Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

ENCEPHALOCELE NASOETHMOID DENGAN TINDAKAN


PEMBEDAHAN VENTRICULOPERITONEAL (VP) SHUNT

Oleh:
Bayu Anggara, A.Md. Kep.
Desy Puspitasari, S. Kep. Ners

PELATIHAN SCRUB NURSE KAMAR BEDAH ANGKATAN XIX


BIDANG PENDIDIKAN & PELATIHAN
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
TAHUN 2019
BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Defek tuba neuralis menyebabkan kebanyakan kongenital anomali pada susunan sistem
saraf akibat kegagalan tuba neuralis menutup secara spontan antara minggu ke-3 dan ke-4
dalam perkembangan uterus. Meskipun penyebab yang tepat pada defek tuba neuralis masih
belum diketahui, ada bukti bahwa banyak faktor, termasuk radiasi, obat-obatan, malnutrisi,
bahan kimia, dan determinan genetik, yang dapat mempengaruhi perkembangan abnormal pada
susunan saraf. Defek tuba neuralis utama meliputi spina bifida okulta, menigokel,
mielomeningokel, ensefalokel, anensefali, sinus dermal, siringomielia, diastematomiela, dan
lipoma pada konus medularis.
Ensefalokel (Encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek
tuba neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial akan
menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum.
Encephalocele memiliki angka insiden sebesar 10% hingga 20% dari semua disrafisme
craniospinal, dan prevalensinya tergantung dari ras dan geografi. Beberapa penelitian telah
menyatakan prevalensi dari kejadian Encephalocele adalah 0,8-4 : 10.000 kelahiran hidup.
Lokasi Encephalocele, dipengaruhi oleh faktor ras. Pada keturunan asia, Encephalocele lebih
sering dijumpai di daerah anterior dan pada kaukasia lebih sering dijumpai Encephalocele
posterior.
Karena kejadian Encephalocele adalah suatu proses kelainan kongenital, keadaan ini
seringkali dijumpai bersamaan dengan anomali kongenital lainnya membentuk suatu spektrum
dari sindrom. Beberapa sindrom yang berhubungan dengan Encephalocele adalah Sindrom
Meckel-Gruber, Sindrom Knobloch, Sindrom “Amniotic Band”, Sindrom Chemke, Sindrom
Kriptopthalmus, Sindrom von Voss, Sindrom Warfarin.
Gejala klinis sangat bervariasi tergantung malformasi serebral yang terjadi, termasuk
hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami displasia dan masuk ke dalam
kantung ensefalokel. Jika hanya mengandung meningen saja, prognosisnya lebih baik dan
dapat berkembang normal.
Dalam hal ini, ilmu keperawatan juga berperan yaitu kaitannya dengan asuhan
keperawatan perioperative pada pasien dengan Encephalocele Nasoethmoid dengan tindakan
pembedahan Ventriculoperitoneal (VP) Shunt, maka dari itu penyusun tertarik untuk menyusun

1
laporan kasus ini dengan judul “Encephalocele Nasoethmoid dengan tindakan pembedahan
Ventriculoperitoneal (VP) Shunt”.

2. Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Encephalocele
Nasoethmoid dengan tindakan pembedahan Ventriculoperitoneal (VP) Shunt.

3. Manfaat
Dapat mengetahui asuhan keperawatan perioperatif pada pasien Encephalocele
Nasoethmoid dengan tindakan pembedahan Ventriculoperitoneal (VP) Shunt.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Encephalocele adalah suatu bentuk “neural tube defects”, (selain dari anencephali dan
spina bifida) yang disertai dengan penonjolan isi (meninges, jaringan otak, cairan) dari rongga
tengkorak melewati batas-batas yang seharusnya dari sebuah tengkorak2. Keadaan ini disebut
juga cranium bifidum. Spektrum dari Encephalocele memiliki terminasi yang meliputi isi dari
“cele”, sehingga menjadi: Meningocele, Encephalo-meningocele, Hidro encephalo
meningocele.

2. Etiologi
Penyebab pasti Encephalocele sampai saat ini belum diketahui, namun sudah terdapat dua
pendapat yang dominan dalam menjelaskan proses patofisiologi dari suatu Encephalocele.
Pendapat tersebut adalah terjadinya daerah yang mengalami kelemahan tulang wajah (locus
minoris), sedangkan pendapat kedua adalah terjadinya penutupan “neural tube” yang
terlambat. Karena pendapat kedua tersebut Encephalocele seringkali dihubungkan dengan
suatu neural tube defect fase neurulasi.
Encephalocele kongenital dipostulasikan telah disebabkan oleh “neural tube defect”
dengan beragam etiologi, walaupun sampai saat ini belum dapat dipastikan etiologi
penyebabnya. Beberapa penemuan menjelaskan adanya sisa jaringan neural di sepanjang
daerah penutupan “neural tube” yang mendukung postulat kedua dari patogenesis
Encephalocele. Akan tetapi, adanya fakta bahwa ensefalokel anterior tertutup oleh kulit normal
mengindikasikan bahwa kelainan yang terjadi bukan hanya akibat kegagalan neurulasi.

3. Klasifikasi
Encephalocele dapat dibedakan menjadi proses primer dan sekunder. Proses primer adalah
suatu spektrum Encephalocele yang terjadi kongenital. Sedangkan proses sekunder adalah
kejadian Encephalocele yang terjadi akibat trauma atau iatrogenik.

Tabel 1. Encephalocele berdasarkan lokasi anatomis.


Dikutip dari : Lumenta CB, Rocco CD, Haase J, Mooij JJA.
Occipital Supratentorial
Infratentorial
Occipitocervical Occipitocervical
Parietal Interfrontal
Interparietal
Anterior Frontal

3
Posterior Frontal
Anterolateral fontanelle
(Pterion)
Temporal
Posterolateral fontanelle
(Asterion)
Sincipital
(Frontal) Frontoethmoidal
Nasofrontal
Nasoethmoidal
Naso-orbital
Craniofacial cleft
Sphenopharyngeal
Sheno-orbital
Basal Sphenomaxillary
Sphenoethmoidal
Transethmoidal
Basioccipital

4. Anatomi Dan Fisiologi

Gambar: Dua jenis utama cephaloceles: di sebelah kiri, cephaloceles sincipital; di sebelah kanan, cephaloceles basal.

4
5. Tanda-Tanda
Encephaloceles adalah sering ditemani oleh kelainan craniofacial atau cacad otak lain.
Gejala mungkin termasuk masalah penyakit syaraf, kelumpuhan dari otot, gerakan otot tidak
teratur, penundaan pengembangan, masalah penampakan, dan keterlambaran perkembangan.
Gejala klinis pada Encephaloceles meliputi:
a. Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadri plegia spastic)
b. Mikrochepalus
c. Hidrochepalus
d. Gangguan penglihatan
e. Keterbelakangan mental dan pertumbuhan
f. Ataksia
g. Kejang

Gambar Contoh kasus Encephalocele anterior nasoethmoid.


Dikutip dari: Kumplan kasus Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU-RSUP.H.Adam Malik

6. Patofisiologi
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa faktor lingkungan adalah suatu faktor
penyebab yang potensial, namun belum ada bukti yang kuat untuk mendukungnya. Sampai saat
ini, hanya aflatoxin yang telah diusulkan menjadi agen teratogenik yang dapat menyebabkan
terjadinya anomali ini. Defisiensi folat juga dapat menyeabkan Encephalocele, tetapi belum
ada bukti secara langsung yang menghubungkan kadar folat aternal dengan insiden
Encephalocele. Kasus-kasus Encephalocele juga dijumpai pada golongan ekonomi menengah
ke bawah, sehingga dapat dicurigai bahwa Encephalocele berhubungan secara tidak langsung
dengan keadaan gizi maternal.

5
Teori yang paling luas diterima adalah teori dari Geoffrey St. Hillaire (1872), yang
mengusulkan bahwa neuroschizis terjadi setelah penutupan tabung neural. Ketika fisura
mengalami perbaikan, terjadi perlekatan antara neuroektoderm dan ektoderm kutaneus, oleh
karena itu mencegah terjadinya interposisi mesoderm yang seharusnya membentuk kranium.
Pandangan dari penelitian molekuler sudah banyak bermunculan. Pembentukan tabung neural
adalah suatu proses yang dikontrol oleh gen dan protein-protein yang berhubungan. Beberapa
gen telah diidentifikasi sampai saat ini, seperti gen sonic hedgehog, yang diekspresikan pada
notokord dan menginduksi pembentukan sitoarsitektur spinal cord ventral.

7. Penatalaksanaan
Pembedahan rekonstruksi akan memberikan hasil yang baik, kecuali jika volume jaringan
di luar lebih besar daripada volume otak di dalam kranium. Operasi dilakukan dengan eksisi
kantong dan isi dengan penutupan dura secara kedap air. Jika terjadi hidrosefalus, dapat diterapi
dengan protokol hidrosefalus. Sebagian besar Encephalocele dapat secara efektif diperbaiki
dengan mengikuti prinsip umum. Jika jumlah jaringan otak displastik yang berada di dalam
kantung melebihi jaringan otak di kranium, akan memberikan hasil akhir yang buruk. Dalam
situasi ini, pilihan untuk tidak menutup Encephalocele dapat dipertimbangkan setelah
berdiskusi dengan keluarga dan penyedia layanan kesehatan yang merawat pasien secara
langsung.
Tujuan umum dari pembedahan adalah untuk mengangkat kantung, mempertahankan
fungsi dari jaringan saraf, dan menutup luka dengan jaringan kulit non-displastik. Perencanaan
pembedahan dapat difasilitasi dengan menelaah modalitas pencitraan, khususnya MRI.
Keberadaan CSF di dalam Encephalocele adalah suatu factor yang baik, karena mengartikan
lebih sedikit jaringan otak yang terherniasi per volume kantung.
Encephalocele posterior biasanya diperbaiki dengan pasien pada posisi tengkurap atau
kadang-kadang lateral dekubitus. Neonatus diletakkan dengan wajak menghadap ke bawah
dengan alas kepala tapal kuda. Wajah dialaskan dengan busa lembut. Untuk lesi yang besar
dengan jumlah kulit yang kendur, dapat digunakan alat pengait yang dikaitkan ke atas selama
dilakukan diseksi.
Perbaikan secara pembedahan dimulai dengan insisi kulit, yang dapat berupa horizontal
atau vertikal, tergantung dari konfigurasi kantung dan ukurannya. Lebih baik mengangkat
sedikit kulit dibandingkan pengangkatan yang berlebihan karena sisa kulit dapat selalu dibuang
setelahnya. Kulit sebaiknya diinsisi secara sirkumferensial di atas dasar Encephalocele.
Penampang antara jaringan lunak kulit kepala dan dura mater kemudian diidentifikasi dengan
6
diseksi tumpul. Diseksi kemudian dilanjutkan secara sirkumferensial. Kantung kemudian
dibuka dan CSF dikeluarkan. Isi kantung kemudian diinspeksi. Jika terdapat jaringan saraf dan
tampak displastik dapat dilakukan reseksi. Akan tetapi, keputusan untuk mereseksi jaringan
tersebut hanya dilakukan setelah pertimbangan yang matang dengan memperhatikan fakta dan
informasi yang didapatkan dari MRI. Dura yang berlebih dapat dieksisi dan ditutup dengan
jahitan kontinyu secara kedap air. Setelah dilakukan penutupan, terjadi pembentukkan tulang
baru yang seringkali diinduksi oleh dura mater, dan kelainan tulang biasanya mengecil seiring
dengan waktu.
a. Exicisi dengan metode Transcranial
Pasien berbaring telentang dengan kepala di atas hati pada 30º. Kulit kepala dicukur
sampai bersih dan tanda dibuat untuk sayatan kulit. Daerah itu lalu dibersihkan dan dibungkus.
Untuk reseksi transkranial: sayatan kulit bikoronal dibuat dari kanan temporal, dari tragus
ipsilateral ke tragus pada sisi kontralateral setelah infiltrasi local jaringan subkutan dengan
pehacain. Klip Rinnies digunakan untuk mengamankan pendarahan di tepi kulit. Diseksi kulit
kepala dibuat sampai batas bawah dari defek atau kelainan. Lapisan galea diinsisi dengan
diatermi monopolar dan periosteum dipisahkan dari lapisan tulang dengan menggunakan
periosteal elevator/adson. Craniotomy bifrontal dibuat menggunakan Smith craniotomes dan
spatula dura. Itu Ensefalokel didekati melalui ekstradural rute tanpa melukai lapisan pelindung
dural. Cacat tulang hidung diidentifikasi dan Bagian herniated kelainan dibuka dan leher
kantung diidentifikasi, setelah occlution of gagang bunga sak, seluruh kantong yang terkait
dengan jaringan otak displastik terputus. Potongan ujung kantung kedap air tertutup dan
didukung dengan jaringan galea dan 1 ml produk fibrinogen diinjeksi daerah. cacat tulang
direkonstruksi dengan cangkok tulang autogenous diambil dari bagian duri fragmen tulang
lubang. Lapisan-lapisan itu kemudian ditutup dengan Dexon 3/0 untuk subkutan dan Dafilon
3/0 untuk kulit. Untuk reseksi anterior: sayatan kulit dibuat dengan bentuk Y di bagian depan
kepala-hidung persimpangan dan jaringan otak displastik di sisa kantung diangkat, bersama
dengan penutupan cacat kulit dibuat oleh benjolan. Semua pasien berada di kondisinya sangat
baik setelah operasi.

7
b. Exicisi dengan metode Transfacial
Pendekatan transfasial melalui sayatan transglabellar dengan eksisi sinus frontal dan
hidung superior dijelaskan pada 1897. Ini merupakan kerangka kerja bagi Schloff er pada tahun
1907 untuk melakukan pendekatan transsphenoidal pertama melalui sayatan rektektomi
superior. Pada tahun 1909, Kocher menambahkan reseksi septum secara submukosa; sementara
Kanavel menggambarkan pendekatan hidung inferior yang mencerminkan hidung luar lebih
unggul. Pada 1910, Hirsch menjelaskan pendekatan transseptal endonasal klasiknya. Hirsch
pendekatan menghindari sayatan rhinotomy lateral, tetapi nya visualisasi dibatasi oleh diameter
eksternal nares. Akhirnya pada tahun 1910, Halstead menambahkan sublabial sayatan ke
pendekatan transseptal Hirsch. Ini dihindari jaringan parut eksternal, sambil meningkatkan
luasnya bidang operasi. Cushing, memanfaatkan kombinasi teknik transsfenoidal ini antara
1910 dan 1925, memiliki angka kematian 5,6% dalam 231 kasus. Dengan morbiditas biasanya
akibat infeksi, Cushing mulai berkembang dan menggunakan lebih banyak pendekatan
transkranial di Indonesia untuk mengurangi komplikasi infeksi, dan pada tahun 1931 dia telah
meninggalkan pendekatan transsphenoidal. Ini mengakibatkan dominasi pendekatan frontal.
Selama periode pasca bedah, sebaiknya diperhatikan terjadinya hidrosefalus simptomatik
dan infeksi sistem saraf pusat. Cara terbaik untuk meminimalisasi morbiditas dari shunt CSF
pada periode neonatal adalah untuk menunda insersi shunt sampai dinilai perlu. Kebocoran
CSF dari Encephalocele yang diperbaiki sesuai prosedur biasanya menunjukkan diagnosis
suatu hidrosefalus, terapi drainase ventrikuler dalam jangka waktu singkat dan terapi antibiotia
dapat diberikan pada situasi ini untuk menghindari infeksi shunt.

8
c. Ventriculoperitoneal shunt
Ventriculoperitoneal shunting - Cara yang paling umum untuk mengobati hidrosefalus.
Dalam ventriculoperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan melalui lubang kecil di tengkorak
ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan serebrospinal (CSF). Tube ini terhubung
ke tube lain yang berjalan di bawah kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki rongga perut
(rongga peritoneal). Shunt memungkinkan CSS mengalir keluar dari ventrikel dan ke rongga
perut di mana ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem membantu mengatur aliran cairan.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menilai struktur patologis sefalokel: daerah defek
tulang, ukuran serta isi sefalokel, ada atau tidaknya anomali SSP, dan dinamika CSS.
Lubang defek tulang pada ensefalokel oksipital mudah dikenal pada foto polos tengkorak.
Sebagai tambahan terhadap daerah defek tulang, perluasan defek dan ada atau tidaknya
kraniolakunia dapat diketahui. Ada atau tidaknya otak yang vital dikantung dapat ditentukan
dengan ventrikulografi dan angiografi serebral, namun CT scan memperlihatkan tidak hanya
isi kantung namun semua kelainan intrakranial yang bersamaan.

9
Ensefalokel oksipital harus didiferensiasi dari kasus garis tengah lainnya, seperti sinus
perikranii, dan holoprosensefali. Sinus perikranii sangat lebih kompresibel dibanding
ensefalokel. CT scan memperlihatkan displasia serebral sebagai tambahan atas kantung dorsal
pada holoprosensefali. Angiografi serebral mungkin perlu untuk membedakan ensefalokel
oksipital dari kantung dorsal holoprosensefali; holoprosensefali didi- agnosis oleh adanya
arteria serebral anterior azigos.
Untuk memeriksa lubang dari defek tulang pada ensefalokel anterior, tomografi
fossa anterior dan CT scan diperlukan. Ensefalokel anterior harus didiferensiasi dari polip
nasal, teratoma orbitofronal, glioma ektopik (nasal), dan keadaan serupa. Teratoma
orbitofrontal mungkin menampakkan kalsifikasi pada foto polos dan meluas kedalam ruang
intrakranial. Tumor ini menjadi maligna dengan pertambahan usia. Glioma nasal adalah tumor
neurogenik kongenital yang jarang yaitu massa heterotopik nonneoplastik dari jaringan
neuroglial. Tapi mungkin tumbuh seperti neoplasma sejati, menginfiltrasi jaringan sekitarnya,
serta metastasis ke nodus limfe regional.
MRI kranial dapat memberi gambaran yang pasti dari kandungan dalam
meningiensefalokel. Meskipun terletak pada garis tengah, isi dari protrusi biasanya dari salah
satu hemisfer yang lebih kecil.

Gambar. Ensefalokel pada pada regio frontonasal

9. Diagnosa Keperawatan
a) Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara sistematik yaitu:
inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaan umum
Keadaan umum cukup

10
2) Kesadaran
Kesadaran penuh Compos Mentis: 15
b) Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang terdapat enfalokel teraba
lunak. Rambut bisa berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami
transcranial maupun vp shunt.
2. Wajah
Wajah tidak simetris dan bisa terdapat lesi pada wajah.
3. Mata
Apabila ada komplikasi mata seperti tertutup selaput, dan gangguan penglihatan.
4. Hidung
Pada hidung terlihat tonjolan dari cele,
5. Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien.
6. Mulut dan bibir
Tidak ada gangguan.
7. Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien.
8. Leher
Tidak ada gangguan.
9. Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan bentuk
dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat trauma bisa terdapat odema, atau
lesi pada kulit yang terkena.
10. Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan ekspansi
dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada pasien dengan ensefalokel
nasoedmoidal dapat terjadi penyumbatan jalan nafas sehingga.
11. Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen
12. Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull defect

11
b) Diagnosis Keperawatan
1) Pre Operasi
1. Resiko jatuh berhubungan dengan penjagaan yang tidak adekuat
2. Resiko Hipotermi berhubungan dengan suhu lingkungan rendah
2) Intra Operasi
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
2. Resiko Cedera b/d disfungsi integrasi sensori
3. Resiko gangguan integritas kulit b/d tekanan tulang menonjol
4. Resiko Infeksi b/d prosedur invasif
3) Post Operasi
1. Resiko Cedera berhubungan dengan trauma intracranial
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas b/d disfungsi neuromuskular

12
BAB III. TINJAUAN KASUS

1. Asuhan Keperawatan Pre-Operatif

A. Pengkajian

a) Anamnesis
1) Identitas pasien
Nama : An. M
Alamat : Gucialit - Lumajang
Jenis Kelamin : Laki-laki
b) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan Umum pasien cukup, pasien banyak gerak.
2) Kesadaran
GCS Kompos mentis: 14-15
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, terdapat enfalokel pada nasoedmoidal dan teraba lunak.
Terdapat kelainan bentuk cranium pada frontal.
b) Wajah
Wajah pasien tidak simetris, tidak ada lesi pada wajah.
c) Mata
Gangguan penglihatan, terdapat selaput berawarna abu-abu menutupi bola mata/
d) Hidung
Terlihat tonjolan pada hidung atas.
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien.
f) Mulut dan bibir
Mulut baik dan bibir lembab.
g) Gigi
Gigi tumbuh.
h) Leher
Tidak ada gangguan.
i) Persyarafan
13
GCS: 456, Tingkat kesadaran: Compos mentis.
j) Pemeriksaan Penunjang

B. Asuhan Keperawatan Pre-Operatif


NO DATA PENYEBAB MASALAH
1 Ds: Penjagaan yang tidak adekuat Resiko Jatuh
Do:
pasien banyak gerak.
DK: Resiko Jatuh b/d
penjagaan yang tidak adekuat

Ds:
Suhu ruangan yang rendah Resiko Hipotermia
2 Do:
Suhu ruangan 18-22oC
DK: Resiko Hipotermia b/d
suhu ruangan yang rendah

NO DIAGNOSA
NOC NIC
DX KEPERAWATAN
1 Resiko Jatuh b/d penjagaan NOC: NIC:
yang tidak adekuat a) Kontrol Resiko Tindakan:
Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi keadaan pasien
keperawatan pasien tidak 2. Pastikan ada yang menjaga
terjatuh dgn kriteria hasil: pasien
1. Pasien dijaga 3. Posisikan pasien di bed dalam
2. Pasien tetap berada di bed keadaan aman

14
4. Selama pasien sadar tetap
pertahankan penjagaan
terhadap pasien
2 Resiko Hipotermia b/d suhu NOC: NIC:
ruangan yang rendah a) Kontrol resiko hipotermi a) Pengaturan suhu: Perioperatif
Setelah dilakukan tindakan Tindakan:
keperawatan pasien tidak 1. identifikasi adanya faktor risiko
mengalami hipotermi dgn kriteria mengalami suhu tubuh yang
hasil: abnormal
1. Tangan dan tubuh pasien 2. Sesuaikan suhu ruangan atau
hangat matikan ac sementara
3. Hidupkan Ac ketika pasien
sudah dilakukan drapping
4. Yakinkan bahwa suhu tubuh
pasien tetap hangat
2. Asuhan Keperawatan Intra-Operatif
A. Pengkajian
a) Anamnesis
1) Identitas pasien
Nama : An. M
Alamat : Gucialit - Lumajang
Jenis Kelamin : Laki-laki
b) Pemeriksaan fisik
3) Keadaan umum
Keadaan Umum pasien lemah,
4) Kesadaran
Tidak sadar,
c) Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan rambut
Rambut kepala pasien di clipper hingga tidak ada rambut. Kepala pasien di beri marking
pada temporal kanan, kepala pasien tertutup opsite dan doek draping.
2. Wajah
Wajah tidak simetris
3. Mata
Mata pasien tertutup opsite.
4. Hidung
Tidak simetris, terdapat tonjolan pada hidung atas

15
5. Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien.
6. Mulut dan bibir
Mulut baik dan bibir lembab.
7. Gigi
Gigi tumbuh.
8. Leher
Tidak ada gangguan.
9. Persyarafan
GCS: 3, Tingkat kesadaran: Coma.
B. Operating Teknik dan Instrumen Teknik
1. Set Ruangan
Set Ruangan Jumlah
Meja Operasi 1
Meja Mayo 1
Meja Besar 1
Suhu Ruangan 18-220c
Kelembapan Ruangan 60%
Suction 1
Esu 1
Mesin Bor 1
Mesin Anestesi 1
Papan Tulis 1
Lampu Operasi 1
Tempat Sampah 1

2. Desinfeksi
Desinfeksi Jumlah
Povidone Iodine 10% +/- 50 cc
CHG 4% +/- 50 cc

16
3. Draping
Bahan Jumlah
Doek Steril
1. Doek Besar 3 Buah
2. Doek Kecil 6 Buah

4. Gowning
Bahan Jumlah
Gowning 4 Buah

5. Gloving
Jenis/Ukuran Jumlah
Gloving
1. Gamex Ukuran 7 2
2. Ortho Ukuran 7.5 2

6. Set Instrumen
No Jenis/Ukuran Jumlah
Set Dasar
1 Duk Klem 6
2 Desinfeksi Klem 1
3 Pinset Chirurgis Kecil 2
4 Pinset Anatomis Kecil 2
5 Gunting Metzenbeum 1
6 Gunting benang 1
7 Hand vaad mess no.3 2
8 Spreader kecil 1
9 Kroom klem 6
10 Kroom klem sepatu 2
12 Kanul Suction no 12 1
13 Kom/Cucing 2
14 Nald Fouder 2

17
Set Tambahan
15 Kebel bipolar 1
16 Bipolar/monopolar 1/1
17 Bor 1
18 Spaner 1
19 Raspatorium 1

7. BAHAN HABIS PAKAI


NO JENIS/UKURAN JUMLAH
1 Mess 1 No 10/ Mess 2 No 11 1/1
2 Alkohol 10% 20 cc
3 Povidone Iodine 10 % 20 cc
4 Kassa 20
5 Benang Non-Absorbable 3-0/6-0 1/1
6 Benang Absorbable -0 1
7 Underpad 2
8 Ceftriaxon 1gr 1
9 Pehacain 1
10 Aquabidest 2
11 HS Double 6,5/7,5 1/2
12 HS 7 1
13 Bactigres 1
14 Opsite 45x55 1
15 Connecting Suction 1
16 ESU Monopolar 1
17 Kassa 60
18 Spuit 10cc 2
19 Needle no 23 G 1
20 Bone wax 1

18
8. OPERATING DAN INSTRUMENT TEKHNIK
A. SIGN IN
Dilakukan di ruang operasi, dihadiri oleh beberapa tim operasi, yang meliputi:
a. Pasien telah dikonfirmasikan identitas, area operasi, tindakan operasi dan
lembar persetujuan
b. Area operasi telah ditandai
c. Mesin anastesi dan premedikasi telah diperiksa
d. Alat pulse oksimeter pada pasien telah berfungsi baik
e. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi/infeksi/HIV/Hepatitis/TB
f. Pasien kesulitan menjaga jalan nafas atau resiko aspirasi (tersedia peralatan dan
bantuan)
g. Tidak ada resiko kehilangan darah >500 ml atau 7cc/kgBB (anak) (dua VI
line/akses sentral dan cairan telah disiapkan
NO OPERATING INSTRUMEN KETERANGAN
1 SKIN Cliper, kertas  Cukur rambut, kemudian cuci kulit
PREPARATION kepala dengan CHG 4% sampai
bersih menggunakan kassa. Tutup
kedua telinga dengan woches.
Keringkan mennggunakan doek
kecil atau kassa kering.
 Marking area pembedahan
2 MARKING Spidol  Asisten melakukan asepsis dengan
3 ANTISEPSIS Cucing menggunakan cucing yang berisi
Desinfeksi povidon iodin 10%, kassa 3 dan
klem desinfeksi klem. Desinfeksi dari
Underpad mulai dari kepala sampai umbilikus
CHG 4%
Kassa  Scrub nurse memberikan doek kecil
Woches 4 secara satu persatu kepada asisten.
4 DRAPING Doek Kecil 4 Doek pertama pada bagian abdomen,
Doek Besar 3 doek kedua pada pada bagian kepala
Opsite sisi kanan dan kiri. Kemudian doek
Doek klem 6 ke 4 ditutupi pada bagian belakang.

19
Canula Suction  Scrub ners memebrikan doek klem 4
Bipolar kepada asisten dan operator untuk
Monopolar mefiksasi sudut-sust pada doek kecil.
Kassa  Scrub ners memberikan kassa kering
untuk mengeringkan daerah yang
akan di lakukan pembedahan.
 Area yang akan dioperasi di tutup
dengan opsite sesuai dengan
kebutuhan.
 Scrub ners memberikan doek besar
kepada asisten untuk menutupi area
atas pasien, doek besar lagi
digunakan untuk menutupi area
bawah pasien. Berikan doek klem
untuk memfiksasi doek besar.
Kemudian doek besar lagi untuk
menutupi/membatasi area anestesi
dan area pembedahan.
 Scrub ners memberikan bipolar,
monopolar dan kabelnya, conecting
suction,. Kemudian setelah selesai
asisten melkaukan check bipolar
dengan kasa basa.

B. TIME OUT
Time out (sebelum insisi kulit), dibacakan oleh perawat sirkuler yang meliputi:
a. Konfirmasi bahwa semua tim operasi telah memperkenalkan nama dan tugas
masing-masing.
i. Operator :
1. dr. Fatkhul Sp.Bs (DPJP)
ii. Asisten :
1. Yahya, Amd. Kep
iii. Instrument :
1. Ika, Amd. Kep
2. Bayu, Amd. Kep

20
iv. Sirkulator Nurse :
1. Susi, Amd. Kep
2. Desy S. Kep. Ners
b. Sudah konfirmasi nama pasien, jenis tindakan dan dimana insisi akan
dilakukan (An. M, VP Shunt).
Terhadap ahli bedah :
c. Antibiotic propilaksis sudah telah diberikan paling tidak 60 menit sebelum
operasi. (ceftriaxone 200 mg telah diberikan melalui IV bolus)
d. Tidak ada keadaan kritis/langkah yang tidak rutin
e. Ada antisipasi kehilangan darah (±10𝑐𝑐)
Terhadap Anastesi
f. Ada kondisi khusus pada pasien (ASA 2)
Terhadap Tim Perawat
g. Semua peralatan sudah steril sesuai dengan indikator
h. Tidak ada masalah pada peralatan
i. Foto-foto pasien yang penting telah ditampilkan
j. Kassa yang disiapkan sebanyak 60 lembar
NO OPERATING INSTRUMEN KETERANGAN
INSISI
a. Dilakukan insisi dengan Memberikan Hand vad Memberikan kassa 5
kedalam +/- 1cm Mess 1(no. 10), Pincet buah
Chirurgis manis kepada
Operator, dan Pincet
Chirurgis manis kepada
asisten
b. Rawat perdarahan, operator Bipolar, suction Irigasi perdarahan
memegang pinset dan Scrub ners memberikan
bipolar, asisten memegang spuit 10cc yang berisiskan
suction dan spuit irigasi, Nacl 0,9% kepeda asisten

c. Insisi sampai galea atau Memberikan mess 2. Asisten membantu


epicranial, rawat kembali dengan irigasi dan
perdarahan denagn Nacl suction perdarahan
d. Kulit yang dilakukan insisi Memberikan krom klem
flat di klem pada operator

21
e. Operator memisahkan Memberikan
perios(pericaranium) dengan raspatorium/mess 1
tulang menggunakan mess
atau bipolar. Perios di Siapkan jahitan
pisahkan dengan benang Non
raspatorium. absorbable 6-0
f. Rawat perdarahan dengan untuk menjahit kulit
bipolar dan di bantu dengan
irigasi Nacl

Memberikan bor kepada


g. Tulang di bor, asisten
membantu dengan irigasi operator dan irigasi pad
asisten
dan suction

Memberikan raspatorium
h. Rawat perdarahan dengan
dan ujungnya di beri bone
bone wax
wax sesuai denga
kebutuhan .

i. Operator melakukan insisi Memberikan dura mess


dengan mess 1 untuk pada operator
memisahkan subkutan
dengan kulit, asisten
membantu mengarahkan
spaner.

j. Operator melakukan insisi Memberikan pinset

pada dura dengan speed anatomis pada operator


mess, rawat perdarahan pada
dura.

k. Operator memasukkan
Memberikan krom klem
ventikular shunt dengan
pada operator
pinset anatomis. Kemudian

22
melakukan check dengan
menekan ventrikular shunt
untuk mengetahui tinggi
rendahnya tekanan
intrakranial.

l. Pasang peritonial dengan


Mempersiapkan flassing
spaner.
dengan memfiksasi
dengan side 3.0
m. Tarik kebawah perlahan,
selang yang berada di
Gunting selang
abdomen ditutup dengan
ventrikular sesuai dengan
kassa basah.
yang telah di ukur oleh
operator.
n. Selang yang berada di kepala
di pasang sambungkan
dengan flassing. Isi flassing
dengan Nacl (bila tekanan
rendah, air akan habis).

o. Flassing di sambung dengan


selang ventrikular yang Memberikan krom klem
sudah di ukur dengan yang ujungnya telah di
tekanan. (standart 5cm) bungkus dengan selang
sisa.

p. Fiksasi selang abdomen


Memberikan pinset
dengan klem sepatu.
anatomis

q. Operator memasukkan
ventrukuler ke dalam
menggunakan pinset
anatomis. Asisten menarik
dengan perlahan. (pastikan

23
ventrikuler tidak
membengkok.

r. Fiksasi flassing dengan side Memberikan nald fouder


3.0 pada perios pada 3 sisi yang telah terpasang side
flassing. 3.0. dan berikan gunting
kepada asisten.

s. Operator melakukan insisi di


Memberikan mess 1.
abdomen dengan mess 1,
Pinset chirugis manis,
untuk memperdalam insisi
krom klem 4 buah dan
menggunakan dua klem dan
spreader
meztsembum.

t. Operator mencari peritonium


dengan krom klem.

u. Setelah ketemu krom Memberikan


pertonium dan gunting metszembum kepada

dengan meztsembum. asisten

Memberikan pinset
v. Setelah itu operator
anatomis kepada operator
memsasukkan peritonial
shunt ke peritonium dengan
menggunakan pinset
anatomis.

Memberikan nald fouder


w. Operator menjahit fasia dan gunting benang
dengan benang natural kepada asisten.
absoreble 3.0.

x. Kemudian jahit fasia kepala


dengan benang natural
absoreble 3.0.

24
y. Cek flasssing denagn
menenkan
ventrikel/peritoneal.

C. SIGN OUT
Dilakukan sebelum menutup kulit, yang meliputi:
a. Nama dari prosedur adalah VP Shunt
b. Instrumen, alat habis pakai, dan jarum telah sesuai dan telah dihitung
c. Jumlah kassa yang dipakai 30 sisa 30
d. Tidak ada masalah terhadap peralatan yang dipakai
Terhadap ahli bedah, anastesi, dan perawat
e. Ada hal penting untuk pulih, sadar, dan perawatan pasien telah diperlihatkan

NO OPERATING INSTRUMEN KETERANGAN


o. Jahit kulit menggunakan Memberikan Nald Fouder Siapkan Bactigres
benang non absorbable 3-0 micro/kroom klem dipotong 3, kassa
kepada Operator, dan basah dan kering,
gunting benang kepada serta drain bag
asisten.

p. Bersihkan daerah insisi Memberikan kassa basah Sirkuler untuk


meggunakan kassa basah dan bactigres kepada menyiapkan
dan tutup luka insisi dengan Operator dan asisten. Hypavix
bactigres

q. Tutupi bactigres dengan


kassa kering dan rekatkan
dengan hypavix

r. Operasi Selesai

25
NO DATA PENYEBAB MASALAH
1 Ds: Trauma Intrakranial Resiko Cedera
Do:
Pasien dilakukan pemasangan
VP Shunt
Terdapat defek cele pada
nasoedmoidal
DK: Resiko Cedera b/d trauma
intrakranial

2 Ds: Prosedur Invasif Resiko Infeksi


Do:
Pasien dilakukan pemasangan
VP Shunt
Dilakukan insisi pada abdomen

DK: Resiko Infeksi b/d prosedur


invasif

Ds:
3 Do: Tekanan tulang menonjol Resiko Gangguan Integritas Kulit
Posisi pasien supine
Pasien dalam keadaan tidak
sadar

DK: Resiko gangguan


integritas kulit b/d tekanan
tulang menonjol

NO DIAGNOSA
NOC NIC
DX KEPERAWATAN
1 Resiko cedera b/d Trauma NOC : Pengendalian Resiko NIC : Positioning
Intrakranial Tujuan : Pasien mengalami stress 1. Konsul dengan ahli bedah
minimal pada sisi operasi mengenai pemberian posisi,
Kriteria hasil : termasuk derajat fleksi
a. Stress minimal pada sisi leher.
operasi 2. Posisikan pasien datar dan
b. Pasien tetap pada posisi yang mirirng, bukan terlentang
diinginkan atau tinggikan kepala
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi trendelenburg

26
2 Resiko Infeksi b/d prosedur NOC: NIC:
invasif a) Kontrol Infeksi a) Kontrol infeksi: Intraopertaif
Setelah dilakukan tindakan Tindakan:
keperawatan pasien tidak 1. Monitor dan jaga suhu ruangan
mengalami infeksi dgn kriteria 20-24°C
hasil: 2. Monitor dan jaga aliran udara
1. Pasien bebas dari tanda dan yang berlapis
gejala infeksi 3. Masukan antibiotik profilaksis
2. Mempertahankan teknik ceftriaxon 400 mg
aseptik dan steril 4. Siapkan Linen, dan BHP
dengan mempertahankan
teknik steril
5. Lakukan Scrubing, Gowning,
Dan Gloving
6. Lakukan prosedur operasi
dengan mempertahankan
aseptik teknik dan steril
7. Jaga ruangan tetap rapi dan
teratur untuk membatasi
kontamintasi
3 Resiko Gangguan Integritas NOC: NIC:
Kulit b/d tekanan tulang a) Integritas jaringan: Kulit a) Pencegahan Luka Tekan
menonjol Setelah dilakukan tindakan Tindakan:
keperawatan pasien tidak 1. Pastikan bahwa alas meja
mengalami gangguan integritas operasi terbuat dari bahan
kulit dgn kriteria hasil: yang empuk
1. Tidak lesi tambahan pada 2. Hindarkan kulit dari
kulit pasien kelembaban yang berlebihan
3. Lapisi meja operasi
menggunakan perlak dan
underpad untuk menghindari
terjadinya kelembaban
4. Pertimbangkan lama operasi

3. Asuhan Keperawatan Post-Operatif


A. Pengkajian
a) Anamnesis
1) Identitas pasien
Nama : An, M
Alamat : Gucialit - Lumajang
Jenis Kelamin : Laki-laki
b) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan Umum pasien lemah,
27
2) Kesadaran
Kesadaran masih hilang.
c) Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan rambut
Kepala tidak simetris. Terdapat luka insisi bikoronal pada operasi terdahulu.
2. Wajah
Terdapat kassa terbungkus hypavix pada derah naso atas.
3. Mata
Mata pasien masih tertutup.
4. Hidung
Terdapat jahitan simple 6 yang ditutup kassa dan terbungkus hypavix pada derah naso
atas.
5. Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien.
6. Mulut dan bibir
Mulut baik dan bibir lembab.
7. Gigi
Gigi belum tumbuh.
8. Leher
Tidak ada gangguan.
9. Persyarafan
GCS: 3, Tingkat kesadaran: Coma.
NO DATA PENYEBAB MASALAH
1 Ds: Disfungsi neuromuskular Ketidakefektifan bersihan jalan
Do: napas
Pasien tidak sadar
Saliva dalam jumlah yang
berlebihan
Penurunan reflek menelan

DK: Ketidakefektifan bersihan


jalan napas b/d disfungsi
neuromuskular d/d pasien tidak
sadar, penuruanan reflek
menelan

NO DIAGNOSA
NOC NIC
DX KEPERAWATAN

28
1 Ketidakefektifan bersihan NOC : NIC :
jalan napas b/d disfungsi a) Status Pernapasan: a) Manajemen Jalan Napas
neuromuskular Kepatenan jalan napa Tindakan:
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi suara napas
keperawatan pasien menunjukkan tambahan
bersihan jalan napas yang efektif 2. Observasi status pernapasan
dengan kriteria hasil: dan oksigenasi
1. Tidak ada suara napas 3. Ganti kassa di mulut pasien
tambahan dan bersihkan saliva yang
2. Tidak ada akumulasi saliva ada
berlebihan 4. Posisikan pasien untuk
3. Pasien mampu bernapas memaksimalkan ventilasi
spontan 5. Usahakan sebelum
memindakan pasien ke RR
pastikan pasien sudah
mampu bernapas spontan.

29
BAB IV. PENUTUP

1. Kesimpulan
Ensefalokel (Encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek
tuba neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial akan
menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum.
Penyebab pasti Encephalocele sampai saat ini belum diketahui, namun sudah terdapat dua
pendapat yang dominan dalam menjelaskan proses patofisiologi dari suatu Encephalocele.
Pendapat tersebut adalah terjadinya daerah yang mengalami kelemahan tulang wajah (locus
minoris), sedangkan pendapat kedua adalah terjadinya penutupan “neural tube” yang terlambat.
Karena pendapat kedua tersebut Encephalocele seringkali dihubungkan dengan suatu neural
tube defect fase neurulasi.
Masalah keperawatan yang muncul yaitu Resiko Hipotermia, Resiko Cedera, Resiko
Infeksi, Resiko Gangguan Integritas Kulit, dan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas.

2. Saran
Penyusun menyarakan untuk pembaca lebih menekankan pada Instrument Teknik dan
Operating Teknik guna lebih efek ketika berperan sebagai Scrube Nurse.

30
DAFTAR PUSTAKA

Ana, M., & Ilan, E. T.-T. (1992, 09 08-11). Cephalocele, anterior. Cephalocele.

Courtney, P. B., Shaan, M. R., Kofi, D. B., & Alfredo, Q.-H. (2011). Transfacial Approaches
to the Skull Base: The Early Contributions of Harvey Cushing. Skull Base, 4.

Kemenkes. (2014, Mey 14). Modul Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, Pra Sekolah. Retrieved
from SlideShare: https://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/modul-7-kb-3-48126947

LifeStyle. (2019, April 15). Kesehatan Fisik. Retrieved from Penilaian Tingkat Kesadaran
(Nilai GCS) Dewasa dan Anak: https://www.honestdocs.id/penilaian-tingkat-
kesadaran-berdasarkan-nilai-gcs

Muhammad-Zafrullah, A., Yudoyono, F., Mirna-Sobana, A., & Faried, A. (2013).


OPERATION TECHNIQUE OF ANTERIOR MENINGOENCEPHALOCELE:
Transcranial Combined with Anterior Resection (Case Report). Bali Medical Journal
(BMJ), Volume 2, Number 2.

PEDIATRICS. (2016, December 28). Encephaloceles. Retrieved from Fastest Obstetric,


Gynecology and Pediatric Insight Engine: https://obgynkey.com/encephaloceles/

Sastrodiningrat, A. G. (2012). Neurosurgery Lecture Notes. Medan: USU Press.

Stilianos, E. K., & Metin, O. (2007). Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques.
Berlin: Springer.

31

Anda mungkin juga menyukai