TETANUS
PEMBIMBING
dr. Yudi Rinaldi Sp.B, M.Biomed
PENULIS
Ni Luh Made Atia Kornita Sari
030.15.136
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus dalam
kepanitraan Ilmu Penyakit Bedah dengan judul “TETANUS”. Laporan kasus ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu
Penyakit Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan serta dukungan dalam membantu penyusunan dan penyelesaian makalah
ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
terutama kepada dr. Yudi Rinaldi Sp.B, M.Biomed selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Bedah dan kepada para dokter dan staff Ilmu Penyakit Bedah Rumah Sakit Umum
Daerah Karawang, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Bedah.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi setiap orang yang membacanya. Tuhan memberkati kita semua.
030.15.136
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
Laporan Kasus
Judul:
TETANUS
Pembimbing,
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang tampil dalam bentuk gangguan
neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin spesifik
kuman anaerob Clostridium Tetani. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Clostridium tetani biasanya
memasuki tubuh melalui luka. masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk spora kemudian
menjadi bentuk vegetatif dan menghasilkan racun tetanospasmin dan tetanolisin. Klinis khas
tetanus disebabkan ketika toksin tetanospasmin yang mengganggu pelepasan neurotransmiter,
menghambat impuls inhibitor yang mengakibatkan kontraksi otot yang kuat dan spasme otot.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari. Ada beberapa jenis klinis tetanus, biasanya
ditunjuk sebagai generalized, local, dan cephalic. Tipe generalized tetanus adalah tipe yang
paling sering terjadi.
Manifestasi dari tetanus adalah timbul gejala kekakuan pada semua bagian seperti
trismus, risus sardonicus, mulut mencucu, opistotonus, perut seperti papan, sampai kejang.
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk penyakit tetanus.
2
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
(dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 3
Mei 2019)
Keluhan Utama
Kejang sejak 5 jam SMRS
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa, Hipertensi (-), Diabetes mellitus (-),
Riwayat usus buntu (-), Riwayat keganasan (-), Riwayat penyakit jantung, paru, hepar dan
ginjal (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya telah berobat ke klinik terdekat dan diberikan obat namun keluhan
tidak membaik
Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), pemakaian zat narkotika (-), alkohol (-)
4
Tenggorokan: uvula ditengah, arcus faring simetris, tonsil T1/T1
Mulut: sianosis (-), gusi kemerahaan (-) oedem (-) Trismus (+)
Leher KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar,
Thorax Inspeksi: bentuk dada normal, gerak dinding dada simetris, tipe
pernapasan Abdominotorakal, sela iga normal, sternum datar, retraksi
sela iga (-)
Palpasi: pernapasan simetris, vocal fremitus sama kuat pada kedua
hemitorak, tidak teraba thrill, ictus cordis teraba di ICS V linea
axillaris anterior sinistra
Perkusi: Kedua hemithoraks terdengar sonor, batas paru dan hepar
setinggi ICS VI linea midclavicularis dextra dengan perkusi redup,
batas bawah paru dan lambung setinggi ICS VIII linea axillaris
anterior sinistra dengan perkusi timpani. Batas paru dan jantung
kanan di linea parasternal dextra ICS IV, batas paru dan jantung kiri
setinggi ICS V linea midclavicularis sinistra, batas atas jantung ICS
II linea parasternalis sinistra, pinggang jantung setinggi ICS III linea
parasternalis kiri
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-, Bunyi
Jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi: bentuk rata, smiling umbilicus (-), ikterik (-),
kemerahan (-), spider naevi (-), benjolan (-)
Auskultasi: bising usus 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: teraba perut seperti papan (+), massa (-), hepar dan lien tidak
teraba, ballottement ginjal (-), undulasi (-), CVA -/-
Nyeri tekan - - -
- - -
- - -
Perkusi: shifting dullness (-)
Ekstremitas Ekstremitas Atas
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2
detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-
Ekstremitas Bawah
5
Terdapat luka pada kaki sebelah kanan (+), turgor kulit baik,
deformitas -/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-
Kimia
Ureum 82,7 15,0 – 50,0 mg/dl
Kreatinin 2,68 0,50 – 0,90 mg/d
GDS 104 70-110
1.5 Resume
Pasien datang ke igd RSUD Karawang dengan keluhan kejang sejak 5 jam SMRS.
Dalam 1 hari pasien bisa mengalami kejang sebanyak 3 kali dan lama kejang sekitar 30 menit.
6
Kejang diawali dengan kaku seluruh tubuh, pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri.
Terdapat keluhan leher kaku dan mulut kaku sehingga pasien menjadi sulit berbicara.
Dalam pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesan gizi
cukup. Tekanan darah 130/90 mmHg. Status generalis didapatkan pada wajah rhisus
sardonikus (+), pada status lokalis regio ekstremitas bawah didapatkan luka pada kaki sebelah
kanan (+). Dalam pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil ureum, kreatinin yang
meningkat.
1.7 Tatalaksana
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Diazepam 5x1 IV
- Inj. Metronidazole 4x500 IV
- Inj. Omeprazole 2x1 IV
- Sirdalut 3x1
- Inj. ATS 20.000 IU
1.8 Prognosis
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik
yang sangat besar.2 Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan
angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000- 500.000 per
tahun.3 Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan
penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut. Tetanus pada
anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi
DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan
aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.
2.3 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani. Bakteri Clostridium
tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah
pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang
terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan
antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada
suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan
agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara
fisik dan biologik.
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin
dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi
akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga
terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian
obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
8
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda
asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan
patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
2.4 Patofisiologi
C. Tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui tubuh yg luka.
masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk spora. Dalam keadaan anaerob (oksigen
rendah) kondisi, spora berkecambah menjadi bentuk vegetatif dan menghasilkan racun
tetanospasmin dan tetanolisin.5 Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih
hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Klinis khas tetanus disebabkan ketika toksin tetanospasmin yang
mengganggu pelepasan neurotransmiter, menghambat impuls inhibitor yang mengakibatkan
kontraksi otot yang kuat dan spasme otot.8
Racun yang diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun bertindak di
beberapa tempat dalam sistem saraf pusat, termasuk motor endplate, sumsum tulang belakang,
dan otak, dan di saraf simpatis.5 Transport terjadi pertama kali di saraf motorik, lalu ke saraf
sensorik dan saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor spinal
terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor interneuron retrogard lebih jauh
terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi
transfer melewati celah sinaps dengan mekanisme yang tidak jelas.8
9
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirat (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang, neuron simpatetik
preganglion pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah
neuromuskular dikurangi.8 Dengan hilangnya inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom serta
kontraksi otot yang tidak terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal
seperti suara atau lampu.6,7 Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat pertama kali
karena jalur aksonalnaya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-
otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat.8
Setelah toksin menetap di neuron, toksin tidak dapat lagi dinetralkan dengan antitoksin.
Pemulihan fungsi saraf dari racun tetanus membutuhkan tumbuhnya terminal saraf baru dan
pembentukan sinapsis baru. Tetanus lokal berkembang ketika hanya saraf yang memasok otot
yang terkena terlibat. Genelized Tetanus terjadi ketika racun dirilis pada luka menyebar melalui
sistem limfatik dan darah ke terminal saraf.
10
2.5 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3 hari-4 minggu, kadang lebih lama rata-rata delapan hari.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda
pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan
menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi
sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut.
Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson
pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit.
Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan
waktu hingga beberapa bulan.6,8,9
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta
memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum
dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu
sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului
tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang
menyebabkan kematian.5,7,8,9
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.9
11
Tabel 1. Skor Phillip untuk pasien tetanus
12
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu
seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai
kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung,
otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena
sinar yang kuat. Lambat laun - masa istirahat spasme makin pendek sehingga anak
jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme
yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya
sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari
pasien yang tidak mengalami tetanus.
13
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG
2.8 Tatalaksana
Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas tiga upaya, yaitu mengatasi akibat eksotoksin
yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, menetralisasi toksin yang masih beredar dalam
darah, dan menghilangkan kuman penyebab.1
Tatalaksana Umum
1. Pembersihan dan debridement luka yang kotor
Kuman penyebab tetanus dapat dihilangkan melalui perawatan luka yang
dicurigai sebagai sumber infeksi. Luka dicuci menggunakan larutan antiseptik, eksisi
luka dan bahkan histerektomi apabila uterus diperkirakan sebagai sumber kuman
tetanus.
2. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Berikan nutrisi parenteral dan enteral yang memadai; selama pasase usus baik,
nutrisi enteral merupakan pilihan, tetapi bila perlu berikan makanan melalui pipa
lambung atau gastrostomi
14
3. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme
Benzodiazepin lebih disukai. Untuk orang dewasa, diazepam intravena dapat
diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk
mencapai kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak-anak,
mulai dengan dosis 0,1-0,2 mg / kg setiap 2-6 jam, titrasi ke atas yang diperlukan).
jumlah besar mungkin diperlukan (sampai 600 mg / hari). sediaan oral dapat digunakan
tetapi harus disertai dengan pemantauan hati untuk menghindari depresi pernafasan
atau penangkapan. Magnesium sulfat dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan disfungsi otonom: 5 gm (atau
75mg / kg) dosis intravena, kemudian 2-3 gram per jam sampai kontrol kejang dicapai.
Untuk menghindari overdosis, memantau refleks patela sebagai arefleksia (Tidak
adanya patela reflex) terjadi di ujung atas dari rentang terapeutik (4mmol / L). Jika
arefleksia berkembang, dosis harus dikurangi. agen lain yang digunakan untuk
mengendalikan kejang termasuk baclofen, dantrolen (1-2 mg / kg intravena atau dengan
mulut setiap 4 jam), barbiturat, sebaiknya short-acting (100-150 mg setiap 1-4 jam di
orang dewasa; 6-10 mg / kg pada anak-anak), dan chlorpromazine (50-150 mg secara
intramuskular setiap 4-8 jam pada orang dewasa; 4-12 mg intramuskular setiap 4-8 jam
di anak-anak)7,10
Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Toksin yang masih beredar dinetralkan melalui pemberian serum antitetanus
(ATS) . ATS diberikan 20.000 IU/hari selama lima hari berturut-turut. Pada pemberian
ATS harus diingat kemungkinan timbulnya reaksi alergi. Pemberian immunoglobulin
tetanus manusia cukup dengan dosis tunggal 3000-6000 unit; pemberian tidak perlu
diulang karena waktu paruh antibodi ini 31/2-41/2 minggu.1
Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan
kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah
kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga
relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus
neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat.
Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.
15
2. Antibiotika
Lini pertama yang digunakan metronidazole 500 mg setiap enam jam intravena atau
secara peroral selama 7-10 hari.2-6 Pada anak-anak diberikan dosis inisial 15
mg/kgBB secara IV/peroral dilanjutkan dengan dosisi 30 mg/kgBB setiap enam jam
selama 7-10 hari.5
Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari. 5(100.000-200.000
IU / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis terbagi).
Tetrasiklin 2 gram/ hari, makrolida, klindamisin, sefalosporin dan kloramfenikol
juga efektif 7,9,10
2.9 Prognosis
Faktor yang memengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, imunisasi, lokal infeksi, penyakit yang menyertai, beratnya penyakit, dan
penyulitnya. Masa inkubasi dan periode awitan merupakan faktor yang menentukan prognosis
dalam klasifikasi Cole dan Spooner
Angka kematian pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I lebih tinggi
daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat gagal
napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga
menurunkan angka kematian.1
16
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien mengalami kejang sejak 5 jam SMRS. Dalam 1 hari pasien bisa mengalami
kejang sebanyak 3 kali dan lama kejang sekitar 30 menit. Kejang diawali dengan kaku seluruh
tubuh dan pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri. Satu minggu SMRS kaki sebelah kanan
pasien terkena jangkar kapal yang berkarat. Terdapat keluhan leher kaku dan mulut kaku
sehingga pasien menjadi sulit berbicara. Dalam pemeriksaan fisik didapatkan pada wajah
rhisus sardonikus, trismus, opistotonus, dan otot dinding perut kaku seperti papan. Pada status
lokalis pada regio ekstremitas bawah didapatkan luka pada kaki sebelah kanan. Dalam
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil ureum, kreatinin yang meningkat.
Oleh karena klinis pasien sudah jelas maka diagnosa mengarah ke tetanus.
Penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien adalah melakukan debridement pada luka,
pemberian ATS, obat diazepam dan metronidazole.
17
BAB IV
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Seorang pasien laki-laki berusia 60 tahun dengan diagnosis tetanus. Diagnosis
ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada tetanus,
bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan yang dilakukan adalah melakukan debridement
luka untuk menghilangkan jaringan nekrotik selain itu diberikan juga ATS, obat diazepam
untuk mengatasi kejang dan diberikan metronidazole.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
20