Anda di halaman 1dari 19

KTD

(Di depan rumah Dira)

Dira menenteng tasnya, lalu berbalik ingin berpamitan dengan kedua orang tuannya.

Dira : Indira pamit dulu Yah...Bu.., (menyalimi ayah dan ibunya).

Ayah Indira : Hati-hati ya nak, jangan sering keluar malam, bahaya.

Ibu Indira : Betul kata ayahmu, makan yang baik, belajar yang giat, cari teman yang baik.

Dira : (tersenyum dan memeluk kedua orang tuanya). Baik Yah..., Bu.

Setelah memeluk kedua orang tuanya, Dira melangkah pergi. Namun ia sempat berbalik melambaikan
tangannya sambil tersenyum.

Berharap, kepergiannya dari kampung ke kota untuk menuntut ilmu berbuah kesuksesan di masa depan
nanti.

***

Dira berhenti di halaman sebuah rumah dan memandangi rumah lama itu. Rumah yang akan menjadi
tempat tinggal barunya selama duduk di bangku perkuliahan. Ia mengedarkan pandangan
kesekelilingnya.
Lingkungannya sejuk dan nyaman, Dira merasa lebih baik lagi sekarang. Dira tersenyum simpul.

Dira : Semoga lancar.

Dira membuka tasnya, mengambil kunci dan membuka pintu rumah itu lalu masuk.

***

(Kampus)

Terik mentari pagi menemani hari Dira, gadis itu sudah dengan nyaman duduk di bangku kelasnya, ia
sibuk menulis catatan di notebook cokelatnya.

DDDRRRRRTTTTTT

Getaran ponsel itu membuat Dira menghentikan aktivitasnya. Ia meraih ponselnya, melihat nama yang
tertera di layar itu, sebuah senyuman manis tercipta dari bibirnya.

Untuk mengangkat telepon itu, Dira keluar dari kelasnya yang memang belum memulai kegiatan belajar
dikarenakan dosen yang tak kunjung datang.

Dira : (mengangkat telepon) Assalamualaikum Bu,

Ibu Dira : Walaikumsalam, gimana kabar kamu nak? Ibu kangen.


Dira : Baik bu, Dira juga kangen.

Ibu Dira : Gimana sekolah kamu?

Dira : Lancar bu, semuanya baik-baik saja.

Ibu Dira : Alhamdulillah, baik-baik ya di sana nak. Kalo ada apa-apa kasih tahu ibu sama ayah ya?

Dira : Iya bu, sudah dulu ya, takut dosennya datang.

Ibu Dira : Iya nak, Assalamualaikum.

Dira : Walaikumsalam.

Belum selesai Dira menutup teleponnya, tapi seseorang dengan sengaja menyenggolnya cukup keras
sampai benda persegi itu terjatuh ke lantai.

Dira : (kaget) aduh!!

Nova : (tertawa) Duh, sorry ya anak kampung!

Helen : Sok-sok an teleponan segala sih, (tertawa)

Nova : (mendekatkan wajahnya ke Dira) Jangan belagu ya, anak kampung juga. (tersenyum sinis)

Helen : (mengelus kepala Dira) Ngerti gak?


Dira : (menunduk) I-iya, (mengangguk)

Nova : Bagus, yuk cabut. (melangkah pergi.)

Helen : (mengikuti Nova.)

Dira mengambil ponselnya di lantai, ia berjalan dengan lesu ke kelasnya. Sebulan sudah ia menjalani
kehidupannya di kampus, sebenarnya tidak ada kata baik-baik saja. Dira dikucilkan, bahkan seperti tadi,
dibully sejak awal masuk. Hanya karena status anak kampungnya.

***

(Kelas)

Dosen menutup kelas dan melangkah ke luar, Dira segera membereskan alat tulisnya, memasukkannya
ke dalam tas.

Kenny : (menghampiri Dira) Hey, Indira kan?

Dira : (menoleh) Iya, kenapa?

Kenny : Gue denger lo dari desa kan? (merangkul Dira.) Kalo mau tau gimana kehidupan kota yang seru,
ikutan sama kami aja. Kurang orang nih.
Dira menatap orang-orang asing di sekelilingnya, ia merasa ciut dan kecil. Fashion mereka benar-benar
khas anak gaul.

Sindy : Santai aja sama kita Ra, kalo mau di kata anak gaul, besok samperin aja gue. Kita sekelas lho.

Oktavia : Dijamin seru lho!

Kenny : Gue Kenny, itu Sindy, dan ini Okta. Main bareng kita, lo gak bakal dianggap kampungan lagi.

Danovan : (beridiri di depan kelas.) Woi Ladies! Lama amat, jadi gak?!

Mereka semua serentak menoleh ke arah sumber suara.

Kenny : Kami ke sana dulu. See you, Ra.

Kenny, Sindy, dan Okta melambaikan tangan dan berlalu pergi. Dira hanya membalas dengan senyuman.

Apa iya dia harus berubah?

***

(Kamar Indira)
Dira menatap dirinya di depan cermin. Beberapa kejadian buruk yang dialaminya selama ini kembali
berputar layaknya sebuah film.

Ketika ia dengan sengaja ditabrak, dijauhi saat bicara, kesulitan mencari kelompok, bahkan ditertawakan
di depan umum karena ketidaktahuannya sedikit aja tentang hal apapun itu.

Dira menghela napas, ini saatnya ia menunjukkan seperti apa dirinya yang baru. Dira ingin diakui, Dira
ingin pula merasakan kesenangan yang dinikmati remaja seusianya. Dira tidak ingin dikatakan anak
kampung terus.

Bahkan jika itu salah sekalipun?

***

(Kelas)

Dosen kembali menutup pelajarannya dan melangkah keluar. Segera saja Dira menghampiri Sindy yang
tengah duduk santai memainkan ponselnya.

Dira : (ragu-ragu) A-anu.... Sindy,

Sindy : (menoleh) Eh, Dira, jadi mau ikut?

Dira : (tersenyum kaku dan mengangguk.) Gak ganggu kalian kan kalau aku ikut?
Sindy : (tertawa) Enggak kok, sans. Ayok lah, yang lain sudah nunggu. (menenteng tas)

Dira mengangguk senang, ia melangkah mengikuti Sindy.

***

(Rumah----???)

Dira menatap kesekitar, rasa asing akan tempat itu segera menyerangnya. Rumah yang terlihat kumuh
dari depan, tapi di dalamnya cukup bagus. Hanya saja cukup berantakan dengan bungkusan obat-obatan,
botol-botol minuman, ditambah lagi bau khas campuran keduanya itu yang memenuhi indera
penciumannya.

Tempat apa ini?

Kenny : (menarik Dira ke dekatnya) Perkenalan lagi ya. Itu namanya Danovan dan itu Riyan. (menunjuk
Danovan dan Riyan yang duduk santai di sofa)

Dira : (tersenyum kaku) H-hai, Indira.

Semua yang ada di sana tertawa.

Sindy : Ini sih Hery pasti suka!

Danovan : Iyalah, polos banget. Cupu!


Riyan : Santai aja sama kita, gak gigit kok.

Okta : (merangkul Dira) Bawa asik aja, siap kan?

Dira menatap heran Okta, kemudian pandangannya beralih mengikuti arah telunjuk Okta.

Riyan dan Danovan menenteng masing-masing seplastik bingkisan berisi botol-botol yang Dira yakin itu
adalah minuman keras.

Kenny : Aseekk!! Habis ini party kan? Di rumah Hery? Dianya mana?

Riyan : Dia bilang nyusul.

Okta : Gasss gasss!!

Sindy : Kita ajarin dia minum dulu.

Semuanya menatap penuh arti ke arah Dira yang tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

Kenny menuntun Dira untuk duduk di tengah Danovan dan Riyan, lalu dirinya mengambil gelas,
membuka tutup botol itu, dan menuangkannya ke gelas tadi.

Kenny : (memberikan gelas kepada Danovan) Ajarin?

Riyan : (mengambil gelas) Gue aja.


Dira yang awalnya menolak, perlahan setelah dibujuk terus-terusan akhirnya menurut saja. Tegukan
pertama, Dira merasakan panas menggerogoti tenggorokannya. Tegukan kedua dan seterusnya, rasa
baru dan tajam memenuhi indera pengecapnya. Kemudian dilanjutkan dengan gelas kedua, gelas ketiga,
dan akhirnya Dira terhanyut ke dalamnya.

Setelah puas melihat reaksi Dira, teman-temannya yang lain pun ikut berpesta pora. Menikmati surga
dunia di usia muda. Begitulah pendapat mereka.

Cukup lama menjelang itu, sebuah mobil pun parkir di halaman rumah, menampilkan seorang lelaki yang
sedari tadi mereka bicarakan keluar dari mobil itu dengan tergesa-gesa.

Ia melangkah masuk dan dengan sorakan bahagia disambut oleh ke lima temannya, tidak termasuk Dira.

Kenny : Baru datang! Lama! Hampir aja kami semua udah tepar duluan.

Okta : Tau nih! Ngapain sih lo?

Hery : Sorry deh, yang penting gue datang kan?

Danovan : Anak baru nih, tipe lo. (menyenggol Dira)

Dira yang masih dilanda pusing menatap samar-samar Hery, tapi ia tahu, Hery dengan baju casualnya
adalah lelaki yang tampan.

Dira melambaikan tangannya dan tersenyum khas orang yang sudah mabuk berat.

Hery : (tertawa) Lah, dia baru belajar minum?


Sindy : Mantap gak?

Hery mengangguk, ia melangkah mendekati Dira. Secara otomatis Riyan dan Danovan bergeser.

Hery : Manis, gue Hery (mengulurkan tangan)

Dira : (menyambut tangan Hery dengan kedua tangannya) Innndirraaa..

Untuk beberapa saat, mereka saling bertatapan, dan Dira menangkap perasaan itu sebagai cinta.

***

Sejak saat itu, yang dilakukan Dira tidak lagi fokus belajar dengan kuliahnya. Ia menjadi semakin senang
bermain dengan teman-teman barunya, terutama Hery.

Hubungan mereka menjadi dekat, bahkan kadang Dira dan Hery jalan-jalan hanya berdua saja.

Baginya, inilah dunianya, inilah kebahagiaannya. Hingga di satu titik di mana ia merasa semuanya
semakin menyenangkan di kala Hery menjadi kekasihnya.

Mereka jadi semakin dekat, Hery yang notebanenya kaya, tidak malu mengakui Dira sebagai kekasihnya.
Bahkan mereka berdua sudah berani untuk tidur bersama.
Dan tentu saja itu hanya awalnya, awal dari sebuah kehancuran, adalah kebahagiaan yang melanggar
peraturan Tuhan.

***

(Kamar)

Hery : Sayang.

Dira : Hm?

Hery : Kita gini-gini aja nih?

Dira : Maksudnya?

Hery : (mendekati Dira) Kamu sayang sama aku kan?

Dira : Iya, sayang banget.

Hery : (menggenggam tangan Dira) Kamu percaya sama aku kan?

Dira : (mengangguk.)

Hery : Boleh aku minta lebih dari ini? Aku janji bakal tanggung jawab dan bahagiaan kamu.
Dira terdiam, ia ragu. Tentu saja tidak semudah itu memberikan mahkota berharganya bukan?

Hery : Kamu gak sayang ya sama aku?

Dira menyerah, ia tidak bisa melepaskan Hery. Jika itu mengorbankan harga dirinya, Dira rasa ia cukup
berani untuk bertaruh. Karena dirinya sendiri telah terlanjur masuk ke lubang hitam, kenapa tidak
menetap saja sekalian bukan?

Dirapun akhirnya mengangguk malu, ia tersipu atas keputusannya sendiri. Mendapati respon itu, Hery
tersenyum bahagia, merasa menang.

***

Jika telah sekali mencicipi manisnya kesalahan besar, kau akan penasaran dan mencobanya lagi, lagi dan
lagi, sampai akhirnya kau akan menikmatinya sendiri. Kau akan berpikir tidak bisa hidup tanpa
melakukannya.

Seperti itu lah Dira sekarang, Dira sudah sangat-sangat jauh dari impiannya dulu, ia menjadi terbuai akan
kehidupannya sendiri. Dira mengabaikan sebuah fakta.

Dosa manis akan berakhir tragis.

Permulaan akan akhir dari itu perlahan tapi pasti mencapai puncaknya. Perubahan sikap Hery
kepadanya, semakin hari yang semakin dingin.
(Kamar Dira)

Dira menatap nanar ponselnya, di layar itu menunjukkan keseluruhan chatnya dengan Hery, cowok itu
terlihat semakin tidak peduli dan hanya membalas seadanya.

Ada apa? Padahal Dira sudah tidak sabar ingin memberikan kabar yang ia yakini adalah sebuah
kebahagiaan.

Dira : (menelpon Hery)

Hery : Ya?

Dira : Sayang boleh ketemu sekarang?

Hery : Gue sibuk.

Dira : Tapi ini penting.

Hery : (menghela napas.) Tunggu di sana, gue jemput.

Hery memutuskan sambungan telepon. Dira tersenyum menatap ponselnya, bukankah Hery masih
peduli padanya? Buktinya cowok itu masih mau mengantar jemputnya. Mungkin hanya perasaan Dira
saja yang berlebihan.

***
(Caffe)

Dira : (memberikan tespack) Sayang, aku hamil.

Hery : (kaget dan terdiam.)

Dira : Kamu janji bakal tanggung jawab. (senyum) Ini anak kita.

Hery : (menggaruk tengkuknya) Oh...ya...

Hery mengalihkan pandangannya ke arah lain, terlihat tidak nyaman dengan kabar itu. Senyuman di
wajah Dira pun perlahan luntur.

Hery : Gugurin, kita gak butuh itu sekarang.

Dira sangat kaget mendengar hal itu.

Dira : Gak mungkin! Kamu udah janjikan?!

Hery : Iya, tapi pokoknya gak sekarang.

Dira : (menggeleng keras) Ini anak kita Hery, kamu mau bunuh anak kita?
Hery : Itu belum jadi manusia, kalo gak lo gugurin, kita putus.

Hery beranjak ingin pergi, dengan sigap Dira menahannya, air mata gadis itu sudah memenuhi pelupuk
matanya.

Dira : Enggak! Aku gak mau putus!

Hery berusaha melepaskan pegangan erat Dira di lengannya.

Hery : Lepas!

Dira : Enggak Hery! Jangan tinggalin aku!

Hery mendorong kasar Dira sampai gadis itu tersungkur di lantai, Hery sudah tidak peduli dengan gadis
kampung itu, ia pun melanggeng pergi begitu saja. Seisi Caffe menatap Dira seakan menghakimi sendiri
apa yang terjadi.

Sedangkan Dira, ia masih syok dengan semua yang menimpanya. Seakan kebahagiaan itu perlahan di
cabut satu persatu darinya. Menyisakan kesengsaraan pedih di depan sana.

***

(Rumah Indira.)
Dira membanting pintu rumah dengan keras, ia memasuki kamarnya sambil terisak. Tidak hanya itu, Dira
bahkan menghamburkan perabotan kamarnya, ia menjerit-jerit histeris. Dunianya yang ia poroskan ke
satu titik kini telah pergi, apa dia bisa hidup?

Dira mengamuk kembali, ia sangat frustasi sekarang.

Setelah merasa kelelahan, Dira duduk di pojok kamarnya, mengacak-ngacak kepalanya sendiri.
Bagaimana ini? Ia harus apa sekarang? Mengugurkan janin ini?

Dira menatap perutnya, tidak ia tidak akan menggugurkannya. Di dalam sana adalah bukti dari
perasaannya dengan Hery, dan Dira sendiri juga takut akan resikonya. Bagaimana jika ia yang mati
bersama janinnya sendiri?

Dira menggeleng keras, gadis itu berteriak histeris lagi.

***

(Kampus)

Seminggu berlalu akhirnya Dira memutuskan untuk kuliah lagi, walaupun dengan kondisi yang tidak baik.
Semua di dirinya sangat berantakkan.

Seakan belum cukup Tuhan memberinya hukuman, Dira yang baru saja keluar dari kelasnya menuju ke
kantin, mendapati Hery bersama dengan wanita lain. Dira meradang, bagaimana bisa cowok itu
melepasnya begitu saja? Apakah selama ini perasaan mereka hanya halusinasinya? Tidak.

Dengan amarah yang mencapai ubun-ubun Dira menghampiri meja dua orang itu.
Dira : Hery! Apa maksudnya ini?

Hery : Apa?

Dira : (menunjuk Ressa) Ini siapa?! Kamu selingkuh ya?!

Hery : (tertawa) Pacar gue lah, dan satu lagi ya, kita udah putus, gue gak selingkuh.

Dira menampar keras pipi Hery.

Dira : Cowok brengsek!

Ressa : Apa-apaan sih lo?! Udah pergi sana!

Dira : (menatap Resaa) Liat aja, dia cuman main-main. (memegang perutnya) Ini bukti nyata. (melangkah
pergi.)

***

(Rumah Indira)
Dira menatap dirinya di depan cermin, sangat mengerikan karena berantakan. Dira meremas perutnya
kencang. Ia memukul-mukul sendiri perutnya seakan menghukum si janin yang berada di dalam sana.

Dira akhirnya menyalahkan janin itu untuk semua perbuatannya. Dira yakin jika janin itu tidak ada, Hery
masih akan bersamanya. Dira membenci janin yang ada di perutnya ini.

Dira merasakan dunianya semakin hancur, padahal berusan ia mendapat sedikit kekuatan. Namun
melihat Hery bersama orang lain, kembali menghancurkan harapannya.

Dira merasa tidak berguna lagi di dunia ini, ia tidak menemukan rumahnya kembali. Dira merasa, ia
sudah terlalu kotor untuk kembali, dia sudah sangat kotor dan menyedihkan.

Dira memilih jalannya sendiri, jika sudah terlanjur basah, lebih baik berenang sekalian bukan?

Dira mengambil tali, mengikatnya simpul lalu menggantungkannya di atas. Dira menarik kursi, bediri di
sana sambil memegangi tali itu.

Benar, Dira berpikir lebih baik ia mati saja dari pada menderita di dunia ini. Dengan keputusasaan yang
menguasai dirinya, Dira mengalungkan tali itu ke leher, lalu mendorong kursi dan menggantungkan
dirinya sendiri di sana.

Dira memilih mati bunuh diri, Dira menggantung dirinya sendiri. Dira memilih jalan kematian atas semua
masalah yang menimpanya.

Memangnya jika mati semuanya akan selesai? Tuhan akan menghukumnya lebih berat lagi

Fin

Anda mungkin juga menyukai