Anda di halaman 1dari 11

E-Buletin Belajar Tauhid

- Prinsip-Prinsip Kehidupan -
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu,
padahal itu baik bagi kamu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak
baik bagi kamu”

Prinsip yang agung ini memberi kesan yang


sangat mendalam dalam kehidupan seorang
muslim ketika dia menjadikannya sebagai
petunjuk. Karena prinsip ini sangat berkaitan
erat dengan salah satu rukun iman yang agung,
yaitu iman kepada Qadha dan Qadar. Prinsip ini
disampaikan Allah dalam firman-Nya,
ۖ
ۖ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” [Al-Baqarah : 216]
Kebaikan yang disebutkan secara global dalam
ayat di atas ditafsirkan oleh firman Allah dalam
E-Buletin Belajar Tauhid

surat an-Nisaa ayat 19 dalam konteks


mempertahankan kebersamaan dengan istri.
Allah ta’ala berfirman,

“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,


(maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
[An-Nisaa : 19]
Frasa “kebaikan yang banyak” menafsirkan dan
menjelaskan kata “kebaikan” pada ayat di surat
al-Baqarah di atas.
Makna prinsip ini secara ringkas adalah
manusia terkadang mengalami takdir yang
menyakitkan hati. Hal itu tentu tak disenangi
oleh jiwanya, sehingga terkadang dia mengeluh
dan bersedih. Dia menyangka bahwa apa yang
ditakdirkan bagi dirinya itu adalah “pukulan
KO” terhadap cita-cita dan kehidupannya.
Padahal boleh jadi kejadian tersebut berubah
adalah kebaikan bagi seseorang dari arah yang
tak disangka-sangka.

[2]
E-Buletin Belajar Tauhid

Demikian pula sebaliknya. Betapa banyak orang


yang berupaya melakukan sesuatu yang
nampaknya baik ternyata ujungnya dia
berputus asa dalam meraihnya. Dia telah
menyerahkan hal yang bernilai dan berharga
untuk mencapainya, ternyata hasil yang
diperoleh berkebalikan dengan keinginannya.
Apabila kita merenungi dua ayat yang mulia
tadi, kita akan mengetahui bahwa ayat pertama
–yang berbicara tentang kewajiban berjihad-
membicarakan perihal luka fisik yang
terkadang dialami oleh para mujahid yang
berjuan di jalan Allah. Dan apabila kita
merenungi ayat ke-dua –yang berbicara tentang
mempertahankan kebersamaan dengan istri-
membicarakan perihal luka psikis yang
dijumpai oleh pasutri ketika berpisah dengan
pasangannya.
Dengan demikian, prinsip kehidupan dalam
ayat di atas mencakup hal yang beragam,
kehidupan agama dan dunia, kondisi fisik dan
psikis, yang seluruhnya tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Firman Allah dalam surat

[3]
E-Buletin Belajar Tauhid

al-Balad ayat 4 lebih tegas lagi menyatakan hal


itu. Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan


manusia berada dalam kondisi susah payah.”
[Al-Balad : 4]
Apabila kita telah memahami hal di atas, maka
ketahuilah, menerapkan prinsip qurani ini
dalam kehidupan merupakan hal utama yang
dapat memberikan ketenangan dan
ketenteraman hati; serta merupakan sebab
utama dalam menolak kegelisahan yang kerap
menerpa kehidupan manusia dikarenakan
suatu kejadian atau disebabkan takdir buruk
yang dialaminya. Apabila kita membolak-balik
kisah-kisah dalam al-Quran dan lembaran
sejarah; atau kita melihat realitas yang terjadi,
niscaya kita akan menemukan bahwa terdapat
banyak pelajaran dan bukti yang mendukung
hal itu. Kami akan menyebutkan sebagian
contoh di antaranya agar setiap orang yang
bersedih mau mencari tahu kisah mereka,
sehingga menjadikannya sebagai pelajaran dan
menerapkannya dalam perilaku.

[4]
E-Buletin Belajar Tauhid

a. Kisah Ibu Musa yang melepaskan anaknya,


Nabi Musa ‘alaihi as-salaam, di sungai.
Apabila anda merenungkan perjalanan kisah
Ibu Musa, niscaya anda akan menemukan
bahwa tak ada hal yang lebih dibenci olehnya
selain tertangkapnya Musa di tangan Fir’aun.
Meski demikian, hasil dan kesudahan yang
baik nampak di kemudian hari, walaupun
kita sebagai manusia tak mengetahuinya.
Inilah yang diungkapkan dalam penutup ayat
di atas bahwa “Allah itu mengetahui, adapun
engkau tak mengetahui”
b. Renungkan pula kisah Nabi Yusuf ‘alaihi as-
salaam dalam surat Yusuf. Niscaya engkau
akan menemukan bahwa cerminan dari
prinsip kehidupan yang disebutkan dalam
ayat ini begitu nyata dalam berbagai kejadian
yang dialami beliau dan ayahnya, Nabi
Ya’qub ‘alaihi as-salaam.
c. Renungkan kisah pemuda yang dibunuh oleh
al-Khidr berdasarkan perintah Allah ta’ala.
Alasan membunuhnya disampaikan dengan
perkataan beliau,

[5]
E-Buletin Belajar Tauhid

“Dan adapun anak muda itu, maka keduanya


adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua
orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya
Tuhan mereka mengganti bagi mereka
dengan anak lain yang lebih baik
kesuciannya dari anaknya itu dan lebih
dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).” [Al-Kahfi : 80-81]
Sampai sini kita berhenti sejenak dan
bertanya-tanya, betapa banyak pasangan
yang belum ditakdirkan memiliki anak
sehingga dadanya sesak menghadapi
kenyataan itu?! Kecewa dan sedih akan hal
itu memang hal yang lumrah, namun yang
tidak boleh terus terjadi adalah sedih
berkepanjangan dan merasa berputus asa
sehingga mempengaruhi emosinya dalam
menjalani kehidupan.
Duhai, jika mereka yang belum memiliki
anak merenungi ayat ini, tidak hanya
menghilangkan kesedihan mereka semata,

[6]
E-Buletin Belajar Tauhid

tapi ayat ini juga akan menenangkan dan


menenteramkan hati mereka dan boleh jadi
memandang ketentuan itu sebagai nikmat
dan kasih sayang dari Allah. Bahwa Allah
ta’ala memalingkan jenis kenikmatan ini
karena Dia sayang kepada dirinya. Tidakkah
dia tahu bahwa seandainya dianugerahi
anak, anak ini justru akan menjadi sebab
kecelakaan dan kesengsaraan kedua orang
tua. Renungkan kembali ayat di atas!
d. Dalam persiapan Perang badar, al-Quran
mendidik umat Islam agar bisa memahami
prinsip kehidupan ini, dimana Allah ta’ala
berfirman,

“Sebagaimana Rabb-mu menyuruhmu pergi


dan rumahmu dengan kebenaran, padahal
sesungguhnya sebagian dari orang-orang
yang beriman itu tidak menyukainya, mereka
membantahmu tentang kebenaran sesudah
nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-
olah mereka dihalau kepada kematian,
sedang mereka melihat (sebab-sebab
kematian itu).” [Al-Anfaal : 5-6]

[7]
E-Buletin Belajar Tauhid

Betapa banyak kebaikan dan kemuliaan yang


ditetapkan Allah ta’ala kepada kaum
muslimin setelah terjadinya perang ini yang
sebagian sahabat Nabi semula tidak
menyukainya!
e. Dalam Sunnah Nabi juga banyak terdapat
contoh. Hal ini seperti apa yang dialami oleh
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang
ditinggal wafat oleh suaminya, Abu Salamah
radhiallahu ‘anhu. Ketika itu Ummu Salamah
berujar, “Aku pernah mendengar Rasulullah
ṣallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda, Setiap
muslim yang ditimpa musibah kemudian
mengucapkan apa yang diperintahkan oleh
Allah, yaitu ucapan “Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’uun. Allohumma’ jurnii fii
mushibatii wa akhlif lii khairon minha”
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada-
Nya, Ya Allah! Berilah aku pahala dengan
musibahku ini, dan berikan aku ganti yang
lebih baik darinya”, melainkan Allah akan
menggantinya dengan yang lebih baik dari
musibahnya."

[8]
E-Buletin Belajar Tauhid

Ummu Salamah mengatakan, "Ketika Abu


Salamah meninggal, aku berkata, 'Siapa lagi
muslim yang lebih baik daripada Abu
Salamah? Keluarganyalah yang pertama kali
berhijrah karena Rasulullah ṣallallāhu 'alaihi
wa sallam.' Kemudian aku mengucapkan doa
tersebut. Maka Allah pun memberikan
untukku gantinya, yaitu Rasulullah ṣallallāhu
'alaihi wa sallam." [HR. Muslim : 918]
Cermatilah perasaan yang dialami oleh
Ummu Salamah ini. Perasaan yang juga
dialami oleh beberapa orang wanita yang
diuji dengan kehilangan orang-orang yang
memiliki hubungan paling baik dalam
kehidupannya. Kondisi mereka seakan
menanyakan, "Siapa lagi yang lebih baik dari
Abi Fulan?" Namun, ketika Ummu Salamah
melakukan apa yang diperintahkan oleh
syariat, berupa sikap sabar, mengucapkan
doa istirjā', dan doa yang diajarkan Nabi
tersebut, maka Allah pun memberikannya
ganjaran terbaik yang tidak pernah
diimpikannya.

[9]
E-Buletin Belajar Tauhid

Demikianlah juga, hendaknya setiap


mukminah tidak mengungkung dan
membatasi kebahagiaannya dalam satu pintu
kehidupan saja. Tentunya, perasaan sedih
yang kadang-kadang mampir merupakan hal
yang pasti dialami oleh manusia, bahkan
para Nabi dan Rasul pun mengalaminya.
Namun, hal yang tidak pantas bagi seseorang
adalah membatasi kehidupan dan
kebahagiaan hanya dalam sebuah peristiwa
saja, atau menggantungkannya pada seorang
laki-laki atau wanita!
Kesimpulannya, setiap muslim hendaknya
bertawakal kepada Allah, dan mencurahkan
segala kemampuan dan melakukan semua
sebab yang disyariatkan. Jika terjadi sesuatu
yang bertolak belakang dengan keinginannya,
maka hendaknya dia mengingat prinsip qurani
yang agung ini, "Boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi
kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal itu tidak baik bagi kamu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

[10]
E-Buletin Belajar Tauhid

Dan hendaknya kita mengingat bahwa di antara


kelembutan Allah adalah Dia menakdirkan
berbagai musibah pada para hamba-Nya.
Berbagai ujian, musibah, perintah dan larangan
yang memberatkan sejatinya adalah kasih
sayang dan kelembutan bagi mereka,
merupakan cambuk agar mereka
menyempurnakan diri ke arah yang lebih baik,
sehingga bisa mencicipi kenikmatan yang kekal
abadi [Tafsiir Asma Allaah al-Husnaa hlm. 74
karya as’Sa’di].
Semoga bermanfaat.

═══ ¤❁✿❁¤ ═══


Facebook Fanspage: facebook.com/blajartauhid
Instagram: instagram.com/belajartauhid
Telegram: t.me/ayobelajartauhid
Broadcast harian via WA: bit.ly/daftar-broadcast-
belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══

[11]

Anda mungkin juga menyukai