Anda di halaman 1dari 23

SOAL BATCH 23 KMB 114-132

1. Seorang laki-laki (27 tahun) dirawat di bangsal bedah RS dengan post OREF tibia 1/3 distal
sinistra hari kedua. Hasil pengkajian: pasien mengeluhkan takut untuk bergerak dan sulit
menggerakkan kaki kirinya, terasa nyeri, mudah lelah, kekuatan otot 2, CRT < 2 detik, akral
hangat, balutan luka operasi tidak tampak rembesan. Hasil laboratorium: Leukosit 9.000/mm3,
albumin serum 3,8 g/dl.
Apakah masalah keperawatan yang tepat ?
A. Gangguan integritas kulit
B. Gangguan mobilitas fisik
C. Intoleransi aktivitas
D. Keletihan
E. Perlambatan pemulihan pasca bedah

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Data fokus:
Pasien dengan *post OREF tibia 1/3 distal sinistra hari kedua.*
DS: Pasien mengeluhkan *takut untuk bergerak dan sulit menggerakkan kaki kirinya, terasa
nyeri*.
DO: *Kekuatan otot 2*, CRT < 2 detik, akral hangat, balutan luka operasi tidak tampak rembesan.

Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada kasus tersebut adalah *gangguan mobilitas
fisik* berhubungan dengan adanya kerusakan integritas struktur tulang ditandai dengan pasien
mengeluhkan takut untuk bergerak dan sulit menggerakkan kaki kirinya, terasa nyeri, dan
kekuatan otot 2.

Menurut SDKI (2017) *gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri.* Penyebabnya yaitu kerusakan integritas struktur tulang,
penurunan kendali otot, penurunan kekuatan otot, massa otot, gangguan musculoskeletal.
Tanda gejala yang muncul yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot
menurun, ROM menurun, nyeri saat bergerak, merasa cemas saat bergerak, gerakan terbatas,
sendi kaku.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi gangguan integritas kulit (tidak tepat) karena pada kasus kerusakan yang terjadi bukan
kerusakan kulit pada epidermis dan dermis, namun pada kasus merupakan kerusakan integritas
dari struktur tulang dan dilakukan pembedahan untuk menghubungkan kembali kontinuitas
struktur tulang tersebut.
Opsi intoleransi aktivitas (tidak tepat) karena keluhan mudah lelah pada pasien bukan karena
ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang disebabkan karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, seperti munculnya dispneu saat atau
setelah aktivitas.
Opsi keletihan (tidak tepat) karena tidak ada penurunan kapasitas kerja fisik dan mental yang
tidak pulih dengan istirahat yang disebabkan oleh penyakit kronis, anemia, gangguan tidur,
pengobatan jangka panjang, stress berlebihan.
Opsi perlambatan pemulihan pasca bedah (tidak tepat) karena pada kasus tidak terjadi tanda
adanya pemanjangan jumlah hari pascabedah untuk memulai dan melakukan aktivitas sehari-
hari. Ditandai dengan tanda dan gejala yaitu mengeluh tidak nyaman, area luka terbuka, waktu
penyembuhan yang memanjang, dan selera makan hilang.

SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi I.
Jakarta: DPP PPNI

2. Seorang perempuan (23 tahun) dibawa ke IGD karena tersiram air panas. Hasil pengkajian: luka
bakar pada tangan kanan dan tangan kiri bagian belakang, seluruh wajah hingga leher bagian
depan, dan seluruh dada. Luka tampak berwarna putih dan merah, tampak bulla, tekanan darah
90/60 mmHg, frekuensi nadi 110 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit, BB 55kg dan urin output
120 cc/10 jam.
Berapa persentase luka bakar yang terjadi pada pasien?
A. 22.5%
B. 27%
C. 31.5%
D. 36%
E. 40.5%

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Luka bakar adalah kondisi terjadinya luka akibat terbakar, yang tidak hanya disebabkan oleh
panas yang tinggi, tetapi senyawa kimia, listrik, dan pemajanan berlebihan oleh sinar matahari
yang menimbulkan reaksi pada seluruh sistem metabolisme. Luka bakar dinyatakan dalam
persen luas tubuh. Luasnya permukaan tubuh yang terkena panas dapat dihitung menggunakan
Rule of Nine yang dikembangkan oleh Wallace tahun 1940
(Grace & Borley, 2006)

Berdasarkan perhitungan dari rule of nine pada kasus yaitu sebagai berikut:
luka bakar pada:
1. tangan kanan : 9%
2. tangan kiri bagian belakang : 4,5%
3. seluruh wajah hingga leher bagian depan : 4.5%
4. dada : 9%
Sehingga total persentase luka bakar pada kasus yaitu *27%*.
Tinjauan opsi lainnya:
Opsi 22,5%, 31,5%, 36%, dan 40.5% tidak tepat karena hasil tidak sesuai dengan perhitungan
dari rule of nine.

Grace, P. A., dan Borley, N. R. 2006. At a Glace Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga

3. Seorang perempuan (24 tahun) dibawa ke IGD karena disiram air panas oleh kekasihnya. Hasil
pengkajian : luka bakar derajat II dengan luas luka bakar 18%, luka tampak kemerahan dan
berbulla, tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 110 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit,
urin output 115 cc/10 jam. Berat badan pasien 50 kg.
Berapa cairan yang harus diberikan selama 24 jam pertama pada pasien ?
A. 900 ml
B. 1800 ml
C. 3600 ml
D. 4140 ml
E. 4600 ml

Jawaban: C

PEMBAHASAN
Luka bakar adalah kondisi terjadinya luka akibat terbakar, yang tidak hanya disebabkan oleh
panas yang tinggi, tetapi senyawa kimia, listrik, dan pemajanan berlebihan oleh sinar matahari
yang menimbulkan reaksi pada seluruh sistem metabolisme. Luka bakar dinyatakan dalam
persen luas tubuh (Grace & Borley, 2006). Perhitungan resusitasi cairan luka bakar dapat
diberikan dengan perhitungan rumus Baxter atau formula Parkland untuk dewasa yaitu:
Cairan yang diberikan 24 jam pertama = 4 cc x Kg BB x % luas luka bakar
Cairan yang diberikan 8 jam pertama = ½ x (4 cc x Kg BB x % luas luka bakar)
Cairan yang diberikan 16 jam berikutnya = ½ x (4 cc x Kg BB x % luas luka bakar) (Peitzman et al.,
2013).

Data fokus:
Pasien mengalami luka bakar derajat II dengan *luas luka bakar 18%*
*Berat badan pasien 50kg.*
Sehingga cairan yang diberikan 24 jam pertama = 4 cc x Kg BB x % luas luka bakar
= 4 cc x 50 kg x 18%
= *3600 ml*

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi 900 ml, 1800 ml, 4140 ml, dan 4600 ml tidak tepat karena hasil tidak sesuai dengan
perhitungan dari rumus baxter/parkland
Grace, P. A., dan Borley, N. R. 2006. At a Glace Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
Peitzman, A. B., Rhodes, M., Scwab, C. W., Yealy, D. M., Fabian, T. C. 2013. The Trauma Manual:
Trauma and Acute Care Surgery, Fourth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a
Wolters Kluwer

4. Seorang perempuan (28 tahun) dengan HNP dirawat di RS. Sebelumnya pasien terjatuh di kamar
mandi 4 bulan yang lalu. Hasil pengkajian: pasien mengeluh nyeri pada punggung bawah sejak 2
bulan yang lalu. Nyeri datang tiba-tiba, terasa seperti tertusuk-tusuk, semakin berat ketika
mencoba duduk. Skala nyeri yang dirasakan 8. Wajah tampak meringis, gelisah, palpitasi, dan
pasien mengatakan sulit untuk tidur.
Apakah masalah keperawatan yang tepat pada kasus?
A. Ansietas
B. Nyeri akut
C. Nyeri kronis
D. Gangguan mobilitas fisik
E. Gangguan pola tidur

Jawaban: B

PEMBAHASAN
HNP (Hernia Nukleus Pulposus) adalah keadaan ketika nukleus pulposus keluar menonjol
kemudian menekan ke arah kanalis spinalis melalui annulus fibrosis yang robek. Penyebabnya
dikarenakan trauma dan stress fisik (Muttaqin, 2008).

DS: Pasien mengeluh *nyeri pada punggung bawah sejak 2 bulan yang lalu*. Nyeri datang tiba-
tiba, terasa seperti tertusuk-tusuk, semakin berat ketika mencoba duduk. Skala nyeri yang
dirasakan 8. Pasien mengatakan sulit untuk tidur.
DO: Wajah tampak meringis, gelisah, palpitasi.

Masalah keperawatan yang tepat adalah *nyeri akut*. Diagnosa keperawatan pada kasus yaitu
nyeri akut berhubungan dengan terjepitnya saraf spinal yang ditandai dengan keluhan nyeri yang
kompleks, tampak meringis, gelisah, sulit tidur.

Menurut SDKI (2017), nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual dan fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berhubungan langsung kurang dari 3 bulan. Penyebabnya
yaitu adanya agen cedera fisiologis, kimiawi, dan fisik. Tanda gejala yang muncul mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, dan sulit tidur. Kondisi
klinis terkait cedera traumatis, infeksi, kondisi pemebedahan.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi ansietas (tidak tepat) karena kurangnya data mengenai kondisi emosi dan pengalaman
subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas, sehingga diagnosa ini belum dapat ditegakkan.
Opsi nyeri kronis (tidak tepat) karena nyeri yang dialami pasien berlangsung kurang dari 3 bulan.
Sedangkan nyeri kronis ditegakkan apabila nyeri yang dirasakan lebih dari 3 bulan.
Opsi gangguan mobilitas fisik (tidak tepat) karena tidak ada data mengenai keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.
Opsi gangguan pola tidur (tidak tepat) karena keluhan sulit tidur yang dirasakan pasien berasal
dari faktor internal sedangkan diagnosa ini ditegakkan apabila terjadi gangguan kualitas dan
kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal dengan gejala sering terjaga, tidur tidak puas, dan
pola tidur berubah.

SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi I.
Jakarta: DPP PPNI.
Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.

5. Seorang perempuan (56 tahun) dengan Glomerulonefritis Akut dirawat di RS. Hasil pengkajian:
pasien mengeluh nyeri, hematuria dan proteinuria, udem pada ekstremitas bawah, tekanan
darah 170/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36,6 C.
Sebelum opname pasien tidak melakukan diet. Hasil laboratorium: Nilai BUN 60 mg/dl, kalium 8
mEq/L, natrium 180 mEq/L.
Apakah diet yang tepat pada pasien?
A. Rendah protein, tinggi kalium, rendah natrium
B. Rendah protein, kalium, dan natrium
C. Tinggi protein, rendah kalium, tinggi natrium
D. Tinggi protein, rendah kalium dan natrium
E. Tinggi protein, kalium dan natrium

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Glomerulonephritis Akut merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral yang bersifat akut
dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/atau hematuria.
Penyebab penyakit ini dikarenakan infeksi bakteri streptokokus (Price & Wilson 2005).

Data fokus:
a. Pasien dengan glomerulonephritis akut
b. Hematuria dan proteinuria, udem pada ekstremitas bawah.
c. tekanan darah 170/90 mmHg.
d. Hasil laboratorium:
*Nilai BUN 60 mg/dl (abnormal)*
*kalium 8 mEq/L (hyperkalemia)*
*natrium 180 mEq/L (hypernatremia)*

*Sehingga diet yang tepat pada pasien yaitu rendah protein, rendah kalium dan natrium.*
Pengaturan diet yang tepat untuk penyakit ginjal yaitu asupan rendah protein. Pembatasan
protein tidak hanya mengurangi kadar BUN tetapi juga mengurangi asupan kalium, fosfat, dan
produksi ion hydrogen yang berasal dari protein. *Asupan rendah protein dapat mengurangi
beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan
cedera sekunder pada nefron* (Price & Wilson 2005).

Ketika fungsi ginjal terganggu, *ginjal tidak mampu membuang kelebihan kalium dalam tubuh
sehingga terjadi hiperkalemia. Oleh karena itu, menjadi penting untuk membatasi asupan kalium
dalam diet.* Hiperkalemia jika tidak tertangani dapat menyebabkan aritmia dan gangguan pada
jantung Price & Wilson 2005).

Pembatasan natrium dalam diet juga penting dalam gagal ginjal. *Asupan natrium yang terlalu
bebas dapat mengakibatkan terjadinya retensi cairan, edema perifer, edema paru, dan gagal
jantung kongestif* (Price & Wilson 2005).

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi rendah protein, tinggi kalium, rendah natrium (tidak tepat) karena tinggi kalium akan
memperburuk kondisi pasien dan memungkin akan terjadi aritmia.
Opsi tinggi protein, rendah kalium, tinggi natrium (tidak tepat) karena tinggi protein akan
menyebabkan hiperfiltasi dan meningkatkan GFR sedangkan tinggi natrium akan menyebabkan
retensi cairan, udem perifer, udem paru hingga gagal jantung kongestif.
Opsi tinggi protein, rendah kalium dan natrium (tidak tepat) karena tinggi protein akan
menyebabkan hiperfiltasi dan meningkatkan GFR.
Opsi tinggi protein, kalium dan natrium (tidak tepat) karena tinggi protein akan menyebabkan
hiperfiltasi dan meningkatkan GFR, tinggi kalium akan memperburuk kondisi pasien dan
memungkin akan terjadi aritmia sedangkan tinggi natrium akan menyebabkan retensi cairan,
udem perifer, udem paru hingga gagal jantung kongestif.

Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.

6. Seorang laki-laki (57 tahun) dengan NSTEMI dirawat di RS. Pasien mengeluh nyeri dada tumpul
hingga menjalar ke lengan kiri. Hasil pengkajian: tampak meringis dan pucat, terdengar suara S3,
CRT > 2 detik, nadi lemah, akral dingin, urin output 850 ml/24jam, tekanan darah 150/90 mmHg,
frekuensi nadi 124x/menit, frekuensi napas 28x/menit, Berat Badan 70 kg. Gambaran EKG:
depresi segmen ST.
Apakah masalah keperawatan utama yang tepat pada kasus?
A. Nyeri akut
B. Penurunan curah jantung
C. Hipovolemia
D. Gangguan sirkulasi spontan
E. Perfusi perifer tidak efektif

Jawaban: B

PEMBAHASAN
NSTEMI (Non-ST segment elevation myocardial infarction) adalah jenis serangan jantung yang
ditandai dengan penyumbatan sebagian pada arteri coroner. Dikatakan NSTEMI bila dijumpai
peningkatan biomarkers jantung tanpa adanya gambaran ST elevasi pada EKG (Price & Wilson,
2005).

