Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana alam memiliki dampak signifikan pada kesehatan
masyarakat dan kesejahteraan populasi yang terkena dampak. Dampak
kesehatan negatif dapat langsung (mis, Cedera) atau tidak langsung (mis,
Kekurangan gizi dan peningkatan penyakit menular). Setelah bencana
alam, masalah kesehatan ini diperparah oleh kerusakan yang terjadi pada
sistem kesehatan, air dan infrastruktur sanitasi, dan perpindahan
masyarakat yang terkena dampak. Pemindahan cukup umum terjadi
setelah bencana alam besar karena meningkatnya tuna wisma. Pada
2014, Pusat Penelitian tentang Epidemiologi Bencana (CRED)
memperkirakan bahwa 1.298.848 orang kehilangan tempat tinggal karena
bencana alam. Segera setelah bencana, mayoritas populasi pengungsi
tinggal di tempat penampungan sementara yang padat dengan sedikit atau
tidak ada akses ke air dan makanan terutama selama beberapa hari
pertama. Kondisi hidup seperti itu sangat ideal untuk penyebaran penyakit
menular yang meningkatkan angka kesakitan dan kematian di antara
populasi pengungsi. Ada banyak penyakit menular yang diketahui
menyebar di lingkungan yang padat seperti penyakit diare, campak,
meningitis bakteri, penyakit pernapasan akut, malaria dan demam
berdarah, dan tetanus. Konsekuensinya, untuk menanggapi bencana
alam, petugas kesehatan masyarakat harus merawat cedera yang
memerlukan perhatian medis segera sambil juga menerapkan sistem
untuk mencegah dan mengurangi penyebaran penyakit menular
(sciencedirect, 2017).

Bencana alam juga menyebabkan beban ekonomi yang sangat


besar. Dari tahun 2000 hingga 2009, bencana alam menyebabkan $ 891
miliar kerusakan di seluruh dunia (Kellet and Sparks, 2012). Tingginya
biaya bencana alam disebabkan oleh perusakan infrastruktur yang mahal
dan penting (mis. Jalan dan bangunan). Dalam hal kerugian kesehatan dan
ekonomi, negara-negara berpenghasilan rendah secara tidak proporsional
dipengaruhi oleh bencana alam. Meskipun negara-negara berpenghasilan
tinggi memiliki kerusakan industri yang lebih tinggi ketika bencana alam
terjadi, proporsi kerugian terkait dengan produk nasional bruto
menunjukkan beban keuangan yang lebih tinggi untuk negara-negara
berpenghasilan rendah (McDermott et al., 2011). Hal ini meningkatkan
ketergantungan bantuan asing untuk negara-negara berpenghasilan
rendah karena mereka membutuhkan dana tambahan untuk upaya
rekonstruksi dan pemulihan ekonomi. Tantangan-tantangan ini
menggambarkan perlunya mengaitkan upaya tanggap darurat bencana
dengan proyek pembangunan jangka panjang untuk mempertahankan
pemulihan (sciencedirect, 2017).

Indonesia adalah negara yang mengandung gunung berapi paling


aktif dari semua negara di dunia. Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan
Lempeng Indo-Australia adalah tiga lempeng tektonik aktif yang
menyebabkan zona subduksi yang membentuk gunung berapi ini.
Indonesia diperkirakan memiliki 129 gunung berapi, semuanya diamati
dengan cermat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(Geologi), karena sejumlah gunung berapi Indonesia menunjukkan
aktivitas yang berkelanjutan. Selain itu, diperkirakan lebih dari lima juta
orang hidup (dan / atau bekerja) dalam "zona bahaya" gunung berapi (yang
perlu segera dievakuasi jika aktivitas meningkat secara signifikan).
Setidaknya ada satu letusan gunung berapi yang signifikan di Indonesia
setiap tahun. Namun, biasanya itu tidak menyebabkan kerusakan besar
pada lingkungan atau menyebabkan korban jiwa karena sebagian besar
gunung berapi aktif terletak di daerah terpencil. Beberapa letusan gunung
berapi terkemuka dalam sejarah modern Indonesia tercantum di bawah ini.
Daftar ini hanya berisi letusan besar yang menyebabkan setidaknya 20
kematian (.indonesia-investments, 2018).

Karena terletak di Cincin Api Pasifik (daerah dengan tingkat aktivitas


tektonik yang tinggi), Indonesia harus menghadapi risiko letusan gunung
berapi, gempa bumi, banjir, dan tsunami. Dalam beberapa kesempatan
selama 20 tahun terakhir, Indonesia telah menjadi berita utama global
karena bencana alam yang menghancurkan yang mengakibatkan
kematian ratusan ribu nyawa manusia dan hewan, ditambah memiliki efek
merusak pada area daratan (termasuk infrastruktur, dan dengan demikian
mengakibatkan dalam biaya ekonomi). Sementara itu, musim hujan atau
kemarau yang ekstrem (fenomena cuaca El Nino atau La Nina) dapat
merusak panen tanaman pangan, memicu inflasi, dan memberikan
tekanan finansial yang parah pada segmen penduduk Indonesia yang lebih
miskin. Terakhir, bencana alam buatan manusia (seperti kebakaran hutan
yang disebabkan oleh budaya tebang-bakar tradisional, khususnya di
pulau Sumatra dan Kalimantan) memiliki konsekuensi lingkungan yang
luas. Satu komentar penting adalah bahwa kondisi lemah dari beberapa
infrastruktur dan propertinya yang dapat menjadi hasil dari manajemen
yang salah, sumber daya keuangan yang terlalu terbatas, kurangnya
keterampilan atau korupsi pada kenyataannya memperburuk dampak
buruk dari bencana alam. Sementara itu, di pusat-pusat perkotaan
Indonesia, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan
dan Yogyakarta, ada kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Kondisi
infrastruktur dan properti yang lemah dikombinasikan dengan kepadatan
penduduk yang tinggi menyiratkan bahwa bencana alam di Indonesia
dapat menyebabkan lebih banyak korban daripada yang seharusnya
karena akan memerlukan kekuatan yang lebih kecil untuk membuat
bangunan runtuh (.indonesia-investments, 2018).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam laporan ini adalah untuk menentukan
penilaian risiko dalam bencana akan yang akan terjadi.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam laporan ini yaitu :
a. Untuk mengetahui penilaian resiko atau pemantauan kejadian
bencana alam
b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan bencana alam
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Keadaan Geografis
Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di
bagian Selatan Pulau Sulawesi yang dahulu disebut Ujung Pandang,
terletak antara 119º24’17’38” Bujur Timur dan 5º8’6’19” Lintang Selatan
yang berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Maros, sebelah Timur
Kabupaten Maros, sebelah selatan Kabupaten Gowa dan sebelah Barat
adalah Selat Makassar. Kota Makassar memiliki topografi dengan
kemiringan lahan 0-2°(datar) dan kemiringan lahan 3-15°
(bergelombang). Luas Wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km
persegi. Kota Makassar memiliki kondisi iklim sedang hingga tropis
memiliki suhu udara rata-rata berkisar antara 26,°C sampai dengan 29°C.
Kota Makassar adalah kota yang terletak dekat dengan pantai yang
membentang sepanjang koridor barat dan utara dan juga dikenal sebagai
“Waterfront City” yang didalamnya mengalir beberapa sungai (Sungai
Tallo, Sungai Jeneberang, dan Sungai Pampang) yang kesemuanya
bermuara ke dalam kota. Kota Makassar merupakan hamparan daratan
rendah yang berada pada ketinggian antara 0-25 meter dari permukaan
laut. Dari kondisi ini menyebabkan Kota Makassar sering mengalami
genangan air pada musim hujan, terutama pada saat turun hujan
bersamaan dengan naiknya air pasang.
Secara administrasi Kota Makassar dibagi menjadi 15 kecamatan
dengan 153 kelurahan. Di antara 15 kecamatan tersebut, ada tujuh
kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu Kecamatan Tamalate,
Kecamatan Mariso, Kecamatan Wajo, Kecamatan Ujung Tanah,
Kecamatan Tallo, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan
Biringkanaya.
Batas-batas administrasi Kota Makassar adalah:
1. Batas Utara: Kabupaten Maros
2. Batas Timur: Kabupaten Maros
3. Batas Selatan: Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar
4. Batas Barat: Selat Makassar
Secara umum topografi Kota Makassar dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu:
a. Bagian Barat ke arah Utara relatif rendah dekat dengan pesisir pantai.
b. Bagian Timur dengan keadaan topografi berbukit seperti di Kelurahan
Antang Kecamatan Panakukang.

Perkembangan fisik Kota Makassar cenderung mengarah ke bagian


Timur Kota. Hal ini terlihat dengan giatnya pembangunan perumahan di
Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, Mangggala, Panakkukang, dan
Rappocini.

B. Keadaan Demografi
Jumlah penduduk Sulawesi Selatan paling banyak berada di
Makasar dengan jumlah penduduk menembus 1,5 juta jiwa. Kemudian
disusul Gowa 760 ribu penduduk, Bone 754 ribu, Bulukumba 418 ribu,
Wajo 396 ribu, Pinrang 374 ribu, Jeneponto 361 ribu, Luwu 359 ribu,
Maros 349 ribu, Pangkep 332 ribu, Luwu Utara 310 ribu, Sidrap 299 ribu.
Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Sulawesi Selatan
terbaru tahun 2018 ini mencapai 8,7 juta jiwa. Jumlah penduduk itu
adalah gabungan akumulasi dari 24 kabupaten kota di Sulawesi
Selatan.
Jumlah penduduk Sulawesi Selatan paling banyak berada di
Makasar dengan jumlah penduduk menembus 1,5 juta jiwa. Kemudian
disusul Gowa 760 ribu penduduk, Bone 754 ribu, Bulukumba 418 ribu,
Wajo 396 ribu, Pinrang 374 ribu, Jeneponto 361 ribu, Luwu 359 ribu, Maros
349 ribu, Pangkep 332 ribu, Luwu Utara 310 ribu, Sidrap 299 ribu. Selanjutnya
Takalar 295 ribu, Luwu Timur 293 ribu, Sinjai 242 ribu, Tana Toraja 232 ribu,
Toraja Utara 229 ribu, Soppeng 226 ribu, Enrekang 204 ribu, Bantaeng 186
ribu, Palopo 180 ribu, Barru 173 ribu, Pare Pare 143 ribu, dan
terakhir Kepulauan Selayar 134 ribu.

Apabila merujuk pada data tahun 2015, penduduk di Sulsel didominasi


kelompok umur 0-4 tahun. Yakni sebesar 838 ribu. Disusul kelompok umur 5-
9 tahun 814 ribu. Kelompok umur paling sedikit di umur 60-64 tahun yaitu 255
ribu.
Dari segi jenis kelamin, perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki.
Yaitu laki-laki 4,16 juta. Sementara perempuan mencapai 4,35 juta.
Apabila dikaji dari kelompok umur 0-4 tahun, jumlah laki-laki lebih
banyak sekitar 17 ribu disbanding perempuan. Akan tetapi perempuan
umur 25 tahun ke atas jauh lebih banyak ketimbang lelaki di Sulsel.
C. Keadaan Ekonomi
Perekonomian Sulsel kuartal keempat 2018 tumbuh 6,47% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan Nasional 5,18% (yoy). Komponen konsumsi
rumah tangga dan investasi menjadi penahan perlambatan
perekonomian Sulsel di triwulan IV 2018. Secara lapangan usaha yang
terkait permintaan masyarakat saat HBKN seperti industri pengolahan,
informasi dan komunikasi, serta masih kuatnya perdagangan besar dan
eceran menjadi penopang pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2018.
Sementara itu, peningkatan akibat aktivitas masyarakat yang meningkat
pada Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) natal dan tahun baru,
serta libur sekolah.
Laju inflasi pada tahun 2018 tercatat 3,50% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan inflasi di triwulan III 2018 yang tercatat 3,09% (yoy). Namun
demikian, inflasi pada akhir tahun 2018 lebih rendah dibandingkan tahun
2017 yang tercatat 4,44% (yoy). Tekanan inflasi pada tahun 2018
didorong oleh kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang
terutama disebabkan oleh kenaikan tarif angkutan seiring dengan
meningkatnya permintaan jelang libur natal dan tahun baru yang
dibarengi libur anak sekolah.
Kondisi kesejahteraan di Sulsel membaik. Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) di Sulsel per Agustus 2018 tercatat 5,34%, lebih rendah
dibandingkan periode Agustus 2017 sebesar 5,61%. Jumlah maupun
persentase penduduk miskin di Sulsel hingga September 2018 juga
membaik dibandingkan dengan periode September 2017, baik penduduk
miskin di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Ketimpangan Sulsel juga
membaik pada September 2018, dengan gini ratio sebesar 0,388
dibandingkan September 2017 sebesar 0,429. Tingkat kesejahteraan
petani juga membaik, tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) tetap
berada diatas batas optimis (100).
Dengan perkembangan tersebut, perekonomian Sulsel pada triwulan
I 2019 diperkirakan tumbuh pada rentang 7,1 – 7,5% (yoy). Dengan
perkiraan pertumbuhan tersebut, maka pertumbuhan keseluruhan tahun
2019 akan berada pada rentang 7,2 – 7,6% (yoy) atau tidak ada koreksi
proyeksi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2019 diperkirakan
bersumber dari akselerasi konsumsi pemerintah dan investasi.
Sementara itu, pertumbuhan hingga akhir tahun 2019 didukung
akselerasi konsumsi rumah tangga dan investasi, serta deselerasi harga
komoditas yang menguntungkan bagi perdagangan luar negeri, dengan
direspon sisi lapangan usaha dengan peningkatan Lapangan Usaha
Pertanian, Industri, dan Perdagangan.
Inflasi pada tahun 2019 diperkirakan berada pada rentang sasaran
yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu 3,5+1% (yoy). Tekanan inflasi
diperkirakan bersumber dari bahan makanan sejalan dengan cuaca
ekstrim yang berpotensi menganggu produksi. Adapun pada kelompok
harga yang diatur pemerintah pada tahun 2019 diperkirakan lebih
terkendali sejalan dengan upaya pemerintah meredam isu kenaikan
harga tiket angkutan udara.
Ke depan, untuk mendorong Sulsel sebagai Pilar Utama
Pembangunan Nasional dan Simpul Jejaring Akselerasi Kesejahteraan
kawasan, beberapa kebijakan atau rekomendasi yang dapat dilakukan:
(1) Strategi diversifikasi ekspor yang mengarah pada negara non mitra
dagang utama. Hal ini diperlukan untuk memitigasi risiko perbaikan
ekonomi global yang tidak seperti perkiraan semula. Strategi tersebut
dapat diarahkan pada ekspor ke negera yang selama ini bukan pangsa
utama Sulsel seperti Timur Tengah dan Amerika Latin. Peluang ekspor
ke Timur Tengah dapat dioptimalkan melalui strategi mitra dagang “halal
food.” Indonesia yang merupakan mayoritas muslim memiliki
pengetahuan mumpuni mengenai manajemen produk halal yang dapat
dijadikan kekuatan dari branding produk ekspor Indonesia; (2)
Konsistensi reformasi struktural melalui penguatan industri agribisnis.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Sulsel menjadi lebih bernilai
tambah serta terus menekan angka kemiskinan maka pemerintah perlu
mengubah struktur ekonomi dari agrikultur (berbasis pertanian) menjadi
industri. Untuk tetap mempertahankan potensi ekonomi yang berbasis
agraris, pemerintah dapat fokus mengembangkan industri berbasis
agrikultur atau disebut agribisnis. Peningkatan nilai tambah hedaknya
diarahkan pada komoditas unggulan Sulsel seperti kakao, beras, kopi,
hingga ikan dan udang; (3) Memperluas program peremajaan tanaman
dan pemenuhan bibit berkualitas, penguatan kelembagaan komoditas
spesifik, dan monitoring pemenuhan standar kualitas komoditas; (4)
Mempersiapkan sekolah vokasi dan teknis kejuruan yang sesuai dengan
sektor yang menjadi potensi daerah; (5) Penguatan kelembagaan petani
dan peternak sehingga memiliki daya saing yang tinggi. Problematika
kelembagaan petani merupakan masalah pokok yang harus dimitigasi
melalui pembentukan badan usaha seperti koperasi. Dengan
kelembagaan petani, maka isu permodalan dan daya saing akan teratasi;
(6) Memantau secara berkala risiko terhadap pelaku korporasi dan rumah
tangga, yang didukung dengan hasil survei (SK, SKDU) dan liaison; (7)
Meningkatkan pembinaan UMKM dan penyediaan database/informasi
UMKM di daerah yang telah bankable, agar dapat ditindaklanjuti oleh
perbankan.
Selain menjaga pertumbuhan ekonomi untuk tetap tinggi, mitigasi
inflasi Sulsel dapat dilakukan melalui beberapa hal: (1) TPID di masing-
masing zona di Sulsel perlu menyusun Roadmap Pengendalian Inflasi di
tiap zona dengan mengacu kepada Roadmap Pengendalian Inflasi
Provinsi Sulsel. Roadmap di tiap zona ini sangat penting agar program
pengendalian inflasi di tiap zona lebih terpadu dengan pengendalian
inflasi yang dilakukan oleh TPID Provinsi; (2) Penguatan kerjasama antar
daerah perlu semakin ditingkatkan yang didasarkan pada data Sistem
Informasi Harga Pangan (SIGAP) di kabupaten/kota. Ke depan, data di
SIGAP diharapkan dapat memberikan informasi tentang data surplus-
defisit komoditas antar daerah; (3) Penggunaan bibit unggul yang tahan
cuaca buruk, pengaturan pola tanam serta manajemen persediaan
(termasuk penggunaan cold storage).
BAB III
PERENCAAN DAN PEANGGULANGAN BENCANA

Anda mungkin juga menyukai