Anda di halaman 1dari 11

Nama asisten : Alexander Dimitry

Tanggal Pengumpulan : 19 November 2018

LAPORAN PENGAMATAN BIOKIMIA PANGAN


DAGING DAN IKAN

Kelompok 3
Kevin Arif Rizkiansyah Oktaviano 240210170011
Ailsa Sherly Evelina 240210170013
Nurisa Fadillah Isnaeni 240210170014
Alifah Salma Abdullah 240210170015
Salma Raudhatuljannati 240210170017
Nisyrah Sitha 240210170018

ABSTRAK
Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test test test
test test test test test Test test test test test test test test Test test test test test test
test test Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test
test test test test test test test Test test test test test test test test Test test test test
test test test test Test test test test test test test test Test test test test test test test
test Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test test
test test test test test test Test test test test test test test test Test test test test test
test test test Test test test test test test test test Test test test test test test test test
Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test test test
test test test test test Test test test test test test test test

Kata Kunci: Test, Test, Test


PENDAHULUAN
Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sekaligus media
yang baik untuk perkembangan mikroorganisme. Penanganan pasca panen daging
segar mutlak diperlukan untuk meminimalkan penurunan mutu dan kerusakannya.
Hal tersebut meliputi penanganan daging postmortem pelayuan, penyimpanan,
pendistribusian hingga pemasaran. Selain itu faktor sanitasi (hygiene) juga sangat
penting untuk dilakukan dalam setiap praktek penanganan pasca panen daging
segar (Susanto, 2014). Daging merupakan bagian dari hewan potong yang
digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang
menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi
(Lawrie,1979). Jenis-jenis daging yang ada dipasaran terdiri atas daging sapi,
daging domba, daging kambing, daging unggas, dan lain-lain.
Daging yang sudah dilakukan pemotongan akan mengalami perubahan-
perubahan biokimia, seperti penurunan suhu, berlangsungnya proses glikolisis
anaerob, penurunan pH, dan lain-lain. Lawrie (1979) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi penurunan pH daging postmortem dapat dibagi menjadi dua
yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu
lingkungan, penanganan ternak sebelum dipotong dan suhu penyimpanan,
sedangkan faktor intrinsiknya adalah kandungan glikogen daging, spesies, tipe
otot,dan stres pada ternak.
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food).
Indikator mutu atau kesegaran ikan dapat ditentukan dengan mengukur degradasi
ATP (adenosine trifosfat) dengan perhitungan nilai-K. Bersamaan dengan nilai-K,
penurunan kesegaran ikan juga dapat diukur dengan uji organoleptik. Kandungan
gizi dan air dalam ikan sangat tinggi, sehingga dapat dijadikan media untuk
perkembangan mikroorganisme. Hal tersebut dapat dicegah dengan dilakukan
pengolahan dan penyimpanan yang baik pada ikan. Salah satu teknik penanganan
ikan yang paling umum dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan adalah
penggunaan suhu rendah. Kondisi suhu rendah menyebabkan pertumbuhan
bakteri pembusuk dan proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh
ikan yang mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat. Jenis ikan
yang terdapat dipasaran yaitu sangat beragam yang terdiri dari jenis ikan tawar
dan ikan laut, salah satunya yaitu ikan tuna.
Daging dan ikan dapat tetap dijaga kualitasnya yaitu dengan cara
dilakukan pengolahan menjadi suatu produk bahan makanan, sehingga dapat
dikonsumsi oleh konsumen dalam jangka waktu yang lama. Daging sapi dapat
diolah menjadi bakso, rendang, gulai, sate, dan lain-lain, sedangkan ikan tuna
dapat diolah menjadi otak-otak, abon, batagor, dan lain-lain. Proses pengolahan
yang terjadi dapat menyebabkan perubahan biokimia yang terjadi dalam daging
dan ikan tersebut. Selain itu, penggunaan teknologi juga dapat dilakukan dalam
proses pengolahan untuk mendapatkan kualitas produk yang baik. Adapun tujuan
dari tugas ini yaitu untuk mengetahui produk olahan dan perubahan biokimia yang
terjadi dalam suatu pengolahan daging dan ikan, serta teknologi yang
digunakannya.
PEMBAHASAN
Karakteristik Daging Sapi
Daging adalah salah satu produk pangan asal hewani yang mempunyai gizi
tinggi karena mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral Yang
dimaksud dengan daging ialah bagian yang diperoleh dari pemotongan ternak,
baik ternak besar seperti sapi, kerbau dan kuda, ternak kecil kambing, domba
maupun ternak unggas. Daging yang tidak sehat bila dikonsumsi dapat
menyebabkan sumber penyakit akibat keracunan makanan bagi manusia, untuk itu
perlu diketahui berbagai jenis dan kriteria daging yang sehat dan baik. Secara
umum daging yang sehat dan baik adalah daging yang berasal dari ternak yang
sehat, disembelih di tempat pemotongan resmi, kemudian diperiksa, diangkut
dengan kendaraan khusus dan dijual di supermarket atau di los daging pasar yang
bersih dan higien. Sifat-sifat berbagai jenis daging ternak.
Daging sapi berwarna merah pucat, merah keungu-unguan atau kecoklatan
dan akan berubah menjadi warna cherry bila daging tersebut terkena oksigen.
Serabut daging halus tapi tidak mudah hancur dan sedikit berlemak. Konsistensi
liat, jika saat dicubit seratnya terlepas maka daging sudah tidak baik. Lemak
berwarna kekuning-kuningan. Terdapat aroma khas daging sapi.

Gambar 1. Daging Sapi


(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2018)

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, daging sapi di GRIYA


Jatinangor memiliki 2 jenis, yaitu berasal dari lokan dan impor. Daging impor
berasal dari Autralia, biasanya daging yang biasa digunakan untuk rendang.
Distribusi daging dari supplier dalam kondisi beku dan dikemas vakum. Daging
lokal contohnya adalah bagian bagian sirloin. Transportasi distribusi
menggunakan truk pendingin, kondisi daging sudah dipotong, dibekukan, dan
dikemas vakum. Daging sapi dikirim setiap 2 hari sekali.
Dengan menyimpan daging melalui teknik vakum maupun modified
atmosphere packaging melalui pengendalian komposisi dan kadar udara dalam
kemasan dapat menghambat terjadinya perubahan warna pada daging dan
meningkatkan fator kualitas kesegaran daging. Oksidasi zat warna daging yaitu
myoglobin dapat menyebabkan terbentuknya metmioglobin sehingga daging
berwarna menjadi coklat. Dengan menggunakan teknik pengemasan vakum
maupun modified atmosphere packaging (komposisi udara : 20/70/10%
CO2/O2/N2) dapat menyebabkan penurunan oksidasi myoglobin menjadi
metmioglobin. Sehingga kualitas warna daging akan lebih baik dengan
mengunakan teknik pengemasan tersebut (Kirkin, 2016).
Cara Penyimpanan di GRIYA Jatinangor juga terdapat 2 perlakuan.
Tempat penyimpanan suhu diatas -20 (freezer) untuk daging beku yang tidak
untuk dimasak langsung. Daging dikemas dalam sterofoam dan cling wrap dalam
keadaan beku, diletakkan di dalam freezer. Tempat penyimpanan suhu -15 ,
untuk daging yang akan dimasak langsung. Daging diletakkan di tempat
pendingin display. Hal tersebut dilakukan karena semakin rendah suhu
penyimpanan, maka semakin lama umur penyimpanan daging. Daging yang sudah
tidak layak konsumsi akan dibuang atau dimusnahkan.

Perubahan Biokimia Daging Sapi yang Diolah Menjadi Bakso

pH daging pada ternak hidup berkisar antara 6,8-7,2, sedangkan menurut


Buckle et al (1987) pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Pada
beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada
saat tercapainya rigormortis. Pada saat itu nilai pH daging ada yang tetap tinggi
yaitu sekitar 6,5-6,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat
cepat yaitu mencapai 5,4-5,6.
Menurut Winarno (1997), pH bakso memiliki rata-rata sekitar 6,0 dan
menurut Bourne (2002) pH bakso berkisar antara 5,5 sampai 7,2. Hubungan
antara kandungan asam laktatdengan pH daging, pH daging akan turun bila
terjadiakumulasi asam laktat akibat proses glikolisisselama proses konversi otot
menjadi daging pascapemotongan (Gomez et al., 1995). Menurut Soeparno
(1994), pH daging mempunyai hubungan yang erat dengan warna, tekstur serta
daya ikat air oleh protein daging. Jika pH tinggi, maka daya ikat air juga tinggi,
karena protein otot tidak terdenaturasi. Faktor yang mempengaruhi nilai pH
daging adalah faktor intrinsik (spesies, tipe otot, glikogen otot, dan variabilitas
diantara ternak) dan faktor ekstrinsik (temperatur lingkungan, perlakuan aditif
sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan).
Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan biofisika
yang ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan glikolisis
secara anaerobik. Mekanisme anaerobic ini terjadi karena otot-otot tidak
mendapatkan lagi oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot
masih tetap hidup dengan menghabiskan cadangan energinya (Abustam dan Ali,
2012).
Pada daging olahan, warna yang dibentuk merupakan hasil dari berbagai
proses dan reaksi yang sangat beragam. Faktor yang turut mempengaruhi warna
daging olahan antara lain adalah suhu, bahan tambahan dan proses pembuatannya.
Lama pelayuan menyebabkanoksidasi dan polimerasi lemak dan protein yang
memberikan andil pada warna daging masak.
Kekenyalan atau elastisitas adalah kemampuan makanan kebentuk semula
setelah diberi tekanan. Menurut Soeparno (2009), faktor yang berpengaruh
terhadap nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak marbling yang terdapat
dalam produk, juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi terhadap
daya ikat air oleh protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging.
Kekenyalan dari bakso dipengaruhi oleh daya mengikat air dari daging yang
tinggi. Daya mengikat air dapat didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan dari luar seperti
pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Meningkatnya kadar
protein semakin meningkatkan kekenyalan bakso karena semakin tinggi air yang
terikat, dengan demikian kesukaan kekenyalan bakso oleh panelis lebih tinggi.
Semakin besar daya mengikat air, semakin tinggi persentase air yang terikat
dalam produk.

Teknik Pengolahan Daging Sapi Menjadi Bakso


Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang
dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-bulatan, dan
selanjutnya direbus. Parameter mutu bakso yang diperhatikan para pengolah
maupun konsumen adalah tekstur, warna dan rasa. Tekstur yang biasanya disukai
adalah yang halus, kompak, kenyal dan empuk. Halus dimana permukaan
irisannya rata, seragam dan serta dagingnya tidak tampak.
Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan baku utama dan bahan baku
tambahan. Bahan utamanya adalah daging, sedangkan bahan tambahannya adalah
bahan pengisi, garam, penyedap dan es atau air es. Hampir semua bagian daging
dapat digunakan untuk membuat bakso. Jenis daging yang sering digunakan
antara lain daging penutup, pendasar gandik, lamusir, paha depan dan iga.
Umumnya daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang
sesegar mungkin, yaitu yang diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa
mengalami proses penyimpanan atau pelayuan. Komponen daging yang
terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein.
Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama
pemasakan dan pengmulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak dan
kenyal. Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah
tepung pati, misalnya tepung tapioka dan tepung pati aren. Bahan pengisi
mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi, sedangkan kandungan proteinnya
rendah. Bahan tersebut tidak dapat mengemulsikan lemak tetapi memiliki
kemampuan dalam mengikat air. Penggunaan tepung pati dalam pembuatan
bakso untuk konsumsi rumah tangga biasanya 4 – 5 persen dari berat daging.
Sedangkan pada pembuatan komersial, penambahan tepung berkisar antara 50
sampai 100 persen dari berat daging. Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya
produksi dan mengurangi harga bakso. Penambahan tepung terlalu tinggi akan
menutup rasa daging sehingga rasa bakso kurang disukai konsumen.
Garam dapur dan MSG (monosodium glutamat) sama-sama memiliki
fungsi sebagai pemberi rasa pada produk bakso. Perbedaanya, garam dapur selain
memberi rasa juga berfungsi sebagai pelarut protein, pengawet dan meningkatkan
daya ikat air dari protein daging. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso
berkisar antara 5 – 10 persen dari berat daging. Sedangkan penambahan MSG
umumnya berkisar antara 1 sampai 2.5 persen dari berat daging.
Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya.
Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es,
supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air
berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata keseluruh
bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dari daging dan membantu
dalam pembentukan emulsi. Air ditambahkan sampai adonan mencapai tekstur
yang dikehendaki. Jumlah penambahan air biasanya berkisar antara 20 – 50
persen dari berat daging yang digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi
oleh jumlah tepung yang ditambahkan. Untuk menghasilkan tekstur adonan yang
sama, semakin banyak penambahan tepung semakin banyak air yang harus
ditambahkan.
Bahan-bahan lain yang sering digunakan dalam pembuatan bakso adalah
bahan pemutih, bahan pengawet, boraks dan tawas. Bahan pemutih yang biasa
digunakan adalah Titanium dioksida (Ti02). Penambahan Ti02 ke dalam bakso
diperkirakan antara 0.5 sampai 1 persen dari berat adonan. Fungsi bahan ini
adalah untuk menghindari warna bakso yang gelap. Bahan pengawet yang biasa
digunakan dalam bakso adalah benzoat. Pemakaian benzoat dilakukan dengan
cara mencampurkan nya ke dalam adonan bakso, sebanyak 0.1 sampai 0.5 persen
dari berat adonan.
Peraturan Menkes RI membatasi penggunaan benzoat dalam produk
pangan maksimum 0.1 persen dari berat produk. Boraks (Na2B407-1OH2O)
berupa serbuk putih sering digunakan oleh pengolah bakso dengan maksud
menghasilkan produk yang kering (kasat dan tidak lengket). Tetapi dalam
peraturan kesehatan, boraks termasuk salah satu bahan kimia yang dilarang
penggunaannya dalam produk pangan. Tawas (A12 (SO4)3) digunakan dalam air
yang digunakan untuk merebus bakso. Jumlah penambangannya sekitar 1 sampai
2 gram per liter air. Tujuan penggunaan tawas adalah untuk mengeraskan
permukaan bakso dan memberi
warna yang cerah.
Sodium tripolifosfat yang ditambahkan ke dalam adonan bakso dapat
mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan pada bakso. Penggunaan
polifosfat sebanyak 0.75 persen dari berat daging dan penambahan garam dapur
sebanyak 2.0 persen memberikan nilai penerimaan konsumen yang sangat baik.
Penambahan polifosfat yang lebih tinggi dapat menyebabkan rasa pahit.
Selain itu terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
penambahan es batu pada saat proses penyimpanan daging sapi. Penambahan es
batu sangat penting untuk menjaga suhu daging agar tetap dingin saat digiling.
Hal tersebut disebabkan gesekan pisau dan mesin penggiling menghasilkan panas
yang dapat menyebabkan proses denaturasi protein pada daging. Denaturasi
protein tersebut dapat membuat adonan tidak bagus. Kedua, penggilingan
dilakukan sehalus mungkin apabila hasil bakso yang diinginkan polos dan mulus.
Penggilingan juga harus sesuai dengan kapasitas food processor yang dimiliki.
Sebagai contoh, mempertimbangkan berapa berat daging yang mampu digiling
dalam mesin sehingga tidak memaksakan menggiling dalam jumlah banyak. Hal
tersebut dilakukan agar hasilnya lebih maksimal. Ketiga, pemakaian garam tidak
terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Garam memiliki sifat higroskopis yang
mengikat molekul air sehingga pemakaian garam yang cukup dapat membantu
adonan daging menjadi lebih kesat. Namun, apabila pemakaian garam terlalu
banyak, akan mempengaruhi cita rasa bakso tersebut.
Gambar 2. Bakso Daging Sapi
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2018)

Karakteristik Ikan Tuna


Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae. Tubuhnya seperti cerutu,
mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah
dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) debelakang sirip
punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip
ekor bercagak agak kedalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung
hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan
agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan
yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap. Selain itu, Ikan
Tuna memiliki kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna
mengandung protein antara 22,6-26,2 g/100 gram daging. Lemak antara 0,2-2,7
g/100 gram daging. Disamping itu ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor,
besi, sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin, dan niasin)
(Maghfiroh, 2007).

Gambar 3. Ikan Tuna


(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2018)
Berdasarkan survei yang telah dilakukan, Ikan Tuna di GRIYA berasal
dari Yogyakarta. Dikirim dalam keadaan sudah dipotong, dikemas plastik vakum
dan dibekukan. Transportasi yang digunakan adalah truk dengan pendingin.
Jumlah yang dikirim tergantung ketersediaan stok yang ada di GRIYA. Ikan tuna
selalu dicek setiap hari kesegarannya. Seminggu sekali (hari Rabu) dilakukan
penggantian label expired produk tersebut. Harga ikan bisa bertambah tinggi atau
turun. Bila ikan tuna sudah tidak layak dikonsumsi akan langsung dibuang.
Penyimpanan ikan tuna : diletakkan di wadah sterofoam dan ditutup cling wrap,
disimpan dalam freezer dengan suhu di atas -20oC
Perubahan Biokimia Ikan Tuna yang Diolah Menjadi Otak-Otak
Pengukusan (steaming) merupakan salah satu metode pemasakan yang
menggunakan panas lembab (moist heat). Pemasakan dengan metode ini dapat
mempertahankan cita rasa alami dari bahan makanan. Terjadi perpindahan panas
secara konveksi dari uap panas ke bahan makanan yang sedang dikukus. Bahan
makanan yang dikukus diletakkan pada wadah atau keranjang di atas air
mendidih, dengan posisi bahan makanan tidak bersentuhan dengan air dan hanya
terpapar oleh uap yang dapat bersirkulasi di sekitar bahan makanan. Pengukusan
umumnya dilakukan terhadap bahan makanan berupa sayuran dan ikan (Labensky
dan Hause 1999). Morris et al. (2006) menyatakan bahwa pengolahan panas dapat
memberikan manfaat maupun merugikan terhadap nilai gizi bahan makanan.
Pengolahan panas dapat bermanfaat karena meningkatkan daya cerna
makanan sehingga meningkatkan ketersediaan beberapa jenis zat gizi. Pengolahan
panas dapat merugikan karena dapat merusak zat gizi contohnya vitamin C dan
lemak. Saldanha dan Bragagnolo (2010) menyatakan bahwa pengolahan panas
berupa pemasakan dapat mengakibatkan terjadinya reaksi oksidasi pada lemak.
Oksidasi 12 lemak merupakan reaksi utama yang mempengaruhi komposisi asam
lemak dan kolesterol, serta terbentuknya COPs (cholesterol oxidation products).
Senyawasenyawa ini berperan dalam meningkatkan risiko berbagai macam
penyakit antara lain arthritis dan kanker.
Pengukusan merupakan salah satu metode pemasakan yang disarankan
untuk pengolahan ikan, khususnya yang memiliki kadar lemak yang tinggi karena
pengukusan tidak meningkatkan kadar lemak pada bahan makanan sehingga aman
dikonsumsi oleh orang-orang yang menerapkan diet rendah lemak (Labensky dan
Hause 1999). De Castro et al. (2007) menyatakan bahwa secara umum hanya
metode pemasakan berupa penggorengan yang meningkatkan kadar lemak pada
ikan, dan hal ini dipengaruhi oleh minyak yang digunakan pada proses
penggorengan.

Teknik Pengolahan Ikan Tuna Menjadi Otak-Otak


Proses pembuatan otak-otak ikan tuna hampir serupa dengan pembuatan
otak-otak lainnya. Pertama-tama, tentunya ikan harus dibersihkan terlebih dahulu.
Ikan dicuci dengan air mengalir sehingga kotoran langsung terbuang. Air yang
digunakan pada proses pencucian ini adalah air yang berasal dari sumur artetis.
Air yang digunakan harus lulus uji secara organoleptic, fisik, dan kimia. Uji
organoleptic yaitu menguji kejernihan warna, rasa, dan bau air. Uji kimia
dilakukan satu kali dalam 3-4 tahun untuk menguji apakah terdapat cemaran
kimia atau tidak. Syarat mutu air yang digunakan dalam industri pangan adalah
tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, jernih, tidak mengandung logam
seperti besi dan mangan, tidak menyebabkan gangguan kesehatan, dan tidak
menyebabkan kebusukan produk (Arpah, 1993). Selanjutnya, proses penggilingan
daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit dan kepalanya. Perlu diperhatikan
bahwa, bagian usus ikan harus dipastikan tidak tercampur dalam penggilingan
karena akan mengubah warna daging giling yang dihasilkan. Menurut Hansen et
al (1998), tulang ikan mengandung mineral terutama kalsium dalam jumlah yang
tinggi dan dapat diserap seperti susu skim. Sehingga, tulang ikan dapat digunakan
sebagai sumber kalsium tambahan dan vitamin D. Maka dari itu, pada saat
penggilingan, duri-duri ikan tidak perlu dihilangkan karena dapat dikonsumsi dan
bermanfaat bagi tubuh. Tahap berikutnya, umumnya, daging dari otak-otak
dilapisi dengan daun lalu memasuki proses pengukusan. Pengukusan adalah
proses pemanasan yang sering diterapkan dengan menggunakan banyak air
(Supriyanto et al , 2006). Sebelum penyimpanan, dilakukan pengukusan yang
bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku sehingga tekstur bahan
menjadi sama. Setelah pengukusan, dilakukan pendinginan agar tidak terlalu
panas saat dikemas. Proses terakhir adalah pengemasan.

Gambar 3. Otak Otak Ikan Tuna


(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2018)

KESIMPULAN
Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test test test
test test test test test Test test test test test test test test Test test test test test test
test test Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test
test test test test test test test Test test test test test test test test Test test test test
test test test test Test test test test test test test test Test test test test test test test
test Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test test
test test test test test test Test test test test test test test test Test test test test test
test test test Test test test test test test test test Test test test test test test test test
Test test test test test test test test Test test test test test test test test Test test test
test test test test test Test test test test test test test test

DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E dan H. M. Ali. 2012. Peningkatan sifat fungsional daging sapi bali
(Longissimus dorsi) melalui asap cair pascamerta dan waktu rigor. Seminar
Nasional “Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional”
14 September 2012. Pusat kajian sapi bali. Universitas Udayana.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito, Bandung.
Bourne, M.C. 2002. Food Texture and Viscocity: Concept and Measurement. 2nd
ed. Academic Press, An Elsevier Science, London.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu
Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
De Castro FAF, Santana HMP, Campos FM, Costa NMB, Silva MTC, Salaro AL,
Franceschini S. 2007. Fatty acid composition of three freshwater fishes under
different storage and cooking processes. Food Chemistry 103: 1080- 1090.
Gomez, K. A. and A. A. Gomez. 1995. Statistical Procedures for Agricultural
Research (Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian, alih bahasa : E.
Sjamsuddin, Justika dan Baharsjah). Edisi ke-2. UI Press, Jakarta.
Hansen, M. , et al. Calcium Absorptiopn from Small Soft-Boned Fish, Research
Department of Human Nutrition/LMC Centre for Advanced Food Studies.
Royal Veterinary and Agricultural University, Frederiksberg, Denmark.
Kirkin, C., Mitrevski, B., Gunes, G., & Marriott, P. J. (2014). Combined
effects of gamma-irradiation and modified atmosphere packaging on quality
of some spices. Food Chemistry, 154, 255–261.
doi:10.1016/j.foodchem.2014.01.002
Labensky SR, Hause AM. 1999. On Cooking, A Textbook of Culinary
Fundamentals. 2 nd edition. London: Prentice-Hall Inc.
Lawrie, R. A. 1979. Meat Science, 3rd edition. Pregamon Press, Oxford.
Morris A, Barnett A, Burrows OJ. 2006. Effect of processing on nutrient content
of foods. CAJANUS 37 (3): 160-164.
Murniyati dan Sunarman. 2010. Jenis ikan tuna di Indonesia. Dewan Ilmu
Pengetahuan dan Industri Sulawesi Tengah
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Saldanha T, Bragagnolo. 2010. Effects of grilling on cholesterol oxide formation
and fatty acids alterations in fish. Ciênc. Tecnol. Aliment. 30(2): 385-390.
Supriyanto, S. , B. Raharjo, dan Y. Marsono. 2006. Kinetika Perubahan Kadar 5
hydroxymethyl 2 furfural (HMF) Bahan Makanan Berpati Selama
Penggorengan. Jurnal Teknologi Pangan, Vol XVII no 2.
Susanto, Edy. 2014. Standar Penanganan Pasca Panen Daging Segar. Jurnal
Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014.Program Studi Peternakan Fakultas
Peternakan Universitas Islam Lamongan.
Trianto, Hari Eko dan Akbarsyah, Teuku Muamar Indra. 2007. Pengalengan Ikan
Tuna Komersial. Squalen Vol. 2 No. 2.
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai