Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

NEUROGENIC BLADDER

Pembimbing:
dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U

Disusun oleh:
Sephora Paramasita
03011270

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD KARAWANG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 25
MARET – 31 MEI 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL


“NEUROGENIC BLADDER”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Bedah di Rumah
Sakit Umum Daerah Karawang periode 25 Maret – 31 Mei 2019

Karawang, April 2019

dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah serta
hikmah-Nya kepada penulis atas kesempatanya yang telah diberikan. Terima kasih
juga kepada dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U selaku pembimibing atas waktu,
pengarahan, masukan serta berbagai ilmu yang telah diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Neurogenic bladder” sebagai salah
satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah di RSUD
Karawang periode 25 Maret – 31 Mei 2019
Tugas ini di tulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada.
Tentunya dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang
tidak dapat dihindari. Oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
referat ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca terutama dalam bidang Ilmu Penyakit Bedah.

Karawang, Mei 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL ........................................ ………………………………………………...i
LEMBAR PENGESAHAN....... ………………………………………………..ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PIUSTAKA .................................................................................. 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urogenital ................................................... 2

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................. 11

3.1 Definisi Batu Saluran Kemih...........................................................................11

3.2 Epidemiologi Batu Saluran Kemih ................................................................11


3.3 Etiologi Batu Saluran Kemih...........................................................................11
3.4 Manifestasi Klinik ..............................................................................................12
3.5 Patofisiologi Batu Saluran Kemih ..................................................................12
3.6 Diagnosis ...............................................................................................................14
2.7 Tatalaksana Batu Saluran Kemih ...................................................................17
2.8 Komplikasi Batu Saluran Kemih ....................................................................18
2.9 Prognosis ...............................................................................................................18
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara
terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer.
Neurogenik bladder adalah kelainan fungsi kandung kemih akibat gangguan sistem saraf.
Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun menunjukkan
etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan
neurologis.1
Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga overaktivitas,
tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,
menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi
dengan fungsi kandung kemih. Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic
Bladder di Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence
Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar 70% adalah
perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa prevalensi
Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%. Banyak penyebab dapat
mendasari timbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti
sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, Selain
itu kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degenaratif
neurologis (multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang
belakang (spina bifida). Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi
neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada
40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan
15% pada pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70- 84% pasien dengan spinal cord
injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. Terapi yang cocok ditentukan
dari diagnosis yang tepat dengan perawatan medis yang baik dan perawatan bersama dengan
bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.
Banyak penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic bladder sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.2

v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urogenital

1. Anatomi 3,4,5
1) Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang
lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang
mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11
(vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11
atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal
kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat
terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:


1. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis.
2. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
3. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
4. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
5. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

vi
6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
7. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
8. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
10. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/
Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul.
Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang
membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang
memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi:
(1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang
relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang
terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh

7
ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut
sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta
abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah
memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris
yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.

b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica
urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing
satu untuk setiap ginjal.

Gambar 2. Anatomi Ureter

8
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas
major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan
secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-
medial untuk mencapai 6ectum6 urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah
aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di
mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura
marginalis serta muara ureter ke dalam 6ectum6 urinaria. Tempat-tempat seperti ini
sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan
ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus,
serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.

1. Vesica urinaria

Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan
tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk
selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme
relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-
sama dengan organ lain seperti 6ectum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta
pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan saraf.

Gambar 3. Vesica Urinaria

9
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas
tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan
(superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior,
dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor
(otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian
posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian
berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae,
bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan
kosong.

Gambar 4. Anatomi Vesica Urinaria

Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada
perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan
parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus
imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui
n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik.

d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria
menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita.
Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ
seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita
panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu
m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan
m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada

10
wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars
membranosa dan pars spongiosa.
1. Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan
aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m.
sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat.
Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
2. Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding
bagian lainnya.
3. Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis
melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh
m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter
(somatis).
4. Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.

Gambar 5. Anatomi Vesica Urinaria-Uretra Pria

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding uretra
pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada

11
orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter
urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra
pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

Gambar 6. Anatomi Uretra Wanita

2) Fisiologi6
Fungsi ginjal selain mengatur keseimbangan biokimia tubuh
dengan cara mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam darah dan
asam basa ginjal juga berperan dalam produksi hormon seperti:
1) Eritropoietin: menstimulasi produksi eritrosit di sumsum tulang. Eritropoietin
disekresikan saat ginjal mengalami hipoksia. Hampir semua hormon
eritropoietin yang terdapat dalam darah disekresi oleh ginjal.
2) 1,25-Dihydroxyvitamin D3 (calcitriol): merupakan bahan aktif dari vitamin D.

Prekursor vitamin D terhidroksilasi di ginjal. Calcitriol adalah vitamin esensial


untuk meregulasi kalsium deposisi pada tulang dan kalsium reabsorbsi dalam
traktus digestivus. Calcitriol juga mempunyai peran penting dalam refulasi
kalsium dan fosfat.
3) Renin: berfungsi sebagai regulator tekanan arteri jangka pendek. Renin
bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan
produksi aldosteron.
4) Prostaglandin: berfungsi sebagai vasokonstriktor dan regulasi garam dan air.

3 tahap pembentukan urin: 7,8

1) Filtrasi glomerular

Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti


kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel

12
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan
larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 22% dari
curah jantung atau sekitar 1100 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat
tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.Hasil sisa metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat sedikit di reabsorbsi pada tubulus ginjal. Sebaliknya
elektrolit seperti natrium, klorida dan bikarbonat terreabsorbsi dalam jumlah
banyak, hingga kadar elektrolit dalam urin akan rendah. Beberapa zat hasil
filtrasi akan direabsorpsi sepenuhnya, seperti asam amino dan glukosa.
Reabsorbsi terjadi dalam tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan
tubulus kontortus distal.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus kontortus distal, transport aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini,
tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa
hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi,
untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi
dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan

13
tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami
beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh,
kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan
hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium
plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara teurapeutik.

Gambar 7. Fisiologi pembentukan urine

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Neurogenic Bladder

Neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan penyakit yang


menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem
saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. Neurogenic bladderadalah suatu
disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik
untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan
pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder).
Dengan kata lain, Neurogenic bladder adalah kelainan fungsi kandung kemih akibat
gangguan sistem saraf.1,9

3.2 Epidemiologi
Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di Asia
adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory
Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar 70% adalah
perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa prevalensi
Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%. Neurogenic bladder akan
meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika
neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis,
37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke.

3.3 Etiologi
Setiap kondisi yang menyebabkan kerusakan atau mengganggu saraf yang
mengendalikan kandung kemih atau saluran keluarnya bisa menyebabkan neurogenic
baldder. Beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius
yang akut seperti mielitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit
Parkinson, multiple sklerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti
SLE, keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma

15
pada medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Neurogenic bladder akan meningkat
jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic
bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72%
pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke.

3.4 Manifestasi Klinis


Gejala kandung kemih neurogenik dapat meliputi : infeksi salurankemih, batu
ginjal, inkontinensia urin, volume urine kecil selama berkemih, frekuensi danurgensi
kemih, dribbling urin yang merupakan suatu keadaan dimana urin menetes pada akhir
miksi, hilangnya sensasikandung kemih penuh. Hiperrefleksi detrusor merupakan
keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang
dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat
timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine
dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur.
Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis bagian sakral,
(Disinergia detrusor- sfingter) DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi
meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat
juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat
timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks miksi seperti pada lesi susunan saraf
pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi
pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul
akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering
dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi
urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi
sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang
mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.

3.5 Patofisiologi
Gangguan kandung kencing / bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf
atau lesi yang terjadi pada sistem saraf manusia. Apabila sistem saraf pusat atau system
saraf tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami gangguan

16
maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla spinalis dan saraf perifer
merupakan beberapa bagian dari system saraf yang memungkinkan untuk terlibat. Gejala
yang dapat terjadi apabila terjadi disfungsi kandung kemih / bladder adalah retensi
inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya sedikit, atau kombinasi dari
keduanya. Berdasarkan lokasinya penyebabsecara garis besar,Neurogenic Bladder dibagi
menjadi tiga, antara lain :
a. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial,
ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya
inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor,
demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus
atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang
hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan
dalam memulai proses miksi secara volunteer.
b. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral
medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain
adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan
suatu keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan
tekanan pada penambahan yang kecil dari volume vesica urinaria.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada
keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan
sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi
tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran
kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari vesica urinaria hanya bila kontraksi detrusor

berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus- putus.15

17
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan vesica
urinaria yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia
akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi
menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi vesica

urinaria. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.5
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun ekstradural
akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas
vesica urinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme
untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik atau
hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance vesica urinaria juga
hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persyarafan. Sensibilitas dari peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri
masih didapatkan karena informasi aferen
yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal.
Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari
leher vesica urinaria memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk
mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang,

sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.15

3.6 Diagnosis Neurogenic Bladder

Neurogenik bladdermelibatkansistem saraf dan kandung kemih dan untuk

mendiagnosis adanya Neurogenic bladder yaitu dengan memeriksa baiksistem

saraf(termasuk otak) dankandung kemihitu sendiri.10,11,12

Diagnosis meliputi dengan melakukan anamnesis tujuannya yaitu untuk mengetahui

bagaimana pola buang air kecilnya atau ada tidak gangguan saat berkemih serta

18
mengetahui adanya faktor-faktor resiko. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan fisis

dapat berupa pemeriksaan rektal, genitalia, serta pemeriksaan dinding perut(abdominal)

untuk mengecek ada tidaknya pembesaran pada bladder ataupun kelainan lainnya.Selain

itu, pemeriksaan neurologis juga dilakukan untuk menentukan kelainan neurologis yang

menjadi dasar terjadinya neurologic bladder, uji neurologis harus mencakup status

mental, refleks, kekuatan motorik dan sensibilitas (termasuk dermatomal

sakral).Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium yaitu dengan

memeriksa urin ataupun darah. 12,13

Pemeriksaan lainnya seperti :

1. Pemeriksaan urodinamika

Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsikandungan kemih


 dengan mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin,

pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih

pada saat buang air kecil. Pemeriksaan urodinamika dapat berupaCystometrography,

Postvoid residual urine, uroflometri, serta elektromielografi sfingter.12,13



-Cystometrography

Cara pemeriksaannya dengan memasukan kateter berisi transduser untuk

mengukur tekanan ke dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut

ddihubungkan dengan komputer. Kemudian memasukan cairan steril ke dalam

kandungan kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer akan memberikan

informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan rektum, refleks kandungan kemih dan

kapasitas kandungan kemih.12,13,14

19
Gambar 1. Cystometrography

 -Postvoid residual urine

Adalah sebuah tes diagnostik yang mengukur berapa banyak urin di kandung kemih

yang tersisa setelah buang air kecil. Pemeriksaan residu urine setelah berkemih

(PVR) adalah pemeriksaan dasar untuk inkontinensia urine untuk mengetahui

kemampuan vesika urinaria dalam mengosongkan seluruh isinya. Abnormal : 50-

100ml / >20% volume BAK.12,13



 -Uroflometri

Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara

elektronik.Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran

kemih bagian bawah yang tidak invasive. Hasilbiasanya diberikandalam mililiterper

detik(mL / detik).12,13

Gambar 2. Uroflometri

20

 -Elektromielografi

Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau tidak.

Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan

disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang

dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis.12,13,14

2. Cystoscopy

Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau

tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih

menghasilkan disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak

terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda

spinalis. Fungsi sistoskopi dalam pemeriksaan disfungsi kandung kemih

neurogenik memungkinkan adanya penemuan massa kandung kemih seperti

kanker dan batu pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa dengan

hanya pemeriksaan urodinamik saja. Pemeriksaan ini diindikasikan untuk

pasien yang mengeluhkan gejala berkemih iritatif persisten atau hematuria.

Pemeriksa dapat mendiagnosa berbagai macam penyebab pasti dari

overaktivitas kandung kemih seperti sistitis, batu dan tumor secara

mudah.12,13,14

Gambar 3. Cystoscopy

21
Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan serta MRI. Untuk

mendeteksi kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan ini.12,13

3.7 Tatalaksana
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan secara reguler,
mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi ginjal. Kateterisasi atau
teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah urin dari sisa terlalu lama di
kandung kemih. Sebagai contoh, beberapa orang dengan kandung kemih spastik dapat
memicu buang air kecil dengan menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha
mereka . Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada
risiko infeksi saluran kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala
biasanya lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus. Jika penyebabnya
adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra untuk mengosongkan kandung
kemih, baik secara berkesinambungan maupun untuk sementara waktu. Kateter dipasang
sesegera mungkin agar otot kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan
yang berlebihan dan untuk mencegah infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara
permanen lebih sedikit menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada
pria, kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya.

 Terapi Non farmakolgis


Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training. Bladder trining
adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot kandung kemih agar
fungsinya kembali normal.Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan
fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal
neurogenik. Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran
air kemih. Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda berkemih),
dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel execises) merupakan
aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna
meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih
dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan
otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat
penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.

22
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk
berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan
mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi
diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem
kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan
kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih. Terapi ini
bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari
atau 3-4 jam sekali.

Langkah-langkah bladder training :


Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang memungkinkan kandung
kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.
Anjurkan klien minum (200-250 cc).
Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.
Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.
Lihat kemampuan berkemih klien.
 Terapi farmakologis
1. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontinensia karena mereka menghambat kontraksi
kandung kemih involunter dan memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh kandung
kemih. Misalnya, Hiosiamin ( Levbid) 0.125 mg, Dicyclomine hydrochloride (Bentyl) 10-20
mg.
2. Anti spasmodic
Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung kemih. Obat anti spasmodik telah dilaporkan
untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dan efektif mengurangi atau menghilangkan
inkontinensia. Misalnya Oksibutinin (ditropanXL) 5-15 mg, Tolterodin(detrol) 2 mg.
3. Obat Betanekol klorida (urecholine)
Adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor muskarinik
(kolonergik) dan terutama dipakai untuk meningkatkan berkemih dan mengobat retensi urin.
Merupaka agonis kolinergik yang digunakan untuk meningkatkan kontraksi detrusor. Obat ini
membantu menstimulasi kontraksi bladder pada pasien yang menyimpan urin. Betanekol
klorida 10-50 mg 3-4 kali dalam sehari.
Terapi operatif
Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang. Pembedahan dilakukan untuk

23
membuat jalan lain untuk mengeluarkan urin, memasang alat untuk menstimulasi otot
kandung kemih.

3.7 Komplikasi
Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk meningkatkan resiko
terkena infeksi saluran kemih (ISK) dan gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder
outlet obstruction). Pada pasien dengan neurogenic bladder, jika mereka tidak diobati secara

optimal maka juga bisa menyebabkan sepsis dan gagal ginjal.1

3.8 Prognosis
Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsipermanen dan kerusakan

ginjal.16

24
BAB IV
KESIMPULAN

Neurogenic bladder adalah gangguan pada saluran kemih bagian bawah yang
disebabkan oleh kerusakan sistem saraf. Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di
bawah 3 pusat utama, yaitu pusat berkemih sakral (the sacral micturition center), pusat
berkemih pons (the pontine micturition center), dan korteks serebral. Pada lower motor
neuron neurogenic bladder, kerusakan terjadi pada pusat mikturisi maupun saraf tepi
sedangkan sistem saraf simpatetik pada sistem urin masih intak.

Klasifikasi dari neurogenic baldder, yaitu neurogenic bladder tipe flaksid,


neurogenic bladder tipe spastik, dan neurogenic bladder tipe campuran. Terdapat tiga
tahap dalam mendiagnosis neurogenic bladder, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Manajemen neurogenic bladder dilakukan melalui
intervensi nonfarmakologis meliputi perubahan gaya hidup, bladder retraining,
kateterisasi interminten, dan pembedahan, sedangkan farmakologis meliputi obat-
obatan antikolinergik atau antimuskarinik dan alpha adrenergic blocker.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg D. 2013. The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic


Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19,pp. 191 – 194.
2. Dorsher, Peter T.; Macintosh, Peter M, 2011. “Neurogenic Bladder”. Review
articer, Advanced in Urology, Volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi
publishing corp.
3. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
4. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA
Davis Company; 2007.
5. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2001.
6. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II.
EGC: Jakarta.
7. Turk C, Knoll T, Pterick A et al. Guidelines on Urolithiasis. European
Association of Urology 2015. March 2015.
8. Tanagho E, McAninch J. Smith’s General Urology. 17th edition. The
McGraw-Hill companies; 2008. P.246.
9. Urology Care Foundation. Neurogenic bladder. Article of The Official
Foundation of the American Urologist Association. Available from:
http://www.urologyhealth.org/urology/index.cfm?article=9
Columbia urologist. Neurogenic bladder. Article of Columbia Urology Medical
Center. 2012; [December 2014; cited 2014 2Desember]Available
10. from: http://columbiaurology.org/specialties/female/neurogenic-

bladder.html

11. Hopkins J. Neurogenic bladder. Article of The Johns Hopkins Medicine.

2012. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:

http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/kidney_and_urinary

_system_disorders/neurogenic_bladder

12. Ginsberg, D. 2012. Assessment and Diagnostic Strategies for Neurogenic

Bladder. Journal of Renal and Urology Haymarket Medical Education Part 1.

13. Shenot,MD.2014. Neurogenic bladder. Article of Merck Manual Home Health

Handbook Neurogenic Bladder. [December 2014; cited 2014 2 Desember]

26
Available from:

http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/voiding_

disorders/neurogenic_bladder.html

14. Ginsberg, D. 2012. Assessment and Diagnostic Strategies for Neurogenic


Bladder. Journal of Renal and Urology Haymarket Medical Education Part
15. Japaradi, D. I. (2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU
digital Library , 4-6.
16. Shenot,MD.2014. Neurogenic bladder. Article of Merck Manual Home Health
Handbook Neurogenic Bladder. [December 2014; cited 2014 2 Desember]
Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/voiding_
disorders/neurogenic_bladder.html

27
28
29
30
31
32
33

Anda mungkin juga menyukai