Anda di halaman 1dari 12

PANDUAN DIFABEL

RUMAH SAKIT ISLAM


SURABAYA

RUMAH SAKIT ISLAM


SURABAYA
2015
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA
NOMOR :

TENTANG

PANDUAN DIFABEL
RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA

DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA


Menimbang : a. Bahwa Dalam Upaya Meningkatakan Mutu Pelayanan Di Rumah
Sakit Islam Surabaya Diperlukan Adanya Buku Panduan Difabel
Di Rumah Sakit Islam Surabaya.
b. Bahwa sesuai butir a dan b tersebut diatas perlu ditetapkan
dengan peraturan Direktur Rumah Sakit Islam Surabaya
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2004
tentang praktik kedokteran.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ MENKES/ PER/
VIII/ 2011 Tentang keselamatan pasien Rumah Sakit.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Kesatu : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA TENTANG
PANDUAN DIFABEL RUMAH SAKIT UMUM ISLAM SURABAYA
Kedua : Panduan Difabel Rumah Sakit Islam Surabaya sebagaimana dimaksud
dalam diktum Kesatu sebagaimana tercantum dalam lampiran
keputusan ini.
Ketiga : Panduan Difabel Rumah Sakit Islam Surabaya sebagaimana dimaksud
dalam diktum Kedua harus dijadikan acuan dalam
menyelenggarakan pelayanan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Islam
Surabaya
Keempat : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkanya dan apabila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan ini, akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Surabaya
Pada tanggal
Direktur,

dr. H. Sjamsul Arifin, MARS


NIK
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan anugrah
yang telah diberikan kepada penyusun, sehingga Buku panduan Difabel Rumah Sakit
Islam Surabaya ini dapat selesaidisusun.
Buku panduan ini merupakan panduan kerja bagi semua pihak yang memberikan
pelayanan kepada pasien di Rumah Sakit Islam Surabaya.
Dalam panduan ini diuraikan tentang pengertian dan tatalaksana dalam
memberikan pelayanan kepada pasien Difabel.
Tidak lupa penyusun menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
bantuan semua pihak yang telah membantu dalam menyelsaikan Panduan Difabel
Rumah Sakit Islam Surabaya.

Surabaya, 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

Peraturan Direktur Rumah Sakit Islam Surabaa.................................................


Kata pengantar.......................................................................................
Daftar isi...............................................................................................
BAB I Pendahuluan...................................................................................
BAB II Disabilitas.....................................................................................
BAB III Penanganan Pasien Diffabel...............................................................
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RSI Surabaya
NOMOR :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Difabel merupakan istilah yang digunakan untuk penyandang cacat fisik atau
masyarakat dengan kebutuhan khusus. Menurut WHO, jumlah difabel mencapai 10
persen dari jumlah penduduk dunia. Sementara berdasarkan data Departemen RI,
jumlah difabel indonesia mencapai 3,11 persen dari populasi penduduk atau sekitar
6,7 juta jiwa. Bila mengacu kepada standar yang diterapkan organisasi kesehatan
dunia PBB dngan persyaratan lebih ketat, jumlah penyandang cacat di Indonesia
mencapai 10 juta jiwa.
Undang-undang Dasar 1945 menjamin para difabel untuk memiliki kedudukan,
hak, kewajiban dan peran yang sama dengan warga negara lainya. Dalam pelayanan
kesehatan, para difabel juga memiliki hak yang sama. Sebagai institusi pelayanan
kesehatan rumah sakit harus memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi pasien difabel. Untuk
itu perlunya memberikan panduan penanganan untuk pasien difabel di RSI Surabaya.

Tujuan
Secara umum tujuan penyusunan panduan penanganan untuk pasien difabel ini
adalah :
1. Memberikan pengetahuan dan panduan bagi petugas, perawat dan dokter
mengenai cara memberikan pelayanan kepada pasien difabel.
2. Agar petugas, perawat dan dokter dapat melakukan komunikasi dengan pasien
difabel
3. Menghindarkan kesalahpahaman yang bisa menimbulkan dugaan malpraktik.
BAB II
DISABILITAS

Disabilitas adalah kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau
menghambat bagi yang menderitanya untuk melakukan kegiatan secara normal.
Disabilitas dilihat dari naspek fisiknya dapat dibagi menjadi beberapa kategori,
yaitu :
1. Tuna Netra
Seseorang dikatakan tuna netra apabila mereka kehilangan daya lihatnya
sedemikian rupa sehingga tidak dapat menggunakan fasilitas pada umumnya.
Menurut Kaufman & Hallahan, tuna netra adalah individu yang memiliki lemah
penglihatan atau akurasi penglihatan kurang terdiri 6/600 setelah dikoreksi atau
tidak lagi memiliki penglihatan.
Tuna Netra dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Kurang awas (low vision), yaitu seseorang dikatakan kurang awas bila masih
memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga masih sedikit melihat
atau masih bisa membedakan gelap dan terang.
b. Buta (blind), yaitu seseorang dikatakan buta apabila ia sudah tidak memiliki
penglihatan sehingga tidak dapat membedakan gelap dan terang.
Ciri-ciri fisik :
1. Memiliki daya dengar yang sangat kuat sehingga dengan cepat pesan-pesan
melalui pendengaran dapat dikirim ke otak.
2. Memiliki daya perabaan yang sensitif sehingga apa yang dirasakan dapat
dikirim langsung ke otak.
3. Kadang-kadang mereka suka mengusap-usap mata dan berusaha
membelalakannya.
4. kadang-kadang mereka memiliki perilaku kurang sedap bila dilihat oleh orang
normal pada umumnya atau dengan sebutan blindism (misalnya : mengkerut-
kerutkan kening, menggeleng-gelengkan kepala secara berulang-ulang
dengan tanpa disadarinya).
2. Tuna Daksa
Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila terdapat kelainan
anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah
bentuk sehingga mengakibatkan turunya kemampuan normal untuk melakukan
gerakan-gerakan tubuh tertentu dan mengoptimalkan potensi kemampuannya
diperlukan layanan kursus. Tuna Daksa ada dua kategori, yaitu :
a. Tuna Daksa orthopedic (Orthopedically handicapped), yaitu mereka yang
mengalami kelainan, kecacatan tertentu sehingga mengakibatkan
terganggunya fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian
tulang-tulang, otot-otot tubuh pada daerah persendian, baik yang dibawa
sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian. Contoh : anak polio.
b. Tuna Daksa syaraf (Neurologically handicapped), yaitu kelainan yang terjadi
pada anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada urat syaraf. Salah satu
kategori penderita tuna daksa syaraf dapat dilihat pada anak cerebal palsy.
Ciri-ciri fisik :
1. Memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas.
2. Depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan
kedengkian dan permusuhan. Orang tersebut begitu susah dan frustasi atas
cacat yang dialami.
3. penyangkalan dan penerimaan atau suatu keadaan emosi yang
mencerminkan suatu pergumulan yang diakhiri dengan penyerahan. Ada
saat-saat dimana individu tersebut menolak untuk mengakui realita cacat
yang telah terjadi meskipun lambat laun ia akan menerimanya.
4. meminta dan menolak belas kasihan dari sesama. Ini adalah fase dimana
orang akan menyesuaikan diri untuk dapat hidup dengan kondisinya yang
sekarang. Ada saat-saat ia ingin tidak bergantung, ada saat-saat ia betul-
betul membutuhkan bantuan selamanya. Keseimbangan ini kadang-kadang
sulit dicapai.
Ciri-ciri sosial :
Kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena keterbatasan
aktivitas gerakanya. Dan kadang-kadang menampakan sikap marah-marah
(emosi) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas.
3. Tuna Rungu
Sesorang dikatakan tuna rungu apabila mereka kehilangan daya dengarnya.
Tuna rungu dikelompokan menjadi :
a. Ringan (20 – 30 dB)
Umumnya mereka masih bisa berkomunikasih dengan baik, hanya kata-kata
tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga
pemahaman mereka menjadi sedikit terhambat.
b. Sedang (40 -60 dB)
Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan
orang lain, suara yang terdengar adalah suara radio dengan volume
maksimal.
c. Berat/ Parah (diatas 60 dB)
Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain,
suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya jika
masuk kategori sudah menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada
kemampuan membaca gerakbibir atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Ciri-ciri fisik :
1. Berbicara keras dan tidak jelas.
2. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
3. Telinga mengeluarkan cairan
4. Menggunakan alat bantu dengar.
5. Bibir sumbing
6. Suka melakukan gerakan tubuh.
7. Cenderung pendiam.
8. Suara sengau.
9. Cadel.
Ciri-ciri mental :
Pada umumnya sering menaruh curiga terhadap orang-orang yang ada
disekitarnya.
4. Tuna Wicara
Sesorang dikatak tuna wicara apabila mereka mengalami kesulitan berbicara. Hal
ini disebabkan kuran atau tidak berfungsinya alat-alat berbicara seperti rongga
mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak
berfungsinya organ pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa,
kerusakan pada sistem syaraf dan struktur otot serta ketidakmampuan dalam
control gerak juga dapat mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara. Diantara
individu yang mengalami kesulitan berbicara, ada yang sama sekali tidak dapat
berbicara, dapat mengeluarkan bunyi tpi tidak mengucapkan kata-kata dan ada
yang dapat berbicara tetapi tidak jelas.
Masalah yang utama pada diri seorang tuna wicara adalah mengalami kehilangan/
terganggunya fungsi pendengaran (tuna rungu) dan atau fungsi bicara (tuna
wicara), yang disebabkan oleh bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit.
Umumnya sesorang dengan gangguan dengar/ wicara yang disebabkan oleh faktor
bawaan (keturunan/ genetik) akan berdampak pada kemampuan bicara umumnya
masih dapat menggunakan fungsi pendengarannya walaupun tidak selalu.
BAB III
PENANGANAN PASIEN DIFABEL

Untuk dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam memberikan pelayanan


bagi pasien difabel, Rumah Sakit Islam Surabaya memiliki sarana dan prasarana yang
mendukung seperti :
1. Kursi roda
Kursi roda merupakan alat yang digunakan oleh orang yang mengalami kesulitan
berjalan menggunakan kaki, baik dikarenakan penyakit, cedera maupun cacat.
2. Brankar
Brankan merupakan tempat tidur pasien yang dapat didorong.
3. Ramp
Ramp merupakan alternatif jalan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
tangga/ pasien difabel yang menggunakan kursi roda.

Pelayanan umum yang diberikan oleh Rumah Sakit Islam Surabaya Untuk Pasien
Difabel :
1. Pasien difabel yang masih mampu berjalan pada saat masuk rumah sakit,
doorman menggandeng/ memapah/ mengarahkan pasien difabel ke registrasi
rawat jalan/ admission rawat inap sesuai dengan kebutuhannya. Setelah selsai
proses pendaftaran, doorman akan mengantarkan kembali pasien difabel ke
poliklinik/ ruang unap.
2. Pasien difabel dengan kondisi tubuh pasien lemah
Pada saat masuk Rumah Sakit, doorman mengatarkan pasien difabel dengan
menggunakan kursi roda. Untuk kondisi yang darurat, maka pasien difabel akan
langsung diantarkan ke Unit Gawat Darurat dengan menggunaka brankar.

Komunikasi dengan pasien difabel


Tuna Netra
Tuna netra memiliki keterbatasan dalam indera penglihatan sehingga untuk
melakukan kegiatan sehari-harinya menekankan pada alat indera yang lain yaitu
indera peraba dan pendengaran. Untuk mempermudah dan melancarkan penanganan
pasien difabel maka petugas Rumah Sakit Umum Daerah Islam Surabaya melakukan
komunikasi dengan pasien difabel dengan menggunakan :
1. Benda model
2. Benda nyata
3. Melakukan komunikasi efektif secara normal (lihat panduan komunikasi efektif).
Penyandang tuna netra memiliki daya dengar yang sangat kuat, pesan-pesan yang
diterima melalui pendengarannya dapat dengan cepat dikirim ke otak sehingga
petugas dan tenaga medis Rumah Sakit Islam Surabaya dapat berkomunikasi
secara verbal dengan pasien difabel (tuna netra).
4. Membicarakan dan menjelaskan kepada keluarga pasien (bila didampingi)
mengenai data pasien, hasil pemeriksaan pasien dan tindakan lanjut yang harus
dilakukan.

Tuna Rungu dan Tuna Wicara


Karena memiliki hambatan dalam pendengaran, tuna rungu memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.

Cara berkomunikasi dengan pasien tuna rungu dan tuna wicara.


1. Berbicara harus jelas dengan ucapan yang benar.
2. Menggunakan kalimat sederhana dan singkat.
3. Menggunakan komunikasi non verbal seperti gerak bibir atau gerakan tangan.
4. Menggunakan pulpen dan kertas untuk menyampaikan pesan.
5. berbicara sambil berhadapan muka.
6. Memberikan leaflet dan brosur untuk menambah informasi.
7. Membicarakan dan menjelaskan kepada keluarga pasien (bila didampingi)
mengenai data pasien, hasil pemeriksaan dan tindakan lanjut yang harus
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai