarbaru sebagai relawan Kemenkeu Mengajar 2017 dengan


jumlah empat relawan Kemenkeu Mengajar 2017. Pengaruh Lala terhadap
pegawai lain terutama pegawai muda di lingkungan KPP Pratama Banjarbaru
menyadarkan generasi milenial untuk peduli dan ikut serta dalam pembangunan
negeri terutama kemajuan di bidang pendidikan Indonesia. Lala yang sangat
menginspirasi melalui berbagai kegiatan sosial di lingkungan Kemenkeu maupun
eksternal Kemenkeu sangat menunjukkan sikap dan sifat positif sebagai kaum
milenial yang mampu memberikan dampak berarti pada generasi muda hingga
patut dijadikan pedoman sebagai makhluk sosial era modern. Moto “Muda,
Menginspirasi” adalah kalimat yang tepat bagi Lala dan para milenial yang peduli
terhadap negara melalui berbagai cara untuk menjadikan Indonesia lebih baik.
Sosok yang harus ditiru bagi generasi milenial sebagai kaum sosial era modern.

Moto “Muda, Menginspirasi” adalah


kalimat yang tepat bagi Lala dan
para milenial yang peduli terhadap
negara melalui berbagai cara untuk
menjadikan Indonesia lebih baik.
350

Halaman Ini Sengaja Dikosongkan


Perekat Indonesia 351
352

Anda mungkin juga menyukai