Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana artinya jauh dan
phylaxis artinya perlindungan. Secara bahasa artinya adalah menghilangkan
perlindungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan Richet pada tahun
1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemon laut untuk keduakalinya pada
seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mati mendadak.
Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid. Gejala, terapi, dan
risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa
keterlibatan atau mediasi dari IgE. Data yang menjelaskan jumlah insidensi dan
prevalensi dari syok dan reaksi anapilaksis saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data
yang diperoleh di Indonesia menunjukkan sepuluh dari 1000 orang mengalami reaksi
anapilaksis tiap tahunnya. Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit
di Indonesia mengalami reaksi anafilaksis. Sehingga, resiko mengalami kematian
sebesar 1% dari yang mengalami reaksi anapilaksis, yaitu sebesar 500-1000 kematian
yang terjadi.
Pada kematian akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada 15
hingga 20 menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi
anafilaktik yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps
sirkulasi. Oleh karena itu penting sekali memahami dan mengetahui tentang syok
anafilaksis. Dalam referat ini, selain akan dipaparkan aspek dari penyakit anafilaksis,
dan penatalaksanaan terkini serta sedikit pembahasan tentang sudut medikolegalnya
akan turut pula disertakan.
Angka kejadian alergi di berbagai dunia dilaporkan meningkat drastis dalam
beberapa tahun terakhir. World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia
diperkirakan terdapat 50 juta manusia menderita asma. Tragisnya lebih dari 180.000
orang meninggal setiap tahunnya karena asma.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan defenisi penyakit anafilaksis?
2. Menjelaskan etiologi penyakit anafilaksis?
3. Menjelaskan manifestasi klinis penyakit anafilaksis?
4. Menjelaskan patofisiologi penyakit anafilaksis?
5. Menjelaskan pemeriksaan penunjang tentang penyakit anafilaksis?
6. Menjelaskan penatalaksanaan pasien dengan penyakit anafilaksis?
7. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit anafilaksis?
8. Menjelaskan intervensi keperawatan pada penyakit anafilaksis.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit anafilaksis
2. Mendeskripsikan tentang konsep medis mengenai penyakit anafilaksis, mulai dari
defenisi penyakit, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang, dan penatalaksanaan.
3. Mengetahui konsep keperawatan pada pasien dengan penyakit anafilaksis, mulai
dari pengkajian, diagnose, dan intervensinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Medis
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa
menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami
sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis merupakan respons
klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensivitas tipe I, antara antigen yang
spesifik dan antibodi ( Brunner dan Suddarth, 2001).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak
terjadi pada pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I , dimana terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast yang
mengakibatkan vasodilatasi massif, peningkatan permeabilitas kapiler, dan penurunan
peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat
dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu
reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara
antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan
basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap
berbagai macam organ tersebut (Suzanne C. Smeltze, 2001).
Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada
pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi
ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. (Pearce C,
Evelyn.2009).
Anafilaksis adalah suatu reaksi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa
menjadi berat. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen.Pada
pemaparan kedua atau pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi
suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba,berat dan melibatkan seluruh
tubuh.
B. Epidemiologi
Anafilaksis lokal (alergi atopik) yang merupakan predisposisi herediter untuk
terjadinya respon tipe 1 lokal terhadap allergen yang dihirup atau dicerna terjadi pada
10% masyarakat. Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling
banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak
setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000
penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia,
khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000
total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada
tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur,
anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua
dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
C. Klasifikasi
Berdasarkan reaksi tubuh :
1. Lokal : reaksi anafilaktik lokal biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada
tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang
fatal.
2. Sistemik : reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah
kontak dalam sistem organ berikut ini :
a) Kardiovaskuler
b) Respiratorius
c) Gastrointestinal
d) Integumen
D. Penyebab/faktor predisposisi
Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen. Reaksi tersebut
terjadi akibat antibody IgE dengan cara:
1. Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel
mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan
2. Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan
vaskuler, pengaktifan trombosit, eosinofil serta neutrofil dan pengaktifan
rangkaian rangkaian peristiwa koagulasi. Penyebab yang sering ditemukan adalah:
a) Gigitan/sengatan serangga.
b) Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin).
c) Alergi makanan
d) Alergi obat Serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan anafilaksis.
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi
anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin,
tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri,
dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat
radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin,
heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll juga dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik.
Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan
bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsang sel-sel untuk melepaskan
histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi peradangan kekebalan. Beberapa
jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk rontgen), pada
pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksiyang menyerupai
anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi racun dan
bukan merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang terjadi pada anafilaksis
sesungguhnya.
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan
reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen
lain yang tidak bisa di golongkan.
Allergen Penyebab Anafilaksis
Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxac
in,Amphotericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine,
Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat
dan HCT
Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
E. Patofisiologi
Sistem kekebalan melepaskan antibodi. Jaringan melepaskan histamin dan zat
lainnya. Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar bunyi
mengi (bengek), gangguan pernafasan, dan timbul gejala-gejala saluran pencernaan
berupa nyeri perut, kram, muntah dan diare. Histamin menyebabkan pelebaran
pembuluh darah (yang akan menyebabkan penurunan tekanan darah) dan perembesan
cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan (yang akan menyebabkan penurunan
volume darah), sehingga terjadi syok. Cairan bisa merembes ke dalam kantung udara di
paru-paru dan menyebabkan edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa cukup
berat sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. Anafilaksis yang
berlangsung lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada kepekaan yang ekstrim,
penyuntikan allergen dapat mengakibatkan kematian atau reaksi subletal.

Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase:


1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk
lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma(Plasmosit).Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat
pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang disebut dengan istilah Preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi
merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan
Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga
dengan Leukotrien.
F. Manifestasi Klinis
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru
menjadi berat. Keluhanyang sering dijumpai pada fase permulaan adalah rasa takut,
perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai,
sesak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik.
Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan
antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada
oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus
gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah
kontak dengan penyebab.
1. Ringan :
a) Rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer, dan dapat disertai dengan
perasaan penuh dalam mulut serta tenggorok.
b) Kongesti nasal
c) Pembengkakan periorbital
d) Pruritus
e) Bersin – bersin dan mata yang berair
f) Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak
2. Sedang :
a) Rasa hangat
b) Cemas
c) Gatal – gatal
d) Bronkospasme
e) Oedem saluran nafas atau laring dengan dispnea
f) Batuk serta mengi
g) Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan
3. Berat :
Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda –tanda serta
gejala yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia (kesulitan
menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat
terjadi. Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun
b) Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
2. Radiologi
a) X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
b) EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
H. Penatalaksanaan
1. Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing,
dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan
bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap
bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan
napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke
mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support,
yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera
lakukan kompresi jantung luar.
2. Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu
pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler
lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1
:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis
diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin
diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam
waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin
harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat
diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),
diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena
4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam,
atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau
NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah
bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2
yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui
nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam
250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau
15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-
pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrosa 5%.
3. Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan
plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
4. Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap
sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit
I. Komplikasi
1. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
2. Bronkospasme persisten.
3. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
4. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
5. Kerusakan otak permanen akibat syok.
6. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
a) Klien : Nama, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, Alamat,
Diagnosa Medis
b) Penanggung Jawab : Nama, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Status
Pernikahan, Alamat, Hubungan dengan klien
2. Anamnesa
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang
dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum
kita memberikan setiap obat, terutama obat suntikan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan gejala awal dengan rasa gatal
dan panas. Biasanya selalu disertai dengan gejala sistemik misal
dispnea, mual, kulit sianosis, kejang. Anamnesa yang tepat dapat memperkecil
gejala sistemik sebelum berlanjut pada fase yang lebih parah/gejala sistemik
berat.
4. Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu. Pernahkah klien
mengalami hal yang sama saat setelah kontak dengan alergen
misalnya, debu, obat-abatan, makanan, atau kontak dengan hewan tertentu.
5. Riwayat penyakit keluarga
Apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami alergi.Punyakah
keluarga riwayat penyakit alergi lain misalnya, asma.
6. Pemeriksaan fisik
a. Jalan napas atas
Inspeksi : Bersin, pilek, dispneu.
Palpasi : edema laring,edema lidah dan faring
Auskultasi : ronchi
b. Jalan napas bawah
Inspeksi : Dispnea, emfisema akut, asma, bronkospasme.
Gastro Intestinal : Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang
perut, diare.
Susunan saraf pusat : Gelisah, kejang
B. Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan spasme otot bronkiolus .
2. Gangguan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan
vasodilatasi arteri.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine
dan bradikinin oleh sel mast.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
kapasitas vaskuler.
6. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan spasme otot bronkiolus .
Batasan Karakteristik
a. Perubahan kedalaman pernapasan
b. Penurunan tekanan ekspirasi
c. Penurunan venntilasi semenit
d. Penuurunan kapasitas vital
e. Dipneu
Kriteria Hasil (NOC)
1. Mendemonstrasikan batuk efektif, dan suara napas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dispneu (mampu bernapas dengan efektif).
2. Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
napas, frekuensi pernapasan dalam, rentang normal,tidak ada suara
abnormal).
3. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernapasan).
NIC
1. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan pentilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan
4. Berikan bronkodilator bila perlu
5. Monitor respirasi dan status O2
6. Pertahankan jalan napas yang paten
7. Monitor aliran oksigen
8. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
9. Monitor tekanan darah,suhu dan respirasi
10. Monitor suhu,warna,dan kelembaban kulit
11. Monitor pola pernapasan abnormal
12. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
2. Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan
vasodilatasi arteri.
Batasan Karakteristik
a. Ph darah arteri abnormal
b. Pernapasan abnormal (mis. Kecepatan,irama dan kedalaman)
c. Warna kulit abnormal (mis. Pucat,kemerahan)
d. Sakit kepala saat bangun
e. Iritabilitas
NOC (Kriteria hasil)
1. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang kuat
2. Memelihra kebersihan paru-paru dan bebas dari distress pernapasan
3. Tanda-tanda vital dalam rentan normal.
NIC
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Identifiksi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan
3. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
4. Monitor respirasi dan o2
5. Monitor rata-rata,kedalaman,irama,dan usaha respirasi
6. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,penggunaan otot
tambahan,retraksi otot supraclavicular dan intracosta
7. Monitor kelelahan otot diagfragnma
8. Auskultasi suara napas, catat area penurunan atau tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine
dan bradikinin oleh sel mast.
Batasan Karakteristik
a. Kerusakan lapisan kulit (dermis)
b. Gangguan permukaan kulit (epidermis)
c. Invasi struktur tubuh
NOC (kriteria hasil)
1. Integritas kulit yang baik bisa di pertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi).
2. Tidak ada luka atau lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan
kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang
4. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan keembapan kulit dan
perawatan alami.
NIC
Pressure manajement
1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Monitor kulit akan adanya kemerahan
5. Oleskan lotion atau minyak pada daerah yang tertekan
6. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Batasan karakteristik
a. Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
b. Ketidaknyamanan setelah aktivitas
c. Mnyatkan merasa letih
d. Menyatakan merasa lemah
NOC (Kriteria hasil)
1. Berpartisispasi dalam aktivitas kulit tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan respirasi
2. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
3. Tanda-tanda vital normal
4. Status respirasi: pertukaran gas dan ventilasi adekuat
NIC
1. Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medic dalam merencanakan
program terapi yang tepat
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktifitas yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktifitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi dan social
4. Bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang disukai
5. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
6. Bantu pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktifitas
7. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktifitas
8. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan elektrolit berhubungan dengan
peningkatan kapasitas vaskuler.
Factor resiko
a. Defisiensi volume cairan
b. Diare
c. Muntah
d. Efek samping obat
NOC (Kriteria Hasil)
1. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
2. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membrane
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
NIC
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Monitor status hidrasi, (kelembapan membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik) jika diperlukan
3. Monitor vital sign
4. Dorong masukan oral
5. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
6. Kolaborasi dengan dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk
6. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif
Batasan Karakteristik
a. Perilaku hiperbola
b. Ketidakakuratan melakukan tes
c. Perilaku tidak tetap (misalnya hysteria, bermusuhan, agitasi, dan apatis)
NOC (Kriteria Hasil)
1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program pengobatan
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara
benar
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat atau tim kesehatan lainnya
NIC
1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara
yang tepat
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
5. Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
7. Hindari jaminan yang kosong
8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara
yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara C, Long. 1996. Perawatan medikal bedah. EGC : Jakarta
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. EGC : Jakarta
Gleadle, Jonathan. 2005. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga.
http://debyrahmad.blogspot.com/diakses pada tanggal 4 Juni, 2015.
Nurarif Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdaarkan Diagnosa Medis
dan Nanda NIC NOC Jilid 1. Yogyakarta: Medi Action.
Pearce C, Evelyn. 2009. Anatomi dan fisiologi. Gramedia : Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai