Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PASCA OPERASI

dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn.KAKV

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK UNUD / RS SANGLAH

DENPASAR

2018
3

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I Pendahuluan............................................................................................1
2
BAB II Gangguan Fungsi Kognitif ......................................................................

2.1 Difinisi Kognisi… .............................................................................. 2

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kognitif ......................................................... 2

2.3 Gangguan Fungsi Kognitif. ................................................................ 4

2.4 Etiologi Gangguan Fungsi Kognitif ................................................... 6

2.5 Manifestasi Gangguan Fungsi Kognitif.............................................12


14
2.6 Pemeriksaan Untuk Mengetahui Gangguan Fungsi Kognitif ……
BAB III Obat Anestesi Umum............................................................................. 16

3.1 Isoflurane ......................................................................................... 17


3.2 Desflurane ......................................................................................... 17
3.3 Sevoflurane ....................................................................................... 18

3.4 Nitrous Oxyde ................................................................................... 18

3.5 Propofol ............................................................................................. 19

3.6 Fentanyl ............................................................................................. 19

BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan fungsi kognitif pasca operasi masih merupakan suatu tantangan yang harus
dipecahkan oleh para klinisi dan praktisi, walaupun telah banyak penelitian yang mencoba
mencari penyebab dari kejadian ini namun semuanya masih belum dapat menyimpulkan
penyebab pasti dari kejadian ini.

Penelitian tentang kejadian Gangguan Fungsi Kognitif Pasca operasi (POCD) telah
berkembangan sejak tahun 2000, dan secara internasional melalui International Post
Operative Cognitive Disfungtion Study –I (IPOCODS- I) yang berpusat di Eindhoven,
Netherlands dan Copenhagen, Denmark, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara
keadaan hipoksia dan hipotensi terhadap kejadian POCD. Beberapa faktor yang diduga
berperan antara lain umur, durasi anestesi, komplikasi selama operasi dan infeksi pasca
operasi diperkirakan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan fungsi
kognitif pasca operasi.

Pada tulisan ini akan coba dibahas kejadian gangguan fungsi kognitif pasca
pemberian anestesi umum, yang dirangkum dari beberapa sumber pustaka, sehingga nantinya
dapat dijadikan sebagai suatu referensi dan menambah wawasan dalam menghadapi dan
menyikapi kejadian gangguan fungsi kognitif pasca operasi.
2

BAB II

GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF

2.1 DEFINISI KOGNISI

(1)
Istilah kognisi berasal dari bahasa Latin cognoscere yang artinya mengetahui. Kognisi
adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang
seseorang atau sesuatu. Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap
pengetahuan atau kemampuan untuk memperoleh pengetahuan. Kapasitas atau kemampuan
kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. (2,3)

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI KOGNITIF

Salah satu yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah dalam fungsi luhur. Otak
manusia jauh berbeda dengan otak binatang, karena adanya korteks asosiasi yang berada pada
berbagai korteks perseptif primer. (4,5)

Untuk memahami perubahan perilaku yang terjadi pada pasien dengan penyakit, sangat
penting mengetahui anatomi dan fisiologi dari bagian-bagian otak yang menghasilkan dan
memelihara perilaku yang normal. Terdapat empat tingkatan perilaku, yaitu:

1. Pertama adalah kesadaran atau basic arousal. Fungsi ini diatur oleh Ascending
Activating System yang terdiri dari formasio retikularis, batang otak, talamus, sistem
limbik dan korteks.
2. Kedua adalah kebutuhan dasar (basic drives) dan insting hidup (survival instinct),
yang terdiri antara lain makan, tidur, mempertahankan diri dan prokreasi. Fungsi ini
diatur oleh hipotalamus dan struktur-strutur lain yang berhubungan dengan sistem
limbic, termasuk di sini adalah emosi dan memori.
3. Ketiga adalah intelektual, yaitu suatu kompleks dari kualitas manusia tingkat tinggi
yang terdiri dari proses tingkat tinggi dalam kalkulasi, berpikir abstrak, membangun
bahasa dan persepsi. Struktur utama untuk fungsi tersebut terdapat pada korteks
serebri.
3

4. Keempat adalah perilaku sosial dan kepribadian, suatu kompleks perilaku yang
merupakan interaksi dari semua tingkatan perilaku dan integrasi dari semua sistem di
otak.

Fungsi kognitif mempunyai empat fungsi utama yaitu: (4,5,6)

1. Fungsi reseptif, yang melibatkan kemampuan untuk menseleksi, memproses,


mengklasifikasikan dan mengintegrasikan informasi.
2. Fungsi memori dan belajar, yang maksudnya adalah mengumpulkan informasi dan
memanggil kembali.
3. Fungsi berpikir adalah mengenai organisasi dan reorganisasi informasi.
4. Fungsi ekspresif yaitu informasi-informasi yang didapat dikomunikasikan dan
dilakukan.

Otak manusia terdiri dari batang otak, dua belahan otak besar (hemisfer kanan dan kiri)
dan serebelum atau otak kecil. Masing-masing bagian atau struktur terbagi lagi dalam bagian-
bagian yang lebih rinci dan mempunyai fungsi khusus. Proses mental manusia merupakan
sistem fungsional kompleks dan tidak dapat dilokalisasi secara sempit menurut bagian otak
terbatas, tetapi berlangsung melalui partisipasi semua struktur otak, dan setiap struktur
mempunyai peranan tertentu untuk organisasi sistem fungsional tersebut. Untuk
meningkatkan kualitas otak diperlukan stimulasi khusus pula dari bagian-bagian tersebut.
Stimulasi otak pada hakikatnya adalah proses pembelajaran (learning process) dan pada
gilirannya mempengaruhi kemampuan intelektual dan kemampuan beradaptasi manusia
terhadap lingkungannya.

Otak bekerja secara keseluruhannya dengan menggunakan fungsi dari seluruh bagian.
Namun demikian, ada bagian-bagian tertentu yang mempunyai peranan menonjol dalam
proses berpikir dan bertindak tertentu. Pembagian komponen intelek/fungsi luhur menjadi 5
komponen yakni bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi didasarkan pada teori
lokalisasi dan spesialisasi bagian/fungsi otak.
4

2.3 GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PASCA OPERASI

POCD adalah gangguan halus memori, konsentrasi, dan pengolahan informasi yang berbeda
dari delirium dan demensia. Terlepas dari kenyataan bahwa POCD bukan diagnosis psikiatri
formal, istilah ini sering digunakan dalam literatur dan dianggap gangguan neurokognitif
ringan. DSM-IV menyatakan bahwa gangguan neurokognitif ringan hanya dapat didiagnosis
jika gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria untuk tiga kondisi lain (delirium, demensia,
atau gangguan amnestic). Lebih lanjut menetapkan bahwa diagnosis gangguan neurokognitif
ringan harus dikuatkan oleh hasil pengujian menunjukkan neuropsikologi bahwa seorang
individu memiliki onset baru defisit dalam setidaknya dua bidang fungsi kognitif yang
berlangsung untuk jangka waktu minimal 2 minggu. Kriteria diagnostik ini membuat tidak
mungkin untuk secara akurat mengidentifikasi POCD selama tinggal di rumah sakit. Karena
sifat halus POCD, seringkali hanya pasien dan / atau pasangan yang mengakui timbulnya
masalah ini. Gejala bervariasi dari kehilangan memori ringan sampai ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi atau informasi proses. Harga et al. dianalisis keparahan POCD di 77 pasien
pada 3 bulan setelah operasi noncardiac dan menemukan bahwa disfungsi eksekutif (masalah
dengan kecepatan pemrosesan dan organisasi) dan dikombinasikan gangguan eksekutif /
memori dikaitkan dengan keterbatasan fungsional yang signifikan, sedangkan pasien dengan
hanya penurunan memori melakukan tidak menunjukkan gangguan fungsional. POCD pada 3
bulan setelah operasi noncardiac juga telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas selama 8
tahun setelah operasi.

Adapun pengertian lain terhadap POCD yaitu, merupakan suatu gangguan fungsi
luhur otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa, serta
fungsi intelektual (Freidl et all, 1996). Sementara menurut kuusisto, at all, 1992, gangguan
fungsi kognitif adalah suatu gangguan kearah demensia yang diperlihatkan dengan adanya
gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat semantik (kata-kata) dan pemecahan masalah
(problem solving). (7)

Kalsifikasi menurut waktu kejadianya dibedakan menjadi : Acut bila kejadianya


terjadi dalam waktu 1 minggu, Menengah bila kejadiannya berlangsung dalam jangka waktu
3 bulan, dan kronis jika kejadianaya berlangsung dalam waktu 1-2 tahun. (7,8)
5

Penilaian disfungsi kognitif pasca operasi

Tidak ada kriteria formal untuk penilaian dan diagnosis POCD. Perbedaan metodologi antara
studi termasuk variabel tes, kurangnya kelompok kontrol, kerugian yang signifikan dari
pasien selama masa tindak lanjut, dan interval tidak konsisten antara periode pengujian. Satu
publikasi melaporkan bahwa sembilan kriteria diagnostik yang berbeda yang digunakan
dalam berbagai penelitian untuk mendiagnosa POCD dan bahwa kejadian POCD bervariasi
tergantung pada definisi statistik diterapkan pada data kognitif. Kriteria diagnostik yang
konsisten untuk POCD harus dikembangkan untuk penelitian bermakna dalam gangguan
kognitif ini terjadi.penilaian dari fungsi kognitif seseorang dapat dilakukan dengan cara yang
sederhana dengan menggunakan alat – alat tes berupa quisioner yang ditanyakan satu persatu
terhadap pasien yang akan dibahas pada halaman berikutnya. Penilaian ini biasanya
dilakukan terhadap pasien sebelum dan setelah menjalani operasi.

Penelitian terkini tentang disfungsi kognitif pasca operasi

Penelitian prospektif besar pertama menggambarkan penurunan kognitif pasca operasi setelah
operasi noncardiac diterbitkan oleh kelompok riset multinasional pada tahun 1998. Dalam
studi ini, pasien berusia 60 tahun atau lebih, yang tengah menjalani operasi perut dan ortopedi
utama, menyelesaikan serangkaian tes psikometri sebelum operasi dan pada 1 minggu dan 3
bulan setelah operasi. Disfungsi kognitif terjadi pada 25% dari pasien di rumah sakit debit
dan 10% memiliki perubahan kognitif diukur pada 3 bulan setelah operasi. Usia lanjut adalah
satu-satunya prediktor signifikan untuk POCD pada 3 bulan setelah operasi. Menggunakan
[2]
desain penelitian yang sama, Monk et al. dievaluasi dewasa dari segala usia menjalani
operasi noncardiac utama dan didiagnosis POCD di 30-40% dari pasien dewasa dari segala
usia di rumah sakit. Namun, hanya orang tua (≥60 tahun) berada pada risiko yang signifikan
(13%) untuk POCD pada 3 bulan setelah operasi. Faktor risiko independen untuk POCD pada
titik waktu ini sedang bertambahnya usia, tingkat pendidikan rendah, riwayat kecelakaan
sebelumnya cerebral vascular (CVA) tanpa gangguan residu, dan POCD di RS. Peneliti ini
juga menemukan bahwa terjadinya POCD dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian
pada tahun pertama setelah operasi.

Selama 30 tahun terakhir, ada banyak investigasi meneliti klaim asli Bedford yang
anestesi umum bertanggung jawab untuk masalah kognitif pasca operasi. Dua studi prospektif
besar dievaluasi hasil kognitif dengan daerah dibandingkan anestesi umum setelah operasi
besar [28,29]. Kedua studi termasuk kolam renang peserta besar dan diterapkan pendekatan
6

metodologis ketat untuk menilai hasil kognitif hingga 6 bulan setelah operasi. Kedua studi
jelas menunjukkan bahwa jenis anestesi (umum dibandingkan daerah) tidak mempengaruhi
hasil kognitif jangka panjang. Namun, semua pasien yang menerima anestesi regional juga
menerima opioid intravena dan obat penenang selama prosedur bedah; tidak diketahui apakah
anestesi regional tanpa agen intravena tambahan akan meningkatkan hasil kognitif pasca
operasi. Sebuah studi baru-baru membandingkan angiografi koroner dengan obat penenang
ringan, jumlah operasi pinggul penggantian sendi dengan anestesi umum, atau koroner
bypass arteri graft (CAB) operasi di bawah anestesi umum, menemukan kejadian 16-17%
dari POCD pada 3 bulan pascaoperasi pada ketiga kelompok. Temuan ini menunjukkan
bahwa POCD mungkin independen dari sifat atau jenis prosedur bedah dan jenis anestesi [28].

2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI TERJADINYA GANGGUAN FUNGSI


KOGNITIF PASCA OPERASI (POCD)

Penyebab atau etiologi terjadinya POCD masih belum dapat ditentukan dengan jelas, namun
diperkirakan dapat diakibatkan oleh karena terjadinya kerusakan dari sel otak yang
disebabkan oleh bahan-bahan racun (toxic substance), yang dapat berasal dari obat-obat
anestesi maupun karena respon tubuh terhadap tindakan pembedahan yang menyebabkan
pelapasan hormone dan mediator-mediator pro inflamasi atau keadaan hipoksia. (9)

Hipoksia dapat diakibatkan oleh arterial hipoksemia atau rendahnya perfusi yang
diakibatkan oleh rendahnya cardiac output, yang dapat menyebabkan lambatnya aliran darah,
thrombosis atau terjadinya emboli. (9)

Ada bukti yang cukup baik tentang mekanisme terjadinya POCD pasca operasi jantung
(cardiac surgery), dikatakan bahwa kerjadianya oleh karena multifactorial termasuk
microemboli. (9)

Meskipun telah banyak kemajuan dalam teknik bedah dan anestesi, operasi besar pada
populasi lanjut usia masih dapat dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
(7,8,10)
pasca operasi Disfungsi psikologis (misalnya, delirium pasca operasi atau status
confusional) dapat memberikan kontribusi terhadap morbiditas pasca operasi pada orang tua
(10,11)
. Gangguan kognitif pasca operasi adalah kondisi yang ditandai oleh gangguan memori
dan konsentrasi. Selain anestesi umum, kecenderungan pasien, jenis operasi, dan faktor pasca
7

operasi (misalnya, analgesik opioid) juga dapat memberikan kontribusi terhadap


perkembangan penurunan kognitif pada orang tua. (10,11)

Etiologi

Beberapa factor yang diduga sebagai penyebab terjadinya gangguan fungsi kognisi pasca
operasi antara lain :

Hipotensi Intra dan Pasca Operatif

Salah satu hipotesis pada penelitian ISPOCD1 adalah terjadinya hipotensi intra dan pasca
operasi adalah sebagai salah satu factor penyebab terjadinya POCD. Hipotensi yang terjadi
dapat menyebabkan iskemia yang dapat menyebabkan penurunan fungsi kognisi. Tetapi tidak
didapatkan hubungan yang jelas antara terjadinya hipotensi berat dengan terjadinya POCD.
Dikatakan bahwa kejadian hipotenssi dengan durasi 5 -10 menit selama operasi dapat
menimbulkan kejadian POCD dengan nilai MAP dibawah dari 45 – 55 mmHg. (12).

Hipoksia Intra dan Pasca Operatif

Pada penelitian ISPOCD1 pasien dimonitor dengan pulse oksimetri selama tiga hari pasca
operasi, tetapi tidak didapatkan hubungan yang jelas antara keadaan hipoksia dengan kejadian
POCD, lebih dari 3 menit otak mengalami hipoksia akan memicu terjadinya brain injury yang
akan menimbulkan kematian otak, POCD ini dapat terjadi apabila pasien dibiarkan dalam
kondisi hypoxia selama operasi selama lebih dari 30 detik. (12)

Microemboli

Terjadinya microemboli dapat menyebabkan gangguan fungsi kognisi pada operasi bedah
jantung, Meskipun dapat terjadi pada pasien tanpa cairan ditempat lain. (12,13)

Genotipe

Subyek dengan alel ε4 apolipoprotein diketahui memiliki gangguan fungsi kognisi dan
neurologis yang lebih buruk setelah cedera otak dan stroke, dan mempunyai risiko yang lebih
besar mengalami Alzeheimer’s disease. Peran genotipe apoE telah diselidiki pada 976 pasien
yang menjalani operasi besar di International Study of Post Operative Cognitive Dysfungtion
8

(ISPOCD2). Dalam studi ini tidak didapatkan bukti yang cukup kuat bahwa alel ε4 merupkan
faktor risiko untuk POCD.

Kortisol

Kadar kortisol pasien diperiksa untuk menunjukan efek peningkatan kadar kortisol terhadap
fungsi kognisi. Respon stres terhadapn pembedahan dapat meningkatkan kadar hormone
(12)
kortisol, tetapi hal ini tidak mempengaruhi fungsi kognisi. terjadi perubahan variasi
diurnal sekresi hormone kortisol pada pasien dengan gangguan fungsi kognisi, tetapi belum
ada bukti yang jelas bahwa hal ini sebagai factor penyebab terjadinya POCD. (12)

Neuroinflamasi

Faktor neuroimplamasi diduga sebagai factor yang dapat menyebabkan kejadian POCD.
Didapatkan peningkatan level mediator-mediator pro implamasi cytokine termasuk
Interleukin-6 (IL-6) dan Prostaglandin E2 (PGE2) pada Cairan Serebrospinalis (CSF) pada
tindakan pembedahan non neuro dan non cardiac. Pada penelitian binatang didapatkan proses
implamasi pasca operasi didaerah hippocampus. Implamasi pada daerah ini akan
mengakibatkan gangguan dalam proses belajar dan gangguan memori yang merupakan
bagian dari fungsi kognisi. Meskipun proses implamasi ini dapat diakibatkan baik oleh
karena anesthesia dan tindakan pembedahan, tetapi hal ini masih belum bisa dipastikan
sebagai penyebab terjadinya POCD.(12)

Patofisiologi

Patogenesis terjadinya disfungsi kognitif pasca operasi masih belum jelas, namun beberapa
factor (factor resiko) yang diduga berpengaruh antara lain: usia (terutama pada pasien
dengan usia tua dengan kisaran umur 45 hingga diatas 50 tahun), penyalahgunaan alkohol,
kognisi dasar rendah, hipoksia, hipotensi, dan jenis operasi telah diduga memberikan
kontribusi untuk masalah ini. Pemilihan obat anestesi juga dapat mempengaruhi kognisi
pasca operasi karena tingkat residu anestesi volatile dapat menghasilkan perubahan dalam
aktivitas sistem saraf pusat.

Mekanisme yang bertanggung jawab untuk penurunan kognitif pasca operasi setelah
operasi noncardiac tidak diketahui, tetapi faktor-faktor risiko potensial dapat diklasifikasikan
ke pasien, bedah, dan kategori anestesi. Sangat mungkin bahwa penyebab POCD pada pasien
9

usia lanjut adalah multifaktorial dan mungkin termasuk status pra operasi kesehatan pasien,
tingkat pra operasi pasien kognisi, peristiwa perioperatif yang terkait dengan operasi itu
sendiri, dan, mungkin, efek neurotoksik dari agen anestesi. Anestesi inhalasi umum, yang
lulus mudah ke otak, yang digunakan di sebagian besar prosedur pembedahan besar. Selama
beberapa dekade, diasumsikan bahwa anestesi inhalasi yang tidak beracun dan bahwa efek
mereka dengan cepat terbalik pada akhir prosedur. Sekarang ada kekhawatiran,
bagaimanapun, bahwa anestesi inhalasi mungkin neurotoksik ke otak penuaan.

Pada tahun 2004, Eckenhoff dkk. menunjukkan bahwa konsentrasi klinis dua anestesi
inhalasi, halotan dan isofluran, meningkatkan oligomerisasi dan agregasi peptida amiloid
dalam kultur sel. Ini di-vitro Data menunjukkan bahwa paparan anestesi inhalasi dapat
meningkatkan perubahan patologis yang biasanya terlihat pada penyakit Alzheimer, terutama
pada populasi berisiko tinggi seperti orang tua. Penyelidikan selanjutnya telah menunjukkan
bahwa anestesi isoflurane mengaktifkan enzim yang disebut caspases, yang juga dapat
berkontribusi untuk pembentukan kusut neurofibrillary, fitur patologis kunci dari penyakit
Alzheimer, dan produksi beta amyloid, komponen kunci dari plak amyloid. Temuan ini telah
menyebabkan kekhawatiran bahwa inhalasi anestesi dapat mengubah otak dalam beberapa
cara yang abadi, mungkin mempercepat perjalanan penyakit Alzheimer, dan berkontribusi
untuk masalah kognitif pasca operasi pada individu cenderung. Penelitian pada manusia
belum terkait anestesi atau pembedahan untuk masalah kognitif pasca operasi dan hasil
kognitif jangka pendek tidak membaik dengan anestesi regional (yang tidak termasuk agen
anestesi inhalasi) dibandingkan dengan anestesi umum. RCT tambahan diperlukan untuk
menentukan apakah anestesi inhalasi memperburuk hasil kognitif jangka panjang pasca
operasi pada pasien yang lebih tua.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa infark serebral pra operasi atau
gangguan kognitif merupakan faktor risiko untuk masalah kognitif pasca operasi. Konsep
cadangan kognitif otak sering dikutip untuk menjelaskan mengapa individu dengan gelar
serupa dari penghinaan otak sering memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat gejala
kognitif. Satz dijelaskan konsep cadangan otak, yang dapat membantu untuk menjelaskan
kerentanan terhadap masalah kognitif pasca operasi: (. Gambar 1) cadangan otak yang lebih
besar berfungsi sebagai faktor protektif, sedangkan cadangan otak kurang berfungsi sebagai
faktor kerentanan terhadap lesi atau patologi. Postulat ini dapat diterapkan dengan topik
gangguan kognitif pasca operasi. Dalam gambar, pasien A memiliki cadangan yang lebih
10

besar (yang dapat diukur dalam beberapa cara yaitu tingkat pendidikan, kecerdasan, ukuran
otak, lesi materi putih, dll) relatif terhadap pasien B. Kedua pasien mengalami penghinaan
perioperatif ke otak yang menghasilkan berukuran hampir sama 'lesi'. Pasien A, namun
karena cadangan kognitif, tidak menunjukkan delirium pasca operasi atau perubahan kognitif
pasca operasi dan tetap di atas ambang batas kritis untuk mengidentifikasi perubahan yang
terukur dalam hasil fungsional. Pasien B dengan cadangan kognitif pra operasi kurang,
sebaliknya, turun di bawah ambang batas kritis ini dan menunjukkan perubahan yang
signifikan dalam fungsi yang dapat bermanifestasi sebagai delirium pasca operasi atau POCD
pada periode pasca operasi.

Gambar 1. Kapasitas cadangan otak dan konsep ambang (Brain reserve capacity and
threshold concept)

Penelitian secara resmi menyelidiki peran cadangan dalam pengembangan POCD


menunjukkan bahwa pasien dengan faktor risiko vaskular pra operasi mungkin berisiko lebih
besar untuk POCD. Lund et al. dievaluasi pasien yang telah menjalani operasi bypass arteri
on-pompa koroner dan menemukan bahwa tingkat keparahan kelainan materi putih
presurgical, variabel MRI otak yang berhubungan dengan iskemia dan penyakit pembuluh
darah pembuluh kecil, diperkirakan frekuensi dari gangguan kognitif pasca operasi pada 3
bulan pascaoperasi. Maekawa dkk, menemukan bahwa lesi materi putih dan infark serebral
pada scan MRI adalah prediksi gangguan kognisi sebelum operasi jantung elektif dan
ditempatkan pasien pada risiko yang lebih tinggi untuk disfungsi neurologis pasca operasi.
Demikian pula, pra operasi materi putih anisotropi pecahan diperoleh melalui metode difusi
resonansi magnetik telah dikaitkan dengan delirium pasca operasi.

Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa ada cara untuk mencegah
bahkan meminimalisasi terjadinya POCD, yaitu dengan cara focus akan tindakan operasi
atau anestesi alternative yang dapat dikerjakan, meliputi:
11

1. Anestesi umum versus anestesi regional, hasil penelitian menyatakan bahwa


postoperative cognitive outcome lebih baik pada pasien setelah dilakukan anestesi
regional daripada anestesi umum (table 41.1)
2. Perubahan pada tehnik operasi selama CABG, hasil penelitian menyatakan
postoperative cognitife outcome lebih baik jika cardiopulmonary bypass dan
cereberal emboli dapat dihindari selama proses operasi CABG berlangsung.
3. Perubahan pada managemen anestesi, penelitian ini memiliki banyak hipotesa
dengan meneliti kondisi hipotermia dan spesifik agen parmakologi ( vitamin,
fentanyl, dan agen inhalasi)

2.5 MANIFESTASI GANGGUAN KOGNITIF

Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada aspek bahasa, memori,
emosi, visuospasial dan kognisi.

Gangguan Bahasa

Gangguan bahasa yang terjadi pada demensia terutama tampak pada kemiskinan kosa kata.
Pasien tak dapat menyebut nama benda atau gambar yang ditunjukkan padanya
(confrontation naming), tetapi lebih sulit lagi untuk menyebutkan nama benda dalam satu
kategori (categorical naming), misalnya disuruh menyebut nama buah atau hewan dalam satu
kategori. Sering adanya diskrepansi antara penamaan konfrontasi dan penamaan kategori
12

dipakai untuk mencurigai adanya demensia dini. Misalnya orang dengan cepat dapat
menyebutkan nama benda yang ditunjukkan tetapi mengalami kesulitan kalau diminta
menyebutkan nama benda dalam satu kategori, ini didasarkan karena daya abstraksinya mulai
menurun.

Gangguan Memori

Gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama timbul pada demensia dini. Pada
tahap awal yang terganggu adalah memori barunya, yakni cepat lupa apa yang baru saja
dikerjakan. Namun lambat laun memori lama juga dapat terganggu. Dalam klinik neurologi
fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara
stimulus dan recall, yaitu:

1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dan recall hanya
beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat
(attention).
2. Memori baru (recent memory), rentang waktunya lebih lama yaitu beberapa menit,
jam, bulan bahkan tahun.
3. Memori lama (remote memory), rentang waktumya bertahun-tahun bahkan seumur
hidup.

Gangguan Emosi

Sekitar 15% pasien mengalami kesulitan melakukan kontrol terhadap ekspresi dari emosi.
Tanda lain adalah menangis dengan tiba-tiba atau tidak dapat mengendalikan tawa. Efek
langsung yang paling umum dari penyakit pada otak terhadap kepribadian adalah emosi yang
tumpul “disinhibition”, kecemasan yang berkurang atau euforia ringan, dan menurunnya
sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang berlebihan, depresi dan hipersensitif.

Gangguan Visuospasial

Gangguan ini juga sering timbul dini pada demensia. Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu
kapan siang dan malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat sehingga sering
tersesat (disorientasi waktu, tempat dan orang). Secara obyektif gangguan visuospasial ini
dapat ditentukan dengan meminta pasien mengkopi gambar atau menyusun balok-balok
sesuai bentuk
13

Gangguan Kognitif

Fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien demensia, terutama gangguan daya
abstraksinya. Ia selalu berpikir kongkrit, sehingga sukar sekali memberi makna peribahasa
dan juga daya persamaan (similarities) mengalami penurunan.

Jenis gangguan kognitif pasca operasi

Klasifikasi gangguan fungsi kognisI pasca pperasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis :

1. Delirium;

Umumnya dapat dengan mudah dikenali karena merupakan kejadian yang acut yang
ditandai dengan adanya perubahan tingkat kesadaran dan terjadinya gangguan dalam
pemusatan perhatian. Durasi kejadianya bervariasi dengan derajat keparahanya dari
ringan sampai berat.

2. Gangguan Fungsi Kongnisi Jangka Pendek (Short-term cognitive disturbance);

Kejadianya dapat timbul beberapa hari pasca operasi, kejadianya dapat dipengaruhi
oleh faktor tindakan pembedahan dan obat-obat anestesi. Hal ini dapat di nilai dengan
neuropsychological assessment, dengan penggunaan screening test Mini Mental State
Examination (MMSE).

3. Post Operative Cognitive Dysfungtion (POCD); Terjadinya kemunduran fungsi


kognisi dalam waktu beberapa minggu, bulan atau bisa lebih lama, dan memerlukan
test neuropsychological untuk verifikasi. Kejadian ini merupakan gangguan fungsi
kognisi ringan (mild cognitive disorder); yang ditandai dengan gangguan memori,
kesulitan belajar, penurunan kemampuan berkonsentrasi. Keadaan ini dapat dibedakan
dengan jelas dengan dementia, yang mana demensia merupakan suatu sindroma yang
berhubungan dengan proses penyakit yang terjadi pada otak, dengan ciri
perkembangan yang progresif, yang dapat mengenai fungsi korteks cerebri yang lebih
tinggi termasuk fungsi memori, proses berfikir, orientasi, pemahaman, kalkulasi,
kapasitas belajar, bahasa dan pengambilan keputusan. Tidak ada gangguan kesadaran
(kesadaran berkabut). Kegagalan fungsi kognisi dapat disertai dengan kemunduran
terhadap control emosi, kebiasaan social dan motivasi. (12)
14

2.6 DETEKSI DAN PEMERIKSAAN UNTUK MENGETAHUI ADANYA POCD

(12)
Angka insiden kejadian POCD diperkirakan antara 7% sampai dengan 26%. Pada operasi
jantung (cardiac surgery), dikatakan angka insiden POCD antara 50% sampai 70% pada
minggu pertama, 30% sampai 50% pada minggu ketiga dan 20% sampai 40% pada bulan
(12)
pertama sama satu tahun pertama. Penelitian dari International Study of Post-Operative
Cognitive Dysfungtion (ISPOCD), pada operasi non cardiac dengan anesthesia umum
didapatkan angka insiden POCD 25,8% setelah satu minggu dan 9,9% setelah tiga bulan. (12)

Beberapa test maupun pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakan assement POCD
antara lain dengan pemeriksaan neuropsychological :

1. Mini Mental State Examination (MMSE)


Menurur Folstein et al., (1993), gangguan fungsi kognitif bisa diperiksa secara
bedside dengan menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE). Test ini
dikerjakan dalam waktu relative singkat (5-10 menit) yang mencakup penilaian
orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali serta bahasa. Pasien
dinilai secara kuantitatif pada fungsi tersebut, nilai sempurna adalah 30.
Klasifikasi Penilaian menggunakan MMSE
Masih ada beberapa perbedaan pendapat diantara para ahli dalam menentukan
klasifikasi penilaian MMSE, Grunt et al, (1993) dan Folstein et al, (1993),
mendapatkan nilai normal adalah lebih besar atau sama dengan 27, sedangkan Wind,
(1994) mendapatkan nilai MMSE normal (27-30), curiga gangguan fungsi kognitif
(22-26), pasti gangguan kognitif (<21). Kukull et al., (1994), menyatakan bahwa nilai
normal MMSE adalah lebih besar atau sama dengan 27.
2. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
Merupakan test yang didesain untuk mengukur tingkat intelligence (kecerdasan) pada
orang dewasa atau tua, saat ini telah ada refisi ke-4 dari test ini (WAIS-IV), yang
mana dapat digunakan pada anak-anak dan orang dewasa sampai usia 90 tahun.
Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) umur 3 bulan sampai
7 tahun, Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) untuk umur 6 sampai 16
tahun.
15

Ada empat komponen utama yang dinilai dari test ini antara lain :

 Verbal Comprehension Index (VCI)


 Perceptual Reasoning Index (PRI)
 Working Memory Index (WMI)
 Processing Speed Index (PSI)

3. Short Orientation Memory Concentration Test (SOMCT), merupakan test yang di


desain untuk mendiagnosis fungsi kognitif yang berfokus pada evaluasi tingkat
orientasi, memori (daya ingat) dan konsentrasi. Test ini mengevaluasi fungsi kognitif
pasien melalui penilaian kemampuan untuk mengingat kembali (waktu, bulan, tahun
saat ini), pengulangan kalimat dan penyebutan kembali angka. Skala penilaian
menggunakan score dari 0 sampai dengan 28, dengan ketentuan bahwa semakin tinggi
score menunjukan fungsi kognitif makin baik.

4. Nursing Delirium Scale (Nu-Desc). Insiden delirium pasca operasi dievaluasi dengan
menggunakan Nursing Delirium Scale (Nu-Desc). Cara ini mudah diintegrasikan
dengan klinis praktis dalam perawatan rutin. Test ini menggunakan lima criteria
dalam menentukan skala gangguan psikomotor. Onset delirium pasca operasi
dimonitor dengan skala ini dievaluasi setiap 3 jam selama 72 jam
16

BAB III

ANESTESI UMUM

Anestesi Umum merupakan Suatu keadaan hilangnya kesadaran secara total yang diakibatkan
oleh obat-obat anestesi umum (intravena dan inhalasi) dan bersifat reversible.(13) Tujuan
pemberian anestesi umum yaitu tercapainya kondisi amnesia, analgesia, relaksasi otot,
hilangnya kesadaran, hypnosis dan hilangnya refleks-refleks yang mengancam.

Target organ dari obat anestesi umum :

A. Kesadaran

Mekanisme umum yang berbuhubungan dengan aspek kesadaran, dan beberapa target
organ yang mengendalikan pusat kesadaran antara lain Korteks cerebri, Thalamus dan
formation reticularis, area ini kaya akan reseptor Gamma Aminobutiric acid (GABA-
A), N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) dan Acetylcholine (Ach).

B. Amnesia

Target organya adalah Hippocampus, Amygdala dan Kortek area pre frontalis.
Implisit memori/ recalled consciously (target dari anesthesia). Eksplisit memori /
recalled consciously, dapat digunakan reseptor NMDA dan non NMDA, berespon
terhadap Neurotransmiter Glutamat dan interneuron serotoninergik

C. Immobility (relaksasi)

Target organnya adalah sensorik dan motor neurons. Berkaitan dengan reseptor
GABA-A, Glutamate reseptor untuk NMDA, Alpha Amino-5Methyl-3Hydroxy-
4Isoxazole Propionic Acid dan Kainite.

D. Analgesia

Berkaitan dengan reseptor nyeri. Blok terhadap Glutamate, reseptor GABA-A atau
(micro) reseptor pada medulla spinalis.

Toksisitas anestesi pada sistem saraf pusat diperkirakan memberikan peranan dalam
terjadinya POCD, asumsi bahwa obat anestesi secara total (completely) reversible masih
belum dapat dibuktikan. Penelitian pada binatang yang diberikan anestesi menunjukan
(12)
berbagai perubahan histologi otaknya. Beberapa obat anestesi yang diberikan pada
penelitian binatang antara lain Isoflurane, Nitrous Oxide, Ketamin, Midazolam, Thiopenthal
(12)
dan Propofol menunjukan apoptosis pada nucleus thalamus dan partial korteks cerebri.
Pada manusia terjadi apoptosis pada sel neuroglioma yang terekspose isoflurane, juga
didapatkan peningkatan level amyloid precursor protein, yang mana bila terjadi proses tidak
normal pada amyloid precursor protein yang disertai dengan akumulasi β amyloid protein
17

yang merupakan ciri dari penyakit Alzheimer’s. Penurunan dari fungsi cholinergic dijumpai
juga pada penyakit Alzheimer’s.
3.1 Isoflurane
Isoflurane adalah obat anestesi volatile yang cukup tua dan banyak digunakan dalam praktek
klinis. Efek dari isoflurane terhadap kejadian POCD telah banyak diselidiki. Pada tahun
1992, penelitian oleh Tsai et al. (14) pada pasien menjalani prosedur ortopedi elektif, dikatakan
bahwa kejadian gangguan fungsi kognisi lebih banyak didapat pada anestesi dengan
menggunakan isoflurane dibandingkan dengan desflurane. Pada penelitian El-Dawlatly hasil
yang sama juga didapatkan pada pasien yang menjalani operasi paru, bahwa pemulihan
fungsi kognitif dan psikomotor lebih cepat dan lebih lengkap pada penggunaan anestesi
sevoflurane dan desflurane dibandingkan dengan isoflurane.(15,16)
Tetapi pada penelitian Kanbak dkk. (17) pada pasien yang menjalani operasi bypass
grafting arteri koroner dengan cardiopulmonary bypass, mengungkapkan bahwa isoflurane
dikatakan lebih baik dalam pemulihan fungsi kognisi jika dibandingkan dengan desflurane
(18)
atau sevoflurane. Sedangkan Mahajan et al. tidak menemukan perbedaan pemulihan
fungsi kognisi pada penggunaan anestesi isoflurane dan sevoflurane.

3.2 Desflurane
Desflurane adalah obat anestesi volatile baru dengan koefisien kelarutan gas dalam darah
(20)
rendah, yang memungkinkan perubahan yang cepat dalam kedalaman anestesi Pada
pasien yang menjalani operasi paru, misalnya, munculnya efek anestesi dua kali lebih cepat
dengan desflurane dibandingkan dengan anestesi volatile lain, seperti sevoflurane atau
isoflurane (rata-rata untuk ekstubasi: 8.9 minutes, 18,0 menit dan 16,2 menit untuk
desflurane, sevoflurane dan isoflurane) (16,21,22) Oleh karena itu, pemulihan lebih cepat dengan
anestesi desflurane mungkin merupakan keuntungan terutama setelah prosedur bedah yang
panjang, memungkinkan kerja sama penuh pasien dan memfasilitasi diagnosis awal setiap
defisit neurologis potensial. Chen et al. pada penelitian komparatif studi, telah menunjukkan
bahwa pemulihan fungsi kognitif, didapatkan hasil yang mirip pada anestesi volatile dengan
desflurane dan sevoflurane pada pasien tua.
Temuan lain juga gagal mendeteksi perbedaan dalam kemunculan dan pemulihan
Fungsi kognisi pada pasien morbid obese yang menerima desflurane atau sevofluran,
Sebaliknya, jika dibandingkan dengan isoflurane, desflurane tampaknya lebih unggul, tidak
(17).
hanya dalam munculnya, tetapi juga dalam pemulihan fungsi kognitif Pemulihan hingga
45 menit lebih cepat pasca operasi pada penggunaan desflurane, dan lebih sedikit gangguan
18

(18)
(yaitu, mengantuk, kaku, lelah atau bingung) pada pasien. Loscar dkk. telah melaporkan
bahwa anestesi desflurane, bahkan ketika dilengkapi dengan opioid dan N2O, tampaknya
memberikan keunggulan klinis dibandingkan isoflurane dalam pemulihan fungsi kognisi.

3.3 Sevofluran
(21)
Sevofluran saat ini dianggap sebagai obat anestesi volatile pilihan dalam anestesi Efek
dari obat ini dalam kaitannya dengan kejadian POCD telah diinvestigasi, tetapi hasilnya tidak
begitu jelas. Dalam studi mereka di pasien yang menjalani operasi bypass koroner, Kadoi dan
(22)
Goto tidak menemukan hubungan antara POCD dan penggunaan agen anestesi ini.
Sebaliknya, beberapa studi pembanding volatile sevofluran, seperti desflurane dan isoflurane,
menunjukkan bahwa tampaknya dikaitkan dengan hasil kognitif yang terburuk. Pemulihan
fungsi kognitif adalah hampir sama pada penggunaan desflurane dan sevofluran pada pasien
dengan dan tanpa comorbid obesitas, dan agen anestesi ini dikaitkan dengan pemulihan lebih
cepat dibandingkan dengan anestesi dengan isoflurane (21,22,23)
Efek anestesi sevofluran pada POCD juga telah dievaluasi dan dibandingkan dengan
anesthesia intravena dengan propofol, dimana tidak didapatkan kejadian POCD pada
penggunaan sevoflurane (18). Selain itu total anestesi intravena dengan propofol /
remifentanil tidak menunjukkan manfaat lebih baik jika dibandingkan dengan sevofluran /
fentanil dalam hal pemulihan dan fungsi kognitif. Selain itu, anestesi dengan obat-obatan
menunjukkan bahwa kemunculan dan kembalinya fungsi kognitif secara signifikan lebih
cepat dibandingkan dengan sevofluran / nitrous oksida anestesi, hingga 60 menit setelah
pemberian, sedangkan sevofluran / nitrat oksida anestesi memiliki profil pemulihan yang baik
untuk ambulatory kolonoskopi, sehingga pemulihan fungsi kognitif lebih cepat, daripada
dengan kombinasi fentanil, midazolam dan propofol. Akhirnya, pada pasien usia lanjut yang
akan dilakukan hemiarthroplasty, diperlukan pemeliharaan dengan sevofluran onset anestesi
cepat tanpa depresi lebih lanjut dari fungsi kognitif postoperatif.

3.4 Nitrous oxyde


N2O adalah gas yang tidak berwarna hampir tidak berbau dan dianggap obat disosiatif yang
dapat menyebabkan analgesia, depersi SSP, derealisasi, pusing, euforia, distorsi suara dan
halusinasi ringan. N2O masih sering digunakan. N2O masih merupakan pilihan pada anestesi
umum. Zat ini adalah agen anestesi lemah, biasanya tidak digunakan sendiri selama anestesi
umum, tapi diberikan dalam kombinasi dengan volatile anestesi seperti sevofluran, desflurane
atau isoflurane. Mekanisme anestesi / hipnotis N2O tetap tidak diketahui, mekanisme yang
19

mendasari efek analgesik / anti nociceptive telah diketahui pada beberapa dekade terakhir.
Bukti sampai saat ini mengindikasikan bahwa N2O menginduksi pelepasan peptida opioid
dalam periaqueductal grey mater otak tengah, yang menyebabkan aktivasi dari jalur inhibisi
descenden, yang menyebabkan modulasi nyeri / pengolahan nociceptive di sumsum tulang
belakang.
Penggunaan N2O dikaitkan dengan POCD dan delirium yang merupakan perhatian
klinis penting. N2O dosis tinggi tampaknya dikaitkan dengan gangguan fungsi kognitif pada
sistem saraf pusat. Dalam praktek klinis, anestesi volatil biasanya dikombinasikan dengan
N2O dan / atau opioid, yang menyebabkan interaksi aditif antara anestesi volatile dan N2O,
tapi untuk interaksi sinergis dari anestesi volatile dengan opioid. Perkembangan delirium
pasca operasi setelah terpapar N2O memiliki kejadian serupa bila dibandingkan dengan non
exposure dengan N2O. N2O berinteraksi dengan vitamin B12, Menghasilkan penghambatan
selektif sintesis metionin, suatu enzim kunci dalam metabolism metionin dan folat. Dengan
demikian, N2O dapat mengubah satu rantai karbon dan metal pada kelompok transfer, yang
sangat penting bagi DNA. Paparan jangka panjang untuk konsentrasi tinggi N2O dapat
menyebabkan anemia megaloblastik, depresi sumsum tulang dan gangguan neurologis.
Paparan N2O dosis tinggi kurang dari 6 jam, seperti dalam clinical anestesi, dianggap tidak
berbahaya. Gangguan fungsi kognisi oleh karena kekurangan vitamin B 12 adalah jarang
didominasi oleh gangguan memori yang terisolasi dan demensia otentik berkorelasi dengan
kekurangan vitamin B12 adalah pengecualian.

3.5 Propofol
Propofol adalah obat anestesi dengan efek sedative-hipnotik yang diberikan secara intravena,
obat ini sangat luas digunakan pada neuroanestesi. Propofol intravena menyebabkan
vasodilatasi arterial sehingga dapat menyebabkan terjadinya hipotensi. Propofol
menyebabkan penurunan aliran darah otak dan metabolisme oksigen, namun recovery
terhadap pemberian propofol dalam waktu yang cukup panjang dikatakan baik. (21,22)

3.6 Fentanyl
Fentanyl merupakan analgetik golongan opioid sentetik yang waktu paruhnya terutama
berikatan dengan reseptor μ (mu) dengan efek farmakologi yang utama adalah sebagai
analgesia yang bekerja secara sentral pada sistem saraf pusat. Fentanyl dapat menimbulkan
peningkatan toleransi nyeri pada pasien. (25,26)
20

BAB IV

KESIMPULAN

Penyebab atau etiologi terjadinya POCD masih belum sepenuhnya dapat ditentukan
dengan jelas, namun diperkirakan dapat diakibatkan oleh karena terjadinya kerusakan
dari sel otak yang disebabkan oleh bahan-bahan racun (toxic substance), yang dapat
berasal dari obat-obat anestesi maupun karena respon tubuh terhadap tindakan
pembedahan yang menyebabkan pelapasan hormone dan mediator-mediator pro
inflamasi atau keadaan hipoksia.

Patogenesis terjadinya disfungsi kognitif pasca operasi masih belum jelas, namun
beberapa faktor yang diduga berpengaruh antara lain : usia, penyalahgunaan alkohol,
kognisi dasar rendah, hipoksia, hipotensi, dan jenis operasi telah diduga memberikan
kontribusi untuk masalah ini. Pemilihan obat anestesi juga dapat mempengaruhi kognisi
pasca operasi karena tingkat residu anestesi volatile dapat menghasilkan perubahan dalam
aktivitas sistem saraf pusat.

Tindakan anestesi umum dengan pemberian obat-obat anestesi yang mempengaruhi


berberapa target organ sistem teruma pada sistem saraf pusat diduga salah satu factor
yang dapat meningkatkan angka morbiditas pasien dan kejadian gangguan fungsi kognitif
pasca operasi namun masih harus dilakukan penelitian yang lebih mendalam lagi terhadap
pengaruh obat-obat anestesi terhadap kejadian ini.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Encarta Dictionary Tools Version 14.0.0.0603 (1993-2004). Redmon, WA : Microsoft


Encarta Program
2. Bruce Berger Ph.D. Persuasive Communication Part I. (2006) U.S. Pharmacist a
Jobson Publication
3. Sternberg, R.J. Cognitive Psychology. (2006) Belmont, CA: Thomson Wadsworth
4. Hartono B. Konsep dan pendekatan masalah kognitif pada usia lanjut: Terfokus pada
deteksi dini. Dalam: Cognitif problem in elderly. Temu Regional Neurologi Jateng-
DIY ke XIX, 2002: 1-6.
5. Purwadi T. Manajemen penderita Mild Cognitive Impairment (MCI). Simposium
Demensia. Pertemuan Ilmiah Nasional Neurogeriatri Pertama. Jakarta. 2002: 7-14.
6. Lamsudin R. Demensia vaskuler. Tinjauan aspek serebrovaskuler-patologi, kriteria,
diagnosis, epidemiologi, faktor risiko, pencegahan dan pengobatan. Berkala Neuro
Sains, 1999; vol 1 (1): 1-10.
7. Abildstrom H, Rasmussen LS, Rentowl P, dkk. Disfungsi kognitif 1-2 tahun setelah
operasi non-jantung pada orang tua Acta Anaesthesiol Scand 2000; 44:. 1246 -51
8. Abildstrom H, Christiansen M, Siersma VD dan Rasmussen LS untuk ISPOCD2
Penyidik. Apolipoprotein E genotipe dan disfungsi kognitif setelah operasi noncardiac
Anestesiologi 2004; 101:855 -61
9. Lar Rasmussen, Jan Stygall, Stantan P Newman, Capter 89. Cognitive Dysfungtion
and Other Long-Term Complication of Surgery and Anesthesia page in Miller’s
Anesthesia, seventh edition, 2010.
10. Abildstrom H, Rasmussen LS, Rentowl P, dkk. Disfungsi kognitif 1-2 tahun setelah
operasi non-jantung pada orang tua Acta Anaesthesiol Scand 2000; 44:. 1246 -51.
11. Gustafson Y, Brannstrom B, Berggren D, et al. Sebuah program geriatri-
anesthesiologic untuk mengurangi negara confusional akut pada pasien usia lanjut
dirawat karena patah tulang leher femur J Am Geriatr Soc 1991; 39:. 655 -62.
12. S.Jithoo, Cognitive Dysfunction in Anesthesia, University of Kwazulu-Natal, 17
October 2008.
13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for Neurosurgery. In : Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York: A Lange Medical Books; 2006, 631-40.
14. Newman MF, Kirchner JL, Phillips-Bute B et al, Longitudinal Assesment of
Neurocognitive function after coronary-artery bypass surgery. N Engl J Med
2001;344: 395-402.
15. Gaudreau JD, Gagnon P, Harel F, Tremblay A, Roy MA: Fast, systematic, and
continuous delirium assessment in hospitalized patients: the nursing delirium
screening scale. J Pain Symptom Manage 2005, 29(4):368-375.
16. Katzman R, Brown T, Fuld P, Peck A, Schechter R, Schimmel H: Validation of a
short Orientation-Memory-Concentration Test of cognitive impairment. Am J
Psychiatry 1983, 140(6):734-739.
17. Radtke FM, Franck M, Schneider M, Luetz A, Seeling M, Heinz A, Wernecke KD,
Spies CD: Comparison of three scores to screen for delirium in the reco very
room. Brit J Anaesth 2008, 101(3):338-343.
18. Dunnett CW: A multiple comparison procedure for comparing several treatments
with a control. J Am Stat Ass 1955, 50(4):1096-1121.
19. Marcantonio ER, Flacker JM, Wright RJ, Resnick NM: Reducing delirium after hip
fracture: a randomized trial. J Am Geriatr Soc 2001, 49(5):516-522.
22

20. Farrington CP, Manning G: Test statistics and sample size formulae for
comparative binomial trials with null hypothesis of non-zero risk difference or
non-unity relative risk. Stat Med 1990, 9(12):1447-1454.
21. George J, Rockwood K: Dehydration and delirium: not a simple relationship. J
Gereontol A Biol Sci Med Sci 2004, 59(8):811-812.
22. Radtke FM, Franck M, Macguill M, Seeling M, Lütz A, Westhoff S, Neumann U,
Wernecke KD, Spies CD: Duration of fluid fasting and choice of analgesic are
modifiable factors for early postoperative delirium. Eur J Anaesthesiol 2009,
27(5):411-416.
23. Bilotta F, Caramia R, Paoloni FP, Favaro R, Araimo F, Pinto G, Rosa G: Early
postoperative cognitive recovery after remifentanil-propofol or sufentanil-
propofol anesthesia for supratentorial craniotomy: a randomized trial. Eur J
Anaesthesiol 2007, 24(2):122-127.
24. Bilotta F, Spinelli F, Centola G, Caramia R, Rosa G: A comparison of propofol and
sevoflurane anaesthesia for percutaneous trigeminal ganglion compression. Eur J
Anaesthesiol 2005, 22(3):233-235.
25. Bilotta F, Fiorani L, La Rosa I, Spinelli F, Rosa G: Cardiovascular effects of
intravenous propofol administered at two infusion rates: a transthoracic
echocardiographic study. Anaesthesia 2001, 56(3):266-271.
26. Bilotta F, Ferri F, Soriano SG, Favaro R, Annino L, Rosa G: Lidocaine pretreatment
for the prevention of propofol-induced transient motor disturbances in children
during anesthesia induction: a randomized controlled trial in children
undergoing invasive hematologic procedures. Paediatr Anaesth 2006, 16(12):1232-
1237.
27. Petersen KD, Landsfeldt U, Cold GE, Petersen CB, Mau S, Hauerberg J, Holst P,
Olsen K: Intracranial pressure and cerebral hemodynamic in patients with
cerebral tumors: a randomized prospective study of patients subjected to
craniotomy in propofol-fentanyl, isoflurane-fentanyl, or sevoflurane-fentanyl
anesthesia. Anesthesiology 2003, 98(2):329. Trescot AM, Datta S, Lee M, Hansen H:
Opioid Pharmacology. Pain Physician 2008, 11(Suppl 2):S133-S153.
23
23

Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)

Anda mungkin juga menyukai