Anda di halaman 1dari 9

Makalah Psikologi Pendidikan

Gejala Jiwa “Berpikir”

Kelompok 3

Pendidikan Biologi C

1. Yuliantika Puteri Wardani 18304241030


2. Wina Afifah Putri 18304241031
3. Nadia Alima Fadhilla 18304241032
4. Tria Kurnia Sari 18304244001
5. Annisa Dewi Permatasari 18304244022
6. Khusnul Muthohharoh 183042440

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Ketika menjadi seorang pengajar bukan tidak berarti semua anak dapat mengikuti
arahan dan juga alur pembelajaran yang pengajar tersebut sampaikan. Pasti di setiap
kelompok belajar, terdapat perbedaan dalam daya tangkap dan cara belajar dari para murid.
Namun, hal ini juga tidak menutup kemungkinan bagi seorang pengajar untuk membuat
seluruh muridnya paham akan pembelajaran disampaikan. Para pengajar juga perlu untuk
mempelajari psikologi pendidikan yang nantinya akan berguna untuk mengenal karakter sang
murid sehingga pengajar tersebut kemudian dapat memutuskan tipe dan model pembelajaran
apa yang cocok untuk murid tersebut. Salah satu bab yang harus dipelajari dalam psikologi
pendidikan untuk para calon pengajar adalah bentuk – bentuk gejala jiwa dalam pendidikan.

Gejala jiwa pada manusia tampak dalam perilakunya. Ada beberapa bentuk gejala jiwa
manusia yang mendasar serta banyak muncul dalam bidang pendidikan. Diantaranya
pengindraan dan persepsi, memori, berfikir, inteligensi, emosi serta motivasi (Sugihartono,
2013 : 7). Bentuk – bentuk gejala jiwa tersebut sangat mendasari dan mempengaruhi berbagai
perilaku manusia, baik perilaku dari seorang pendidik maupun perilaku dari anak didik.
Gejala jiwa memang hal yang cukup penting bagi calon pengajar atau pendidik sebagai
‘bekal’ untuk mengenali anak didiknya kelak.

Mengapa mempelajari gejala jiwa merupakan hal yang penting bagi calon pengajar?
Jawabannya tentu saja karena karateristik tiap murid berbeda – beda walaupun berada di
kelas yang sama. Ada anak yang sangat pintar dalam pelajaran matematika namun lemah
dalam olahraga. Ada juga anak yang pintar dalam bermain musik namun kurang dalam
pelajaran biologi. Keadaan kelas dengan karateristik murid yang beragam inilah yang
kemudian menjadi tuntutan bagi calon pengajar untuk mempelajari gejala jiwa dalam
pendidikan. Apabila seorang pengajar tidak mempelajari ilmu ini dengan baik, bisa jadi
ketika pengajar tersebut melakukan praktik di kelas yang sesungguhnya, hal yang terjadi
adalah salah diagnosis terhadap karakteristik sang murid. Contoh, ketika ada anak yang
terlihat lamban dalam menangkap materi dan sang guru sudah mendiagnosis bahwa murid
tersebut memang demikian. Ternyata hal yang terjadi adalah anak tersebut memikirkan
masalah yang jauh lebih kompleks tentang materi sebelumnya sehingga ketika diberi
penjelasan tentang materi yang baru, anak tersebut masih belum bisa menerima materinya,
karena terhambat oleh pikiran kritisnya tentang materi sebelumnya. Hal inilah yang
menyebabkan kenapa mempelajari gejala jiwa, terutama berpikir, cukup penting bagi calon
pengajar maupun guru.
BAB II

ISI

A. Definsi Berpikir

Menurut John W. Santrock, dalam buku Psikologi Pendidikan (2008:35) berpikir


adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Ini
sering dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar, dan berpikir secara kritis, membuat
keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah. Cara berpikir pun akan berbeda beda
sesuai dengan usianya. Anak berusia 6 tahun akan berfikir tentang bermain dan bersenang-
senang, sedangkan pada usia dewasa lebih memikirkan realitas.

Berpikir mencakup banyak aktivitas mental. Dalam memutuskan segala sesuatu pun
harus berpikir terlebih dahulu, seperti jika kita akan membeli baju di toko, itu pun harus
melalui proses berpikir terlebih dahulu. Berpikir adalah sebuah representasi simbol dari
beberapa peristiwa atau item dalam dunia. Berpikir juga dapat dikatakan sebagai proses yang
memerantarai stimulus dan respons. (Morgan dkk., 1986). Berpikir adalah melatih ide-ide,
dengan cara yang tepat dan seksama, yang dimula dengan adanya masalah. (Drever, dalam
Wagito 1997). Definisi berfikir yang paling umum adalah berkembangnya ide dan konsep
(Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide
dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian
informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.

Dari pengertian – pengertian tentang berpikir tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan
dasar tentang berpikir, yaitu :

1. berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapidiperkirakan
dari perilaku;
2. berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan
dalam sistem kognitif; dan
3. berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang “memecahkan” masalah atau
diarahkan pada solusi.

B. Macam – macam Gejala Jiwa Berpikir


Berpikir banyak sekali macamnya. Banyak para ahli yang mengutarakan pendapat
mereka. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam berpikir, yaitu :
1. Berpikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari
pengaruh alam sekelilingnya, misal; penalaran tentang panasnya api yang dapat
membakar jika dikenakan kayu pasti kayu tersebut akan terbakar.
2. Berpikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan
cermat, misal; dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu
pada saat yang sama dala satu kesatuan.
3. Berpikir autistik. Contoh berpikir autistik antara lain adalah mengkhayal, fantasi
atau wishful thinking. Dengan berpikir autistik seseorang melarikan diri dari
kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis.
4. Berpikir realistik. Berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata,
biasanya disebut dengan nalar (reasoning). Floyd L. Ruch (1967) menyebutkan ada
tiga macam berpikir realistik, antara lain :
a. Berpikir Deduktif
Deduktif merupakan sifat deduksi. Kata deduksi berasal dari kata Latin deducere
(de berarti ‘dari’, dan kata ducere berarti ‘mengantar’, ‘memimpin’). Dengan
demikian, kata deduksi yang diturunkan dari kata itu berarti ‘mengantar dari satu hal
ke hal lain’. Sebagai suatu istilah dalam penalaran, deduksi merupakan proses
berpikir (penalaran) yang bertolak dari proposisi yang sudah ada, menuju proposisi
baru yang berbentuk kesimpulan (Keraf, 1994:57).
b. Berpikir Induktif
Induktif artinya bersifat induksi. Sinduksi adalah proses berpikir yang bertolak
dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan
(inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas
fenomena-fenomena yang ada. Karena semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi
terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran induktif, proses
penalaran itu juga disebut sebagai corak berpikir ilmiah. Namun, induksi tidak akan
banyak manfaatnya jika tidak diikuti oleh proses berpikir deduksi. Berpikir induktif
ialah menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian (data) yang ada di
sekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses berpikirnya adalah sintesis. Tingkatan
berpikirnya adalah induktif. Jadi jelas, pemikiran semacam ini mendekatkan
manusia pada ilmu pengetahuan.
Tepat atau tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil secara induktif ini
terutama bergantung pada representatif atau tidaknyasampel yang diambil, yang
mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil, makin
representatif dan makin besar taraf validitas dari kesimpulan itu, demikian juga
sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh
obyektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang
diselidiki (Purwanto, 1998:47-48).
c. Berpikir Evaluatif
Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya
suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi
gagasan. Kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat, 1994). Perlu diingat
bahwa jalannya berpikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam faktor.
Suatu masalah yang sama mungkun menimbulkan pemecahan yang berbeda-beda
pula. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi jalannya berpikir itu antara lain,
yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tersebut, situasi yang
tengah dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman-pengalaman
orang tersebut, serta bagaimana intelegensi orang itu.

Selain itu, menurut Kartono (dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir, yaitu :
1. Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat tertentu.
2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan
atau disempurnakan keluasannya.
3. Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir menganai klasifikasi atau pengaturan menurut
kelas-kelas tingkat tertentu.
4. Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar
kemiripannya.
5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang
lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
6. Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih
dangkal dan seringkali tidak logis.

C. Proses Berpikir
Proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada empat langkah, yaitu :
1. Pembentukan Pengertian
Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk
melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
 Menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita
perhatikan unsur - unsurnya satu demi satu. Kita ambil manusia dari berbagai
bangsa lalu kita analisa ciri-ciri. Misalnya, manusia Indonesia, ciri - cirinya:
makhluk hidup, berbudi, berkulit sawo matang, berambut hitam, dan untuk
manusia Eropa, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit putih, berambut
pirang atau putih, bermata biru terbuka.
 Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang
sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu
ada mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki.
 Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang, ciri - ciri yang tidak hakiki,
menangkap ciri - ciri yang hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu
ialah : Makhluk hidup yang berbudi.
2. Pembentukan Pendapat
Pembentukan pendapat ialah menggabungkan atau memisah beberapa pengertian
menjadi suatu tanda yang khas dari masalah itu. Pendapat dibedakan menjadi tiga
macam:
a. Pendapat Afirmatif (positif), yaitu pendapat yang secara tegas menyatakan
sesuatu, misalnya si Ani itu rajin, si Totok itu pandai, dsb.
b. Pendapat Negatif, yaitu pendapat yang secara tegas menerangkan tidak adanya
sesuatu sifat pada sesuatu hal, misalnya si Ani tidak marah, si Totok tidak bodoh,
dsb.
c. Pendapat Modalitas (kebarangkalian), yaitu pendapat yang menerangkan
kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada suatu hal, misalnya hari ini
mungkin hujan, si Ali mungkin tidak datang, dsb.
3. Pembentukan Keputusan
Pembentukan keputusan yaitu menggabung-gabungkan pendapat tersebut.
Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan
pendapat-pendapat yang telah ada. Ada tiga macam keputusan, yaitu:
1. Keputusan dari pengalaman-pengalaman, misalnya: kemarin paman duduk
dikursi yang panjang, masjid dikota kami disebelah alun-alun, dsb.
2. Keputusan dari tanggapan-tanggapan, misalnya: anjing kami menggigit seorang
kusir, sepeda saya sudah tua, dsb.
3. Keputusan dari pengertian-pengertian, misalnya: berdusta adalah tidak baik,
bunga itu indah, dsb.
4. Pembentukan Kesimpulan
Pembentukan kesimpulan berarti menarik keputusan dari keputusan-keputusan yang
lain.
D. Penerapan Gejala Jiwa Proses Berpikir dalam Pendidikan
Berpikir diperlukan dan merupakan bagian dari pendidikan. Hal ini sudah semestinya
diprogramkan dalam suatu kebijakan karena program ini nanti akan sangat memperngaruhi
kualitas lulusan suatu instansi pendidikan. Secara umum berpikir kritis ditandai dengan
kemampuan menalar dengan tepat, sistimatis dan logis dalam memahami konsep atau
keyakinan, untuk mengambil tindakan dan memecahkan persoalan berdasarkan
mekanisme analisis konseptual dan argumentasi (Pithers & Soden, 2001).
Menurut Bailin dkk. (1999) konsep berpikir kritis dalam pendidikan harus terintegrasi
dengan baik, jika outcomes dari suatu instansi pendidikan tersebut ingin dibekali dengan
kemampuan berpikir. Konsep pemikiran Bailin ini meggambarkan mustahil jika produk dari
suatu instansi pendidikan yang mampu berpikir lahir tanpa adanya proses. Artinya sebagai
seorang pendidik harus dapat terlibat aktif menjadikan anak didiknya berpikir. Sang anak
didik juga harus ikut serta dan mampu mengaplikasikannya dalam menyelesaikan setiap
masalah yang dihadapinya saat belajar .
Menurut Russel (dalam Burton dkk., 1960) alur berpikir yang bisa dpahami oleh anak
didik dan pendidik diawali dengan adanya stimulus, kemudian diinterpretasikan, dilanjutkan
dengan proses dan diakhiri dengan lahirnya kesimpulan. Sedangkan sebagai anak didik untuk
menerapkan bentuk implementasi aspek berpikir kritis, dapat digunakan prinsip active
learning melalui beberapa langkah. Pertama, berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Kedua, berinisiatif mengambil keputusan dalam studinya. Ketiga, berkomitmen
menuntaskan tugas belajar. Keempat, bertanggung jawab pada setiap keputusannya.
Partisipasi aktif perkuliahan dapat dikenali melalui kegiatan bertanya dalam forum
diskusi. Pertanyaan yang mengasah berpikir kritis mengikuti prinsip Socratic
Questioning (Paul, 2008). Skema berpikir dalam pendidikan dapat dilihat di bawah ini :
Emosi, kebutuhan dan
kebiasaan memperngaruhi
Stimulus
(berasal Persepsi 1. Proses Berpikir
dari luar) Interpretasi
2. Berpikir Asosiatif
Menggambarkan
3. Berpikir Induktif Produk /
Kesimpulan
4. Pemecahan Masalah
Memori
5. Berpikir Kritis

Konsep 6. Berpikir Kreatif

Materi Berpikir Proses Berpikir


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berpikir merupakan proses mengolah informasi dalam memori dan mewujudkan hasil
dari proses berpikir tersebut sebagai solusi dari sebuah permasalahan. Menurut para ahli
berpikir memliki banyak macam diantaranya, berpikir alamiah, berpikir ilmiah, berpikir
autistik, berpikir realistik, dan lain – lain. Berpikir memiliki suatu alur tersendiri yang disebut
proses berpikir yang diawali dengan pembentukan pengertian kemudian pembentukan
pendapat, dilanjutkan dengan pembentukan keputusan dan diakhiri dengan pembentukan
kesimpulan. Proses berpikir harus lebih giat diterapkan dalam pendidikan salah satu
contohnya dengan membuat interaksi pikiran antar guru dengan muridnya. Hal seperti ini
dapat mengmbangkan pola berpikir dari kedua pihak menjadi lebih kompleks dan sistematis.
Selain itu, agar interaksi pikiran tersebut berhasil, kedua pihak harus memiliki inisiatif
masing – masing untuk saling membuka pikiran dan bertukar pendapat.
DAFTAR PUSTAKA

Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers.


Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Kencana.
Suryobrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali.
Sugihartono, dkk. 2013. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta : UNY Press
Jurnal “Implementasi Berpikir Kritis Sebagai Kunci Sukses Belajar” karya Dr. Rohmani Nur
Indah, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Jurnal “Berpikir Dalam Pendidikan (Suatu Tinjauan Filsafat Tentang Pendidikan Untuk
Berpikir Kritis)” karya Muhammad Haviz, STAIN Batusangkar.
http://psikologi.or.id/psikologi-umum-pengantar/berfikir-thinking.htm (diakses pada 20
September 2018, pukul 16.00 WIB)

http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/11/thinking.pdf (diakses pada 20 September


2018, pukul 16:00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai