Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
1. SEKILAS TENTANG TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman tuberkulosis (TB) menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan adalah dahak yang
mengandung kuman TB. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk yang terus-menerus dan berdahak, selama 2-3 minggu atau
lebih.
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif, yaitu
pasien yang pada dahaknya ditemukan kuman TB. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman TB yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah; di antaranya karena gizi buruk,
HIV/AIDS atau penyakit lain, misalnya diabetes melitus.
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari pasien TB
akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
tinggi dan 25% sebagai kasus kronis yang tetap menular (WHO, 1996),
saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 2 di dunia setelah India.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis,
TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial-stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara
lain adalah:
1. Kemiskinan;
2. TB terlantar (karena tidak memadainya penemuan kasus,
diagnosis dan penyembuhan);
3. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat;
4. Dampak pandemi HIV.
Sementara itu, upaya penanggulangan TB, meskipun
kuman TB telah ditemukan pada tahun 1882 dan obat anti
tuberkulosis telah ditemukan sejak tahun 1944, secara umum
dikatakan mengalami kegagalan. Sebab utama kegagalan tersebut,
antara lain:
1. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan;
2. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak terstandar,
obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan,
pencatatan dan pelaporan yang tidak terstandar, dsb.);
3. Tidak memadainya tatalaksana pasien (diagnosis dan paduan obat
yang tidak terstandar, gagal menyembuhkan pasien yang telah
diobati);
4. Terlalu percaya dan tergantung (over-reliance) kepada kemampuan
hasil vaksinasi BCG. Beberapa studi menunjukkan vaksinasi BCG
tidak dapat mencegah terjadinya TB postprimer. Vaksinasi BCG
tidak memberikan dampak terhadap transmisi TB. Dengan
demikian vaksinasi BCG tidak dapat menurunkan insidensi TB
BTA positif. Namun vaksinasi BCG dapat menurunkan kejadian
(insidensi) TB tipe berat pada anak (misalnya meningitis
tuberkulosa).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, sebagian besar negara
di dunia yang dikategorikan sebagai high burden countries, jumlah
pasien TB semakin tidak terkendali dengan banyaknya pasien TB yang
tidak berhasil disembuhkan. Menyikapi hal tersebut, pada tahun
1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global
emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia akan menambah
permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan secara
signifikan risiko berkembangnya TB. Negara-negara dengan prevalensi
HIV yang tinggi, terutama pada negara negara sub-sahara Afrika telah
menyaksikan peningkatan jumlah TB yang tajam dengan peningkatan
insidensi dua sampai tiga kali lipat pada tahun 1990 an.
Pada saat yang sama, resistensi ganda kuman TB terhadap
obat anti TB (MDR = Multi Drug Resistance), semakin menjadi masalah
yang serius pada banyak negara di dunia. Resistensi kuman ini
terutama disebabkan tatalaksana pengobatan yang buruk, karena
banyak diciptakan oleh petugas kesehatan, a man made problem.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit
saluran napas pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari
golongan penyakit infeksi.
Tahun 2006, di Indonesia ditemukan dan diobati sekitar
534.000 pasien baru untuk semua pasien TB dengan kematian sekitar
88.000 (Laporan WHO tahun 2008). Dari Survei Prevalensi
Tuberkulosis pada tahun 2004 diperkirakan setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 110 pasien baru TB paru BTA positif.
Program Nasional Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS di
Indonesia dimulai pada tahun 1995. Sampai akhir 2007, program
Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS telah menjangkau 98%
dari jumlah Puskesmas yang ada, namun untuk rumah sakit baru
sekitar 38%, sedangkan BP4/BKPM/BBKPM sekitar 97%.

2. STRATEGI DOTS
Strategi penanggulangan yang direkomendasikan oleh WHO
adalah Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy). Strategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji
coba lapangan dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Bank Dunia menyatakan Strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost effective. Satu studi cost benefit yang
dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa setiap satu
dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB,
akan menghemat sebesar 55 dolar selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana;
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung;
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO);
4. Kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek untuk pasien;
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program TB.
Untuk menjamin keberhasilan penanggulangan TB, kelima
komponen tersebut di atas harus dilaksanakan secara bersamaan.
Pada tahun 1994 Indonesia menguji-cobakan implementasi
Strategi DOTS dengan demonstration area di Provinsi Jambi
(Kabupaten Bungo Tebo) dan Jawa Timur (Kabupaten Sidoarjo). Hasil
uji coba lapangan ini memberi angka kesembuhan yang tinggi lebih
dari 85%. Angka kesembuhan yang tinggi ini penting untuk
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya kekebalan
obat ganda atau Multi Drug Resistance (MDR) yang merupakan
ancaman besar bagi masyarakat.
Sejak tahun 1995, program penanggulangan TB nasional
mengadopsi Strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas
secara bertahap. Sampai tahun 2000 hampir seluruh Puskesmas telah
berkomitmen dan mengadopsi Strategi DOTS yang diintegrasikan
dalam pelayanan primernya.
Pada kenyataannya, pasien TB bukan hanya datang ke
Puskesmas, melainkan juga ke BP4/BKPM/BBKPM, Rumah Sakit,
klinik, DPS dan dokter perusahaan. Dari hasil Survei Prevalensi
Tuberkulosis pada tahun 2004:
 untuk kawasan Sumatera: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM: 44%, Puskesmas 43% dan DPS 12%,
 untuk kawasan Indonesia Timur: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM 31%, Puskesmas 53% dan DPS 16%,
 untuk kawasan Jawa-Bali: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM: 49%, Puskesmas 21% dan DPS 29%.

Karena itu perlu ekspansi Strategi DOTS ke UPK terutama RS dan


BP4/BKPM/BBKPM di regional Sumatera dan Jawa-Bali.
3. PERANAN RUMAH SAKIT DALAM STRATEGI DOTS

Pengembangan Strategi DOTS rumah sakit dilakukan


bersamaan dengan peningkatan kualitas program penanggulangan TB
di kabupaten/kota dengan mempertahankan :
 Angka Konversi > 80% dan
 Angka Kesembuhan Penderita > 85%.
Berikut ini adalah langkah-langkah keterlibatan rumah sakit dalam
program penanggulangan TB dengan Strategi DOTS :
1) Melakukan asesmen dan analisa situasi untuk mendapatkan
gambaran kesiapan rumah sakit dandinas kesehatan setempat.
2) Komitmen yang kuat dari pihak pemilik, manajemen rumah sakit
(direktur rumah sakit) dan tenaga medis (dokter umum dan
spesialis) serta nonmedis, yang dituangkan dalam bentuk nota
kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara rumah sakit
dan dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota.
3) Menyiapkan tenaga medis, nonmedis (perawat, analis kesehatan,
rekam medik, tenaga kefarmasian dan lain-lain) yang terlatih
DOTS.
4) Membentuk tim DOTS di rumah sakit yang meliputi Gugus tugas-
Gugus tugas terkait dalam pelaksanaan jejaring DOTS di rumah
sakit (Hospital DOTS Linkage = HDL).
5) Menyediakan ruangan untuk Gugus tugas DOTS di dalam rumah
sakit, sebagai tempat koordinasi dan pelayanan terhadap
penderita TB secara komprehensif (melibatkan semua Gugus tugas
di rumah sakit yang menangani pasien TB).
6) Menyediakan tempat / rak penyimpanan paket-paket OAT.
7) Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak
sesuai standar dan ruang/tempat untuk mengeluarkan dahak.
8) Menggunakan format pencatatan sesuai dengan Program Nasional
Penanggulangan TB untuk memantau penatalaksanaan pasien.
9) Dana operasional.

B. TUJUAN PEDOMAN
Mengatur agar pelayanan dan tatalaksana pasien tuberkulosis dengan
menggunakan strategi DOTS di Rumah Sakit dapat berjalan dengan baik,
termasuk didalamnya :
a. Memberikan pelayanan yang komprehensif terhadap pasien dengan
tuberkulosis.
b. Pemantauan pengobatan pasien dengan tuberkulosis.
c. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tuberkulosis.
d. Mendukung pelaksanaan program pemberantasan tuberkulosis
pemerintah.

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN


Pada dasarnya tugas Tim DOTS Rumah Sakit dalam penanggulangan TB
adalah melayani pasien yang datang mencari pengobatan dengan:
1. Melakukan penemuan (diagnosis) kasus TB
 Mengidentifikasi suspek dan mengisi buku daftar suspek TB (TB.06);
 Mengisi formulir untuk Pemeriksaan Dahak (TB.05);
 Mendiagnosis TB pada orang dewasa dan anak sesuai dengan
Program Nasional Penanggulangan TB;
 Menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien;
 Bertanggung jawab dalam pengisian kartu pengobatan pasien TB
(TB.01) dan kartu identitas pasien (TB.02) secara lengkap dan benar.
2. Melakukan pengobatan pasien TB
 Membantu pasien dalam penentuan pilihan tempat pengobatan
selanjutnya;
 Menetapkan paduan OAT yang benar untuk setiap klasifikasi dan
tipe pasien serta bertanggung jawab dalam menetapkan PMO
bersama pasien;
 Memberikan penyuluhan pada pasien, keluarganya dan PMO;
 Bertanggung jawab dalam pengisian kartu pengobatan pasien TB
(TB.01) dan kartu identitas pasien (TB.02) secara lengkap dan benar;
 Mendeteksi dan menangani komplikasi, efek samping dan merujuk
ke RS spesialistik lain bila diperlukan;
 Menangani pasien TB pada beberapa keadaan khusus;
 Menetapkan hasil pengobatan dan mencatat pada kartu pengobatan
pasien;
 Bertanggung jawab dalam pengisian kartu pencatatan lain yang
diperlukan (formulir TB.09 dan TB.10).
3. Melakukan pemantauan dan evaluasi hasil pengobatan
 Bertanggung jawab dalam pemantauan keteraturan pengobatan
 Melakukan analisis hasil pengobatan pasien sesuai dengan indikator;
 Merencanakan tindak lanjut untuk penyelesaian masalah.
 Menentukan jadwal pemeriksaan dahak ulang;
 Menangani pasien mangkir
4. Melakukan Rujukan
 Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, harus dibuatkan surat
pengantar (formulir TB.09) dengan menyertakan fotokopi TB.01 dan sisa
OAT (bila telah diberi pengobatan).
 Keinginan pasien akan dirujuk kemana.
 Berdasarkan kondisi sakit atau keadaan sakitnya (memang perlu untuk
dirujuk).
 Berdasarkan status pembiayaan pelayanan kesehatan, untuk kepesertaan
BPJS, apabila kondisi pasien stabil, pengobatan dilanjutkan di PPK 1 yang
ditunjuk.
 Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
Wasor TB/Koordinator jejaring DOTS RS tentang pasien yang
dirujuk
5. Pencatatan dan Pelaporan
 Melakukan pencatatan suspek dan pasien yang diobati
 Melakukan Pelaporan baik kepada Direktur RSUD Depati Hamzah
dan ke Dinas Kesehatan Kabupaten.

D. BATASAN OPERASIONAL
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis).
2. Metode DOTS
Metode Directly Observed Treatment Short-coursed (DOTS) adalah
suatu stategi yang ditetapkan pemerintah untuk penanggulangan
tuberkulosis dengan mengutamakan prinsip pengawasan langsung oleh
tenaga kesehatan / keluarga terdekat pasien untuk meningkatkan
angka sesembuhan dan menurunkan angka putus obat dan mortalitas
penderita tuberkulosis.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Obat Anti tuberkulosis adalah suatu kombinasi dari empat atau lebih
jenis obat yang ditujukan untuk penyembuhan penderita tuberkulosis.
4. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pihak yang bertanggung-jawab untuk memastikan pasien tidak lupa
dan dapat minum obat secara rutin.
5. Klinik DOTS
Tim di RSUD Depati Hamzah yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan program DOTS untuk TB di RS.

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5063);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
LembaranNegara Nomor 5072);
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4431);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4437);
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2005
tentang pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal ;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ Menkes/Per/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1295/Menkes/Per/XII/2007;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar Pelayanan Minimal Di
Rumah Sakit;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal;
11. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang
Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan/pengobatan Penyakit Paru;
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

JENIS JUMLAH
PENDIDIKAN
KETENAGAAN TENAGA
Penanggung Direktur 1
jawab
Ketua Tim DOTS Dokter spesialis yang bersertifikat 1
pelatihan TB DOTS
Sekretaris Perawat 1
Koordinator Dokter Spesialis yang bersertifikat 1
Jejaring pelatihan TB DOTS
Koordinator Perawat D3 / S1, yang bersertifikat 8
Peawatan pelatihan TB DOTS
Koordinator D3 Analis Laborat 4
Laboratorium
Koordinator Apoteker / Asisten Apoteker 3
Logistik TB

B. PENGATURAN DINAS
Pengaturan jadwal petugas medis maupun non-medis Tim DOTS RSUD
Depati Hamzah disesuaikan dengan jam kerja dan jadwal dinas di bagian
masing-masing.

C. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Disesuaikan dengan jadwal jaga masing-masing petugas.

D. URAIAN TUGAS
1. KETUA TIM DOTS

JABATAN KETUA TIM DOTS


1. Pendidikan : Dokter Spesialis
KUALIFIKASI/ 2. Ketrampilan : -
KRITERIA 3. Pelatihan : Sertifikasi DOTS - TB
4. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab atas pelaksanaan
program implementasi DOTS di rumah
sakit
2. Mengkoordinir pelaksanaan ISTC
TANGGUNG JAWAB
(internasional standard tuberculosis care ).
3. Mengkoordinir pelaksanaan program
implementasi DOTS di RS.

WEWENANG 1. Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan


prosedur pelayanan.
2. Melaksanakan evaluasi dan monitoring
pelaksanaan kegiatan.
3. Melaksanakan pelaporan kegiatan
pelayanan pasien tb sesuai dengan
strategi DOTS kepada atasan.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Menyusun 1.1 Membuat & mengusulkan Pedoman
standard dan Pelayanan
program kerja 1.2 Membuat dan mengusulkan Standar
Tim DOTS Prosedur Operasional (SPO) yang
berkaitan dengan aktivitas di Tim DOTS
1.3 Membuat dan mengusulkan Sasaran
Mutu Tim DOTS.
1.4 Membuat dan mengusulkan program
kerja dan rencana anggaran tahunan
Tim DOTS.
1.5 Membuat rencana/jadwal kegiatan Tim
DOTS.
1.6 Menyusun standar kebutuhan sarana,
alat dan bahan kerja bagian SDM.
2. Menyusun 2.1 Menentukan struktur organisasi,
organisasi dan membagi tugas dan menentukan uraian
mengkoordinasi jabatan di Tim DOTS.
tugas di Tim .
DOTS
3. Mengendalikan 3.1 Membuat laporan dan evaluasi hasil
dan mengawasi kegiatan Tim DOTS secara periodik baik
pelaksanaan bulanan, triwulanan, semesteran
tugas dan maupun tahunan.
memecahkan 3.2 Mengecek, memverifikasi, mengoreksi
masalah-masalah hasil kerja bawahan sebelum diteruskan
yang muncul di kepada bagian lain untuk menjamin
Tim DOTS agar hasil kerja sesuai dengan standar.
berjalan sesuai 3.3 Memecahkan masalah yang berkaitan
tujuan dengan SDM dengan berkoordinasi
dengan bagian terkait.

4. Mengkoordinasi 4.1 Mengkoordinasi penyusunan laporan


penyusunan kegiatan DOTS tiap 3 bulan.
laporan dan 4.2 Melaporkan hasil kegiatan DOTS ke
melakukan Direktur RSUD Depati Hamzah & Dinas
pelaporan rutin Kesehatan Kab Bangka Belitung
ke Direktur RS
dan Dinas
Kesehatan.
5. Melakukan tugas 5.1 Melakukan tugas fungsional dalam
fungsional melayani pemeriksaan, penegakkan
sebagai tenaga diagnosis dan pemberian obat-obatan
kesehatan untuk untuk pasien program DOTS.
DOTS

2. SEKRETARIS TIM DOTS

JABATAN SEKRETARIS TIM DOTS


1 . Pendidikan : DIII Keperawatan
KUALIFIKASI/
2 . Ketrapilan : Komputer .
KRITERIA
3 . Pelatihan :
1. Bertanggung jawab atas ketepatan
pencatatan pendistribusian dan
kerapian serta keamanan data laporan
TANGGUNG JAWAB DOTS.
2. Bertanggung jawab atas ketepatan
pencatatan dan akurasi laporan-laporan
DOTS.
1. Berwewenang menggunakan fasilitas
yang dibutuhkan.
WEWENANG
2. Berwenang mengajukan permintaan
sarana kerja, misal : ATK.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Mempersiapkan 1.1 Melakukan proses pembuatan surat-
surat-surat yang surat (surat permintaan obat, surat
berhubungan rujukan, surat undangan rapat, dll)
dengan sesuai dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan DOTS penatalaksanaan DOTS.
2. Melakukan 2.1. Melakukan pencatatan harian DOTS
pencatatan dan 2.2. Melakukan rekapitulasi bulanan dari
pelaporan harian kegiatan DOTS
DOTS 2.3. Melaporkan hasil rekapitulasi kepada
Ketua tim DOTS

3. KOORDINATOR PERAWATAN

JABATAN PERAWAT
1. Pendidikan : D III/S1 Keperawatan
KUALIFIKASI/
2. Pelatihan : Pelatihan / sosialisasi DOTS
KRITERIA
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab dalam melaksanakan
Pencatatan dan Pelaporan di ruangan
masing-masing
2. Bertanggung melakukan pengawasan
TANGGUNG JAWAB pemberian OAT pada pasien TB yang
dirawat di ruang masing-masing.
3. Bertanggung jawab melaporkan hasil
kegiatan DOTS dari ruangan masing-
masing
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
WEWENANG
dibutuhkan.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Melaksanakan 1.1. Melaksanakan pengawasan pemberian
pengawasan OAT pada pasien TB yang dirawat di
pemberian OAT ruang masing-masing
pada pasien TB
yang dirawat di
ruang masing-
masing

4. KOORDINATOR LOGISTIK

JABATAN PELAKSANA INSTALASI FARMASI


1. Pendidikan : S1 Farm. Apoteker
KUALIFIKASI/ 2. Pelatihan : Pelatihan / sosialisasi
KRITERIA eksternal / internal DOTS
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab dalam melaksanakan
tugas-tugas logistik yang berkaitan
dengan ketersediaan OAT dan Non OAT.
2. Bertanggung jawab dalam
TANGGUNG JAWAB
perencanaan,pengadaan dan
penyimpanan logistik TB.
3. Bertanggung jawab dalam
pendistribusian logistik
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
dibutuhkan.
WEWENANG
2. Berwenang mengajukan kebutuhan obat
DOTS.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Mengajukan 1.1. Melakukan perhitungan kebutuhan
permintaan stok obat TB
obat-obat program 1.2. Mengajukan kebutuhan obat TB ke
TB Ketua Tim DOTS

5. KOORDINATOR LABORATORIUM

JABATAN PELAKSANA INSTALASI LABORATORIUM


1. Pendidikan : D III Analis Kesehatan
KUALIFIKASI/
2. Pelatihan :
KRITERIA
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab melakukan
pemeriksaan laboratorium terkait DOTS,
misal BTA, dll.
TANGGUNG JAWAB
2. Bertanggung jawab dalam pencatatan
dan pelaporan hasil pemeriksaan sputum
pasien suspek TB.
1. Berwewenang menggunakan fasilitas
WEWENANG
yang dibutuhkan.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Melaksanakan 1.1. Mencatat / mendokumentasikan
pencatatan dan pasien-pasien yang diperiksakan sputum.
pelaporan pasien 1.2. Merekapitulasi dan melaporkan hasil
yang diperiksa pencatatan ke sekretaris DOTS
sputum
2. Melakukan 2.1. Melakukan pemeriksaan laboratorium
pemeriksaan terkait DOTS, terutama pemeriksaan
laboratorium sputum BTA
terkait DOTS, misal
BTA, dll.
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang dapat digunakan oleh Tim DOTS RSUD Depati Hamzah
adalah :
1. Ruangan khusus dan tersendiri untuk melayani pasien tuberkulosis
yang disebut sebagai “Ruang DOTS”.
2. Bilik Khusus untuk berdahak ( Ruang Berdahak )
3. Meja Konsultasi 1 buah
4. Kursi 2 buah
5. Kursi tunggu pasien
6. Kalender Jadwal Pasien 1 buah
7. Rak Obat 1 buah
8. Lemari Arsip 1 buah
9. Stetoskop 1 buah
10. Tensimeter 1 buah
11. Timbangan BB 1 buah
12. Kipas Angin 1 buah
13. Masker Bedah 1 dus
14. Masker N95
15. ATK
16. Formulir dan buku pencatatan TB
 TB.01 : Kartu Pengobatan Pasien TB
 TB.02 : Kartu Identitas Pasien TB
 TB.03 UPK : Register Pasien TB di UPK
 TB.04 : Register Laboratorium TB
 TB.05 : Formulir Permohonan Laboratorium TB untuk
Pemeriksaan Dahak
 TB.06 : Buku Daftar Tersangka Pasien (Suspek) TB
 TB.09 : Formulir Rujukan/ Pindah Pasien TB
 TB.10 : Formulir Hasil Akhir Pengobatan Pasien Pindah
B. DENAH RUANGAN DOTS

Poliklinik paru

Area Parkir
Area Parkir

Ruang Tunggu

Ruang Tunggu

Poliklinik Paru Ruang Tindakan Ruang


Non TB Nebulizer Spirometri

Booth
Sputum

Poliklinik gigi Laboratorium


BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe
pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan
dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat.

Strategi penemuan
 Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di
unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
 Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang
menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
 Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

Gejala klinis pasien TB


 Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan.
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis
kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Pemeriksaan dahak mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan denganmengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,
suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
 P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah
pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan
identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

Pemeriksaan Tes Resistensi


Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi
kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality
Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan
simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah.

1. DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
 Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
 Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Diagnosis TB ekstra paru.


 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada
pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis
TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung
pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Gambar 4.1. Alur Diagnosis TB Paru
Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis
spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

Indikasi pemeriksaan foto toraks


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan
tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan
untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif. (lihat bagan alur)
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
(lihat bagan alur)
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti:
pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat
(untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

2. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang
meliputi empat hal, yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah :
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada
fasilitas biakan, sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1. menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi,
2. menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya
lebih biaya efektif (cost-effective)
3. mengurangi efek samping.
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:


1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif
harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk
berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
 Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien
tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
 Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada
organ yang penyakitnya paling berat.

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.

6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik,
yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi
kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik,
danpertimbangan medis spesialistik.
3. PENGOBATAN TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Jenis, sifat dan dosis OAT


Tabel 4.1. Jenis, sifat dan dosis OAT

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat
sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia :
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT
ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas
dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek
samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan
mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan
meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya.


a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 4.2a. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Tabel 4.2b. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 4.3a. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 4.3b. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Catatan:
 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa
memperhatikan berat badan.
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml
sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama
sebulan (28 hari).

Tabel 4.4a. Dosis KDT untuk Sisipan


Tabel 4.4b. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon
tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh
lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkanterjadinya risiko resistensi
pada OAT lapis kedua.

4. TATALAKSANA TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka
diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor . Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
telah membuat Pedoman NasionalTuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh
program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Lihat tabel 3.5. tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan
pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara
klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti
bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.

Tabel Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan


penunjang TB
Catatan :
 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
 Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan
lain-lain.
 Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan.
 Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan
sistem skoring TB anak.
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya :
 kejang, kaku kuduk
 penurunan kesadaran
 kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

Gambar 4.6. Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan


kesehatan dasar
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan,
lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak
diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak.

Tabel 4.7a. Dosis OAT Kombipak pada anak


Keterangan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
• Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB dengan BTA positif,
perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5,
kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut
belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

5. PENGAWASAN MENELAN OBAT


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk
menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
 Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu
harus disegani dan dihormati oleh pasien.
 Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
 Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b. Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru
Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

c. Tugas seorang PMO


 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB
untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk
mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
 TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
 TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
 Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
 Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
 Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
 Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

6. PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak
secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif
bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.8. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak


Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur

Tabel 4.9. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5
bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus
diperiksa dahak.

b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif Sembuh


Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya
negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

c. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan
sembuh atau gagal.

d. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
e. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak
diketahui.

f. Default (Putus berobat)


Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
g. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.

7. EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Tabel 4.10 Efek samping ringan OAT

Tabel 4.11. Efek samping berat OAT


Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab
lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada
sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti
ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah
berat, pasien perlu dirujuk

Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara
“drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
 Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk
membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-
rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
 Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol
atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti
obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.
 Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin.
Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi
pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat

8. JEJARING INTERNAL DAN EKSTERNAL RSUD Depati Hamzah


Rumah sakit memiliki potensi yang besar dalam penemuan penderita (case finding) TB, namun memiliki
keterbatasan dalam pemantauan pengobatan penderita (case holding) jika dibandingkan dengan Puskesmas.
Karena itu perlu dikembangkan jejaring rumah sakit, baik internal maupun eksternal.

a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring antar semua Gugus tugas yang terkait dalam menangani pasien TB di dalam
RSUD Depati Hamzah. Koordinasi kegiatan dilaksanakan oleh Tim DOTS rumah sakit. Tim DOTS RS adalah tim
yg dikukuhkan dengan SK Direktur RS yang bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan DOTS di RS,
serta mengkoordinasikan semua kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Jejaring Internal RSUD Depati Hamzah

Fungsi masing-masing Gugus tugas dalam jejaring internal RS :


a. Klinik DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh pasien tuberkulosis di rumah sakit dan pusat
informasi tentang tuberkulosis. Kegiatannya juga meliputi konseling, penentuan klasifikasi dan tipe,
kategori pengobatan, penentuan PMO, follow up hasil pengobatan dan pencatatan.
b. Poli umum, IGD, dan poli spesialis berfungsi menjaring tersangka pasien TB, menegakkan diagnosis,
pengobatan serta menginformasikan dan atau mengirim pasien ke Tim DOTS RS;
c. Rawat Inap berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam melakukan penjaringan tersangka serta
perawatan dan pengobatan pasien TB;
d. Laboratorium (mikrobiologi dan patologi anatomi) berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik;
e. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik;
f. Farmasi berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap manajemen OAT di RS;
g. Pencatatan dan pelaporan TB dilakukan oleh petugas administrasi TB di Tim DOTS. Petugas rekam medis
berfungsi sebagai pendukung data TB di RS;
h. Koordinator Perawat Tim DOTS berfungsi sebagai pelaksana penyuluhan TB DOTS di RS.

Alur Penatalaksanaan Pasien Tuberkulosis Di RSUD Depati Hamzah


Penjelasan Alur penatalaksanaan pasien tuberkulosis di rumah sakit:
 Suspek TB atau pasien TB dapat datang ke Poli Umum/IGD atau langsung ke poli spesialis (Penyakit
Dalam, Paru, Obgyn, Anak, Bedah, Syaraf dan lain-lain).
 Suspek TB dari poli maupun rawat inap dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang (Laboratorium
Mikrobiologi, PK, PA dan Radiologi).
 Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang bersangkutan. Diagnosis dan klasifikasi dilakukan
oleh dokter poliklinik/rawat inap atau Tim DOTS.
 Untuk pasien rawat jalan, setelah diagnosis TB ditegakkan pasien dikirim ke Klinik DOTS untuk diregistrasi
(bila pasien meneruskan pengobatan di RS tersebut) disepakati PMO, diberi penyuluhan dan tata cara
pengambilan obat dan mengisi kartu TB.01. Bila pasien tidak menggunakan obat paket, pencatatan dan
pelaporan dilakukan di Gugus tugas masing-masing dan kemudian dilaporkan ke Klinik DOTS.
 Untuk pasien rawat inap, petugas rawat inap menghubungi Tim DOTS untuk registrasi pasien (bila pasien
meneruskan pengobatan di rumah sakit tersebut), paket OAT dapat diambil di farmasi.
 Rujukan (pindah) dari/ ke UPK lain berkoordinasi dengan Tim DOTS

b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara RSUD Ajibarang dengan dinas kesehatan, Puskesmas,
dan UPK lainnya terkait dalam penanggulangan TB dengan Strategi DOTS.
Tujuan jejaring eksternal:
 Semua pasien tuberkulosis mendapatkan akses pelayanan DOTS yang berkualitas, mulai dari diagnosis,
follow up sampai akhir pengobatan ,
 Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga mengurangi jumlah pasien yang
putus berobat .

9. MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH


Prinsip: memastikan pasien TB yang dirujuk/pindah akan menyelesaikan pengobatannya dengan benar di tempat
lain.

Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke UPK lain


 Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka harus dibuatkan kartu pengobatan
pasien TB (TB.01) di rumah sakit.
 Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, harus dibuatkan surat pengantar (formulir TB.09) dengan
menyertakan fotokopi TB.01 dan sisa OAT (bila telah diberi pengobatan).
 Formulir TB.09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk diserahkan kepada RS/UPK yang dituju.
 Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke Wasor TB/Koordinator jejaring DOTS RS
tentang pasien yang dirujuk

10. MEKANISME PELACAKAN PASIEN MANGKIR


Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak datang untuk periksa ulang/mengambil obat
pada waktu yang telah ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga 2 hari pada tahap awal atau 7 hari pada fase lanjutan, maka petugas di
Tim DOTS RS harus segera melakukan tindakan di bawah ini:
 Menghubungi pasien / PMO/ Kader TB
 Petugas di DOTS RS menginformasikan ke Wasor Kota/kabupaten, bahwa ada pasien mangkir dengan identitas
dan alamat lengkap untuk segera dilakukan pelacakan,
 Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas/ Kader TB segera diinformasikan kepada rumah
sakit yang merujuk atau Wasor Kota/ Kab.
 Bila proses ini menemui hambatan, harus diberitahukan ke Wasor TB/ koordinator jejaring DOTS rumah sakit.

11. MULTI-DRUG RESISTANCE TUBERCULOSIS


Multi-Drug Resistance Tuberculosis Atau MDR-Tb adalah jenis tuberculosis yang sudah resisten terhadap minimal
2 jenis obat TB lini pertama yang paling poten, yaitu Isoniazid (INH) dan Rifampicin (R).

Kriteria Suspek MDR TB :


1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak
konversi setelah 3 bulan pengobatan.
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB
yang tidak standar serta menggunakan kuinolon
dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1
bulan.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak
konversi setelah 2 bulan pengobatan.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan
pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2.
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up
(lalai berobat/default).
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat
dengan pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini
warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian
padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara
bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian
OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak
menggunakan TCM TB).

Apabila menemukan pasien yang dicurigai suspek MDR atau yang sudah positif MDR maka, pasien dapat
menjalani pengobatan di RSUD Depati Hamzah baik rawat inap maupun rawat jalan.
BAB V
LOGISTIK

Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang penting dalam program
pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan(Fasyankes).Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik
sehinggaketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai dari perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB,
mulai dari proses penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.Logistik Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan untuk mendukung
tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.

2. Jenis-jenis Logistik P2TB.


Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di Indonesia adalah seluruh jenis
OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI)
dengan memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.
Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah: Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z)Etambutol(E)danStreptomisin (S). Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS).

1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan


Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan
paduan OAT dalam bentuk paket individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis
kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose Combination (FDC) dan kemasan
Kombipak.Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nyatelah ada
seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT
KDT-nya menggunakan4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC. Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet
OAT-nya masih lepasandari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.Baik paket OAT
KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nyadikemas dalam bentuk blister.
Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah:
 Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
 Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
 Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
 Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR

2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR


Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program NasionalPengendalian TB (Kemenkes RI)
menyediakan paduan OAT dalam bentukpaduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua
ditambah OATlini pertama yang masih sensitif. Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan
Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah:
Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduanOAT RR/MDR yang disediakan
adalah:
Nama OAT Dosis Bentuk
 Kanamycin (Km) 1000 mg vial
 Capreomycin (Cm) 1000 mg vial
 Levofloxacin (Lfx) 250 mg tablet
 Moxifloxacin (Mfx) 400 mg tablet
 Ethionamide (Eto) 400 mg tablet
 Cycloserin (Cs) 250 mg kapsul
 Para Amino Salicylic (PAS) 2 g sachet
 Pirasinamid (Z) 500 mg tablet
 Etambutol (E) 400 mg tablet

b. Logistik Non OAT


Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistikNon OAT yang digunakan P2TB
baik dalam pelayanan pasien TB maupun pasien TB resistan obat.

1) Logistik Non OAT Non Resistan


Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak
habis pakai.
 Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:
Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca sediaan, Oli Emersi, Ether
Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,Kertas saring, Kertas lensa, dll.Formulir pencatatan dan
pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13
 Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak
pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet,
Lemari/rak penyimpanan OAT, dll. Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan,
buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.
2) Logistik Non OAT Resistan Obat
Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis
pakai dan tidak habis pakai.
a. Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:
 Cartridge GeneXpert
 Masker bedah
 Respirator N95
 Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
b. Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler Ose, Lampu spiritus/bunsen,
Rak pengering kaca sediaan (slide) Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet,
Lemari/rak penyimpanan OAT, dll.Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan,
buku Petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-lain.
3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.
Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program pengendalian TB, yaitu mulai dari
tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas
maupun fasyankes lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.

B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.


Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar logistik P2TB
tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan
pengelolaan logistik P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, sampai
dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien yang lebih aman yang
meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

B. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN


SASARAN KESELAMATAN PASIEN
RSUD Depati Hamzah menetapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien, yaitu :
a. Ketepatan Identifikasi Pasien
Setiap pasien di Rumah Sakit, baik rawat jalan atau rawat inap harus diidentifikasiyang dilakukan secara
aktif, pasif dan campuran dengan pertanyaan terbuka. Identifikasi pasien menggunakan minimal 2 identitas,
yaitu nama lengkap dan tanggal lahir. Jika 2 identitas minimal tersebut tidak jelas / ada kesamaan dengan
pasien lain maka ditanyakan mengenai alamat tempat tinggal, nama keluarga terdekat, dan agama pasien.
Nomor kamar atau lokasi pasien tidak boleh digunakan sebagai identifikasi.
Identifikasi pasien di unit DOTS dilakukan ketika :
1. Pertama kali konseling diunit DOTS dengan menanyakan identitas pasien
2. Penjadwalan dan pemberian obat OAT,
3. Pemberian darah atau produk darah ketika pasien dirawat inap di RS.
4. Pengambilan darah sputum atau spesimen lain untuk pemeriksaan klinis,
5. Pelaksanaan tindakan radiologik diagnostik, misalnya rontgen thoraks.
6. Memberikan pengobatan atau tindakan lain,
Identifikasi pasien di RSUD Depati Hamzah menggunakan nama lengkap pasien, nomor rekam medis, tanggal
lahir dan gelang .

b. Peningkatan Komunikasi Efektif


Rumah sakit mengembangkan cara pada saat serah terima pasien menggunakan metode SBAR (Situation,
Background, Assessment, dan Recommendation) dan verbal order menggunakan metode TBK (Tulis, Baca,
Konfirmasi). Pada kondisi khusus misalnya di UGD, Kamar Operasi, ICU / ruang perawatan biasa dimana
pasien memerlukan tindakan segera maka proses konfirmasi tidak perlu dilakukan. Hasil pemeriksaan kritis
merupakan hasil yang harus segera dilaporkan karena memerlukan tindakan dan pengobatan segera.

c. Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medication)


Obat kewaspadaan tinggi ada di farmasi dan di Gugus tugas tertentu termasuk juga obat LASA dengan
memenuhi persyaratan pelabelan, penyimpanan, pengendalian, penyimpanan, pengeluaran, pemberian.
Perawat harus melakukan independent double check pada pemberian obat kewaspadaan tinggi yang sesuai
dengan kebijakan pengelolaan obat kewaspadaan tinggi. Untuk program DOTS tidak ada obat-obatan dalam
golongan High Alert.

d. Kepastian Tepat Prosedur, Tepat Lokasi, Tepat Pasien Operasi


Rumah Sakit melibatkan pasien untuk menentukan lokasi operasi dan prosedur yang akan dijalani serta
mengembangkan cara untuk keamanan operasi, menggunakan daftar tilik dari WHO saat sebelum induksi
(sign in), sebelum insisi (time out), dan sebelum meninggalkan ruang operasi (sign out). Dalam DOTS tidak
berhubungan dengan standar Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, dan Tepat Pasien Operasi.

e. Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


RSUD Depati Hamzah menurunkan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dengan cara melakukan cuci
tangan / hand hygiene sesuai langkah-langkah dari WHO dilakukan oleh seluruh petugas klinis dan non klinis
pada saat lima moment kepada pasien. Lima moment kebersihan tangan adalah saat sebelum kontak dengan
pasien, sebelum tindakan asepsis, setelah terkena cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan pasien, dan
setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien. Sebelum melakukan kebersihan tangan wajib melepaskan
perhiasan di tangan dan menjaga kuku tetap pendek, menggunakan air mengalir dan cairan pembersih yang
disyaratkan.
f. Pengurangan Resiko Pasien Jatuh
Melakukan penilaian, intervensi, dan monitoring terhadap pasien beresiko jatuh. Penilaian resiko jatuh di
rawat jalan secara visual dan di rawat inap dengan menggunakan skala Humpty Dumpty untuk anak-anak
dan skala Morse untuk dewasa. Semua pasien anak < 5 tahun, geriatri >60 th, pasien ICUadalah pasien
beresiko jatuh tidak dilakukan penilaian tetapi langsung dilakukan intervensi. Identifikasi pasien resiko jatuh
dengan menggunakan pin kuning yang dipasang bersama gelang identitas, tanda segitiga warna kuning untuk
pasien dewasa dan tanda Humpty Dumpty untuk pasien anak – anak. Interfensi dilakukan setiap shift.
Untuk selebihnya,sasaran keselamatan pasien akan dikoordinasikan dan diatur bersama serupa untuk
seluruh Gugus tugas Rumah Sakit dalam Pedoman Keselamatan Pasien RSUD Depati Hamzah.

C. PEDOMAN PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN DI GUGUS TUGAS DOTS


a. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun nyaris terjadi.
b. Pelaporan insiden dibuat sesuai dengan formulir laporan insiden yang dibuat rumah sakit.
c. Yang menbuat laporan semua staf yang pertama menemukan kejadian dan yang terlibat dalam kejadian.
d. Diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden, mulai dari maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur
pelaporan, mengisi formulir, kapan melaporkan, pengertian-pengertian dalam sistem pelaporan dan cara
menganalisis laporan.
D. ALUR PELAPORAN INSIDEN KE TIM KP RS.
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di unit DOTS, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah / ditangani )
untuk mengurangi dampak / akibat yang tidak diharapkan.
b. Segera buat laporan insidennya dengan mengisi formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja / shift kepada
atasan langsung. (paling lambat 2 x 24 jam.). Jangan menunda laporan.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan langsung pelapor
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap inseden yang dilaporkan.
e. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke
Tim KP RS.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Rumah sakit sebagai salah satu tempat kerja, wajib melaksanakan program K3RS yang bermanfaat baik bagi
SDM Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien, maupun bagi masyarakat di lingkungan sekitar Rumah
Sakit.TIM DOTS sebagai salah satu komponen rumah sakit juga wajib melaksanakan program tersebut mengingat
penyakit Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang infeksius.
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tersebar melalui
diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk, berbicara, menyanyi maupun bersin.
Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang
diudara untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya
ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui
mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB
harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas
kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah yang berasal dari
pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai
kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yangdicurigai atau dipastikan
menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah
penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di
rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.

1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dariupaya manajerial bagi
program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB.
e. Menyediaakan sumber daya untuk terlaksanananya program PPI TB (tenaga, anggaran, sarana dan
prasarana ).
f. Monitoring dan evaluasi.
g. Melakukan pengkajian diunit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait PPI TB.

2. Pengendaliaan administrasi.
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman m.tuberkulosis kepada petugas
kesehatan , pasie , pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan , mendiseminasikan dan memantau
pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup :


a) Strategi tempo ( Temukan pasien secepaynya , Pisahkan secara aman , Obati secara tepat )
b) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
c) Penyediaan tisu dan masker , tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang benar
d) Pemasangan poster , spanduk dan bahan KIE
e) Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
Pengendalian administratif lebih mengutamakn strategi TEMPO yaitu , penjaringan , diagnosis dan pengobatan
TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB secara efektif
Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar , dan ideal untuk diterapan. Dengan
menggunakkan strategi TEMPO akan mengurangi resiko penularan kasus TB dan TB Resistan dan Obat yang
belum teridentifikasi .
Utuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis , dilaksanakan strategi TEMPO
dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk .

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:


a. Temukan pasien secepatnya.
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk mengidentifikasi terduga TB
segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk ke laboratorium.
b. Pisahkan secara aman.
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus dengan area ventilasi
yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.Untuk alasan kesehatan masyarakat,
pasien yang batuk harus didahulukan dalamantrian (prioritas).
c. Obati secara tepat.
Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB kepada orang lain. Pasien
TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobatisesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi
tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk
mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian
dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan
radiasi ultraviolet sebagai germisida.

Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:


a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan
sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan
bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan
secara periodik.

4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.


Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk
menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan
lingkungan. Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan prosedur yang
berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan
pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien
atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan
tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker
bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

A. Pimpinan rumah sakit harus melaksanakan evaluasi pelayanan dan pengendalian mutu TB.dengan kriteria ;
1. Ada program/kegiatan peningkatan mutu pelayanan medis TB yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit,
dengan melakukan kegiatan audit medik.
2. Ada pertemuan berkala secara formal antara pimpinan rumah sakit dan komite medik / Tim DOTS untuk
membahas, merencanakan, dan mengevaluasi pelayanan medis serta upaya peningkatan mutu pelayanan
medis TB.
3. Ada laporan data/statistik serta hasil analisa pelayanan medis TB rumah sakit.
4. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring internal
5. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring eksternal.
6. Ada rencana tindak lajut dari hasil evaluasi.

B. Standar Pelayanan Minimal ( SPM )


Didalam Keputusan Menteri Kesehatan NO.129 tahun 2008 tentang standar pelayanan minimal RS, pelayanan TB
dengan strategi DOTS termasuk dalam indikator penilaian dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM ) RS.
1. SPM Rawat Jalan
a. Penegakan diagnosa TB melalui pemeriksaan mikroskop TB standarnya sama dengan atau lebih dari 60 %.
b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB RS standarnya sama dengan atau kurang dari 60 %
2. SPM Rawat Inap
a. Penegakan diagnosa TB melalui pemeriksaan mikroskop TB standarnya ssama dengan atau lebih dari 60 %.
b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB RS standarnya sama dengan atau lebih dari 60 %

BAB IX
PENCATATAN DAN PELAPORAN

Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilanpelaksanaan program
TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga
dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan,
indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6
bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program, mulai dari
Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi
dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung
dan wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator dan hasil dari supervisi.

1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB


Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar, dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk
diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan
program.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
b. Data sesuai dengan indikator program
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistiminformasi kesehatan
yang generik.

Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan dan pelaporan TB. Pencatatan
menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan
pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik
disemua faskes dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya diwilayah
tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yang
berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan secara Nasional.
Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan pelaksana, sebagai
berikut:

a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan


FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:
1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).
2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).
5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)
6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
8) Register Laboratorium TB (TB.04).
9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)
b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:
1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03).
2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)
3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)
4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)
5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.

2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan program (marker of
progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
 Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
 Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada.
9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan ujikepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR ditemukan.

b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate

c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang untuk pemeriksaan
mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini

d. Formula dan analisa indikator


1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB.
2) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB paru yang
tercatat/diobati.
3) Proporsi pasien baru TB anak diantara seluruh pasien TB.
4) Angka penemuan kasus ( case detecsion rate =CDR ).
5) Angka notifikasi kasus ( Case Notification Rate=CNR )
6) Proporsi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya positif.
8) Angka konversi
9) Angka kesembuhan
10) Angka keberhasilan pengobatan TB
11) Angka keberhasilan pengobatan TB Anak
12) Proporsi anak yangmenyelaesaikan PP INH diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH.
13) Proporsi pasien HIV positif yang menerima PPK
14) Proporsi pasien HIV positif yang menerima ART
15) Proporsi laboratorium yang mengikuti PME ( Pemantauan Mutu Eksternal ).
16) Proporsi Laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopik baik diantara pserta PME uji silang.
17) Proporsi laboratorim dengan frekuensi partisipasi 4 kali pertahun.
18) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada.
19) Pproporsi pasien terkofirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi uji kepekaan OAT lini kedua.
20) Pproporsi pasien terkofirmasi TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan /enroliment rate.
21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau treatment sukses rate.
BAB XI
PENUTUP
Dengan disusunnya Buku Pedoman Pelayanan DOTS di RSUD Depati Hamzah ini, dapat dipakai sebagai acuan
pelaksanaan kegiatan Tim DOTS dalam upaya untuk memberikan pelayanan yang komprehensif terhadap pasien
dengan penyakit tuberkulosis terutama di lingkungan Rumah Sakit dan masyarakat sekitar sehingga diharapkan
dapat membantu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari tuberkulosis.

Harapan kami Pedoman Pelayanan ini dapat menjadi acuan dan pedoman bagi kita, khususnya yang bertugas di tim
DOTS. Pedoman pelayanan ini akan ditinjau ulang secara periodik, oleh sebab itu masukan yang bersifat membangun
sangat kami harapkan.
Akhirnya saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan Buku Pedoman
Pelayanan DOTS di RSUD Depati Hamzah.

DIREKTUR RSUD DEPATI HAMZAH


KOTA PANGKAL PINANG

Dr.NUGROHO MUJI PAMUNGKAS


NIP 198209132008041001

Anda mungkin juga menyukai