Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Pankreatitis Akut

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit dalam RS
Islam Jemursari Surabaya

Oleh:

Yunita (612001)

Agus Prayogo Pangestu (6120018043)

Pembimbing:

dr. Hari Bagijo, Sp.PD

Departemen / SMF Penyakit dalam , Paru, dan Jantung

Fakultas Kedokteran

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

2019
Daftar Isi
Cover ....................................................................................................................... 1
Daftar Isi.................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 5
2.1 Definisi .............................................................................................................. 5
2.2 Faktor Pre .......................................................................................................... 6
2.3 Dera ................................................................................................................... 6
2.4 Etiologi .............................................................................................................. 8
2.5 Patofisiologi ...................................................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................................... 11
2.7 Diagnosis ......................................................................................................... 14
2.8 Terapi .............................................................................................................. 17
2.9 Prognosis ......................................................................................................... 20
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22
A. Kesimpulan ................................................................................................... 22
B. Saran ............................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pankreatitis akut adalah peradangan akut, non-bakterial pada organ


pankreas1 . Pankreatitis terjadi akibat autodigesti enzim pankreas yang teraktivasi.
Hal ini mengakibatkan terjadinya edema, kerusakan vaskuler, perdarahan, dan
nekrosis organ pankreas. Ekspresi yang berlebihan dari sitokin inflamasi seperti
interleukin (IL)-1,IL-6, IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF)-α dapat dengan
serius merusak sistem mikrosirkulasi endotelium dan meningkatkan permeabilitas
kapiler. Inflamasi yang persisten dapat menyebabkan hipoksia dan systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) yang dapat meningkatkan mortalitas dan
menjadi pankreatitis akut berat2,3 . Sekitar 75-85% penyebab pankreatitis akut
dapat diidentifikasi. Obstruksi batu di duktus koledukus (38%) dan alkohol (36%),
serta penyebab lainnya1,4 .
Etiologi pankreatitis akut oleh karena penyakit biliari (43,8%) dan
kecanduan alkohol (26,5%). Pankreatitis akut oleh karena alkoholik empat kali
lebih sering pada laki-laki (39,1%) dibandingkan perempuan (10,6%).
Hiperlipidemia juga dapat menjadi penyebab pankreatitis akut terutama pada
derajat sedang dan berat. Pankreatitis akut idiopatik pada laki-laki mencapai
16,1% sedangkan pada perempuan mencapai 16.6%3 .
Pankreatitis akut juga dapat terjadi setelah melakukan Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) yang lebih sering terjadi pada
perempuan (6%) dibandingkan laki-laki (1.8%). Akut pankreatitis lebih banyak
berkembang menjadi pankreatitis derajat ringan dan sedang. Sedikit yang
berkembang menjadi bentuk pankreatitis berat5 . Mayoritas kasus pankreatitis
akut adalah derajat ringan (61,2%), derajat sedang (30%), dan derajat berat
(8,8%).3 Pankreatitis akut dapat menyebabkan gagal organ multipel atau
perubahan nekrotik dari pankreas sehingga meningkatkan mortalitas dan
morbiditas5 . Pada pankreatitis akut berat lebih dari 50% menunjukkan gejala
gagal organ pada hari keempat saat dirawat di rumah sakit. Dalam 72 jam 11
orang akan berkembang menjadi Acute Kidney Injury (AKI) dan 6 orang akan
mengalami gagal ginjal6 . Untuk derajat ringan mortalitasnya mencapai 2,22%

3
sedangkan untuk derajat berat mencapai 45,63%5 . Kematian 1-2 minggu pada
pankreatitis akut oleh karena gagal organ multipel. Kematian pankreatitis akut
berat pada minggu pertama lebih dari setengahnya6 . Berdasarkan 2 penelitian
kohort, mortalitas pankreatitis akut secara keseluruhan mencapai 2,83% (17
kematian/600 pasien). Untuk derajat berat pankreatitis akut mencapai 28,3%,
sedang 0,6%, dan ringan 0,3%2 . Saat ini insiden pankreatitis akut semakin
meningkat di seluruh dunia4 . Insiden pankreatitis akut berbeda-beda di masing-
masing negara sekitar 10- 100/100.000 orang. Insiden pankreatitis akut pada laki-
laki meningkat pada umur 33-38 tahun dan masih tetap tinggi pada usia 68 tahun.
Sedangkan pada perempuan insidennya meningkat pada umur 53-78 tahun.
Pankreatitis akut dapat menyebabkan masuk rumah sakit tiba-tiba untuk adanya
gangguan pada gastrointestinal. Untuk derajat ringan lama dirawat di rumah sakit
mencapai 8.3±0.2 hari, sedangkan derajat sedang selama 14.6±0.5 hari, dan
derajat berat mencapai 26.2±3.1 hari3 . Biaya untuk sekali pengobatan,
pemeriksaan, dan intervensi mencapai 330 euro (± 4,6 juta rupiah berdasarkan
Badan Kebijakan Fisikal Republik Indonesia, 2016) untuk derajat ringan
pankreatitis akut dan mencapai 5.750 euro (± 80,6 juta rupiah) untuk derajat berat
pankreatitis akut3 . Oleh karena itu, sangat perlu untuk mengetahui derajat
pankreatitis yang ada.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-


gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi
dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa
berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik . Gagal jantung akut dapat
berupa serangan pertama gagal jantung, atau perburukan dari gagal jantung
kronik sebelumnya. Pasien yang mengalami gagal jantung akut dapat
memperlihatkan kedaruratan medik (medical emergency) seperti edema paru
akut (acute pulmonary oedema) (Brown JR, Gottlieb SS,2012).

Gagal jantung akut (GJA) adalah kejadian atau perubahan cepat tanda
dan gejala gagal jantung. Kondisi ini dapat mengancam jiwa dan harus
ditangani segera, biasanya perlu perawatan di rumah sakit. GJA dapat berupa
gambaran klinis gagal jantung pertama kali (de novo) atau sering merupakan
perburukan gagal jantung kronis; disebabkan disfungsi kardiak primer atau
faktor ekstrinsik(Brown JR, Gottlieb SS,2012).

Ada beberapa istilah gagal jantung:

 Gagal jantung kiri: kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri,
karena ventrikel kiri tidak mau memompa darah yang datang dari paru.
 Gagal jantung kanan: bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah
kongesti visera dan jarigan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan
jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat
sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal
kembali dari sirkulasi vena.
 Gagal jantung kongesif: adalah gabungan kedua gambaran tersebut.
 Backward failure: akibat ventrikel tidak mampu memompa volume darah
keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan meningkatkan tekanan
dalam ventrikel, atrium dan system vena.

5
 Forward failure: akibat ketidak mampuan jantung mempertahankan curah
jantung, kemudian menurunkan perfusi jaringan.
 Low output syndrome: bilamana jantung gagal sebagai pompa, yang
mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan fasokonstriksi perifer.
 Hight output syndrome: peningkatan kebutuhan metabolic, seperti tampak
pada hipertiroidisme, demam atau mungkin dipicu oleh kondisi
hiperkinetik seperti fistula arteriovenous, beri-beri atau penakit paget’s.
2.2 Faktor predisposisi gagal jantung

Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan


penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi,
kardiomiopati penyakit pembuluh darah, atau penyakit kongenital) dan
keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati,
atau penyakit pericardial). Faktor pencetus termasuk meningkatnya asupan
garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark
miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru,
anemia, tirotoksikonsis, dan endokarditis infeksi(Brown JR, Gottlieb
SS,2012).

2.3 Derajat Gagal jantung

Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau beratnya


gejala seperti klasifikasi menurut New York Heart Associaton (NYHA).
Klasifikasi tersebut digunakan secara luas di dalam internasional untuk
mengelompokkan gagal jantung.
Gagal jantung ringan,sedang,dan berat ditentukan berdasarkan
beratnya gejala,khususnya sesak napas(dispnea).Meskipun klasifikasi ini
berguna untuk menentukan tingakt ketidakmampuan fisik dan berat
gejala,namun pembagian tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan lain.
TABEL KLASIFIKASI MENURUT NYHA (New York Heart Assotiation)

KELAS DEFINISI ISTILAH


I Klien dengan kelainan gagal jantung tetapi tanpa Disfungsi vetrikel
pembatasan aktivitas fisik kiri yang

6
asimtomatik
II Klien dengan kelainan gagal jantung yang Gagal jantung
menyebabkan sedikit pembatasan aktivitas fisik ringan
III Klien dengan kelainan gagal jantung yang Gagal jantung
menyebabkan banyak pembatasan aktivitas fisik sedang
IV Klien dengan kelainan gagal jantung yang Gagal jantug berat
segala bentuk aktivitas fisik yang akan
menyebabkan keluhan

Klasifikasi NYHA tidak dapat digunakan untuk menilai beratnya


penyakit jantung yang menjadi penyebab,misalnya pada gagal jantung
ringan belum tentu disebabkan oleh penyakit jantung ringan.Beratnya
gejala tidak menunjukkan atu sebanding dengan beratnya disfungsi
ventrikel kiri yanga ada.Justru sebaliknya,fraksi ejeksi ventrikel kiri
terbukti paling menentukan mortalitas gagal jantung.Adanyan bendungan
paru yang ditemukan dalam pemerikasaan klinis atau radiologis pada
klien infark miokandrium menunjukkan prognosis yang
buruk(NICE,2014).
Meskipun gagal jantung adalah gangguan multisystem tidak ada
satupun gejala spesifik untuk organ terentu.Sebagai contoh,dispnea dapat
disebabkan oleh penyakit paru ,sedangkan edema perifer disebabkan oleh
insufisiensi vena atau penyakit hati dan ginjal.
Walaupun belum ada data yang akurat untuk data gagal jantung di
Indonesia,tapi sebagai perbandingan yang menyatakan bahwa gagal
jantung kini dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama
didunia Barat.Sindrom ini merupakanm penyebab rawat inap yang paling
sering pada klien tua,baik di Amerika Serikat maupun di Inggris.Gagal
jantung mempunyai mortalitas tinggi,bahkan golongan yang terburuk
mempunyai harapan hidup 1 tahun kurang dari 50%
Insiden dan pravalensi yang sesungguhnya dari gagal jantung
kronis disebagian besar negara didunia tidak diketahui secara
pasti,Sebagian besar informasi tentang epidemiologi gagal jantung diambil

7
dari Negara Amerika Serikat khususnya studi Framingham.Studi ini
menunjukkan bahwa 1% klien berusia 70-79 tahun mengalami gagal
jantung tiap tahun,pada sekelompok 80-89 tahun hamper 10% klien akan
menderita gagal jantung.
Dibandngkan dengan penyakit-penyakit lain yang dipublikasikan
lebih luas,misalnya kanker payudara dan leher rahim dengan angka insiden
masing-masing 54 dan 24 per 100.000 populasi umum pertahun,maka
angka insiden gagal jantung lebih tinggi,yaitu sekitar 300 per 100.000
populasi umum per tahun(NICE,2014).
2.4 Etiologi
A. Kelainan otot jantung
Gagal jantung paling sering terjadi ada penderita kelainan otot jantung,
menyebabkan menurunnya kontraktilitas otot jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateroaklerolis koroner, hipertensi
arterial, dan penyakit otot degenerative atau inflamasi.
B. Ateosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuka asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
C. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap
sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung.
D. Peradangan dan penyakit miokardium degenerative
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung,menyebabkan kontraktilitas menurun.
E. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang lain.
Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui
jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung mengisi darah
(tamponade pericardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis katup AV), atau
pengosongan jantung yang abnormal (insufisiensi katup AV). Peningkatan

8
mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi
“maligna”)(Gheorghiade M, Pang PS).
F. Faktor sistemik
Meningkatnya laju metabolism (demam, tirotoksikosis), hipoksia, dan
anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen
kejantung. Asidosis (respiratorik atau metabolic) dan abnormalitas elektrolit dapat
menurukan kontraktilitas jantung.

2.5 Patofisiologis
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit
jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah
terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh
rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis, serta akibat pressure
overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran sehingga stroke volume
menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan
relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat
diastolik. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofi(Gheorghiade M, Pang PS).

Sindrom gagal jantung disebabkan oleh beberapa komponen:


1. Ketidak mampuan miokard untuk berkontraksi dengan sempurna
mengakibatkan stroke volum dan cardiac output menurun.
2. Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel(systolic
overload) menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel sehingga
menurunkan curah ventrikel.
3. Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel(diastolic
overload) akan menyebabkan volume dan tekanan pada akhir diastolic
dalam ventrikel meninggi.
4. Beban kebutuhan metabolic meningkat melebihi kemampuan daya kerja
jantung dimana jantung sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi

9
keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah cukup tinggi tetapi
tidak mamu untuk memenuhi kebuthuna sirkulasi tubuh.
5. Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk
kedalam ventrikel atau pada aliran balik venous return akan menyebabkan
pengeluaran atau output ventrikel berkurang dan curah jantung menurun.

Gagal jantung kanan maupun kiri dapat disebabkan oleh beban


kerja(tekanan atau volume) yang berlebihan dan atau gangguan otot jantung
itu sendiri. Beban volume atau preload disebabkan karena kelainan ventrikel
memompa darah lebih banyak semenit sedangkan beban tekanan atau
afterload disebabkan oleh kealinan yang meningkatkan tahanan terhadap
pengaliran darah ke luar jantung. Kelainan atau gangguan fungsi miokard
dapat disebabkan oleh menurunnya kontraktilitas dan oleh hilangnya jaringan
kontraktil ( infark miokard ). Dalam menghadapi beban lebih, jantung
menjawab ( berkompensasi ) seperti bila jantung menghadapi latihan fisik.
Akan tetapi bila beban lebih yang dihadapi berkelanjutan maka mekanisme
kompensasi akan melampaui batas dan ini menimbulkan keadaan yang
merugikan. Manifestasi klinis gagal jantung adalah manifestasi mekanisme
kompensasi(Gheorghiade M, Pang PS).
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal
jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk
membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan
perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup:

1. Mekanisme Frank Starling

Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan


kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.

2. Perubahan neurohormonal

Peningkatan aktivitas simpatis Salahmerupakan mekanisme paling


awal untuk mempertahankan curah jantung. Katekolamin menyebabkan
kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan
denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi

10
sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) yang bersifat mempertahankan
volume darah yang bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu
dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung seperti natriuretic
peptides yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan
diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA.
3. Remodeling dan hipertrofi ventrikel

Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap


peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk
hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang
jantung atau pressure overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup),
hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran
ini memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan
dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun,
bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau
ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi
eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding.

Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan


jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk
sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan
sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen)
juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang
semakin mengganggu fungsi ventrikel kiri(Gheorghiade M, Pang PS).

2.6 Manifestasi klinis


Gejala gagal jantung akut terutama disebabkan oleh kongesti paru yang
berat sebagai akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang
meningkat, dapat disertai penurunan curah jantung ataupun tidak. Manifestasi
klinis GJA meliputi:

1. Gagal jantung dekompensasi (de novo atau sebagai gagal jantung kronik
yang mengalami ekompensasi).

11
2. Gagal jantung akut hipertensi yaitu terdapat gagal jantung yang disertai
tekanan darah tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto
toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut.
3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks, respiratory distress, ronki
yang luas, dan ortopnea. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada
udara ruangan.
4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari
30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran urin kurang dari 0,5
ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau
tanpa adanya kongesti organ.
5. High output failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya
dengan frekuensi denyut jantung yang tinggi, misalnya pada mitral
regurgitasi, tirotoksikosis, anemia, dan penyakit Paget’s. Keadaan ini
ditandai dengan jaringan perifer yang hangat dan kongesti paru, kadang
disertai tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
6. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output,
peninggian tekanan vena jugularis, serta pembesaran hati dan limpa
(Gheorghiade M, Pang PS).
a) Gagal jatung kanan
- Odema/pitting odema
- Anoreksia/perut kembung
- Nausea
- Ascites
- Jugulare vein pressure meningkat
- Pulsasi vena jugularis
- Hepatomegali
- Fatique/lemas
- Hipertrofi jantung kanan
- Irama derap/gallop ventrikel kanan
- Irama derap/gallop atrium kanan
- Murmur

12
- Tanda-tanda penyakit kronik
- Bunyi P2 mengeras
- Hydrothorax
b) Gagal jantung kiri
- Fatique/lemas
- Bedebar-debar
- Sesak nafas (dypsneu d’effort)
- Orthopnea
- Dypsnea nocturnal paroxsismal
- Pembesaran jantung
- Keringat dingin
- Takikardia
- Kongesti vena pulmonalis
- Ronchi basah dan wheezing
- Terdapat BJ III dan IV (gallop)
- Cheynes stoke

c) Gagal jantung kongestif


 Criteria mayor
- Dipsnea nocturnal paroksimal atau ortopnea
- Peningkatan tekanan vena jugularis
- Ronki basah tidak nyaring
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Irama derap S3
- Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O
- Reflek hepatojugular
 Criteria minor
- Edema pergelangan kaki
- Batuk malam hari
- Dypsneu d’effort
- Hepatomegali

13
- Efusi pleura
- Kapasitas vital berkurang Menjadi 1/3 maksimum
- Takikardi (> 120x/menit)
 Criteria mayor atau minor
- Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah
terapi
2.7 Diagnosis Gagal Jantung Akut

Tanda dan gejala

Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan
natrium yang biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberian terapi
diuretik. Riwayat medis pasien juga penting bagi penegakan diagnosis, dan gagal
jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang relevan,
misalkan riwayat infark miokard yang akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas .

Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting untuk


menentukan penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi. Gejala dan
tanda merupakan hal penting yang harus selalu dimonitor sebagai respon terapi
dan tanda kestabilan pasien dengan gagal jantung. Gejala yang menetap pada
pasien dengan terapi gagal jantung biasanya menandakan perlunya terapi
tambahan, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan medis yang serius.
Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut ESC yang dikeluarkan
di tahun 2016.

Tanda dan gejala tipikal gagal jantung (Ponikowski dkk., 2016).

Gejala Tanda
Tipikal Lebih spesifik
Sesak napas Peningkatan JVP
Ortopneu Reflek hepatojuguler
Paroksismal nocturnal dispneu Bunyi jantung 3 (gallop)
Penurunan toleransi aktivitas Impuls apical yang bergeser kelateral

14
Kelelahan, letih dan kebutuhan waktu Bising jantung
yang lebih banyak untuk istirahat
setelah aktivitas
Edema tungkai
Kurang tipikal Kurang spesifik
Batuk malam Edema perifer (tungkai, skrotal)
Mengi Krepitasi paru
Peningkatan berat badan >2kg/ minggu Efusi pleura
Penurunan berat badan (pada gagal Takikardia
jantung lanjut)
Perasaan penuh Pulsasi irregular
Kurang nafsu makan Takipneu (>16 kali/ menit)
Bingung (terutama pada usia tua) Hepatomegali
Depresi Asites
Palpitasi Kakeksia
Sinkop

Uji Diagnostik
Ekokardiografi dan elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan
penting untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. Ekokardiografi menyajikan
informasi yang segera mengenai volume ruang jantung, fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup (Palazzuoli dkk., 2012).
Informasi ini penting dalam menentukan terapi yang pantas untuk pasien (misal
penyekat angiotensin converting enzyme (ACE) dan penyekat beta untuk
disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta). EKG membantu untuk
melihat irama jantung dan konduksi elektrik, misal adanya penyakit sinoatrial,
blok atrioventrikuler, atau konduksi interventrikuler yang abnormal. Temuan ini
juga penting untuk menentukan penatalaksanaan (seperti kontrol irama untuk
pasien dengan fibrilasi atrium, pemacuan untuk bradikardia, dan terapi
resinkronisasi jantung untuk pasien dengan left bundle branch block (LBBB)).
EKG juga menunjukkan bukti adanya hipertrofi ventrikel kiri atau gelombang Q

15
yang mengindikasikan adanya kehilangan miokardium yang viabel, yang
membantu memberikan bukti tentang kemungkinan etiologi dari gagal jantung.

Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk


menegakkan diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas pasien.
Pemeriksaan biokimiawi dan hematologi rutin juga penting, sebagai bagian
apakah penyekat sistim renin angiotensin aldosterone (SRAA) dapat dimulai
secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium) dan untuk
mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat memperburuk gagal jantung).

Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila diagnosis


belum bisa ditegakkan (misal bila gambaran ekokardiografi suboptimal, atau jika
terdapat kausa gagal jantung yang tidak umum) atau jika ada indikasi untuk
mengevaluasi lebih jauh penyebab yang mendasari masalah jantung pasien (misal
pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan kecurigaan PJK atau
endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard.
Peptida Natriuretik

Tanda dan gejala gagal jantung dapat tidak spesifik. Banyak pasien yang
dicurigai mengalami gagal jantung dilakukan pemeriksaan ekokardiografi, namun
ternyata tidak memiliki abnormalitas dalam struktur jantung. Ketika kemampuan
ekokardiografi menjadi terbatas, pendekatan lain untuk mendiagnosis adalah
dengan memeriksa konsentrasi peptida natriuretik darah, keluarga hormon yang
disekresikan berlebih bila terjadi jejas pada jantung atau beban pada salah satu
ruang jantung mengalami peningkatan (misal pada fibrilasi atrium, emboli paru
dan beberapa kondisi non- kardiak termasuk gagal ginjal). Kadar peptida
natriuretik juga akan meningkat seiring dengan usia, namun dapat menurun pada
pasien dengan obesitas. Kadar peptida natriuretik yang normal pada pasien yang
belum tertangani secara nyata mengeksklusi adanya penyakit jantung, yang akan
menyebabkan pemeriksaan ekokardiografi tidak diperlukan lagi (investigasi
penyebab non-kardiak mungkin lebih produktif pada pasien ini) .

Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi untuk mengeksklusi


gagal jantung untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa digunakan, B-type

16
natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type natriuretic peptide (NT-
proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang datang dengan awitan akut
atau perburukan gejala dan pada pasien dengan awitan yang lebih gradual. Untuk
pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai optimal untuk
mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT-pro BNP dan100 pg/mL untuk BNP.
Untuk pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi adalah 125 pg/mL untuk
NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP. Sensitifitas dan spesifisitas dari BNP dan
NT-proBNP untuk diagnosis gagal jantung juga lebih rendah pada pasien-pasien
non akut .

Foto Thoraks

Foto thoraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari pasien


dengan kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna dalam
mengidentifikasi alternatif keterlibatan paru untuk tanda dan gejala pasien.
Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau edema pada
pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada foto
thoraks (Ponikowski dkk., 2016).

Pemeriksaan Rutin Laboratorium

Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium,


kreatinin, laju filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR)) dan
hematologis standar (hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan platelet),
sangatlah berguna untuk memeriksa kadar hormon penstimulasi tiroid,
dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau memperburuk gagal jantung.
Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam penegakkan diagnosis
(Ponikowski dkk., 2016).

17
2.8 Terapi Gagal Jantung Akut

Tujuan utama terapi GJA adalah koreksi hipoksia, meningkatkan curah


jantung, perfusi ginjal, pengeluaran natrium dan urin. Sasaran pengobatan
secepatnya adalah memperbaiki simtom dan menstabilkan kondisi hemodinamik.

Terapi Umum

Terapi umum pada gagal jantung akut ditujukan untuk mengatasi


infeksi, gangguan metabolik (diabetes mellitus), keadaan katabolik yang
tidak seimbang antara nitrogen dan kalori yang negatif, serta gagal ginjal (
Sudoyo, 2006).

Terapi Oksigen dan Ventilasi

Terapi ini ditujukan untuk memberikan oksigen yang adekuat


untuk memenuhi kebutuhan oksigen tingkat sel sehingga dapat mencegah
disfungsi endorgan dan awitan kegagalan multi organ. Pemeliharaan
saturasi O2 dalam batas normal (95%-98%) penting untuk
memaksimalkan oksigenasi jaringan ( Sudoyo, 2006).

Terapi Medikamentosa

Morfin diindikasikan pada tahap awal pengobatan GJA berat,


khususnya pada pasien gelisah dan dispnea. Morfin menginduksi venodilatasi,
dilatasi ringan pada arteri dan dapat mengurangi denyut jantung( Sudoyo,
2006).

Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk sindrom koroner akut


dengan atau tanpa gagal jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau
low molecular weight heparin (LMWH) pada GJA saja.

Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi


lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah
adekuat dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan
membuka sirkulasi perifer dan mengurangi preload. Beberapa vasodilator
yang digunakan adalah:

18
1. Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi
stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium
pada GJA kanan, khususnya pada pasien sindrom koroner akut. Pada dosis
rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi, tetapi bila dosis
ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner.
2. Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik
dengan hormon endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type
natriuretic peptides dalam merespon peningkatan tegangan dinding,
peningkatan tekanan darah, dan volume overload.
Kadar B-type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung
dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP
mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan antagonis terhadap sistem
RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena, arteri, dan
pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload, serta
meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung.
Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan
placebo. Nesiritid juga mengurangi tekanan kapiler baji paru.
3. Dopamine merupakan agonis reseptor β-1 yang memiliki efek inotropik
dan kronotropik positif. Pemberian dopamine terbukti dapat meningkatkan
curah jantung dan menurunkan resistensi vaskular sistemik.
4. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga
terjadi akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan
lusitropik positif. Obat ini biasanya digunakan pada pasien dengan curah
jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi
vaskular sistemik yang tinggi.
5. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi
reseptor β- 1, β-2, dan α pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun
mempunyai efek inotropik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih
rendah disbanding dengan agonis β-adrenergik. Obat ini juga menurunkan
Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
6. Epinefrin dan norepinefrin menstimulasi reseptor adrenergik β-1 dan β-2
di miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif.

19
Epinefrin bermanfaat pada individu yang curah jantungnya rendah dan
atau bradikardi.
7. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien
gagal jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter.
Amiodarone atau ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi
yang lebih parah.
8. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara
nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap
perbaikan preload dan after load. Venodilatasi akan mengurangi pengisian
ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini juga mengurangi curah
jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan resistensi
ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA
tidak teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem
neurohormonal.

ACE-inhibitor tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA.


Namun, bila stabil 48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan tekanan darah yang ketat
( Sudoyo, 2006).

Diuretik diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang


disertai gejala retensi cairan. Pemberian loop diuretic secara intravena
dengan efek yang lebih kuat lebih diutamakan untuk pasien GJA.
Sementara itu, pemberian β-blocker merupakan kontraindikasi pada GJA
kecuali bila GJA sudah stabil ( Sudoyo, 2006).

Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi


perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang
refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal.
Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan
calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati ( Sudoyo, 2006).

20
2.9 Prognosis

Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat


buruk. Dalam satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat
dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari
adalah 9,6% dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang
dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang paling
tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama. Angka
kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat
dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%(Gheorghiade M, Pang PS).

21
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN.
Gagal jantung merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang
banyak dijumpai dan menjadi penyebab mortalitas utama baik di negara maju
maupun di negara sedang berkembang. Kejadian gagal jantung dalam individu
yang menderita kematian jantung mendadak sekitar 64 dan 90 %
Gagal jantung adalah pemberhentian sirkulasi normal darah dikarenakan
kegagalan dari ventrikel jantung untuk berkontraksi secara efektif pada saat
systole. Akibat kekurangan penyediaan oksigen ke otak , menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernafas dengan tiba-tiba.
Terdapat tiga aspek penting dalam menanggulangi gagal jantung yaitu
pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor
pencetus . Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi
cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung.
Sekaligus pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu, kelembapan,
oksigen, pemberian cairan dan diet.

3.2 SARAN
Dalam menerapkan tatalaksana pada pasien dengan Gagal jantung
diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang dokter.
Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan gagal
jantung selain itu pengobatan terbaik untuk gagal jantung adalah pencegahan atau
pengobatan dini terhadap penyebabnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al.
2016 ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure: The task force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure of the European Society of Cardiology (ESC)
developed with the special contribution of the Heart Failure Association
(HFA) of the ESC. Eur Heart J. 2016;37(27): 2129–200
2. Brown JR, Gottlieb SS. Acute decompensated heart failure. Cardiol Clin. 2012;
30(4):665–71.
3. NICE. Acute heart failure: Diagnosing and managing acute heart failure in
adults, draft guidelines. National Institute for Health and Care Excellence
2014;187:1–26..
4. Nohria A, Tsang SW, Fang JC, Lewis EF, Jarcho JA, Mudge GH, et al. Clinical
assessment identifies hemodynamic profiles that predict outcomes in
patients admitted with heart failure. J Am Coll Cardiol.
2013;41(10):1797–804.
5. Gheorghiade M, Pang PS. Acute heart failure syndromes. J Am Coll Cardiol.
2014;53(7):557–73
6. Felker GM, Teerlink JR. Diagnosis and management of acute heart failure
syndromes. In: Bonow, RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, editors.
Braunwald’s heart disease a textbook of cardiovascular medicine. 10th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015 .p.486-504
7. Pauly DF. Managing acute decompensated heart failure. Cardiol Clin.
2014;32(1):145–9
8. Pang PS, Komajda M, Gheorghiade M. The current and future management of
acute heart failure syndromes. Eur Heart J. 2010;31(7):784–93.
9. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 2006

23
24

Anda mungkin juga menyukai