BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dalam proses ke arah yang lebih baik, mengembangkan sikap percaya diri, rasa ingin
tahu, serta pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki, sehingga pendidikan
dapat berfungsi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi maupun
masyarakat. Salah satu wadah yang dibangun dalam usaha mewujudkan hal tersebut
adalah sekolah. Dalam wadah ini, banyak hal yang dapat ditempuh untuk
pembelajaran dan hasil belajar, penyediaan sarana dan prasarana belajar, dan
sebagainya.
peningkatan kualitas tenaga pendidik menduduki posisi yang sangat strategis dan
diperlukan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan
dalam disiplin keilmuannya. Dengan kualitas yang baik, maka guru sebagai pendidik
akan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka
1
2
Salah satu pelajaran yang dianggap penting untuk mencapai tujuan pendidikan
adalah pelajaran fisika. Pembelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran
yang memiliki banyak faedah bagi suatu bangsa. Kesejahteraan materil suatu bangsa
sangat banyak bergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang fisika, sebab
pembelajaran fisika merupakan salah satu dasar dari teknologi. Sedangkan teknologi
dari sains yang hakikatnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala
alam secara fisis melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang
dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah.
konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah peserta didik yang akhirnya dapat membantu
peserta didik dalam pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru cenderung
sampai di mana kemampuan yang dimiliki peserta didik pada saat guru mengajar,
3
sehingga peserta didik merasa bosan dan mengakibatkan aktivitas belajar peserta
didik menjadi kurang optimal, sebab peserta didik menjadi cenderung pasif dan tidak
memahami materi yang disampaikan oleh gurunya apabila dari awal peserta didik
tidak memahami arah pengetahuan yang diberikan. Hal tersebut tentu akan
berdampak pada minimnya perolehan hasil belajar peserta didik karena pembelajaran
Jika diamati lebih mendalam tentang sifat bidang studi fisika, tampak bahwa
fisik saja, melainkan peserta didik dituntut untuk berpikir abstrak agar mampu
berpikir abstrak, peserta didik harus memiliki kemampuan berpikir imajinatif yang
baik. Oleh karena itu, pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dipelajarinya
pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya adalah tidak terjadi hubungan
antara pengetahuan baru yang diterima oleh peserta didik dengan pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik sebelumnya. Oleh karena itu, pengetahuan awal menjadi
syarat utama dan menjadi sangat penting bagi peserta didik untuk dimiliki (Trianto,
2011: 33). Dengan pengetahuan awal yang baik, maka akan meminimalisir
miskonsepsi yang terjadi dalam pembelajaran, pembelajaran pun akan menjadi lebih
4
bermakna, sehingga peserta didik mampu memahami pelajaran yang diberikan oleh
guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik saat pembelajaran.
peserta didik. Dalam pandangan ini, peserta didik secara pasif menyerap struktur
pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran.
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru
kepada peserta didik. Pengetahuan harus secara aktif dikonstruksi (dibangun) oleh
peserta didik, sehingga peran guru sekarang berubah dari sumber dan pemberi
demikian proses belajar mengajar lebih berpusat pada peserta didik (student
centered) bukan lagi berpusat pada guru (teacher centered), sehingga dapat memacu
proses belajar mengajar. Model learning cycle 5E ini mempunyai salah satu tujuan
mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berfikir baik secara
mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar
(berlatih soal) secara mandiri (Suyitno, 2004). Problem posing adalah perumusan
soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih
sederhana dan dapat dikuasai. Dengan mengajukan soal (problem posing), peserta
didik diberi kesempatan untuk menyelidiki informasi atau keterangan yang ada.
Peserta didik dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran baik secara mental,
fisik maupun sosial, dan peserta didik juga didorong untuk mencoba dan menyelidiki
yang harus segera ditangani di Madrasah Aliyah Negeri 2 Model Makassar dalam
adalah masih minimya jumlah peserta didik yang nilainya tuntas dalam pembelajaran
fisika, dengan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 75. Hal ini terjadi
6
penjelasan dan catatan kepada peserta didik tanpa mengindahkan pengetahuan awal
yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga peserta didik mengalami kesulitan pada
saat harus mengkonstruksi pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini
menyebabkan timbulnya rasa sulit dalam benak peserta didik, sehingga sulit untuk
memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Fasilitas pembelajaran fisika juga
belum termanfaatkan dengan baik karena guru belum memanfaatkan alat praktikum
secara maksimal, serta tidak adanya inovasi dalam model pembelajaran yang
digunakan oleh guru. Permasalahan lain yang teramati adalah akibat pembelajaran
yang monoton tersebut, peserta didik menjadi mengantuk dan merasa bosan dengan
pendengar. Akibat yang ditimbulkan adalah pada saat peserta didik diberikan sebuah
masalah. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan model pembelajaran yang lebih
efektif agar dapat membantu peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan yang
dimilikinya sebagai pengetahuan awal dengan pengetahuan baru yang akan diberikan
oleh guru, sehingga memudahkan peserta didik dalam pemecahan masalah, salah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian
dengan judul “Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing
B. Rumusan Masalah
masalah pada kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
kegemaran belajar peserta didik terkhusus pada materi pelajaran fisika serta
pembelajaran fisika.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang vital.
hanya bermakna apabila terjadi kegiatan belajar peserta didik. Oleh karena itu,
penting bagi setiap guru memahami proses belajar dan pembelajaran peserta didik.
Banyak orang yang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah
mencari ilmu atau menuntut ilmu. Selain itu, ada pula yang menyatakan bahwa
belajar adalah menyerap pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang harus
merupakan suatu proses dasar dari perkembangan hidup manusia yang melahirkan
karena belajar bukan sekedar pengalaman atau hasil, namun belajar adalah suatu
proses (Soemanto, 1998:103). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hamalik (2012: 27-
yang berarti belajar merupakan suatu proses suatu kegiatan dan bukan merupakan
hasil atau tujuan, bukan hanya mengingat tetapi lebih luas dari itu. Selanjutnya
dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui
11
12
pengetahuan yang diperlukan. Belajar juga dapat dipandang sebagai sebuah proses
elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan oleh individu untuk
meningkatkan kemampuan dan kompetensi personal. Selain itu, Trianto (2011: 16)
menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan pada individu yang terjadi melalui
sejak lahir, yang terjadi melalui banyak cara, baik disengaja maupun tidak disengaja
kadangpula memperkuat arah cita-cita warga belajar. Apabila perubahan itu merubah
cara berpikir, maka perubahan tersebut melibatkan perubahan dalam tujuan dan arah
dengan arah yang ditempuh selama ini, maka pengalaman belajar itu memberi
pengalaman baru dam dapat membantu melihat cara yang ditempuh selama ini lebih
jelas lagi. Proses ini dapat membantu untuk maju lebih cepat dan lebih jelas ke arah
yang terjadi:
1. Penambahan informasi
Keenam jenis perubahan ini dapat dimasukkan ke dalam tiga kategori yaitu
2012: 3)
unsur-unsur yang sama, yaitu: 1) belajar merupakan suatu kegiatan yang disadari dan
oleh pertumbuhan dan kematangan, dan 3) perubahan tingkah laku dalam belajar
sifatnya menetap (Haling, 2007: 2). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar
melalui pengalaman seseorang yang mengakibatkan perubahan tingkah laku pada diri
dan pengalaman hidup. Pmbelajaran adalah usaha sadardari seorang guru untuk
Pembelajaran juga diartikan sebagai interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta
didik, yang di antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah
menuju suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya (Trianto, 2011: 17)
selamanya berada di luar diri pebelajar, tetapi juga berada di dalam diri pebelajar.
Peristiwa di luar diri pebelajar adalah segala sesuatu yang dipersiapkan pebelajar
sebagai “pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik dalam
membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang
dengan cara melibatkan diri, baik dalam kegiatan secara personal maupun sosial
Kontruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri.
Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam
dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah membangun atau
interprestasi baru terhadap lingkungan sosial, budaya, fisik, dan intelektual tempat
pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang
guru atau instruktur adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan
yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang
sesungguhnya.
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar
adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap isi atau
(meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada dalam konteks teori
aturan alam, dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi peserta
didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus
dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembangan dari kerja Piaget,
Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain,
Menurut teori kontruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikolog
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi
sendiri, dan mengajar peserta didik menjadi sadar dan secara menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi peserta didik anak tangga yang
membawa peserta didik ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta
didik sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Trianto, 2009: 28).
Jauhar (2011: 37) memaknai adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua
proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif di mana
17
skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai
rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus.
skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
dapat mengasimilasikann pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dimiliki.
Pengalaman yang baru bisa saja tidak cocok dengan skema yang telah ada, sehingga
terjadi akomodasi. Akomodasi terbentuk untuk membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada, sehingga
Model pembelajaran bersiklus pertama kali diajukan oleh Robert Karplus pada
awal tahun 1960-an pada program sains dasar yaitu Science Currikulum
pembelajaran terdiri dari discovery, concept intention, dan concept application (Bass,
Contant, dan Carin, 2009: 90). Pembelajaran bersiklus merupakan rangkaian tahap-
tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat
berperan aktif.
18
salah satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis yang pada mulanya
1. Eksplorasi (exploration),
Wena (2012: 171) mengemukakan tiga siklus tersebut saat ini dikembangkan
menjadi lima tahap yang terdiri atas tahap (a) pembangkitan minat (engagement), (b)
1. Tahap Pembelajaran
a. Pembangkitan Minat
Tahap pembangkitan minat merupakan tahap awal dari siklus belajar. Pada
keingintahuan (curiosity) peserta didik tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini
tersebut dapat dijadikan pijakan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal
peserta didik tentang pokok bahasan. Kemudian guru perlu melakukan identifikasi
ada/tidaknya kesalahan konsep pada peserta didik. Dalam hal ini guru harus
19
b. Eksplorasi (Exploration)
Eksplorasi merupakan tahap kedua model siklus belajar. Pada tahap eksplorasi
kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil tanpa pembelajaran langsung
dari guru. Dalam kelompok ini peserta didik didorong untuk menguji hipotesis dan
sekelompok, melakukan dan mecatat pengamatan serta ide-ide atau pendapat yang
berkembang dalam diskusi. Pada tahap ini guru berperan sebagi faisilitator dan
motivator. Pada dasarnya tujuan tahap ini adalah mengecek pengetahuna yang
dimiliki peserta didik apakah sudah benar, masih salah, atau mungkin sebagian salah
c. Penjelasan
Penjelasan merupakan tahap ketiga siklus belajar. Pada tahap penjelasan, guru
didik, dan saling mendengar secara kritis penjelasan antarpeserta didik atau guru.
Dengan adanya diskusi tersebut, guru memberi definisi dan penjelasan tentang
konsep yang dibahas, dengan memakai penjelasan peserta didik terdahulu sebagai
dasar diskusi.
20
d. Elaborasi
Elaborasi merupakan tahap keempat siklus belajar. Pada tahap elaborasi peserta
didik menerapkan konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru
atau konteks yang berbeda. Dengan demikian, peserta didik akan dapat belajar secara
dipelajarinya dalam situasi baru. Jika tahap ini dapat dirancang dengan baik oleh
guru maka motivasi belajar peserta didik akan meningkat. Meningkatnya motivasi
belajar peserta didik tentu dapat mendorong peningkatan hasil belajar peserta didik
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir siklus belajar. Pada tahap evaluasi, guru dapat
baru. Peserta didik dapat melakukan evaluasi diri dengan mengajukan pertanyaan
terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan
yang diperoleh sebelumnya. Hasil evaluasi ini dapat dijadikan guru sebagai bahan
evaluasi tentang proses penerapan metode siklus belajar yang sedang diterapkan,
apakah sudah berjalan dengan sangat baik, cukup baik, atau masih kurang. Demikian
pula melalui evaluasi diri, peserta didik akan dapat mengetahui kekurangan atau
dipaparkan, diharapkan peserta didik tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi
siklus belajar dengan pembelajaran konvensional adalah guru lebih banyak bertanya
daripada member tahu. Misalnya, pada waktu akan melakukan eksperimen terhadap
dilakukan peserta didik, tetapi guru mengajukan pertanyaan penuntun tentang apa
yang akan dilakukan peserta didik, apa alasan peserta didik merencanakan atau
evaluatif, dan argumentatif peserta didik dapat berkembang dan meningkat secara
signifikan.
2. Penerapan di Kelas
Secara operasional kegiatan guru dan peserta didik selama proses pembelajaran
Tahap Siklus
No. Kegiatan Guru Kegiatan Peserta didik
Belajar
1. Tahap Membangkitkan minat dan Mengembangkan
Pembangkitan keingintahuan (curiosity) minat/rasa ingin tahu
Minat peserta didik. terhadap topik bahasan.
Mengajukan pertanyaan Memberikan respon
tentang proses faktual dalam terhadap pertanyaan guru.
kehidupan sehari-hari (yang
berhubungan dengan topik
bahasan).
Mengkaitkan topik yang Berusaha mengingat
dibahas dengan pengalaman pengalaman sehari-hari
peserta didik. Mendorong dan menghubungkan
peserta didik untuk mengingat dengan topik pembelajran
pengalaman sehari-harinya dan yang akan dibahas.
menunjukkan keterkaitannya
dengan topik pembelajaran
yang sedang dibahas.
2. Tahap Membentuk kelompok, Membentuk kelompok dan
Eksplorasi member kesempatan untuk berusaha bekerja dalam
bekerja sama dalam kelompok kelompok.
kecil secara mandiri.
22
oleh Lynn D. English dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran fisika
pada tahun 2000, kemudian dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Problem
posing diartikan sebagai pengajuan masalah atau perumusan masalah yang berkaitan
dengan syarat-syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih
relevan. Selain itu, “Problem posing essentially means creating a problem with
solutions unknown to the target problem solver the problem create for” (Leung,
2001).
pembelajaran yang mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri
melalui belajar (berlatih soal) secara mandiri (Suyitno, 2004). Problem posing adalah
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Dalam pembelajaran fisika,
Dalam hal ini peserta didik harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal
secara mendetail.
24
tidak hanya dari guru melainkan perlu belajar mandiri. Suyitno (2004) menjelaskan
bahwa problem posing diaplikasikan dalam tiga bentuk aktifitas kognitif sebagai
berikut ini.
1. Presolution possing
guru.
Peserta didik memecah pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan
Peserta didik membuat soal yang sejenis, seperti yang dibuat oleh guru.
banyaknya dari berbagai literatur, merumuskan soal atau pertanyaan dan situasi yang
ada, menentukan jawaban atau pemecahan dari permasalahan yang mereka buat serta
5. Memberi kesempatan peserta didik untuk membuat soal dari kondisi yang
dibentuk;
7. Mempersilahkan peserta didik bertukar soal dengan peserta didik lain dan
mendiskusikannya;
E. Pengetahuan Awal
Salah satu hal yang perlu dipahami oleh seorang guru berkaitan dengan proses
belajar peserta didiknya adalah kompetensi kognitif, kapasitas peserta didik untuk
berpikir abstrak, dan strategi mnemonik mereka. Dalam bab ini akan dibahas
pengetahuan awal dalam dirinya. Pengetahuan adalah hasil belajar. Pada saat
seseorang belajar tentang fisika, sejarah bangsa, sosial atau aturan-aturan bermain
bulu tangkis, seseorang mengetahui sesuatu yang baru. Pengetahuan bukanlah hasil
akhir, melainkan lebih dari itu, pengetahuan adalah pembimbing atau pengarah bagi
belajar sesuatu yang baru. Pendekatan kognitif menyatakan bahwa salah satu elemen
26
penting dalam proses belajar adalah apa saja yang dibawa oleh individu dalam situasi
belajar.
pentingnya pengetahuan dalam memahami dan mengingat suatu onformasi yang baru
telah dilakukan oleh Recht dan Leslie. Keduanya meneliti peserta didik-peserta didik
sekolah menengah pertama yang sangat bagus membacanya dan sangat kurang
kemampuan membaca. Oleh karena itu, kedua peneliti tersebut membagi peserta
didik dalam empat kelompok, yaitu 1) kelompok yang mampu membaca dengan
yang kurang mampu membaca dengan baik tapi memiliki pengetahuan tentang
baseball yang luas, dan 4) peserta didik yang memiliki kemampuan membaca yang
membaca kurang dan telah memiliki pengetahuan baseball yang luas ternyata lebih
baik daya ingatnya tentang baseball daripada peserta didik yang memiliki
penelitian itu pula, dapat diketahui bahwa peserta didik yang memiliki kemampuan
membaca kurang dan telah memiliki pengetahuan baseball yang luas sama baiknya
dengan peserta didik yang mampu membaca dengan baik serta memiliki pengetahuan
baseball yang baik pula. Sedangkan peserta didik yang kurang mampu membaca
27
dengan baik dan kurang memiliki pengetahuan baseball, mereka kurang dapat
mengingat apa yang mereka baca. Dari penelitian ini, kedua peneliti tersebut
menyimpulkan bahwa dasar pengetahuan yang baik lebih penting daripada strategi
berbagai macam tugas yang berbeda. Pengetahuan umum ini dapat ditetapkan pada
memproses sebuah kata atau kalimat itu sangat berguna, baik dalam situasi belajar di
knowledge) adalah informasi yang dapat digunakanhanya dalam situasi tertentu atau
yang hanya dapat diterapkan dalam satu topik khusus. Contohnya, pada saat peserta
didik belajar membaca, maka terlebih dahulu ia belajar mengeja huruf. Mengeja
huruf merupakan pengetahuan khusus, tetapi pengetahuan ini akan bertambah bila
digabungkan dengan pengetahuan khusus lain sampai akhirnya seorang peserta didik
lirik lagu, teori-teori dan lain sebagainya. Gagne menyebut pengetahuan deklaratif
kasus. Seorang peserta didik yang dapat menyebutkan aturan cara membagi pecahan
dan mengapa” (knowing when and why) untuk menggunakan pengetahuan deklaratif
dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan ini disebut juga dengan strategi kognitif
(cognitive strategies). Misalkan seorang peserta didik diberi soal fisika yang
lain untuk memecahkan persoalan yang berbeda, amak hal itu menunjukkan ia
dalam memahami suatu pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya karena
dimiliki. Dalam hal ini maka pengetahuan awal menjadi syarat utama dan menjadi
sangat penting bagi pelajar untuk dimilikinya. Trianto (2011: 34) menyatakan bahwa
pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka, dan apa
yang ia bawa kepada suatu pengalaman belajar baru. Nur (2000: 12) menggambarkan
keberartian pengetahuan awal dalam suatu studi menarik yang secara khusus
Salah satu penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar disebut
seseorang tersebut tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, tetapi juga
Pemecahan masalah hanya salah satu dari tipe kategori besar dalam
peserta didik bagaimana untuk berpikir (Ellis: 2005). Masalah merupakan sebuah
situasi baik secara kuantitatif atau sebaliknya yang dihadapi oleh seorang individu
atau kelompok dari beberapa individu yang membutuhkan penyelesaian dan pada
beberapa individu hal tersebut dapat terlihat tidak jelas atau nyata atau kecil peluang
keterampilan, dan memahami untuk memenuhi permintaan atau sebuah situasi yang
30
tidak lazim. Peserta didik harus mensintesis apa yang dipelajinya dan
masalah yaitu:
1. Mengidentifikasi masalah
2. Mengumpulkan data
3. Menganalisis data
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat
untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pemilihan masalah yang tepat,
dalam memberikan pengalaman belajar yang baik, menjadi masalah bagi guru dan
peserta didik artinya pemilihan masalah yang kurang luas dan kurang relevan,
dengan konteks materi pembelajaran atau suatu masalah yang tidak sesuai dengan
pembelajaran.
Dalam hal ini, penulis memilih menggunakan tipe pemecahan masalah Krulik
and Rudnick. Penjelasan mengenai tahap penyelesaian masalah menurut Krulik and
masalah. Peserta didik melakukan hal ini dengan mencatat kata kunci, menanyakan
kepada diri sendiri apa yang akan dijawab dalam sebuah masalah atau mengulang
Tahap kedua, menyelidiki, yaitu ketika seseorang mencari pola atau berusaha
atau menetapkan konsep atau prinsip permainan dalam permasalahan. Hal ini berarti
tahap ini lebih tinggi dati tahap pertama yang diidentifikasi peserta didik adalah
didasarkan pada apa yang peserta didik temukan dalam tahap pertama dan kedua.
32
Tahap keempat, yaitu memecahkan masalah, di mana salah satu dari metode
yang dimiliki dipilih oleh peserta didik untuk diaplikasikan pada masalah untuk
diselesaikan.
ketika peserta didik memverifikasi jawabannya dan mencari variasi dalam metode
yang diperoleh.
1. Mengaplikasikan
2. Menganalisis
bagian kecil dan menentukan hubungan antarbagian dan antara setiap bagian dan
3. Mengevaluasi
dan standar. Criteria tersebut diantaranya adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan
penyebabnya adalah tidak terjadi hubungan antara pengetahuan baru yang diterima
oleh peserta didik dengan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik sebelum
permasalahan yang dihadapi peserta didik, dalam hal ini menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh guru maupun pemecahan masalah yang ditemuinya dalam kehidupan
dimilikinya secara aktif tanpa harus selalu diberikan bantuan secara langsung oleh
kembali oleh pikiran peserta didik. konsep tersebut sejalan dengan paham
dipindahkan secara langsung dan utuh dari pikiran seorang guru kepada peserta
dengan melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu,
pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing. Pada dasarnya kedua model
pembelajaran learning cycle 5E, peserta didik dituntut untuk mampu mengeksplorasi
diri melalui ekperimen atau menjelaskan sebuah konsep, dalam pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran problem posing peserta didik dituntut agar dapat
jelasnya, kerangka pikir penelitian dapat dilihat dari bagan berikut ini.
35
Pendekatan
Konstruktivisme
Pengetahuan awal
peserta didik
H. Hipotesis Penelitian
dilakukan oleh penulis sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Waktu Penelitian
dilakukan sejak bulan Oktober 2012, penyusunan dan uji instrumen terlaksana dari
bulan Desember 2012 sampai Maret 2013 dan penelitian terlaksana sampai bulan
Mei 2013, sehingga penyusunan laporan dilakukan hingga akhir bulan Juni 2013.
2. Lokasi Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI IPA MAN 2
Model Makassar yang terdiri atas 5 kelas dengan jumlah 187 peserta didik.
2. Sampel
atau teknik pengambilan sampel secara acak, yaitu sampel yang diambil secara acak
tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi. Namun, karena tidak
37
38
dalamnya sebagai sampel, maka dilakukan rambang kelas. Artinya, sampel diambil
dengan melakukan rambang kelas tanpa harus merambang peserta didik di dalam
setiap kelas. Dengan teknik pengambilan sampel tersebut, diperoleh dua dari lima
1. Jenis Penelitian
sesungguhnya, dengan satu variabel bebas yang terdiri atas dua dimensi, satu
variabel moderator yang terdiri atas dua dimensi, dan satu variabel terikat. Dikatakan
true experiment atau penelitian eksperimen sesungguhnya karena di dalam desain ini,
penelitian. Ciri utama dari true experiment atau penelitian eksperimen sesungguhnya
adalah sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol
peserta didik, yang dibagi atas dimensi pengetahuan awal rendah dan pengetahuan
awal tinggi. Adapun variabel terikat adalah kemampuan memecahkan masalah fisika
2. Rancangan Penelitian
treatment by level design atau desain perlakuan pada tingkat yang berbeda. Desain
bebas) terhadap hasil (variabel terikat) (Sugiyono, 2012: 113) Untuk lebih jelasnya,
Yi Y1 Y2 Y..
Keterangan:
B : Pengetahuan Awal
k : Banyaknya sampel
Dalam pelaksanaan penelitian ini, maka akan digunakan dua kelas eksperimen
A1B1 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang
A2B1 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang
A1B2 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah yang
A2B2 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah yang
3. Desain Penelitian
treatment by level design atau desain perlakuan pada tingkat yang berbeda, yang
telah dimodifikasi dengan pengambilan sampel kelas dan kedua kelompok diberi
perlakuan (variabel bebas) terhadap hasil (variabel terikat) (Sugiyono, 2012: 113).
R O1 X1 Y1 O2
R O3 X2 Y1 O4
R O5 X3 Y2 O6
R O7 X4 Y2 O8
41
Keterangan:
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang diterapkan
dalam pembelajaran fisika peserta didik MAN 2 Model Makassar, terdiri atas dua
Problem posing.
2. Variabel Terikat
3. Variabel Moderator
Variabel moderator pada penelitian ini adalah pengetahuan awal peserta didik.
Variabel ini terdiri atas dua dimensi, yaitu pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan
berikut:
konsep fisika.
dihadapi, dalam hal ini soal-soal atau pertanyaan yang diberikan oleh guru
dimiliki oleh peserta didik mengenai konsep fisika yang diberikan dari
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan tes. Tes
harus dipilih atau ditanggapi, dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu.
Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pengetahuan awal peserta
didik untuk mengukur pengetahuan awal yang nantinya akan dikelompokkan sesuai
dengan jenjangnya (tinggi atau rendah). Tes pengetahuan awal menggunakan tes
objektif, yaitu tes yang telah disediakan pilihan jawabannya. Selain itu, digunakan
pula tes kognitif berbentuk tes uraian untuk mengetahui kemampuan memecahkan
G. Instrumen Penelitian
pengetahuan awal peserta didik berupa tes kognitif. Bentuk tes adalah tes tertulis
tes ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengelompokkan peserta didik di dalam
kelas eksperimen tanpa harus diketahui oleh peserta didik, apakah peserta didik
termasuk ke dalam kelompok peserta didik dengan pengetahuan awal rendah atau
kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik yang dibentuk berupa tes
kognitif. Bentuk tes adalah tes tertulis uraian yang dilaksanakan sebelum dan setelah
dibuat sedemikian rupa agar memenuhi indikator yang harus dicapai peserta didik
pada tataran peserta didik mampu memecahkan masalah, dalam hal ini peneliti
Sebelum memberikan tes kepada peserta didik, peneliti akan membuat rubrik
penilaian untuk soal yang memungkinkan peserta didik memiliki divergensi jawaban.
instrumen, diantaranya:
1. Uji Validitas
tersebut mampu mengukur suatu aspek yang semestinya diukur. Pada penelitian ini,
dilakukan validitas tes berupa teknik pengukuran validitas isi (content validity) dan
validitas konstruksi (construct validity) untuk instrumen tes pengetahuan awal dan
para ahli.
45
a. Validitas Isi
Validitas isi adalah suatu teknik validitas instrumen yang menunjukkan bahwa
isi dari instrumen yang disusun benar-benar dibuat berdasarkan literatur yang ada
dan mewakili setiap aspek yang akan diukur. Uji validitas isi dapat dilakukan oleh
ahli atau pakar validasi (validator ahli) dengan cara menunjukkan instrumen tes yang
b. Validitas Konstruk
bahwa instrumen yang dipilih telah sesuai dengan apa yang akan diukur. Uji validitas
konstruk dapat dilakukan oleh ahli atau pakar validasi (validator ahli).
0 – 25 Sangat Kurang
26 – 50 Kurang
51 – 75 Baik
76 – 100 Sangat Baik
Sumber: Riduwan (2011: 15)
Validity Ratio), sedangkan analisis validitas setiap aspek yang terdiri dari beberapa
valid jika CVR atau CVI berada pada kisaran nilai 0 s.d 1. Untuk menghitung CVR
𝑁
𝑛𝑒 − 2
𝐶𝑉𝑅 = (Lawshe, 1975: 567)
𝑁
2
Keterangan:
ne : Banyaknya validator yang memberikan nilai esensial (baik atau sangat baik)
N : Jumlah validator
𝐶𝑉𝑅
𝐶𝑉𝐼 = (Lawshe, 1975: 572)
∑𝑛
Keterangan:
Selain melakukan validasi ahli, dilakukan pula validitas tiap item soal dengan
melakukan uji coba di kelas yang setara. Pengujian ini dilakukan di kelas XI IPA2.
Pengujian validitas setiap item tes objektif pengetahuan awal dilakukan dengan
𝑀𝑝 − 𝑀𝑡 𝑝
𝛾𝑝𝑏𝑖 = √
𝑆𝑡 𝑞
dengan :
Mp = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari
validitasnya
St = standar deviasi
Dengan kriteria, untuk n = 38 orang, jika pb1 ≥ 0,32 maka item dinyatakan
valid dan jika pb1 < 0,32 maka item dinyatakan drop.
dilakukan uji coba, lalu dianalisis menggunakan korelasi product moment (rxy) dari
𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√{𝑁 ∑ 𝑋2 (∑ 𝑋)2 } − {𝑁 ∑ 𝑌2 − (∑ 𝑌)2 }
Keterangan:
Y : Skor total
N : Jumlah sampel
Butir soal dikatakan valid jika rxy ≥ rtabel pada taraf signifikansi 5 %, untuk n =
2. Uji Reliabilitas
mengukur aspek yang diukur, artinya apabila instrumen tersebut diberikan pada
subjek yang berbeda akan memberikan hasil yang relatif sama. Untuk mengetahui
Analisis reliabilitas soal yang diperoleh dari validasi para ahli dilakukan
k b
2
tabel. Instrumen dikatagorikan reliabel jika diperoleh nilai reliabilitas hitung lebih
𝑛 𝑆 2 − ∑𝑝𝑞
𝑟11 =( )( )
𝑛−1 𝑆2
dengan :
n = banyaknya item
bentuk uraian, yang memiliki gradualisasi penilaian, maka digunakan rumus Alpha
𝑃ℎ + 𝑃𝑙
𝑝=
2
Keterangan:
P : indeks kesukaran/kemudahan
Ph : proporsi peserta didik kelompok atas yang menjawab item soal dengan benar;
50
Pl : proporsi peserta didik kelompok bawah yang menjawab item soal dengan
salah;
Daya pembeda (D) soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi (pandai) dengan peserta didik
yang memiliki kemampuan rendah (kurang pandai). Untuk menghitung daya beda
D = Ph - Pl
Keterangan:
D : daya pembeda
Ph : proporsi peserta didik kelompok atas yang menjawab item soal dengan benar;
Pl : proporsi peserta didik kelompok bawah yang menjawab item soal dengan
salah;
dalam penelitian. Dalam penelitian ini, digunakan teknik anava dua jalur. Untuk
melakukan analisis anava, maka sebelumnya dilakukan uji prasyarat analisis data.
51
1. Uji Normalitas
berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian tersebut digunakan rumus chi-
k (Oi Ei ) 2
2
hitung
i 1 Ei
(Sudjana , 1992: 170)
Keterangan:
Ei : frekuensi harapan
k : banyaknya kelas
Kriteria pengujian:
Data berdistribusi normal bila 2 lebih kecil dari 2 dimana 2 diperoleh dari
hitung tabel tabel
2. Uji Homogenitas
populasi yang homogen atau tidak. Untuk pengujian tersebut digunakan rumus
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹𝑚𝑎𝑥 =
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
3. Uji Hipotesis
diajukan diterima atau ditolak. Untuk menguji hipotesis, maka dilakukan analisis
variansi dua jalur, sehingga terlihat interaksi antarkolom, antarbaris, serta interaksi
dalam sel. Apabila hipotesis nol ditolak, maka diharuskan melakukan uji lanjut anava
sebagai tindak lanjut dari analisis variansi. Untuk melihat interaksi yang terbaik,
apabila sampel setiap kelompok berjumlah sama, maka dapat digunakan uji tukey,
namun apabila jumlah sampel setiap kelompok tidak sama, maka digunakan uji
sceffe agar terlihat seberapa besar pengaruh interaksi antarvariabel. Secara manual,
a. JK total
∑ YT
𝐽𝐾 (𝑇) = (∑40 2
1 𝑌 )−( )
𝑛𝑇
b. JK antar kelompok
2
∑ 𝑌11 2
∑ 𝑌21 2
∑ 𝑌12 2
∑ 𝑌22 ∑ YT
𝐽𝐾 (𝐴𝐾) = (∑ + + + )−( )
𝑛 𝑛 𝑛 𝑛 𝑛𝑇
c. JK dalam kelompok
d. JK antar kolom
2
∑ 𝑌𝐴1 2
∑ 𝑌𝐴2 ∑ YT
𝐽𝐾 (𝑎𝑘) = (∑ + )−( )
𝑛 𝑛 𝑛𝑇
53
e. JK antar baris
2
∑ 𝑌𝐵1 2
∑ 𝑌𝐵2 ∑ YT
𝐽𝐾 (𝑎𝑏) = (∑ + )−( )
𝑛 𝑛 𝑛𝑇
f. JK interaksi
a. Total
dk (T) = N - 1
b. Antar kelompok
dk (AK) = K - 1
c. Dalam kelompok
dk (DK) = N - K
d. Interaksi
dk (Interaksi) = (k x 1)(b x 1)
e. Antar kolom
dk (ak) = k - 1
f. Antar baris
dk (ab) = b - 1
a. Antar kelompok
𝐽𝐾 (𝐴𝐾)
𝑅𝐽𝐾 (𝐴𝐾) =
𝑑𝑘 (𝐴𝐾)
b. Dalam kelompok
𝐽𝐾 (𝐷𝐾)
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾) =
𝑑𝑘 (𝐷𝐾)
54
c. Antar kolom
𝐽𝐾 (𝑎𝑘)
𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑘) =
𝑑𝑘 (𝑎𝑘)
d. Antar baris
𝐽𝐾 (𝑎𝑏)
𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑏) =
𝑑𝑘 (𝑎𝑏)
e. Interaksi
𝐽𝐾 (𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)
𝑅𝐽𝐾 (𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) =
𝑑𝑘 (𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)
4. Menghitung F
a. Antar kelompok
𝑅𝐽𝐾 (𝐴𝐾)
𝐹 (𝐴𝐾) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)
b. Antar kolom
𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑘)
𝐹 (𝑎𝑘) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)
c. Antar baris
𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑏)
𝐹 (𝑎𝑏) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)
d. Interaksi
𝑅𝐽𝐾 (𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)
𝐹 (𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)
5. Menentukan F tabel
a. Antar kelompok
𝐹(0,05)(3)(36) = 2,86
55
b. Antar kolom
𝐹(0,05)(1)(36) = 4,11
c. Antar baris
𝐹(0,05)(1)(36) = 4,11
d. Interaksi
𝐹(0,05)(1)(36) = 4,11
1) H0 : Fhitung ≤ Ftabel
Keterangan:
2) H0 : Fhitung ≤ Ftabel
Keterangan:
3) H0 : µ1 ≤ µo
H1 : µ1 > µo
Keterangan:
µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A2B1
µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A2B1
4) H0 : µ1 ≤ µo
H1 : µ1 > µo
Keterangan:
µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B2 dan A2B2
µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B2 dan A2B2
57
BAB IV
A. Hasil Penelitian
Tabel IV. 1. Statistik Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA1
(Kelompok Problem Posing) MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 32
Skor maksimum 28
Skor minimum 16
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 12
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 22,00
Standar deviasi 2,63
Variansi 6,94
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model
Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat dibuat tabel distribusi
57
58
Tabel IV. 2. Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas
XI IPA1 (Kelompok Problem Posing) MAN 2 Model Makassar
Skor f
15 – 17 3
18 – 20 7
21 – 23 16
24 – 26 8
27 – 29 1
Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1
MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa skor rata-rata yaitu 22,00 berada
pada rentang skor 21–23. Jika skor tersebut diubah dalam bentuk nilai, maka rata-
rata nilai pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 62,5. Peserta didik
yang memperoleh skor pada rentang 21–23 yaitu 16 orang atau sebesar 45,7% dari
35 peserta didik.
Adapun hasil analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3
Tabel IV. 3. Statistik Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA3
(Kelompok Learning Cycle 5E) MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 32
Skor maksimum 24
Skor minimum 13
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 11
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 17,51
Standar deviasi 2,38
Variansi 5,67
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
59
Jika skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model
Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat dibuat tabel distribusi
Tabel IV. 4. Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas
XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E) MAN 2 Model Makassar
Skor f (%)
12 – 14 3
15 – 17 16
18 – 20 12
21 – 23 3
24 – 26 1
Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3
MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa skor rata-rata yaitu 17,51 berada
pada rentang skor 18–20. Jika skor tersebut diubah dalam bentuk nilai, maka rata-
rata nilai pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 54,72. Peserta didik
yang memperoleh skor pada rentang 18–20 yaitu 12 orang atau sebesar 34,3% dari
35 peserta didik.
didik kelas XI IPA1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan peserta didik kelas XI
IPA3, dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif dalam pokok bahasan tekanan
sebagai dasar materi fluida yang dimiliki peserta didik kelas XI IPA1 lebih baik
daripada kelas XI IPA3. Pengetahuan awal peserta didik sebelum memulai materi,
peserta didik, guru dapat menetapkan dari mana harus memulai pelajaran.
telah dimiliki, yang lebih rendah dari apa yang akan dipelajari. (Djamarah, 2004: 13).
60
seseorang yang memiliki pengetahuan awal lebih baik berarti memiliki pemahaman
dan ingatan yang baik terhadap topik dibanding dengan seseorang yang memiliki
peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar sebelum diberi perlakuan, dapat
Skor ideal 30
Skor maksimum 17
Skor minimum 6
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 11
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 12,11
Standar deviasi 2,63
Variansi 6,93
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
Skor f
5–7 3
8 – 10 7
11 – 13 15
14 – 16 9
17 – 19 1
Jumlah 35
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 12,11 berada pada rentang skor 11–13. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 40,36. Peserta didik yang memperoleh skor pada
rentang 11–13 yaitu 15 orang atau sebesar 42,9% dari 35 peserta didik.
peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar sebelum diberi perlakuan, dapat
IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
Skor f
6–7 6
8–9 6
10 – 11 13
12 – 13 7
14 – 15 3
Jumlah 35
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 10,26 berada pada rentang skor 10–11. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 sebesar 34,2. Peserta didik yang memperoleh skor pada
rentang 10–11 yaitu 13 orang atau sebesar 37,14% dari 35 peserta didik.
memecahkan masalah peserta didik kelas XI IPA1 lebih tinggi jika dibandingkan
dasarnya terbangun melalui kegiatan menemukan makna dan keaktifan siswa dalam
dapat dikatakan bahwa kektifan yang dimiliki oleh peserta didik kelas XI IPA1 lebih
Sulastri Muhammad Syah, dkk (2011) menyatakan bahwa strategi belajar aktif
dapat terlibat dalam penemuan secara mandiri maupun berkelompok, kesadaran diri
untuk menemukan sesuatu yang berbeda dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Hal
peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
Skor ideal 30
Skor maksimum 27
Skor minimum 14
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 13
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 21,03
Standar deviasi 3,53
Variansi 12,44
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
64
IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
Skor f
13 – 15 3
16 – 18 7
19 – 21 10
22 – 24 8
25 – 27 7
Jumlah 35
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 21,03 berada pada rentang skor 22–24. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
problem posing sebesar 70,1. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 22–
peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
Tabel IV. 11. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30
Skor maksimum 25
Skor minimum 11
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 14
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 18,09
Standar deviasi 3,15
Variansi 9,90
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
Skor f
11 – 13 3
14 – 16 7
17 – 19 15
20 – 22 8
23 – 25 2
Jumlah 35
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 18,09 berada pada rentang skor 17–19. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
66
learning cycle 5Esebesar 60,3. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 17–
memberikan tes kepada peserta didik secara keseluruhan yaitu 35 orang untuk setiap
kelas terdiri atas kelas XI IPA1 diajar dengan menggunakan model pembelajaran
problem posing dan kelas XI IPA3 diajar dengan menggunakan model pembelajaran
learning cycle. Namun, oleh karena penelitian ini memperhatikan variabel moderator
menjadi dua kelompok yang terdiri dari 27% (10 orang) peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal tinggi dan 27% (10 orang) peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal rendah. Data inilah yang akan digunakan untuk keperluan analisis
data pengujian hipotesis, dalam hal ini menggunakan uji ANAVA dua jalur. Oleh
karena itu, peneliti juga memberikan penjelasan mengenai data tersebut, yaitu
peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
berikut.
67
Tabel IV. 13. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30
Skor maksimum 27
Skor minimum 14
Jumlah sampel 20
Banyak kelas interval 5
Rentang data 13
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 22,10
Standar deviasi 3,49
Variansi 12,20
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
Skor f
13 – 15 1
16 – 18 2
19 – 21 4
22 – 24 6
25 – 27 7
Jumlah 20
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 22,10 berada pada rentang skor 22–24. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
68
problem posing sebesar 73,6. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 22–
peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
Tabel IV. 15. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30
Skor maksimum 25
Skor minimum 14
Jumlah sampel 20
Banyak kelas interval 5
Rentang data 11
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 19,05
Standar deviasi 3,15
Variansi 9,94
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
Skor f
13 – 15 4
16 – 18 5
19 – 21 7
22 – 24 2
25 – 27 2
Jumlah 20
69
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 19,05 berada pada rentang skor 19–21. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
learning cycle 5E sebesar 63,5. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang
memecahkan masalah peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model
pembelajaran problem posing lebih tinggi jika dibandingkan dengan peserta didik
kelas XI IPA3 yang diajar dengan learning cycle 5E. Pada dasarnya, problem posing
dalam mengajukan masalah dalam bentuk pertanyaan atau soal hitungan sedangkan
dengan suatu penjelasan yang kemudian akan di evaluasi. Namun, fakta di lapangan
Model Makassar.
70
pembelajaran agar peserta didik mampu memahami dan mendalami suatu konsep
pengetahuan baru yang diasosiasikan dengan konsep yang dimiliki peserta didik.
problem posing ini berorientasi pada aktivitas dan keterlibatan siswa secara aktif
merupakan salah satu cara untuk mencapai penguasaan suatu konsep menjadi lebih
belajar yang dimaksud salah satunya dapat berupa kemampuan peserta didik dalam
memecahkan masalah.
pengujian dasar analisis berupa uji normalitas dan uji homogenitas, agar diketahui
analisis yang akan digunakan untuk pengujian hipotesis. Untuk keperluan uji
yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3.
Untuk mengetahui perbedaan antara skor rata-rata pretes peserta didik kelas
eksperimen dan kelas kontrol signifikan atau tidak signifikan, maka skor pre-test
diuji dengan menggunakan uji perbedaan rata-rata. Setelah terlebih dahulu dilakukan
uji normalitas dan homogenitas data pada hasil pre-test kemampuan memecahkan
kelas XI IPA1, diperoleh nilai χ2hitung = 5,89 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena
χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data pre-test kemampuan
memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
yang diajar dengan model pembelajaran problem posing berasal dari populasi yang
kelas XI IPA3, diperoleh nilai χ2hitung = 2,90 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena
72
χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data pre-test kemampuan
memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E berasal dari populasi yang
dicocokkan dengan pengujian menggunakan program SPSS, dengan data yang sama
yaitu sebanyak 35 orang dari kelas XI IPA1 dan 35 orang dari kelas XI IPA3.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre-Test KMM kelas PP .175 35 .008 .961 35 .252
a. Lilliefors Significance Correction
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang
menunjukkan nilai 0,252 yang tentu lebih besar dari 0,05, maka dikatakan data
berdistribusi normal.
normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
73
plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki
yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre-Test KMM kelas LC .160 35 .024 .952 35 .133
a. Lilliefors Significance Correction
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang
menunjukkan nilai 0,133 yang tentu lebih besar dari 0,05, maka dikatakan data
berdistribusi normal.
normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
74
data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki
yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot
di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal. Seluruh data ini disajikan
dalam lampiran.
Data pos tes inilah yang akan dianalisis dengan menggunakan ANAVA dua
jalur. Data pos tes ini diperoleh dari data kemampuan memecahkan masalah fisika
rendah. Namun, sebelum dilakukan ANAVA, maka terlebih dahulu dilakukan uji
prasyarat, sebab ANAVA bisa dilakukan jika data terdistribusi normal dan homogen.
kelas XI IPA1, diperoleh nilai χ2hitung = 4,42 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena
χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan memecahkan
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar yang diajar
dengan model pembelajaran problem posing berasal dari populasi yang berdistribusi
normal pada taraf signifikansi α = 5%. Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran.
75
kelas XI IPA3, diperoleh nilai χ2hitung = 4,30 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena
χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan memecahkan
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar
dicocokkan dengan pengujian menggunakan program SPSS, dengan data yang sama
yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Kelas_PP .147 20 .200* .955 20 .457
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
76
normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang
menunjukkan nilai 0,457 yang tentu lebih besar dari 0,05, dan nilai Signifikansi pada
kolom Kolmogorov-Smirnova menunjukkan nilainya 0,200 atau lebih dari 0,05, maka
normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki
yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Kelas_LC .120 20 .200* .951 20 .384
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
77
normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang
menunjukkan nilai 0,384 yang tentu lebih besar dari 0,05, dan nilai signifikansi pada
kolom Kolmogorov-Smirnova menunjukkan nilainya 0,200 atau lebih dari 0,05, maka
normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki
yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot
lebih jelasnya, hasil analisis data normalitas dapat dilihat pada lampiran.
karena sampel yang diujikan memiliki jumlah yang sama, yaitu 35 sampel.
IPA1 dan XI IPA3, diperoleh nilai Fmax = 1,11 dan Fmax (tabel) = Fmax (0,95)(2) = 2,017.
78
Karena Fmax < Fmax (tabel), maka dapat disimpulkan bahwa data pre-tes kemampuan
memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model
pembelajaran problem posing dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar
dengan pengujian menggunakan program SPSS tepatnya uji Levene statistic, dengan
data yang sama yaitu sebanyak 35 orang dari kelas XI IPA1 dan 35 orang dari kelas
statistik Based on Mean diperoleh signifikansi 0,785, jauh lebih melebihi 0,05.
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok data mempunyai varian
yang sama atau homogen. Angka Levene Statistic menunjukkan semakin kecil
nilainya maka semakin besar homogenitasnya. Untuk lebih jelasnya, hasil analisis
karena sampel yang diujikan memiliki jumlah yang sama, yaitu 20 sampel.
IPA1 dan XI IPA3, diperoleh nilai Fmax = 0,82 dan Fmax (tabel) = Fmax (0,95)(2) = 2,017.
Karena Fmax < Fmax (tabel), maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model pembelajaran
problem posing dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan model
dengan pengujian menggunakan program SPSS tepatnya uji Levene statistic, dengan
data yang sama yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas
statistik Based on Mean diperoleh signifikansi 0,570, jauh lebih melebihi 0,05.
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok data mempunyai varian
yang sama atau homogen. Angka Levene Statistic menunjukkan semakin kecil
nilainya maka semakin besar homogenitasnya. Untuk lebih jelasnya, hasil analisis
(ANAVA) dua jalur, sebab data kemampuan memecahkan masalah fisika peserta
didik telah diuji prasyarat dan data yang diperoleh menunjukkan bahwa data yang
telah dikumpulkan berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal serta
dan learning cycle, diperoleh data untuk masing-masing kelompok, sebagai berikut:
Tabel IV. 23. Skor Total Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik untuk tiap Kelompok
(ANAVA) dua jalur, maka terlebih dahulu dibuat tabel kerja anava berikut ini:
81
Tabel IV. 24. Tabel Kerja ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan
Masalah Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
n = 10 n = 10
A1B2 A2B2
Y12 = 18, 15, 22, 14, 22, Y22 = 20, 22, 22, 21, 17,
21, 16, 25, 18, 19 18, 21, 14, 19, 20 ∑YB2 = 384
Pengetahuan Awal
Rendah (B2)
∑Y12 = 190 ∑Y22 = 194 nB2 = 20
n = 10 n = 10
∑YA1 = 381 ∑YA2 = 442 ∑YT = 823
A
nA1 = 20 nA2 = 20 nT = 40
Untuk perhitungan selengkapnya, dapat dilihat pada lampiran
Tabel IV. 25. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan
Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
FT
Sumber Varian JK Dk RJK Fh
α= 0,05
Antar kelompok 238,875 3 79,625 10,427 2,86
Dalam kelompok 274, 9 36 7,6361 - -
Antarkolom 93,025 1 93,025 12,182 4,11
Antarbaris 75,625 1 75,625 9,904 4,11
Interaksi 70,225 1 70,225 9,196 4,11
Total 513, 775 39
Untuk perhitungan selengkapnya, dapat dilihat pada lampiran
1) Antar kelompok
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 10,427 > 2,86, maka dapat disimpulkan bahwa secara
2) Antar kolom
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 12,182 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran problem posing lebih tinggi daripada kelompok peserta didik
cycle.
3) Antar baris
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 9,904 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
kelompok peserta didik yang mempunyai pengetahuan awal tinggi lebih tinggi
4) Interaksi
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 9,196 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan data tersebut diperoleh jawaban dari rumusan hipotesis yang telah
diajukan sebelumnya bahwa (1) FA > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan
problem posing. (2) FAXB > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya terdapat interaksi
maksud untuk mengecek kembali data yang diperoleh. Pengujian hipotesis dengan
kolom, antar baris, dan interaksi antar sel. Nilai F akan dibandingkan pula dengan F
yang dibandingkan, yaitu kelompok peserta didik yang diajar dengan model learning
cycle 5E dan yang diajar dengan model pembelajaran problem posing, serta
kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah dan pengetahuan
awal tinggi.
sebagai berikut:
84
Di atas menunjukkan nilai (Signifikansi) Sig. 0,249 di mana lebih besar dari
0,05 sehingga bisa dikatakan varian antar kelompok berbeda secara signifikan.
Tabel IV. 27. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan
Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
dengan Program SPSS
Selain nilai F yang diperoleh melalui anava dua jalur yang merupakan dasar
dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian jika dibantingkan dengan Ftabel,
maka dari tabel di atas juga diperoleh nilai-nilai penting yang bisa disimpulkan
sebagai berikut:
85
lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan ada pengaruh semua variabel
kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik. Hal ini dikenal pula
dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan nilai perubahan variabel dependen tanpa
memecahkan masalah fisika peserta didik dapat berubah nilainya. Data yang
0,001 atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh model
lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh pengetahuan awal
atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh model
signifikan.
6. Error, yang menggambarkan nilai error model. Apabila semakin kecil, maka
bebas dan terikat. Hasil analisis data di atas adalah 0,465 yang tidak terlalu
Hasil lain yang diperoleh dari anava dua jalur adalah grafik yang
Diagram Plot di atas berguna untuk menilai apakah ada interaksi efek antar
variabel. Namun diagram ini tidak bisa dijadikan bahan acuan yang valid. Tetapi
kesejajaran, maka dicurigai ada efek interaksi. Diagram di atas menunjukkan ada
ketidak sejajaran garis, maka dicurigai ada efek interaksi. Interaksi yang terjadi
adalah baik model pembelajaran, pengetahuan awal, maupun kedua variabel tersebut
Model Makassar.
memecahkan masalah pada peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran
problem posing lebih tinggi dengan rentang skor yang cukup besar dibanding dengan
88
peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E dengan
per satu, dengan tujuan untuk mengetahui lebih jauh kelompok-kelompok mana saja
yang berbeda signifikan dan kelompok mana yang tidak berbeda signifikan. Uji ini
dikenal dengan uji lanjut. Uji lanjut yang dilakukan adalah uji Tukey, sebab seluruh
antara beda mean dengan beda kritik. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil
Menentukan Nilai SR
Sehingga,
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾) 7,636
𝐵𝑒𝑑𝑎 𝐾𝑟𝑖𝑡𝑖𝑘 = 𝑆𝑅√ = 3,81√ = 3,33
𝑛̃ 10
Tabel IV. 29. Tabel Ringkasan Beda Mean dan Beda Kritik Kemampuan
Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
Berdasarkan data tersebut diperoleh jawaban dari rumusan hipotesis yang telah
memecahkan masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang
yang memiliki pengetahuan awal tinggi. Dalam hal ini Beda Mean > Beda Kritik
maka dapat disimpulkan bahwa pada kelompok peserta didik yang memiliki
learning cycle 5E lebih tinggi daripada kelompok peserta didik yang diajar dengan
antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
pengetahuan awal rendah, dalam hal ini Beda Mean < Beda Kritik maka dapat
disimpulkan pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah,
90
rata-rata kemampuan memecahkan masalah fisika pada kelompok peserta didik yang
B. Pembahasan
problem posing dalam pembelajaran fisika peserta didik kelas XI IPA1 dan learning
cycle 5E dalam pembelajaran fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model
sesungguhnya dengan desain faktorial dengan level berbeda, sehingga peneliti perlu
mengadakan pre-test untuk melihat kesamaan varians (homogenitas) kelas yang akan
diajar. Apabila dianggap kedua kelas memiliki kemampuan yang sama sebelum
diberikan perlakuan atau seimbang, maka dapat diberi perlakuan kepada peserta
didik pada dua kelas tersebut berupa model pembelajaran yang berbeda dengan
yang dilakukan berupa model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing.
Pada penelitian ini, model pembelajaran problem posing diterapkan di kelas XI IPA1
dan model pembelajaran learning cycle 5E diterapkan di kelas XI IPA3 dalam upaya
Pada tes akhir diberikan tes berupa instrumen tes uraian sebanyak 6 butir soal terdiri
atas 5 pertanyaan untuk tiap butir soal. Dalam proses pembelajaran, seluruh peserta
penerapan model pembelajaran, dan pos-test. Namun, dalam keperluan analisis data,
memiliki pengetahuan awal tinggi dan rendah pada masing-masing kelas yaitu
sebanyak 27% dari jumlah seluruh peserta didik di kelas tersebut yaitu sebanyak 10
32 item soal, yang sebelumnya telah divalidasi terlebih dahulu dari 45 butir soal.
Diketahui bahwa jika jumlah peserta didik sebanyak 38 orang, daftar tabel r
menunjukkan r-tabel sebesar 0,32. Sehingga soal dikatakan valid apabila 𝛾𝑝𝑏𝑖 lebih
besar dari 0,32. Adapun untuk tes kemampuan memecahkan masalah, diberikan
sebelumnya divalidasi dari 8 butir soal yang disediakan. Setelah instrumen tes
tersebut diberikan kepada peserta didik, baik tes pengetahuan awal maupun
informasi bahwa skor rata-rata pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 lebih
tinggi daripada skor rata-rata pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3. Dari
hasil tes kemampuan memecahkan masalah, diperoleh informasi bahwa skor rata-rata
peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model pembelajaran problem posing
lebih tinggi daripada skor rata-rata peserta didik kelas XI IPA3 yang diajar dengan
diajukan dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan sebab telah menolak
Pertama, berdasarkan hasil anava dua jalur, terlihat bahwa Ho ditolak dan Ha
masalah pada kelompok peserta didik kelas XI MAN 2 Model Makassar yang diajar
kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E
adalah 38,1 dan skor rata-rata kelompok peserta didik yang diajar dengan model
memecahkan masalah peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran problem
posing lebih tinggi daripada peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran
learning cycle 5E. Hal tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran problem
didik daripada model pembelajaran learning cycle 5E. Pada dasarnya problem posing
merupakan model pembelajaran yang melatih peserta didik dalam pengajuan soal
untuk dicari tahu kebenarannya, sehingga peserta didik dilatih untuk memperkuat
lain memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-
konsep dasar, yang diharapkan mampu melatih peserta didik dalam meningkatkan
93
tersebut, terlihat bahwa benar adanya jika kelas XI IPA1 layak memiliki skor
kemampuan memecahkan masalah yang baik, selain juga ada faktor pengetahuan
awal yang mereka miliki lebih baik. Melalui pembelajaran problem posing, peserta
didik mampu menjawab berbagai permasalahan fisika yang diberikan baik berupa
konsep dasar maupun perhitungan fisika, sekaligus mengajukan soal atau pertanyaan
yang tidak mampu dipecahkan oleh peserta didik, yang akan dibagi kepada peserta
didik yang lain, sehingga timbul keinginan untuk mencari tahu lebih banyak lagi
informasi mengenai hal tersebut. Peneliti pun melihat bahwa peserta didik kelas XI
IPA1 lebih menyukai cara belajar dengan cara mereka berkompetisi untuk mencari
informasi tersebut secara mandiri melalui bahan ajar yang mereka miliki, dibanding
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Parlan, dkk (2005) yang menyatakan
bahwa hasil belajar terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi verbal
antar siswa yang didukung ketergantungan positif antar anggota kelompok. Tujuan
lain penerapan problem posing adalah menjadikan siswa kritis dalam menyelesaikan
menentukan keputusan sebijak mungkin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
siswa, selain itu juga didukung oleh hasil penelitian Umi (2008) yang menunjukkan
dengan model pembelajaran problem posing mampu meningkatkan social skill siswa.
Dari uraian di atas, tampak bahwa keterlibatan peserta didik untuk turut
salah satu indikator keefektifan belajar. Peserta didik tidak hanya menerima saja
materi dari guru, melainkan peserta didik juga berusaha menggali dan
dengan jelas bila peserta didik mampu mengajukan soal-soal secara mandiri maupun
Peserta didik harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara mendetil.
Hal tersebut akan dicapai jika peserta didik memperkaya khazanah pengetahuannya
tak hanya dari guru melainkan perlu belajar secara mandiri. Kemampuan peserta
didik untuk mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi melalui kemampuannya untuk
model pembelajaran problem posing dapat melatih peserta didik belajar kreatif,
Silver, et all. (1996) dalam penelitiannya memperoleh hasil yang sama bahwa
peserta didik memiliki motivasi yang jauh lebih besar untuk memecahkan masalah
jika peserta didik mampu mengajukan masalah tersebut sendiri dibandingkan dengan
95
mempermudah hal yang akan dilakukan. Selain itu, ditemukan keterkaitan yang
memecahkan masalah peserta didik lebih tinggi jika diajar dengan model
masalah fisika peserta didik, karena pada dasarnya kedua model pembelajaran ini
diperoleh. Hasil temuan ini diperkuat dengan teori yang diungkapkan oleh Wena
dimulai dari tahap pembangkitan minat hingga tahap evaluasi, diharapkan peserta
didik tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk
peserta didik, tetapi guru mengajukan pertanyaan penuntun tentang apa yang akan
dilakukan peserta didik, apa alasan peserta didik merencanakan atau memutuskan
96
Senada dengan hal tersebut di atas, Tuna (2013) menyatakan bahwa model
berbasis penemuan di dalam kelas. Peserta didik harus berpikir kreatif dan kompleks
harus berpikir secara integratif dalam rangka untuk menyatukan pikiran mereka.
Situasi ini hanya dapat terjadi ketika peserta didik memiliki keterampilan berpikir
Berdasarkan uji anava dua jalur juga terlihat bahwa peserta didik yang
memiliki pengetahuan awal tinggi lebih unggul dalam memecahkan masalah peserta
didik daripada peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah. Pada dasarnya
Pengetahuan awal peserta didik dapat diketahui dengan pemberian tes kepada peserta
didik mengenai materi yang akan dibahas. Tentunya, saat merancang tes tersebut,
prasyarat apa yang diperlukan untuk pembelajaran yang akan dilakukan. Perlunya
pengetahuan awal dalam pembelajaran sebab peserta didik sering kali mengalami
adalah pengetahuan baru yang diterima tidak terjadi hubungan dengan pengetahuan
yang sebelumnya.
yang dibawa oleh peserta didik ke dalam proses pembelajaran. Gagasan peserta didik
merupakan pengetahuan pribadi yang dibangun melalui proses informal dalam proses
informasi atau pengisian bejana kosong, tetapi lebih sebagai suatu proses
pengkonstruksian aktif pada basis konsepsi-konsepsi yang telah ada yaitu berupa
pengetahuan awal. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh peserta didik sering
mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil belajar yang lebih baik.
dalam arti bahwa gagasan-gagasan tersebut cukup sulit untuk diubah dalam proses
pembelajaran.
peserta didik. Proses belajar bermakna akan terjadi jika peserta didik mampu
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat pada
98
struktur kognitif peserta didik. Pengetahuan awal antara masing- masing peserta
didik mempunyai perbedaan, hal ini disebabkan setiap peserta didik mempunyai
tingkat kecerdasan yang berbeda. Pengetahuan awal atau entry behavior bisa
menunjukan keterbukaan pada cara pandang. Setiap peserta didik pasti memiliki
prakonsep/ konsep awal tentang segala sesuatu yang akan dipelajari. Peserta didik
pengetahuan awal (skemata). Setiap skemata berperan sebagai suatu filter dan
pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses
asimilasi. Bila pengalaman baru itu masih berkesesuaian dengan skema yang
dipunyai seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi.
Bila pengalaman baru sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema
yang alam tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman, skema yang lama diubah
bahwa bagaimanapun, jika pengetahuan awal tidak baik, tidak lengkap, dan tidak
99
jelas itu dapat menghalangi diterimanya informasi baru dalam belajar. Selain itu,
semester awal yang tidak memuaskan. Sebab pengetahuan awal dapat menjadi
fasilitas belajar sehingga dapat dijadikan dasar diperolehnya pengetahuan baru, serta
memperlihatkan peningkatan nilai semester saat ujian. Dengan kata lain, jika guru
Makassar.
fisika peserta didik kelas XI IPA MAN 2 Model Makassar setelah diajar
peningkatan sebelum dan setelah diberikan perlakuan yang diperlihatkan oleh . Hal
kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah fisika menjadi lebih baik,
terkhusus dalam pokok bahasan fluida. Dari hasil pengamatan peneliti, hal ini dapat
kontruktivisme, di mana pembelajaran ini menekankan pada peran aktif peserta didik
peristiwa yang dialami. Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara
Satu prinsip yang paling penting dalam psikolog pendidikan adalah bahwa
guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan peserta didik
untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar peserta
didik menjadi sadar dan secara menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberi peserta didik anak tangga yang membawa peserta didik ke
pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta didik sendiri yang harus
didik mau dan mampu untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri
pembelajaran, baik bagi peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi dan
rendah. Hal ini dapat berarti kedua model pembelajaran yang diterapkan kepada
memecahkan masalah peserta didik, jika dilihat dari pengetahuan awal yang mereka
pengetahuan awal peserta didik diperkuat dengan beberapa pendapat bahwa Tuna
untuk berpikir kreatif dan kompleks untuk mengatasi masalah dan kesulitan dan
sebagai hasilnya, mereka harus berpikir secara integratif dalam rangka untuk
menyatukan pikiran mereka. Situasi ini hanya dapat terjadi ketika peserta didik
problem posing bahwa model pembelajaran ini memiliki karakteristik yaitu memiliki
ditemukan secara mandiri; peserta didik mengajukan soal dengan nalar yang masuk
akal; pengajuan soal dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah memecahkan
masalah; serta soal yang diajukan tidak dapat dipecahkan maka dapat dijawab secara
yang akan dibangun, maka terlihat jelas bahwa terdapat interaksi berupa pengaruh
perbedaan yang telah dikemukakan pada rumusan masalah pertama, yang diketahui
masalah, skor rata-rata kelompok peserta didik yang diajar dengan model
pembelajaran problem posing lebih tinggi dibanding kelompok peserta didik yang
yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E, meskipun keduanya
pengetahuan yang dimiliki secara mandiri melalui pengajuan soal dan diorientasikan
pada melatih peserta didik dalam mencari tahu informasi dalam memecahkan suatu
cycle 5E pada dasarnya juga melatih peserta didik dalam memecahkan masalah
namun dengan cara yang berbeda yaitu melalui eksplorasi konsep dan eksperimen.
Perbedaan ini terlihat signifikan sebab perbedaan skor rata-rata kedua kelompok
masalah, skor rata-rata kelompok peserta didik yang diajar dengan model
pembelajaran problem posing lebih tinggi dibanding kelompok peserta didik yang
yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E, meskipun keduanya
memiliki pengetahual awal yang sama (rendah). Hasil ini menunjukkan keefektifan
awal rendah. Meskipun perbedaan ini terlihat tidak signifikan sebab perbedaan skor
memberikan jawaban secara lengkap dan benar untuk butir-butir soal yang diberikan.
Hasil ini tercermin dari cara responden dalam menyelesaikan soal-soal tes. Hal ini
dan tidak mampu memberikan jawaban yang sistematik untuk tes kemampuan
memecahkan masalah.
Pada umumnya responden tidak mampu memberikan jawaban yang benar dan
lengkap. Hal ini dapat diartikan bahwa secara umum responden lemah dalam
indikator dalam tes memecahkan masalah fisika menunjukkan bahwa responden: (1)
lemah dalam memahami permasalahan, (2) lemah dalam mengorganisasi data dan
memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah, (3) lemah dalam
menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk, (4) lemah dalam
memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah yang tepat, (5) lemah dalam
menafsirkan model fisika dari suatu masalah dan (7) lemah dalam menyelesaikan
pemecahan masalah dapat diartikan bahwa responden lemah dalam berpikir kritis
dan kreatif (Krulik dan Rudnick, 1995). Kemampuan memecahkan masalah fisika
menyajikan pembelajaran.
104
masalah itu sendiri. Suatu situasi tertentu dapat merupakan masalah bagi orang
tertentu, tetapi belum tentu merupakan masalah bagi orang lain. Dengan kata lain,
suatu situasi mungkin merupakan masalah seseorang pada saat yang berbeda. Untuk
diperlukan pemahaman ketiga istilah berikut, yakni problem, adalah suatu gap antara
dua pengertian seseorang yang tidak tahu cara mengatasinya. Salah satu masalah
dalam pengajaran di kelas dapat diartikan dengan soal, yang dalam penyelesaiannya
tidak dapat dilakukan dengan ”recall” saja, tetapi harus melalui analisa dan
penalaran. Solving a problem, adalah menemukan suatu jalan untuk menutup gap
yang ada. Dengan kata lain menemukan jalan untuk mengatasi masalah yang
dihadapi. Sedangkan Problem Solving, adalah suatu proses dimana peserta didik
tujuan yang harus dicapai, untuk menemukan dan memahami materi atau konsep
fisika. Sedangkan tujuan, diharapkan agar peserta didik dapat mengidentifikasi unsur
menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar fisika,
model fisika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan fisika
105
pemecahan masalah sebagai tujuan inti dan utama dalam kurikulum fisika, berarti
suatu masalah dari pada sekedar hasil, sehingga kemampuan pemecahan masalah
dijadikan sebagai kemampuan mendasar yang harus dimiliki peserta didik dalam
belajar fisika. Walaupun tidak mudah untuk mencapainya, akan tetapi karena
Pinter (2012) bahwa keterampilan memecahkan masalah pada peserta didik perlu
dikembangkan dan dimasukkan dalam seluruh mata pelajaran secara terintegrasi, jika
tidak cukup alokasi waktu dapat disediakan secara eksplisit. Sebaiknya keterampilan
memecahkan masalah telah diajarkan pada peserta didik tingkat dasar. Aspek penting
yang perlu diketahui adalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan
belajar penemuan, di mana butuh peran penting seorang guru. Kurikulum yang baik
diterapkan dalam unit pelajaran tertentu, sehingga dapat melatih kemampuan peserta
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
IPA MAN 2 Model Makassar yang diperlihatkan beberapa faktor, sebagai berikut:
pada kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar
106
107
B. Saran
Melalui penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
peserta didik, dalam hal ini memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki
akhir yang ingin dicapai, jika kemampuan memecahkan masalah yang ingin
4. Pemilihan dan pengujian instrumen perlu dicermati lebih dalam lagi agar
penelitian dengan objek dan tujuan yang ingin dicapai bisa menghasilkan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sidin dan Khaeruddin. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit
UNM
Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Carson, Jamin. 2007. A Problem with Problem Solving: Teaching Thinking without
Teaching Knowledge. Jurnal. East Carolina University
Djaali. 1984. Pengaruh Kebiasaan Belajar, Sikap, Kemampuan Dasar dan Proses
Belajar Mengajar terhadap Prestasi Belajar Fisika pada SMA di Kotamadya
Ujung Pandang. Disertasi. Pascasarjana Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan: Jakarta
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya:
Usaha Nasional
Haling, Abdul. 2007. Belajar dan Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit UNM
Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1995. For Better Problem Solving and Reasoning.
Arithmetic Teacher. Boston: (334-338)
Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1987. Problem Solving: A Handbook for Teachers.
Boston: Allyn and Bacon
Pribadi, Benny. A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat
Silver Edward A, Mamona Downs Joanna, Leung Shukkwan S, and Kenney patricia
Ann. 1996. Posing Mathematical Problems in a Complex Task Environment:
An Exploratory Study. Journal for Research in Mathematics Education, 27 (3):
293-309
Sulastry Muhammad Syah, Yulia Fitri, Bainuddin Yani, Adlim, Tri Qurnati,
Nursalmi, Tasnim Idris, and Sabarni. 2011. Action Research on The
Implementation of Teaching for Active Learning at in Two Elementary
Madrasah in Aceh. Journal Exellence in Higher Education Volume 2 Number
2. Indonesia: pp 79 – 89
Surjadi. 2012. Membuat Peserta didik Aktif Belajar (73 Cara Belajar Mengajar
dalam Kelompok). Bandung: Penerbit Mandar Maju
Thompson Ross A and Zamboanga Byron L. 2004. Academic Aptitude and Prior
Knowledge as Predictors of Student Achievement in Introduction to
Psychology. Journal of Educational Psychology Volume 96 Number 4: 778-
784.
Tuna Abdulkadir and Kacar Ahmet. 2013. The Effect of 5E Learning Cycle Model in
Teaching Trigonometry on Students Academic Achievement and the
permanence of their knowledge. International Journal on New Trends in
Education and Their Implications. Volume 4 Issue 1 Article 07. Turkey
Umi, F. 2008. Peningkatan Social Skill dan Prestasi Belajar Fisika dengan
Pembelajaran Model Problem Posing pada Pokok Bahasan Kalor di Kelas VIII-
E SMPN 20 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.