MAKALAH
Oleh :
0
HAK ASASI MANUSIA
Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu.
Istilah hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki
seseorang tersebut bersifat mendasar. Tuntutan-tuntutan hak asasi merupakan
kewajiban dasar yang harus dipenuhi karena bersifat fundamental. Segala hak lain
(hak yang bukan asasi) atau hak derivative bisa dikatakan sebagai penjabaran dari
hak-hak ini. Karena hak asasi bersifat mendasar atau fundamental maka
pemenuhannya bersifat imperative, artinya hak-hak itu wajib dipenuhi karena hak-
hak ini menunjukkan nilai subjek hak, atau perintah yang harus dilaksanakan.1 Thoib
menambahkan dengan mengemukakan bahwa hak Asasi atau hak dasar adalah
merupakan hak-hak yang pokok atau dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai
pembawaan sejak ia lahir, yang sangat berkaitan dengan martabat dan harkat
manusia tersebut.2
1
Besar, “Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia”,
Humaniora, Volume 1 No. 2, April 2011, hlm. 203.
2
D Thaib, Pancasila Yuridis Konstitusional, Jakarta: UII, 1988, hlm. 58.
3
O. C. Kaligis, Anatomi Tulisan Ilmu Hukum: Jilid 4, Bandung: Alumni, 2009, hlm. 101.
1
sebagai manusia. Kedua, HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di
dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, HAM adalah hak-hak dasar yang dibawa
manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Tuhan. Keempat,
Hak Asasi adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemeritahan,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia,
seperti tertera dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.4
Satya Arinanto menjelaskan bahwa istilah HAM yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah human rights adalah menggantikan istilah natural rights (hak-
hak alam) karena konsep hukum alam, yang berkaitan dengan istilah natural rights
menjadi suatu kontroversi, dan frasa the rights of man yang muncul kemudian
dianggap tidak mencakup hak-hak wanita.5
4
Besar, Op. Cit., hlm. 203.
5
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan Ketiga, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 65.
2
B. Asal-Usul Historis Konsepsi Hak Asasi Manusia
Menurut Michael Curtis dalam Satya Arinanto, asal-usul historis konsepsi Hak
Asasi Manusia (HAM) dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani dan Romawi, dimana
HAM memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Geek
Stoicism (Stoisisme: Yunani), yakni sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno di
Citium, yang antara lain berpendapat bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup
semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh karenanya harus dinilai berdasarkan
kepada dan sejalan dengan hukum alam.6
6
Ibid., hlm. 67.
7
Ibid., hlm. 68-69.
3
C. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Masalah keadilan yang merupakan inti dari hukum alam menjadi pendorong
bagi upaya penghormatan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan universal.
Perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia dunia bermula dari:
1. Solon
2. Perikles
Negarawan Athena yang berusaha menjamin keadilan bagi warga Negara yang
miskin. Setiap warga dapat menjadi anggota majelis rakyat dengan syarat sudah
berusia 18 tahun. Ia menawarkan system demokrasi untuk menjamin hak asasi
warga. Konsep demokrasi yang ditawarkan Perikles secara objektif mengandung
banyak kelemahan. Terlepas dari semua kelemahan itu, ia tetap dipandang sebagai
tokoh yang memperjuangkan hak asasi manusia. Ia memperjuangkaan hak-hak
politik warga yang sebelumnya tidak ada.
4
mati dengan cara minum racun. Plato dalam dialognya Nomoi mengusulkan suatu
sistem pemerintahan dimana petugas atau pejabat dipilih oleh rakyat tetapi dengan
persyaratan kemampuan dan kecakapan. Plato berkandaskan pada sistem demikrasi
langsung ala Perikles dimana demokrasi yang berjalan justru meminggirkan hak-hak
warga. (Bertens, 1971).
4. Piagam Madinah
5
b. Kebebasan Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori,
yaitu:
1) Kebebasan mengeluarkan pendapat Musyawarah merupakan salah satu
media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang
sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan
mengeluarkan pendapat.
2) Kebebasan beragama, kebebasan memeluk agama masing-masing bagi
kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.
3) Kebebasan dari kemiskinan, kebebasan ini harus diatasi secara bersama,
tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum
yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah
upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandangan Barat.
4) Kebebasan dari rasa takut, larangan melakukan pembunuhan, ancaman
pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan
dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di
Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
c. Hak mencari kebahagiaan Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya,
meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan
itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus
berbarengan dengan ketenangan batin.
6
kebebasan dan kemerdekaan seseorang. Pasal 21 Magna Charta menyebutkan bahwa
earls and barons shall be fined by their equal and only in proportion to the measure
of the offence.9 Yang artinya bahwa para pangeran dan baron akan dihukum
(didenda) berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukannya. Selanjutnya pada pasal 40 ditegaskan bahwa tidak seseorangpun
menghendaki kita mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan.
Tujuan piagam ini adalah membela keadilan dan hak-hak para bangsawan.
Dalam perkembangannya kekuatan yang ada pada piagam ini berlaku untuk seluruh
warga. Esensi Magna Charta ini adalah supremasi hukum di atas kekuasaan.
Piagam ini menjadi landasan terbentuknya pemerintahan monarki konstitusional.
Prinsip-prinsip dalam piagam ini, pertama kekuasaan raja harus dibatasi, kedua
HAM lebih penting daripada kedaulatan atau kekuasaan raja, ketiga dalam masalah
kenegaraan yang penting temasuk pajak harus mendapatkan persetujuaan bangsawan,
keempat tidak seoran pun dari warga negara merdeka dapat ditahan, dirampas harta
kekayaannya, diperkosa hak-haknya, diasingkan kecuali berdasarkan pertimbangan
hukum.10
Petition of Rights pada tahun 1628, diikuti lahirnya Bill of Rights di Inggris pada
tahun 1689. Bill of Rights timbul karena adanya Revolusi Gemilang (Glorius
Revolution). Pada masa ini timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia
sama dimuka hukum (equality before law).11 Asas persamaan ini harus dapat
diwujudkan betapapun besarnya resiko yang dihadapi. Karena hak kebebasan baru
dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.
Bill of Rights yang menyatakan dirinya bukan sebagai deklarasi undang- undang
yang ada dan bukan merupakan undang-undang baru. Bill of Rights menundukkan
9
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana
Pranada Media Group, hlm. 22.
10
Majalah, What is Democracy, United State Information Agency, 1991, USA: 1991, hlm. 12.
11
Ibid., hlm. 203.
7
monarki dibawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan raja
untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang diklaim raja adalah illegal. Bill
of Rights juga melarang pemungutan pajak dan pemeliharaan tetap pasukan pada
masa damai oleh raja tanpa persetujuan parlemen.
Sebulan sebelum deklarasi kemerdekaan diatas, telah lebih dulu lahir Deklarasi
Hak Asasi Virginia (The Virginia Declaration) yang disusun oleh George Mason.
Yang mencantumkan kebebasan-kebebasan yang spersifik dan harus dilindungi dari
campur tangan Negara. Kebebasan ini mencakup antara lain yaitu kebebasan pers,
12
Ibid., hlm. 203.
8
kebebasan beribadat, dan ketentuan yang menjamin tidak dapat dicabutnya
kebebasan seseorang kecuali berdasarkan hukum setempat atau pertimbangan warga
sesamanya.
Para penyusun UUD Amerika Serikat yang terpengaruh oleh Deklarasi Virginia
memasukkan perlindungan hak-hak diatas. Pada tahun 1791, Amerika Serikat
mengadopsi Bill Of Rights melalui sejumlah amandemen terhadap konstitusi.
Beberapa amandemen ini dekenal olehh dunia yaitu Amandemen Pertama,
Amandemen Keempat, dan Amandemen Kelima.
13
Majalah, Op. Cit., hlm. 20.
9
Pasal 2 Deklarasi perancis menyatakan bahwa sasaran setiap asosiasi politik
adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak
ini adalah hak atas kebebasan (liberty), harta (property), keamanan (safety), dan
perlawanan terhadap penindasan (sesistence to oppression). Pasal 4 juga menyatakan
bahwa kebebasan berarti dapat melakukan apasaja yang tidak merugikan orang lain.
Jadi pelaksanaan hak-hak kodrati manusia tidak dibatasi, kecuali oleh batas-batas
yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama bagi anggota masyarakat yang lain
dan batas-batas ini hanya ditetapkan oleh Undang-Undang .
Yang mana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam
The Rule of Law. Yang menyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan
yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alas an yang sah dan penahanan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam hal ini, berlaku
prinsip presumption of innocent. Yang mengartikan bahwa orang-orang yang
ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai
ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht van dadings) yang
menyatakan ia bersalah. Kemudian ada beberapa prinsip kebebasan mengeluarkan
pendapat (freedom of experisson), prinsip untuk bebas menganut keyakinan/agama
yang dikehendaki (freedom of religion), dan perlindungan hak milik (the rights of
property).
10
yang diperlukan.
c. Hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha untuk
mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya.
d. Hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha pengurangan persenjataan,
sehingga tidak satupun bangsa atau Negara berada dalam posisi berkeinginan
untuk melakukan serangan terhadap Negara lain.14
Setelah melewati berbagai revolusi dan begitu banyak deklarasi yang dinyatakan
oleh beberapa Negara maupun melalui kenferensi internasional, maka kedudukan
Hak Asasi Manusia menjadi sangat penting dan menentukan dalam kehidupan ini.
Dapat dilihat bahwa tidak ada satupun manusia yang ingin dibelenggu maupun
berada dibawah kekuasaan seseorang dengan cara paksa (diperbudak). Berdasarkan
berbagai kejadian-kejadian di dunia terutama setelah apa yang dilakukan oleh Nazi,
maka Negara-negara di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa
merasa bahwa Hak Asasi Manusia adalah bagian yang terpenting.
Dalam pasal 1 (satu) dan 2 (dua) Piagam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
memang diakui tentangk eberadaan HAM. Namun, perlu diadakan penyempurnaan
terhadap apa yang diatur dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Langkah
yang diperlukan ini dimenal dengan istilah Truman (Presiden AS) yang mengatakan
14
Azyumardi Azra, Loc. Cit., hlm. 204.
11
perlunya disusun suatu Bill of Rights International, dalam waktu setahun setelah
piagam PBB diberlakukan. Tugas menyusun Bill of Rights International (pernyataan
tertulis yang memuat hak-hak terpenting warga Negara) itu diserahkan kepada
komisi HAM (Commission Of Human Rights atau disebut CHR).15 Yaitu komisi
yang bernaung dari ECOSOC atau Economic and Social Council (Dewan Sosial dan
Ekonomi PBB). Komisi ini terdiri atas wakil-wakil Negara, dimana diputuskan
bahwa catalog HAM hendaknya berbentuk sebuah Resolusi Majelis Umum PBB.
Inilah sejarah dan latar belakang lahirnya hak-hak asasi manusia manusia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ECOSOC kemudian membentuk Komisi Hak-
Hak Asasi Manusia atau CHR pada tahun 1946.16 Komisi ini dipimpin oleh Eleanor
Rosevelt dari Amerika Serikat dan berkedudukan di Jenewa. Selain Eleanor
Rosevelt, ada beberapa contributor kunci dalam perumusan naskah Deklarasi se-
Dunia. Mereka adalah Rene Cassin (Prancis), Charles Malik (Libanon), Peng Chun
Chang (tiongkok), Hernan Santa Cruz (Chili), Alexandre Bogomolov dan Alexel
Pavlov (Unisoviet), Lord Dukeston dan Geoffrey Wilson (Inggris), William Hudson
(Austria), serta John Humphrey (Canada).17
15
http:www.UN.org/Economic and social/Commission of Human Rights.
16
C. de. Rover. C, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 67.
17
Setia Tunggal Hadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Hak-Hak Asasi Manusia, Haravindo, Jakarta:
Haravindo, hlm. 33.
18
Setia Tunggal Hadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Hak-Hak Asasi Manusia, Haravindo, Jakarta:
Haravindo, hlm. 33.
12
Dalam kenyataan tidak terlalu sukar untuk mencapai kesepakatan mengenai
pernyataan HAM, yang memang dari semua dianggap sebagai langkah pertama saja.
Akan tetapi tenyata lebih sukar untuk melaksanakan tindak- lanjutnya, yaitu
menyusun suatu perjanjian (Covenant) yang mengikat secara yuridis, sehingga
diperlukan waktu delapan belas tahun setelah diterimanya pernyataan. Baru pada
akhir tahun 1966 sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secra
aklamsi Perjanjian tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on
Economic, social and Cultural Rights) serta perjanjian tentang Hak – Hak sipil dan
politik (Convenant on civil and Political Rights). Sementara itu diperlukan sepuluh
tahun lagi sebelum dua perjanjian ini dinyatakan berlaku. Perjanjian tentang Hak –
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku bulan januari 1979, sesudah
diratifikasikan oleh 35 negara, sedang perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik
sedang menunggu ratifikasi yang ke 35.2 Sesudah itu ia juga berlaku. Diantara
Negara yang telah mengadakan ratifikasi terdapat Negara Amerika Serikat, Inggris,
India, Indonesia, Malaysia, Thailand dan sebagainya.
13
perundang – undangan, agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat
tidak melampaui batas-batas tertentu. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
hak – hak ekonomi, justru kebalikannya, untuk melaksanakanya tidak cukup hanya
membuat undang-undang, akan tetapi pemerintah harus secara aktifmenggali
sumber kekayaan masyarakat dan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa
sehingga tercipta iklim di mana hak-hak ekonomi, seperti hak atas pekerjaan, hak
atas penghidupan yang layak, betul-betul dapat dilaksanakan. Kegiatan yang
menyeluruh itu akan mendorong pemerintah untuk mengatur dan mengadakan
campur tangan yang luas dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, dengan segala
konsekuensinya.
Disamping perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik juga disusun Optional
Protocol yang menetapkan bahwa panitia HAM juga dapat menerima pengaduan
dari perseorangan terhadap Negara yang telah menandatangani optional protocol itu
jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian hak-hak sipil dan
politik. Dalam menjawab pertanyaan mengapa diperlukan waktu begitu lama untuk
menyusun dua perjanjian tadi, perlu diteropong perbedaan sifat antara pernyataan
14
dan perjanjian. Dalam tubuh komisi HAM (comimission on Human Rights) yang
didirikan pada tahun 1946 telah timbul perselisihan apakah naskah yang telah
disusun akan mempunyai kedudukan sebagai hukum positif yang wajib
dilaksanakan oleh Negara-Negara yang mengikat diri, ataukah hanya berfungsi
sebagai pedoman. Maka diputuskan bahwa tugas komisi HAM akan
diselenggarakan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama akan diusahakan untuk merumuskan secara singkat HAM
serta kebebasan – kebebasan manusia yang menurut pasal 55 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, wajib diperkembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam
tahap kedua akan disusun sesuatu yang lebih mengikat dari pada pernyataan belaka
(something more legally binding than a mere Declaration) dan bahwa naskah itu
akan berbentuk perjanjian (Covenant). Ditentukan pula bahwa pada tahap kedua ini
prosedur serta aparatur pelaksanaan dan pengawasan akan diperinci. Dengan
demikian pernyataan pada umumnya dianggap tidak mengikat secara yuridis dank
arena itu sering dinamakan suatu pernyataan keinginan-keinginan manusia
(Declaration of Human Desires). Pernyatan ini dimaksud sebagai tujuan dan standar
minimum yang dicita-citakan oleh umat manusia dan yang pelaksananya di bina
oleh Negara-Negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan
tetapi, sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun dokumen ini mempunyai
pengaruh moril, politik dan edukatif yang sangat besar. Dia melambangkan
commitment secara moril dari dunia internasional pada norma-norma dan HAM.
Pengaruh moril dan politik ini terbukti dari sering disebutnya dalam keputusan-
keputusan hakim, undang-undang ataupun undang-undang dasar beberapa Negara,
apalagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri.
Kesukaran yang dijumpai dalam usaha untuk mencapai kata sepakat mengenai
perjanjian ialah bahwa implementasi HAM menyangkut masalah hukum
internasional yang sangat rumit sifatnya, seperti masalah kedaulatan suatu Negara,
kedudukan individu sebagai subyek hukum international dan mengenai masalah
domestic jurisdiction dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.Akan tetapi,
15
kesukaran terbesar yang dijumpai ialah bahwa pelaksanaan HAM harus disesuaikan
dengan keadaan dalam Negara masing-masing masing. Dan ternyata bahwa HAM
yang dalam pernyataan dirumuskan dengan gaya yang gamblang dan seolah-olah
tanpa batas, terpaksa dalam perjanjian dinyatakan sebagai terbatas oleh dua hal:
pertama, oleh undang-undang yang berlaku; dan kedua, oleh pertimbangan
ketertiban dan keamanan nasional dalam masing-masing Negara. Misalnya, hak atas
kebebasan untuk memepunyai dan mengutarakan pendapat yang disebut dalam
pernyataan, dalam perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik dinyatakan terbatas
oleh undang-undang yang berlaku, yang perlu untuk menghormati hak dan nama
baik orang lain serta untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moral umum (sebagaimana diatur dalam pasal 19).
Ratifikasi dua perjanjian membutuhkan waktu yang lama, akan tetapi di tingkat
regional, teerutama di Eropa Barat, pelaksanaan HAM telah dapat diselenggarakan
dengan lebih memuaskan. Negara-Negara yang tergabung dalam Council of
Europe( majelis Eropa) telah menandatangani Convention for the Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms di Roma pada tahun 1950. Dengan
demikian Negara-Negara yang tergabung dalam council of Europe merupakan
badan international pertama yang telah menuangkan ketentuan-ketentuan
pernyataan HAM kedalam perjanjian international yang mengikat semua Negara
peserta. Juga telah didirikan lembaga-lembaga untuk melaksanakanya, seperti
European Court Of Human Rights (Mahkamah Eropa Hak Asasi Manusia Eropa)
yang mulai bekerja pada tahun 1959, sekalipun dalam ruang lingkup terbatas, yaitu
di Austria, Belgia, Denmark, Iceland, Irlandia, Luxemburg, Negeri Belanda,
16
Norwegia, Swedia dan Jerman Barat.
Kemajuan juga dapat dicatat dalam perumusan beberapa bidang khusus. Telah
diterima bermacam-macam perjanijian (convention) seperti: convention mengenai
genocide (1948), mengenai kerja paksa (1957), mengenai diskriminasi berdasarkan
kelamin (antara 1951 dan 1962) serta mengenai dikriminasi berdasarkan ras (1965).
Convention ini telah menentukan standar international dan menetapkan pula
tindakan preventif dan korektif yang mengikat secara yuridis. Akhirnya, sebagai
ilustrasi, ada baiknya di bawah ini disajikan perumusan beberapa HAM yang dimuat
dalam perjanjian hak-hak sipil dan politik dan perjanjian hak-hak ekonomi, Sosial
dan Budaya. Kedua naskah perjanjian dimulai dengan pasal yang sama bunyinya
dan yang mungkin dianggap sebagai dasar dari semua macam HAM, yaitu: All
peoples have the rights of self- determination. By virtue of that right they freely
determine their political status and freely pursue their economical, social and
cultural development (semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib
sendiri. Berdasarkan hak itu mereka secara bebas menentukan status politik mereka
dan secara bebas mengejar perkembangan mereka dibidang ekonomi, social dan
budaya).
Hal ini terjadi karena Deklarasi Se-Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia
dirancang pada saat sebagian besar bangsa-bangsa di wilayah Dunia Ketiga masih
17
berada pada masa penjajahan. Kesempatan ini dipergunakan berbagai bangsa-bangsa
yang dijajah untuk memperoleh kemerdekaan secara de jure. Deklarasi Se-Dunia ini
memicu lahirnya berbagai perjanjian maupun konvensi mengenai Hak-Hak Asasi
Manusia. Pada tanggal 16 Desember 1966, melalui sidang umum PBB menerima 2
(dua) konvenan dan 1 (satu) protokol opsional mengenai Hak Asasi Manusia. Kedua
konvenan yang berkaitan dengan Deklarasi Se-Dunia berkaitan dengan ketentuan-
ketentuan yang mengikat bagi Negara yang meratifikasinya, yaitu untuk memberikan
perlindungan kepada pribadi manusia tentang hak (rights) dan kebebasan (freedom).
Kemudian pada tahun 1986, PBB mengakui bahwa hak mengembangkan diri
(Rights of Devvelopment) adalah bagian dari Universal Declaration of Human
Rights. Anggota PBB yang belum atau tidak meratifikasi konvenan ini tidak terikat
untuk melaksanakannya, tetapi mempunyai tanggung jawab moral untuk
menghormati pelaksanaannya. Program Hak-Hak Asasi Manusia PBB
mempergunakan 3 (tiga) pendekatan dalam meningkatkan penghormatan terhadap
Hak Asasi Manusia. 3 (tiga) pendekatan itu adalah:
1. Hukum-Pengembangan pernyataan dan konvensi.
2. Perlakuan-melalui prosedur sesuai dengan yang telah diatur dalam konvensi
khusus atau resolusi-resolusi yang disetujui oleh badan-badan PBB.
3. Pendidikan sera Penerangan-pelaksanaan latihan dan pemberian nasihat,
penyebarluasan perangkat hak-hak asasi manusia dan penerangan umum.
18
petisi-petisi yang ditinjaukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang
dimuat surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam
bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Perdebatan pemikiran
HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan
kedudukan di muka hukum. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang tidak layak,
hak untuk memerluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
a. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan
pada hak untuk merdeka (self determination), hak kebebasan untuk berserikat
melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal terpenting dengan HAM
adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap pemerintahan dari
sistem pemerintahan dari sistem presidensil menjadi sistem parlemen.
b. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dalam rangka perjalanan Negara Indonesia dikenal
dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode
ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik.
c. Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soerkarno terhadap sistem demokrasi
parlementer. Pada sistem ini kekukasaan terrpusat dan berada ditangan Presiden.
d. Periode 1970-1980:
Pemikiran elit pemguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap
19
penolakkannya terhadap HAM sebagi produk Barat dan individualistik serta
bertentangan dengan paham kekeluragan yang dianut bangsa Indonesia.
Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari
produk hokum yang umumnya restriktif terhadap HAM.
e. Periode 1966-1998
Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagi seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM,
pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia.
f. Periode 1998-sekarang
Strategi penegakkan HAM pada periode ini dilakukan melalui duatahap status
penentuan (perspective status) dan tahap penataan aturan secara konsisten (rule
consistent behaviour). Pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa
penentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi
Negara (Undang-Undang Dasar Tahun 1945), Ketetapan MPR (TAP MPR),
Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan ketentuan perundang-
undangan lainnya.
Secara garis besar bentuk dan konsep dari Hak Asasi Manusia itu terbagi dalam
2 (dua) katergori, yaitu: a. Non-Derogable Rights (Hak yang tidak dapat dikurangi).
b. Derogable Rights (Hak yang dapat dikurangi).
20
walaupun dalam keadaan darurat sekalipun19, atau dalam keadaan apapun, atau
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Berikut ini teks pasal-pasal yang mengatur
tentang hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).
Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki banyak persoalan di bidang
Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah memuat beberapa muatan hak yang menjadi
materi non-derogable rights di pasal-pasal International Covenant on Civil and
Political Rights, jauh sebelum International Covenant on Civil and Political Rights
itu sendiri disahkan. Hal ini dapat dibuktikan dari pasal-pasal yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan salah satu diantaranya terdapat pada pasal 28A
tentang hak hidup yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa
hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.20
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
19
Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: eLSAM, 2001, hlm. 12.
20
Buyung Nasution & A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 23.
21
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non–derogable).
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Hak hidup merupakan hak manusia yang paling dasar bersifat non-derogable rights
secara teoritis tidak boleh dilanggar atau ditunda pelaksanaannya. 21 Ifdal Kasim
berpendapat bahwa berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights
sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005, kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi antara lain:22
21
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015,
hlm. 119.
22
Ifdal Kasim, Op. Cit., hlm. 12.
22
Pasal.9,
e. Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut,
f. Hak sebagai subjek hukum, dan
g. Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama, dalam Pasal 200.
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional
pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada
tanggal 23 Maret 1976.23
Konsep yang kedua adalah konsep derogable rights yaitu hak-hak yang boleh
dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara pihak. International
Covenant on Civil and Political Rights atau Konvenan internasional hak sipil dan
politik memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-
pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat yang esensial dan
mengancam kehidupan suatu bangsa. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4
Konvenan hak sipil dan politik sebagai berikut:
23
Sentosa Sembiring, Penjelasan atas Undang-Undang RI no. 12 Ttahun 2005 tentang Pengesahan
Internasional Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik), Bandung: Nuansa Aulia, 2006, hlm. 126.
23
Berdasarkan Pasal 4 konvenan hak sipil dan politik di atas memberikan legalitas
kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap Hak asasi manusia jika
Negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat atau yang dalam bahasa inggrisnya
disebut sebagai state of emergency menurut Pengadilan Eropa untuk hak asasi manusi
adalah situasi krisis yang luar biasa atau keadaan darurat yang mempengaruhi
keseluruhan penduduk dan merupakan ancaman bagi kehidupan komunitas yang
terorganisir (Nihal Jayawickrama, 2002 : 205).
Ditambahkan oleh Beni Prasad bahwa dalam keadaan yang bersifat darurat,
pemerintah dianggap dapat melakukan tindakan apa saja. Pembenaran mengenai hal
ini didasarkan atas pengertian bahwa suatu keadaan yang tidak normal mempunyai
sistem norma hukum dan etikanya tersendiri, atau keadaan yang disebut
Appaddharma yang berarti keadaan krisis yang sangat mengerikan. Dalam keadaan
kacau tersebut, semua aturan moralitas yang biasa berlaku dalam keadaan normal
dapat ditunda berlakunya. Ini berarti bahwa dalam keadaan darurat semua tindakan
24
Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Keadaan
Darurat”, Jurnal Media Hukum, No. 02, Desember 2015, hlm. 61.
24
yang bersifat luar yang dilakukan oleh pemerintah termasuk melakukan pembatasan
terhadap Hak Asasi Manusia dapat dibenarkan untuk dilakukan demi
mempertahankan integritas negara dan melindungi warga negaranya. Komite PBB
tentang HAM dalam General Comment No 29 on Article 4 of International Covenant
on Civil and Political Rights. Mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi
untuk dapat membatasi HAM diantaranya yaitu: dimana situasi harus berupa keadaan
darurat yang mengancam kehidupan bangsa, dan negara pihak harus menyatakan
secara resmi negara dalam keadaan darurat.
Pada dasarnya setiap hak asasi manusia wajib dilindungi (protect), dipenuhi
(fulfill) dan ditegakan (enforced) oleh negara. Hanya saja dalam perkembangannya,
tidak semua hak harus dipenuhi secara mutlak, ada pula hak-hak yang dapat dibatasi
pemenuhannya dan ada hak-hak yang tidak dapat dibatasi pemenuhannya meskipun
dalam keadaan darurat. Hak-hak yang boleh dibatasi pemenuhannya dalam keadaan
darurat yaitu hak yang disebut sebagai derogable rights, yang terdiri dari hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk
berbicara. Apabila suatu negara menghadapi ancaman yang membahayakan
eksistensi atau kedaulatan sebagai negara merdeka atau membahayakan keselamatan
warga negaranya, negara tersebut dianggap dapat bertindak apa saja, terlepas dari
persoalan legalitas cara-cara yang ditempuh Namun, tindakan-tindakan pembatasan
terhadap HAM, bagaimanapun harus ditentukan batas-batasannya yang jelas beserta
ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dengan
merugikan kepentingan kemanusiaan yang lebih luas.25
25
b. Tindakan publik yang bertujuan subversi rezim konstitusional;
c. Pelanggaran serius mengancam ketertiban umum dan keamanan;
d. Bencana;
e. Pemogokan dan kerusuhan di bidang penting dari perekonomian;
f. Gangguan penting dalam pelayanan publik; dan,
g. Kesulitan di bidang ekonomi dan keuangan.26
Klasifikasi konsep derogable right, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh Negara-negara pihak, diantaranya:
a. Hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
b. Hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota
serikat buruh, dan
c. Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan
mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan batas (baik melalui tulisan maupun tulisan).
26
Domrin N Alexander, 2006, The Limits of Russian Democratisation Emergency Powers and State of
Emergency. Routledge, London & New York.
26
pidana).
e. Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak
dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan
rehabilitasi).
f. Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kon-
traktual (utang atau perjanjian lainnya)7.
g. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan
dan kembali ke negerinya sendiri).
h. Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan
yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional).
i. Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalah-
annya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal,
dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama).
j. Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika
keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus menda-patkan
keringanannya).
k. Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti
kewarganegaraan).
l. Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti
kerahasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau
komunikasi pribadi).
m. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut
ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan).
n. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan
menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana
lainnya).
o. Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian
atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan).
p. Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak-arakan
atau keramaian).
27
q. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai
politik atau serikat buruh).
r. Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk
tanggung jawab atas anak).
s. Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kela-
hiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa dis-kriminasi).
t. Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan
tidak memilih).
u. Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin-
dungi hukum tanpa diskriminasi).
v. Pasal 27 Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus)
28
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Kencana Pranada Media Group, 2009.
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015.
Buyung Nasution & A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Eko Riyadi (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PusHAM UII, 2008.
ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: eLSAM, 2001.
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan
Ketiga, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2008.
29
Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta: UII Press, 2003.
Rafael Edy Bosko, “Prinsip-prinsip HAM”, Makalah (Modul Penataran Hak Asasi
Manusia Untuk Guru, dilaksanakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, di Bogor), 5-8 Oktober 2004.
Majalah, What is Democracy, United State Information Agency, 1991, USA: 1991.
30