Data Fokus:
DS: Pasien mengeluh nyeri dada tumpul hingga menjalar ke lengan kiri.
DO: tampak meringis dan pucat, *terdengar suara S3*, *CRT > 2 detik*, nadi lemah, akral dingin.
Urin output 850 ml/24jam, Berat Badan 70 kg  urin ouput normal (840-1680 ml/24jam)
*tekanan darah 150/90 mmHg (hipertensi)*, *frekuensi nadi 124x/menit (takikardi)*, *frekuensi
nafas 28x/menit (dispneu).*
Gambaran EKG: *depresi segmen ST.*

Masalah keperawatan utama yang tepat yaitu *penurunan curah jantung*. Ditandai dengan
munculnya tanda gejala takikardi, kebanormalan gambaran EKG (depresi segmen ST), hipertensi,
dispneu, CRT > 2 detik, pucat, terdengar suara S3.
Masalah keperawatan ini *menjadi utama karena lebih mengancam jiwa*. Jika aliran darah yang
dipompa jantung tidak adekuat akan menyebabkan henti jantung.

Menurut SDKI (2017), penurunan curah jantung adalah ketidakadekuatan jantung memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh, yang penyebabnya yaitu perubahan
kontraktilitas jantung, preload, afterload, irama jantung, dan frekuensi jantung.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi nyeri akut (kurang tepat) karena meskipun pada kasus mengeluh nyeri, namun data yang
didapat kurang spesifik untuk mengangkat masalah keperawatan ini menjadi utama. Nyeri akut
merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual dan fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat yang berhubungan langsung kurang dari 3 bulan
Opsi hipovolemia (tidak tepat) karena tidak terjadi adanya penurunan volume cairan
intravascular, intertisial, dan/atau intraselular.
Opsi gangguan sirkulasi spontan (kurang tepat) karena merupakan ketidakmampuan untuk
mempertahankan sirkulasi yang adekuat untuk menunjang kehidupan. Pada data kasus, tidak
ada data keabnormalan TTV yang drastis dan penurunan kesadaran, meskipun pada kasus
terdapat gambaran EKG yang abnormal.
Opsi perfusi perifer tidak efektif (kurang tepat) jika menjadi diagnosa utama. Karena diagnosa ini
merupakan penurunan sirkulasi darah pada level kapiler, sedangkan pada kasus penyebab
munculnya tanda gejala pucat, CRT > 2 detik, nadi lemah, akral dingin dikarenakan gangguan
pada jantung .

Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi I.
Jakarta: DPP PPNI.
7. Seorang perempuan (52 tahun) dengan Emfisema Paru dirawat di RS. Keluarga melaporkan pada
perawat bahwa pasien mengeluh sesak nafas. Hasil pengkajian: retraksi dada interkosta, bibir
pucat, auskultasi paru rhonki pada kedua basal lobus paru, tekanan darah 130/80 mmHg,
frekuensi nadi 114x/menit, frekuensi nafas 30x/menit. Hasil AGD: pH 6,35, PCO2 52 mmHg, PO2
70 mmHg, HCO3 26 mmHg.
Apakah masalah keperawatan utama yang tepat ?
A. Gangguan sirkulasi spontan
B. Gangguan ventilasi spontan
C. Gangguan pertukaran gas
D. Pola nafas tidak efektif
E. Penurunan curah jantung

Jawaban: C

PEMBAHASAN
Emfisema Paru adalah suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran
alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Price &
Wilson, 2005).

Data fokus:
DS:
Keluarga melaporkan pada perawat bahwa *pasien mengeluh sesak nafas.*
DO:
*retraksi dada interkosta*, *bibir pucat*, auskultasi paru rhonki pada kedua basal lobus paru,
tekanan darah 130/80 mmHg, *frekuensi nadi 114x/menit (takikardi)*, *frekuensi nafas
30x/menit (dispneu).*
Hasil AGD:
pH 6,35 --> asam --> asidosis
PCO2 52 mmHg --> meningkat --> respiratorik
PO2 70 mmHg, --> menurun
HCO3 26 mmHg --> normal
Kesimpulan: *asidosis respiratorik.*

Menegakkan masalah keperawatan utama dapat melalui prinsip ABCD, dan yang mengancam
jiwa.
Sehingga masalah keperawatan utama yang tepat yaitu *gangguan pertukaran gas*. Hal ini
disebabkan karena perubahan membrane alveolus-kapiler sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara ventilasi-perfusi. Ditandai dengan tanda gejala yang muncul pada kasus yaitu dispneu,
asidosis respiratorik, bibir pucat, retraksi dada interkosta, takikardi.

Menurut SDKI (2017) gangguan pertukaran gas merupakan kelebihan atau kekurangan
oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membrane alveolus-kapiler. Kondisi klinis
terkait yaitu PPOK, CHF, asma, pneumonia, Tb paru, infeksi saluran nafas.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi gangguan sirkulasi spontan (tidak tepat) karena pada kasus tidak terdapat adanya
ketidakmampuan untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat untuk menunjang kehidupan
yang disebabkan karena abnormalitas kelistrikan, struktur jantung.
Opsi gangguan ventilasi spontan (kurang tepat) karena pada kasus didapatkan data pH abnormal.
Diagnosa ini ditegakkan apabila terjadi keabnormalan pada PCO2 (meningkat), PO2 menurun,
SaO2 menurun tanpa disertai pH abnormal.
Opsi pola nafas tidak efektif (kurang tepat) karena meskipun pada data didapatkan dispneu,
penggunaan otot bantu nafas, hal ini tidak dapat menangani penyebab utama permasalahan
pernapasan pasien. Karena pada kasus, terjadinya pola nafas tidak efektif yang penyebabnya
karena ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksida dalam proses ventilasi dan perfusi.
Opsi penurunan curah jantung (kurang tepat) karena masalah keperawatan ini berhubungan
dengan kondisi sirkulasi tubuh. Meskipun didalam kasus terjadi peningkatan tekanan darah
sistol, takikardi, dispneu, hal ini terjadi karena respon tubuh menanggapi ketidakadekuatan
oksigen dalam sirkulasi darah.

Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi I.
Jakarta: DPP PPNI

8. Seorang laki-laki (48 tahun) dengan Sindrom Nefrotik dirawat di bangsal RS. Pasien mengeluh
kencingnya berwarna merah. Hasil pengkajian: udem pada kedua ekstremitas bawah, pitting
edema +3, proteinuria, distensi vena jugularis, urin output 250 ml/24jam, BB 60 kg, sesak nafas
pada malam hari. Hasil laboratorium: Hb 10 mg/dl, albumin 2.8 g/dl. Hasil rontgent:
hepatomegali.
Apakah masalah keperawatan yang tepat ?
A. Hipovolemia
B. Hipervolemia
C. Pola nafas tidak efektif
D. Penurunan curah jantung
E. Intoleransi aktivitas

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan adanya proteinuria massif (>3,5 g/hari),
hipoalbuminemia, edema, dan hyperlipidemia, kadar BUN biasanya normal (Price & Wilson,
2005).

Data fokus:
DS: Pasien mengeluh kencingnya berwarna merah, sesak nafas pada malam hari.

DO:
- Udem pada kedua ekstremitas bawah, pitting edema +3.
- distensi vena jugularis.
- Urin output 250 ml/24jam (abnormal, oliguria), BB 60 kg  urin output normal (720-1440 ml/24
jam).
- Hb 10 mg/dl (anemia).
- albumin 2.8 g/dl (hipoalbumin).
- Hasil rontgent: hepatomegali.

Masalah keperawatan yang tepat yaitu *hypervolemia*. Hal ini disebabkan karena adanya
gangguan mekanisme regulasi dari ginjal yang mengakibatkan kelebihan asupan cairan.
*Hipervolemia pada kasus ditandai dengan tanda gejala paroximal nocturnal dispneu, edema
perifer, distensi vena jugularis, oliguria, anemia, hepatomegali.*

Menurut SDKI (2017), hipervolemia merupakan peningkatan cairan intravaskuler, intertisial,


dan/atau intraselular. Kondisi klinis yang terkait yaitu, penyakit ginjal, hipoalbunimeia, CHF,
kelainan hormone, penyakit hati dan vena perifer.

Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi I.
Jakarta: DPP PPNI

9. Seorang perempuan (52 tahun) dengan Tb Paru dirawat di RS. Pasien mengeluh sesak nafas
semakin berat saat malam hari. Pasien terpasang simple mask. Hasil pengkajian: retraksi dada,
mukosa bibir kering, rhonki pada lapang paru, perkusi redup, tekanan darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi 68x/menit, frekuensi nafas 28x/menit. Hasil AGD: pH 7,30, PCO2 60 mmHg, PO2
78 mmHg, HCO3 30 mmHg.
Apakah interpretasi AGD yang tepat pada kasus?
A. Alkaliosis respiratorik terkompensasi sebagian
B. Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian
C. Alkaliosis metabolik terkompensasi sebagian
D. Asidosis metabolik terkompensasi sebagian
E. Asidosis respiratorik tidak terkompensasi

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Berdasarkan interpretasi nilai AGD didapatkan:
pH 7,30 --> turun
PCO2 60 mmHg --> naik
HCO3 30 mmHg --> naik
Ketika pH turun dan PCO2 naik maka terjadi asidosis respiratorik, dan nilai HCO3 juga mengalami
kenaikan yang berarti terjadinya sebuah kompensasi, sehingga interpretasi yang tepat yaitu
*asidosis respiratorik terkompensasi sebagian.*

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi alkaliosis respiratorik terkompensasi sebagian (tidak tepat) karena data pada kasus pH
menurun (asidosis),
Opsi alkaliosis metabolik terkompensasi sebagian (tidak tepat) karena data pada kasus pH
menurun (asidosis), PCO2 naik.
Opsi asidosis metabolik terkompensasi sebagian (tidak tepat) karena data pada kasus nilai HCO3
naik, PCO2 naik.
Opsi asidosis respiratorik tidak terkompensasi (tidak tepat) karena data pada kasus HCO3
mengalami keabnormalan yaitu peningkatan HCO3.

10. Seorang perempuan (50 tahun) dengan Gagal Ginjal Kronik dirawat di RS. Pasien menerima
terapi NaCl 500 ml/24jam. Hasil pengkajian: oliguria, pitting edema +2, acites, badan lemas,
berat badan 70 kg, tinggi badan 160 cm, tekanan darah 180/90 mmHg, frekuensi nadi
88x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36,9 C. Perawat memberikan terapi furosemide 40
mg via IV.
Berapakah urine output yang menjadi kriteria keberhasilan terapi cairan tersebut ?
A. 14-27 ml/jam
B. 30-60 ml/jam
C. 35-70 ml/jam
D. 70-105 ml/jam
E. 80-160 ml/jam

Jawaban: C

PEMBAHASAN
Gagal Ginjal Kronik adalah perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya
berlangsung beberapa tahun). Penyebab penyakit ini salah satunya karena glomerulonefritis.
Tanda gejala yang muncul adalah udema, hipertensi, oliguria atau bahkan anuria, sesak nafas,
nyeri pinggang, nyeri berkemih, hematuria (Price & Wilson 2005). Salah satu terapi untuk
mengurangi udem pada gagal ginjal kronik salah satunya yaitu furosemide.

Furosemid adalah obat golongan diuretik yang digunakan untuk membuang cairan atau garam
berlebih di dalam tubuh melalui urine dan meredakan pembengkakan yang disebabkan oleh
gagal jantung, penyakit hati, penyakit ginjal atau kondisi terkait (Aschenbrenner & Venable,
2009).

Data fokus:
Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik
Pasien menerima terapi NaCl 500 ml/24jam.
Oliguria, pitting edema +2, acites, badan lemas, berat badan 70 kg, tinggi badan 160 cm, tekanan
darah 180/90 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36,9 C.
Perawat memberikan terapi furosemide 40 mg via IV

Karena pasien diberikan obat diuretic maka diharapkan untuk perawat harus memonitor intake
dan output. Urine output merupakan indikator terbaik untuk resusitasi cairan yang adekuat.
*Capaian kriteria keberhasilan terapi cairan dapat menggunakan urin output 0,5-1 cc/Kg BB/
jam* (Rodenberger et al., 2009).
Sehingga urine output yang menjadi kriteria keberhasilan terapi tersebut yaitu *35-70 ml/jam*.
0,5 cc*70kg/ jam = 35 ml/jam
1 cc*70kg/ jam = 70 ml/jam

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi 14-27 ml/jam, 30-60 ml/jam, 70-105 ml/jam, dan 80-160 ml/jam tidak tepat karena hasil
tidak sesuai dengan perhitungan dari rumus urine output.

Aschenbrenner, D. S., & Venable, S. J. 2009. Drug Therapy in Nursing. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer.
Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Rodenberger, J., et al., 2009. Nursing Care Plans & Documentation Nursing Diagnoses and
Collaborative Problems. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer.

11. Seorang laki-laki (36 tahun) dengan Efusi pleura dirawat inap di RS. Pasien mengeluh sesak nafas
dan nyeri pada dada. Hasil pengkajian: adanya penggunaan otot bantu pernapasan, vocal
fremitus menurun, perkusi redup, auskultasi terdengar pleural friction rub. Hasil rontgent:
didapatkan adanya Hemotorax pada basal lobus dekstra. Dokter akan melakukan pungsi
thorakosintesis. Perawat saat ini mengatur posisi pasien.
Apakah posisi yang tepat pada kasus di atas ?
A. High fowler
B. Semi fowler
C. Low fowler
D. Supinasi
E. Ortopneic

Jawaban: E

PEMBAHASAN
Pungsi Thorakosintesis adalah prosedur dimana jarum dimasukkan ke dalam ruang pleura antara
paru-paru dan dinding dada. Prosedur ini dilakukan untuk menghilangkan kelebihan cairan, yang
dikenal sebagai efusi pleura, dari ruang pleura untuk membantu bernafas lebih mudah. *Posisi
untuk prosedur ini yaitu pasien duduk diam di tepi kursi atau tempat tidur dengan kepala dan
lengan diletakkan di atas meja (orthopneic).* Posisi ini memberikan akses ke ruang aksila
posterior, yang merupakan bagian paling penting dari toraks.
Sedangkan untuk pasien yang tidak stabil yang tidak dapat duduk dapat diberikan posisi supine
untuk prosedur ini (Brauner, 2018).

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi high fowler, semi fowler, & low fowler (tidak tepat) karena bukan termasuk dalam posisi
untuk melakukan prosedur thorakosentesis.
Opsi supinasi (tidak tepat) karena pasien dalam keadaan sadar. Posisi ini dapat dilakukan jika
pasien dalam posisi tidak stabil atau tidak bisa duduk.

Brauner, Mark E. 2018. Thoracentesis Periprocedural Care. [serial online] [cited 2018 February
6]. Avaible from: URL: https://emedicine.medscape.com/article/80640-periprocedure#b4

12. Seorang laki-laki (28 tahun) dengan Post Kolostomi hari ke-5 dirawat di bangsal bedah. Perawat
akan melakukan perawatan kolostomi. Perawat sedang melepaskan kantong kolostomi dengan
air hangat. Saat perawat membersihkan area stoma, tampak stoma kemerahan, tidak terdapat
pus, agak basah, tidak ada pembengkakan. Pasien juga tidak merasakan rasa gatal pada area
stoma.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
A. Mengoleskan zink oksida sesuai order dokter
B. Mendokumentasikan respon pasien
C. Mendokumentasikan kondisi kulit di sekitar stoma
D. Mengukur lubang stoma
E. Menutup stoma dengan kasa

Jawaban: A

PEMBAHASAN
Prosedur Perawatan Kolostomi:
1. Jelaskan prosedur pada pasien
2. Ambil semua peralatan yang diperlukan dan letakkan di dekat perawat
3. Cuci tangan dan pakai handscoon
4. Berikan privasi dan bantu pasien pada posisi yang nyaman (fowler, semifowler,berdiri atau
duduk di kamar mandi)
5. Kosongkan kantong yang sudah terisi sebagian ke dalam pispot bila kantung tersebut
mempunyai saluran pembuangan
6. Lepaskan kantong secara perlahan mulai dari bagian atas sambil mengencangkan kulit perut.
Jika ada tahanan, gunakan air hangat atau zat anti perekat untuk memudahkan pelepasan
7. Gunakan kertas tissue untuk mengangkat sisa feses dari stoma. Tutup stoma dengan kassa
8. Bersihkan dan keringkan kulit di sekitar stoma secara perlahan. Sabun dan zat pembersih
ringan dapat digunakan sesuai peraturan institusi
9. Periksa tampilan kulit di sekitar stoma dan stoma itu sendiri. Stoma berwarna pink kemerahan
dan agak basah dianggap normal
10. Oleskan pelindung kulit jenis pasta (Zink oksida) jika diperlukan dan biarkan pasta mengering
selama 1 – 2 menit
11. Tempelkan pelindung kulit dan kantung secara bersamaan
a. Pilih ukuran lubang stoma dengan memakai panduan ukuran stoma
b. Samakan dengan ukuran lingkaran pada bagian belakang tengah pelapis kulit
c. Gunakan gunting untuk memotong lubang 6 mm atau 3 mm lebih besar dari stoma
d. Lepaskan bagian belakang pelapis kulit untuk memaparkan bagian yang lengket
e. Angkat kasa yang menutupi stoma
f. Rekatkan pelapis kulit dan kantung stoma dan tekan ke kulit secara perlahan sambil meratakan
kerutan. Tahan kantung pada tempatnya selama 5 menit.
12. Masukkan pengharum ke dalam kantong jika perlu
13. Tutup kantung bila ada saluran pembuangnya dengan cara melipat ujungnya ke atas dan
gunakan klem atau penjepit sesuai petunjuk
14. Buang pada tempatnya peralatan yang sudah dipakai, buang handscoon, dan cuci tangan
15. Dokumentasikan penampakan stoma, kondisi kulit di sekitar stoma, dan respon pasien
terhadap prosedur.

*Pada kasus perawat sedang membersihkan stoma dan melakukan mengkaji penampakan
stoma, dan kondisi stoma.*
*Sehingga tindakan selanjutnya yang tepat adalah mengoleskan zink oksida sesuai order dokter.*

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi mendokumentasikan respon pasien (tidak tepat) karena tindakan ini dilakukan jika
perawatan kolostomi telah selesai setelah membuang handscoon dan melakukan cuci tangan.
Opsi mendokumentasikan kondisi kulit di sekitar stoma (tidak tepat) karena tindakan ini
dilakukan jika perawatan kolostomi telah selesai setelah membuang handscoon dan melakukan
cuci tangan dan dokumentasi yang harus dicatat yaitu penampakan stoma, kondisi kulit di sekitar
stoma, dan respon pasien terhadap prosedur.
Opsi mengukur lubang stoma (tidak tepat) karena tindakan ini dilakukan setelah mengoleskan
pelindung stoma (zink oksida), jika perlu.
Opsi menutup stoma dengan kasa (tidak tepat) karena tindakan ini dilakukan sebelum
membersihkan dan mengeringkan stoma.

Jacob , A. et al. 2014. Buku ajar : clinical nursing procedures. Edisi II. Diterjemahkan oleh
:Estrada, R. Tangerang : Binarupa Aksara

13. Seorang laki-laki (45 tahun) dengan COS dan Epidural Hematoma Dekstra dirawat di RS. Pasien
terpasang trakeostomi. Kesadaran pasien sopor. Pasien berulang kali batuk dan tampak sputum
berlebih, terdengar suara ronkhi pada kedua apeks paru. Kateter penghisap telah tersambung
dengan regulator vacuum. Saat ini perawat telah melakukan hiperoksigenasi dan membasahi
ujung kateter dengan normal saline.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
A. Melakukan penghisapan pada area sekitar mulut
B. Memasukkan kateter suction perlahan hingga terjadi respon batuk
C. Menghisap dengan port tertutup <15 detik
D. Memasukkan kateter suction dengan port tertutup
E. Membilas kateter penghisap dengan air steril

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Prosedur Tindakan Suction
1. Cuci tangan
2. Menggunakan handscoon
3. Mengatur posisi pasien
4. Memasang handuk pada bantal atau dibawah dagu pasien
5. Pilih tekanan dan tipe unit vacum yang tepat
6. Menuangkan normal salin/air ssteril dalam wadah steril
7. Sambungkan kateter penghisap dengan regulator vacum
8. Basahi ujung kateter dengan normal salin
9. Lakukan penghisapan, masukan kateter suction secara lembut sampai ujung kateter
menyentuh karina yang ditandai dengan respon batuk. Dahulukan penghisapan di ETT untuk
pasien yang menggunakan ETT/Ventilasi mekanik kemudian diteruskan penghisapan disekitar
rongga mulut.
10. Sumbat “port” penghisap dengan ibu jari. Dengan perlahan rotasi kateter saat menariknya,
tidak boleh lebih dari 15 detik
11. Bilas kateter dengan larutan steril. Bila klien tidak mengalami distress pernapasan, istirahat
20-30 detik, sebelum memasukkan ulang kateter.
12. Bila diperlukan penghisapan ulang, ulangi langkah 8-9
13. Bila klien mampu minta untuk nafas dalam dan batuk efektif diantara penghisapan
14. Hisap sekret pada mulut atau dibawah lidah setelah peghisapan orofaringeal
15. Buang kateter penghisap bersamaan dengan pelepasan handscoon
16. Cuci tangan

Pada kasus, kateter penghisap telah tersambung dengan regulator vacuum. Saat ini perawat
telah melakukan hiperoksigenasi dan membasahi ujung kateter dengan normal salin.
Sehingga tindakan selanjutnya *memasukkan kateter suction perlahan hingga terjadi respon
batuk*. Respon batuk merupakan tanda bahwa selang sudah mencapai ujung karina.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi melakukan penghisapan pada area sekitar mulut tidak tepat karena pasien terpasang
trakeostomi sehingga tindakan yang tepat seharusnya mendahulukan penghisapan pada ETT.
Namun jawaban ini juga tidak tepat karena pada kasus selang suction belum dimasukkan.
Opsi menghisap dengan port tertutup <15 detik tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah
selang kateter masuk sampai karina.
Opsi memasukkan kateter suction dengan port tertutup tidak tepat karena saat memasukkan
kateter suction port seharusnya dibuka. Jika saat memasukkan kateter suction dengan port
tertutup dikhawatirkan terjadi penghisapan dalam waktu yang terlalu lama dan dapat
mengakibatkan hipoksemia.
Opsi membilas kateter penghisap dengan air steril tidak tepat karena tindakan ini dilakukan jika
penghisapan telah dilakukan.

(Tim Pokja Modul Pelatihan Hipercci Pusat. 2016. Modul Pelatihan Keperawatan Intensif Dasar.
Jakarta : In Media.)

14. Seorang laki-laki (54 tahun) dirawat di RS dengan keluhan kesulitan berkemih. Pasien akan
dilakukan pemasangan kateter urin. Perawat telah memasang duk bolong. Selang kateter
dimasukkan dengan mudah dan tidak ada tahanan. Urin segera keluar dan ditampung dalam
bengkok. Selama memasukkan selang kateter tidak ada keluhan dari pasien, pasien tampak
tenang dan terlihat lega.
Apakah tindakan selanjutnya pada pasien tersebut?
A. Melakukan fiksasi selang kateter
B. Mengangkat duk bolong
C. Mengisi balon kateter dengan cairan aquabides
D. Menarik selang kateter hingga ada tahanan
E. Menyambung kateter ke urin bag

Jawaban: C
Prosedur Pemasangan Kateter Urin Pria
1. Cuci tangan
2. Pasang sampiran
3. Gantung urin bag di sisi tempat tidur pasien
4. Buka pakaian bawah pasien (celana/kain sarung)
5. Atur posisi pasien (supine) dan pasang perlak pengalas. Dekatkan nierbeken di antara kedua
paha.
6. Pasang handscoon dan lakukan penis hygiene
7. Dekatkan nierbeken yang kedua untuk menampung urin
8. Ganti handscoon bersih dengan steril, pasang duk bolong
9. Olesi ujung kateter dengan kassa jelly
10. Masukkan kateter yang sudah diberi jelly ke uretra sepanjang 15 –25 cm, sampai urin
mengalir, sambil pasien menarik napas dalam ketika kateter dimasukkan
11. Tampung urin dengan menggunakan nierbeken
12. Perhatikan respon pasien
13. Isi balon kateter dengan cairan aquades sesuai dengan kebutuhan dan tarik selang kateter
secara perlahan sampai ada tahanan
14. Angkat duk bolong, sambungkan kateter ke urin bag, fiksasi ke salah satu paha pasien
15. Bersihkan alat-alat, lepaskan handscoon, dan cuci tangan
16. Dokumentasi tindakan yang telah dilakukan

Pada kasus, perawat melakukan pemasangan kateter. Urin segera keluar dan ditampung dalam
bengkok. Selama memasukkan selang kateter tidak ada keluhan dari pasien, pasien tampak
tenang dan terlihat lega.
Karena urin sudah keluar dan tidak ada tahanan serta respon pasien baik, sehingga tindakan
selanjutnya yang tepat yaitu *mengisi balon kateter dengan cairan aquabides*.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi melakukan fiksasi selang kateter tidak tepat karena pada kasus, duk bolong masih
terpasang, balon kateter belum terisi, dan selang kateter belum disambungkan dengan urin bag.
Fiksasi selang kateter dilakukan apabila tindakan pemasangan kateter sudah hampir selesai dan
posisi selang kateter telah mantap.
Opsi mengangkat duk bolong tidak tepat karena pada kasus, balon kateter belum terisi dan
selang belum ditarik. Tindakan ini dilakukan apabila perawat akan melakukan tindakan
menyambungkan selang kateter dengan urin bag.
Opsi menarik selang kateter hingga ada tahanan tidak tepat karena balon kateter belum terisi.
Tindakan ini dilakukan stelah balon kateter terisi.
Opsi menyambung kateter ke urin bag tidak tepat karena pada kasus balon kateter belum terisi.
Tindakan ini dilakukan setelah duk bolong sudah diangkat.
Mubarak, W.I., dan Chayatin, N. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia, Teori dan Aplikasi
dalam Praktik. Jakarta: EGC.

15. Seorang laki-laki (28 tahun) dengan CHF dirawat di RS. Pasien masih mengeluh nyeri dada. Hasil
pengkajian: skala nyeri 6, tampak edema pada ekstremitas bawah kanan dan kiri, pitting edema
+3. Gambaran EKG sinus takikardi. Perawat akan melakukan pemeriksaan JVP. Perawat telah
mengidentifikasi vena jugularis sebelah kanan pasien. Pasien menoleh ke arah kiri. Perawat telah
menandai titik tertinggi pulsasi dengan spidol.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
A. Memposisikan pasien semifowler
B. Meletakkan penggaris secara vertical
C. Menentukan sudut Louis
D. Mengukur jarak antara sudut sternum dan meniscus
E. Mengidentifikasi meniscus dengan penlight dari arah kanan

Jawaban: C

PEMBAHASAN
Prosedur Pemeriksaan JVP
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur, tujuan tindakan, lamanya tindakan pada klien
3. Beri kesempatan klien bertanya sebelum tindakan dimulai
4. Jaga privasi klien selama tindakan dilakukan
5. Posisikan pasien berbaring telentang dan pastikan otot sternomastoideus dalam keadaan
rileks dengan kepala ditinggikan 30-45 derajat (posisi semi fowler), atau sesuaikan sehingga
pulsasi vena jugularis tampak paling jelas.
6. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher atau toraks bagian atas.
7. Anjurkan kepala klien menengok menjauhi arah pemeriksa.
8. Identifikasi vena jugularis. Ada beberapa cara untuk mengidentifikasi pulsasi vena jugularis:
a. Gunakan lampu senter/penlight dari arah miring untuk melihat bayangan vena jugularis.
Identifikasi pulsasi vena jugular interna (bedakan denyutan ini dengan denyutan dari arteri
karotis interna di sebelahnya), jika tidak tampak gunakan vena jugularis eksterna.
b. Menekan pada bagian ujung proksimal vena jugularis (dekat angulus mandibulae) sambil
melepaskan bendungan pada supra clavicula. Mengamati tingginya bendungan darah yang ada
dan beri tanda dengan menggunakan spidol.
9. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis interna/eksterna dapat dilihat
(Meniscus).
10. Tentukan sudut sternum (sudut louis) sebagai tempat untuk mengukur tinggi pulsasi vena.
11. Gunakan penggaris. Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal), dimana salah satu
ujungnya menempel pada sudut sternum. Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal),
dimana ujung yang satu tepat di titik tertinggi pulsasi vena (meniscus), sementara ujung lainnya
ditempelkan pada penggaris ke-1.
12. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi vena
(meniscus).
13. Catat hasil pengukuran
14. Rapikan alat-alat
15. Kembalikan klien ke posisi yang nyaman
16. Cuci tangan

Pada kasus perawat telah mengidentifikasi vena jugularis sebelah kanan pasien. Pasien menoleh
ke arah kiri. Perawat telah menandai titik tertinggi pulsasi dengan spidol, sehingga tindakan
selanjutnya yang tepat adalah *menentukan sudut louis.*

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi memposisikan pasien semifowler tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah menutup
tirai kamar tidur pasien untuk menjaga privasi pasien.
Opsi meletakkan penggaris secara vertikal tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah posisi
.sudut louis telah ditentukan.
Opsi mengukur jarak antara sudut sternum dan meniscus tidak tepat karena tindakan ini
dilakukan setelah perawat telah memposisikan 2 penggaris yang diletakkan secara vertical dan
penggaris lainnya diletakkan secara horizontal di titik tertinggi pulsasi vena jugularis.
Opsi mengidentifikasi meniscus dengan penlight dari arah kanan tidak tepat karena tindakan ini
sudah dilakukan pada kasus yaitu adanya data pada kasus, perawat telah menandai titik tertinggi
pulsasi dengan spidol.

16. Seorang laki-laki (20 tahun) dengan Post OREF cruris 1/3 distal dekstra di bangsal bedah. Pasien
mengatakan sudah dapat berjalan-jalan di sekitar RS menggunakan kruk, namun belum bisa
untuk menuruni tangga dan meminta perawat untuk mengajarkannya kembali. Saat ini pasien
menempatkan kruk pada anak tangga.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
A. Memposisikan dengan posisi tripod
B. Melakukan tumpuan pada kaki yang cedera
C. Melangkahkan kaki yang tidak cedera ke depan
D. Menggerakkan kaki yang cedera ke depan
E. Melangkahkan kaki yang sehat sejajar dengan kruk

Jawaban: D

PEMBAHASAN
Prosedur Menuruni Tangga dengan Kruk
1. Klien berdiri dengan posisi tripod
2. Berat badan bertumpu pada kaki yang tidak cidera
3. Kruk ditempatkan ke anak tangga, transfer berat badan ke kruk. Gerakkan kaki yang cidera ke
depan.
4. Kaki yang tidak cidera sejajar di tangga dengan kruk
5. Ulangi urutan sampai mencapai bagian bawah tangga

Pada kasus pasien telah menempatkan kruk pada anak tangga, sehingga tindakan selanjutnya
yaitu *menggerakkan kaki yang cedera ke depan.*
Tinjauan opsi lainnya:
Opsi memposisikan dengan posisi tripod tidak tepat karena tindakan ini dilakukan sebagai
langkah awal untuk menuruni tangga.
Opsi melakukan tumpuan pada kaki yang cedera tidak tepat karena memberikan tumpuan pada
kaki yang cedera akan memperburuk kondisi fraktur, sehingga tindakan yang tepat yaitu
bertumpu pada kaki yang tidak cedera, namun tindakan ini dilakukan setelah pasien berdiri
dengan posisi tripod.
Opsi melangkahkan kaki yang tidak cedera ke depan tidak tepat karena tindakan ini bukan
merupakan langkah dalam prosedur.
Opsi melangkahkan kaki yang sehat sejajar dengan kruk tidak tepat karena tindakan ini dilakukan
setelah kaki yang cedera digerakkan ke depan.

American College of Foot and Ankle Surgeons. 2004. Instructions for using crutches. Diakses
pada 14 Agustus 2018, dari:
https://www.lakeviewhealth.org/upload/docs/Crutches.pdf
Potter, A.P & Perry, A.G., Stockert, P. A., & Hall, A.M. 2013. Fundamental of Nursing 8th Edition.
St, Louis, Missouri : Elsevier
Suratun., dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien gangguan sistem muskuloskeletal. Jakarta:
EGC.

17. Seorang perempuan (50 tahun) dengan Ketoasidosis Diabetikum dirawat di RS. Keluarga
mengatakan pasien tiba-tiba kejang dan tidak sadarkan diri. Hasil pengkajian: Pasien mengalami
penurunan kesadaran, GCS 111, CRT < 2 detik, akral hangat. GDS 480 mg/dl. Setelah dilakukan
rapid insulin. Dokter merencanakan pemasangan NGT. Saat ini perawat telah melakukan cuci
tangan.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
A. Memposisikan pasien semi fowler
B. Memposisikan pasien high fowler
C. Meletakkan perlak dan handuk diatas dada pasien
D. Memotong plester
E. Memakai handscoon

Jawaban: A

PEMBAHASAN
Prosedur pemasangan NGT
1. Identifikasi pasien
2. Periksa instruksi dokter untuk perhatian khusus seperti posisi atau pergerakan tertentu
3. Pastikan tingkat kesadaran dan kemampuan untuk mengikuti instruksi
4. Periksa riwayat medis pasien apakah ada lesi nasal, polip berdarah atau deviasi septum
5. Cuci tangan
6. Jelaskan prosedur pada pasien
7. Posisikan pasien pada posisi fowler tinggi, pasien koma pada posisi semi fowler
8. Letakkan perlak dan handuk diatas dada pasien
9. Potong plester sepanjang 10 CM dan siapkan untuk memfiksasi selang
10. Pakai handscoon
11. Ukur panjang selang, dari ujung hidung ka ujung daun telinga, dan ke ujung prosesus
xiphoideus dan tandai dengan pita.
12. Lumasi ujung selang sekitar 15-20 cm dengan pelumas yang larut dalam air, menggunakan
potongan kassa
13. Masukkan selang lewat lubang hidung kiri ke bagian belakang tenggorokan, dengan
mengarah ke belakang dan ke bawah menuju telinga
14. Fleksikan kepala pasien ke arah dada setelah selang melewati nasofaring
15. Anjurkan pasien untuk menelan dengan memberikan seteguk air jika memungkinkan
16. Dorong selang sampai panjang yang diinginkan sudah masuk semua
17. Bila ada tahanan atau pasien mulai muntah, batuk, terssedak, atau menjadi sianosis,
berhenti mendorong selang dan tarik kembali.
18. Periksa posisi selang dengan aspirasi cairan lambung atau meletakkan ujung selang di dalam
kom berisi air
19. Fiksasi selang dengan plester
20. Rekatkan ujung selang ke baju pasien
21. Bereskan alat-alat, lepaskan handscoon, dan cuci tangan
22. Dokumentasikan Tindakan

Pada kasus perawat telah melakukan cuci tangan, sehingga tindakan yang tepat yaitu
*memposisikan pasien semi fowler* karena kondisi pasien dalam keadaan koma (penurunan
kesadaran. Hal ini ditujukan agar saat pemasangan NGT tidak terjadi aspirasi.

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi memposisikan pasien high fowler tidak tepat karena posisi ini ditujukan untuk pasien sadar.
Opsi meletakkan perlak dan handuk diatas dada pasien tidak tepat karena tindakan ini dilakukan
setelah posisi pasien telah diatur.
Opsi memotong plester tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah alas terpasang di atas
dada pasien.
Opsi memakai handscoon tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah plester untuk fiksasi
telah disiapkan.

18. Seorang laki-laki (42 tahun) dengan Pneumothorax dirawat di RS. Pasien mengeluh sesak nafas.
Hasil rontgen tampak lucent pada apeks paru sinistra dan saat diperkusi terdengar hipersonor,
sehingga pasien dianjurkan pemasangan WSD. Perawat akan mengganti botol drainase WSD.
Pasien dalam posisi nyaman. Saat ini perawat melakukan klem pada selang drainase dekat dada
dan dibawah klem pertama.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
A. Menyambung kembali botol baru dengan selang dada
B. Memposisikan botol di bawah dada pasien
C. Memposisikan botol sejajar dengan dada pasien
D. Melepaskan klem selang dada
E. Melepaskan sambungan botol lama dari selang dada

Jawaban: E

PEMBAHASAN
Prosedur Perawatan WSD
1. Periksa order dokter dan rencana asuhan keperawatan
2. Identifikasi pasien dan jelaskan prosedur
3. Pantau tanda-tanda vital
4. Kumpulkan peralatan
5. Berikan privasi
6. Cuci tangan dan pakai handscoon steril
7. Persiapkan botol drainase dada
a. Sistem satu botol : terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang.
b. Sistem dua botol : botol I digunakan untuk menampung cairan dan udara dari rongga pleura,
dan botol II sebagai ruang segel air.
c. Sistem tiga botol : sama dengan sistem dua botol, dan botol III untuk mengontrol jumlah
pengisapan.
8. Pastikan botol tersimpan dalam tempat botol
9. Posisikan pasien duduk secara nyaman
10. Klem selang drainase dada dengan menggunakan 2 buah klem. Klem I pada 4 – 6,5 cm dari
lokasi penusukan dada dan klem II 2,5 cm di bawah klem I
11. Lepaskan sambungan botol lama dari selang dada
12. Sambung kembali botol baru dengan selang dada
13. Posisikan botol 0,5 – 1 meter di bawah dada pasien
14. Lepaskan klem selang dada
15. Amati adanya fluktuasi berulang ketinggian air pada ujung distal selang dada.
16. Rekatkan secara longgar selang drainase pada pakaian pasien
17. Posisikan kembali pasien secara nyaman di atas ranjang
18. Cuci tangan
19. Catat prosedur
20. Lanjutkan pemantauan pasien

Pada kasus, perawat telah melakukan klem dengan dua klem. Klem I: 4 – 6,5 cm dari lokasi
penusukan dada (dekat dada) dan klem II: 2,5 cm di bawah klem I (dekat botol.
Sehingga tindakan selanjutnya yang tepat yaitu *melepaskan sambungan botol lama dari selang
dada.*

Tinjauan opsi lainnya:


Opsi menyambung kembali botol baru dengan selang dada tidak tepat karena tindakan ini
dilakukan setelah melepaskan sambungan botol lama dari selang dada.
Opsi memposisikan botol di bawah dada pasien tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah
selang dada tersambung kembali dengan botol baru.
Opsi memposisikan botol sejajar dengan dada pasien tidak tepat karena tindakan ini akan
menyebabkan darah dalam botol/slang masuk kembali ke rongga dada.
Opsi melepaskan klem selang dada tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah botol
diposisikan di bawah pasien.

19. Seroang perempuan (23 tahun) dengan Gastritis dirawat inap di RS. Keluarga melaporkan ke
perawat tangan yang diinfus bengkak dan badan pasien panas. Perawat memeriksa dan
didapatkan bahwa pasien mengalami phlebitis. Perawat menganjurkan untuk melakukan
kompres hangat. Saat ini perawat akan memasang infus baru pada ekstemitas atas lainnya.
Perawat telah menentukan lokasi yang akan ditusuk.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya?
A. Memasang handscoon
B. Memasang tourniquet
C. Melakukan tusukan vena
D. Melakukan desinfektan
E. Menganjurkan pasien menggenggam

Jawaban: B

PEMBAHASAN
Prosedur Pemasangan Infus
1. Cuci tangan
2. Dekatkan alat, tempatkan tiang infus disisi ekstremitas (lokasi insersi) dengan tinggi 90 cm dari
bed
3. Gantungkan cairan infus pada tiang infus
4. Buka infus set, periksa kelengkapan dan fungsi bagian-bagiannya, letakkan klem 1/3 atas
dalam posisi terkunci dan biarkan ujung selang tertutup dengan penutup yang tersedia.
5. Hubungan selang infus dengan botol cairan, isi tabung 1/2 bagian, keluarkan udara dari selang
infus dengan mengalirkan cairan dan kunci kembali klem
6. Tutup ujung selang infus dengan jarum penutup, letakkan pada standard infus
7. Pilih vena yang akan diinsersi dan letakkan pengalas di daerah yang akan ditusuk
8. Lakukan pembendungan dengan tourniquet 10 – 12 cm diatas area penusukan dan anjurkan
pasien untuk menggenggam
9. Pasang handscoon, desinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan kapas alkohol secara
melingkar dari dalam ke luar dengan diameter 5 cm, satu kapas satu kali usap. Buang kapas ke
dalam bengkok
10. Buka IV cath, lalu tusukkan pada vena dengan posisi jarum mengarah ke atas, dengan sudut
20 – 30 derajat
11. Pastikan darah terlihat pada IV cath, tarik jarum secara perlahan sambil mendorong kanul ke
dalam vena. Ketika kanul sudah berada dalam vena, longgarkan tourniquet
12. Sambungkan pangkal IV cath dengan selang infus
13. Alirkan/atur tetesan infus sesuai dengan program terapi
14. Observasi bila ada edema pada ujung kanul yang sudah masuk ke vena
15. Buka handscoon, fiksasi pangkal IV cath dengan plester secara menyilang, tutup tempat
penusukan dengan kassa steril yang telah diberi antiseptik, plester melintang
16. Cuci tangan
17. Tulis tanggal dan waktu pemasangan
18. Dokumentasikan tindakan, jenis, dan tetesan cairan yang diberikan

Pada kasus perawat telah menentukan lokasi yang akan ditusuk, sehingga tindakan selanjutnya
yang tepat adalah *memasang tourniquet*

Opsi memasang handscoon tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah dilakukan
pembendungan.
Opsi melakukan tusukan vena tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah lokasi penusukan
didesinfektan.
Opsi melakukan desinfektan tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah handscoon
terpasang.
Opsi menganjurkan pasien menggenggam tidak tepat karena tindakan ini dilakukan setelah
memasang tourniquet.

Mubarak, W.I. & Chayatin, N. 2007. Buku ajar kebutuhan dasar manusia, teori dan aplikasi dalam
praktik. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai