Anda di halaman 1dari 110

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan sektor penting dalam upaya peningkatan sumber daya

manusia suatu bangsa. Pendidikan seharusnya mendorong manusia untuk terlibat

dalam proses ke arah yang lebih baik, mengembangkan sikap percaya diri, rasa ingin

tahu, serta pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki, sehingga pendidikan

dapat berfungsi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi maupun

masyarakat. Salah satu wadah yang dibangun dalam usaha mewujudkan hal tersebut

adalah sekolah. Dalam wadah ini, banyak hal yang dapat ditempuh untuk

meningkatkan kualitas pendidikan, seperti peningkatan bekal awal peserta didik,

peningkatan kompetensi guru, peningkatan isi kurikulum, pembaharuan kualitas

pembelajaran dan hasil belajar, penyediaan sarana dan prasarana belajar, dan

sebagainya.

Melalui berbagai cara tersebut, peningkatan kualitas pembelajaran melalui

peningkatan kualitas tenaga pendidik menduduki posisi yang sangat strategis dan

akan berdampak positif. Sehingga, peningkatan kualitas tenaga pendidik sangat

diperlukan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan

perkembangan pembangunan yang membutuhkan tenaga-tenaga terampil dan kreatif

dalam disiplin keilmuannya. Dengan kualitas yang baik, maka guru sebagai pendidik

akan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka

1
2

pencapaian tujuan pendidikan demi pembangunan di masa mendatang (Taniredja

dkk., 2011: 1).

Salah satu pelajaran yang dianggap penting untuk mencapai tujuan pendidikan

adalah pelajaran fisika. Pembelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran

yang memiliki banyak faedah bagi suatu bangsa. Kesejahteraan materil suatu bangsa

sangat banyak bergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang fisika, sebab

pembelajaran fisika merupakan salah satu dasar dari teknologi. Sedangkan teknologi

sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran fisika

dapat dijadikan sebagai pengokoh pembangunan bangsa. Fisika merupakan bagian

dari sains yang hakikatnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala

alam secara fisis melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang

dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah.

Sehingga, diharapkan proses pembelajaran fisika lebih menekankan pada

kemampuan peserta didik dalam menemukan fakta-fakta, membangun konsep-

konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah peserta didik yang akhirnya dapat membantu

peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam proses

pembelajaran ataupun dalam konteks sehari-hari.

Melihat kondisi pendidikan saat ini khususnya di sekolah, pembelajaran fisika

belum berjalan seperti yang diharapkan, guru belum mengoptimalkan kemampuan

peserta didik dalam pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru cenderung

hanya melakukan ceramah dan terus melanjutkan pembelajaran tanpa menyadari

sampai di mana kemampuan yang dimiliki peserta didik pada saat guru mengajar,
3

sehingga peserta didik merasa bosan dan mengakibatkan aktivitas belajar peserta

didik menjadi kurang optimal, sebab peserta didik menjadi cenderung pasif dan tidak

memahami materi yang disampaikan oleh gurunya apabila dari awal peserta didik

tidak memahami arah pengetahuan yang diberikan. Hal tersebut tentu akan

berdampak pada minimnya perolehan hasil belajar peserta didik karena pembelajaran

yang disampaikan oleh guru tidak bermakna.

Jika diamati lebih mendalam tentang sifat bidang studi fisika, tampak bahwa

peserta didik seharusnya tidak sekedar memperhatikan benda berdasarkan bentuk

fisik saja, melainkan peserta didik dituntut untuk berpikir abstrak agar mampu

memahami dan menjelaskan sesuatu di balik fenomena yang diamatinya. Untuk

berpikir abstrak, peserta didik harus memiliki kemampuan berpikir imajinatif yang

baik. Oleh karena itu, pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dipelajarinya

harus ditingkatkan secara berkesinambungan agar peserta didik mampu memahami

konsep yang diberikan sehingga peserta didik dapat memecahkan setiap

permasalahan yang dihadapinya dalam pembelajaran.

Seringkali seorang peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami suatu

pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya adalah tidak terjadi hubungan

antara pengetahuan baru yang diterima oleh peserta didik dengan pengetahuan awal

yang dimiliki peserta didik sebelumnya. Oleh karena itu, pengetahuan awal menjadi

syarat utama dan menjadi sangat penting bagi peserta didik untuk dimiliki (Trianto,

2011: 33). Dengan pengetahuan awal yang baik, maka akan meminimalisir

miskonsepsi yang terjadi dalam pembelajaran, pembelajaran pun akan menjadi lebih
4

bermakna, sehingga peserta didik mampu memahami pelajaran yang diberikan oleh

guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik saat pembelajaran.

Selain itu, sebagian besar pola pembelajaran masih bersifat transmisif,

pengajaran mentransfer dan mengajarkan konsep-konsep secara langsung pada

peserta didik. Dalam pandangan ini, peserta didik secara pasif menyerap struktur

pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran.

Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip dan keterampilan

kepada peserta didik (Trianto, 2010: 18). Pandangan konstruktivisme memberikan

perbedaan yang kontras terhadap pendapat tersebut. Menurut pandangan

konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru

kepada peserta didik. Pengetahuan harus secara aktif dikonstruksi (dibangun) oleh

peserta didik sendiri melalui pengalaman nyata. Pada kenyataannya, proses

pembelajaran adalah proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari

peserta didik, sehingga peran guru sekarang berubah dari sumber dan pemberi

informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar peserta didik. Dengan

demikian proses belajar mengajar lebih berpusat pada peserta didik (student

centered) bukan lagi berpusat pada guru (teacher centered), sehingga dapat memacu

peserta didik untuk lebih aktif dalam pembelajaran.

Model pembelajaran learning cycle 5E adalah model pembelajaran yang terdiri

fase-fase atau tahap-tahap kegiatan yang diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga

peserta didik dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam

pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Model pembelajaran learning cycle

merupakan salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan paradigma


5

konstruktivisme. Pendekatan teori kontruktivistik pada dasarnya menekankan

pentingnya peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan

proses belajar mengajar. Model learning cycle 5E ini mempunyai salah satu tujuan

yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengkostruksi

pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri dengan terlibat secara aktif

mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berfikir baik secara

individu maupun kelompok, sehingga peserta didik dapat menguasai kompetensi-

kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran.

Adapun model pembelajaran problem posing adalah model pembelajaran yang

mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar

(berlatih soal) secara mandiri (Suyitno, 2004). Problem posing adalah perumusan

soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih

sederhana dan dapat dikuasai. Dengan mengajukan soal (problem posing), peserta

didik diberi kesempatan untuk menyelidiki informasi atau keterangan yang ada.

Peserta didik dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran baik secara mental,

fisik maupun sosial, dan peserta didik juga didorong untuk mencoba dan menyelidiki

rumusan soal/masalah, kemudian membicarakannya dan mencoba untuk

menyelesaikan suatu masalah (soal) tersebut.

Di balik alasan-alasan tersebut, ditemukan berbagai permasalahan pendidikan

yang harus segera ditangani di Madrasah Aliyah Negeri 2 Model Makassar dalam

pembelajaran fisika. Permasalahan dalam proses pembelajaran tersebut diantaranya

adalah masih minimya jumlah peserta didik yang nilainya tuntas dalam pembelajaran

fisika, dengan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 75. Hal ini terjadi
6

karena masih diterapkannya pola pembelajaran masih bersifat transmisif dalam

pembelajaran fisika. Dalam proses pembelajaran, guru langsung memberikan

penjelasan dan catatan kepada peserta didik tanpa mengindahkan pengetahuan awal

yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga peserta didik mengalami kesulitan pada

saat harus mengkonstruksi pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini

menyebabkan timbulnya rasa sulit dalam benak peserta didik, sehingga sulit untuk

memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Fasilitas pembelajaran fisika juga

belum termanfaatkan dengan baik karena guru belum memanfaatkan alat praktikum

secara maksimal, serta tidak adanya inovasi dalam model pembelajaran yang

digunakan oleh guru. Permasalahan lain yang teramati adalah akibat pembelajaran

yang monoton tersebut, peserta didik menjadi mengantuk dan merasa bosan dengan

pembelajaran fisika karena peserta didik merasa hanya diposisikan sebagai

pendengar. Akibat yang ditimbulkan adalah pada saat peserta didik diberikan sebuah

permasalahan fisika, peserta didik tidak mampu untuk menyelesaikannya.

Permasalahan-permasalahan di atas perlu segera dibenahi guna meningkatkan

aktivitas belajar peserta didik, yang akan mengakibatkan terbentuknya pengetahuan

dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan kemampuan memecahkan

masalah. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan model pembelajaran yang lebih

efektif agar dapat membantu peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan yang

dimilikinya sebagai pengetahuan awal dengan pengetahuan baru yang akan diberikan

oleh guru, sehingga memudahkan peserta didik dalam pemecahan masalah, salah

satunya dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan model

pembelajaran problem posing, sebagai sebuah inovasi pembelajaran berbasis


7

konstruktivistik yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan peserta didik

dalam pengkonstruksian pengetahuan serta kemampuan memecahkan masalah.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian

dengan judul “Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing

ditinjau dari pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan masalah peserta

didik kelas XI MAN 2 Model Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan

masalah dalam penelitian ini, antara lain:

1. Secara keseluruhan, apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan

masalah pada kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar

dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan

menggunakan model pembelajaran problem posing?

2. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan

problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi

kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar?

3. Pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi,

apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara

kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing?


8

4. Pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah,

apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara

kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian

ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada

kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing.

2. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E

dan problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi

kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.

3. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara

kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang

memiliki pengetahuan awal tinggi.

4. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara

kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan


9

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang

memiliki pengetahuan awal rendah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi peserta didik: Dapat menumbuhkan pemahaman, keterampilan, dan

kegemaran belajar peserta didik terkhusus pada materi pelajaran fisika serta

melatih peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan awal yang

dimilikinya untuk dikaitkan dengan pengetahuan yang baru diperoleh,

dalam rangka peningkatan kemampuan memecahkan masalah dalam

pembelajaran fisika.

2. Bagi guru: Guru tidak lagi mendominasi pembelajaran dan dapat

menjadikan peserta didik sebagai subjek didik sehingga memberi

kesempatan kepada peserta didik untuk berperan aktif dalam

mengeksplorasi serta mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dalam

memecahkan masalah. Guru juga lebih memperhatikan keterampilan yang

dimilikinya dalam memberikan pengetahuan awal kepada peserta didik

dalam bentuk apersepsi sebelum pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, guru

juga dapat meningkatkan pengetahuan mengenai model pembelajaran yang

dapat digunakan untuk memaparkan materi pelajaran di dalam kelas dalam

rangka peningkatan profesionalismenya sebagai seorang guru.


10

3. Bagi sekolah: Dapat menambah masukan kepada pihak penentu kebijakan

sekolah di MAN 2 Model Makassar untuk meningkatkan kemampuan

memecahkan masalah peserta didik, baik dalam pembelajaran maupun

dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka peningkatan kualitas sekolah

sekaligus mutu pendidikan.

4. Bagi peneliti: Dapat menambah pengetahuan, pengalaman langsung serta

wawasan keilmuan peneliti dalam penerapan model pembelajaran

konstruktivistik, dalam hal ini model pembelajaran learning cycle 5E dan

problem posing, dan diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk

penelitian di masa akan datang.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Belajar dan Pembelajaran

Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang vital.

Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar, bahwa kegiatan mengajar

hanya bermakna apabila terjadi kegiatan belajar peserta didik. Oleh karena itu,

penting bagi setiap guru memahami proses belajar dan pembelajaran peserta didik.

Banyak orang yang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah

mencari ilmu atau menuntut ilmu. Selain itu, ada pula yang menyatakan bahwa

belajar adalah menyerap pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang harus

mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa belajar

merupakan suatu proses dasar dari perkembangan hidup manusia yang melahirkan

perubahan-perubahan kualitatif individu, sehingga tingkah lakunya berkembang

karena belajar bukan sekedar pengalaman atau hasil, namun belajar adalah suatu

proses (Soemanto, 1998:103). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hamalik (2012: 27-

28) menyatakan bahwa belajar adalah modifikasi kelakuan melalui pengalaman,

yang berarti belajar merupakan suatu proses suatu kegiatan dan bukan merupakan

hasil atau tujuan, bukan hanya mengingat tetapi lebih luas dari itu. Selanjutnya

dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui

proses interaksi dengan lingkungan.

Adapun Pribadi (2009: 6) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan

11
12

pengetahuan yang diperlukan. Belajar juga dapat dipandang sebagai sebuah proses

elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan oleh individu untuk

meningkatkan kemampuan dan kompetensi personal. Selain itu, Trianto (2011: 16)

menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan pada individu yang terjadi melalui

pengalaman bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuh atau karakteristik

sejak lahir, yang terjadi melalui banyak cara, baik disengaja maupun tidak disengaja

dan berlangsung sepanjang waktu menuju perubahan pada pebelajar.

Perubahan yang terjadi ketika belajar berlangsung mempunyai sebuah aspek

arahan, kadang menimbulkan suatu perubahan dalam arah cita-cita kehidupan,

kadangpula memperkuat arah cita-cita warga belajar. Apabila perubahan itu merubah

cara berpikir, maka perubahan tersebut melibatkan perubahan dalam tujuan dan arah

kehidupan. Apabila pengalaman belajar terus membimbing ke arah yang sama

dengan arah yang ditempuh selama ini, maka pengalaman belajar itu memberi

pengalaman baru dam dapat membantu melihat cara yang ditempuh selama ini lebih

jelas lagi. Proses ini dapat membantu untuk maju lebih cepat dan lebih jelas ke arah

tujuan yang diinginkan. Belajar berlangsung apabila perubahan-perubahan berikut ini

yang terjadi:

1. Penambahan informasi

2. Pengembangan atau peningkatan pengertian

3. Penerimaan sikap-sikap baru

4. Perolehan penghargaan baru

5. Pengerjaan sesuatu dengan menggunakan apa yang telah dipelajari

6. Mengganti informasi lama


13

Keenam jenis perubahan ini dapat dimasukkan ke dalam tiga kategori yaitu

pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif), dan perbuatan (Psikomotor) (Surjadi,

2012: 3)

Apabila beberapa pengertian mengenai belajar di atas dianalisis, maka terdapat

unsur-unsur yang sama, yaitu: 1) belajar merupakan suatu kegiatan yang disadari dan

memiliki tujuan, 2) proses belajar mengakibatkan perubahan tingkah laku yang

disebabkan oleh pengalaman-pengalaman atau latihan-latihan, dan bukan disebabkan

oleh pertumbuhan dan kematangan, dan 3) perubahan tingkah laku dalam belajar

sifatnya menetap (Haling, 2007: 2). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar

melalui pengalaman seseorang yang mengakibatkan perubahan tingkah laku pada diri

pebelajar yang bersifat menetap.

Pembelajaran merupakan produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan

dan pengalaman hidup. Pmbelajaran adalah usaha sadardari seorang guru untuk

membelajarkan peserta didiknya (mengarahkan interaksi peserta didik dengan

sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.

Pembelajaran juga diartikan sebagai interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta

didik, yang di antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah

menuju suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya (Trianto, 2011: 17)

Haling (2007: 14) menyatakan bahwa pembelajaran adalah usaha pebelajar

yang bertujuan untuk menolong pebelajar belajar. Pembelajaran merupakan

seperangkat peristiwa yang mempengaruhi terjadinya proses belajar pebelajar.

Peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi terjadinya belajar pebelajar, tidak


14

selamanya berada di luar diri pebelajar, tetapi juga berada di dalam diri pebelajar.

Peristiwa di luar diri pebelajar adalah segala sesuatu yang dipersiapkan pebelajar

sebagai kondisi untuk kepentingan pembelajaran. Berdasarkan beberapa pengertian

di atas, pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang

dilaksanakan secara terencana dan sistematis melalui tahapan perencanaan,

pelaksanaan, penilaian, serta pembelajaran tindak lanjut, agar mendorong peristiwa

belajar pada pebelajar.

B. Teori Belajar Konstruktivisme

Pribadi (2009: 156) mengemukakan definisi pendekatan konstruktivistik

sebagai “pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik dalam

membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang

dialami.” Definisi lain tentang pendekatan konstruktivistik merupakan “pendekatan

konstruktivistik merujuk kapada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya

dengan cara melibatkan diri, baik dalam kegiatan secara personal maupun sosial

dalam membangun ilmu pengetahuan.”

Asal kata konstruktivisme yaitu “to construct” yang berarti “membentuk”.

Kontruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa

pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri.

Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam

proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme

berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui

keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar.


15

Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru

dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu

dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah membangun atau

mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara melakukan penafsiran atau

interprestasi baru terhadap lingkungan sosial, budaya, fisik, dan intelektual tempat

mereka hidup. Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan

pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang

guru atau instruktur adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan

sebagai “scenario of problems”, yang mencerminkan adanya pengalaman belajar

yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang

sesungguhnya.

Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar

kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran

adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap isi atau

materi pelajaran. Konstruktivisme memiliki keterkaitan yang erat dengan metode

pembelajaran penemuan (discovery learning) dan konsep belajar bermakna

(meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada dalam konteks teori

belajar kognitif (Jauhar, 2011: 157 - 158).

1. Teori Belajar Konstruktivisme

Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompok dalam teori

pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis

ini menyatakan bahwa peserta didik harus menemukan sendiri dan


16

mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-

aturan alam, dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi peserta

didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus

bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha

dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembangan dari kerja Piaget,

Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain,

seperti teori Bruner.

Menurut teori kontruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikolog

pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada

peserta didik. Peserta didik harus membangun sendiri pengetahuan di dalam

benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi

kesempatan peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka

sendiri, dan mengajar peserta didik menjadi sadar dan secara menggunakan strategi

mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi peserta didik anak tangga yang

membawa peserta didik ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta

didik sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Trianto, 2009: 28).

2. Aspek-Aspek Pembelajaran Konstruktivisme

Jauhar (2011: 37) mengemukakan aspek-aspek konstruktivistik antara lain

adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of environment) dan

pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut,

Jauhar (2011: 37) memaknai adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua

proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif di mana
17

seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam

skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai

suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau

rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus.

Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan schemata, melainkan perkembangan

skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan

mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.

Akomodasi adalah rangsangan atau pengalaman baru seseorang yang tidak

dapat mengasimilasikann pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dimiliki.

Pengalaman yang baru bisa saja tidak cocok dengan skema yang telah ada, sehingga

terjadi akomodasi. Akomodasi terbentuk untuk membentuk skema baru yang cocok

dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada, sehingga

cocok dengan rangsangan itu (Jauhar, 2011: 37 - 38).

C. Model pembelajaran Learning cycle 5E

Model pembelajaran bersiklus pertama kali diajukan oleh Robert Karplus pada

awal tahun 1960-an pada program sains dasar yaitu Science Currikulum

Improvement Study. Dalam pembelajaran bersiklus menurut Karplus, bahwa

pembelajaran terdiri dari discovery, concept intention, dan concept application (Bass,

Contant, dan Carin, 2009: 90). Pembelajaran bersiklus merupakan rangkaian tahap-

tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat

menguasai kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan

berperan aktif.
18

Wena (2012: 170) menyatakan bahwa pembelajaran siklus merupakan salah

satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Siklus belajar merupakan

salah satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis yang pada mulanya

terdiri atas tiga tahap, yaitu:

1. Eksplorasi (exploration),

2. Pengenalan konsep (concept introduction), dan

3. Penerapan konsep (concept application).

Pada proses selanjutnya, tiga tahap siklus tersebut mengalami pengembangan.

Wena (2012: 171) mengemukakan tiga siklus tersebut saat ini dikembangkan

menjadi lima tahap yang terdiri atas tahap (a) pembangkitan minat (engagement), (b)

eksplorasi (exploration), (c) penjelasan (explanation), (d) elaborasi

(elaboration/extention), dan (e) evaluasi (evaluation).

1. Tahap Pembelajaran

a. Pembangkitan Minat

Tahap pembangkitan minat merupakan tahap awal dari siklus belajar. Pada

tahap ini, guru berusaha membangkitkan dan mengembangkan minat dan

keingintahuan (curiosity) peserta didik tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses faktual dalam

kehidupan sehari-hari (yang berhubungan dengan topik bahasan). Dengan demikian,

peserta didik akan memberikan respons/jawaban, kemudian jawaban peserta didik

tersebut dapat dijadikan pijakan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal

peserta didik tentang pokok bahasan. Kemudian guru perlu melakukan identifikasi

ada/tidaknya kesalahan konsep pada peserta didik. Dalam hal ini guru harus
19

membangun keterkaitan/perikatan antara pengalaman keseharian peserta didik

dengan topik pembelajaran yang akan dibahas.

b. Eksplorasi (Exploration)

Eksplorasi merupakan tahap kedua model siklus belajar. Pada tahap eksplorasi

dibentuk kelompok-kelompok kecil antara 2-4 peserta didik, kemudian diberi

kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil tanpa pembelajaran langsung

dari guru. Dalam kelompok ini peserta didik didorong untuk menguji hipotesis dan

atau membuat hipotesis baru, mencoba alternatif pemecahannya dengan teman

sekelompok, melakukan dan mecatat pengamatan serta ide-ide atau pendapat yang

berkembang dalam diskusi. Pada tahap ini guru berperan sebagi faisilitator dan

motivator. Pada dasarnya tujuan tahap ini adalah mengecek pengetahuna yang

dimiliki peserta didik apakah sudah benar, masih salah, atau mungkin sebagian salah

dan sebagian benar.

c. Penjelasan

Penjelasan merupakan tahap ketiga siklus belajar. Pada tahap penjelasan, guru

dituntut mendorong peserta didik untuk menjelaskan suatu konsep dengan

kalimat/pemikiran sendiri, meminta bukti dan klarifikasi atas penjelasan peserta

didik, dan saling mendengar secara kritis penjelasan antarpeserta didik atau guru.

Dengan adanya diskusi tersebut, guru memberi definisi dan penjelasan tentang

konsep yang dibahas, dengan memakai penjelasan peserta didik terdahulu sebagai

dasar diskusi.
20

d. Elaborasi

Elaborasi merupakan tahap keempat siklus belajar. Pada tahap elaborasi peserta

didik menerapkan konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru

atau konteks yang berbeda. Dengan demikian, peserta didik akan dapat belajar secara

bermakna, karena telah dapat menerapkan/mengaplikasikan konsep yang baru

dipelajarinya dalam situasi baru. Jika tahap ini dapat dirancang dengan baik oleh

guru maka motivasi belajar peserta didik akan meningkat. Meningkatnya motivasi

belajar peserta didik tentu dapat mendorong peningkatan hasil belajar peserta didik

dalam hal ini kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.

e. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir siklus belajar. Pada tahap evaluasi, guru dapat

mengamati pengetahuan atau pemahaman peserta didik dalam menerapkan konsep

baru. Peserta didik dapat melakukan evaluasi diri dengan mengajukan pertanyaan

terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan

yang diperoleh sebelumnya. Hasil evaluasi ini dapat dijadikan guru sebagai bahan

evaluasi tentang proses penerapan metode siklus belajar yang sedang diterapkan,

apakah sudah berjalan dengan sangat baik, cukup baik, atau masih kurang. Demikian

pula melalui evaluasi diri, peserta didik akan dapat mengetahui kekurangan atau

kemajuan dalam proses pembelajaran yang sudah dilakukan.

Berdasarkan tahapan dalam strategi pembelejaran bersiklus seperti yang telah

dipaparkan, diharapkan peserta didik tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi

dapat berperan aktif untuk menggali, menganalisis, mengevaluasi pemehamannya

terhdap konsep yang dipelajari. Perbedaan mendasar antara model pembelajaran


21

siklus belajar dengan pembelajaran konvensional adalah guru lebih banyak bertanya

daripada member tahu. Misalnya, pada waktu akan melakukan eksperimen terhadap

suatu permasalahan, guru tidak memberi petunjuk langkah-langkah yang harus

dilakukan peserta didik, tetapi guru mengajukan pertanyaan penuntun tentang apa

yang akan dilakukan peserta didik, apa alasan peserta didik merencanakan atau

memutuskan perlakukan yang demikian. Dengan demikian, kemampuan analisis,

evaluatif, dan argumentatif peserta didik dapat berkembang dan meningkat secara

signifikan.

2. Penerapan di Kelas

Secara operasional kegiatan guru dan peserta didik selama proses pembelajaran

dapat dijabarkan sebagai berikut.

Tabel II.1. Fase-Fase Pembelajaran Learning Cycle 5E

Tahap Siklus
No. Kegiatan Guru Kegiatan Peserta didik
Belajar
1. Tahap Membangkitkan minat dan Mengembangkan
Pembangkitan keingintahuan (curiosity) minat/rasa ingin tahu
Minat peserta didik. terhadap topik bahasan.
Mengajukan pertanyaan Memberikan respon
tentang proses faktual dalam terhadap pertanyaan guru.
kehidupan sehari-hari (yang
berhubungan dengan topik
bahasan).
Mengkaitkan topik yang Berusaha mengingat
dibahas dengan pengalaman pengalaman sehari-hari
peserta didik. Mendorong dan menghubungkan
peserta didik untuk mengingat dengan topik pembelajran
pengalaman sehari-harinya dan yang akan dibahas.
menunjukkan keterkaitannya
dengan topik pembelajaran
yang sedang dibahas.
2. Tahap Membentuk kelompok, Membentuk kelompok dan
Eksplorasi member kesempatan untuk berusaha bekerja dalam
bekerja sama dalam kelompok kelompok.
kecil secara mandiri.
22

Guru berperan sebagai Membuat prediksi baru.


fasilitator
Mendorong peserta didik untuk Mecoba alternatif
menjelaskan konsep dengan pemecahan dengan teman
kalimat mereka sendiri. sekelompok, mencatat
pengamatan, serta
mengembangkan ide-ide
baru.

Meminta bukti dan klarifikasi Menunjukkan bukti dan


penjelasan peserta didik, member klarifikasi
mendengar secara kritis terhadap ide-ide baru.
penjelasan antarpeserta didik.
Memberi definisi dan Mencermati dan berusaha
penjelasan dengan memaki memahami penjelasan
penjelasan peserta didik guru.
terdahulu sebagai dasar
diskusi.
3. Tahap Mendorong peserta didik untuk Mencoba memberi
Penjelasan menjelaskan konsep dengan penjelasan terhadap
kalimat mereka sendiri. konsep yang ditemukan.
Meminta bukti dan klarifikasi Menggunakan pengamatan
penjelasan peserta didik. dan catatan dalam member
penjelasan.
Mendengar secara kritis Melakukan pembuktian
penjelasan antarpeserta didik terhadap konsep yang
atau guru. diajukan.
Memandu diskusi. Mendiskusikan.
4. Tahap Mengingatkan peserta didik Menerapkan konsep dan
Elaborasi pada penjelasan alternatif dan keterampilan dalam situasi
mempertimbangkan data/bukti baru dan menggunakan
saat mereka mengeksplorasi label definisi formal.
situasi baru.
Mendorong dan memfasilitasi Bertanya, mengusulkan
peserta didik mengaplikasi pemecahan, membuat
konsep/keterampilan dalam keputusan, melakukan
setting yang baru/lain. percobaan, dan
pengamatan.
5. Tahap Mengamati pengetahuan atau Mengevaluasi belajarnya
Evaluasi pemahaman peserta didik sendiri dengan
dalam hal penerapan konsep mengajukan pertanyaan
baru. terbuka dan mencari
jawaban yang
menggunakan observasi,
bukti, dan penjelasan yang
diperoleh sebelumnya.
23

Mendorong peserta didik Mengambil kesimpulan


melakukan evaluasi diri. lanjut atas situasi belajar
yang dilakukannya.
Mendorong peserta didik Melihat dan menganalisis
memahami kekurangan/kelebihannya
kekurangan/kelebihannya dalam kegiatan
dalam kegiatan pembelajaran. pembelajaran.
(Wena, 2012: 173-175)

D. Model Pembelajaran Problem Posing

Model pembelajaran problem posing mulai dikembangkan pada tahun 1997

oleh Lynn D. English dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran fisika

(Suyitno, 2004). Model pembelajaran problem posing mulai masuk ke Indonesia

pada tahun 2000, kemudian dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Problem

posing diartikan sebagai pengajuan masalah atau perumusan masalah yang berkaitan

dengan syarat-syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih

relevan. Selain itu, “Problem posing essentially means creating a problem with

solutions unknown to the target problem solver the problem create for” (Leung,

2001).

Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah model

pembelajaran yang mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri

melalui belajar (berlatih soal) secara mandiri (Suyitno, 2004). Problem posing adalah

perumusan soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan

perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Dalam pembelajaran fisika,

sebenarnya pengajuan masalah (problem posing) menempati posisi yang strategis.

Dalam hal ini peserta didik harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal

secara mendetail.
24

Hal tersebut akan tercapai jika peserta didik memperkaya pengetahuannya

tidak hanya dari guru melainkan perlu belajar mandiri. Suyitno (2004) menjelaskan

bahwa problem posing diaplikasikan dalam tiga bentuk aktifitas kognitif sebagai

berikut ini.

1. Presolution possing

Peserta didik membuat pertanyaan berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh

guru.

2. Within solution possing

Peserta didik memecah pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan

yang relevan dengan pertanyaan guru.

3. Post solution posing

Peserta didik membuat soal yang sejenis, seperti yang dibuat oleh guru.

Problem posing merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat

digunakan untuk mengembangkan kecakapan berpikir peserta didik karena dalam

pembelajaran ini, peserta didik dikondisikan untuk menggali informasi sebanyak-

banyaknya dari berbagai literatur, merumuskan soal atau pertanyaan dan situasi yang

ada, menentukan jawaban atau pemecahan dari permasalahan yang mereka buat serta

mencari alternatif pemecahannya.

Langkah kegiatan pembelajaran problem posing menurut (Dasianto, 2008)

adalah sebagai berikut:

1. Membuka kegiatan pembelajaran;

2. Menyampaikan tujuan pembelajaran;

3. Menyampaikan materi pelajaran;


25

4. Memberi contoh menyelesaikan soal memberi kesempatan untuk bertanya;

5. Memberi kesempatan peserta didik untuk membuat soal dari kondisi yang

diberikan, mempertukarkan dan mendiskusikannya, kemudian

mempersilakan peserta didik untuk mempresentasikan soal yang telah

dibentuk;

6. Memberikan kondisi lain dan memberikan kesempatan kepada peserta

didik untuk membuat soal sebanyak-banyaknya;

7. Mempersilahkan peserta didik bertukar soal dengan peserta didik lain dan

mendiskusikannya;

8. Mengarahkan peserta didik untuk menarik kesimpulan;

9. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan peserta didik;

10. Menutup pelajaran.

E. Pengetahuan Awal

Salah satu hal yang perlu dipahami oleh seorang guru berkaitan dengan proses

belajar peserta didiknya adalah kompetensi kognitif, kapasitas peserta didik untuk

berpikir abstrak, dan strategi mnemonik mereka. Dalam bab ini akan dibahas

keterkaitan antara psikologi kognitif dan bagaimana manusia membangun

pengetahuan awal dalam dirinya. Pengetahuan adalah hasil belajar. Pada saat

seseorang belajar tentang fisika, sejarah bangsa, sosial atau aturan-aturan bermain

bulu tangkis, seseorang mengetahui sesuatu yang baru. Pengetahuan bukanlah hasil

akhir, melainkan lebih dari itu, pengetahuan adalah pembimbing atau pengarah bagi

belajar sesuatu yang baru. Pendekatan kognitif menyatakan bahwa salah satu elemen
26

penting dalam proses belajar adalah apa saja yang dibawa oleh individu dalam situasi

belajar.

Baharuddin dan Wahyuni (2010: 96) menyatakan sebuah penelitian tentang

pentingnya pengetahuan dalam memahami dan mengingat suatu onformasi yang baru

telah dilakukan oleh Recht dan Leslie. Keduanya meneliti peserta didik-peserta didik

sekolah menengah pertama yang sangat bagus membacanya dan sangat kurang

membacanya. Mereka menguji pengetahuan peserta didik tentang olahraga baseball

dan menemukan bahwa pengetahuan baseball tidak ada kaitannya dengan

kemampuan membaca. Oleh karena itu, kedua peneliti tersebut membagi peserta

didik dalam empat kelompok, yaitu 1) kelompok yang mampu membaca dengan

bagus sekaligus memiliki pengetahuan tentang baseball, 2) kelompok yang mampu

membaca dengan baik tapi kurang pengetahuannya tentang baseball, 3) kelompok

yang kurang mampu membaca dengan baik tapi memiliki pengetahuan tentang

baseball yang luas, dan 4) peserta didik yang memiliki kemampuan membaca yang

kurang dan pengetahuan tentang baseball juga kurang.

Hasilnya, kekuatan dari pengetahuan peserta didik yang memiliki kemampuan

membaca kurang dan telah memiliki pengetahuan baseball yang luas ternyata lebih

baik daya ingatnya tentang baseball daripada peserta didik yang memiliki

kemampuan membaca baik tetapi pengetahuan tentang baseball kurang. Berdasarkan

penelitian itu pula, dapat diketahui bahwa peserta didik yang memiliki kemampuan

membaca kurang dan telah memiliki pengetahuan baseball yang luas sama baiknya

dengan peserta didik yang mampu membaca dengan baik serta memiliki pengetahuan

baseball yang baik pula. Sedangkan peserta didik yang kurang mampu membaca
27

dengan baik dan kurang memiliki pengetahuan baseball, mereka kurang dapat

mengingat apa yang mereka baca. Dari penelitian ini, kedua peneliti tersebut

menyimpulkan bahwa dasar pengetahuan yang baik lebih penting daripada strategi

belajar yang baik dalam memahami dan mengingat.

Pengetahuan yang dimiliki oleh individu dapat dibedakan menjadi pengetahuan

umum dan pengetahuan khusus. Pengetahuan umum (general knowledge) adalah

informasi yang sangat berguna untuk memecahkan atau digunakan melaksanakan

berbagai macam tugas yang berbeda. Pengetahuan umum ini dapat ditetapkan pada

berbagai macam situasi. Misalnya, mengetahui bagaimana membaca, mengeja, atau

memproses sebuah kata atau kalimat itu sangat berguna, baik dalam situasi belajar di

sekolah maupun di luar sekolah. Sementara pengetahuan khusus (domain specific

knowledge) adalah informasi yang dapat digunakanhanya dalam situasi tertentu atau

yang hanya dapat diterapkan dalam satu topik khusus. Contohnya, pada saat peserta

didik belajar membaca, maka terlebih dahulu ia belajar mengeja huruf. Mengeja

huruf merupakan pengetahuan khusus, tetapi pengetahuan ini akan bertambah bila

digabungkan dengan pengetahuan khusus lain sampai akhirnya seorang peserta didik

dapat membaca dengan baik dan akhirnya menjadi pengetahuan umum.

Selain dibedakan sebagai pengetahuan umum dan khusus, pengetahuan juga

dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan

prosedural, dan 3) pengetahuan kondisional. Pengetahuan deklaratif adalah

“mengetahui tentang” (knowing that) suatu kasus atau masalah. Biasanya

pengetahuan ini berupa fakta-fakta, opini-opini, kepercayaan, aturan-aturan, puisi,


28

lirik lagu, teori-teori dan lain sebagainya. Gagne menyebut pengetahuan deklaratif

sebagai informasi verbal (verbal information).

Pengetahuan prosedural (prosedural knowledge) adalah “mengetahui

bagaimana” (knowing how) untuk melakukan sesuatu atau memecahkan sebuah

kasus. Seorang peserta didik yang dapat menyebutkan aturan cara membagi pecahan

menunjukkan ia memiliki pengetahuan deklaratif, tetapi ketika ia dapat membagi

pecahan dengan benar menunjukkan pengetahuan prosedural. Pengetahuan

prosedural harus ditunjukkan dengan tingkah laku atau tindakan. Pengetahuan

prosedural disebutkan dengan keterampilan intelektual (skill intellectual).

Pengetahuan kondisional (conditional knowledge) adalah “mengetahui kapan

dan mengapa” (knowing when and why) untuk menggunakan pengetahuan deklaratif

dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan ini disebut juga dengan strategi kognitif

(cognitive strategies). Misalkan seorang peserta didik diberi soal fisika yang

bermacam-macam. Pada saat peserta didik menyebutkan rumus dan

menggunakannya untuk memecahkan soal fisika dan mengaplikasikan rumus yang

lain untuk memecahkan persoalan yang berbeda, amak hal itu menunjukkan ia

menggunakan pengetahuan kondisonal. (Baharuddin dan Wahyuni, 2010: 96-98)

Seiring seorang pelajar (peserta didik, mahapeserta didik) mengalami kesulitan

dalam memahami suatu pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya karena

pengetahuan yang sebelumnya, atau mungkin pengetahuan awal sebelumnya belum

dimiliki. Dalam hal ini maka pengetahuan awal menjadi syarat utama dan menjadi

sangat penting bagi pelajar untuk dimilikinya. Trianto (2011: 34) menyatakan bahwa

pengetahuan awal (prior knowledge) adalah sekumpulan pengetahuan dan


29

pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka, dan apa

yang ia bawa kepada suatu pengalaman belajar baru. Nur (2000: 12) menggambarkan

keberartian pengetahuan awal dalam suatu studi menarik yang secara khusus

menghubungkan kemampuan peserta didik memproduksi teks naratif.

F. Kemampuan Memecahkan Masalah

Salah satu penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar disebut

kemampuan. Salah satunya adalah kemampuan memecahkan masalah sebagai

keterampilan intelektual. Karena keterampilan ini merupakan penampilan yang

ditunjukkkan oleh peserta didik tentang operasi-operasi intelektual yang

dilakukannya. Apabila seseorang memiliki kemampuan memecahkan masalah, maka

seseorang tersebut tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, tetapi juga

diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari.

Pemecahan masalah hanya salah satu dari tipe kategori besar dalam

keterampilan berpikir yang digunakan oleh guru-guru untuk mengajarkan kepada

peserta didik bagaimana untuk berpikir (Ellis: 2005). Masalah merupakan sebuah

situasi baik secara kuantitatif atau sebaliknya yang dihadapi oleh seorang individu

atau kelompok dari beberapa individu yang membutuhkan penyelesaian dan pada

beberapa individu hal tersebut dapat terlihat tidak jelas atau nyata atau kecil peluang

untuk menemukan penyelesaiannya (Carson, 2007: 3)

Pemecahan masalah menurut Krulik dan Rudnick (1987) diartikan sebagai

sesuatu yang digunakan oleh seorang individu untuk memperoleh pengetahuan,

keterampilan, dan memahami untuk memenuhi permintaan atau sebuah situasi yang
30

tidak lazim. Peserta didik harus mensintesis apa yang dipelajinya dan

menerapkannya dalam situasi yang baru atau berbeda.

Dalam pembelajaran berbasis masalah, terdapat delapan tahapan mencari

masalah yaitu:

1. Mengidentifikasi masalah

2. Mengumpulkan data

3. Menganalisis data

4. Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya

5. Memilih cara untuk memecahkan masalah

6. Merencanakan penerapan pemecahan masalah

7. Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan dan

8. Melakukan tindakan untuk memecahkan masalah

Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat

berpikir sedangkan 4 tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan

untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pemilihan masalah yang tepat,

dalam memberikan pengalaman belajar yang baik, menjadi masalah bagi guru dan

peserta didik artinya pemilihan masalah yang kurang luas dan kurang relevan,

dengan konteks materi pembelajaran atau suatu masalah yang tidak sesuai dengan

tingkat berpikir peserta didik dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan

pembelajaran.

Beberapa tipe pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam memecahkan

masalah dalam proses pembelajaran, diperlihatkan pada tabel berikut:


31

Tabel II.2. Tipe-Tipe Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran

Stephen Krulik dan


John Dewey (1933) George (Polya (1988)
Jesse Rudnick (1980)
Konfirmasi masalah Memahami masalah Membaca
Mendiagnosis atau Memikirkan sebuah Menyelediki/memeriksa
mengartikan masalah perencanaan
Menginventaris beberapa Membawa keluar dari Memilih strategi
penyelesaian masalah perencanaan penyelesaian
Memperkirakan Mengulang kembali Memecahkan
konsekuensi dari
penyelesaian masalah
Mengetes konsekuensi Mengulang dan
menyampaikan
penyelesaian masalah
(Carson, 2007: 8)

Dalam hal ini, penulis memilih menggunakan tipe pemecahan masalah Krulik

and Rudnick. Penjelasan mengenai tahap penyelesaian masalah menurut Krulik and

Rudnick (1987: 29 - 31) dapat diuraikan berikut ini:

Tahap pertama, membaca, yaitu ketika peserta didik mampu mengenali

masalah. Peserta didik melakukan hal ini dengan mencatat kata kunci, menanyakan

kepada diri sendiri apa yang akan dijawab dalam sebuah masalah atau mengulang

masalah ke dalam bahasa yang dipahami dengan mudah.

Tahap kedua, menyelidiki, yaitu ketika seseorang mencari pola atau berusaha

atau menetapkan konsep atau prinsip permainan dalam permasalahan. Hal ini berarti

tahap ini lebih tinggi dati tahap pertama yang diidentifikasi peserta didik adalah

menghadirkan masalah tersebut dalam jalan yang mudah dimengerti.

Tahap ketiga, memilih strategi, yaitu ketika seseorang menggambarkan sebuah

kesimpulan atau membuat hipotesis tentang bagaimana memecahkan masalah yang

didasarkan pada apa yang peserta didik temukan dalam tahap pertama dan kedua.
32

Tahap keempat, yaitu memecahkan masalah, di mana salah satu dari metode

yang dimiliki dipilih oleh peserta didik untuk diaplikasikan pada masalah untuk

diselesaikan.

Tahap kelima, mengulang dan menyampaikan penyelesaian masalah, yaitu

ketika peserta didik memverifikasi jawabannya dan mencari variasi dalam metode

menyelesaikan masalah. Setelah itu, barulah mempublikasikan penyelesaian masalah

yang diperoleh.

Apabila kemampuan memecahkan masalah tersebut di tuangkan dalam

taksonomi pendidikan Bloom, maka kemampuan memecahkan masalah termasuk ke

dalam kategori berikut:

1. Mengaplikasikan

Proses kognitif mengaplikasikan melibatkan penggunaan prosedur-prosedur

tertentu untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah.

Mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Kategori

mengaplikasikan terdiri dari dua proses kognitif yaitu mengeksekusi, apabila

tugasnya hanya soal latihan (familier) di telinga peserta didik dan

mengimplementasikan ketika tugasnya merupakan masalah (tidak familier).

2. Menganalisis

Menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi menjadi bagian-

bagian kecil dan menentukan hubungan antarbagian dan antara setiap bagian dan

struktur keseluruhannya. Kategori ini terdiri atas membedakan yaitu menentukan

potongan-potongan informasi yang relevan atau penting, mengorganisasikan yaitu


33

menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi tersebut, dan

mengatribusikan yaitu menentukan tujuan di balik informasi tersebut.

3. Mengevaluasi

Mengevaluasi didefinisikan sebagai membuat keputusan berdasarkan criteria

dan standar. Criteria tersebut diantaranya adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan

konsistensi. Kategori mengevaluasi terdiri atas proses kognitif memeriksa yaitu

keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kriteria internal dan mengkritik yaitu

keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan criteria eksternal (Anderson dan

Krathwohl, 2010: 116-127)

G. Kerangka Pikir Penelitian

Pada dasarnya, dalam proses pembelajaran seringkali seorang peserta didik

mengalami kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu. Salah satu

penyebabnya adalah tidak terjadi hubungan antara pengetahuan baru yang diterima

oleh peserta didik dengan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik sebelum

pembelajaran berlangsung. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kemampuan peserta

didik dalam membangun pengetahuan yang dimilikinya sebagai upaya memecahkan

permasalahan yang dihadapi peserta didik, dalam hal ini menjawab pertanyaan yang

diberikan oleh guru maupun pemecahan masalah yang ditemuinya dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pendekatan pembelajaran yang

mampu membantu peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan yang

dimilikinya secara aktif tanpa harus selalu diberikan bantuan secara langsung oleh

guru. Peserta didik dapat membangun pengetahuan yang dimilikinya melalui


34

peristiwa ataupun pengalaman yang pernah dialami, sehingga pengetahuan tersebut

berbekas di dalam pikiran peserta didik kemudian dengan mudah dikonstruksi

kembali oleh pikiran peserta didik. konsep tersebut sejalan dengan paham

konstruktivisme yang menganggap bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer atau

dipindahkan secara langsung dan utuh dari pikiran seorang guru kepada peserta

didik, namun peserta didiklah yang dapat mengkonstruksi pengetahuan tersebut

dengan melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu,

diterapkan dua model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme dalam

upaya membangun pengetahuan peserta didik agar memiliki kemampuan

memecahkan masalah dalam pembelajaran fisika, diantaranyanya adalah model

pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing. Pada dasarnya kedua model

pembelajaran ini dalam penerapannya menggunakan pendekatan konstruktivisme,

namun pelaksanaannya berbeda. Jika dalam pembelajaran yang menggunakan model

pembelajaran learning cycle 5E, peserta didik dituntut untuk mampu mengeksplorasi

diri melalui ekperimen atau menjelaskan sebuah konsep, dalam pembelajaran yang

menggunakan model pembelajaran problem posing peserta didik dituntut agar dapat

mengkonstruksi pengetahuan melalui pengerjaan soal-soal. Namun, diharapkan

kedua model pembelajaran tersebut membantu peserta didik dalam mengkonstruksi

pengetahuan yang dimiliki dengan memperhatikan pengetahuan awal peserta didik

terhadap kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran fisika. Untuk lebih

jelasnya, kerangka pikir penelitian dapat dilihat dari bagan berikut ini.
35

Pendekatan
Konstruktivisme

Model pembelajaran Model pembelajaran


learning cycle 5E Problem posing

Pengetahuan awal
peserta didik

Kemampuan memecahkan masalah


peserta didik dalam pembelajaran
fisika

Gambar II.1. Kerangka Pikir Penelitian

H. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah disertai penelusuran literatur yang telah

dilakukan oleh penulis sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok

peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model

pembelajaran problem posing.

2. Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan

problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi

kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.


36

3. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara kelompok

peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model

pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang memiliki

pengetahuan awal tinggi.

4. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara kelompok

peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model

pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang memiliki

pengetahuan awal rendah.


37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester 2 (genap) tahun pelajaran 2012/2013,

namun persiapan penelitian berupa pengajuan judul dan penyusunan proposal

dilakukan sejak bulan Oktober 2012, penyusunan dan uji instrumen terlaksana dari

bulan Desember 2012 sampai Maret 2013 dan penelitian terlaksana sampai bulan

Mei 2013, sehingga penyusunan laporan dilakukan hingga akhir bulan Juni 2013.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPA1 dan XI IPA3 MAN 2 Model

Makassar, dengan pertimbangan bahwa desain penelitian yang digunakan

memerlukan dua kelas untuk pelaksanaannya.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI IPA MAN 2

Model Makassar yang terdiri atas 5 kelas dengan jumlah 187 peserta didik.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling

atau teknik pengambilan sampel secara acak, yaitu sampel yang diambil secara acak

tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi. Namun, karena tidak

37
38

mungkin mengacak setiap kelas dengan mengambil beberapa peserta didik di

dalamnya sebagai sampel, maka dilakukan rambang kelas. Artinya, sampel diambil

dengan melakukan rambang kelas tanpa harus merambang peserta didik di dalam

setiap kelas. Dengan teknik pengambilan sampel tersebut, diperoleh dua dari lima

kelas yang ada secara acak dengan menggunakan teknik mengundi.

C. Jenis, Rancangan, dan Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan true experiment atau penelitian eksperimen

sesungguhnya, dengan satu variabel bebas yang terdiri atas dua dimensi, satu

variabel moderator yang terdiri atas dua dimensi, dan satu variabel terikat. Dikatakan

true experiment atau penelitian eksperimen sesungguhnya karena di dalam desain ini,

peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya

penelitian. Ciri utama dari true experiment atau penelitian eksperimen sesungguhnya

adalah sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol

diambil secara rambang dari populasi tertentu (Sugiyono, 2012: 112)

Variabel bebas pertama adalah model pembelajaran yang diterapkan dalam

pembelajaran fisika dengan dimensi model pembelajaran learning cycle 5E dan

model pembelajaran problem posing. Variabel moderator adalah pengetahuan awal

peserta didik, yang dibagi atas dimensi pengetahuan awal rendah dan pengetahuan

awal tinggi. Adapun variabel terikat adalah kemampuan memecahkan masalah fisika

pada peserta didik MAN 2 Model Makassar.


39

2. Rancangan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian sebagaimana tertera pada bab sebelumnya,

maka peneliti menggunakan rancangan factorial design dengan bentuk desain

treatment by level design atau desain perlakuan pada tingkat yang berbeda. Desain

faktorial merupakan modifikasi dari design true experimental dengan memperhatikan

kemungkinan adanya variabel moderator yang mempengaruhi perlakuan (variabel

bebas) terhadap hasil (variabel terikat) (Sugiyono, 2012: 113) Untuk lebih jelasnya,

digambarkan pada tabel berikut:

Tabel III.1. Rancangan Penelitian

Pengetahuan Awal Model Pembelajaran (A)


Yj
(B)
Learning cycle 5E (A1) Problem posing (A2)
Pengetahuan Awal A1B1 A2B1
Y1
Tinggi (B1) k = 1, 2, 3, …, n k = 1, 2, 3, …, n

Pengetahuan Awal A1B2 A2B2


Y2
Rendah (B2) k = 1, 2, 3, …, n k = 1, 2, 3, …, n

Yi Y1 Y2 Y..
Keterangan:

A : Perlakuan (Model Pembelajaran)

A1 : Model Learning cycle 5E

A2 : Model Problem posing

B : Pengetahuan Awal

B1 : Pengetahuan Awal Tinggi

B2 : Pengetahuan Awal Rendah

Y : Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta didik


40

k : Banyaknya sampel

Dalam pelaksanaan penelitian ini, maka akan digunakan dua kelas eksperimen

dengan empat kelompok, sebagai berikut:

A1B1 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang

diajar dengan model pembelajaran Learning cycle 5E.

A2B1 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang

diajar dengan model pembelajaran Problem posing.

A1B2 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah yang

diajar dengan model pembelajaran Learning cycle 5E.

A2B2 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah yang

diajar dengan model pembelajaran Problem posing.

3. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan rancangan factorial design dengan bentuk desain

treatment by level design atau desain perlakuan pada tingkat yang berbeda, yang

telah dimodifikasi dengan pengambilan sampel kelas dan kedua kelompok diberi

perlakuan berupa model pembelajaran yang berbeda. Desain faktorial

memperhatikan kemungkinan adanya variabel moderator (Y) yang mempengaruhi

perlakuan (variabel bebas) terhadap hasil (variabel terikat) (Sugiyono, 2012: 113).

Untuk lebih jelasnya, desain penelitian dituliskan sebagai berikut:

R O1 X1 Y1 O2
R O3 X2 Y1 O4
R O5 X3 Y2 O6
R O7 X4 Y2 O8
41

Keterangan:

R : Rambang Kelas dengan teknik undian

O1, O3, O5, O7 : Observasi awal (Pre tes)

X1 dan X3 : Perlakuan berupa model pembelajaran Problem posing

X2 dan X4 : Perlakuan berupa model pembelajaran Learning Cycle 5E

Y1 : Pengetahuan Awal Tinggi

Y2 : Pengetahuan Awal Rendah

O2, O4, O6, O8 : Observasi akhir (Pos tes)

D. Variabel Penelitian

Di dalam penelitian ini, dilibatkan tiga variabel untuk menjawab permasalahan

penelitian, sebagai berikut:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang diterapkan

dalam pembelajaran fisika peserta didik MAN 2 Model Makassar, terdiri atas dua

dimensi yaitu model pembelajaran Learning cycle 5E dan model pembelajaran

Problem posing.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kemampuan memecahkan masalah

yang dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran fisika.

3. Variabel Moderator

Variabel moderator pada penelitian ini adalah pengetahuan awal peserta didik.

Variabel ini terdiri atas dua dimensi, yaitu pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan

awal rendah pada peserta didik MAN 2 Model Makassar.


42

E. Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi dari setiap variabel penelitian yang digunakan, sebagai

berikut:

1. Model pembelajaran learning cycle 5E, yaitu model pembelajaran yang

digunakan untuk memacu kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi

pengetahuannya secara aktif, baik melalui tahap eksplorasi dalam bentuk

eksperimen maupun melalui tahap eksplanasi dalam bentuk penjelasan

konsep fisika.

2. Model pembelajaran problem posing, yaitu model pembelajaran yang

digunakan untuk memacu kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi

pengetahuannya secara aktif melalui pengajuan soal-soal yang berkaitan

dengan materi pembelajaran fisika.

3. Kemampuan memecahkan masalah, yaitu kecakapan yang dimiliki oleh

peserta didik untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang

dihadapi, dalam hal ini soal-soal atau pertanyaan yang diberikan oleh guru

berkaitan dengan konsep fisika.

4. Pengetahuan awal peserta didik, yaitu sekumpulan pengalaman yang

dimiliki oleh peserta didik mengenai konsep fisika yang diberikan dari

sepanjang perjalanan hidup peserta didik tersebut, yang kemudian

dibawanya kepada suatu pengalaman baru. Dalam pelaksanaannya,

pengetahuan awal peserta didik dibagi menjadi dua tingkatan yaitu

pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan awal rendah.


43

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan tes. Tes

merupakan himpunan pertanyaan yang harus dijawab, berbentuk pertanyaan yang

harus dipilih atau ditanggapi, dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu.

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pengetahuan awal peserta

didik untuk mengukur pengetahuan awal yang nantinya akan dikelompokkan sesuai

dengan jenjangnya (tinggi atau rendah). Tes pengetahuan awal menggunakan tes

objektif, yaitu tes yang telah disediakan pilihan jawabannya. Selain itu, digunakan

pula tes kognitif berbentuk tes uraian untuk mengetahui kemampuan memecahkan

masalah pada peserta didik sebelum dan setelah diberi perlakuan.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan perangkat yang digunakan untuk

mengumpulkan data atau informasi penelitian yang diinginkan. Instrumen yang

digunakan terdiri atas berbagai macam, di antaranya:

a. Instrumen tes pengetahuan awal peserta didik

Instrumen ini merupakan alat pengumpulan data untuk mengetahui tingkat

pengetahuan awal peserta didik berupa tes kognitif. Bentuk tes adalah tes tertulis

pilihan ganda yang dilaksanakan sebelum peneliti melakukan penelitian. Pelaksanaan

tes ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengelompokkan peserta didik di dalam

kelas eksperimen tanpa harus diketahui oleh peserta didik, apakah peserta didik

termasuk ke dalam kelompok peserta didik dengan pengetahuan awal rendah atau

peserta didik dengan pengetahuan awal tinggi.


44

b. Instrumen tes kemampuan memecahkan masalah

Instrumen ini merupakan alat pengumpulan data untuk mengetahui tingkat

kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik yang dibentuk berupa tes

kognitif. Bentuk tes adalah tes tertulis uraian yang dilaksanakan sebelum dan setelah

peneliti memberikan perlakukan. Instrumen tes kemampuan memecahkan masalah

dibuat sedemikian rupa agar memenuhi indikator yang harus dicapai peserta didik

pada tataran peserta didik mampu memecahkan masalah, dalam hal ini peneliti

menggunakan indikator pemecahan masalah menurut teori Krulick dan Rudnick.

Sebelum memberikan tes kepada peserta didik, peneliti akan membuat rubrik

penilaian untuk soal yang memungkinkan peserta didik memiliki divergensi jawaban.

H. Uji Coba Instrumen

Untuk mengetahui kelayakan perangkat instrumen yang telah disusun oleh

peneliti dalam penelitian ini, maka dilakukan pengujian terhadap kelayakan

instrumen, diantaranya:

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keshahihan suatu

instrumen. Sebuah instrumen memiliki validitas yang tinggi apabila instrumen

tersebut mampu mengukur suatu aspek yang semestinya diukur. Pada penelitian ini,

dilakukan validitas tes berupa teknik pengukuran validitas isi (content validity) dan

validitas konstruksi (construct validity) untuk instrumen tes pengetahuan awal dan

kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran fisika yang dilakukan oleh

para ahli.
45

a. Validitas Isi

Validitas isi adalah suatu teknik validitas instrumen yang menunjukkan bahwa

isi dari instrumen yang disusun benar-benar dibuat berdasarkan literatur yang ada

dan mewakili setiap aspek yang akan diukur. Uji validitas isi dapat dilakukan oleh

ahli atau pakar validasi (validator ahli) dengan cara menunjukkan instrumen tes yang

akan digunakan beserta kisi-kisi instrumen.

b. Validitas Konstruk

Validitas konstruk adalah suatu teknik validitas instrumen yang menunjukkan

bahwa instrumen yang dipilih telah sesuai dengan apa yang akan diukur. Uji validitas

konstruk dapat dilakukan oleh ahli atau pakar validasi (validator ahli).

Setelah dilakukan validasi ahli, kemudian dilakukan penghitungan persentase

tanggapan ahli untuk setiap pertanyaan dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel III.2. Kriteria Interpretasi Skor

Persentase (%) Kriteria

0 – 25 Sangat Kurang
26 – 50 Kurang
51 – 75 Baik
76 – 100 Sangat Baik
Sumber: Riduwan (2011: 15)

Selanjutnya, secara kontinum digambarkan tingkat gradasi hasil analisis

berdasarkan skala presentase berikut:

0% 25% 50% 75% 100%

Sangat Kurang Kurang Baik Sangat Baik

Gambar III.1 Tingkat Gradasi Tanggapan Validator


46

Berdasarkan penilaian oleh tiga validator, dilakukan analisis validitas konten

untuk setiap item pernyataan dengan menggunakan persamaan CVR (Content

Validity Ratio), sedangkan analisis validitas setiap aspek yang terdiri dari beberapa

item menggunakan persamaan CVI (Content Validity Index). Penilaian dikategorikan

valid jika CVR atau CVI berada pada kisaran nilai 0 s.d 1. Untuk menghitung CVR

digunakan rumus menurut Lawshe sebagai berikut:

𝑁
𝑛𝑒 − 2
𝐶𝑉𝑅 = (Lawshe, 1975: 567)
𝑁
2

Menghitung persentase tanggapan ahli dan peserta didik untuk setiap

pernyataan dengan kriteria sebagai berikut:

Keterangan:

ne : Banyaknya validator yang memberikan nilai esensial (baik atau sangat baik)

N : Jumlah validator

Berdasarkan validitas setiap item pernyataan, maka dapat ditentukan validitas

setiap aspek dengan menggunakan persamaan CVI sebagai berikut:

𝐶𝑉𝑅
𝐶𝑉𝐼 = (Lawshe, 1975: 572)
∑𝑛

Keterangan:

n : Jumlah item dari setiap aspek

Selain melakukan validasi ahli, dilakukan pula validitas tiap item soal dengan

melakukan uji coba di kelas yang setara. Pengujian ini dilakukan di kelas XI IPA2.

Pengujian validitas setiap item tes objektif pengetahuan awal dilakukan dengan

menggunakan rumus berikut:


47

𝑀𝑝 − 𝑀𝑡 𝑝
𝛾𝑝𝑏𝑖 = √
𝑆𝑡 𝑞

(Arikunto, 2003: 79)

dengan :

𝛾𝑝𝑏𝑖 = koefesien korelasi biserial

Mp = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari

validitasnya

Mt = rerata skor total

St = standar deviasi

p = proporsi peserta didik yang menjawab benar

banyak peserta didik yang benar


p =
jumlah seluruh peserta didik

q = proporsi peserta didik yang menjawab salah (q = 1 – p)

Dengan kriteria, untuk n = 38 orang, jika  pb1 ≥ 0,32 maka item dinyatakan

valid dan jika  pb1 < 0,32 maka item dinyatakan drop.

Adapun untuk tes uraian kemampuan memecahkan masalah, setelah

dilakukan uji coba, lalu dianalisis menggunakan korelasi product moment (rxy) dari

Karl Pearson, dengan persamaan sebagai berikut:

𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√{𝑁 ∑ 𝑋2 (∑ 𝑋)2 } − {𝑁 ∑ 𝑌2 − (∑ 𝑌)2 }

(Arikunto, 2006: 170)

Keterangan:

rxy : Koefisien korelasi suatu butir soal (koefisien validitas)


48

X : skor item nomor tertentu

Y : Skor total

N : Jumlah sampel

Butir soal dikatakan valid jika rxy ≥ rtabel pada taraf signifikansi 5 %, untuk n =

38 orang, jika rtabel ≥ 0,32

2. Uji Reliabilitas

Realibilitas suatu instrumen adalah tingkat keajegan instrumen untuk

mengukur aspek yang diukur, artinya apabila instrumen tersebut diberikan pada

subjek yang berbeda akan memberikan hasil yang relatif sama. Untuk mengetahui

konsistensi instrumen yang digunakan, maka harus ditentukan reliabilitasnya

Analisis reliabilitas soal yang diperoleh dari validasi para ahli dilakukan

dengan maksud melihat tingkat keajegannya. Pengujian reliabilitas tersebut

menggunkan rumus Alpha sebagai berikut:

 k    b 
2

r11   1  (Arikunto, 2006 :196)


 k  1   t2 

r11 : Reliabilitas instrumen

k : Banyaknya butir pernyataan

∑σb2 : Jumlah variansi butir

∑σt2 : Variansi total

Nilai reliabilitas yang diperoleh selanjutnya dikonsultasikan dengan nilai reliabilitas

tabel. Instrumen dikatagorikan reliabel jika diperoleh nilai reliabilitas hitung lebih

besar daripada reliabilitas tabel.


49

Untuk menghitung reliabilitas tes pengetahuan awal peserta didik, digunakan

rumus Kuder-Richardson - 20 (KR-20) sebagai berikut :

𝑛 𝑆 2 − ∑𝑝𝑞
𝑟11 =( )( )
𝑛−1 𝑆2

(Arikunto, 2003: 100)

dengan :

r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan

p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar

q = proporsi subjek yang menjawab item salah (q = 1-p )

∑𝑝𝑞 = jumlah perkalian antara p dan q

n = banyaknya item

S = standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar varians)

Adapun untuk tes kemampuan memecahkan masalah yang menggunakan tes

bentuk uraian, yang memiliki gradualisasi penilaian, maka digunakan rumus Alpha

seperti dengan analisis reliabilitas untuk validasi ahli.

3. Uji Indeks Kesukaran

Taraf kesukaran (P) item soal dihitung dengan persamaan berikut:

𝑃ℎ + 𝑃𝑙
𝑝=
2

(Ali dan Khaeruddin, 2012: 91)

Keterangan:

P : indeks kesukaran/kemudahan

Ph : proporsi peserta didik kelompok atas yang menjawab item soal dengan benar;
50

Pl : proporsi peserta didik kelompok bawah yang menjawab item soal dengan

salah;

Kriteria indeks kesukaran/kemudahan dengan batasan: p ≤ 0,30 : sukar; 0,31 ≤

p ≤ 0,710: sedang; 0,71 ≤ p : mudah.

4. Uji Daya Pembeda Butir Soal

Daya pembeda (D) soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi (pandai) dengan peserta didik

yang memiliki kemampuan rendah (kurang pandai). Untuk menghitung daya beda

soal pada penelitian ini digunakan persamaan berikut:

D = Ph - Pl

(Ali dan Khaeruddin, 2012: 93)

Keterangan:

D : daya pembeda

Ph : proporsi peserta didik kelompok atas yang menjawab item soal dengan benar;

Pl : proporsi peserta didik kelompok bawah yang menjawab item soal dengan

salah;

Kriteria indeks kesukaran/kemudahan dengan batasan: 0,40 ≤ D : sangat baik;

0,30 ≤ D ≤ 0,39: baik; 0,20 ≤ D ≤ 0,29: cukup; D ≤ 0,20 : jelek.

I. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mengetahui kebenaran hipotesis yang diajukan

dalam penelitian. Dalam penelitian ini, digunakan teknik anava dua jalur. Untuk

melakukan analisis anava, maka sebelumnya dilakukan uji prasyarat analisis data.
51

1. Uji Normalitas

Uji nomalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang digunakan

berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian tersebut digunakan rumus chi-

kuadrat yang dirumuskan sebagai berikut:

k (Oi  Ei ) 2
 2
hitung 
i 1 Ei
(Sudjana , 1992: 170)

Keterangan:

 2hitung : nilai Chi-kuadrat hitung

Oi : frekuensi hasil pengamatan

Ei : frekuensi harapan

k : banyaknya kelas

Kriteria pengujian:

Data berdistribusi normal bila  2 lebih kecil dari  2 dimana  2 diperoleh dari
hitung tabel tabel

daftar  2 dengan dk = (k-3) pada taraf signifikan  = 0,05.

Uji normalitas juga didukung dengan perhitungan dengan sistem

terkomputerisasi yang dilakukan dengan menggunakan perangkat SPSS 16.0.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari

populasi yang homogen atau tidak. Untuk pengujian tersebut digunakan rumus

Harley yang dirumuskan sebagai berikut:

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹𝑚𝑎𝑥 =
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

(Irianto, 2010: 276)


52

Uji homogenitas juga didukung dengan perhitungan dengan sistem

terkomputerisasi yang dilakukan dengan menggunakan perangkat SPSS 16.0.

3. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis yang

diajukan diterima atau ditolak. Untuk menguji hipotesis, maka dilakukan analisis

variansi dua jalur, sehingga terlihat interaksi antarkolom, antarbaris, serta interaksi

dalam sel. Apabila hipotesis nol ditolak, maka diharuskan melakukan uji lanjut anava

sebagai tindak lanjut dari analisis variansi. Untuk melihat interaksi yang terbaik,

apabila sampel setiap kelompok berjumlah sama, maka dapat digunakan uji tukey,

namun apabila jumlah sampel setiap kelompok tidak sama, maka digunakan uji

sceffe agar terlihat seberapa besar pengaruh interaksi antarvariabel. Secara manual,

anava dua jalur dapat dihitung dengan persamaan berikut:

1. Menghitung Jumlah Kuadrat (JK)

a. JK total

∑ YT
𝐽𝐾 (𝑇) = (∑40 2
1 𝑌 )−( )
𝑛𝑇

b. JK antar kelompok
2
∑ 𝑌11 2
∑ 𝑌21 2
∑ 𝑌12 2
∑ 𝑌22 ∑ YT
𝐽𝐾 (𝐴𝐾) = (∑ + + + )−( )
𝑛 𝑛 𝑛 𝑛 𝑛𝑇

c. JK dalam kelompok

𝐽𝐾 (𝐷𝐾) = 𝐽𝐾 (𝑇) − 𝐽𝐾 (𝐴𝐾)

d. JK antar kolom
2
∑ 𝑌𝐴1 2
∑ 𝑌𝐴2 ∑ YT
𝐽𝐾 (𝑎𝑘) = (∑ + )−( )
𝑛 𝑛 𝑛𝑇
53

e. JK antar baris
2
∑ 𝑌𝐵1 2
∑ 𝑌𝐵2 ∑ YT
𝐽𝐾 (𝑎𝑏) = (∑ + )−( )
𝑛 𝑛 𝑛𝑇

f. JK interaksi

𝐽𝐾 (𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) = 𝐽𝐾 (𝐴𝐾) − { 𝐽𝐾 (𝑎𝑘) + 𝐽𝐾 (𝑎𝑏)}

2. Menghitung Derajat Kebebasan (DK)

a. Total

dk (T) = N - 1

b. Antar kelompok

dk (AK) = K - 1

c. Dalam kelompok

dk (DK) = N - K

d. Interaksi

dk (Interaksi) = (k x 1)(b x 1)

e. Antar kolom

dk (ak) = k - 1

f. Antar baris

dk (ab) = b - 1

3. Menghitung Rata-Rata Jumlah Kuadrat (RJK)

a. Antar kelompok

𝐽𝐾 (𝐴𝐾)
𝑅𝐽𝐾 (𝐴𝐾) =
𝑑𝑘 (𝐴𝐾)

b. Dalam kelompok

𝐽𝐾 (𝐷𝐾)
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾) =
𝑑𝑘 (𝐷𝐾)
54

c. Antar kolom

𝐽𝐾 (𝑎𝑘)
𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑘) =
𝑑𝑘 (𝑎𝑘)

d. Antar baris

𝐽𝐾 (𝑎𝑏)
𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑏) =
𝑑𝑘 (𝑎𝑏)

e. Interaksi

𝐽𝐾 (𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)
𝑅𝐽𝐾 (𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) =
𝑑𝑘 (𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)

4. Menghitung F

a. Antar kelompok

𝑅𝐽𝐾 (𝐴𝐾)
𝐹 (𝐴𝐾) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)

b. Antar kolom

𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑘)
𝐹 (𝑎𝑘) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)

c. Antar baris

𝑅𝐽𝐾 (𝑎𝑏)
𝐹 (𝑎𝑏) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)

d. Interaksi

𝑅𝐽𝐾 (𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖)
𝐹 (𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖) =
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾)

5. Menentukan F tabel

a. Antar kelompok

𝐹(0,05)(3)(36) = 2,86
55

b. Antar kolom

𝐹(0,05)(1)(36) = 4,11

c. Antar baris

𝐹(0,05)(1)(36) = 4,11

d. Interaksi

𝐹(0,05)(1)(36) = 4,11

Pengujian hipotesis juga dilakukan dengan perangkat komputer dengan

menggunakan program SPSS 16.0.

Adapun hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

1) H0 : Fhitung ≤ Ftabel

H1 : Fhitung > Ftabel

Keterangan:

Ho = Tidak terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok

peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model

pembelajaran problem posing.

H1 = Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok

peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model

pembelajaran problem posing.

2) H0 : Fhitung ≤ Ftabel

H1 : Fhitung > Ftabel


56

Keterangan:

Ho = Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan problem

posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi kemampuan

memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.

H1 = Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan problem

posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi kemampuan

memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.

3) H0 : µ1 ≤ µo

H1 : µ1 > µo

Keterangan:

µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A2B1

µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A2B1

4) H0 : µ1 ≤ µo

H1 : µ1 > µo

Keterangan:

µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B2 dan A2B2

µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B2 dan A2B2
57

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Analisis Deskriptif Pengetahuan Awal Peserta Didik MAN 2 Model


Makassar

Berdasarkan hasil analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik kelas XI

IPA1 MAN 2 Model Makassar yang diajar menggunakan model pembelajaran

problem posing, dapat dipaparkan sebagai berikut.

Tabel IV. 1. Statistik Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA1
(Kelompok Problem Posing) MAN 2 Model Makassar

Skor ideal 32
Skor maksimum 28
Skor minimum 16
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 12
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 22,00
Standar deviasi 2,63
Variansi 6,94
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran

Jika skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model

Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat dibuat tabel distribusi

frekuensi sebagai berikut :

57
58

Tabel IV. 2. Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas
XI IPA1 (Kelompok Problem Posing) MAN 2 Model Makassar

Skor f
15 – 17 3
18 – 20 7
21 – 23 16
24 – 26 8
27 – 29 1
Jumlah 35

Berdasarkan tabel distribusi skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1

MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa skor rata-rata yaitu 22,00 berada

pada rentang skor 21–23. Jika skor tersebut diubah dalam bentuk nilai, maka rata-

rata nilai pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 62,5. Peserta didik

yang memperoleh skor pada rentang 21–23 yaitu 16 orang atau sebesar 45,7% dari

35 peserta didik.

Adapun hasil analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3

MAN 2 Model Makassar yang diajar menggunakan model pembelajaran learning

cycle, dapat dipaparkan sebagai berikut.

Tabel IV. 3. Statistik Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA3
(Kelompok Learning Cycle 5E) MAN 2 Model Makassar

Skor ideal 32
Skor maksimum 24
Skor minimum 13
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 11
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 17,51
Standar deviasi 2,38
Variansi 5,67
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
59

Jika skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model

Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat dibuat tabel distribusi

frekuensi sebagai berikut:

Tabel IV. 4. Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas
XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E) MAN 2 Model Makassar

Skor f (%)
12 – 14 3
15 – 17 16
18 – 20 12
21 – 23 3
24 – 26 1
Jumlah 35

Berdasarkan tabel distribusi skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3

MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa skor rata-rata yaitu 17,51 berada

pada rentang skor 18–20. Jika skor tersebut diubah dalam bentuk nilai, maka rata-

rata nilai pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 54,72. Peserta didik

yang memperoleh skor pada rentang 18–20 yaitu 12 orang atau sebesar 34,3% dari

35 peserta didik.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa skor pengetahuan awal peserta

didik kelas XI IPA1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan peserta didik kelas XI

IPA3, dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif dalam pokok bahasan tekanan

sebagai dasar materi fluida yang dimiliki peserta didik kelas XI IPA1 lebih baik

daripada kelas XI IPA3. Pengetahuan awal peserta didik sebelum memulai materi,

membawa pengaruh terhadap hasil belajar. Dengan mengetahui pengetahuan awal

peserta didik, guru dapat menetapkan dari mana harus memulai pelajaran.

Pengetahuan awal dimaksudkan adalah tingkat pengetahuan atau keterampilan yang

telah dimiliki, yang lebih rendah dari apa yang akan dipelajari. (Djamarah, 2004: 13).
60

Hasil penelitian yang diperoleh tersebut sejalan dengan pendapat Roos A

Thompson (2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan awal dapat membantu

ataupun menghalangi keberadaan pengetahuan baru yang diberikan. Namun,

seseorang yang memiliki pengetahuan awal lebih baik berarti memiliki pemahaman

dan ingatan yang baik terhadap topik dibanding dengan seseorang yang memiliki

pengetahuan awal terbatas.

2. Hasil Analisis Deskriptif Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta


Didik MAN 2 Model Makassar

a. Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika

Berdasarkan hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar sebelum diberi perlakuan, dapat

dipaparkan sebagai berikut.

Tabel IV. 5. Statistik Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika


Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing) MAN 2 Model
Makassar

Skor ideal 30
Skor maksimum 17
Skor minimum 6
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 11
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 12,11
Standar deviasi 2,63
Variansi 6,93
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran

Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat

dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:


61

Tabel IV. 6. Distribusi Frekuensi Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Skor f
5–7 3
8 – 10 7
11 – 13 15
14 – 16 9
17 – 19 1
Jumlah 35

Berdasarkan tabel distribusi skor pre-test kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa

skor rata-rata yaitu 12,11 berada pada rentang skor 11–13. Jika skor tersebut diubah

dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 40,36. Peserta didik yang memperoleh skor pada

rentang 11–13 yaitu 15 orang atau sebesar 42,9% dari 35 peserta didik.

Adapun hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar sebelum diberi perlakuan, dapat

dipaparkan sebagai berikut.

Tabel IV. 7. Statistik Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika


Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30
Skor maksimum 15
Skor minimum 6
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 9
Panjang kelas interval 2
Rata-rata skor 10,26
Standar deviasi 2,50
Variansi 6,26
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
62

Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat

dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel IV. 8. Distribusi Frekuensi Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Skor f
6–7 6
8–9 6
10 – 11 13
12 – 13 7
14 – 15 3
Jumlah 35

Berdasarkan tabel distribusi skor pre-test kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa

skor rata-rata yaitu 10,26 berada pada rentang skor 10–11. Jika skor tersebut diubah

dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA3 sebesar 34,2. Peserta didik yang memperoleh skor pada

rentang 10–11 yaitu 13 orang atau sebesar 37,14% dari 35 peserta didik.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa skor pre tes kemampuan

memecahkan masalah peserta didik kelas XI IPA1 lebih tinggi jika dibandingkan

dengan peserta didik kelas XI IPA3. Kemampuan memecahkan masalah pada

dasarnya terbangun melalui kegiatan menemukan makna dan keaktifan siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuannya serta mengaitkan dengan konsep yang sudah ada

sehingga mudah memaknai metri pelajaran, serta menerapkannya dalam

memecahkan masalah secara aktif dalam pembelajaran (Fauziah, 2010). Sehingga,


63

dapat dikatakan bahwa kektifan yang dimiliki oleh peserta didik kelas XI IPA1 lebih

baik dibandingkan dengan peserta didik kelas XI IPA3.

Sulastri Muhammad Syah, dkk (2011) menyatakan bahwa strategi belajar aktif

menekankan pentingnya keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran dan

dapat terlibat dalam penemuan secara mandiri maupun berkelompok, kesadaran diri

seseorang dalam menguasai pembelajaran, serta mengadaptasi pengetahuan baru

untuk menemukan sesuatu yang berbeda dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Hal

ini mengindikasikan bahwa dalam memecahkan masalah, pendekatan yang paling

baik adalah konstruktivisme, yang menekankan konstruksi pengetahuan secara

mandiri, agar dalam pemecahan suatu masalah.

b. Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika

Berdasarkan hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan

menggunakan model pembelajaran problem posing, dipaparkan sebagai berikut.

Tabel IV. 9. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika


Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Skor ideal 30
Skor maksimum 27
Skor minimum 14
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 13
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 21,03
Standar deviasi 3,53
Variansi 12,44
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
64

Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat

dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel IV. 10. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Skor f
13 – 15 3
16 – 18 7
19 – 21 10
22 – 24 8
25 – 27 7
Jumlah 35

Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa

skor rata-rata yaitu 21,03 berada pada rentang skor 22–24. Jika skor tersebut diubah

dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA1 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran

problem posing sebesar 70,1. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 22–

24 yaitu 8 orang atau sebesar 22,9% dari 35 peserta didik.

Adapun hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle, dapat dipaparkan sebagai berikut.


65

Tabel IV. 11. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Skor ideal 30
Skor maksimum 25
Skor minimum 11
Jumlah sampel 35
Banyak kelas interval 5
Rentang data 14
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 18,09
Standar deviasi 3,15
Variansi 9,90
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran

Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat

dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel IV. 12. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Skor f
11 – 13 3
14 – 16 7
17 – 19 15
20 – 22 8
23 – 25 2
Jumlah 35

Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa

skor rata-rata yaitu 18,09 berada pada rentang skor 17–19. Jika skor tersebut diubah

dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA3 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
66

learning cycle 5Esebesar 60,3. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 17–

19 yaitu 15 orang atau sebesar 42,9% dari 35 peserta didik.

Dalam proses pembelajaran, peneliti mengajarkan materi fluida dan

memberikan tes kepada peserta didik secara keseluruhan yaitu 35 orang untuk setiap

kelas terdiri atas kelas XI IPA1 diajar dengan menggunakan model pembelajaran

problem posing dan kelas XI IPA3 diajar dengan menggunakan model pembelajaran

learning cycle. Namun, oleh karena penelitian ini memperhatikan variabel moderator

yang diasumsikan juga turut mempengaruhi variabel terikat yaitu kemampuan

memecahkan masalah, maka untuk keperluan pengujian hipotesis, dilakukan

penentuan kelompok terlebih dahulu dengan cara masing-masing kelas dipilah

menjadi dua kelompok yang terdiri dari 27% (10 orang) peserta didik yang memiliki

pengetahuan awal tinggi dan 27% (10 orang) peserta didik yang memiliki

pengetahuan awal rendah. Data inilah yang akan digunakan untuk keperluan analisis

data pengujian hipotesis, dalam hal ini menggunakan uji ANAVA dua jalur. Oleh

karena itu, peneliti juga memberikan penjelasan mengenai data tersebut, yaitu

sebanyak 20 orang sampel penelitian diambil untuk tiap kelas.

Lebih jelasnya, analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan

menggunakan model pembelajaran problem posing, dapat dipaparkan sebagai

berikut.
67

Tabel IV. 13. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Skor ideal 30
Skor maksimum 27
Skor minimum 14
Jumlah sampel 20
Banyak kelas interval 5
Rentang data 13
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 22,10
Standar deviasi 3,49
Variansi 12,20
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran

Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat

dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel IV. 14. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Skor f
13 – 15 1
16 – 18 2
19 – 21 4
22 – 24 6
25 – 27 7
Jumlah 20

Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa

skor rata-rata yaitu 22,10 berada pada rentang skor 22–24. Jika skor tersebut diubah

dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA1 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
68

problem posing sebesar 73,6. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 22–

24 yaitu 6 orang atau sebesar 30,0% dari 35 peserta didik.

Adapun hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle, dapat dipaparkan sebagai berikut.

Tabel IV. 15. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Skor ideal 30
Skor maksimum 25
Skor minimum 14
Jumlah sampel 20
Banyak kelas interval 5
Rentang data 11
Panjang kelas interval 3
Rata-rata skor 19,05
Standar deviasi 3,15
Variansi 9,94
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran

Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat

dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:

Tabel IV. 16. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Skor f
13 – 15 4
16 – 18 5
19 – 21 7
22 – 24 2
25 – 27 2
Jumlah 20
69

Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa

skor rata-rata yaitu 19,05 berada pada rentang skor 19–21. Jika skor tersebut diubah

dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik kelas XI IPA3 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran

learning cycle 5E sebesar 63,5. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang

19–21 yaitu 7 orang atau sebesar 35% dari 35 peserta didik.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa skor pos tes kemampuan

memecahkan masalah peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model

pembelajaran problem posing lebih tinggi jika dibandingkan dengan peserta didik

kelas XI IPA3 yang diajar dengan learning cycle 5E. Pada dasarnya, problem posing

dan learning cycle 5E sama-sama model pembelajaran yang berbasis

konstruktivisme, di mana peserta didik dituntut agar mampu mengkonstruksi

pengetahuannya secara mandiri melalui hal-hal baru yang ditemukannya. Model

pembelajaran problem posing lebih menekankan pada kemampuan peserta didik

dalam mengajukan masalah dalam bentuk pertanyaan atau soal hitungan sedangkan

model pembelajaran learning cycle 5E diorientasikan agar peserta didik mampu

memecahkan masalah melalui eksplorasi dan mengelaborasi hasil yang ditemukan

dengan suatu penjelasan yang kemudian akan di evaluasi. Namun, fakta di lapangan

menunjukkan bahwa model pembelajaran problem posing lebih efektif dalam

meningkatkan kemampuan memecahkan masalah peserta didik kelas XI IPA MAN

Model Makassar.
70

Senada dengan hal tersebut, Tuna (2013) menyatakan bahwa model

pembelajaran learning cycle 5E merupakan model konstruktivis yang mengarahkan

pembelajaran agar peserta didik mampu memahami dan mendalami suatu konsep

secara mendalam. Model pembelajaran ini menekankan pada kemampuan siswa

meneliti secara aktif melalui kegiatan eksplorasi sehingga dapat menemukan

pengetahuan baru yang diasosiasikan dengan konsep yang dimiliki peserta didik.

Sehingga, pengetahuan akan terkonstruksi secara mandiri dan dapat diterapkan

dalam memecahkan suatu masalah. Adapun Sriastutik (2012) menyatakan bahwa

problem posing ini berorientasi pada aktivitas dan keterlibatan siswa secara aktif

dalam memahami materi pembelajaran, mengembangkan kemampuan berpikir siswa

dalam menyelesaikan masalah serta menimbulkan sikap positif terhadap fisika.

Membiasakan siswa dalam merumuskan, menghadapi dan menyelesaikan soal

merupakan salah satu cara untuk mencapai penguasaan suatu konsep menjadi lebih

baik sehingga meningkatkan prestasi dan kemampuan komunikasi siswa. Prestasi

belajar yang dimaksud salah satunya dapat berupa kemampuan peserta didik dalam

memecahkan masalah.

3. Hasil Analisis Inferensial Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta


Didik

1) Pengujian Dasar-Dasar Analisis

Sebelum melakukan pengujian hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan

pengujian dasar analisis berupa uji normalitas dan uji homogenitas, agar diketahui

analisis yang akan digunakan untuk pengujian hipotesis. Untuk keperluan uji

normalitas dan homogenitas, peneliti hanya menggunakan data pos-test kemampuan


71

memecahkan masalah peserta didik yang telah diklasifikasikan dalam kelompok,

yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3.

a. Normalitas Data Pre-Test

Untuk mengetahui perbedaan antara skor rata-rata pretes peserta didik kelas

eksperimen dan kelas kontrol signifikan atau tidak signifikan, maka skor pre-test

diuji dengan menggunakan uji perbedaan rata-rata. Setelah terlebih dahulu dilakukan

uji normalitas dan homogenitas data pada hasil pre-test kemampuan memecahkan

masalah fisika pada kelompok eksperimen dan kontrol.

a) Pengujian Normalitas Data Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah


Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing) MAN 2
Model Makassar

Hasil pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-

kuadrat. Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik

kelas XI IPA1, diperoleh nilai χ2hitung = 5,89 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena

χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data pre-test kemampuan

memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar

yang diajar dengan model pembelajaran problem posing berasal dari populasi yang

berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 5%. Pengujian selengkapnya dapat

dilihat pada lampiran.

b) Pengujian Normalitas Data Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah


Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E) MAN 2
Model Makassar

Hasil pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-

kuadrat. Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik

kelas XI IPA3, diperoleh nilai χ2hitung = 2,90 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena
72

χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data pre-test kemampuan

memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar

yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E berasal dari populasi yang

berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 5%. Pengujian selengkapnya dapat

dilihat pada lampiran.

Selain menggunakan persamaan chi kuadrat, pengujian normalitas data juga

dicocokkan dengan pengujian menggunakan program SPSS, dengan data yang sama

yaitu sebanyak 35 orang dari kelas XI IPA1 dan 35 orang dari kelas XI IPA3.

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh sebagai berikut:

Tabel IV. 17. Normalitas Data Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre-Test KMM kelas PP .175 35 .008 .961 35 .252
a. Lilliefors Significance Correction

Tabel di atas menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan program

SPSS yang menggambarkan bahwa data skor pre-test kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar terdistribusi

normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang

menunjukkan nilai 0,252 yang tentu lebih besar dari 0,05, maka dikatakan data

berdistribusi normal.

Untuk memperkuat kesimpulan di atas, hasil analisis data membentuk kurva

normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa

data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
73

data berdistribusi normal, begitupun pada Detrend QQ plots, yang menunjukkan

plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal

berada ditengah diagram, maka data berdistribusi normal. Data Stem-Leaf

memperlihatkan angka-angka membentuk kurva normal miring ke arah kanan, maka

data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki

yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot

di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal.

Tabel IV. 18. Normalitas Data Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre-Test KMM kelas LC .160 35 .024 .952 35 .133
a. Lilliefors Significance Correction

Tabel di atas menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan program

SPSS yang menggambarkan bahwa data skor pre-test kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar terdistribusi

normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang

menunjukkan nilai 0,133 yang tentu lebih besar dari 0,05, maka dikatakan data

berdistribusi normal.

Untuk memperkuat kesimpulan di atas, hasil analisis data membentuk kurva

normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa

data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka

data berdistribusi normal, begitupun pada Detrend QQ plots, yang menunjukkan

plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
74

berada ditengah diagram, maka data berdistribusi normal. Data Stem-Leaf

memperlihatkan angka-angka membentuk kurva normal miring ke arah kanan, maka

data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki

yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot

di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal. Seluruh data ini disajikan

dalam lampiran.

b. Normalitas Data Pos-Tes Kelompok

Data pos tes inilah yang akan dianalisis dengan menggunakan ANAVA dua

jalur. Data pos tes ini diperoleh dari data kemampuan memecahkan masalah fisika

peserta didik setelah diberikan perlakuan berupa model pembelajaran, yang

sebelumnya telah diklasifikasikan berdasarkan pengetahuan awal yang tinggi dan

rendah. Namun, sebelum dilakukan ANAVA, maka terlebih dahulu dilakukan uji

prasyarat, sebab ANAVA bisa dilakukan jika data terdistribusi normal dan homogen.

a) Pengujian Normalitas Data Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika


Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing) MAN 2 Model
Makassar

Hasil pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-

kuadrat. Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik

kelas XI IPA1, diperoleh nilai χ2hitung = 4,42 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena

χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar yang diajar

dengan model pembelajaran problem posing berasal dari populasi yang berdistribusi

normal pada taraf signifikansi α = 5%. Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada

lampiran.
75

b) Pengujian Normalitas Data Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika


Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E) MAN 2 Model
Makassar

Hasil pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-

kuadrat. Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik

kelas XI IPA3, diperoleh nilai χ2hitung = 4,30 dan χ2tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena

χ2hitung < dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar

dengan model pembelajaran learning cycle 5E berasal dari populasi yang

berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 5%.. Pengujian selengkapnya dapat

dilihat pada lampiran.

Selain menggunakan persamaan chi kuadrat, pengujian normalitas data juga

dicocokkan dengan pengujian menggunakan program SPSS, dengan data yang sama

yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3.

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh sebagai berikut:

Tabel IV. 19. Normalitas Data Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 (Kelompok Problem Posing)
MAN 2 Model Makassar

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Kelas_PP .147 20 .200* .955 20 .457
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.

Tabel di atas menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan program

SPSS yang menggambarkan bahwa data skor pos-test kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
76

normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang

menunjukkan nilai 0,457 yang tentu lebih besar dari 0,05, dan nilai Signifikansi pada

kolom Kolmogorov-Smirnova menunjukkan nilainya 0,200 atau lebih dari 0,05, maka

dikatakan data berdistribusi normal.

Untuk memperkuat kesimpulan di atas, hasil analisis data membentuk kurva

normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa

data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka

data berdistribusi normal, begitupun pada Detrend QQ plots, yang menunjukkan

plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal

berada ditengah diagram, maka data berdistribusi normal. Data Stem-Leaf

memperlihatkan angka-angka membentuk kurva normal miring ke arah kanan, maka

data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki

yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot

di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal.

Tabel IV. 20. Normalitas Data Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 (Kelompok Learning Cycle 5E)
MAN 2 Model Makassar

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.
Kelas_LC .120 20 .200* .951 20 .384
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.

Tabel di atas menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan program

SPSS yang menggambarkan bahwa data skor pos-test kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
77

normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang

menunjukkan nilai 0,384 yang tentu lebih besar dari 0,05, dan nilai signifikansi pada

kolom Kolmogorov-Smirnova menunjukkan nilainya 0,200 atau lebih dari 0,05, maka

dikatakan data berdistribusi normal.

Untuk memperkuat kesimpulan di atas, hasil analisis data membentuk kurva

normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa

data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka

data berdistribusi normal, begitupun pada Detrend QQ plots, yang menunjukkan

plot-plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal

berada ditengah diagram, maka data berdistribusi normal. Data Stem-Leaf

memperlihatkan angka-angka membentuk kurva normal miring ke arah kanan, maka

data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki

yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot

di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal.

Keseluruhan data tersebut diberikan untuk memperkuat data yang diperoleh

dengan perhitungan manual menggunakan rumus chi kuadrat, sehingga digunakan

program SPSS untuk membuktikan normalitas data secara komputerisasi. Untuk

lebih jelasnya, hasil analisis data normalitas dapat dilihat pada lampiran.

c. Pengujian Homogenitas Data Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah


Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar

Hasil pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Harley,

karena sampel yang diujikan memiliki jumlah yang sama, yaitu 35 sampel.

Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA1 dan XI IPA3, diperoleh nilai Fmax = 1,11 dan Fmax (tabel) = Fmax (0,95)(2) = 2,017.
78

Karena Fmax < Fmax (tabel), maka dapat disimpulkan bahwa data pre-tes kemampuan

memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model

pembelajaran problem posing dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar

dengan model pembelajaran learning cycle 5E bersifat homogen pada taraf

signifikansi α = 5%. Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

Selain menggunakan uji Harley, pengujian homogenitas data juga dicocokkan

dengan pengujian menggunakan program SPSS tepatnya uji Levene statistic, dengan

data yang sama yaitu sebanyak 35 orang dari kelas XI IPA1 dan 35 orang dari kelas

XI IPA3. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh sebagai berikut:

Tabel IV. 21. Homogenitas Data Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA MAN 2 Model Makassar

Test of Homogeneity of Variance


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Homogenitas Based on Mean .075 1 68 .785
Pos-Test KMM Based on Median .040 1 68 .842
Based on Median and with
.040 1 67.487 .842
adjusted df
Based on trimmed mean .063 1 68 .803

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh bahwa ternyata pengujian dengan

statistik Based on Mean diperoleh signifikansi 0,785, jauh lebih melebihi 0,05.

dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok data mempunyai varian

yang sama atau homogen. Angka Levene Statistic menunjukkan semakin kecil

nilainya maka semakin besar homogenitasnya. Untuk lebih jelasnya, hasil analisis

data homogenitas dapat dilihat pada lampiran.


79

d. Pengujian Homogenitas Data Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah


Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar

Hasil pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Harley,

karena sampel yang diujikan memiliki jumlah yang sama, yaitu 20 sampel.

Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI

IPA1 dan XI IPA3, diperoleh nilai Fmax = 0,82 dan Fmax (tabel) = Fmax (0,95)(2) = 2,017.

Karena Fmax < Fmax (tabel), maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model pembelajaran

problem posing dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan model

pembelajaran learning cycle 5E bersifat homogen pada taraf signifikansi α = 5%.

Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

Selain menggunakan uji Harley, pengujian homogenitas data juga dicocokkan

dengan pengujian menggunakan program SPSS tepatnya uji Levene statistic, dengan

data yang sama yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas

XI IPA3. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh sebagai berikut:

Tabel IV. 22. Homogenitas Data Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan


Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA MAN 2 Model Makassar

Test of Homogeneity of Variance


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Nilai Based on Mean .328 1 38 .570
Based on Median .323 1 38 .573
Based on Median and with
.323 1 37.929 .573
adjusted df
Based on trimmed mean .383 1 38 .539
80

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh bahwa ternyata pengujian dengan

statistik Based on Mean diperoleh signifikansi 0,570, jauh lebih melebihi 0,05.

dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok data mempunyai varian

yang sama atau homogen. Angka Levene Statistic menunjukkan semakin kecil

nilainya maka semakin besar homogenitasnya. Untuk lebih jelasnya, hasil analisis

data homogenitas dapat dilihat pada lampiran.

2) Pengujian Hipotesis Data Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta Didik

a. Pengujian Hipotesis Data Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta Didik


MAN 2 Model Makassar

Untuk pengujian hipotesis penelitian, dilakukan dengan analisis varians

(ANAVA) dua jalur, sebab data kemampuan memecahkan masalah fisika peserta

didik telah diuji prasyarat dan data yang diperoleh menunjukkan bahwa data yang

telah dikumpulkan berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal serta

bersifat homogen atau memiliki variansi yang sama.

Berdasarkan hasil tes kemampuan memecahkan masalah setelah diberikan

perlakuan berupa model pembelajaran, yaitu model pembelajaran problem posing

dan learning cycle, diperoleh data untuk masing-masing kelompok, sebagai berikut:

Tabel IV. 23. Skor Total Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Peserta Didik untuk tiap Kelompok

∑YA1 ∑YA2 ∑YA1.A2


B1 191 248 439
B2 190 194 384
Jumlah 381 442 823

Untuk memudahkan pengujian hipotesis penelitian dengan analisis varians

(ANAVA) dua jalur, maka terlebih dahulu dibuat tabel kerja anava berikut ini:
81

Tabel IV. 24. Tabel Kerja ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan
Masalah Peserta Didik MAN 2 Model Makassar

Pengetahuan Awal Model Pembelajaran (A)


B
(B)
Learning cycle 5E (A1) Problem posing (A2)
A1B1 A2B1
Y11 = 25, 21, 21, 19, 20, Y21 = 25, 27, 25, 24, 23,
15, 19, 18, 18, 15 27, 25, 26, 25, 21 ∑YB1 = 439
Pengetahuan Awal
Tinggi (B1)
∑Y11 = 191 ∑Y21 = 248 nB1 = 20

n = 10 n = 10
A1B2 A2B2
Y12 = 18, 15, 22, 14, 22, Y22 = 20, 22, 22, 21, 17,
21, 16, 25, 18, 19 18, 21, 14, 19, 20 ∑YB2 = 384
Pengetahuan Awal
Rendah (B2)
∑Y12 = 190 ∑Y22 = 194 nB2 = 20

n = 10 n = 10
∑YA1 = 381 ∑YA2 = 442 ∑YT = 823
A
nA1 = 20 nA2 = 20 nT = 40
Untuk perhitungan selengkapnya, dapat dilihat pada lampiran

Tabel IV. 25. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan
Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar

FT
Sumber Varian JK Dk RJK Fh
α= 0,05
Antar kelompok 238,875 3 79,625 10,427 2,86
Dalam kelompok 274, 9 36 7,6361 - -
Antarkolom 93,025 1 93,025 12,182 4,11
Antarbaris 75,625 1 75,625 9,904 4,11
Interaksi 70,225 1 70,225 9,196 4,11
Total 513, 775 39
Untuk perhitungan selengkapnya, dapat dilihat pada lampiran

Tabel di atas menyajikan beberapa informasi mengenai hipotesis yang

diajukan, sebagai berikut:


82

1) Antar kelompok

Oleh karena Fhitung > Ftabel = 10,427 > 2,86, maka dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan terdapat perbedaan rata-rata kemampuan memecahkan masalah

antara berbagai kelompok peserta didik yg diteliti.

2) Antar kolom

Oleh karena Fhitung > Ftabel = 12,182 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap kemampuan memecahkan

masalah peserta didik. Dengan kata lain, rata-rata kemampuan memecahkan

masalah kelompok peserta didik yang memperoleh perlakuan berupa penerapan

model pembelajaran problem posing lebih tinggi daripada kelompok peserta didik

yang yang memperoleh perlakuan berupa penerapan model pembelajaran learning

cycle.

3) Antar baris

Oleh karena Fhitung > Ftabel = 9,904 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

pengaruh pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan masalah peserta

didik. Dengan kata lain, rata-rata kemampuan memecahkan masalah pada

kelompok peserta didik yang mempunyai pengetahuan awal tinggi lebih tinggi

dibandingkan kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah.

4) Interaksi

Oleh karena Fhitung > Ftabel = 9,196 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa

pemberian perlakuan berupa model pembelajaran dan pengetahuan awal

berinteraksi dalam menentukan variansi kemampuan memecahkan masalah

peserta didik. Pemberian perlakuan model pembelajaran memberikan pengaruh


83

yang berbeda terhadap kemampuan memecahkan masalah pada tingkat

pengetahuan awal yang berbeda.

Berdasarkan data tersebut diperoleh jawaban dari rumusan hipotesis yang telah

diajukan sebelumnya bahwa (1) FA > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya

terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan memecahkan masalah pada

kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model pembelajaran

problem posing. (2) FAXB > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya terdapat interaksi

antara model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing dengan

pengetahuan awal dalam mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah peserta

didik MAN 2 Model Makassar.

Selain menggunakan perhitungan manual, peneliti berusaha untuk

mengkonfirmasi data yang diperoleh dengan menggunakan program SPSS, dengan

maksud untuk mengecek kembali data yang diperoleh. Pengujian hipotesis dengan

program SPSS dilengkapi dengan nilai F yang menggambarkan perbedaan antar

kolom, antar baris, dan interaksi antar sel. Nilai F akan dibandingkan pula dengan F

tabel, sekaligus dilengkapi grafik yang menggambarkan interaksi antara kelompok

yang dibandingkan, yaitu kelompok peserta didik yang diajar dengan model learning

cycle 5E dan yang diajar dengan model pembelajaran problem posing, serta

kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah dan pengetahuan

awal tinggi.

Berdasarkan hasil komputerisasi SPSS, diperoleh tabel ringkasan anava

sebagai berikut:
84

Tabel IV. 26. Tabel Homogenitas Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika


Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
dengan Program SPSS

Levene's Test of Equality of Error Variancesa


Dependent Variable:Kemampuan_Memecahkan_Masalah
F df1 df2 Sig.
1.435 3 36 .249
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal
across groups.
a. Design: Intercept + Kelas + Pengetahuan_Awal + Kelas * Pengetahuan_Awal

Di atas menunjukkan nilai (Signifikansi) Sig. 0,249 di mana lebih besar dari

0,05 sehingga bisa dikatakan varian antar kelompok berbeda secara signifikan.

Tabel IV. 27. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan
Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
dengan Program SPSS

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Kemampuan_Memecahkan_Masalah
Type III Sum
Source of Squares Df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 238.875 3 79.625 10.427 .000
Intercept 16933.225 1 16933.225 2.218E3 .000
Kelas 93.025 1 93.025 12.182 .001
Pengetahuan_Awal 75.625 1 75.625 9.904 .003
Kelas *
70.225 1 70.225 9.196 .004
Pengetahuan_Awal
Error 274.900 36 7.636
Total 17447.000 40
Corrected Total 513.775 39
a. R Squared = ,465 (Adjusted R Squared = ,420)

Selain nilai F yang diperoleh melalui anava dua jalur yang merupakan dasar

dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian jika dibantingkan dengan Ftabel,

maka dari tabel di atas juga diperoleh nilai-nilai penting yang bisa disimpulkan

sebagai berikut:
85

1. Corrected model, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,000 atau

lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan ada pengaruh semua variabel

model pembelajaran dan pengetahuan awal, serta interaksi antara model

pembelajaran dan pengetahuan awal secara bersama-sama terhadap variabel

kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik. Hal ini dikenal pula

dengan model valid.

2. Intercept, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,000 atau lebih kecil

dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan nilai perubahan variabel dependen tanpa

perlu dipengaruhi keberadaan variabel independen, artinya tanpa ada

pengaruh variabel model pembelajaran, maka variabel kemampuan

memecahkan masalah fisika peserta didik dapat berubah nilainya. Data yang

diperoleh di atas menunjukkan intercept signifikan.

3. Kelas (Model Pembelajaran), yang menggambarkan signifikansi sebesar

0,001 atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh model

pembelajaran terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika peserta

didik di dalam penelitian ini berpengaruh secara signifikan.

4. Pengetahuan awal, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,003 atau

lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh pengetahuan awal

terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik di dalam

penelitian ini berpengaruh secara signifikan.

5. Kelas*Pengetahuan awal, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,004

atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh model

pembelajaran dan pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan


86

masalah fisika peserta didik di dalam penelitian ini berpengaruh secara

signifikan.

6. Error, yang menggambarkan nilai error model. Apabila semakin kecil, maka

penelitian semakin baik.

7. R Squared, yang menggambarkan nilai determinasi berganda semua variabel

bebas dan terikat. Hasil analisis data di atas adalah 0,465 yang tidak terlalu

mendekati nilai 1, berarti korelasi antar variabel tidak terlalu kuat.

Hasil lain yang diperoleh dari anava dua jalur adalah grafik yang

menggambarkan interaksi antar variabel sebagai berikut:

Gambar IV. 1. Grafik Interaksi Pengetahuan Awal Tinggi dan Rendah


87

Gambar IV. 2. Grafik Interaksi Antarmodel Pembelajaran

Diagram Plot di atas berguna untuk menilai apakah ada interaksi efek antar

variabel. Namun diagram ini tidak bisa dijadikan bahan acuan yang valid. Tetapi

hanya sekedar memberikan gambaran saja. Apabila garis-garis tidak menunjukkan

kesejajaran, maka dicurigai ada efek interaksi. Diagram di atas menunjukkan ada

ketidak sejajaran garis, maka dicurigai ada efek interaksi. Interaksi yang terjadi

adalah baik model pembelajaran, pengetahuan awal, maupun kedua variabel tersebut

berinteraksi terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik MAN 2

Model Makassar.

Berdasarkan grafik di atas, terlihat pula bahwa skor rata-rata kemampuan

memecahkan masalah pada peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran

problem posing lebih tinggi dengan rentang skor yang cukup besar dibanding dengan
88

peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E dengan

rentang skor yang tidak jauh berbeda .

Setelah uji perbandingan secara keseluruhan menunjukkan perbedaan yang

signifikan, perbandingan diteruskan dengan membandingkan antar kelompok satu

per satu, dengan tujuan untuk mengetahui lebih jauh kelompok-kelompok mana saja

yang berbeda signifikan dan kelompok mana yang tidak berbeda signifikan. Uji ini

dikenal dengan uji lanjut. Uji lanjut yang dilakukan adalah uji Tukey, sebab seluruh

kelompok mempunyai jumlah sampel yang sama, sehingga perlu membandingkan

antara beda mean dengan beda kritik. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil

uji Tukey sebagai berikut:

Tabel IV. 28. Tabel Ringkasan Rata-Rata Kemampuan Memecahkan Masalah


Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar

Data A1B1 A1B2 A2B1 A2B2


𝑋̅ 19,1 19,0 24,8 19,4
N 10 10 10 10

Menentukan Nilai SR

𝑆𝑅 = 𝑞(0,05)(4)(36) = 3,81 (hasil interpolasi tabel)

Sehingga,
𝑅𝐽𝐾 (𝐷𝐾) 7,636
𝐵𝑒𝑑𝑎 𝐾𝑟𝑖𝑡𝑖𝑘 = 𝑆𝑅√ = 3,81√ = 3,33
𝑛̃ 10

Sehingga, perbandingan beda mean dengan beda kritik antar kelompok

diperlihatkan pada tabel berikut:


89

Tabel IV. 29. Tabel Ringkasan Beda Mean dan Beda Kritik Kemampuan
Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar

Beda Mean Beda Mean Beda Kritik Keterangan


𝑋 A2B2 dan 𝑋 A1B1 0,3 3,33 Tidak Signifikan
𝑋 A2B2 dan 𝑋 A1B2 0,4** 3,33 Tidak Signifikan
𝑋 A1B1 dan 𝑋 A1B2 0,1 3,33 Tidak Signifikan
𝑋 A2B1 dan 𝑋 A2B2 5,4 3,33 Signifikan
𝑋 A2B1 dan 𝑋 A1B1 5,7* 3,33 Signifikan
𝑋 A2B1 dan 𝑋 A1B2 5,8 3,33 Tidak Signifikan

Berdasarkan data tersebut diperoleh jawaban dari rumusan hipotesis yang telah

diajukan sebelumnya bahwa (1) Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan

memecahkan masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang

diajar dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan

menggunakan model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik

yang memiliki pengetahuan awal tinggi. Dalam hal ini Beda Mean > Beda Kritik

maka dapat disimpulkan bahwa pada kelompok peserta didik yang memiliki

pengetahuan awal tinggi, rata-rata kemampuan memecahkan masalah fisika pada

kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran

learning cycle 5E lebih tinggi daripada kelompok peserta didik yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran problem posing, dan perbedaan itu signifikan.

(2) Terdapat perbedaan yang tidak signifikan kemampuan memecahkan masalah

antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model

pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang memiliki

pengetahuan awal rendah, dalam hal ini Beda Mean < Beda Kritik maka dapat

disimpulkan pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah,
90

rata-rata kemampuan memecahkan masalah fisika pada kelompok peserta didik yang

diajar dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E lebih rendah

daripada kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan model

pembelajaran problem posing, namun perbedaan itu tidak signifikan.

B. Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran

problem posing dalam pembelajaran fisika peserta didik kelas XI IPA1 dan learning

cycle 5E dalam pembelajaran fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model

Makassar. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian eksperimen

sesungguhnya dengan desain faktorial dengan level berbeda, sehingga peneliti perlu

mengadakan pre-test untuk melihat kesamaan varians (homogenitas) kelas yang akan

diajar. Apabila dianggap kedua kelas memiliki kemampuan yang sama sebelum

diberikan perlakuan atau seimbang, maka dapat diberi perlakuan kepada peserta

didik pada dua kelas tersebut berupa model pembelajaran yang berbeda dengan

mengelompokkan masing-masing peserta didik di dalam kelas tersebut berdasarkan

pengetahuan awalnya (tinggi dan rendah), kemudian mengadakan pos-test. Perlakuan

yang dilakukan berupa model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing.

Pada penelitian ini, model pembelajaran problem posing diterapkan di kelas XI IPA1

dan model pembelajaran learning cycle 5E diterapkan di kelas XI IPA3 dalam upaya

melihat kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.

Pada tes akhir diberikan tes berupa instrumen tes uraian sebanyak 6 butir soal terdiri

atas 5 pertanyaan untuk tiap butir soal. Dalam proses pembelajaran, seluruh peserta

didik memperoleh kesempatan untuk mengikuti pre-test, mendapat perlakuan berupa


91

penerapan model pembelajaran, dan pos-test. Namun, dalam keperluan analisis data,

peneliti mengelompokkan peserta didik menjadi kelompok peserta didik yang

memiliki pengetahuan awal tinggi dan rendah pada masing-masing kelas yaitu

sebanyak 27% dari jumlah seluruh peserta didik di kelas tersebut yaitu sebanyak 10

orang untuk masing-masing kelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada tes

pengetahuan awal sebelum peserta didik diberikan perlakuan, dengan memberikan

32 item soal, yang sebelumnya telah divalidasi terlebih dahulu dari 45 butir soal.

Diketahui bahwa jika jumlah peserta didik sebanyak 38 orang, daftar tabel r

menunjukkan r-tabel sebesar 0,32. Sehingga soal dikatakan valid apabila 𝛾𝑝𝑏𝑖 lebih

besar dari 0,32. Adapun untuk tes kemampuan memecahkan masalah, diberikan

sebelum perlakuan maupun setelah perlakuan berjumlah 6 butir soal yang

sebelumnya divalidasi dari 8 butir soal yang disediakan. Setelah instrumen tes

tersebut diberikan kepada peserta didik, baik tes pengetahuan awal maupun

kemampuan memecahkan masalah tersebut dianalisis secara deskriptif dan

inferensial. Berdasarkan analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik, diperoleh

informasi bahwa skor rata-rata pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 lebih

tinggi daripada skor rata-rata pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3. Dari

hasil tes kemampuan memecahkan masalah, diperoleh informasi bahwa skor rata-rata

peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model pembelajaran problem posing

lebih tinggi daripada skor rata-rata peserta didik kelas XI IPA3 yang diajar dengan

model pembelajaran learning cycle 5E.


92

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, terlihat bahwa keempat hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan sebab telah menolak

hipotesis nol. Adapun rincian analisis tersebut dirangkum sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan hasil anava dua jalur, terlihat bahwa Ho ditolak dan Ha

diterima, artinya secara keseluruhan terdapat perbedaan kemampuan memecahkan

masalah pada kelompok peserta didik kelas XI MAN 2 Model Makassar yang diajar

dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing.

Secara keseluruhan, skor rata-rata kemampuan memecahkan masalah

kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E

adalah 38,1 dan skor rata-rata kelompok peserta didik yang diajar dengan model

pembelajaran problem posing 44,2, sehingga secara keseluruhan kemampuan

memecahkan masalah peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran problem

posing lebih tinggi daripada peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran

learning cycle 5E. Hal tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran problem

posing lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah peserta

didik daripada model pembelajaran learning cycle 5E. Pada dasarnya problem posing

merupakan model pembelajaran yang melatih peserta didik dalam pengajuan soal

untuk dicari tahu kebenarannya, sehingga peserta didik dilatih untuk memperkuat

dan memperkaya konsep-konsep dasar fisika. Sebagaimana diungkapkan oleh

Suyitno (2004: 7-8) kekuatan-kekuatan model pembelajaran problem posing antara

lain memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-

konsep dasar, yang diharapkan mampu melatih peserta didik dalam meningkatkan
93

kemampuan dalam belajar, dan orientasi pembelajaran adalah investigasi dan

penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Berdasarkan uraian

tersebut, terlihat bahwa benar adanya jika kelas XI IPA1 layak memiliki skor

kemampuan memecahkan masalah yang baik, selain juga ada faktor pengetahuan

awal yang mereka miliki lebih baik. Melalui pembelajaran problem posing, peserta

didik mampu menjawab berbagai permasalahan fisika yang diberikan baik berupa

konsep dasar maupun perhitungan fisika, sekaligus mengajukan soal atau pertanyaan

yang tidak mampu dipecahkan oleh peserta didik, yang akan dibagi kepada peserta

didik yang lain, sehingga timbul keinginan untuk mencari tahu lebih banyak lagi

informasi mengenai hal tersebut. Peneliti pun melihat bahwa peserta didik kelas XI

IPA1 lebih menyukai cara belajar dengan cara mereka berkompetisi untuk mencari

informasi tersebut secara mandiri melalui bahan ajar yang mereka miliki, dibanding

jika harus langsung dijelaskan ataupun diberi praktikum.

Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Parlan, dkk (2005) yang menyatakan

bahwa hasil belajar terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi verbal

antar siswa yang didukung ketergantungan positif antar anggota kelompok. Tujuan

lain penerapan problem posing adalah menjadikan siswa kritis dalam menyelesaikan

soal fisika, membimbing siswa agar mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya

dengan kritis, tanggap dan mampu mempertimbangkan segala aspek untuk

menentukan keputusan sebijak mungkin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh Kusumawati (2008) yang menyimpulkan bahwa penerapan

model problem posing akan meningkatkan kemampuan berfikir (thinking skill)


94

siswa, selain itu juga didukung oleh hasil penelitian Umi (2008) yang menunjukkan

dengan model pembelajaran problem posing mampu meningkatkan social skill siswa.

Dari uraian di atas, tampak bahwa keterlibatan peserta didik untuk turut

belajar dengan cara menerapkan model pembelajaran problem posing merupakan

salah satu indikator keefektifan belajar. Peserta didik tidak hanya menerima saja

materi dari guru, melainkan peserta didik juga berusaha menggali dan

mengembangkan sendiri. Hasil belajar tidak hanya menghasilkan peningkatan

pengetahuan tetapi juga meningkatkan keterampilan berpikir termasuk kemampuan

peserta didik dalam memecahkan masalah. Kemampuan peserta didik untuk

mengerjakan soal-soal sejenis uraian perlu dilatih, agar penerapan model

pembelajaran problem posing dapat optimal. Kemampuan tersebut akan tampak

dengan jelas bila peserta didik mampu mengajukan soal-soal secara mandiri maupun

berkelompok. Problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang strategis.

Peserta didik harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara mendetil.

Hal tersebut akan dicapai jika peserta didik memperkaya khazanah pengetahuannya

tak hanya dari guru melainkan perlu belajar secara mandiri. Kemampuan peserta

didik untuk mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi melalui kemampuannya untuk

menjelaskan penyelesaian soal yang diajukannya di depan kelas. Dengan penerapan

model pembelajaran problem posing dapat melatih peserta didik belajar kreatif,

disiplin, dan meningkatkan keterampilan berpikir peserta didik.

Silver, et all. (1996) dalam penelitiannya memperoleh hasil yang sama bahwa

peserta didik memiliki motivasi yang jauh lebih besar untuk memecahkan masalah

jika peserta didik mampu mengajukan masalah tersebut sendiri dibandingkan dengan
95

mengajukannya melalui melihat suatu sumber, terdapat keuntungan belajar jika

peserta didik berkesempatan untuk mengajukan sendiri masalah, bilamana ingin

mempermudah hal yang akan dilakukan. Selain itu, ditemukan keterkaitan yang

kompleks antara pengajuan masalah dengan kemampuan memecahkan masalah.

Meskipun di dalam penelitian ini diperoleh data bahwa kemampuan

memecahkan masalah peserta didik lebih tinggi jika diajar dengan model

pembelajaran pembelajaran problem posing, namun dalam pelaksanaannya kedua

model pembelajaran ini telah mampu meningkatkan kemampuan memecahkan

masalah fisika peserta didik, karena pada dasarnya kedua model pembelajaran ini

merupakan pembelajaran berbasis konstruktivisme atau membantu peserta didik

dalam mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri melalui pengalaman yang

diperoleh. Hasil temuan ini diperkuat dengan teori yang diungkapkan oleh Wena

(2010: 173) menyatakan bahwa tahapan dalam strategi pembelajaran bersiklus

dimulai dari tahap pembangkitan minat hingga tahap evaluasi, diharapkan peserta

didik tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk

menggali, menganalisis, mengevaluasi pemahamannya terhadap konsep fisika yang

dipelajari. Perbedaan mendasar antara model pembelajaran siklus belajar dengan

pembelajaran konvensional adalah guru lebih banyak bertanya daripada member

tahu. Misalnya, pada waktu akan melakukan eksperimen terhadap suatu

permasalahan, guru tidak memberi petunjuk langkah-langkah yang harus dilakukan

peserta didik, tetapi guru mengajukan pertanyaan penuntun tentang apa yang akan

dilakukan peserta didik, apa alasan peserta didik merencanakan atau memutuskan
96

perlakukan yang demikian. Dengan demikian, kemampuan analisis, evaluatif, dan

argumentatif peserta didik dapat berkembang dan meningkat secara signifikan.

Senada dengan hal tersebut di atas, Tuna (2013) menyatakan bahwa model

pembelajaran bersiklus 5E memotivasi siswa melalui beberapa tahapan pembelajaran

yang melatih eksplorasi dalam mengkonstruksi pengalaman siswa kemudian

mengevaluasinya. Learning cycle 5E merupakan model pembelajaran konstruktivis

berbasis penemuan di dalam kelas. Peserta didik harus berpikir kreatif dan kompleks

untuk mengatasi masalah dan kesulitan dan sebagai hasilnya, mereka

harus berpikir secara integratif dalam rangka untuk menyatukan pikiran mereka.

Situasi ini hanya dapat terjadi ketika peserta didik memiliki keterampilan berpikir

tingkat tinggi, salah satunya adalah keterampilan memecahkan masalah.

Berdasarkan uji anava dua jalur juga terlihat bahwa peserta didik yang

memiliki pengetahuan awal tinggi lebih unggul dalam memecahkan masalah peserta

didik daripada peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah. Pada dasarnya

pengetahuan awal memiliki peran yang sangat besar dalam pengkonstruksian

pengetahuan peserta didik terhadap informasi baru yang diberikan kepadanya.

Pengetahuan awal peserta didik dapat diketahui dengan pemberian tes kepada peserta

didik mengenai materi yang akan dibahas. Tentunya, saat merancang tes tersebut,

terlebih dahulu guru mengidentifikasi pengetahuan prasyarat atau keterampilan

prasyarat apa yang diperlukan untuk pembelajaran yang akan dilakukan. Perlunya

pengetahuan awal dalam pembelajaran sebab peserta didik sering kali mengalami

kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu. Salah satu penyebabnya


97

adalah pengetahuan baru yang diterima tidak terjadi hubungan dengan pengetahuan

yang sebelumnya.

Pengetahuan awal merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan

yang dibawa oleh peserta didik ke dalam proses pembelajaran. Gagasan peserta didik

merupakan pengetahuan pribadi yang dibangun melalui proses informal dalam proses

memahami pengalaman sehari-hari. Belajar bukan dipandang sebagai transmisi

informasi atau pengisian bejana kosong, tetapi lebih sebagai suatu proses

pengkonstruksian aktif pada basis konsepsi-konsepsi yang telah ada yaitu berupa

pengetahuan awal. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh peserta didik sering

mengalami pemahaman konsep yang salah. Perubahan pengetahuan awal menjadi

konsepsi ilmiah yang diartikulasikan sebagai alternatif perolehan belajar diisukan

relatif sulit diwujudkan melalui pembelajaran konvensional.

Pengetahuan awal dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung

terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat

mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil belajar yang lebih baik.

Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi-

materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar dan

pembelajaran. Pengetahuan awal peserta didik pada umumnya bersifat resisten,

dalam arti bahwa gagasan-gagasan tersebut cukup sulit untuk diubah dalam proses

pembelajaran.

Salah satu faktor yang mempengaruhi belajar adalah pengetahuan awal

peserta didik. Proses belajar bermakna akan terjadi jika peserta didik mampu

mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat pada
98

struktur kognitif peserta didik. Pengetahuan awal antara masing- masing peserta

didik mempunyai perbedaan, hal ini disebabkan setiap peserta didik mempunyai

tingkat kecerdasan yang berbeda. Pengetahuan awal atau entry behavior bisa

diartikan dengan readines (kesiapan). Readines tersebut adalah keadaan kapasitas

peserta didik secara memadai dalam hubungannya dengan tujuan pembelajaran.

Kegiatan belajar mengajar perlu penyediaan pengalaman belajar yang

dikaitkan dengan pengetahuan awal peserta didik sambil memperluas dan

menunjukan keterbukaan pada cara pandang. Setiap peserta didik pasti memiliki

prakonsep/ konsep awal tentang segala sesuatu yang akan dipelajari. Peserta didik

berpeluang untuk mencapai kempetensi secara maksimal sesuai dengan tingkat

kemampuan yang dimiliki.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam pikiran seseorang ada struktur

pengetahuan awal (skemata). Setiap skemata berperan sebagai suatu filter dan

fasilitator bagi ide-ide dan pengalaman yang baru. Skema mengatur,

mengkoordinasi, dan mengintensifkan prinsip-prinsip dasar melalui kontak dengan

pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses

asimilasi. Bila pengalaman baru itu masih berkesesuaian dengan skema yang

dipunyai seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi.

Bila pengalaman baru sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema

yang alam tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman, skema yang lama diubah

sampai ada keseimbangan lagi.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Ross A Thompson (2004) menyatakan

bahwa bagaimanapun, jika pengetahuan awal tidak baik, tidak lengkap, dan tidak
99

jelas itu dapat menghalangi diterimanya informasi baru dalam belajar. Selain itu,

ditemukan bahwa sangat penting untuk memperhatikan pengetahuan awal peserta

didik dalam kesuksesan pembelajaran meskipun peserta didik memiliki nilai

semester awal yang tidak memuaskan. Sebab pengetahuan awal dapat menjadi

fasilitas belajar sehingga dapat dijadikan dasar diperolehnya pengetahuan baru, serta

mempengaruhi pemahaman peserta didik. Suatu saat nanti, hasil pembelajaran

memperlihatkan peningkatan nilai semester saat ujian. Dengan kata lain, jika guru

memperhatikan pengetahuan awal peserta didik, tidak menutup kemungkinan peserta

didik akan mengalami peningkatan prestasi belajar.

Kedua, Ho ditolak, artinya terdapat interaksi antara model pembelajaran

learning cycle 5E dan problem posing dengan pengetahuan awal dalam

mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model

Makassar.

Dari hasil analisis data, diperoleh bahwa kemampuan memecahkan masalah

fisika peserta didik kelas XI IPA MAN 2 Model Makassar setelah diajar

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing mengalami

peningkatan sebelum dan setelah diberikan perlakuan yang diperlihatkan oleh . Hal

ini menunjukkan bahwa setelah diajar dengan model pembelajaran tersebut,

kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah fisika menjadi lebih baik,

terkhusus dalam pokok bahasan fluida. Dari hasil pengamatan peneliti, hal ini dapat

terjadi karena kedua model pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran berbasis

kontruktivisme, di mana pembelajaran ini menekankan pada peran aktif peserta didik

dalam membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan


100

peristiwa yang dialami. Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara

pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki

sebelumnya (pengetahuan awal). Individu dapat dikatakan telah menempuh proses

belajar apabila ia telah membangun atau mengkonstruksi pengetahuan baru dengan

cara melakukan penafsiran atau interprestasi baru terhadap lingkungan sosial,

budaya, fisik, dan intelektual tempat mereka hidup

Satu prinsip yang paling penting dalam psikolog pendidikan adalah bahwa

guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta

didik harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat

memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan peserta didik

untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar peserta

didik menjadi sadar dan secara menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.

Guru dapat memberi peserta didik anak tangga yang membawa peserta didik ke

pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta didik sendiri yang harus

memanjat anak tangga tersebut (Trianto, 2009: 28).

Dengan demikian, peserta didik yang dulunya belum mampu mengeksplorasi

kemampuan mereka, saat diterapkan kedua model pembelajaran tersebut, peserta

didik mau dan mampu untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri

sehingga pengalaman ini membuat peserta didik mudah untuk memahami

pembelajaran, baik bagi peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi dan

rendah. Hal ini dapat berarti kedua model pembelajaran yang diterapkan kepada

peserta didik memberikan konstribusi yang berarti terhadap kemampuan


101

memecahkan masalah peserta didik, jika dilihat dari pengetahuan awal yang mereka

miliki (ada interaksi antar variabel).

Adanya interaksi antara dua model pembelajaran tersebut bersama

pengetahuan awal peserta didik diperkuat dengan beberapa pendapat bahwa Tuna

(2013) menyatakan bahwa model pembelajaran bersiklus tipe 5E memotivasi siswa

untuk berpikir kreatif dan kompleks untuk mengatasi masalah dan kesulitan dan

sebagai hasilnya, mereka harus berpikir secara integratif dalam rangka untuk

menyatukan pikiran mereka. Situasi ini hanya dapat terjadi ketika peserta didik

memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi, salah satunya adalah keterampilan

memecahkan masalah. Begitupula dengan pernyataan Leung (2013) mengenai

problem posing bahwa model pembelajaran ini memiliki karakteristik yaitu memiliki

keunikan, di mana peserta didik memberikan dan mengajukan masalah yang

ditemukan secara mandiri; peserta didik mengajukan soal dengan nalar yang masuk

akal; pengajuan soal dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah memecahkan

masalah; serta soal yang diajukan tidak dapat dipecahkan maka dapat dijawab secara

bersama. Dengan menerapkan kedua model pembelajaran tersebut, dengan selalu

memperhatikan pengetahuan awal siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan baru

yang akan dibangun, maka terlihat jelas bahwa terdapat interaksi berupa pengaruh

model pembelajaran dan pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan

masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.

Untuk rumusan masalah ketiga dan keempat menggambarkan besarnya

perbedaan yang telah dikemukakan pada rumusan masalah pertama, yang diketahui

melalui uji lanjut Tukey.


102

Ketiga, terlihat bahwa setelah diberikan tes kemampuan memecahkan

masalah, skor rata-rata kelompok peserta didik yang diajar dengan model

pembelajaran problem posing lebih tinggi dibanding kelompok peserta didik yang

yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E, meskipun keduanya

memiliki pengetahual awal yang sama (tinggi). Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya mengenai penerapan model pembelajaran, ternyata model pembelajaran

problem posing lebih efektif dalam membantu peserta didik mengkonstruksi

pengetahuan yang dimiliki secara mandiri melalui pengajuan soal dan diorientasikan

pada melatih peserta didik dalam mencari tahu informasi dalam memecahkan suatu

masalah. Orientasi pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran learning

cycle 5E pada dasarnya juga melatih peserta didik dalam memecahkan masalah

namun dengan cara yang berbeda yaitu melalui eksplorasi konsep dan eksperimen.

Perbedaan ini terlihat signifikan sebab perbedaan skor rata-rata kedua kelompok

tersebut adalah 5,7.

Keempat, terlihat bahwa setelah diberikan tes kemampuan memecahkan

masalah, skor rata-rata kelompok peserta didik yang diajar dengan model

pembelajaran problem posing lebih tinggi dibanding kelompok peserta didik yang

yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E, meskipun keduanya

memiliki pengetahual awal yang sama (rendah). Hasil ini menunjukkan keefektifan

model pembelajaran problem posing meskipun peserta didik memiliki pengetahuan

awal rendah. Meskipun perbedaan ini terlihat tidak signifikan sebab perbedaan skor

rata-rata kedua kelompok tersebut adalah 0,4.


103

Selain keempat fakta tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

umumnya responden mempunyai karakteristik yang khas, yaitu tidak mampu

memberikan jawaban secara lengkap dan benar untuk butir-butir soal yang diberikan.

Hasil ini tercermin dari cara responden dalam menyelesaikan soal-soal tes. Hal ini

menunjukkan bahwa secara umum responden lemah dalam menyelesaikan soal-soal

dan tidak mampu memberikan jawaban yang sistematik untuk tes kemampuan

memecahkan masalah.

Pada umumnya responden tidak mampu memberikan jawaban yang benar dan

lengkap. Hal ini dapat diartikan bahwa secara umum responden lemah dalam

memecahkan masalah fisika. Rendahnya skor rata-rata untuk masing-masing

indikator dalam tes memecahkan masalah fisika menunjukkan bahwa responden: (1)

lemah dalam memahami permasalahan, (2) lemah dalam mengorganisasi data dan

memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah, (3) lemah dalam

menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk, (4) lemah dalam

memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah yang tepat, (5) lemah dalam

mengembangkan strategi pemecahan masalah, (6) lemah dalam membuat dan

menafsirkan model fisika dari suatu masalah dan (7) lemah dalam menyelesaikan

masalah yang tidak rutin. Kelemahan responden dalam menunjukkan pemahaman

masalah, menyajikan masalah secara matematik, memilih pendekatan dan metode

pemecahan masalah dapat diartikan bahwa responden lemah dalam berpikir kritis

dan kreatif (Krulik dan Rudnick, 1995). Kemampuan memecahkan masalah fisika

dapat dipandang sebagai pencerminan kemampuan profesional guru pula dalam

menyajikan pembelajaran.
104

Kemampuan pemecahan masalah fisika berbeda-beda untuk setiap anak didik.

Pembahasan mengenai pemecahan masalah tentu tidak terlepas dari pengertian

masalah itu sendiri. Suatu situasi tertentu dapat merupakan masalah bagi orang

tertentu, tetapi belum tentu merupakan masalah bagi orang lain. Dengan kata lain,

suatu situasi mungkin merupakan masalah seseorang pada saat yang berbeda. Untuk

memahami kemampuan pemecahan masalah (problem solving) fisika dengan tepat,

diperlukan pemahaman ketiga istilah berikut, yakni problem, adalah suatu gap antara

dua pengertian seseorang yang tidak tahu cara mengatasinya. Salah satu masalah

dalam pengajaran di kelas dapat diartikan dengan soal, yang dalam penyelesaiannya

tidak dapat dilakukan dengan ”recall” saja, tetapi harus melalui analisa dan

penalaran. Solving a problem, adalah menemukan suatu jalan untuk menutup gap

yang ada. Dengan kata lain menemukan jalan untuk mengatasi masalah yang

dihadapi. Sedangkan Problem Solving, adalah suatu proses dimana peserta didik

menemukan kombinasi dan aturan-aturan yang telah dipelajari sebelumnya yang

dapat dipakai untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Pemecahan masalah dalam pembelajaran fisika merupakan pendekatan dan

tujuan yang harus dicapai, untuk menemukan dan memahami materi atau konsep

fisika. Sedangkan tujuan, diharapkan agar peserta didik dapat mengidentifikasi unsur

yang diketahui, ditanyakan atau kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan

masalah dari situasi sehari-hari dalam fisika, menerapkan strategi untuk

menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar fisika,

menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusul

model fisika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan fisika
105

secara bermakna (meaningfull). Sebagai implikasinya maka kemampuan pemecahan

masalah hendaknya dimiliki oleh semua anak yang belajar fisika.

Pemecahan masalah merupakan proses penerimaan masalah sebagai

tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai macam pandangan

tentang pemecahan masalah, dapat ditarik benang merah persamaannya bahwa

pemecahan masalah sebagai tujuan inti dan utama dalam kurikulum fisika, berarti

dalam pembelajaran fisika, lebih mengutamakan proses peserta didik menyelesaikan

suatu masalah dari pada sekedar hasil, sehingga kemampuan pemecahan masalah

dijadikan sebagai kemampuan mendasar yang harus dimiliki peserta didik dalam

belajar fisika. Walaupun tidak mudah untuk mencapainya, akan tetapi karena

kepentingan dan kegunaannya maka kemampuan pemecahan masalah hendaknya

diajarkan kepada peserta didik semua tingkatan. Sebagaimana diungkapkan oleh

Pinter (2012) bahwa keterampilan memecahkan masalah pada peserta didik perlu

dikembangkan dan dimasukkan dalam seluruh mata pelajaran secara terintegrasi, jika

tidak cukup alokasi waktu dapat disediakan secara eksplisit. Sebaiknya keterampilan

memecahkan masalah telah diajarkan pada peserta didik tingkat dasar. Aspek penting

yang perlu diketahui adalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan

belajar penemuan, di mana butuh peran penting seorang guru. Kurikulum yang baik

dapat juga mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, misalnya

diterapkan dalam unit pelajaran tertentu, sehingga dapat melatih kemampuan peserta

didik ke arah positif melalui pertanyaan dan pengajuan masalah.


106

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran yang diterapkan dan

pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan masalah peserta didik kelas XI

IPA MAN 2 Model Makassar yang diperlihatkan beberapa faktor, sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan, terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah

pada kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing.

2. Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan

problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi

kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.

3. Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan memecahkan masalah

antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan

model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang

memiliki pengetahuan awal tinggi.

4. Terdapat perbedaan yang tidak signifikan kemampuan memecahkan

masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar

dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan

106
107

menggunakan model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta

didik yang memiliki pengetahuan awal rendah.

B. Saran

Melalui penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Jika dilihat dari segi kegunaannya, maka kemampuan memecahkan masalah

peserta didik dalam pembelajaran fisika juga perlu untuk diajarkan,

meskipun tidak mudah dalam pencapaiannya.

2. Diharapkan guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar memahami kondisi

peserta didik, dalam hal ini memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki

sebelum memberikan pengetahuan baru, agar pengetahuan dapat

dikonstruksi dengan baik.

3. Sebaiknya guru menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan

akhir yang ingin dicapai, jika kemampuan memecahkan masalah yang ingin

dicapai maka selayaknya dpilih model pembelajaran yang berorientasi

kepada tujuan tersebut.

4. Pemilihan dan pengujian instrumen perlu dicermati lebih dalam lagi agar

penelitian dengan objek dan tujuan yang ingin dicapai bisa menghasilkan

output yang jauh lebih baik.


108

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Sidin dan Khaeruddin. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit
UNM

Anderson dan Krathwohl. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,


Pengajara n, dan Asesmen, Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Carson, Jamin. 2007. A Problem with Problem Solving: Teaching Thinking without
Teaching Knowledge. Jurnal. East Carolina University

Dasianto. 2008. Pembelajaran dengan problem posing, Tersedia di


http://dasianto.blogspot.com/2008/09/pembelajaran-dengan-problem-
posing.html, Diakses 18 september 2012

Djaali. 1984. Pengaruh Kebiasaan Belajar, Sikap, Kemampuan Dasar dan Proses
Belajar Mengajar terhadap Prestasi Belajar Fisika pada SMA di Kotamadya
Ujung Pandang. Disertasi. Pascasarjana Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan: Jakarta

Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya:
Usaha Nasional

Ellis, A. K. 2005. Research on Educational Innovations. Larchmont, NY: Eye on


Education

Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan


Masalah Matematik Siswa SMP Melalui Strategi REACT. Jurnal Forum
Kependidikan Volume 30 Nomor 1. Bandung

Haling, Abdul. 2007. Belajar dan Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit UNM

Hamalik, Oemar. 2012. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

Irianto, Agus. 2010. Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi, dan Pengembangannya.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Jauhar, Muhammad. 2011. Implementasi PAIKEM dari Behavioristik sampai


Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
109

Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1995. For Better Problem Solving and Reasoning.
Arithmetic Teacher. Boston: (334-338)

Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1987. Problem Solving: A Handbook for Teachers.
Boston: Allyn and Bacon

Lawshe, C.H. (1975). A Quantitative Approach to Content Validity. Chicago:


Personnel Psychology.

Leung Shukkwan S. 2013. Teachers Implementing Mathematical Problem Posing in


The Classroom: Challenges and strategies. Journal for Research in
Mathematics Education in China, 83: 103-116

Leung, Shuk-kwan S. 2001. The Integration of Problem-Posing Research into


Mathematics Teaching Case of Prospective and In-service Elementary School
Teacher. Tersedia di http://www.math.ntnu.edu.tw/~cyc/private/
mathedu/me1/me1_2001 /sksl .doc, Diakses 11 Juli 2007.

Parlan, A. & Suhartini, E. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


STAD dan Problem Posing secara Variatif untuk Meningkatkan Kualitas
Proses dan Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas II SMAN 9 Malang. Laporan
Penelitian. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang

Pinter, Klara. 2012. On Teaching mathematical Problem solving and Problem


Posing. PhD Thesis. Doctoral School in Mathematics and Computer Science
University of Szeged Faculty of Science and Informatics Bolyai Institute.
Szeged.

Pribadi, Benny. A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat

Purwanto. 2011. Statistika untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Silver Edward A, Mamona Downs Joanna, Leung Shukkwan S, and Kenney patricia
Ann. 1996. Posing Mathematical Problems in a Complex Task Environment:
An Exploratory Study. Journal for Research in Mathematics Education, 27 (3):
293-309

Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin


Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Sriastutik Ningtiyas, Kadim Masjkur, dan Sulur. 2012. Penerapan Model


Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
dan Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas X-5 SMA Brawijaya Smart School
Malang Pada Pokok Bahasan GLB dan GLBB. Jurnal. Jurusan Fisika FMIPA
Universitas Negeri Malang: Malang
110

Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,


dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sulastry Muhammad Syah, Yulia Fitri, Bainuddin Yani, Adlim, Tri Qurnati,
Nursalmi, Tasnim Idris, and Sabarni. 2011. Action Research on The
Implementation of Teaching for Active Learning at in Two Elementary
Madrasah in Aceh. Journal Exellence in Higher Education Volume 2 Number
2. Indonesia: pp 79 – 89

Surjadi. 2012. Membuat Peserta didik Aktif Belajar (73 Cara Belajar Mengajar
dalam Kelompok). Bandung: Penerbit Mandar Maju

Suyitno, Amin. 2004. Dasar-Dasar dan Proses Pembelajaran Fisika I. Semarang:


Universitas Negeri Semarang.

Taniredja, Tukiran, dkk. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Penerbit


Alfabeta: Bandung

Thompson Ross A and Zamboanga Byron L. 2004. Academic Aptitude and Prior
Knowledge as Predictors of Student Achievement in Introduction to
Psychology. Journal of Educational Psychology Volume 96 Number 4: 778-
784.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Bumi Aksara: Jakarta

Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group

Tuna Abdulkadir and Kacar Ahmet. 2013. The Effect of 5E Learning Cycle Model in
Teaching Trigonometry on Students Academic Achievement and the
permanence of their knowledge. International Journal on New Trends in
Education and Their Implications. Volume 4 Issue 1 Article 07. Turkey

Umi, F. 2008. Peningkatan Social Skill dan Prestasi Belajar Fisika dengan
Pembelajaran Model Problem Posing pada Pokok Bahasan Kalor di Kelas VIII-
E SMPN 20 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.

Wena, Made. 2012. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Suatu Tinjauan


Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai