Anda di halaman 1dari 17

Terapi Oksigen dalam Perawatan Kritis: Pedang Bermata Dua

Abstrak
Terapi oksigen adalah pengobatan secara universal di rumah sakit, terutama di unit perawatan
kritis. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menghindari hipoksemia dan untuk memastikan
pasokan oksigen yang cukup ke jaringan. Namun seringkali kami mengabaikan efek samping
potensial dari terapi oksigen. Kekurangan oksigen dapat menghasilkan kerusakan paru-paru
lalu menginduksi apoptosis dan kematian sel sehingga menciptakan ketidakseimbangan
antara produksi spesies oksigen reaktif dan mekanisme antioksidan. Terapi oksigen
menghambat perubahan adaptif sistemik yang disebabkan oleh hipoksia, yaitu mengganggu
mekanisme kompensasi dan menyebabkan efek yang merusak. Kami dihadapkan dengan
tantangan untuk mengobati pasien dengan gagal pernapasan, menyeimbangkan hipoksia
dengan kerusakan yang diinduksi oleh hiperoksia, dan memperkenalkan jalur terapi yang
inovatif tapi tidak bebas risiko seperti hipoksemia permisif. Saat ini masih banyak pertanyaan
yang belum terpecahkan dan tidak ada penelitian klinis yang cukup yang memvalidasi
rentang terapi oksigenasi yang optimal. Rentang ini mungkin berbeda tergantung pada setiap
pasien dan penyakit yang mendasari.

Kata kunci
Terapi Oksigen, Keracunan Oksigen, Hiperoksia, Spesies Oksigen Reaktif, Unit Perawatan
Intensif

1. Pendahuluan

Metabolisme kita terutama adalah metabolism aerobik, sehingga oksigen sangat penting agar
tetap hidup dan bekerja, dan dengan cara tertentu maka oksigen juga dapat menjadi penyebab
kematian kita juga. Ketika terjadi penurunan kadar oksigen di mana sebagian besar terjadi
dalam keadaan akut, maka akan menyebabkan kerusakan yang mungkin tida dapat diubah
lagi.
Pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif (ICU) perlu mempertahankan jaringan
distribusi yang memadai oksigen (DO2) sesuai dengan konsumsi jaringan oksigen (VO2).
Dengan demikian, terapi oksigen, diberikan dengan atau tanpa perangkat tekanan positif,
adalah bagian kunci untuk perawatan di ICU. Namun demikian, pengiriman oksigen yang
tidak memadai yang menghasilkan hiperoksia mungkin bahkan lebih merusak daripada
hipoksia sendiri untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif (SOR) dan menginduksi
apoptosis sel. Secara tradisional, tujuan dari resusitasi di ICU telah menghindarkan kerusakan
yang disebabkan kelebihan oksigen dan tujuan itu telah difokuskan pada pencegahan
hipoksia. Saat ini, kami harus menghindari hiperoksia lebih dari hipoksia, meskipun batas di
antara keduanya masih tidak jelas.
Dalam revisi berikutnya, kami akan melihat lebih kepada indikasi utama dari terapi
oksigen, baik kerusakan yang disebabkan oleh hipoksia dan dasar fisiopatologis hiperoksia
serta akan lebih memperhatikan penelitian yang diterbitkan baru-baru ini agar mencoba untuk
menggambarkan situasi saat ini dan meninjau prospek masa depan.

2. Kegagalan Pernapasan

Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah untuk mendorong penyerapan oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida (CO2) yang merupakan produk sisa dari metabolisme sel [1].
Sebuah kegagalan pernafasan akut (GPA) adalah situasi ketidakmampuan untuk
menyediakan pengiriman oksigen yang sesuai untuk jaringan, baik terkait atau tidak terkait
dengan kegagalan dalam eliminasi CO2.
Eliminasi CO2 adalah proses yang berhubungan dengan ventilasi (volume udara
efektif alveolar) dan dapat diukur melalui tekanan parsial dari CO2 dalam darah (PaCO2),
yang dapat diubah oleh ketidakseimbangan antara produksi dan kemampuan eliminasi. Di sisi
lain, oksigenasi terkait dengan ventilasi, kapasitas difusi gas melalui membran alveolar-
kapiler dan perfusi kapiler, dan dapat diukur dengan tekanan parsial oksigen dalam darah
(PaO2). Oleh karena itu, metode pilihan untuk menilai dampak dan tingkat keparahan gagal
nafas adalah pemeriksaan gas darah arterial.
Situasi GPA menunjukkan PaO2 <60 mmHg (hipoksemia), baik terkait atau pun tidak
dengan peningkatan PaCO2> 45 mmHg (hiperkapnia) [2]. Namun demikian, dalam situasi
ketinggian yang lebih tinggi, nilai normal PaCO2 adalah lebih rendah, karena hiperventilasi
fisiologis tertentu. Parameter ini adalah parameter yang telah diterima oleh konsensus
internasional, setelah mengamati bahwa penurunan kecil PaO2 di bawah 60 mmHg
berhubungan dengan tetes besar dalam saturasi oksigen sesuai dengan kurva disosiasi
hemoglobin. Sebaliknya, karena kapasitas besar dari difusi CO2 dalam kondisi normal, maka
PaCO2 di atas 45 mmHg digunakan untuk menentukan kegagalan utama dari ventilasi paru.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang patofisiologi GPA, maka kami harus
memahami sistem pernapasan secara keseluruhan yang dibentuk oleh jaringan paru-paru dan
ventilasi pompa (rongga toraks dan diafragma). Sebagai aturan, penyakit paru-paru
menyebabkan hipoksemia sementara pompa yang gagal bekerja dapat menyebabkan
hipoksemia dan hiperkapnia.
Ada lima penyebab utama hipoksemia: ketidakseimbangan ventilasi-perfusi,
hipoventilasi, perubahan difusi oksigen, shunting, dan reduksi dari fraksi oksigen yang
dihirup (FiO2) [3] (Tabel 1).

2.1. Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (V/P)

Ini adalah penyebab paling sering dari GPA [4]. Ventilasi alveolar yang buruk untuk alasan
apapun dengan perfusi kapiler yang normal akan menyebabkan konsentrasi yang rendah dari
oksigen (FiO2) di alveoli dan juga hipoksemia.
Hipoksemia karena ketidakseimbangan V/P menunjukkan peningkatan gradien
oksigen alveolar-arterial P (A-a) O2 [4]. Gradien ini adalah perbedaan antara tekanan alveolar
oksigen (PaO2) dan PaO2, dan akan memungkinkan kami untuk membedakan antara
hipoksemia sebagai konsekuensi dari perubahan parenkim paru atau hipoksemia yang berasal
dari luar paru. Persamaan berikut digunakan untuk menghitung PaO2:

PAO2 = [ FiO2 x ( PB – PH2O ) – PaCO2/R ]

Tabel 1. Penyebab hipoksemia


Respon
Penyebab Gradien Ventilasi
PaO2 PaCO2 terhadap
hipoksemia P (A-a)O2 alveolar
FiO2
Reduksi FiO2 = Ya
Hipoventilasi = Ya
Ketidakseimbangan
= Ya
V/P
Shunting Tidak
Perubahan difusi Ya

dimana PaO2 = tekanan parsial oksigen dalam alveoli; FiO2 = tekanan parsial oksigen dalam
udara terinspirasi; PaCO2 = tekanan parsial karbon dioksida di alveoli (diasumsikan sama
dengan darah, PaCO2) dan R = rasio pertukaran pernapasan, yang sama dengan 0,8 dalam
kondisi basal.
Dalam kondisi normal, P (A-a) O2 akan kurang dari 20 mmHg. Karena meningkatnya
usia, nilai-nilai normal P (A-a) O2 dapat meningkat sampai 30 mmHg, karena kapasitas
elastis paru-paru secara bertahap berkurang dan oleh karena itu pengempisan dari bronkiolus
bahkan terjadi lebih awal selama ekshalasi [5].

2. 2. Hipoventilasi

Ventilasi alveoli memungkinkan penggantian oksigen dalam darah yang dikonsumsi oleh
jaringan serta eliminasi CO2 yang dihasilkan oleh metabolisme sel. Situasi di mana ventilasi
alveolar tidak dapatmempertahankan homeostasis dengan baik, yang dikenal sebagai
hipoventilasi, dan secara khas terjadi bersamaan dengan hipoksemia dan hiperkapnia.
Hiperkapnia yang parah dan akut dapat menginduksi munculnya asidosis respiratorik
sehingga dapat menurunkan pH arteri (<7,35) karena terbatasnya kapasitas kompensasi
ginjal. Dalam situasi ini, P (A-a) O2 biasanya normal.

2.3. Perubahan Difusi

Pertukaran gas melalui membran kapiler alveolar terjadi melalui proses difusi pasif yang
proporsional terhadap permukaan dari kapiler dan berbanding terbalik dengan ketebalan
membran kapiler alveolar. Karena cadangan tinggi dari difusi gas yang melintasi membran,
maka adalah hal yang jarang terjadi untuk membuktikan hipoksemia hanya dengan faktor
tunggal ini. Namun, dengan unsur lain yang ditambahkan ke penebalan dari dinding kapiler,
misalnya penurunan waktu pemaparan dari sel-sel darah merah oleh kapiler alveolar paru
seperti yang terjadi selama latihan, maka keberadaan hipoksemia dapat diharapkan [6] .

2.4. Shunting

Ini adalah situasi di mana alveoli secara memadai mengalami perfusi tapi berventilasi secara
buruk (misalnya daerah atelektasis atau kolaps alveolar). Di daerah ini, darah melewati
kapiler paru tanpa menerima oksigen dan sampai ke sirkulasi arteri. Secara khusus, pasien-
pasien dengan keadaan serupa tidak meningkatkan PaO2 mereka bahkan jika pengataran FiO2
dinaikkan, karena darah yang melewati alveoli yang kolaps tidak terekspos dengan oksigen
konsentrasi tinggi [7]. Meskipun eritrosit terekspos kepada alveoli yang berventilasi dan
melakukan kontak dengan FiO2 yang tinggi, tetapi hemoglobin hampir jenuh dan hanya
melarutkan oksigen dalam peningkatan plasma [8].

2.5. Reduksi dari Fraksi Oksigen yang Dihirup (FiO2)

Situasi ini khas pada lingkungan dengan konsentrasi oksigen yang rendah. Di sini,
konsentrasi oksigen dalam alveoli yang berpartisipasi dalam pertukaran gas adalah rendah,
sehingga hal ini menyebabkan hipoksemia. Dalam situasi di mana kita berada di ketinggian
tiga ribu meter di atas permukaan laut, di mana akan ada penurunan dari 30% di PaO2
atmosfer [9], sehingga jika kami mendaki lebih tinggi lagi maka penyakit akibat ketinggian
dapat terjadi. Gejala dapat berupa dyspnea, mual, agitasi, edema paru, dan edema serebral
dan bahkan penangkapan kardiorespirasi. Hal yang sama bisa muncul dalam kepadatan
penduduk lingkungan, di gua, atau daerah tercemar oleh gas-gas lain selain oksigen di mana
FiO2 kurang dari 21%.

3. Klasifikasi Gagal Pernafasan Akut

3.1. GPA karena Kegagalan Oksigenasi (GPA Hipoksemik atau GPA Tipe I) [10]

Data karakteristik adalah PO2 dalam darah arteri kurang dari 60 mmHg, dengan nilai PaCO2
yang normal atau bahkan mengalami penurunan (karena hiperventilasi kompensatorik). P (A-
a) O2 biasanya meningkat (> 20 mmHg). Hal ini disebabkan oleh patologi intrinsik paru
(misalnya pneumonia), penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, gangguan kapiler
paru, penyakit jantung bawaan, atau gagal jantung [11]. Dalam kasus yang parah, pemberian
oksigen pada konsentrasi tinggi merupakan bagian penting dari perawatan meskipun secara
perlahan akan meningkatkan PaO2 yang mungkin dikarenakan ketidakseimbangan V/P atau
shunting (Tabel 2).

Tabel 2. Penyebab tersering dari GPA tipe I


Shunting Ketidakseimbangan V/P
Infark Miokard Akut PPOK dan asma
Gagal jantung Penyakit paru interstisial
Penyakit jantung valvular kiri Tromboemboli pulmoner
Sepsis Penurunan fraksi O2 pada udara inspirasi
Aspirasi bronkus Ketinggian
Trauma mutipel Inhalasi gas toksik
Pankreatitis Penurunan O2 pada darah campuran vena
Pneumonia Anemia
Cedera inhalasi
Paparan terhadap ketinggian

3. 2. GPA karena Disfungsi Ventilasi (GPA Campuran, GPA Global, atau GPA Tipe II)

Data laboratorium karakteristik adalah peningkatan PaCO2 arteri yang disertai dengan
hipoksemia. Hal ini terjadi ketika ada produksi berlebihan terkait dengan eliminasi CO2 yang
abnormal atau gangguan utama di mana ventilasi alveolar menurun sehingga tidak ada
eliminasi CO2 yang efektif [11]. Dalam kedua kasus di atas, terapi oksigen biasanya tidak
cukup dan mungkin perlu dilakukan ventilasi mekanis non-invasif atau invasif. Kadar P (A-a)
O2 adalah normal (<20 mmHg) (Tabel 3).
Tabel 4 menunjukkan kisaran target rata- rata dari saturasi oksigen arteri dalam
berbagai jenis GPA.

Tabel 3. Penyebab tersering dari GPA tipe II


Penyakit paru Tanpa patologi pulmoner
sebelumnya
PPOK Obesitas: penyebab utama dari hipoventilasi di dunia barat
Demam dan sepsis Tumor sistem saraf pusat
Asma Neuropati perifer
Skoliosis Sindrom Guillain-barre
Botulisme
Miastenia gravis
Sklerosis lateral
Polimyositis
Distrofi muscular
Fraktur costa
Myxedema

Tabel 4. Kisaran target rata- rata dari saturasi oksigen arteri (SatO2) dalam siatuasi
yang berbeda
Indikasi Contoh Terapi awal Target SatO2
Politrauma Masker dengan
Pasien kritis 94% - 98%
Syok reservoir bag 15 lpm
Asma
Nasal cannula 2-4
Emboli pulmoner
GPA tipe I lpm atau facial mask 94% - 98%
Edema pulmoner
5-10 lpm
Pneumonia
PPOK
Bronkiektasis
Nasal cannula 2-4
Obesitas
GPA tipe II lpm atau facial mask 88% - 92%
Apneu saat tidur
5-10 lpm
Penyakit
neuromuskular
Pneumothorax
Masker dengan
Situasi khusus Keracunan karbon 94% - 98%
reservoir bag 15 lpm
monoksida

4. Hipoksia

Hipoksia memicu beberapa respon fisiologis dan fisiopatologis untuk menjaga keseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan oksigen dalam jaringan. Ketika mekanisme ini gagal atau tidak
cukup untuk menjaga jaringan metabolisme aerobik yang memadai, maka hipoksia atau
disoksia terjadi [12].
Hipoksia memiliki peran utama dalam banyak penyakit akut dan kronis. Hal ini
memainkan peran sentral dalam kardiovaskular, penyakit paru-paru, atau bahkan kanker [13].

4.1. Respon terhadap Hipoksia

4.1.1. Respon Sistemik terhadap Hipoksia


Dalam beberapa menit pertama saat terjadi hipoksia maka terdapat perubahan pernapasan dan
kardiovaskular yang menyebabkan kenaikan curah jantung dan ventilasi alveolar.
Dalam jaringan, adalah hal yang sangat penting menyangkut respon dari sel-sel otot
polos arteriol. Jenis-jenis repons berbeda tergantung pada asal vaskuler mereka. Pada tingkat
sistemik, terjadi relaksasi dari arteriol sekunder terhadap pembukaan saluran kalium yang
dependen terhadap ATP. Jika tidak terjadi maka miosit dari pembuluh darah paru bereaksi
sebagai vasokonstriksi yang intens terhadap hipoksia.
Ada dua elemen yang memiliki peran penting dalam perubahan berkaitan dengan PO2.
Badan karotis melakukan fungsi ini dalam sirkulasi sistemik, mereka berada di bifurkasi dari
arteri karotid utama dan kaya akan vaskularisasi. Mereka mengandung sel yang kaya akan
saluran kalium yang diinaktivasi oleh hipoksemia dari sel depolarisasi dan pengiriman dari
sinyal aferen neuroendokrin. Pada percabangan bronkial, badan neuroepitelial memiliki
respon yang sama terhadap perubahan kandungan oksigen di lingkungan [12].
4.1. 2. Respon seluler
Sistem kardiovaskular dan pernafasan bekerja sama untuk menjaga masukan oksigen
jaringan. Oksigen diperlukan untuk mendapatkan ATP yang sangat penting untuk menjaga
sel-sel agar dapat tetap bekerja. ATP terutama digunakan untuk sintesis molekul (terutama
protein) dan untuk menjaga homeostasis oleh pompa ion seluler (Na+/ K + ATPase).
Kegagalan di pompa akibat defisit ATP akan menyebabkan ketidakseimbangan ion,
perubahan ion dalam membran plasma, asupan kalsium selular, aktivasi protease dan lipase
yang dependent terhadap kalsium. Hasil akhir adalah edema seluler, hidrolisis dari komponen
seluler, dan nekrosis.
Perubahan yang menyebabkan kematian sel adalah proses yang kompleks. Ketika
penurunan mayor (anoxia, 0,1% oksigen) terjadi, proapoptotik protein melepaskan Bax,
sitokrom C, atau aktivasi caspase. Di sisi lain pada hipoksemia seluler yang ringan, respon
yang terjadi masih tidak jelas. Beberapa penulis bahkan menyimpulkan bahwa hipoksemia
bisa memiliki efek perlindungan terhadap apoptosis pada beberapa jenis sel [12] [14].

4.1.3. Perubahan Metabolisme yang Diinduksi oleh Hipoksia


Sebagai hasil dari hipoksia maka sel akan mengalami perubahan dengan hasil berupa
kenaikan glikolisis anaerobik dan penurunan proses konsumsi energi yang lebih tinggi.
Glukosa dimetabolisme menjadi piruvat oleh glikolisis. Dalam lingkungan aerobik,
piruvat dehidrogenase (PDH) mengubah asetil koenzim A menjadi piruvat. Piruvat dioksidasi
ke dalam mitokondria dan menghasilkan ATP dan H2O. Dalam lingkungan hipoksemik, PDH
dihambat sehingga aktivitas laktat dehidrogenase (LDHA) dirangsang. Oleh karena itu
piruvat dimetabolisme terutama menjadi asam laktat.
Awalnya, tidak ada anabolisme sel dan sintesis dari molekul baru. Proses lain yang
berkaitan dengan pemeliharaan pompa ion, membran potensial, dan metabolisme kalsium
menjadi kepentingan pertama. Bahkan, beberapa peneliti mengusulkan bahwa aktivitas listrik
di jaringan yang berbeda memainkan peran dalam kerentanan terhadap hipoksia (misalnya
peningkatan kerentanan dari sistem saraf pusat terhadap hipoksia) [12].

4.1.4. Perubahan Ekspresi Gen: Peran dari Faktor Penginduksi Hipoksia (FPH-1)
Suatu perubahan cascade adaptif dimulai selama proses hipoksia, di mana beberapa
perubahan akan tetap hingga beberapa bulan jika kondisi awal dipertahankan. Tercatat bahwa
hipoksia memicu perubahan pola transkripsi mRNA. Selama bertahun-tahun terakhir, FPH-1
telah didefinisikan sebagai molekul utama dalam proses adaptif ini [14].
FPH-1 mengandung subunit konstitutif (FPH-1B) dan subunit yang diatur oleh
oksigen (FPH-1A). Dalam kondisi aerobik, FPH-1A akan dihidroksilasi sehingga
memungkinkan pengikatan dengan protein Von Hippel-Lindau (VHL). Kompleks ini
bergabung dan menyebar di berbagai jaringan dan mendegradasi ke proteasom 26S. Jadi
dalam kondisi normoksia terdapat tingkat sitoplasmatik FPH-1A yang rendah karena
degradasi yang berlangsung terus- menerus.
Dalam kondisi hipoksia, proses degradasi akan terhambat karena hidroksilasi FPH-1A
tidak terjadi. FPH 1-A akan meningkat sehingga menyebabkan ikatan dengan FPH-1B.
Kompleks ini akan memulai beberapa transkripsi gen sehingga aktivitas polimerase II RNA
diaktifkan [15] [16].
Oleh karena itu, FPH-1 menyebabkan peningkatan ekspresi beberapa faktor: faktor
pertumbuhan plasenta, faktor pertumbuhan endotel pembuluh darah, faktor pertumbuhan
platelet yang diturunkan, atau eritropoietin (EPO). Faktor-faktor ini memiliki peran utama
dalam adaptasi terhadap proses hipoksia seperti metabolisme karbohidrat, proliferasi endotel,
atau pembentukan pembuluh darah [14] (Gambar 1).

