PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1. SEKILAS TENTANG TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman tuberkulosis (TB) menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan adalah dahak yang
mengandung kuman TB. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk yang terus-menerus dan berdahak, selama 2-3 minggu atau
lebih.
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif, yaitu
pasien yang pada dahaknya ditemukan kuman TB. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman TB yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah; di antaranya karena gizi buruk,
HIV/AIDS atau penyakit lain, misalnya diabetes melitus.
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari pasien TB
akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
tinggi dan 25% sebagai kasus kronis yang tetap menular (WHO, 1996),
saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 2 di dunia setelah India.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis,
TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial-stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara
lain adalah:
1. Kemiskinan;
2. TB terlantar (karena tidak memadainya penemuan kasus,
diagnosis dan penyembuhan);
3. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat;
4. Dampak pandemi HIV.
Sementara itu, upaya penanggulangan TB, meskipun
kuman TB telah ditemukan pada tahun 1882 dan obat anti
tuberkulosis telah ditemukan sejak tahun 1944, secara umum
dikatakan mengalami kegagalan. Sebab utama kegagalan tersebut,
antara lain:
1. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan;
2. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak terstandar,
obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan,
pencatatan dan pelaporan yang tidak terstandar, dsb.);
3. Tidak memadainya tatalaksana pasien (diagnosis dan paduan obat
yang tidak terstandar, gagal menyembuhkan pasien yang telah
diobati);
4. Terlalu percaya dan tergantung (over-reliance) kepada kemampuan
hasil vaksinasi BCG. Beberapa studi menunjukkan vaksinasi BCG
tidak dapat mencegah terjadinya TB postprimer. Vaksinasi BCG
tidak memberikan dampak terhadap transmisi TB. Dengan
demikian vaksinasi BCG tidak dapat menurunkan insidensi TB
BTA positif. Namun vaksinasi BCG dapat menurunkan kejadian
(insidensi) TB tipe berat pada anak (misalnya meningitis
tuberkulosa).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, sebagian besar negara
di dunia yang dikategorikan sebagai high burden countries, jumlah
pasien TB semakin tidak terkendali dengan banyaknya pasien TB yang
tidak berhasil disembuhkan. Menyikapi hal tersebut, pada tahun
1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global
emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia akan menambah
permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan secara
signifikan risiko berkembangnya TB. Negara-negara dengan prevalensi
HIV yang tinggi, terutama pada negara negara sub-sahara Afrika telah
menyaksikan peningkatan jumlah TB yang tajam dengan peningkatan
insidensi dua sampai tiga kali lipat pada tahun 1990 an.
Pada saat yang sama, resistensi ganda kuman TB terhadap
obat anti TB (MDR = Multi Drug Resistance), semakin menjadi masalah
yang serius pada banyak negara di dunia. Resistensi kuman ini
terutama disebabkan tatalaksana pengobatan yang buruk, karena
banyak diciptakan oleh petugas kesehatan, a man made problem.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit
saluran napas pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari
golongan penyakit infeksi.
Tahun 2006, di Indonesia ditemukan dan diobati sekitar
534.000 pasien baru untuk semua pasien TB dengan kematian sekitar
88.000 (Laporan WHO tahun 2008). Dari Survei Prevalensi
Tuberkulosis pada tahun 2004 diperkirakan setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 110 pasien baru TB paru BTA positif.
Program Nasional Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS di
Indonesia dimulai pada tahun 1995. Sampai akhir 2007, program
Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS telah menjangkau 98%
dari jumlah Puskesmas yang ada, namun untuk rumah sakit baru
sekitar 38%, sedangkan BP4/BKPM/BBKPM sekitar 97%.
2. STRATEGI DOTS
Strategi penanggulangan yang direkomendasikan oleh WHO
adalah Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy). Strategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji
coba lapangan dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Bank Dunia menyatakan Strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost effective. Satu studi cost benefit yang
dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa setiap satu
dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB,
akan menghemat sebesar 55 dolar selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana;
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung;
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO);
4. Kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek untuk pasien;
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program TB.
Untuk menjamin keberhasilan penanggulangan TB, kelima
komponen tersebut di atas harus dilaksanakan secara bersamaan.
Pada tahun 1994 Indonesia menguji-cobakan implementasi
Strategi DOTS dengan demonstration area di Provinsi Jambi
(Kabupaten Bungo Tebo) dan Jawa Timur (Kabupaten Sidoarjo). Hasil
uji coba lapangan ini memberi angka kesembuhan yang tinggi lebih
dari 85%. Angka kesembuhan yang tinggi ini penting untuk
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya kekebalan
obat ganda atau Multi Drug Resistance (MDR) yang merupakan
ancaman besar bagi masyarakat.
Sejak tahun 1995, program penanggulangan TB nasional
mengadopsi Strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas
secara bertahap. Sampai tahun 2000 hampir seluruh Puskesmas telah
berkomitmen dan mengadopsi Strategi DOTS yang diintegrasikan
dalam pelayanan primernya.
Pada kenyataannya, pasien TB bukan hanya datang ke
Puskesmas, melainkan juga ke BP4/BKPM/BBKPM, Rumah Sakit,
klinik, DPS dan dokter perusahaan. Dari hasil Survei Prevalensi
Tuberkulosis pada tahun 2004:
untuk kawasan Sumatera: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM: 44%, Puskesmas 43% dan DPS 12%,
untuk kawasan Indonesia Timur: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM 31%, Puskesmas 53% dan DPS 16%,
untuk kawasan Jawa-Bali: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM: 49%, Puskesmas 21% dan DPS 29%.
B. TUJUAN PEDOMAN
Mengatur agar pelayanan dan tatalaksana pasien tuberkulosis dengan
menggunakan strategi DOTS di Rumah Sakit dapat berjalan dengan baik,
termasuk didalamnya :
a. Memberikan pelayanan yang komprehensif terhadap pasien dengan
tuberkulosis.
b. Pemantauan pengobatan pasien dengan tuberkulosis.
c. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tuberkulosis.
d. Mendukung pelaksanaan program pemberantasan tuberkulosis
pemerintah.
D. BATASAN OPERASIONAL
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis).
2. Metode DOTS
Metode Directly Observed Treatment Short-coursed (DOTS) adalah
suatu stategi yang ditetapkan pemerintah untuk penanggulangan
tuberkulosis dengan mengutamakan prinsip pengawasan langsung oleh
tenaga kesehatan / keluarga terdekat pasien untuk meningkatkan
angka sesembuhan dan menurunkan angka putus obat dan mortalitas
penderita tuberkulosis.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Obat Anti tuberkulosis adalah suatu kombinasi dari empat atau lebih
jenis obat yang ditujukan untuk penyembuhan penderita tuberkulosis.
4. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pihak yang bertanggung-jawab untuk memastikan pasien tidak lupa
dan dapat minum obat secara rutin.
5. Klinik DOTS
Tim di RSUD Depati Hamzah yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan program DOTS untuk TB di RS.
E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5063);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
LembaranNegara Nomor 5072);
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4431);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4437);
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2005
tentang pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal ;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ Menkes/Per/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1295/Menkes/Per/XII/2007;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar Pelayanan Minimal Di
Rumah Sakit;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal;
11. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang
Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan/pengobatan Penyakit Paru;
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
JENIS JUMLAH
PENDIDIKAN
KETENAGAAN TENAGA
Penanggung Direktur 1
jawab
Ketua Tim DOTS Dokter spesialis yang bersertifikat 1
pelatihan TB DOTS
Sekretaris Perawat 1
Koordinator Dokter Spesialis yang bersertifikat 1
Jejaring pelatihan TB DOTS
Koordinator Perawat D3 / S1, yang bersertifikat 8
Peawatan pelatihan TB DOTS
Koordinator D3 Analis Laborat 4
Laboratorium
Koordinator Apoteker / Asisten Apoteker 3
Logistik TB
B. PENGATURAN DINAS
Pengaturan jadwal petugas medis maupun non-medis Tim DOTS RSUD
Depati Hamzah disesuaikan dengan jam kerja dan jadwal dinas di bagian
masing-masing.
C. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Disesuaikan dengan jadwal jaga masing-masing petugas.
D. URAIAN TUGAS
1. KETUA TIM DOTS
3. KOORDINATOR PERAWATAN
JABATAN PERAWAT
1. Pendidikan : D III/S1 Keperawatan
KUALIFIKASI/
2. Pelatihan : Pelatihan / sosialisasi DOTS
KRITERIA
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab dalam melaksanakan
Pencatatan dan Pelaporan di ruangan
masing-masing
2. Bertanggung melakukan pengawasan
TANGGUNG JAWAB pemberian OAT pada pasien TB yang
dirawat di ruang masing-masing.
3. Bertanggung jawab melaporkan hasil
kegiatan DOTS dari ruangan masing-
masing
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
WEWENANG
dibutuhkan.
4. KOORDINATOR LOGISTIK
5. KOORDINATOR LABORATORIUM
A. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang dapat digunakan oleh Tim DOTS RSUD Depati Hamzah
adalah :
1. Ruangan khusus dan tersendiri untuk melayani pasien tuberkulosis
yang disebut sebagai “Ruang DOTS”.
2. Bilik Khusus untuk berdahak ( Ruang Berdahak )
3. Meja Konsultasi 1 buah
4. Kursi 2 buah
5. Kursi tunggu pasien
6. Kalender Jadwal Pasien 1 buah
7. Rak Obat 1 buah
8. Lemari Arsip 1 buah
9. Stetoskop 1 buah
10. Tensimeter 1 buah
11. Timbangan BB 1 buah
12. Kipas Angin 1 buah
13. Masker Bedah 1 dus
14. Masker N95
15. ATK
16. Formulir dan buku pencatatan TB
TB.01 : Kartu Pengobatan Pasien TB
TB.02 : Kartu Identitas Pasien TB
TB.03 UPK : Register Pasien TB di UPK
TB.04 : Register Laboratorium TB
TB.05 : Formulir Permohonan Laboratorium TB untuk
Pemeriksaan Dahak
TB.06 : Buku Daftar Tersangka Pasien (Suspek) TB
TB.09 : Formulir Rujukan/ Pindah Pasien TB
TB.10 : Formulir Hasil Akhir Pengobatan Pasien Pindah
B. DENAH RUANGAN DOTS
Poliklinik paru
Area Parkir
Area Parkir
Ruang Tunggu
Ruang Tunggu
Booth
Sputum
A. PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe
pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan
dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat.
Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di
unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang
menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah
pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan
identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
1. DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1. menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi,
2. menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya
lebih biaya efektif (cost-effective)
3. mengurangi efek samping.
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik,
yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi
kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik,
danpertimbangan medis spesialistik.
3. PENGOBATAN TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat
sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon
tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh
lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkanterjadinya risiko resistensi
pada OAT lapis kedua.
4. TATALAKSANA TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka
diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor . Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
telah membuat Pedoman NasionalTuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh
program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Lihat tabel 3.5. tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan
pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara
klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti
bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya :
kejang, kaku kuduk
penurunan kesadaran
kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.
c. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan
sembuh atau gagal.
d. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
e. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak
diketahui.
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara
“drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk
membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-
rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol
atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti
obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin.
Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi
pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring antar semua Gugus tugas yang terkait dalam menangani pasien TB di dalam
RSUD Depati Hamzah. Koordinasi kegiatan dilaksanakan oleh Tim DOTS rumah sakit. Tim DOTS RS adalah tim
yg dikukuhkan dengan SK Direktur RS yang bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan DOTS di RS,
serta mengkoordinasikan semua kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Jejaring Internal RSUD Depati Hamzah
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara RSUD Ajibarang dengan dinas kesehatan, Puskesmas,
dan UPK lainnya terkait dalam penanggulangan TB dengan Strategi DOTS.
Tujuan jejaring eksternal:
Semua pasien tuberkulosis mendapatkan akses pelayanan DOTS yang berkualitas, mulai dari diagnosis,
follow up sampai akhir pengobatan ,
Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga mengurangi jumlah pasien yang
putus berobat .
Apabila menemukan pasien yang dicurigai suspek MDR atau yang sudah positif MDR maka, pasien dapat
menjalani pengobatan di RSUD Depati Hamzah baik rawat inap maupun rawat jalan.
BAB V
LOGISTIK
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang penting dalam program
pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan(Fasyankes).Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik
sehinggaketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai dari perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB,
mulai dari proses penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.Logistik Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan untuk mendukung
tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
A. PENGERTIAN
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien yang lebih aman yang
meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Rumah sakit sebagai salah satu tempat kerja, wajib melaksanakan program K3RS yang bermanfaat baik bagi
SDM Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien, maupun bagi masyarakat di lingkungan sekitar Rumah
Sakit.TIM DOTS sebagai salah satu komponen rumah sakit juga wajib melaksanakan program tersebut mengingat
penyakit Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang infeksius.
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tersebar melalui
diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk, berbicara, menyanyi maupun bersin.
Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang
diudara untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya
ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui
mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB
harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas
kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah yang berasal dari
pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai
kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yangdicurigai atau dipastikan
menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah
penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di
rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dariupaya manajerial bagi
program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB.
e. Menyediaakan sumber daya untuk terlaksanananya program PPI TB (tenaga, anggaran, sarana dan
prasarana ).
f. Monitoring dan evaluasi.
g. Melakukan pengkajian diunit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait PPI TB.
2. Pengendaliaan administrasi.
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman m.tuberkulosis kepada petugas
kesehatan , pasie , pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan , mendiseminasikan dan memantau
pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.
3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk
mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian
dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan
radiasi ultraviolet sebagai germisida.
A. Pimpinan rumah sakit harus melaksanakan evaluasi pelayanan dan pengendalian mutu TB.dengan kriteria ;
1. Ada program/kegiatan peningkatan mutu pelayanan medis TB yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit,
dengan melakukan kegiatan audit medik.
2. Ada pertemuan berkala secara formal antara pimpinan rumah sakit dan komite medik / Tim DOTS untuk
membahas, merencanakan, dan mengevaluasi pelayanan medis serta upaya peningkatan mutu pelayanan
medis TB.
3. Ada laporan data/statistik serta hasil analisa pelayanan medis TB rumah sakit.
4. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring internal
5. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring eksternal.
6. Ada rencana tindak lajut dari hasil evaluasi.
BAB IX
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilanpelaksanaan program
TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga
dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan,
indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6
bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program, mulai dari
Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi
dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung
dan wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator dan hasil dari supervisi.
Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan dan pelaporan TB. Pencatatan
menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan
pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik
disemua faskes dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya diwilayah
tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yang
berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan secara Nasional.
Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan pelaksana, sebagai
berikut:
2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan program (marker of
progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada.
9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan ujikepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR ditemukan.
b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang untuk pemeriksaan
mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini
Harapan kami Pedoman Pelayanan ini dapat menjadi acuan dan pedoman bagi kita, khususnya yang bertugas di tim
DOTS. Pedoman pelayanan ini akan ditinjau ulang secara periodik, oleh sebab itu masukan yang bersifat membangun
sangat kami harapkan.
Akhirnya saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan Buku Pedoman
Pelayanan DOTS di RSUD Depati Hamzah.