Anda di halaman 1dari 31

Growth and Development of Mandible

(Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula)

(Journal Reading Orthodontia)

Oleh :
Laksmita Herdianingrum
40617003

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Makalah Journal Reading yang berjudul “Growth and Development of Mandible”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari

bantuan, sumbangan pemikiran, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab

itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drg. Indah Nur Evi., Sp.Ort yang dengan sabar membimbing dan

memberikan arahan dalam proses pembuatan makalah ini.

2. Pihak institusi yang telah menyediakan segala fasilitas pengajaran.

3. Orangtua yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan

dukungan yang tiada henti.

4. Semua pihak yang langsung maupun tidak langsung telah membantu.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga

penulis masih mengharapkan kritik dan saran, dari semua pihak guna

kesempurnaan proposal skripsi ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

pembaca sekalian.

Kediri, 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman

Kata Pengantar ............................................................................................ i


Daftar Isi ..................................................................................................... ii
Daftar Gambar ............................................................................................. iii
BAB I. Pendahuluan .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan penelitian .................................................................................. 3
BAB II. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 4
2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula ....................................... 5
2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula Prenatal................ 5
2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula Postnatal .............. 8
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan
Rahang ......................................................................................... 12
2.2 Menghisap Jempol (Thumb Sucking).................................................... 15
2.2.1 Akibat Menghisap Jempol (Thumb Sucking) .............................. 16
2.2.2 Penanganan Menghisap Jempol (Thumb Sucking) ..................... 17
2.3 Laporan Kasus ...................................................................................... 19
BAB III. Pembahasan .................................................................................. 22
BAB IV. Penutup .......................................................................................... 25
4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 25
4.2 Saran .................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 26

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Skema pertumbuhan mandibula ................................................ 6


Gambar 2.2 Arah pertumbuhan mandibula ................................................... 10
Gambar 2.3 Arah pertumbuhan processus alveolaris .................................... 11
Gambar 2.4 Foto Intraoral pasien sebelum dilakukan perawatan ................. 19
Gambar 2.5 Posisi menghisap jempol sebelum dan sesudah fixsasi
expander .................................................................................... 20
Gambar 2.6 Progress setelah expansi palatal 3 minggu ................................ 21
Gambar 2.7 Foto intraoral setelah expansi .................................................... 21
Gambar 2.8 9 bulan setelah melepas expander ............................................. 22
Gambar 2.9 18 bulan setelah melepas palatal expander ............................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan rahang dapat dipengaruhi oleh adanya


kebiasaan pada rongga mulut. Kebiasaan tersebut dapat menyebabkan timbulnya
maloklusi dan perubahan dalam pola menelan serta berbicara yang normal
tergantung pada faktor-faktor seperti durasi, frekuensi, intensitas, dan pola wajah.
Gigitan terbuka merupakan salah satu kelainan yang paling sering ditemukan di
bagian anterior, salah satu etiologi utamanya adalah kebiasaan buruk. Kelainan
pada proses pertumbuhan gigi dan tulang alveolar yang berlebihan maupun
kurang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif ketika menghisap
jempol/jari pada rongga mulut (Proffit, 2007).
Menurut Proffit (2007), pertumbuhan mandibula ada 2 macam yaitu: Pola
pertama, bagian poterior mandibula dan basis kranium tetap, sementara dagu bergerak
ke bawah dan depan . Pola ke dua, dagu dan korpus mandibula hanya berubah sedikit
sementara pertumbuhan sebagian besar terjadi pada tepi posterior ramus, koronoid,
dan kondilus mandibula. Setelah umur 2-4 tahun, korpus mandibula bertambah
panjang terutama dalam arah posterior bersama dengan terjadinya resorpsi sepanjang
ramus yang membesar.
Saat lahir, mandibula cenderung lebih retrognati daripada maksila
walaupun kedua rahang dapat saja berukuran sama. Kondisi retrognati ini
biasanya terkoreksi dengan sendirinya pada awal kehidupan postnatal oleh
pertumbuhan mandibula yang sangat cepat dan perpindahan ke arah depan untuk
mencapai hubungan maksilomandibula kelas I Angle. Pertumbuhan mandibula
yang tidak adekuat akan menghasilkan hubungaan kelas II Angle (retrognati), dan
pertumbuhan mandibula yang sangat berlebih menghasilkan hubungan kelas III
(prognati). Mandibula dapat tumbuh lebih panjang dibandingkan maksila (Klocke,
2003).
Gigitan terbuka anterior merupakan salah satu maloklusi yang memiliki
beberapa faktor etiologi seperti kebiasaan menghisap jari, erupsi gigi anterior

1
2

yang tidak lengkap, kebiasaan bernafas melalui mulut, ukuran lidah yang
abnormal, kebiasaan menjulurkan lidah saat berbicara, kebiasaan menggunakan
dot, dan pola menelan yang abnormal secara terus menerus pada anak. Terlepas
dari jari yang digunakan selama menghisap, durasi, intensitas, dan frekuensi,
dikombinasikan dengan pola wajah pasien, dan kemauan dan kepatuhan untuk
menghilangkan kebiasaan tersebut harus dievaluasi (Tanaka, 2004). Selain itu,
awal fase gigi geligi campuran merupakan fase yang cocok untuk mengkoreksi
gigitan terbuka (Klocke, 2003).
Tindakan mengisap jempol bisa timbul karena berbagai alasan, dari
masalah psikologis hingga cara untuk mencapai kesenangan. Namun, jika
tindakan tersebut tetap dilakukan untuk waktu yang lama, dapat menjadi
kebiasaan yang merusak. Jika kebiasaan tersebut dihentikan sebelum masa erupsi
gigi permanen, hal tersebut tidak akan memberikan efek jangka panjang. Namun
jika kebiasaan tersebut berkelanjutan maka dapat terjadi keadaan openbite
anterior, posterior crossbites, dan maloklusi kelas II (Sonis, 2003).
Beberapa maloklusi terkoreksi ketika kebiasaan mengisap berhenti, karena
polanya normal dan kelainan bentuk tulangnya ringan. Tetapi dalam banyak
kasus, hal ini tidak terjadi dan diperlukan koreksi ortodontik dan bahkan sebuah
operasi ortognatik. Tidak ada resep siap pakai yang digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan mengisap jari,. Penggunaan plester perekat yang
diletakkan pada jari-jari anak, piranti yang bisa dilepas atau cekat, dan bahkan
saran dapat dianjurkan untuk menanggulangi kebiasaan tersebut (Tanaka, 2013).
Penggunaan kawat gigi dapat dipilih karena tidak memerlukan kolaborasi, dan
kekurangan kepatuhan penggunaannya adalah bagian dari masalah (Ferrari, 2011).
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui proses pertumbuhan dan
perkembangan mandibula. Gambaran normalisasi gigitan terbuka ketika kebiasaan
mengisap jempol kambuh dan juga pentingnya kerja sama pasien untuk
menghilangkan kebiasaan tersebut dan perhatian pada pendekatan multidisiplin
juga dicantumkan dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan mandibula?


3

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan mandibula.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula

Pertumbuhan (growth) adalah proses fisikokimia (biofisis) yang


menyebabkan organisme menjadi besar. Sedangkan perkembangan (development)
adalah semua rentetan peristiwa (perubahan) yang berurutan dari pembuahan sel
telur sampai menjadi dewasa. Selama perkembangan suatu mahkluk hidup terjadi
pertumbuhan, dalam arti ukuran bertambah besar dan terjadi perubahan bentuk
sedangkan peningkatan kompleksitas fungsi merupakan proses perkembangan. 1
Setiap orang mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, sehingga tidak ada
manusia yang mempunyai ukuran dan bentuk lengkung rahang yang sama persis.
Adanya kesalahan pada saat sedang bertumbuh dan berkembang akan
menghasilkan kelainan pada gigi dan wajah seseorang (Koesomahardja, 2004).
Mandibula terdiri dari 2 tulang yang simetris yang berfusi pada midline di
area simfisis. Mandibula merupakan tulang kraniofasial yang sangat penting karena
terlibat dalam fungsi-fungsi vital antara lain: pengunyahan, pemeliharaan jalan udara,
berbicara dan ekspresi wajah. Mandibula adalah tulang pipih berbentuk U dengan
mekanisme pertumbuhan melalui proses osifikasi endokondral dan aposisi periosteal
(osifikasi intramembembranous) dan padanya melekat otot-otot dan gigi (Proffit,
2007).

2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula Masa Prenatal

Kartilago dan tulang mandibula dibentuk dari sel embrio neural crest yang
berasal dari otak bagian tengah dan belakang dari neural folds. Sel-sel ini
bermigrasi ke ventral untuk membentuk tonjolan mandibula dan maksila pada
wajah, dimana mereka berdiferensiasi menjadi tulang dan jaringan ikat (Proffit,
2007).
Struktur pertama yang dibuat pada regio rahang bawah yaitu cabang
nervus mandibula dari nervus trigeminus yang mengawali kondensasi
ektomesenkim membentuk lengkung faring (mandibula) pertama. Adanya nervus
6

ini diduga sebagai syarat terjadinya induksi osteogenesis oleh produksi faktor
neurotropik. Mandibula dihasilkan dari osifikasi membran osteogenik yang
dibentuk dari kondensasi ektomesenkim pada pembentukan hari ke 36-38.
Ektomesenkim mandibula ini harus berinteraksi pertama kali dengan epitelium
lengkung mandibula sebelum osifikasi primer terjadi; tulang hasil osifikasi
intramembran terletak lateral dari kartilago Meckel’s dari lengkung pertama
faringeal (mandibula) (Proffit, 2007).

Gambar 2.1 Skema pembentukan mandibula (Proffit, 2007).

Pusat osifikasi untuk untuk masing-masing bagian mandibula naik pada


minggu ke 6 post konsepsi (mandibula dan klavikula merupakan tulang pertama
yang mengalami osifikasi) pada regio bifurkasi pada nervus dan arteri alveolaris
inferior menuju ke cabang mentalis dan insisif. Membran yang mengalami
osifikasi berada pada lateral kartilago Meckel’s dan berdampingan dengan bundel
neurovaskular. Dari pusat primer dibawah dan di sekitar nervus alveolaris inferior
dan cabang insisif, osifikasi menyebar ke atas untuk membentuk cekungan untuk
pembentukan gigi. Penyebaran osifikasi intramembran ke arah dorsal dan ventral
membentuk korpus dan ramus mandibula. Kartilago Meckel’s dikelilingi oleh
tulang. Osifikasi berhenti ke arah dorsal yang akan menjadi lingula mandibula,
dimana kartilago Meckel’s berlanjut menjadi telinga bagian tengah. Keberadaan
bundel neurovaskular memastikan bentuk foramen mandibula dan kanalis
mandibularis serta foramen mentalis (Enlow, 1996).
7

Kedua lengkung faringeal pertama yang merupakan inti dari kartilago


Meckel’s saling bertemu di arah ventral. Lengkung ini menyimpang ke arah
dorsal dan berakhir pada kavitas timpani pada masing-masing telinga, yang
berasal dari kantung faringeal, dan diikuti oleh proses pembentukkan petrous
portion dari tulang temporal. Kartilago Meckel’s bagian dorsal mengalami
osifikasi untuk membentuk dasar dari dua auditory ossicles (malleus dan incus).
Ossicles ke tiga (stapes) berasal dari kartilago dari lengkung faringeal ketiga
(kartilago Reichert’s) (Enlow, 1996).
Kartilago Meckel’s yang kekurangan enzim fosfatase ditemukan pada saat
osifikasi kartilago, sehingga menghalangi proses osifikasi; hampir seluruh
kartilago Meckel’s hilang pada minggu ke 24 post konsepsi. Bagian-bagiannya
berubah menjadi ligamen sphenomandibular dan anterior malleolar. Bagian akhir
ventral (dari foramen mentalis berjalan ke arah ventral dari simfisis) membentuk
tulang endokondral yang tergabung menjadi dagu pada mandibula. Kartilago
Meckel’s bagian dorsal hingga foramen mentalis mengalami resorpsi pada
permukaan lateral bersamaan dengan terbentuknya trabekula tulang
intramembranous ke arah lateral teresobsi menjadi kartilago. Kartilago dari
foramen mentalis ke lingula tidak terhubung kepada osifikasi mandibula (Enlow,
1996).
Initial woven bone dibentuk sepanjang kartilago Meckel’s yang akan
segera digantikan oleh tulang lamella, dan sistem havers yang sudah ada pada
bulan ke 5 post konsepsi. Remodeling terjadi lebih awal dari pada yang terjadi
pada tulang lainnya.
Kartilago aksesori sekunder muncul antara minggu ke 10 dan 14 post
konsepsi untuk membentuk kepala kondilus, bagian dari prosesus koronoideus
dan mental protuberance. Penampilan dari kartilago sekunder mandibula ini
memisahkan diri dari faringeal primer (Meckel’s)dan kartilago kondrokranial.
Kartilago sekunder dari prosesus koronoideus terbentuk diantara otot temporalis.
Kartilago aksesori koronoid menjadi terhubung dengan tulang intramembran dari
ramus dan hilang sebelum lahir. Pada regio mental, pada masing-masing sisi
simfisis, 1 atau 2 kartilago kecil muncul dan mengalami osifikasi pada bulan ke 7
post konsepsi untuk membentuk mental ossicles pada jaringan fibrous dari
8

simfisis. Ossicles menjadi terhubung ke tulang intramembranous ketika simfisis


menti diubah dari syndesmosis menjadi synostosis selama periode posnatal
pertama (Proffit, 2007).
Kartilago sekunder pada kondilus muncul pada minggu ke 10 post
konsepsi dengan tampilan bentuk kerucut pada ramal region. Kartilago kondilus
merupakan awal dari kondilus itu sendiri. Sel-sel kartilago berdiferensiasi dari
pusatnya, dan kartilago kepala kondilus bertambah besar oleh karena
pertumbuhan interstitial dan aposisi. Pada minggu ke 14, hasil pertama dari
adanya tulang endokondral muncul pada regio kondilus. Kartilago kondilus
merupakan pusat pertumbuhan yang sangat penting untuk ramus dan korpus
mandibula. Pertumbuhan yang alami ini – primer (sumber utama dari
morfogenesis) atau sekunder (kompensasi stimulasi fungsional) – masih
kontroversial., akan tetapi bukti dari eksperimen yang ada mengindikasikan
kebutuhan untuk stimulus untuk pertumbuhan yang normal. Pada pertengahan
masa fetus, banyak kartilago dengan bentuk kerucut digantikan oleh tulang, yang
mana pada masa dewasa tidak akan berubah, yang bertindak sebagai kartilago
pertumbuhan dan artikular. Perubahan posisi dan bentuk mandibula berhubungan
dengan arah dan jumlah dari pertumbuhan kondilus. Angka pertumbuhan kondilus
meningkat pada saat pubertas, puncaknya antara 12,5 tahun dan 14 tahun, dan
normalnya berhenti pada usia 20 tahun (Proffit, 2007).
Pada bulan ke-5 masa kehidupan fetus, semua cartilago sudah digantikan
sebagian besar oleh trabekula tulang. Selama periode ini penebalan zona cartilago
akan berkurang perlahan-lahan karena aktifitas proliferasi dari sel-sel fibro
sellular tumbuh lebih lambat, sampai akhirnya cartilago menghilang dan tulang
pengganti membentuk seluruh bagian prosesus kondilaris tersebut (Enlow, 1996).

2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Mandibula Masa Posnatal

Pada saat lahir, tulang mandibula walaupun terdeteksi dengan jelas, sangat
berbeda pada berbagai aspek dari tulang dewasa. Perbedaan utamanya terletak
pada sudut mandibula yang tumpul, ramus yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan korpus. Pada saat organ-organ benih gigi susu mulai berdiferensiasi,
9

mandibula akan mulai membentuk hubungan dengan benih gigi tersebut. Keadaan
ini dapat berlangsung melalui perluasan ke atas pada kedua sisi benih gigi, dari
lamina lateralis dan lamina medialis mandibula, setinggi nervus Incisivus dan
nervus Alveolaris inferior, untuk membentuk lamina alveolaris lateral dan
medial.Melalui proses pertumbuhan ini gigi-gigi yang sedang berkembang akan
terletak di dalam saluran tulang (Enlow, 1996).
Bentuk dan ukuran mandibula pada janin yang kecil menjalani
transformasi selama pertumbuhan dan perkembangan. Ramus ascendens
mandibula neonatal rendah dan lebar, proses koronoideus relatif besar dan jauh di
atas kondilus. Pemisahan awal dari korpus mandibula kanan dan kiri bawah di
midline simfisis secara bertahap dieliminasi di antara bulan 4 dan 12 setelah
kelahiran, ketika proses osifikasi mengubah syndesmosis menjadi synostosis,
menyatukan dua bagian (Enlow, 1996).
Meskipun mandibula muncul sebagai single bone pada orang dewasa,
secara perkembangan dan fungsional dibagi menjadi beberapa subunit rangka.
Tulang basal tubuh membentuk satu unit, yang melekat ke alveolar, koronoideus ,
sudut , dan prosesus condylaris dan dagu. Pola pertumbuhan masing-masing sub-
unit tulang dipengaruhi oleh matriks fungsional yang bertindak pada tulang: gigi
bertindak sebagai matrik fungsional untuk unit alveolar, kerja otot temporalis
mempengaruhi proses koronoideus; masseter dan otot pterygoideus medial
bekerja pada sudut dan ramus mandibula; dan otot pterygoideus lateral yang
memiliki pengaruh pada prosesus condylaris. Fungsi yang berkaitan dengan lidah
dan otot perioral dan perluasan rongga mulut dan faring memberikan rangsangan
bagi pertumbuhan mandibula yang optimal. Dari semua tulang wajah, mandibula
mengalami sebagian besar pertumbuhan postnatal dan memberikan bukti-bukti
variasi yang banyak dalam hal morfologi (Proffit, 2007).
Pertumbuhan terbatas berlangsung di mental simfisis sampai fusi terjadi.
lokasi utama pertumbuhan mandibula postnatal berada di kartilago condylar, yang
posterior berbatasan dengan ramus, dan alveolar ridge. Daerah deposisi tulang
yang luas sebagian besar memperhitungkan untuk peningkatan tinggi, panjang,
dan lebar mandibula. Namun, pada pertumbuhan inkremental dasar banyak
10

remodelling regional pada fungsi lokal yang melibatkan resorpsi selektif dan
perpindahan elemen mandibula (Proffit, 2007).
Kartilago condylar mandibula berfungsi baik sebagai (1) kartilago artikular
pada sendi temporomandibular, ditandai dengan selapis permukaan fibrokartilago,
dan (2) pertumbuhan kartilago analog menjadi plat epiphysial pada tulang
panjang, ditandai oleh hipertropi lapisan tulang yang lebih dalam (Enlow, 1996).

Gambar 2.2 Arah pertumbuhan Mandibula (Proffit, 2007)


Pada bayi, inklinasi kondilus mandibula cenderung hampir horizontal,
sehingga pertumbuhan kondilus menyebabkan peningkatan lebih banyak pada
panjang mandibula dibandingkan dengan ketinggiannya. Deposisi tulang terjadi di
perbatasan posterior ramus, dimana resorpsi secara bersamaan juga terjadi di batas
anterior untuk mempertahankan proporsi ramus, yang pada dasarnya,
menggerakkan ramus kebelakang dalam kaitannya dengan corpus mandibula.
Deposisi dan resorpsi yang bersamaan meluas sampai processus koronoideus,
melibatkan mandibular notch, dan mereposisi secara progressif foramen
mandibula ke posterior.
Prosesus alveolaris berkembang sebagai palung pelindung dalam
responnya terhadap benih gigi dan menjadi sumperimposed pada tulang basal
mandibula. Hal ini menambah ketinggian dan ketebalan korpus mandibula dan
terutama berguna untuk penempatan gigi molar ketiga. Tulang alveolar gagal
11

terbentuk jika gigi tidak ada dan mengalami resorbsi yang dikarenakan oleh
ekstraksi gigi (Proffit, 2007).

Gambar 2.3 Arah pertumbuhan processus alveolaris (Proffit, 2007)

Dagu dibentuk pada bagian dari ossicles mental dari kartilago aksesori dan
ujung ventral kartilago Meckel, sangat kurang berkembang pada bayi, yang
terbentuk sebagai sub-unit yang independen pada mandibula, dipengaruhi oleh
oleh faktor seksual dan faktor genetik yang spesifik.. perbedaan jenis kelamin
pada daerah symphyseal mandibula tidak signifikan hingga terbentuk karakteristik
seksual sekunder. Dengan demikian, dagu menjadi signifikan hanya pada masa
remaja, dari perkembangan tonjolan mental dan tuberkel. Sedangkan dagu yang
kecil ditemukan pada orang dewasa pada kedua jenis kelamin, dagu yang sangat
besar memiliki karakteristik maskulin. "Unit" kerangka dagu muncul sebagai
ekspresi dari kekuatan fungsional yang diberikan oleh otot-otot pterygoideus
lateral, dalam menarik mandibula ke depan, secara tidak langsung menekan
daerah symphyseal mental. Bone buttressing untuk menahan tekanan otot, yang
lebih kuat pada pria, terlihat dalam dagu laki-laki lebih menonjol. Dagu yang
menonjol adalah keunikan manusia,tidak ada pada primata lain (Enlow, 1996).
12

Selama hidup janin, ukuran relatif dari rahang atas dan rahang bawah
bervariasi. Awalnya, mandibula yang jauh lebih besar dari rahang atas, yang
kemudian terlihar bahwapertumbuhan maksila lebih besar; sekitar 8 minggu pasca
konsepsi, pertumbuhan maksila overlap dengan mandibula. Pertumbuhan yang
lebih besar pada mandibula menghasilkan ukuran yang hampir sama antara rahang
atas dan rahang bawah pada minggu ke 11. Pertumbuhan mandibula lebih lambat
dari perumbuhan maksila antara minggu ke 13 dan 20 karena adanya peralihan
dari kartilago Meckel ke kartilago sekunder kondilus sebagai penentu utama
pertumbuhan pada mandibula. Saat lahir, mandibula cenderung lebih retrognati
daripada maksila walaupun kedua rahang dapat saja berukuran sama. Kondisi
retrognati ini biasanya terkoreksi dengan sendirinya pada awal kehidupan
postnatal oleh pertumbuhan mandibula yang sangat cepat dan perpindahan ke arah
depan untuk mencapai hubungan maksilomandibula kelas I Angle. Pertumbuhan
mandibula yang tidak adekuat akan menghasilkan hubungaan kelas II Angle
(retrognati), dan pertumbuhan mandibula yang sangat berlebih menghasilkan
hubungan kelas III (prognati). Mandibula dapat tumbuh lebih panjang
dibandingkan maksila (Proffit, 2007).

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan


Rahang

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan rahang antara


lain adalah genetik dan lingkungan seperti kebiasaan oral, malnutrisi, dan fisik,
fungsi rongga mulut, kebiasaan oral dan otot-otot rongga mulut. Faktor lain
seperti prematur loss gigi desidui, ras dan jenis kelamin juga mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan rahang.
1. Genetika
Genetik mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan variasi
ukuran dan bentuk lengkung gigi, tulang alveolar dan tengkorak, maka
untuk mendapatkan data yang valid perlu dilakukan penelitian suatu suku
dengan keturunan dua generasi yaitu pengambilan sampel dengan melihat
kesamaan suku dari orang tua (ayah dan ibu) dan kakek-nenek dari kedua
orang tua (ayah dan ibu) sampel. Menurut penelitian Cassidy (1998)
13

diperoleh data bahwa hubungan bagian bukal yaitu molar pertama antara
maksila dan mandibular dalam arah sagital pada remaja yang mempunyai
hubungan biologis lebih serupa, daripada remaja yang tidak ada hubungan
biologis
2. Lingkungan
Faktor lingkungannya termasuk kebiasaan oral, malnutrisi dan fisik.
a. Kebiasaan Oral
Kebiasaan oral yang mempengaruhi lengkung gigi antara lain menghisap
ibu jari atau jari-jari tangan, menghisap dot, bernafas melalui mulut, dan
penjuluran lidah. Peran kebiasaan oral terhadap perubahan dan karaktristik
lengkung gigi tergantung dari frekuensi, intensitas dan lama durasi
(Rahardjo, 2009).
b. Malnutrisi
Nutrisi yang baik penting pada waktu remaja untuk memperoleh
pertumbuhan oral yang baik. Nutrisi atau energi yang kurang dapat
mempengaruhi pertumbuhan sehingga membatasi potensi pertumbuhan
seseorang. Malnutrisi dapat mempengaruhi ukuran tubuh sesorang,
sehingga terjadi perbandingan bagian yang berbeda-beda dan kualitas
jaringan yang berbeda-beda dan kualitas jaringan yang berbeda-beda
sehingga seperti kulitas gigi dan tulang. Adanya malnutrisi dapat
memberikan efek langsung terhadap organ-organ dalam tubuh (Rahardjo,
2009).
c. Fisik
Perubahan dalam kebiasaan diet seperti tekstur makanan yang lebih halus
menyebabkan penggunaan otot dan gigi berkurang. Akibat dari
pengurangan pengunyahan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada
perkembangan fasial sehingga maksila menjadi lebih sempit. Pada
penelitian lain didapati anak-anak pada zaman sekarang memiliki
lengkung gigi atas yang lebih kecil dari subjek yang diteliti 40 tahun yang
lalu (Kamdar, 2015).
14

3. Otot-Otot Rongga Mulut


Otot pengunyahan yang kuat meningkatkan mekanisme pengunyahan
rahang dan ini memicu pertumbuhan sutura dan aposisi tulang yang
mengekibatkan peningkatan petumbuhan rahang (Foster, 1997). Hal ini
didukung oleh penelitian Kiliaridis (2003) dimana terdapat hubungan
antara ukuran otot pengunyahan dengan lebar kraniofasial. Dalam
penelitian tersebut didapati bahwa perempuan yang otot masseternya lebih
tebal memiliki lengkung rahang yang lebih lebar dari pada perempuan
yang otot masseternya lebih tipis.
4. Kehilangan Dini Gigi Desidui
Kehilangan dini gigi desidui biasanya disebabkan oleh karies gigi, trauma
dan resorpsi prematur akar gigi. Definisi prematur loss gigi adalah
kehilangan gigi desidui sebelum waktu penanggalannya. Prematur loss
gigi desidui dapat mengurangi lengkung rahang yang diperlukan untuk
gigi pengganti maka cenderung menyebabkan gigi berjejal, rotasi, dan
impaksi gigi permanen (Lin, 2007).
5. Keturunan / Ras
Keturunan atau ras merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
perkembangan dental dalam setiap individu. Menurut Sassouni dan
Ricketts, kelompok ras yang berbeda akan menampilkan pola kraniofasial
yang berbeda pula. Pada ras yang berbeda pertumbuhan pada masing-
masing ras juga akan berbeda, begitu juga dengan waktu maturasi,
pembentukan tulang, klasifikasi gigi dan waktu erupsi gigi (Mokhtar,
2002).
6. Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran lengkung rahang laki-laki lebih
besar dari perempuan dalam arah transversal. Lavele menyatakan bahwa
perbedaan ukuran lengkung gigi rahang bawah antara laki-laki dan
perempuan disebabkan adanya faktor kekuatan fungsional, kebiasaaan
makan, sikap tubuh dan trauma dimana lebih berpengaruh pada laki-laki
daripada perempuan (Mokhtar, 2002).
15

2.2 Menghisap Jempol


Kebiasaan buruk adalah tindakan berulang-ulang yang dilakukan secara
otomatis. Perilaku berulang ini umum dilakukan pada masa kanak-kanak yang
biasanya dimulai dan berhenti secara spontan. Kebiasaan buruk biasanya
berlangsung secara diam-diam sehingga membuat anak tidak sadar bahwa ia
sering melakukan hal tersebut. Kebiasaan pada awalnya dilakukan dalam keadaan
sadar, tetapi pengulangan membuat turunnya kesadaran dan respon motorik.
Akhirnya kebiasaan terbentuk sepenuhnya dan menjadi bagian dari rutinitas
pikiran sehingga lebih susah untuk menghilangkan kebiasaan buruk tersebut.
Kebiasaan buruk umum dilakukan anak dengan status psikologis normal, tetapi
dapat juga terjadi pada anak dengan masalah perkembangan, kesulitan emosional,
atau gangguan fisik (Goenharto, 2016).
Kebiasaan menghisap jari dapat dimulai sejak bayi masih dalam
kandungan ibu yaitu berupa refleks menghisap ibu jari yang lambat laun akan
menjadi kebiasaan yang menyenangkan karena rasa sangat nyaman sehingga
dapat membuatnya tertidur. Menghisap jari adalah sebuah kebiasaan dimana anak
menempatkan ibu jari atau jari yang lain di belakang gigi, kontak dengan bagian
palatal. Aktivitas menghisap ibu jari dan jari lain sangat berkaitan dengan otot-
otot sekitar rongga mulut. Beberapa faktor etiologi dan kondisi yang memicu
kebiasaan ini adalah: kelelahan, rasa bosan, ketegangan, kelaparan, ketakutan,
stress emosional, dan adanya faktor keinginan yang tidak terpenuhi (Goenharto,
2016).
Salah satu pemicu kebiasaan ini adalah karena bayi merasa kurang puas
menghisap susu dari ibu, yang mungkin dikarenakan hanya sedikit ASI yang
keluar, ibu terlalu sibuk bekerja atau memang tidak ingin menyusui bayinya. Pada
saat bayi menghisap susu ibunya, bibir akan menempel pada susu ibu dan tumbuh
perasaan nyaman, tetapi jika bayi menghisap susu dari botol maka perasaan
tersebut tidak ada. Hal ini menyebabkan dia mencari kepuasan dan kenikmatan
dengan menghisap sesuatu, dan yang paling mudah yaitu menghisap jari. Selain
itu, kebiasaan menghisap terjadi karena membawa rasa senang dan perasaan aman
pada waktu anak dalam masa sulit (Srinath, 2013).
16

2.2.1 Akibat Menghisap Jempol

Kebiasaan menghisap sesuatu termasuk jari, yang tidak memberi nilai


nutrisi (non-nutritive), seringkali dianggap wajar. Akan tetapi, kebiasaan
menghisap yang berkepanjangan akan menghasilkan maloklusi. Keadaan ini dapat
terjadi karena adanya kombinasi tekanan langsung dari ibu jari maupun jari lain
dan perubahan pola tekanan bibir dan pipi pada saat istirahat. Tekanan pipi pada
sudut mulut merupakan tekanan yang tertinggi. Tekanan otot pipi terhadap gigi-
gigi posterior rahang atas ini meningkat akibat kontraksi otot buccinator selama
menghisap pada saat yang sama, sehingga memberikan resiko lengkung maksila
menjadi berbentuk V, ukurannya sempit dan dalam. Kebiasaan ini dihubungkan
dengan lebar antar kaninus dan antar molar yang sempit, pertambahan diskrepansi
transversal posterior, dan meningkatnya prevalensi gigitan silang posterior, serta
bertambahnya jarak gigit (Rahardjo, 2005).
Efek kebiasaan menghisap terhadap perkembangan oklusal sangat
bervariasi. Menghisap ibu jari diperkirakan akan memberi efek yang berbeda
daripada menghisap jari lain. Tapi yang paling sering terjadi adalah ibu jari yang
berada di antara gigi-gigi anterior yang sedang erupsi sehingga menimbulkan
gigitan terbuka anterior yang bisa asimetris, tergantung pada posisi jari yang
dihisap. Pada jari dapat terjadi keratinisasi dan pembentukan kalus (Rahardjo,
2005).
Tingkat keparahan maloklusi akibat kebiasaan menghisap jari atau benda
lain ditentukan oleh intensitas, frekuensi, durasi penghisapan, jari mana yang
dihisap, dan cara anak meletakkan jarinya. Anak yang terbiasa menghisap jempol
atau menghisap dot lebih besar kemungkinan untuk memiliki wajah yang kurang
proporsional saat remaja hingga dewasa, dibandingkan dengan anak yang diberi
ASI dalam periode waktu yang cukup lama dan tidak pernah memiliki kebiasaan
menghisap jari atau dot. Akibatnya, anak dapat memiliki profil muka yang
cembung akibat gigi depan yang protrusi. Melink menganjurkan untuk
menghentikan pemakaian dot paling tidak pada saat usia 18 bulan (Aznar, 2006).
Hasil penelitian Aznar (2006) dan peneliti lain, menunjukkan kebiasaan
hisap jari untuk jangka waktu yang panjang akan menyebabkan penambahan jarak
antara molar mandibula. Aznar juga menunjukkan bahwa kebiasaan menghisap
17

mainan akan menyebabkan pengurangan lengkung gigi maksila terutama di


bagian kaninus dan kebiasaan bernafas melalui mulut menyebabkan pengurangan
ukuran pada rahang atas dan bawah. Aktivitas kebiasaan buruk ini berkaitan
dengan otot-otot rongga mulut. Aktivitas ini sangat sering ditemukan pada anak-
anak usia muda dan bisa dianggap normal pada masa bayi, meskipun hal ini
menjadi tidak normal jika berlanjut sampai masa akhir anak-anak.

2.2.2 Penanganan Menghisap Jempol

Kebiasaan buruk menghisap jari tidak memerlukan penanganan apapun


jika kebiasaan berhenti sebelum usia 5 tahun dan segera setelah dapat dihentikan,
maloklusi akan terkoreksi secara spontan. Kebiasaan menghisap jari umumnya
berhenti pada usia 2 tahun atau pada sekitar usia 4 tahun ketika interaksi anak
dengan temannya meningkat. Menghisap ibu jari dapat dihentikan dengan
memberikan nasehat berupa penjelasan secara halus dan bijaksana agar anak
bersifat kooperatif. Dalam memberikan penjelasan, perlu diupayakan anak sadar
dan tahu betul mengapa ia harus menghentikan kebiasaannya, misalnya tentang
dampak negatif kotoran pada sela-sela kuku yang akan masuk ke mulut dan
menyebabkan sakit perut. Anak-anak memiliki keterbatasan kemampuan
penalaran secara logis, namun tetap perlu diberitahu bahwa gigi giginya kelak
akan terlihat lebih baik jika mereka menghentikan kebiasaan itu (Goenharto,
2016).
Pada saat gigi anterior permanen akan erupsi, anak perlu dimotifasi untuk
menghentikan kebiasaan menghisap jari. Komunikasi langsung dengan anak
dilakukan untuk mengetahui apakah dia cukup matang untuk memahami akibat
kebiasaannya. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah memberikan dukungan
pada anak agar anak merasa bangga dan percaya diri, menerapkan system reward,
menerapkan terapi pengingat, dan apabila usaha di atas masih belum berhasil
dapat digunakan bantuan berupa peranti ortodonti sebagai bentuk upaya akhir
(Goenharto, 2016).
Penanganan kebiasaan buruk menghisap jari dapat dilakukan ekstra oral
ataupun intra oral. Penanganan secara ekstra oral dapat dilakukan antara lain
dengan terapi pengingat. Prinsipnya adalah membuat jari yang dihisap menjadi
18

tidak nyaman, yang dapat dilakukan dengan memberikan perasa yang tidak
enak/pahit pada jari anak,memasang plester pada jari, memberikan sarung tangan
atau membungkus tangan dan jari. Kebiasaan menghisap jari juga dapat
menimbulkan luka pada jari. Keadaan ini dapat diatasi dengan member pelindung
jari (thumb guard atau finger guard) yang bisa terbuat dari plastik atau dari akrilik
yang diikatkan ke pergelangan tangan (silva, 2014).
Cara lain adalah dengan membatasi gerakan tangan, misalnya dengan
memakai pelindung siku/ elbow guard atau perban pada siku. Untuk membuat
pelindung siku diperlukan model kerja yang didapat dari mencetak siku dengan
bahan cetak polyvinylsiloxane. Selanjutnya elbow guard dibuat dari akrilik dan
pada bagian luar dapat diberi diberi chip music dan pengeras suara. Pada
permukaan bagian dalam diberi saklar dan dilapisi spons sebagai bantalan untuk
kenyamanan pemakaian. Ketika anak mencoba untuk menghisap jari maka saklar
akan tertekan oleh gerakan sendi siku dan music akan berbunyi sebagai pengingat
bagi anak untuk menghentikan tindakannya. Perban pada siku tangan adalah
sebuah cara alternatif untuk menangani anak usia sekolah yang mempunyai
kebiasaan buruk menghisap jari. Perban menjadi pengontrol atas usaha menghisap
jari dengan membuat gerakan tangan ke arah mulut menjadi sedikit terhambat
(Silva, 2014).
Apabila usia anak lebih dari 7 tahun dan masih melakukan kebiasaan ini,
sebaiknya orangtua bekerjasama dengan dokter gigi untuk menghentikan
kebiasaan buruk tersebut, terutama bila metode pendekatan psikologis tidak
berhasil. Peranti ortodonti yang dibutuhkan dalam menangani kasus ini biasanya
berupa peranti cekat ataupun peranti lepas yang dilengkapi dengan taju-taju/crib.
Taju-taju dapat berupa lup multipel, spur, maupun bentukan lain sejenis
(Goenharto, 2016).
Laporan kasus menunjukkan berbagai peranti dapat dipakai untuk
menghentikan kebiasaan menghisap jari, diantaranya penggunaan peranti Haas
sebagai pengingat (reminder) untuk mencegah kebiasaan menghisap jari. Taju-
taju juga bisa diganti dengan bead. Variasi peranti dapat dibuat dari kawat baja nir
karat 0.9 mm yang membentang dari band pada molar pertama permanen kanan
19

dan kiri. Pada kawat diberi bead akrilik dan saat ingin menghisap jari, pasien
diminta memutar bead dengan lidahnya (Goenharto, 2016).

2.3 Laporan Kasus


Berdasarkan jurnal Tanakatahun 2016 ditemukan kasus Seorang anak
perempuan berusia 6 tahun 8 bulan, dalam fase geligi pergantian dengan diagnose
maloklusi kelas II Angle divisi I, overjet 0,9 mm, dan gigitan terbuka anterior
sebesar 4mm. Lengkung maksila sempit, sedikit diastema di antara gigi insisivus
rahang atas dan di antara insisif central rahang bawah, disertai sedikit deviasi
midline ke kiri.

Gambar 2.4 Foto intraoral pasien sebelum dilakukan perawatan, tracing sefalometri, dan
radiografi.
Dari hasil foto radiografi panoramic, diketahui bahwa gigi molar ke 2
tidak ada. Pengukuran sefalometri menunjukkan hubungan yang baik antara
maxilla dan mandibula (ANB = 2o), proklinasi insisivus rahang atas (NA=32o),
dan sudut insisivus rahang bawah (NB=21o), pertumbuhan kea rah vertical lebih
baik daripada anteroposterior (Y axis=61o) dan kecembungan sepertiga wajah (Z
angle = 67o). Dari hasil anamnesa, kebiasaan buruk menghisap jempol tangan
kanan dan penderita mengatakan bahwa bersemangat untuk menghentikan
kebiasaan buruk tersebut.
20

Rencana perawatan pada kasus ini adalah menghentikan kebiasaan


menghisap jempol, menutup gigitan terbuka anterior, dan membiarkan gigi
insisivus bawah erupsi secara fisiologis dengan menggunakan Haas tipe palatal
expander.

Gambar 2.5 Posisi menghisap jempol sebelum dan sesudah fiksasi expander.

Pada fase awal, dijelaskan kepada pasien dan orang tua pasien bahwa
kekooperatifan menghentikan kebiasaan menghisap jempol adalah sesuatu yang
sangat penting. Dijelaskan juga bagaimana alat ini berfungsi membantu
menghentikan kebiasaan buruk menghisap jempol. Alat Haas dipasang untuk
mengekspansi palatal secara cepat dan sebagai pengingat untuk menghentikan
kebiasaan menghisap jempol, serta secara tidak langsung memperpendek jarak
gigitan terbuka anterior. Perawatan orotdonti dimulai dengan fiksasi piranti palatal
pada molar pertama dengan perlekatan pada permukaan palatal gigi molar dan
kaninus desidui.
21

Gambar 2.6 Progress setelah ekspansi palatal selama 3 minggu. Alat berfungsi sebagai pengingat
dan membatasi kebiasaan buruk menghisap jempol.

Selama 1 minggu pemakain expander palatal dan beberapa bulan


selanjutnya pada fase retensi, pasien berhenti melakukan kebiasaan menghisap
jempol dan gigitan terbuka anterior terkoreksi secara spontan. Tujuan objektif dari
Rapid Palatal Expansion dan menghentikan kebiasaan menghisap jempol adalah
tercapainya oklusi fungsional yang baik. Tetapi, beberapa bulan setelah
dilepasnya Haas palatal expander, terjadi relaps pada pasien.

Gambar 2.7 Foto intraoral, radiografi, dan sefalometri setelah ekspansi.


22

Gambar 2.8 9 bulan setelah melepas palatal expander dan berhenti menghisap jempol.

Gambar 2.9 18 bulan setalah melepas palatal expander. Relaps pada gigitan terbuka anterior dan
kebiasaan menghisap jempol. Ditemukan kalus pada jempol kanan pasien.
BAB III

PEMBAHASAN

Pertumbuhan mandibula biasanya didahului dengan pertumbuhan cartilago


Meckel. Pada embrio manusia cartilago Meckel akan berkembang ke bentuk
sempurna pada minggu ke-6. Cartilago Meckel pada tahap perkembangan ini
berhubungan erat terhadap n. Mandibularis, saraf arcus pharyngeus prismus,
cabang-cabangnya akan berfungsi sebagai pendukung skeletal. Riwayat
perkembangan selanjutnya dari cartilago Meckel umumnya berhubungan dengan
perkembangan corpus mandibula. Pada mandibula terdapat 3 daerah pembentukan
cartilago sekunder yang utama. Yang pertama dan terbesar adalah cartilago
condylaris berperan penting pada pertumbuhan mandibula. Cartilago ini muncul
pertama kali pada minggu ke-12. Pada tahap ini terlihat berupa potongan cartilago
pada aspek superior dan lateral tulang pada proc. Condylaris.
Dagu bergerak ke bawah dan depan hanya sebagai akibat pertumbuhan
kondilus dan tepi posterior ramus mandibula. Korpus mandibula bertambah
panjang melalui aposisi tepi posteriornya, sementara ramus bertambah tinggi
melalui osifikasi endokondral pada kondilus dan remodeling tulang. Selain
tumbuh ke bawah dan ke depan, mandibula juga tumbuh ke lateral melaui aposisi
permukaan lateral korpus, ramus dan alveolaris mandibula. Untuk mengimbangi
aposisi lateral, terjadi resorpsi pada permukaan lingualnya.
Banyak anak pada masa pertumbuhan sering melakukan kebiasaan yang
hanya mementingkan kesenangannya yang membuatnya nyaman tanpa
memikirkan efek dari kebiasaan tersebut. Menghisap dot, menghisap jempol
maupun jari lain, serta bernafas melalui mulut merupakan kebiasaan yang sering
ditemui pada anak-anak. Kebiasaan tersebut menghalangi pertumbuhan gigi dan
tulang secara normal hingga terjadi maloklusi. Gigitan terbuka anterior
merupakan maloklusi yang sering dijumpai akibat kebiasaan buruk menghisap
jempol. Gigitan terbuka anterior ini pada fase awal dapat ditanggulangi dengan
mudah dengan menghilangkan kebiasaan menghisap jempol secara terus menerus,
jika tidak maka akan terjadi relaps (Tanaka, 2016).

22
23

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kebiasaan


menghisap jari pada anak adalah dengan membuat anak merasa nyaman dan
kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Metode psikologis untuk menghilangkan
kebiasaan buruk hanya dapat dilakukan bila anak siap secara psikologis. Terhadap
anak diberikan pengertian tentang akibat baik langsung maupun tidak langsung
dari kebiasaan menghisap yang dilakukannya. Terhadap orang tua yang tidak
menyadari bahwa kebiasaan buruk dapat berdampak negatif, dokter gigi dapat
membantu memberitahukan kepada orang tua informasi tentang berbagai jenis
kebiasaan buruk, etiologi kebiasaan buruk, terutama pada peran stress terhadap
terjadinya kebiasaan ini (Goenharto, 2016).
Dalam hal ini orang tua sangat berperan penting dengan tidak memarahi
anak jika kebiasaan terus berlanjut, dan memberikan suatu penghargaan jika anak
tidak lagi melakukannya, sehingga membuat anak merasa termotivasi untuk bisa
menghilangkan kebiasaan buruknya secara total. Menghentikan kebiasaan buruk
menghisap jari lebih baik dilakukan dengan tidak terlalu memberikan tekanan
dalam proses mengingatkan dan lebih baik tanpa menyalahkan, menyinggung, dan
menghukum, karena hal tersebut dapat meningkatkan kecemasan yang akan
berakibat semakin meningkatnya kejadian kebiasaan menghisap jari (Goenharto,
2016).
Penanganan psikologis sangat penting namun apabila anak menolak semua
nasihat yang ada. Usaha lain yang dapat kita lakukan yakni dengan perawatan
ekstra oral maupun intra oral. Tindakan ekstra oral yang dapat kita lakukan yakni
pemberian rasa yang tidak enak pada jari yang dihisap dengan plaster atau finger
guard, sehingga anak mulai merasa ada hal yang aneh saat dia menghisap jari dan
mengurungkan niatnya untuk menghisap jari. Selain itu, bias juga dicegah dengan
membatasi pergerakan siku. Misalnya dengan pemakaian perban sehingga akan
membuatnya lelah saat akan membawa jari ataupun ibu jari ke rongga mulut.
Prinsip yang sama didapat dengan pemakaian pelindung siku yang dapat
dilengkapi dengan alarm sebagai pengingat bahwa anak harus menghentikan
kebiasaannya (Shah, 2014).
Peranti yang dipakai untuk penanggulangi kebiasaan menghisap jari
adalah peranti dengan taju-taju yang dapat berupa peranti cekat maupun lepas
24

yang berfungsi sebagai penahan atau penghambat jari masuk ke rongga mulut.
Taju-taju membuat anak tidak lagi merasa nyaman saat menghisap jari dan
akhirnya malas atau enggan untuk melakukannya. Penggunaan peranti lepasan
dikombinasi dengan taju-taju terbukti dapat dipakai untuk mengatasi kebiasaan
jelek menghisap jari dan memperbaiki susunan gigi. Pada peranti cekat,
pemakaian taju-taju kadang dikombinasikan dengan peranti quad helix, sehinga
dapat memperbaiki tumpang gigit dan inklinasi gigi anterior rahang atas. Pada
umumnya anak dapat beradaptasi dengan cepat terhadap peranti yang digunakan
meski awalnya merasa kurang nyaman (Shah, 2014).
Pada kasus di atas, oklusi normal dapat dicapai dengan expansi rahang atas
dan penghentian kebiasaan menghisap jempol. Namun setelah piranti Haas dilepas
dari rongga mulut, kembali terjadi relaps yang diakibatkan karena kambuhnya
kebiasaan menghisap jempol. Oleh karena itu, setelah piranti Haas dilepas, kita
harus selalu melakukan observasi apakah kebiasaan buruk tersebut kembali. Harus
dijelaskan kepada pasien, orang tua, maupun pengasuh anak bahwa penggunaan
alat ortodonti saja tidak cukup untuk memperbaiki maloklusi, pasien harus
menghentikan kebiasaan buruknya agar maloklusi terkoreksi (Tanaka, 2016).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Pertumbuhan kepala kondilus terjadi dalam arah atas dan belakang,
Pertumbuhan mandibula yaitu pergeseran ke arah bawah dan ke depan,
sebagai contoh dari translasi primer
2. Kepatuhan menghentikan kebiasaan menghisap jempol secara
berkelanjutan sangat dibutuhkan.
3. Kebiasaan buruk menghisap jempol dapat dihentikan dengan pendekatan
psikologis, penggunaan alat ortodonti intra oral cekat maupun lepasan,
penggunaan finger guard dan pembatasan pergerakan siku.

4.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui proses pertumbuhan

dan perkembangan mandibula.

2. Perlu dilakukan penelitian sejenis untuk mengetahui metode apa yang

paling baik untuk menghentikan kebiasaan buruk menghisap jempol.

3. Perlu dilakukan penelitian sejenis untuk mengetahui piranti yang paling

tepat untuk menghentikan kebiasaan buruk menghisap jempol.

25
26

DAFTAR PUSTAKA

Aznar, A. C. Braga, and A. P. Ferreira. 2006. “Oral habits as risk factors for
anterior open bite in the deciduous and mixed dentition—cross-sectional
study,” European Journal of Paediatric Dentistry. 14: 4, pp. 299–302.

Dixon, A. D. 1993. Anatomi Untuk Kedokteran Gigi. Edisi 5. Jakarta: Hipokretes.

Enlow, D.H. 1996. Essentials of Facial Growth. Philadelphia : W. B. Saunders


Company.

Ferrari, D. F., Leao, J.C., dkk. 2011. Double helicoidal palatal arch. The
undesirable arch for thumb sucking habit. Orthodontic Science and
Practice. 5 : 17.

Goenharto, Sianiwati., Elly, R., dan Yuvita, N. 2016. Tatalaksana mengatasi


kebiasaan buruk menghisap jari. Jurnal PDGI. 65 : 2.

Harlena, Krisnawati & Purwanegara. 2002. Perubahan Lebar Interkaninus Ukuran

Lengkung Geligi (Studi Pustaka). Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia,


9 (3): 28-33.

Kamdar JR, Al- Shahram I. 2015. Damaging oral habits. J Int Oral Health 2015;
7(4): 85-7.

Klocke, A. 2003. “Ask us”. American Journal of Orthodontics Dentofacial


Orthopedics. 123 : 3.

Koesoemahardja, H.D. 2004. Tumbuh Kembang Kraniofasial. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Gigi Trisakti. X: 289-297.

Mokhtar, Mundiyah. 2002. Masalah Gigi Berjejal: Suatu Studi Perbandingan


Morfologi Gigi, Ukuran Gigi dan Lengkung Rahang pada Suku Batak dan
Suku Melayu di Sumatra Utara. Disertasi. Bandung: Universitas
Padjajaran.
27

Shah F.A ., Batra, M., Kumar R. 2014. Oral habits and their implications. Annals
Medicus. 1(4): 179-86.

Silva M, Manton D. 2014. Oral habits--part 1: the dental effects and management
of nutritive and non-nutritive sucking. J Dent Child (Chic). 81(3): 133-9.

Srinath KS, Satish R. 2013. Management of thumb sucking habit in a 8 year old
child – A case report. International Journal of Science and Research.
4(3).

Tanaka, O.M., Kreia, T.B., dkk. 2004. Malocclusion and thumb sucking habbit.
Journal Brasileiro de Ortodontia Ortopedia Facial. 9

Tanaka, O.M., Wagner, O., dkk. 2016. Breaking the Thumb Sucking Habbit :
When Complience is Essential. Hindawi Publishing Coorporation Jornal.

Tanaka, O.M., Guaritza, F.O., dkk. 2013. Glossectomy as an adjunct to correct an


open bite malocclusion with shortened maxillary central incisor roots.
American Journal of Orthodontics Dentofacial Orthopedics. 144 : 1

Proffit, W.R., Field, H. W., dan Sarver, D. 2007. Contemporary Orthodontics. St


Louis : Elsevier Mosby.

Rahardjo P. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya: Airlangga University Press.

Sadler, T. W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: EGC.

Sonis, S.T. 2003. Dental Secrets. Edisi 4. St. Louis : Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai