Anda di halaman 1dari 31

HAK ASASI MANUSIA

MAKALAH

Oleh :

JAROT MARYONO 2220180037


IMELDA PUJIHARTI 2220180026
MARYANIH 2220180022
EDWIND 2220180030
WAHYU HARYADI 2220180023

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
2019

0
HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu.
Istilah hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki
seseorang tersebut bersifat mendasar. Tuntutan-tuntutan hak asasi merupakan
kewajiban dasar yang harus dipenuhi karena bersifat fundamental. Segala hak lain
(hak yang bukan asasi) atau hak derivative bisa dikatakan sebagai penjabaran dari
hak-hak ini. Karena hak asasi bersifat mendasar atau fundamental maka
pemenuhannya bersifat imperative, artinya hak-hak itu wajib dipenuhi karena hak-
hak ini menunjukkan nilai subjek hak, atau perintah yang harus dilaksanakan.1 Thoib
menambahkan dengan mengemukakan bahwa hak Asasi atau hak dasar adalah
merupakan hak-hak yang pokok atau dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai
pembawaan sejak ia lahir, yang sangat berkaitan dengan martabat dan harkat
manusia tersebut.2

Martenson memaparkan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti


sebagai: those rights which are inherent in our nature and without which we cannot
live as human being. Dari pengertian yang telah dijelaskan tersebut, O.C. Kaligis
menerangkan bahwa Hak Asasi Manusia ini melekat secara alamiah pada diri kita
sebagai manusia, yang berarti juga bahwa keberadaan Hak Asasi Manusia ini lahir
dengan sendirinya dalam diri setiap manusia dan bukan karena keistimewaan yang
diberikan oleh hukum atau undang-undang.3 Sedangkan menurut Dudi, ada beberapa
definisi tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pertama, HAM adalah hak yang
melekat pada diri manusia, tanpa hak-hak ini manusia tidak dapat hidup layak

1
Besar, “Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia”,
Humaniora, Volume 1 No. 2, April 2011, hlm. 203.
2
D Thaib, Pancasila Yuridis Konstitusional, Jakarta: UII, 1988, hlm. 58.
3
O. C. Kaligis, Anatomi Tulisan Ilmu Hukum: Jilid 4, Bandung: Alumni, 2009, hlm. 101.

1
sebagai manusia. Kedua, HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di
dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, HAM adalah hak-hak dasar yang dibawa
manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Tuhan. Keempat,
Hak Asasi adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemeritahan,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia,
seperti tertera dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.4

Satya Arinanto menjelaskan bahwa istilah HAM yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah human rights adalah menggantikan istilah natural rights (hak-
hak alam) karena konsep hukum alam, yang berkaitan dengan istilah natural rights
menjadi suatu kontroversi, dan frasa the rights of man yang muncul kemudian
dianggap tidak mencakup hak-hak wanita.5

Hakekat HAM merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia


secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati,
melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab
bersama anatara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun
militer) dan Negara. Adapun beberapa ciri pokok hakikat Hak Asasi Manusia adalah
sebagai berikut:
a. Hak Asasi Manusia tidak perlu diberikan, dibeli, ataupun diwarisi.
b. Hak Asasi Manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang kelamin, ras,
agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
c. Hak Asasi Manusia tidak bisa dilanggar.

4
Besar, Op. Cit., hlm. 203.
5
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan Ketiga, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 65.

2
B. Asal-Usul Historis Konsepsi Hak Asasi Manusia

Menurut Michael Curtis dalam Satya Arinanto, asal-usul historis konsepsi Hak
Asasi Manusia (HAM) dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani dan Romawi, dimana
HAM memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Geek
Stoicism (Stoisisme: Yunani), yakni sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno di
Citium, yang antara lain berpendapat bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup
semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh karenanya harus dinilai berdasarkan
kepada dan sejalan dengan hukum alam.6

Robert C. Solomon dalam Satya Arinanto mengungkapkan sebagai aliran


Hellenistik kedua yang besar, Stoisisme diartikan sebagai gerakan tunggal yang
paling berhasil dan berlangsung paling lama dalam filsafat Yunani dan Romawi. Para
Stois mengemukakan, emosi-emosi merupakan bentuk-bentuk dari putusan irasional,
suatu jenis yang membuat kita kecewa dan tidak bahagia. Di samping itu, para Stois
memandang sekelilingnya dan menemukan diri dalam dunia yang sudah gila, sebuah
dunia sosial dimana kesombongan, kekejaman, dan kebodohan memerintah sebagai
yang tertinggi. Namun demikian mereka percaya pada alam semesta yang rasional,
betapapun irasionalitas itu ada pada kita. Mereka juga percaya pada kekuatan akal
budi manusia, percikan cahaya Illahi, yang memungkinkan kita mengatasi
kebodohan, kekhawatiran-kekhawatiran manusia yang kejam dan picik sehingga kita
menyadari rasionalitasnya yang lebih besar. Sebagian karena Stoisisme Yunani
berperan dalam pembentukan dan penyebarannya, hukum Romawi tampaknya
memungkinkan eksistensi hukum alam. Berdasarkan ius gentium (hukum bangsa-
bangsa atau hukum internasional), beberapa hak yang bersifat universal berkembang
melebihi hak-hak warga negara. Menurut ahli hukum Romawi Ulpianus, misalnya,
doktrin hukum alam menyatakan bahwa alamlah, bukan negara yang menjamin
semua manusia, baik ia merupakan warga negara atau bukan. besar.7

6
Ibid., hlm. 67.
7
Ibid., hlm. 68-69.

3
C. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia

Masalah keadilan yang merupakan inti dari hukum alam menjadi pendorong
bagi upaya penghormatan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan universal.
Perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia dunia bermula dari:

1. Solon

Solon 600 SM di Athena berusaha mengadakan pembaharuan dengan menyusun


undang-undang yang menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warga negara.
Menurut Solon orang0orang yang menjadi budak karena tidak dapat membayar
hutang harus dibebaskan. Untuk menjamin terlaksananya hak-hak kebebasan warga
solon menganjurkan dibentuknya Mahkamah/Pengadilan (Heliaea) dan lembaga
perwakilan rakyat atau majelis rakyat (Eclesia).

2. Perikles

Negarawan Athena yang berusaha menjamin keadilan bagi warga Negara yang
miskin. Setiap warga dapat menjadi anggota majelis rakyat dengan syarat sudah
berusia 18 tahun. Ia menawarkan system demokrasi untuk menjamin hak asasi
warga. Konsep demokrasi yang ditawarkan Perikles secara objektif mengandung
banyak kelemahan. Terlepas dari semua kelemahan itu, ia tetap dipandang sebagai
tokoh yang memperjuangkan hak asasi manusia. Ia memperjuangkaan hak-hak
politik warga yang sebelumnya tidak ada.

3. Socrates – Plato – Aristoteles

Sokrates, Plato dan Aristoteles mengemukakan pemikirannya tentang hak asasi


manusia dalam kaitannya dengan kewajiban atau tugas negara. Socarates banyak
mengkritik praktek demokrasi pada masa itu. Ia mengajarkan HAM, kebijaksanaan,
keutamaan, keadilan. Lebih jauh ditekankan agar warga berani mengkritik
pemerintah yang tidak mengindahkan keadilan dan kebebasan manusia. (Bertens,
1971) Ajaran ini dipandang sangat berbahaya bagi penguasa, sehingga ia dihukum

4
mati dengan cara minum racun. Plato dalam dialognya Nomoi mengusulkan suatu
sistem pemerintahan dimana petugas atau pejabat dipilih oleh rakyat tetapi dengan
persyaratan kemampuan dan kecakapan. Plato berkandaskan pada sistem demikrasi
langsung ala Perikles dimana demokrasi yang berjalan justru meminggirkan hak-hak
warga. (Bertens, 1971).

Sementara menurut Aristoteles, suatu negara disebut baik apabila mengabdikan


kekuasaan untuk kepentingan umum. Ia menawarkan pemerintahan atau Negara
Politeia, yaitu demokrasi yang berdasarkan undang-undang. Dalam sistem ini
seluruh rakyat ambil bagian dalam pemerintahan baik yang kaya maupun yang
miskin, yang berpendidikan atau tidak berpendidikan. (Bertens, 1971) Secara implisit
ia menganjurkan adanya persamaan bagi warga negara tanpa adanya diskriminasi.

4. Piagam Madinah

Piagam Madinah (shahifatul madinah/mitsaaqu al-Madiinah) juga dikenal


dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi
Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan
semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yatsrib (kemudian bernama Madinah)
di tahun 622. Dokumen tersebut disusun dengan tujuan utama untuk menghentikan
pertentangan antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen
tersebut menetapkan sejumlah hak dan kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi,
dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu
kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut Ummah. Hak asasi manusia
yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu hak
untuk hidup, kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.

a. Hak untuk hidup Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang


mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir
untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman
pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh
keluarga korban.

5
b. Kebebasan Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori,
yaitu:
1) Kebebasan mengeluarkan pendapat Musyawarah merupakan salah satu
media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang
sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan
mengeluarkan pendapat.
2) Kebebasan beragama, kebebasan memeluk agama masing-masing bagi
kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.
3) Kebebasan dari kemiskinan, kebebasan ini harus diatasi secara bersama,
tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum
yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah
upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandangan Barat.
4) Kebebasan dari rasa takut, larangan melakukan pembunuhan, ancaman
pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan
dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di
Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
c. Hak mencari kebahagiaan Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya,
meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan
itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus
berbarengan dengan ketenangan batin.

5. Magna Charta (15 Juli 1215)

Kesewenang-wenangan raja Inggris mendorong para bangsawan mengadakan


perlawanan. Raja dipaksa menanda tangani piagam besar (Magna Charta) yang berisi
63 pasal. Magna Charta ditandatangani oleh Raja John Lockland, yang didalamnya
tentang jaminan-jaminan perlindungan kaum kemenangan para bangsawan dan
gereja.8 Magna charta selalu dipandang sebagai kemenangan para bangsawan atas
Raja Inggris. Walaupun hanya kemenangan bagi kaum bangsawan atas kekuasaan
absolut kerajaan Inggris, hal ini dapat dikatakan sebagai langkah awal suatu
8
Scott Davidson, Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta, Graffiti, 1994, hlm. 2.

6
kebebasan dan kemerdekaan seseorang. Pasal 21 Magna Charta menyebutkan bahwa
earls and barons shall be fined by their equal and only in proportion to the measure
of the offence.9 Yang artinya bahwa para pangeran dan baron akan dihukum
(didenda) berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukannya. Selanjutnya pada pasal 40 ditegaskan bahwa tidak seseorangpun
menghendaki kita mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan.

Tujuan piagam ini adalah membela keadilan dan hak-hak para bangsawan.
Dalam perkembangannya kekuatan yang ada pada piagam ini berlaku untuk seluruh
warga. Esensi Magna Charta ini adalah supremasi hukum di atas kekuasaan.
Piagam ini menjadi landasan terbentuknya pemerintahan monarki konstitusional.
Prinsip-prinsip dalam piagam ini, pertama kekuasaan raja harus dibatasi, kedua
HAM lebih penting daripada kedaulatan atau kekuasaan raja, ketiga dalam masalah
kenegaraan yang penting temasuk pajak harus mendapatkan persetujuaan bangsawan,
keempat tidak seoran pun dari warga negara merdeka dapat ditahan, dirampas harta
kekayaannya, diperkosa hak-haknya, diasingkan kecuali berdasarkan pertimbangan
hukum.10

6. Petition of Rights (1628)

Petition of Rights pada tahun 1628, diikuti lahirnya Bill of Rights di Inggris pada
tahun 1689. Bill of Rights timbul karena adanya Revolusi Gemilang (Glorius
Revolution). Pada masa ini timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia
sama dimuka hukum (equality before law).11 Asas persamaan ini harus dapat
diwujudkan betapapun besarnya resiko yang dihadapi. Karena hak kebebasan baru
dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.

Bill of Rights yang menyatakan dirinya bukan sebagai deklarasi undang- undang
yang ada dan bukan merupakan undang-undang baru. Bill of Rights menundukkan

9
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana
Pranada Media Group, hlm. 22.
10
Majalah, What is Democracy, United State Information Agency, 1991, USA: 1991, hlm. 12.
11
Ibid., hlm. 203.

7
monarki dibawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan raja
untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang diklaim raja adalah illegal. Bill
of Rights juga melarang pemungutan pajak dan pemeliharaan tetap pasukan pada
masa damai oleh raja tanpa persetujuan parlemen.

7. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (4 Juli 1776)

Amerika Serikat yang dulunya merupakan koloni-koloni Inggris, melakukan


pemberontakan di Amerika Utara pada paruh kedua abad ke XVIII (delapan belas).
Pemberontakan ini dilakukan karena menyusul ketidakpuasan akan tingginya pajak
dan tiadanya wakil dalam parlemen Inggris. Para pemimpin- pemimpin Amerika ini
tidak melupakan pengalaman Revolusi Inggris dan juga berbagai filosofi dan
teoritisnya yang membenarkan revolusi ini. Perkembangan pengakan HAM ini
ditandai dengan munculnya The Declaration of Independence yang lahir dari paham
Rousseau dan Montesquieu.12 Dimana dipertegas lagi bahwa manusia adalah
merdeka sejak didalam perut ibunya, sehingga tidak logis sesudah lahir ia harus
dibelenggu. Dalam deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 yang disusun
oleh Thomas Jefferson mengungkapkan dengan kata-kata yang jelas dan tepat yaitu
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sudah dengan sendirinya, bahwa semua
manusia diciptakan sama, bahwa penciptaNya telah menganugerahi mereka hak-hak
tertentu yang tidak dapat dicabut, bahwa diantara hak-hak itu adalah hak- hak untuk
hidup, bebas, dan mengejar kebahagiaan, bahwa untuk menjamin hak- hak ini orang-
orang mendirikan pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar
berdasarkan persetujuan bersama, bahwa kapansaja suatu bentuk pemerintahan
merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.

Sebulan sebelum deklarasi kemerdekaan diatas, telah lebih dulu lahir Deklarasi
Hak Asasi Virginia (The Virginia Declaration) yang disusun oleh George Mason.
Yang mencantumkan kebebasan-kebebasan yang spersifik dan harus dilindungi dari
campur tangan Negara. Kebebasan ini mencakup antara lain yaitu kebebasan pers,

12
Ibid., hlm. 203.

8
kebebasan beribadat, dan ketentuan yang menjamin tidak dapat dicabutnya
kebebasan seseorang kecuali berdasarkan hukum setempat atau pertimbangan warga
sesamanya.

Para penyusun UUD Amerika Serikat yang terpengaruh oleh Deklarasi Virginia
memasukkan perlindungan hak-hak diatas. Pada tahun 1791, Amerika Serikat
mengadopsi Bill Of Rights melalui sejumlah amandemen terhadap konstitusi.
Beberapa amandemen ini dekenal olehh dunia yaitu Amandemen Pertama,
Amandemen Keempat, dan Amandemen Kelima.

Amandemen pertama yaitu melindungi kebebasan beragama, kebebasan pers,


kebebasan menyatakan pendapat dan hak berserikat. Amandemen Keempat yaitu
melindungi individu terhadap penggledahan dan penangkapan yang tidak beralasan.
Dan amandemen kelima yaitu menetapkan larangan memberatkan diri sendiri dan
hak atas proses hukum yang benar. Deklarasi kemerdekaan Amerika ini menyatakan
bahwa manusia diciptakan sama dan sederajat oleh penciptanya. Semua manusia
dianugrahi hak hidup, kemerdekaan, kebebasan. Hak-hak tersebut tidak dapat dicabut
oleh siapapun juga.

8. Revolusi Perancis (14 Juli 1789)

Kesewenang-wenangan raja Louis XIV mendorong munculnya revolusi


Perancis. Rakyat tertindak menyerang penjara Bastille yang merupakan simbul
absolutism raja. Semboyan revolusi perancis: perasaan, persaudaraan dan kebebasan
dalam perkembangan nya menjadi landasan perjuangan HAM di Perancis. Konsep
ini bergema ke seluruh penjuru dunia. Revolusi diilhami oleh pemikiran-pemikiran
Jean Jaquas Rousseau, Montesqieuw, dan Voltaire.13 Ditahun 1789, lahir The French
Declaration (Deklarasi Perancis) atau Declaration des Droit de I’homme et du
citoyen yang lahir dari Revolusi Perancis.Revolusi ini mencerminkan teori kontrak
social dari J.J. Rosseau dan teori trias politika dari Montesquieu.

13
Majalah, Op. Cit., hlm. 20.

9
Pasal 2 Deklarasi perancis menyatakan bahwa sasaran setiap asosiasi politik
adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak
ini adalah hak atas kebebasan (liberty), harta (property), keamanan (safety), dan
perlawanan terhadap penindasan (sesistence to oppression). Pasal 4 juga menyatakan
bahwa kebebasan berarti dapat melakukan apasaja yang tidak merugikan orang lain.
Jadi pelaksanaan hak-hak kodrati manusia tidak dibatasi, kecuali oleh batas-batas
yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama bagi anggota masyarakat yang lain
dan batas-batas ini hanya ditetapkan oleh Undang-Undang .

Yang mana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam
The Rule of Law. Yang menyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan
yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alas an yang sah dan penahanan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam hal ini, berlaku
prinsip presumption of innocent. Yang mengartikan bahwa orang-orang yang
ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai
ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht van dadings) yang
menyatakan ia bersalah. Kemudian ada beberapa prinsip kebebasan mengeluarkan
pendapat (freedom of experisson), prinsip untuk bebas menganut keyakinan/agama
yang dikehendaki (freedom of religion), dan perlindungan hak milik (the rights of
property).

Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup hak-hak yang menjamin


tumbuhnya demokrasi maupun Negara hukum. Hak-hak dasar yang diatur sudah
jelas adalah dasar dari suatu Hak Asasi Manusia, dimana aka nada pengembangan
yang lebih lagi atas Hak-Hak Asasi Manusia. Perkembangan yang lebih signifikan
lagi adalah dengan munculnya The Four Freedoms. Pada tanggal 6 Januari 1941,
Presiden Rososevelt dari Amerika Serikat membuat suatu pernyataan akan Hak Asasi
Manusia yang dikenal dengan The Four Freedoms yaitu:
a. Hak kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat dimanapun dia
berada.
b. Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beridah sesuai dengan ajaran agama

10
yang diperlukan.
c. Hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha untuk
mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya.
d. Hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha pengurangan persenjataan,
sehingga tidak satupun bangsa atau Negara berada dalam posisi berkeinginan
untuk melakukan serangan terhadap Negara lain.14

9. Deklarasi Philadelphia (1944)

Pada tahun 1944, diadakan konferensi buruh internasional di Philadelphia yang


kemudian menghasilkan Deklarasi Philadelphia. Isi dari konferensi ini yaitu tentang
kebutuhan penting untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan social,
perlindungan seluruh manusia apapun rasnya, kepercayaan, atau jenis kelaminnya.
Memiliki hak untuk mengejar perkembangan material danspritual dengan bebas dan
bermartabat, keamanan ekonomi, dann kesempatan yang sama.

10. Universal Declaration of Human Rights (10 Desember 1948)

Setelah melewati berbagai revolusi dan begitu banyak deklarasi yang dinyatakan
oleh beberapa Negara maupun melalui kenferensi internasional, maka kedudukan
Hak Asasi Manusia menjadi sangat penting dan menentukan dalam kehidupan ini.
Dapat dilihat bahwa tidak ada satupun manusia yang ingin dibelenggu maupun
berada dibawah kekuasaan seseorang dengan cara paksa (diperbudak). Berdasarkan
berbagai kejadian-kejadian di dunia terutama setelah apa yang dilakukan oleh Nazi,
maka Negara-negara di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa
merasa bahwa Hak Asasi Manusia adalah bagian yang terpenting.

Dalam pasal 1 (satu) dan 2 (dua) Piagam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
memang diakui tentangk eberadaan HAM. Namun, perlu diadakan penyempurnaan
terhadap apa yang diatur dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Langkah
yang diperlukan ini dimenal dengan istilah Truman (Presiden AS) yang mengatakan

14
Azyumardi Azra, Loc. Cit., hlm. 204.

11
perlunya disusun suatu Bill of Rights International, dalam waktu setahun setelah
piagam PBB diberlakukan. Tugas menyusun Bill of Rights International (pernyataan
tertulis yang memuat hak-hak terpenting warga Negara) itu diserahkan kepada
komisi HAM (Commission Of Human Rights atau disebut CHR).15 Yaitu komisi
yang bernaung dari ECOSOC atau Economic and Social Council (Dewan Sosial dan
Ekonomi PBB). Komisi ini terdiri atas wakil-wakil Negara, dimana diputuskan
bahwa catalog HAM hendaknya berbentuk sebuah Resolusi Majelis Umum PBB.
Inilah sejarah dan latar belakang lahirnya hak-hak asasi manusia manusia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ECOSOC kemudian membentuk Komisi Hak-
Hak Asasi Manusia atau CHR pada tahun 1946.16 Komisi ini dipimpin oleh Eleanor
Rosevelt dari Amerika Serikat dan berkedudukan di Jenewa. Selain Eleanor
Rosevelt, ada beberapa contributor kunci dalam perumusan naskah Deklarasi se-
Dunia. Mereka adalah Rene Cassin (Prancis), Charles Malik (Libanon), Peng Chun
Chang (tiongkok), Hernan Santa Cruz (Chili), Alexandre Bogomolov dan Alexel
Pavlov (Unisoviet), Lord Dukeston dan Geoffrey Wilson (Inggris), William Hudson
(Austria), serta John Humphrey (Canada).17

Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB menyetujui dan


mengumumkan Deklarasi Universal Declaration of Human Rights di Palais de
Chillot, Paris. Deklarasi sedunia ini sifatnya hanya mengikat secara moral dan etis
seluruh anggota PBB, maka secara yuridis masih diperlukan perjanjian sebagai hasil
18
keputusan PBB. Pernyataan Umum tentang Hak-Hak asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dimaksudkan sebagai suatu standar kemajuan bagi
semua rakyat. Deklarasi Universal ini berisikan 30 (tiga puluh) pasal, dan
menjelaskan hak-hak sipil, dan politik yang mendasar, hak ekonomi, social, dan
kebudayaan yang fundamental, yang harus dinikmati oleh manusia di setiap Negara.

15
http:www.UN.org/Economic and social/Commission of Human Rights.
16
C. de. Rover. C, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM), Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 67.
17
Setia Tunggal Hadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Hak-Hak Asasi Manusia, Haravindo, Jakarta:
Haravindo, hlm. 33.
18
Setia Tunggal Hadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Hak-Hak Asasi Manusia, Haravindo, Jakarta:
Haravindo, hlm. 33.

12
Dalam kenyataan tidak terlalu sukar untuk mencapai kesepakatan mengenai
pernyataan HAM, yang memang dari semua dianggap sebagai langkah pertama saja.
Akan tetapi tenyata lebih sukar untuk melaksanakan tindak- lanjutnya, yaitu
menyusun suatu perjanjian (Covenant) yang mengikat secara yuridis, sehingga
diperlukan waktu delapan belas tahun setelah diterimanya pernyataan. Baru pada
akhir tahun 1966 sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secra
aklamsi Perjanjian tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on
Economic, social and Cultural Rights) serta perjanjian tentang Hak – Hak sipil dan
politik (Convenant on civil and Political Rights). Sementara itu diperlukan sepuluh
tahun lagi sebelum dua perjanjian ini dinyatakan berlaku. Perjanjian tentang Hak –
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku bulan januari 1979, sesudah
diratifikasikan oleh 35 negara, sedang perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik
sedang menunggu ratifikasi yang ke 35.2 Sesudah itu ia juga berlaku. Diantara
Negara yang telah mengadakan ratifikasi terdapat Negara Amerika Serikat, Inggris,
India, Indonesia, Malaysia, Thailand dan sebagainya.

Dalam mempelajari perkembangan pernyataan dan dua perjanjian tadi timbul


pertanyaan: pertama, mengapa dibuat dua macam perjanjian; dan Kedua, mengapa
masa antara diterimanya pernyataan dan diterimanya dua perjanjian begitu lama.
Waktu menyusun suatu perumusan untuk perjanjian yang diusahakan sebagai tindak
lanjut dari pernyataan, ternyata bahwa ada perbedaan yang sedikit menyolok antar
sifat hak- hak tradisionil seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, hak atas
kedudukan sama di muka hukum, dan sifat hak-hak baru di bidang ekonomi dan
social, seperti hak atas penghidupan yang layak, atau hak untuk memperoleh
pengajaran. Hak-hak sipil dan politik agak mudah dirumuskan. Sebaliknya, hak-hak
ekonomi jauh lebih sukar diperinci (misalnya, konsep penghidupan yang layak,
akan berbeda sekali di Negara yang kaya dan Negara yang miskin).

Hak-hak politik pada hakekatnya mempunyai sifat melindungi individu


terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Jadi, untuk melaksanakan
hak-hak politik itu sebenarnya cukup dengan mengatur peranan pemerintah melalui

13
perundang – undangan, agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat
tidak melampaui batas-batas tertentu. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
hak – hak ekonomi, justru kebalikannya, untuk melaksanakanya tidak cukup hanya
membuat undang-undang, akan tetapi pemerintah harus secara aktifmenggali
sumber kekayaan masyarakat dan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa
sehingga tercipta iklim di mana hak-hak ekonomi, seperti hak atas pekerjaan, hak
atas penghidupan yang layak, betul-betul dapat dilaksanakan. Kegiatan yang
menyeluruh itu akan mendorong pemerintah untuk mengatur dan mengadakan
campur tangan yang luas dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, dengan segala
konsekuensinya.

Perbedaan juga dapat dilihat pada mekanisme pengawasan. Disadari bahwa


pelaksanaan hak-hak ekonomi bagi banyak Negara merupakan tugas yang sukar
dilaksanakan secara sempurna; maka dari itu dalam perjanjian tentang hak-hak
ekonomi ditentukan bahwa setiap Negara yang mengikat diri cukup member laporan
kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kemajuan yang telah dicapai. Pada
hakekatnya perjanjian ini hanya menetapkan kewajiban bagi Negara-Negara yang
bersangkutan untuk mengusahakan kemajuan dalam bidang-bidang itu, tetpi tidak
bermaksud untuk mengadakan pengawasan secara efektif. Sebaliknya anggapan
bahwa hak-hak politik harus dapat dilaksanakan secara efektif, dan pemikiran ini
tercermin dalam ketentuan yang termuat dalam perjanjian tentang hak – hak sipil
dan politik, bahwa didirakan suatu panitia HAM (Human Rights Committee) yang
berhak menerima serta menyelidiki pengaduan dari suatu Negara terhadap Negara
lain dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap suatu ketentuan dalam perjanjian itu.

Disamping perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik juga disusun Optional
Protocol yang menetapkan bahwa panitia HAM juga dapat menerima pengaduan
dari perseorangan terhadap Negara yang telah menandatangani optional protocol itu
jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian hak-hak sipil dan
politik. Dalam menjawab pertanyaan mengapa diperlukan waktu begitu lama untuk
menyusun dua perjanjian tadi, perlu diteropong perbedaan sifat antara pernyataan

14
dan perjanjian. Dalam tubuh komisi HAM (comimission on Human Rights) yang
didirikan pada tahun 1946 telah timbul perselisihan apakah naskah yang telah
disusun akan mempunyai kedudukan sebagai hukum positif yang wajib
dilaksanakan oleh Negara-Negara yang mengikat diri, ataukah hanya berfungsi
sebagai pedoman. Maka diputuskan bahwa tugas komisi HAM akan
diselenggarakan dalam dua tahap.

Pada tahap pertama akan diusahakan untuk merumuskan secara singkat HAM
serta kebebasan – kebebasan manusia yang menurut pasal 55 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, wajib diperkembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam
tahap kedua akan disusun sesuatu yang lebih mengikat dari pada pernyataan belaka
(something more legally binding than a mere Declaration) dan bahwa naskah itu
akan berbentuk perjanjian (Covenant). Ditentukan pula bahwa pada tahap kedua ini
prosedur serta aparatur pelaksanaan dan pengawasan akan diperinci. Dengan
demikian pernyataan pada umumnya dianggap tidak mengikat secara yuridis dank
arena itu sering dinamakan suatu pernyataan keinginan-keinginan manusia
(Declaration of Human Desires). Pernyatan ini dimaksud sebagai tujuan dan standar
minimum yang dicita-citakan oleh umat manusia dan yang pelaksananya di bina
oleh Negara-Negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan
tetapi, sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun dokumen ini mempunyai
pengaruh moril, politik dan edukatif yang sangat besar. Dia melambangkan
commitment secara moril dari dunia internasional pada norma-norma dan HAM.
Pengaruh moril dan politik ini terbukti dari sering disebutnya dalam keputusan-
keputusan hakim, undang-undang ataupun undang-undang dasar beberapa Negara,
apalagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri.

Kesukaran yang dijumpai dalam usaha untuk mencapai kata sepakat mengenai
perjanjian ialah bahwa implementasi HAM menyangkut masalah hukum
internasional yang sangat rumit sifatnya, seperti masalah kedaulatan suatu Negara,
kedudukan individu sebagai subyek hukum international dan mengenai masalah
domestic jurisdiction dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.Akan tetapi,

15
kesukaran terbesar yang dijumpai ialah bahwa pelaksanaan HAM harus disesuaikan
dengan keadaan dalam Negara masing-masing masing. Dan ternyata bahwa HAM
yang dalam pernyataan dirumuskan dengan gaya yang gamblang dan seolah-olah
tanpa batas, terpaksa dalam perjanjian dinyatakan sebagai terbatas oleh dua hal:
pertama, oleh undang-undang yang berlaku; dan kedua, oleh pertimbangan
ketertiban dan keamanan nasional dalam masing-masing Negara. Misalnya, hak atas
kebebasan untuk memepunyai dan mengutarakan pendapat yang disebut dalam
pernyataan, dalam perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik dinyatakan terbatas
oleh undang-undang yang berlaku, yang perlu untuk menghormati hak dan nama
baik orang lain serta untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moral umum (sebagaimana diatur dalam pasal 19).

Demikian pula hak untuk berkumpul dan berapat dinyatakan terkena


pembatasan-pembatasan yang sesuai dengan undang-undang dan yang dalam
masyarakat demokrastis dipelukan demi kepentingan kepentingan keamanan
nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap
kesehatan dan moral umum atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan –
kebebasan orang lain (sebagaimana diatur dalam pasal 12)

Ratifikasi dua perjanjian membutuhkan waktu yang lama, akan tetapi di tingkat
regional, teerutama di Eropa Barat, pelaksanaan HAM telah dapat diselenggarakan
dengan lebih memuaskan. Negara-Negara yang tergabung dalam Council of
Europe( majelis Eropa) telah menandatangani Convention for the Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms di Roma pada tahun 1950. Dengan
demikian Negara-Negara yang tergabung dalam council of Europe merupakan
badan international pertama yang telah menuangkan ketentuan-ketentuan
pernyataan HAM kedalam perjanjian international yang mengikat semua Negara
peserta. Juga telah didirikan lembaga-lembaga untuk melaksanakanya, seperti
European Court Of Human Rights (Mahkamah Eropa Hak Asasi Manusia Eropa)
yang mulai bekerja pada tahun 1959, sekalipun dalam ruang lingkup terbatas, yaitu
di Austria, Belgia, Denmark, Iceland, Irlandia, Luxemburg, Negeri Belanda,

16
Norwegia, Swedia dan Jerman Barat.

Kemajuan juga dapat dicatat dalam perumusan beberapa bidang khusus. Telah
diterima bermacam-macam perjanijian (convention) seperti: convention mengenai
genocide (1948), mengenai kerja paksa (1957), mengenai diskriminasi berdasarkan
kelamin (antara 1951 dan 1962) serta mengenai dikriminasi berdasarkan ras (1965).
Convention ini telah menentukan standar international dan menetapkan pula
tindakan preventif dan korektif yang mengikat secara yuridis. Akhirnya, sebagai
ilustrasi, ada baiknya di bawah ini disajikan perumusan beberapa HAM yang dimuat
dalam perjanjian hak-hak sipil dan politik dan perjanjian hak-hak ekonomi, Sosial
dan Budaya. Kedua naskah perjanjian dimulai dengan pasal yang sama bunyinya
dan yang mungkin dianggap sebagai dasar dari semua macam HAM, yaitu: All
peoples have the rights of self- determination. By virtue of that right they freely
determine their political status and freely pursue their economical, social and
cultural development (semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib
sendiri. Berdasarkan hak itu mereka secara bebas menentukan status politik mereka
dan secara bebas mengejar perkembangan mereka dibidang ekonomi, social dan
budaya).

Memang pernyataan umum atau Universal Declaration of Human Rights ini


tidak memiliki kekuatan sebagaimana perjanjuan dan konvensi yang harus dipatuhi
oleh Negara yang menandatanganinya. Namun, Deklarasi Se-Dunia ini dianggap
memiliki bobot hukum internasional karena telah diterima luas oleh Negara-negara.
Banyak Negara-negara yang baru merdeka mengutip pernyataan umum ini dan
memasukkan ketentuan-ketentuannya dalam hukum dan Undang- Undang Dasar
mereka. Seperti Indonesia yang memasukkan Piagam PBB yang merupakan awal
lahirnya Deklarasi Se-Dunia ini kedalam Undang-Undang Dasar1945, yaitu pada
alinea ke-IV (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini terjadi karena Deklarasi Se-Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia
dirancang pada saat sebagian besar bangsa-bangsa di wilayah Dunia Ketiga masih

17
berada pada masa penjajahan. Kesempatan ini dipergunakan berbagai bangsa-bangsa
yang dijajah untuk memperoleh kemerdekaan secara de jure. Deklarasi Se-Dunia ini
memicu lahirnya berbagai perjanjian maupun konvensi mengenai Hak-Hak Asasi
Manusia. Pada tanggal 16 Desember 1966, melalui sidang umum PBB menerima 2
(dua) konvenan dan 1 (satu) protokol opsional mengenai Hak Asasi Manusia. Kedua
konvenan yang berkaitan dengan Deklarasi Se-Dunia berkaitan dengan ketentuan-
ketentuan yang mengikat bagi Negara yang meratifikasinya, yaitu untuk memberikan
perlindungan kepada pribadi manusia tentang hak (rights) dan kebebasan (freedom).

Kemudian pada tahun 1986, PBB mengakui bahwa hak mengembangkan diri
(Rights of Devvelopment) adalah bagian dari Universal Declaration of Human
Rights. Anggota PBB yang belum atau tidak meratifikasi konvenan ini tidak terikat
untuk melaksanakannya, tetapi mempunyai tanggung jawab moral untuk
menghormati pelaksanaannya. Program Hak-Hak Asasi Manusia PBB
mempergunakan 3 (tiga) pendekatan dalam meningkatkan penghormatan terhadap
Hak Asasi Manusia. 3 (tiga) pendekatan itu adalah:
1. Hukum-Pengembangan pernyataan dan konvensi.
2. Perlakuan-melalui prosedur sesuai dengan yang telah diatur dalam konvensi
khusus atau resolusi-resolusi yang disetujui oleh badan-badan PBB.
3. Pendidikan sera Penerangan-pelaksanaan latihan dan pemberian nasihat,
penyebarluasan perangkat hak-hak asasi manusia dan penerangan umum.

D. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, konsep yang di


masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya telah berlangsung cukup lama.
Adapun perkembangan pemikiran HAM diantaranya adalah:

1. Periode Sebelum Kemerdekaan( 1908-1945)

Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah


memperhatikan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui

18
petisi-petisi yang ditinjaukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang
dimuat surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam
bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Perdebatan pemikiran
HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan
kedudukan di muka hukum. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang tidak layak,
hak untuk memerluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

2. Periode Setelah Kemerdekaan (1908-1945)

a. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan
pada hak untuk merdeka (self determination), hak kebebasan untuk berserikat
melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal terpenting dengan HAM
adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap pemerintahan dari
sistem pemerintahan dari sistem presidensil menjadi sistem parlemen.

b. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dalam rangka perjalanan Negara Indonesia dikenal
dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode
ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik.

c. Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soerkarno terhadap sistem demokrasi
parlementer. Pada sistem ini kekukasaan terrpusat dan berada ditangan Presiden.

d. Periode 1970-1980:
Pemikiran elit pemguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap

19
penolakkannya terhadap HAM sebagi produk Barat dan individualistik serta
bertentangan dengan paham kekeluragan yang dianut bangsa Indonesia.
Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari
produk hokum yang umumnya restriktif terhadap HAM.

e. Periode 1966-1998
Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagi seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM,
pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia.

f. Periode 1998-sekarang
Strategi penegakkan HAM pada periode ini dilakukan melalui duatahap status
penentuan (perspective status) dan tahap penataan aturan secara konsisten (rule
consistent behaviour). Pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa
penentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi
Negara (Undang-Undang Dasar Tahun 1945), Ketetapan MPR (TAP MPR),
Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan ketentuan perundang-
undangan lainnya.

E. Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia

Secara garis besar bentuk dan konsep dari Hak Asasi Manusia itu terbagi dalam
2 (dua) katergori, yaitu: a. Non-Derogable Rights (Hak yang tidak dapat dikurangi).
b. Derogable Rights (Hak yang dapat dikurangi).

1. Non-Derogable Rights (Hak yang Tidak Dapat Dikurangi)

Konsep non-derogable rights dimaknai bahwa beberapa hak asasi manusia


adalah bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak,

20
walaupun dalam keadaan darurat sekalipun19, atau dalam keadaan apapun, atau
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Berikut ini teks pasal-pasal yang mengatur
tentang hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).

Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki banyak persoalan di bidang
Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah memuat beberapa muatan hak yang menjadi
materi non-derogable rights di pasal-pasal International Covenant on Civil and
Political Rights, jauh sebelum International Covenant on Civil and Political Rights
itu sendiri disahkan. Hal ini dapat dibuktikan dari pasal-pasal yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan salah satu diantaranya terdapat pada pasal 28A
tentang hak hidup yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa
hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.20

Adapun pasal-pasal yang menganut konsep non-derogable rights, yang bersifat


absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-negara pihak
International Covenant on Civil and Political Rights, walaupun dalam keadaan
darurat sekalipun

a. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.


Sehingga Negara menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling
mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

b. Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

19
Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: eLSAM, 2001, hlm. 12.
20
Buyung Nasution & A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 23.

21
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.

c. Pasal 37 TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non–derogable).

d. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Hak hidup merupakan hak manusia yang paling dasar bersifat non-derogable rights
secara teoritis tidak boleh dilanggar atau ditunda pelaksanaannya. 21 Ifdal Kasim
berpendapat bahwa berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights
sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005, kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi antara lain:22

a. Hak atas hidup (rights to life), dalam Pasal 3;


b. Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), dalam Pasal 5;
c. Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery), dalam Pasal 4;
d. Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang, dalam

21
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015,
hlm. 119.
22
Ifdal Kasim, Op. Cit., hlm. 12.

22
Pasal.9,
e. Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut,
f. Hak sebagai subjek hukum, dan
g. Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama, dalam Pasal 200.

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional
pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada
tanggal 23 Maret 1976.23

2. Derogable Rights (Hak yang Dapat Dikurangi)

Konsep yang kedua adalah konsep derogable rights yaitu hak-hak yang boleh
dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara pihak. International
Covenant on Civil and Political Rights atau Konvenan internasional hak sipil dan
politik memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-
pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat yang esensial dan
mengancam kehidupan suatu bangsa. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4
Konvenan hak sipil dan politik sebagai berikut:

a. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya,


yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat
mengambil langkah- langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka
berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat
tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak
mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
b. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18
sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.

23
Sentosa Sembiring, Penjelasan atas Undang-Undang RI no. 12 Ttahun 2005 tentang Pengesahan
Internasional Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik), Bandung: Nuansa Aulia, 2006, hlm. 126.

23
Berdasarkan Pasal 4 konvenan hak sipil dan politik di atas memberikan legalitas
kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap Hak asasi manusia jika
Negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat atau yang dalam bahasa inggrisnya
disebut sebagai state of emergency menurut Pengadilan Eropa untuk hak asasi manusi
adalah situasi krisis yang luar biasa atau keadaan darurat yang mempengaruhi
keseluruhan penduduk dan merupakan ancaman bagi kehidupan komunitas yang
terorganisir (Nihal Jayawickrama, 2002 : 205).

A. H. Robertson and J.G Merrills dalam Osgar S. Matompo, menerangkan


keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul
dari luar (eksternal) atau dari dalam negeri (internal). Ancamannya dapat berupa
ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan
keadaan darurat lainnya, tetapi dapat menimbulkan korban jiwa, harta benda di
kalangan warga negara yang mutlak harus dilindungi (Binsar Gultom : 2010 : 4).
Dalam kondisi negara tidak normal atau keadaan darurat sistem hukum yang
diterapkan harus menggunakan kekuasaan dan prosedur yang bersifat darurat lewat
hukum keadaan darurat yang dapat mengesampingkan hukum dalam keadaan
normal, tanpa harus mempengaruhi sistem-sistem pemerintahan yang demokratis
yang dianut berdasarkan konstitusi. Dalam keadaan darurat yang mengancam
kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara
atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.24

Ditambahkan oleh Beni Prasad bahwa dalam keadaan yang bersifat darurat,
pemerintah dianggap dapat melakukan tindakan apa saja. Pembenaran mengenai hal
ini didasarkan atas pengertian bahwa suatu keadaan yang tidak normal mempunyai
sistem norma hukum dan etikanya tersendiri, atau keadaan yang disebut
Appaddharma yang berarti keadaan krisis yang sangat mengerikan. Dalam keadaan
kacau tersebut, semua aturan moralitas yang biasa berlaku dalam keadaan normal
dapat ditunda berlakunya. Ini berarti bahwa dalam keadaan darurat semua tindakan

24
Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Keadaan
Darurat”, Jurnal Media Hukum, No. 02, Desember 2015, hlm. 61.

24
yang bersifat luar yang dilakukan oleh pemerintah termasuk melakukan pembatasan
terhadap Hak Asasi Manusia dapat dibenarkan untuk dilakukan demi
mempertahankan integritas negara dan melindungi warga negaranya. Komite PBB
tentang HAM dalam General Comment No 29 on Article 4 of International Covenant
on Civil and Political Rights. Mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi
untuk dapat membatasi HAM diantaranya yaitu: dimana situasi harus berupa keadaan
darurat yang mengancam kehidupan bangsa, dan negara pihak harus menyatakan
secara resmi negara dalam keadaan darurat.

Pada dasarnya setiap hak asasi manusia wajib dilindungi (protect), dipenuhi
(fulfill) dan ditegakan (enforced) oleh negara. Hanya saja dalam perkembangannya,
tidak semua hak harus dipenuhi secara mutlak, ada pula hak-hak yang dapat dibatasi
pemenuhannya dan ada hak-hak yang tidak dapat dibatasi pemenuhannya meskipun
dalam keadaan darurat. Hak-hak yang boleh dibatasi pemenuhannya dalam keadaan
darurat yaitu hak yang disebut sebagai derogable rights, yang terdiri dari hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk
berbicara. Apabila suatu negara menghadapi ancaman yang membahayakan
eksistensi atau kedaulatan sebagai negara merdeka atau membahayakan keselamatan
warga negaranya, negara tersebut dianggap dapat bertindak apa saja, terlepas dari
persoalan legalitas cara-cara yang ditempuh Namun, tindakan-tindakan pembatasan
terhadap HAM, bagaimanapun harus ditentukan batas-batasannya yang jelas beserta
ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dengan
merugikan kepentingan kemanusiaan yang lebih luas.25

Menurut Alexander N. Domrin, ada berbagai macam alasan untuk menyatakan


keadaan darurat dalam undang-undang dari negara-negara didunia seperti yang
dilakukan oleh para sarjana hukum Jerman,A Hamann dan Hans-Ernst Folzmembagi
semua keadaan darurat ke dalam enam atau tujuh kategori. A Hamann
mengidentifikasikan keadaan darurat sebagai berikut :
a. Invasi asing;
25
Ibid., hlm. 63.

25
b. Tindakan publik yang bertujuan subversi rezim konstitusional;
c. Pelanggaran serius mengancam ketertiban umum dan keamanan;
d. Bencana;
e. Pemogokan dan kerusuhan di bidang penting dari perekonomian;
f. Gangguan penting dalam pelayanan publik; dan,
g. Kesulitan di bidang ekonomi dan keuangan.26

Klasifikasi konsep derogable right, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh Negara-negara pihak, diantaranya:
a. Hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
b. Hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota
serikat buruh, dan
c. Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan
mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan batas (baik melalui tulisan maupun tulisan).

Sedangkan rincian hak-hak sipil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and
Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang
merupakan ratifikasi terhadap kovenan internasional tentang hak sipil-politik, yaitu:
a. Pasal 6 Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di
bawah 18 tahun).
b. Pasal 7 Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak
diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa).
c. Pasal 8 Hak untuk tidak diperbudak (larangan segela bentuk perbudakan,
perdagangan orang, dan kerja paksa,).
d. Pasal 9 Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau di-
tahan dengan sewenang-wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara

26
Domrin N Alexander, 2006, The Limits of Russian Democratisation Emergency Powers and State of
Emergency. Routledge, London & New York.

26
pidana).
e. Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak
dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan
rehabilitasi).
f. Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kon-
traktual (utang atau perjanjian lainnya)7.
g. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan
dan kembali ke negerinya sendiri).
h. Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan
yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional).
i. Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalah-
annya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal,
dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama).
j. Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika
keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus menda-patkan
keringanannya).
k. Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti
kewarganegaraan).
l. Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti
kerahasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau
komunikasi pribadi).
m. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut
ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan).
n. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan
menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana
lainnya).
o. Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian
atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan).
p. Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak-arakan
atau keramaian).

27
q. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai
politik atau serikat buruh).
r. Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk
tanggung jawab atas anak).
s. Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kela-
hiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa dis-kriminasi).
t. Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan
tidak memilih).
u. Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin-
dungi hukum tanpa diskriminasi).
v. Pasal 27 Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus)

Negara-negara pihak International Convenant on Civil and Political Rights


diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam
memenuhi hak-hak tersebut, tetapi penyimpangan tersebut hanya dapat dilakukan
apabila sebanding dengan ancaman yang mengganggu keamanan nasional atau
situasi darurat yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif terhadap ras dan etnis.

28
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Kencana Pranada Media Group, 2009.

Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015.
Buyung Nasution & A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

C. de. Rover. C, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM),


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

D Thaib, Pancasila Yuridis Konstitusional, Jakarta: UII, 1988.

Eko Riyadi (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PusHAM UII, 2008.

ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Prenada Media, 2003.

Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: eLSAM, 2001.

Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

O. C. Kaligis, Anatomi Tulisan Ilmu Hukum: Jilid 4, Bandung: Alumni, 2009.

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan
Ketiga, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2008.

Setia Tunggal Hadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Hak-Hak Asasi Manusia,


Haravindo, Jakarta: Haravindo.

29
Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta: UII Press, 2003.

Domrin N Alexander, 2006, The Limits of Russian Democratisation Emergency


Powers and State of Emergency. Routledge, London & New York.
Sentosa Sembiring, Penjelasan atas Undang-Undang RI no. 12 Ttahun 2005 tentang
Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Right (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Bandung: Nuansa Aulia,
2006.
Osgar S. Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Prespektif
Keadaan Darurat”, Jurnal Media Hukum, No. 02, Desember 2015.

Rafael Edy Bosko, “Prinsip-prinsip HAM”, Makalah (Modul Penataran Hak Asasi
Manusia Untuk Guru, dilaksanakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, di Bogor), 5-8 Oktober 2004.

Besar, “Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di


Indonesia”, Humaniora, Volume 1 No. 2, April 2011, hlm. 203.

Majalah, What is Democracy, United State Information Agency, 1991, USA: 1991.

30

Anda mungkin juga menyukai