Gambar 1. Cedera seluler dan molekuler pada hiperoksia

5. Hiperoksia

Tingginya kandungan oksigen (FIO2> 90%) terinhalasi untuk waktu yang lama paling sering
menyebabkan kerusakan paru-paru akut dan hiperoksia. Keparahan cedera telah berkorelasi
dengan waktu paparan, konsentrasi oksigen, dan faktor adjuvant lainnya (ventilasi mekanik,
superinfeksi bakteri, dsb.). Beberapa mekanisme telah diusulkan.

5.1. Spesies Oksigen Reaktif dan Cedera Paru akibat Hiperoksia


SOR adalah kelompok molekul yang sangat reaktif. Karakteristik utamanya adalah adanya
elektron terikat dalam formasi listriknya. Oleh karena itu, mereka memiliki kecenderungan
tinggi untuk bereaksi dengan molekul lain di sekitar mereka.
Metabolisme aerobik perlu mengubah oksigen ke dalam ATP dan H2O. Selama proses
ini, SOR bertindak sebagai metabolit antara seperti anion superoksida, hidrogen peroksida,
dan radikal hidroksil.
Dalam kondisi standar ada keseimbangan antara produksi SOR dan mekanisme
antioksidan. Mekanisme perlindungan yang utama termasuk enzim (superoksida dismutase,
katalase, dan glutasi peroksidase) dan faktor non-enzimatik (vitamin C dan E, beta karoten,
dsb.). Dalam kondisi hiperoksia, terjadi peningkatan linear dari produksi SOR dan sebagai
hasilnya terjadilah ketidakseimbangan (Gambar 2).
Molekul-molekul ini beserta ketidakstabilan listrik yang mereka miliki, akan bereaksi
cepat dengan makromolekul lain dalam sel yang menyebabkan kerusakan primer. Kerusakan-
kerusakan yang dapat terjadi antara lain: protein dan lipid yang menyebabkan lesi di
membran, disfungsi mitokondria, kerusakan DNA, dan akhirnya kematian (Gambar 3).
Selain itu, hiperoksia mampu memicu respon inflamasi sekunder melalui aktivasi
makrofag, neutrofil, dan trombosit sehingga menghasilkan kerusakan sekunder [17] [18].

Gambar 2. Kerusakan langsung dan sekunder pada hiperoksia

Gambar 3. Faktor penginduksi hipoksia-1 (FPH-1): Regulasi dan jalurnya


5. 2. Mekanisme Cell Death dan hiperoksia-Induced Kerusakan paru

Sebagai konsekuensi dari hiperoksia maka terjadilah fenomena apoptosis dan nekrosis paru
yang melibatkan beberapa cara. Apoptosis, baik yang dikarenakan oleh aktivasi mitokondria
yang dimediasi oleh kelompok caspase-9 dan juga aktivasi jalur ekstrinsik (caspase-8).
Aktivasi jalur mitokondria telah dikaitkan dengan unsur-unsur proapoptosis dari
keluarga BCL-2. Hal ini memicu pelepasan sitokrom C, meningkatkan permeabilitas
membran mitokondria, dan akhirnya apoptosis. Jalur ekstrinsik dimulai dengan kompleks
Fas/Fas-L dan aktivasi berikutnya dari jalur caspase-8.
Pada saat yang sama, beberapa jalur molekuler yang dapat menangkal aktivasi
proapoptotik pada keadaan hiperoksia telah dijelaskan. Sebagai contoh, TLR-4 yang memulai
sebuah sinyal antiapoptotik seperti Bcl-XL, c-Jun, atau JNK.
Kerusakan jaringan yang diinduksi oleh hiperoksia terjadi pada sel-sel endotel,
makrofag, dan epitel pernapasan. Selama beberapa jam pertama dari kerusakan terjadi pada
endotel paru. Endotelium sebagai jaringan yang sangat aktif, dapat mengaktifkan agregasi
platelet dan kemotaksis sel inflamasi. Jadi, respon inflamasi dan kerusakan sekunder oleh
pembentukan generasi baru dari SOR telah dimulai (Gambar 4).
Hipotesis tentang "gangguan pembuluh darah utama" didasarkan pada kerentanannya
yang sangat tinggi akibat metabolisme yang sangat aktif yang mengatur sejumlah besar zat
vasoaktif dan fibrinolitik (serotonin, noradrenalin, bradikinin, angiotensin, dsb.).
Beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan berpartisipasi dalam kerusakan yang
diinduksi oleh hipoksia. Yang paling penting adalah IL-1 yang mengaktifkan komponen lain
seperti IL-6, IL-8, dan TNF-α. Molekul-molekul ini memainkan peran kunci dalam aktivasi
sel inflamasi setelah kejadian kerusakan endothelial primer [17] - [19].

Gambar 4. Model endothelial dari Cedera Paru Akut (CPA) akibat Hiperoksia
5.3. Pengaruh Hiperoksia pada Mekanisme Kompensasi Hipoksia

Baru-baru ini telah diusulkan suatu klasifikasi hipoksemia dalam empat kategori tergantung
pada waktu perkembangannya: hipoksemia akut (<6 jam), hipoksemia subakut (6-7 hari),
hipoksemia berkepanjangan (7-90 hari) dan hipoksemia kronis (> 90 hari) [20] [21].
Orang yang sehat terkena hipoksemia berkepanjangan mengembangkan beberapa
mekanisme kompensasi (peningkatan curah jantung, ventilasi alveolar, dan massa eritrosit,
dll). Namun, subyek yang sakit biasanya tidak mampu mengembangkan jenis respon adaptif
karena penyakit yang mendasarinya.
Perubahan lain ada pada tingkat sel seperti perubahan dalam metabolisme mitokondria
oleh pelepasan ikatan dari beberapa proses metabolik multipel dan dengan demikian
mencapai efisiensi yang lebih besar dalam produksi ATP.
Dalam suatu percobaan didapatkan bahwa kelompok sel yang terkena hipoksia
berkepanjangan akan menurunkan asupan oksigen hingga 40%-60% oleh proses penurunan
regulasi yang tidak penting untuk kelangsungan hidup sel. Mekanisme pengaturan ini bersifat
reversibel dan tidak membentuk kerusakan definitif.
Secara tradisional, manajemen dari kegagalan pernafasan adalah menghindari
hipoksemia dengan cara mempertahankan keadaan hiperoksia pada tingkat yang signifikan.
Beberapa penulis telah memperkirakan bahwa hiperoksia pada pasien kritis dengan
hipoksemia subakut (SGNA, pneumonia) bisa mengganggu pembentukan mekanisme
kompensasi (mitokondria, gen terkait dengan FPH-1, dsb.) dengan efek merusak yang
konsekuen. Oleh karena itu, mereka melaporkan betapa pentingnya dalam menentukan
tingkat PO2 yang aman dan ditoleransi dengan baik untuk pasien kami [18] [20] - [22].

6. Penelitian Klinis and Eksperimental


6.1. Sindrom Gagal Nafas / Paru Akut (SGNA)

Permukaan pertukaran gas adalah paru-paru dan juga merupakan salah satu jaringan dengan
risiko yang lebih tinggi akan kerusakan oleh konsentrasi tinggi dari oksigen. Keracunan
oksigen jarang terjadi dengan FiO2 <0,5 [23]. Pasien dengan SGNA sering membutuhkan
FiO2> 0,5 dan memiliki peningkatan risiko dari memburuknya lesi yang mendasari. Ventilasi
tekanan positif dengan FiO2 yang tinggi (0,6-0,9) menyebabkan perubahan patologis tertentu
terlepas dari efek merusak dari ventilator. Bailey et al. mempelajari ventilasi mekanik pada
tikus dan mengekspos mereka untuk konsentrasi oksigen > 90% selama 24 jam [24]. Mereka
mengamati peningkatan kerentanan terhadap cedera yang disebabkan oleh ventilator daripada
terkena lingkungan udara. Sinclair et al. [25] baru-baru ini menerbitkan sebuah penelitian
ventilasi mekanik pada kelinci dengan pajanan volume tidal yang tinggi dan oksigen
konsentrasi sedang (FiO2=0,5). Mereka mengamati bahwa ada lesi serius yang lebih
signifikan secara histologis pada kelompok tersebut dibandingkan dengan kelompok ventilasi
lingkungan udara. Hewan yang diventilasi dengan volume tinggi dan konsentrasi oksigen
moderat secara signifikan mengalami cedera membran kapiler alveolar jika dibandingkan
dengan kelompok dengan parameter ventilasi yang sama tetapi dengan normoksia [26].
Tidak ada uji klinis pada manusia yang mengevaluasi, baik efektivitas dan efek
merusak dari terapi FiO2 yang tinggi (misalnya FiO2 lebih diperlukan untuk menjamin DO2
yang sesuai). Penelitian Jaringan SGNA [27] membandingkan tingkat tekanan ekspirasi akhir
positif (PEEP) yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah pada pasien dengan SGNA
dengan menggunakan protokol berdasarkan oksigenasi mencapai perbedaan PEEP sekitar 5
cm H2O di antara kedua kelompok. Meskipun secara signifikan perbedaan yang ditemukan
hampir 20% FiO2 antara kedua kelompok, namun tidak ada perbedaan dalam mortalitas, baik
pada hari dilakukannya ventilasi mekanik dan saat opname di ICU; sehingga mereka
menyimpulkan bahwa tingkat PEEP yang lebih tinggi tidak meningkatkan mortalitas pada
pasien ini. Dalam penelitian ini, sulit untuk mencapai kesimpulan terutama karena fakta
bahwa penelitian ini tidak dirancang untuk mengevaluasi tujuan ini dan tidak jelas apakah
perbedaan dari 0,1 FiO2 di antara kelompok eksperimen merupakan perbedaan yang
signifikan secara klinis. Sebuah analisis dari 101 penelitian mengenai SGNA menyimpulkan
bahwa rasio PO2/FiO2 bukan hasil prediktor yang dapat diandalkan. The British Thoracic
Society Guidelines merekomendasikan SatO2 antara 94% - 98% untuk sebagian besar pasien
akut tetapi tidak ada bukti klinis yang mendukung rekomendasi ini [28].
Gilbert-Kawai et al. (The Cochrane) baru-baru ini menerbitkan sebuah ulasan tentang
hipoksemia permisif terhadap normoxia pada pasien kritis yang menerima ventilasi mekanis,
yang difokuskan pada mortalitas dan morbiditas. Mereka tidak menemukan bukti bahwa
rendahnya tingkat oksigen dalam darah bisa menguntungkan [29]. Namun, Suzuki et al.
dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 105 orang pasien di ICU dengan ventilasi
mekanik selama > 48 jam menunjukkan keuntungan dengan terapi oksigen konservatif,
dengan tetap mempertahankan target SatO2 90%-92%, dibandingkan dengan pengobatan
konvensional yang dapat menyebabkan efek samping klinis dan fisiologis dan menghindari
paparan tingkat tinggi dari oksigen [22].

6. 2. Infark Miokard Akut (IMA)

Lebih dari seratus tahun terapi oksigen telah diberikan sebagai pengobatan IMA dan angina
dengan sedikit bukti mengenai khasiat atau efek merusak dari praktik ini. Mekanisme yang
disebabkan oleh oksigen bisa berbahaya, termasuk efek paradoks oksigen dalam mengurangi
aliran darah koroner dan meningkatkan tahanan vaskular sistemik [30].
Wijesinghe et al. [31] meneliti dampak oksigen pada ukuran infark pasien dengan
IMA dan menyimpulkan bahwa ada sedikit bukti untuk menentukan efektivitas dan
keamanan pengobatan dengan oksigen aliran tinggi pada pasien ini. Tidak ada bukti bahwa
pengobatan dengan oksigen bila dibandingkan dengan udara lingkungan memiliki manfaat
dalam situasi seperti ini. Selain itu, bisa menyebabkan keadaan yang lebih berbahaya yang
menyebabkan peningkatan ukuran dari IMA dan risiko kematian yang meningkat. Ulasan ini
dianalisis pada 2013 dari Cochrane dan menghasilkan kesimpulan yang sama: tidak ada bukti
dari percobaan acak yang mendukung penggunaan rutin oksigen pada pasien dengan IMA.
Penelitian AVOID [32] meneliti secara acak pasien dengan IMA yang menerima perawatan
seperti biasa dengan terapi oksigen atau tanpa pengobatan kecuali saturasi oksigen <94%,
menganalisis ukuran infark, komplikasi, dan kelangsungan hidup. Mungkin penelitian ini
akan memberikan kontribusi untuk mengklarifikasi pertanyaan tentang masalah ini. Pedoman
dari European Society of Cardiology 2012 dan AHA/ACCF 2013 untuk IMA dengan S-T
elevasi hanya merekomendasikan terapi oksigen pada pasien hipoksemik (SpO2 <90%) [33].

6.3. Stroke Iskemik Akut


Pasokan oksigen harus diberikan untuk mempertahankan SpO2> 94% (Kelas I, tingkat bukti
C) [34]. Meskipun pemberian oksigen tambahan tampaknya agak intuitif dan hanya ada
sedikit data yang mendukungnya. Stroke iskemik menyebabkan penurunan oksigen di otak
sehingga mengakibatkan hipoksia jaringan dan kematian sel. Oleh karena itu, meningkatkan
kadar oksigen dalam jaringan iskemik dapat menghasilkan neuroproteksi. Sebuah penelitian
mengamati bahwa oksigen aliran tinggi dalam 14 jam dari onset stroke mungkin akan
bermanfaat pada pasien tertentu. Mereka menemukan kecenderungan dalam menurunkan
angka kematian dan penurunan komorbiditas pada pasien dengan stroke pada wilayah arteri
serebri yang diberikan oksigen melalui masker wajah 40% dibandingkan dengan aliran
oksigen 2 liter per menit (lpm) dengan kanula nasal [35]. Hasil dari uji coba terkontrol besar
pada pasien stroke tidak menemukan perbedaan signifikan mengenai angka kematian lebih
dari satu tahun atau defisit neurologis antara pasien yang menerima oksigen 3 lpm dengan
kanula nasal selama 24 jam. Oleh karena itu, berdasarkan data tersebut maka tidak dianjurkan
pemberian suplemen rutin oksigen pada pasien yang tidak hipoksia dengan stroke ringan
[36].

6.4. PPOK

Literatur saat memberikan bukti bahwa pada pasien PPOK yang menggunakan terapi oksigen
untuk menjaga SatO2 88%-92% menyebabkan pengurangan risiko kematian akibat gagal
pernapasan, terutama pada pasien yang rentan terhadap hiperkapnia [37]. Sebuah penelitian
prospektif yang diterbitkan pada tahun 2010 [38] membandingkan oksigen aliran tinggi
dengan terapi oksigen konvensional melalui kanula hidung untuk menjaga SatO2 antara 89%-
92%. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian terapi oksigen untuk mempertahankan
SatO2 89-92% dapat mengurangi risiko kematian oleh hiperkapnia dan gagal pernafasan
sebesar 58% (semua subjek) dan 78% (subjek yang didiagnosa dengan PPOK).

6.5. Resusitasi setelah Gagal Jantung

Sebuah penelitian retrospektif dilakukan oleh Kilgannon et al. [39] melibatkan lebih dari
6.000 orang pasien yang memerlukan manuver resusitasi setelah mengalami kegagalan
kardiorespirasi. Mereka menilai efek dari hiperoksemia (didefinisikan sebagai PaO2> 300
mmHg) dibandingkan dengan normoksemia (PaO2 60-300 mmHg) dan hipoksemia (<60
mmHg). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok hiperoksia memiliki tingkat
kematian yang lebih tinggi (63%) dibandingkan kelompok pasien normoksia (45%) dan
hipoksia (57%). Mereka menyimpulkan bahwa hiperoksia pada pasien ini dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas di rumah sakit dibandingkan dengan normoksia atau hipoksia.
Penelitian ANZ [40] (melibatkan 12,108 orang pasien) menunjukkan bahwa hiperoksia
secara relatif jarang terjadi. Tidak ada hubungan konsisten yang dihasilkan yang berhubungan
dengan kematian. Dalam sebuah tinjauan terbaru tentang dampak oksigen dan karbon
dioksida setelah mengalami gagal jantung, Bellomo et al. menunjukkan bahwa hiperoksia
dan hipokapnia dapat merugikan dan berbahaya serta harus dihindari dan bahwa pasien ini
harus diperlakukan seperti pasien kritis yang membutuhkan ventilasi mekanis.

6.6. Pencegahan pada Tempat Infeksi akibat Operasi

Pryor et al. [41] mempelajari penggunaan hiperoksia dalam pencegahan infeksi pada luka
operasi. 165 orang pasien yang menjalani operasi mayor pada perut secara acak menerima
FiO2 0,8 vs 0,35 selama operasi atau dalam dua jam pertama pasca operasi. Kejadian infeksi
secara signifikan lebih besar pada kelompok yang mendapat FiO2 0,8 dibanding kelompok
dari 0,35 (25% vs 1,3%, p = 0,02). FiO2 tetap menjadi prediktor signifikan dari infeksi luka
operasi dalam analisis multivariate ini. Temuan ini bertentangan dengan penelitian
sebelumnya [42] yang melaporkan penurunan 50% dalam kejadian infeksi pada pasien bedah
kolorektal terbuka yang menerima O2 0,8 dibandingkan dengan pasien yang menerima 0,3.

7. Kesimpulan

Terapi oksigen adalah salah satu pengobatan yang paling umum digunakan di lingkungan
rumah sakit. Penggunaannya sama dengan perawatan lainnya yang dapat menyebabkan efek
samping. Sehingga harus selalu diresepkan jika ada indikasi yang jelas. Tujuan utama adalah
untuk memperbaiki hipoksemia. Penggunaannya dalam pencegahan hipoksemia pada pasien
yang rentan atau sebagai pengobatan dalam mengurangi kerja pernapasan masih tidak jelas.
Tapi pemberian oksigen dapat menghasilkan efek samping seperti retensi asam karbonat,
atelektasis, serta kerusakan endotelium paru dan alveolar. Efek samping ini bertambah
banyak dalam kasus hiperoksia. Kerusakan jaringan akibat hiperoksia dikarenakan oleh
produksi SOR yang mengubah respon imun dan menginduksi apoptosis sel.
Tampaknya perlu untuk menetapkan batas-batas oksigenasi yang dapat mencegah
efek buruk dari hipoksia dan hiperoksia, khususnya pada patologi di mana berlaku
mekanisme iskemia-reperfusi seperti pada gagal jantung, stroke, atau periode pasca operasi
bedah jantung. Batasan ini masih belum didefinisikan dengan baik, tetapi tentu saja harus
lebih rendah daripada yang digunakan dalam praktek rutin. Meskipun dalam konteks ini di
mana hipoksemia permisif mungkin menjadi terapi yang menjanjikan, namun saat ini belum
ada bukti ilmiah yang membenarkan hal itu dan penetapan oksigenasi yang terlalu rendah
dapat menyebabkan episode hipoksemia dan disoxia yang tidak terkendali.
Sejumlah besar pasien di ICU memerlukan ventilasi mekanis [43]. Kerusakan yang
disebabkan oleh tindakan ini pada paru-paru yang sehat meningkat secara signifikan.
Beberapa mekanisme telah dijelaskan untuk fenomena ini sebagai pembukaan dan penutupan
dari bagian alveolar (atelektrauma), peregangan yang berlebihan dan kerusakan pulmoner
(volutrauma dan barotrauma) atau induksi dari respon inflamasi (biotrauma). Mungkin di
bagian terakhir ini kami harus memperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh oksigen itu
sendiri (oksigentrauma) dan menilai cara untuk memodulasinya.
Ada sejumlah penelitian klinis baru yang mengevaluasi strategi yang lebih konservatif
mengenai terapi oksigen, khususnya pada pasien kritis dengan kerusakan paru-paru akut atau
patologi dengan cedera iskemia-reperfusi. Sampai saat itu, kami harus menghindari
pemberian oksigen konsentrasi tinggi, mencegah hiperoksia, dan mempertahankan tingkat
PaO2 agar menjamin perfusi jaringan yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai