I. Keterangan Umum
Pasien
Nama : Tn. Y
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 31 th
Tanggal lahir : 12-11-1987
Alamat : Cimahi
No. CM : 10321XXX
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Pemeriksaan : 18 Januari 2019
1
ANAMNESIS
2
a. Keadaan Umum
Kesan sakit : Sedang Kesadaran : Composmentis
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 65 Kg
b. Keadaan Sirkulasi
Tekanan darah : 180/120 mmHg Suhu : 36,8 oC
Nadi : 92 x/menit
- Tipe : equal
- Isi : cukup
- Irama : reguler
3
- Tonsil : tidak ada pembesaran
11. Kelenjar Parotis : tidak ada pembesaran
b. Leher
- Inspeksi :
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
Pembesaran vena : tidak terlihat
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
- palpasi :
Kaku kuduk : tidak ada
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
Kelenjar getah bening : tidak teraba
d. Pemeriksaan Thorax
1. Thorax Depan
Inspeksi
Bentuk umum : simetris
Sudut epigastrium : < 90 derajat
Sela Iga : tidak ada pelebaran
Frontal & sagital : tidak ada kelainan
Pergerakan : simetris kiri = kanan
Skeletal : tidak ada retraksi
Kulit : tidak ada ulkus
Iktus cordis : terlihat di ISC 5 linea midclavicula sinistra
Tumor : tidak ada
Palpasi
Kulit : tidak ada kelainan
Muskulator : tidak ada retraksi
Vokal fremitus : kiri = kanan
Mammae : tidak ada retraksi, tidak ada massa
Ictus cordis : - Lokalisasi : ICS 5 linea midclavicular sinistra
4
- Intensitas : tidak kuat angkat
- Pelebaran : tidak ada
- Irama : reguler
- Thrill : tidak ada
Perkusi
Paru-paru : - Kanan : sonor
- Kiri : sonor
- Batas paru hati : ICS 5
- Peranjakan : 1 ICS
COR : - Batas atas : ICS 2
- Batas kiri : ICS 2 L. Aksilaris Ant Sin
- Batas kanan : L. parasternal dextra
Auskultasi
Paru-paru : Suara pernafasan : Vesicular kanan=kiri
Vokal resonans : kiri=kanan
Suara tambahan : ronchi +/+, wheezing tidak ada
2. Thorax Belakang :
Inspeksi
Bentuk : normal
Pergerakan : simetris
Skelet : tidak ada kelainan
Palpasi
Vokal fremitus : kiri=kanan
Perkusi : sonor
5
Auskultasi :
Paru-paru : Suara Pernafasan : vesicular
Vokal resonans : normal
Suara tambahan : ronchi +/+ basah kasar, wheezing
tidak ada
e. Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi
Bentuk : datar Pergerakan waktu nafas :
normal
Kulit : turgor normal
Palpasi
Dinding perut : lembut, supel
Nyeri Tekan : positif di regio epigastrc
Nyeri Lokal : positif di regio epigastric
Nyeri ketok CVA : -/-
Hepar
Pembesaran : tidak teraba
Lien
Pembesaran : tidak teraba
Ginjal
Pembesaran : tidak ada
Perkusi
Asites : tidak ada
Auskultasi
Bising usus : positif 12x/menit
6
Palpasi
Kulit : akral dingin
Lain-lain : Edema Pitting +/+
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 18 Januari 2019
Hematologi
Hemoglobin : 3,2 g/dl L (12 – 16 g/dl)
Leukosit : 5800 /uL (4800 – 10800/ul)
Hematokrit : 11% L (37 – 47 %)
Trombosit : 194.000/ul (150.000 – 450.000/ul)
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu : 95 mg/dL L (<=200 mg/dL)
Ureum darah : 168 mg/dL H (14.98 – 38.52 mg/dL)
Kreatinin darah : 11,6 mg/dL H (0.60 – 1.00 mg/dl)
Laju Filtrasi Glomerulus pasien :
140-31 x 65 x 72 : kreatinin serum (11,6) = 8,48 = CKD st V
EKG :
7
V. Diagnosis Kerja :
8
CKD stage V
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
BAB I
PENDAHULUAN
9
Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus
urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme
dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi
yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit,
pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam
produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan
fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin
(Baradewo,Wilfriad & Yakobus, 2009).
Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih
telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka
kematian. Jumlah kejadian CKD didunia tahun 2009 menurut USRDS terutama di
Amerika rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena
PGK. Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang
dewasa yang terkena PGK (Thata, Mohani, Widodo, 2009)
10
Di masa depan penderita Penyakit Ginjal Kronik digambarkan akan
meningkat jumlah penderitanya. Hal ini disebabkan prediksi akan terjadi suatu
peningkatan luar biasa dari diabetes mellitus dan hipertensi di dunia ini karena
meningkatnya kemakmuran akan disertai dengan bertambahnya umur manusia,
obesitas dan penyakit degeneratif (Roesma, 2008).
11
mendapati manifestasi yang muncul pada real patient yang sedang menderita
penyakit tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
1. Definisi
a) Kelainan patologik
13
atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit
dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin
buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
14
ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra,
2007).
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000 (Murray et al., 2007 & Suwitra, 2007) yaitu:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
4. Hipertensi (8,46%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih (Arora,
2014).
3. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
A. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
B. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
C. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
15
b. Nefrosklerosis
D. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
E. Gangguan tubulus primer
Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
F. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
G. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
4. Faktor Resiko
Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor
sosiodemografi.Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit yang diderita sebelumnya.Sedangkan faktor sosiodemografi
menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang tersebut
berisiko terkena GGK.Faktor risiko tersebut dijabarkan pada Tabel 4 (National
Kidney Foundation, 2002).
Tabel 3. Faktor risiko gagal ginjal kronis
16
Infeksi Saluran Kemih (ISK) Tingkat
Batu saluran kemih pendapatan/pendidikan yang
Obstruksi saluran kemih bawah rendah
Neoplasia
Riwayat GGK pada keluarga
Pernah menderita GGA
Penurunan massa ginjal
Paparan obat
BBLR
5. Patofisiologi
17
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin.Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron.Saat muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik.Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price
et al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin
adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-
sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD,
produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et
al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
18
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (McCance dan Sue, 2006):
A. Penurunan Fungsi Ginjal. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR
< 50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun
sudah terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
B. Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini
GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta
disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi
akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal.
Kelainan konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi
ginjala saat stres dapat terjadi pada tahapan ini.
C. Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan
gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek
pada sistem organ lain.
D. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang
berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi
juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi
cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler,
hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan
tulang dan mineral juga dapat terjadi.
6. Manifestasi klinis
19
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
20
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
d. Kelainan kulit
E. Penegakan diagnosis
21
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
perikarditis, kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, seperti anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal,
asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, clorida) (Suwitra, 2007).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
22
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan
obesitas (Suwitra, 2007).
F. Penatalaksanaan
23
antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah
asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak
dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,
dengan demikian pembatasan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2006).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena
proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi
ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
24
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan
terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
(Suwitra, 2006).
5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi,
yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan
hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2006).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula
darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk
berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002).
G. Prognosis
25
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Rahardjo,
2006).
H. Komplikasi
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
f. Osteodistofi ginjal dan penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar
aluminium (Arora, 2014).
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in
Ofxord Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7. New York: Oxford
University. 294-97.
Nahas, M.E. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS,
Davison AM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford
University Press. 2003; hal 1648-98.
28