Pendahuluan
A. Latar Belakang
Lahirnya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah berimplikasi kepada otonomi
pendidikan dan otonomi sekolah, maka jadilah Indonesia menganut konsep manajemen
pendidikan berbasis sekolah (school based management) atau biasa disingkat MBS. Sebelum
adanya otonomi daerah ini pengelolaan pendidikan yang dianut Indonesia sangat bersifat
sentralistik, dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan dan daerah bersifat
pasif; hanya sebagai penerima dan pelaksana pemerintah pusat.
MBS memberiksn keluasan bagi sekolah untuk menentukan arah dan kebijakan yang
relevan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. MBS juga memberikan peluang yang
sangat besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Penting bagi guru, calon guru, maupun pemerhati pendidikan untuk benar-benar
memahami konsep MBS ini agar nantinya bisa menjalankan manajeman pendidikan di
sekolah sesuai dengan apa yang tertuang dalam konsep MBS. Untuk itu dalam makalah ini
akan dikupas mengenai pengertian MBS, alasan mengapa perlu adannya MBS,ciri-ciri MBS,
tujuan MBS, manfaat MBS, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam MBS, dan model-
model MBS.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar permasalahan lebih
mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis merumuskan beberapa pokok, seperti:
1. Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2. Mengapa perlu adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
3. Apa saja ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
4. Apa saja tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
5. Apa manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
6. Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
7. Berikan contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasar perumusan masalah diatas, pengetahuan tentang Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) penting untuk diketahui bagi pendidikan. Secara umum tulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Mengetahui perlunya ada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3. Mengetahui ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
4. Mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
5. Mengetahui manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6. Mengetahui faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
7. Mengetahui contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber
daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasismemiliki kata dasar basis yang berarti
dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima
dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan
sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses
pengajaran atau pembelajaran.
Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan
Mohrman (1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang
organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan
sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain
adalah kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua
siswa, masyarakat sekitar, dan siswa.
Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada bidang
tertentu seperti dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakan tanggung jawab dalam
pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang menyangkut bidang
anggaran, personel, dan kurikulum. Oleh karena itu, MBS memberikan hak kontrol proses
pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua.[1]
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengolah sumber daya dan sumber dana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami,
membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang
menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah
dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan,
dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat
maupun pemerintah.
MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik.
Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja
para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang
memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut :
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik,
orangtua, dan guru;
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal;
c. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat
pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah;
d. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru
secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar banyak
dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain, kemudian memodifikasi,
merumuskan dan menyusun model dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat
seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang
pengelolaan pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini.[2]
B. Alasan Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia selama ini sangat
bersifat sentalistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya,
daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat. Pola
kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil
sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat.
F. Korten (1981) menilai, system sentralistik kurang bisa memberikan pelayanan yang
efektif, kelemahan-kelemahan pola sentralistik tersebut selama ini tidak pernah digubris.
Ketika lahir Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang mengharuskan
pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mau tidak mau pola sentralistik harus diubah.
Diperlukan formula baru dalam pengelolaan pendidikan di sekolah sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan berkembangnya peraturan baru. Tujuan utama penerapan MBS adalah untuk
meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di sekolah.
Inovasi yang diharapkan timbul di sekolah serta bertambahnya prestasi masyarakat untuk
mendukung dan mengawasi sekolah, akan memberikan nilai positif terhadap peningkatan
mutu dan relevansi pendidikan (S. Bellen dkk, 2000).
Beberapa kegiatan pada tahap awal yang ditempuh dalam pelaksanaan MBS antara lain
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sekolah, termasuk
pengelolaan sember daya dan penyusunan program untuk mencapai tujuan sekolah.
b) Memberikan wewenang kepada sekolah untuk mengelola sumber daya dan mengatur rumah
tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas peraturan.
c) Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung pendidikan di
sekolah.
d) Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah dengan
memberikan “block grant” yang dimanfaatkan bersama dengan anggaran dan sumber-
sumber lain.
e) Mendorong adanya transparasi dalam pengelolaan sekolah, mulai dari perencanaan sampai
dengan evaluasi. Dalam hal keuangan dengan membuat RAPBS yang melibatkan kepala
sekolah, guru serta pengurus BP3 dan juga tokoh masyarakat.
f) Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan kretifitas
dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang aktif, efektif
dan menyenangkan serta terciptanya kondisi sekolah yang “sayang anak” (child friendly).
g) Bekerjasama dengan pemerntah untuk mendukung upaya pelaksanaan kegiatan rintisan
MBS di sekolah yang ditunjuk (S. Ballen, dkk, 2000).
Peluang keberhasilan dalam menerapkan MBS di sekolah pada saat ini cukup besar
karena adanya factor pendukung berikut:
a) Tuntutan kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era reformasi
seperti sekarang ini.
b) Penerapan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang menekankan pada
otonomi pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota.
c) Adanya komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program JPS
pendidikan di banyak sekolah.
d) Adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di sekolah dengan meningkatkan tugas, fungsi dan peran BP3.[3]
BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) telah mengkaji beberapa faktor yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan MBS. Fakto-faktor tersebut yaitu :
a. Kewajiban Sekolah
MBS yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam
menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena
itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, monitoring dan tuntutan
pertanggungjawaban (akuntabel) yang tinggi. Dengan demikian, sekolah dituntut mampu
menampilkan pengelolaan sumberdaya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan
bertanggungjawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka
meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-
kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program
peningkatan melek huruf dan angka(literacy and numeracy), efisiensi, mutu dan pemerataan
pendidikan. Pemerintah juga perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang
pelaksanaan MBS untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi
dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah
dioperasikan dalam kerangka yang disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai
dengan tujuan.
c. Peranan Orangtua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan
motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta
mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih yaitu melalui
partisispasi masyarakat, orangtua dan dewan sekolah (school council).
d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus memiliki pengetahuan yang dalam
tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa segala keputusan
penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan.
Kepala sekolah perlu mempelajari kebijakan pemerintahan maupun prioritas sekolah sendiri.
Ia harus :
1) Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah;
2) Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
3) Memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa
yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi
sekarang;
4) Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang
berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah;
5) Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tentangan sebagai peluang, serta
mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
e. Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya
pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatiahan bagi tenaga
kependidikan untuk MBS.[8]
BAB III
SIMPULAN
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi dari
pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam
cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan
pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakanpun berbeda dengan
negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan
MBS diawali dengan dikelurkannya UU No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis
Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru secara
persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar banyak dari
pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain, kemudian memodifikasi,
merumuskan dan menyusun model dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat
seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang
pengelolaan pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini
DAFTAR PUSTAKA
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan AplikasiJakarta: Grasindo, 2006.