A. Pengertian
Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat bahwa stres kerja memberikan
pengaruh yang sangat besar pada kondisi psikologis maupun fungsi fisiologisnya,
tetapi stres pada taraf tertentu dapat menjadi motivasi yang mendorong seseorang
untuk maju dan berkembang. Semua orang tidak akan bereaksi sama terhadap suatu
stressor karena respon seseorang terhadap stressor sangat dipengaruhi oleh ambang
stres yang dimilikinya dan beberapa faktor lainnya, lagi pula stres kerja sangat
mempengaruhi daya tahan tubuh karena ditentukan oleh jenis, lamanya dan frekuensi
stres yang dialami seseorang,
b. Sumber-sumber Stres kerja
Menurut Robbins (1996:224) sumber stres kerja yang potensial sebagai berikut:
Menurut Sutherland dan Cooper (dalam Smet; 1994:119) sumber stres kerja berasal
langsung dari pekerjaan dan interaksi antara lingkungan sosial dengan pekerjaan,
meliputi:
1. Stressor yang ada dalam pekerjaan itu sendiri. (contoh: beban kerja, fasilitas kerja
yang kurang, proses pengambilan keputusan yang lama)
2. Konflik peran, peran didalam kerja yang tidak jelas, tanggung jawab yang tidak
jelas.
3. Masalah dalam hubungan dengan orang lain. (contoh: hubungan dengan atasan,
rekan sejawat, dan pola hubungan atasan dengan bawahan)
4. Perkembangan karir: under/ over – promotion, dan keselamatan kerja.
5. Iklim dan struktur organisasi
6. Adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber stres kerja
berasal dari lingkungan yang meliputi: ketidakpastian politik, ekonomi, dan teknologi.
Organisasi meliputi: kekaburan peran dan konflik peran, kelebihan beban kerja,
struktur dan iklim organisasi, dan lain-lain. Individu meliputi: tuntutan keluarga,
masalah ekonomi pribadi, konflik sosial.
Gangguan stres biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan sering
kali tidak menyadari, menurut Robert (dalam Hawari; 1999:50) tahapan stres
dikemukakan sebagai berikut:
1. Stres tingkat pertama Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan dan
biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut: semangat besar,
penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, kemampuan menyelesaikan
pekerjaan lebih dari biasanya Tahapan ini biasanya menyenangkan sehingga orang
bertambah semangat tanpa disadari sebenarnya cadangan energinya sedang
menipis.
2. Stres tingkat kedua Dalam tahapan ini dampak stres yang menyenangkan sudah
mulai hilang, keluhan yang sering muncul adalah: merasa letih sewaktu bangun
pagi, merasa lelah setelah makan siang, merasa lelah menjelang sore hari,
terkadang muncul gangguan sistem pencernaan, perasaan tegang pada otot
punggung dan tengkuk, perasaan tidak bisa santai
3. Stres tingkat ketiga Tahapan ini keluhan keletihan mulai tampak disertai dengan
gejala-gejala: gangguan usus lebih terasa, otot lebih tegang, gangguan tidur,
perasaan tegang semakin meningkat, badan terasa goyang dan mau pingsan
4. Stres tingkat empat Tahapan ini menunjuk pada keadaan yang lebih buruk dengan
ciri: sulit untuk bertahan sepanjang hari, kegiatan yang semula menyenangkan kini
terasa sulit, kehilangan kemampuan untuk menanggapi, situasi, pergaulan sosial,
dan kegiatan-kegiatan lainya terasa berat, tidur semakin susah, perasaan
negativistik, kemampuan berkonsentrasi menurun tajam, perasaan takut yang tidak
dapat dijelaskan
5. Stres tingkat kelima Tahap ini lebih mendalam dari pada tahap keempat, yaitu:
keletihan yang mendalam, pekerjaan sederhana saja kurang mampu dikerjakan,
gangguan sistem pencernaan, perasaan yang mirip panik
6. Stres tingkat keenam Tahap ini merupakan keadaan gawat darurat tidak jarang
penderita dibawa ke ICCU, gejala tahap ini cukup mengerikan antara lain: debaran
jantung yang amat kuat, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin, keringat
bercucuran, dan pingsan.
Menurut Selye (dalam Hidayat; 1998:231) stres kerja dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu:
1. Tahap Alarm Stage, awal pengerahan dimana tubuh bertemu tantangan yang
ditimbulkan penekanan. Jika penekanan sudah dikenali, otak segera mengirim suatu
pesan biokimia keseluruh sistem dalam tubuh. Dengan tanda terjadinya dalam waktu
yang sangat singkat, mempunyai ketegangan yang tinggi, denyut jantung meningkat,
tekanan darah naik.
2. Tahap Resistance (perlawanan), bila stres terus berlangsung maka gejala yang semula
ada akan menghilang karena terjadi penyesuaian dengan lingkungan dan peningkatan
daya tahan terhadap stres.
3. Tahap Kolaps/Exhaustion (kehabisan tenaga), tubuh tidak mampu mengatasi stres
yang dialami, energi menurun dan terjadi kelelahan, akhirnya muncul gangguan
bahkan sampai kematian. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
tahapan stres kerja menunjukkan manifestasi di bidang fisik dan psikis, di bidang fisik
berupa kelelahan sedangkan di bidang psikis berupa kecemasan dan depresi, hal ini
dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami defisit terus-
menerus semakin habis, sehingga daya tahan terhadap stres sangat lemah.
d. Respon Terhadap Stres Kerja Setiap individu memberikan respon yang berbeda-
beda pada stressor dan juga daya tahan individu dalam menghadapi stressor tersebut.
Berkaitan dengan hal ini Hardjana (1994:24 - 26) membagi menjadi empat (4) respon
stres, yaitu:
1). Gangguan Emosional Jika seseorang stres, mereka akan memberikan respon yang
bersifat cemas, gelisah, mudah marah, mudah tersinggung, depresi, rasa harga diri
menurun, mood berubah-ubah. Namun tidak semua individu merasakan hal yang
demikian, emosi yang berkaitan dengan stres biasanya berlawanan dengan emosi
positif seperti bahagia, senang, dan cinta. Emosi stres yang paling umum terjadi
adalah kecemasan dan depresi yang ditandai dengan perasan takut, cemas, gelisah,
pesimis, dan merasa tidak berguna.
2). Gangguan pada intelektual Gangguan ini berkaitan dengan berfikir, gangguan
dalam konsentrasi, ingatan, sulit mengambil keputusan, suka melamun, kehilangan
rasa humor, prestasi kerja yang menurun, mutu kerja rendah, dalam kerja bertambah
jumlah kekeliruan yang dibuat bertambah.
3). Gangguan pada fisikal Gangguan ini berkaitan dengan sakit kepala atau pusing,
susah tidur, sulit buang air besar, tekanan darah naik atau serangan jantung,
mengeluarkan keringat, berubah selera makan, lelah atau kehilangan daya energi,
bertambah banyak melakukan kekeliruan atas kesalahan dalam kerja dan hidupnya.
4). Gangguan pada interpersonal Stres ini mempengaruhi hubungan dengan orang lain
baik di luar maupun di dalam, antara lain kehilangan kepercayaan kepada orang lain,
mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak
memenuhinya, suka mencari-cari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-
kata, mengambil sikap terlalu membentengi atau mempertahankan diri, dan suka
mendiamkan orang lain.
Menurut Terry Beehr dan John Newman (dalam Rini; 2002:2), Wilkinson (2002:16)
dan Neil Hibler (dalam Hager dan Hager; 1999:27) membagi respon stres kerja
menjadi tiga (3) yaitu:
2. Reaksi fisik, meliputi: otot tegang, meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,
lelah fisik, gangguan kardiovaskuler, perubahan nafsu makan.
Menurut Everly dan Girndano (dalam Munandar; 2001:379) individu yang mengalami
stres biasanya mengalami symptom fisiologis yang terbagi menjadi:
a. Mood (suasana hati) hal ini berupa over excited, merasa cemas, sulit tidur pada
malam hari, menjadi mudah bingung dan lupa, menjadi gugup.
b. Muscculoskeletal symptom hal ini berupa sakit kepala, mulut terasa kering,
perasaan tegang dan gugup, tubuh terasa lemas, dada terasa nyeri, perasaan goyang,
munculnya ketegangan, kegoncangan, kelelahan, dan kesakitan.
c. Symptomps of visceral (symptom organ dalam) berupa muncul perasaan mual pada
perut, tangan dan kaki terasa dingin, kehilangan gairah seks, jantung berdebar-debar,
napas terasa sesak, perut kejang-kejang dan terasa gemetar.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa respon yang
saling berinteraksi dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu respon terhadap stres
meliputi gangguan pada emosional, gangguan pada perilaku/ interpersonal, gangguan
pada fungsi pikir/ intelektual dan gangguan pada fungsi aktifitas fisiologis/ fisik
dengan demikian kita dapat mengetahui mana yang lebih sehat antara individu yang
satu dengan yang lain
.
e. Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja
Reaksi terhadap stres kerja bervariasi antara orang yang satu dengan yang lain,
perbedaan ini sering disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya
dapat merubah dampak stres bagi individu. Menurut Smet (1994:131) faktor yang
mempengaruhi pengalaman stres kerja menjadi lima (5), yaitu:
a. Emotion – Focused Coping (fokus pada emosi) di gunakan untuk mengatur respon
emosional terhadap stres, dengan cara penghindaran, pengambilan jarak, perhatian
yang bersifat selektif, dan pengambilan makna dari kejadian-kejadian yang negatif.
Menurut Sarafino (1990:94) faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja terdiri dari:
1. Lingkungan fisik yang terlalu menekan (kebisingan, temperature, udara yang lembab,
penerangan dikantor yang kurang terang.
2. Kurang control.
3. Kurangnya hubungan interpersonal.
4. Kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja.
Menurut Sunaryo (2004:216) faktor-faktor yang mempengaruhi stres adalah
1. Faktor biologis, herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik
2. Faktor psikoedukatif / sosiocultural, perkembangan kepribadian, pengalaman, dan
kondisi yang mempengaruhi.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor variabel dalam
kondisi individu, karakteristik kepribadian, sosial-kognitif, hubungan dengan
lingkungan sosial dan strategi koping akan mempengaruhi stres kerja individu itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Clerq, L.D & Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan (Suatu Pendahuluan). Semarang:
UNIKA.
Fawzi, I.L. 2001. Stres Kerja Pada Programmer Komputer Di lingkungan Kerja Bank
(Jurnal Pengembangan Kualitas SDM dari Perspektif PIO). Jakarta: Psikologi Industri
dan Organisasi Fakultas Psikologi UI.
Hager, W.D & Hager, L.C. 1999. Stres Dan Tubuh Wanita. Batam: Interaksa.
Rini, J.F. 2002. Stres Kerja. Http: // www. e- Psikologi.com/ masalah/ stres.htm.
Saraswati, A.T. 2002. Daya Tahan Stres Ditinjau Dari Kecerdasan Emosional Pada
Remaja. Proposal (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Psikologi Universitas
Semarang.
Sarafino, E.P. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Singapura:
Wiley
Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu
pendekatan individu dan pendekatan organisasi.
1. Pendekatan Individual
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya. Strategi
yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan
relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang
karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang
tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima
sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi sires
yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir
untuk mengurangi stres adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan
dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
2. Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur
organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor itu dapat
diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk
mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan,
redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan
program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk
tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta
perawatan terhadap kondisi fisik dan mental. Secara umum strategi manajemen stres kerja
dapat dikelompokkan mcnjadi strategi penanganan individual, organisasional dan dukungan
sosial (Margiati, 1999:77-78):
Yaitu strategi yang dikembangkan secara pribadi atau individual. Strategi individual
ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Melakukan perubahan reaksi perilaku atau perubahan reaksi kogtiitif.
Artinya, jika seorang karyawan merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para karyawan
tersebut seharusnya time out terlebih dahulu. Cara time out ini bisa macam-macam, seperti
istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja, keluar ke ruang istirahat (jika
menyediakan), pergi sebentar ke kamar kecil untuk membasuh muka air dingin atau
berwudlu bagi orang Islam, dan sebagainya.
b. Melakukan reiaksasi dan meditasi. Kegiatan relaksasi dan medilasi ini bisa dilakukan di
rumah pada malam hari atau hari-hari libur kerja. Dengan melakukan relaksasi, karyawan
dapat membangkitkan perasaan rileks dan nyaman. Dengan demikian karyawan yang
melakukan relaksasi diharapkan dapat mentransfer kemampuan dalam membangkitkan
perasaan rileks ke dalam perusahaan di mana mereka mengalami situasi stres. Beberapa
cara meditasi yang biasa dilakukan adalah dengan menutup atau memejamkan mata,
menghilangkan
pikiran yang mengganggu, kemudian perlahan-lahan mengucapkan doa.
c. Melakukan diet dan fitnes. Beberapa cara yang bisa ditempuh adalah mengurangi
masukan atau konsumsi garam dan makanan mengandung lemak, memperbanyak konsumsi
makanan yang bervitamin seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, dan banyak melakukan
olahraga, seperti lari secara rutin, tenis, bulu tangkis, dan sebagainya (Baron & Greenberg
dalam Margiati, 1999:78).
2. Strategi-strategi Penanganan Organisasional.
Mendeteksi penyebab stres dan bentuk reaksinya, maka ada tiga pola dalam mengatasi
stres, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologis (Mangkunegara, 2002:158-
159):
1. Pola sehat
Pola sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan
mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan,
akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. Mereka yang tergolong kelompok ini
biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara yang baik dan teratur
sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan, meskipun sebenamya
tantangan dan tekanan cukup banyak.
2. Pola harmonis
Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola
waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan.
Dengan pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan
dengan cara mengatur waktu secara teratur. Individu tersebut selalu menghadapi tugas
secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain
dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan demikian, akan terjadi keharmonisan
dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan reaksi yang diberikan.
3. Pola patologis.
Pola patologis adalah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai gangguan
fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan
dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan
waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksireaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan
berbagai masalah-masalah yang buruk.
Untuk menghadapi stres dengan cara sehat atau harmonis, tentu banyak hal yang dapat
dikaji. Dalam menghadapi stres, dapat dilakukan dengan tiga strategi yailu, (a) memperkecil
dan mengendalikan sumber-sumber stres, (b) menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh
stres, dan (c) meningkatkan daya tahan pribadi. Dalam strategi pertama, perlu dilakukan
penilaian terhadap situasi sumbersumber stres, mengembangkan alternatif tindakan,
mengambil tindakan yang dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih positif.
Strategi kedua, dilakukan dengan mengendalikan berbagai reaksi baik jasmaniah, emosional,
maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri. Dalam membentuk mekanisme
pertahanan diri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan
masalah kepada orang lain, humor (melucu), istirahat dan sebagainya. Sedangkan dalam
menghadapi reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan emosi secara sadar, dan
mcndapatkan dukungan sosial dari lingkungan. Strategi ketiga, dilakukan dengan
memperkuat diri sendiri, yaitu dengan lebih memahami diri, memahami orang lain,
mengembangkan ketrampilan pribadi, berolahraga secara teratur, beribadah, pola-pola kerja
yang teralur dan disiplin, mengembangkan tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik