NEUROGENIC BLADDER
Pembimbing:
dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U
Disusun oleh:
Sephora Paramasita
03011270
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah serta
hikmah-Nya kepada penulis atas kesempatanya yang telah diberikan. Terima kasih
juga kepada dr. A.R. Herda Pratama, Sp.U selaku pembimibing atas waktu,
pengarahan, masukan serta berbagai ilmu yang telah diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Neurogenic bladder” sebagai salah
satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah di RSUD
Karawang periode 25 Maret – 31 Mei 2019
Tugas ini di tulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada.
Tentunya dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang
tidak dapat dihindari. Oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
referat ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca terutama dalam bidang Ilmu Penyakit Bedah.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ........................................ ………………………………………………...i
LEMBAR PENGESAHAN....... ………………………………………………..ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PIUSTAKA .................................................................................. 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urogenital ................................................... 2
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara
terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer.
Neurogenik bladder adalah kelainan fungsi kandung kemih akibat gangguan sistem saraf.
Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun menunjukkan
etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan
neurologis.1
Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga overaktivitas,
tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,
menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi
dengan fungsi kandung kemih. Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic
Bladder di Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence
Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar 70% adalah
perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa prevalensi
Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%. Banyak penyebab dapat
mendasari timbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti
sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, Selain
itu kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degenaratif
neurologis (multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang
belakang (spina bifida). Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi
neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada
40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan
15% pada pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70- 84% pasien dengan spinal cord
injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. Terapi yang cocok ditentukan
dari diagnosis yang tepat dengan perawatan medis yang baik dan perawatan bersama dengan
bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.
Banyak penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic bladder sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.2
v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi 3,4,5
1) Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang
lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang
mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11
(vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11
atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal
kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat
terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
vi
6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
7. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
8. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
10. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/
Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul.
Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang
membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang
memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi:
(1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang
relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang
terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh
7
ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut
sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta
abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah
memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris
yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica
urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing
satu untuk setiap ginjal.
8
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas
major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan
secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-
medial untuk mencapai 6ectum6 urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah
aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di
mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura
marginalis serta muara ureter ke dalam 6ectum6 urinaria. Tempat-tempat seperti ini
sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan
ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus,
serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.
1. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan
tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk
selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme
relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-
sama dengan organ lain seperti 6ectum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta
pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan saraf.
9
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas
tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan
(superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior,
dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor
(otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian
posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian
berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae,
bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan
kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada
perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan
parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus
imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui
n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik.
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria
menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita.
Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ
seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita
panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu
m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan
m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada
10
wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars
membranosa dan pars spongiosa.
1. Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan
aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m.
sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat.
Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
2. Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding
bagian lainnya.
3. Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis
melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh
m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter
(somatis).
4. Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.
Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding uretra
pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada
11
orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter
urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra
pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.
2) Fisiologi6
Fungsi ginjal selain mengatur keseimbangan biokimia tubuh
dengan cara mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam darah dan
asam basa ginjal juga berperan dalam produksi hormon seperti:
1) Eritropoietin: menstimulasi produksi eritrosit di sumsum tulang. Eritropoietin
disekresikan saat ginjal mengalami hipoksia. Hampir semua hormon
eritropoietin yang terdapat dalam darah disekresi oleh ginjal.
2) 1,25-Dihydroxyvitamin D3 (calcitriol): merupakan bahan aktif dari vitamin D.
1) Filtrasi glomerular
12
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan
larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 22% dari
curah jantung atau sekitar 1100 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat
tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.Hasil sisa metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat sedikit di reabsorbsi pada tubulus ginjal. Sebaliknya
elektrolit seperti natrium, klorida dan bikarbonat terreabsorbsi dalam jumlah
banyak, hingga kadar elektrolit dalam urin akan rendah. Beberapa zat hasil
filtrasi akan direabsorpsi sepenuhnya, seperti asam amino dan glukosa.
Reabsorbsi terjadi dalam tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan
tubulus kontortus distal.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus kontortus distal, transport aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini,
tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa
hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi,
untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi
dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan
13
tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami
beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh,
kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan
hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium
plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara teurapeutik.
14
BAB III
PEMBAHASAN
3.2 Epidemiologi
Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di Asia
adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory
Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar 70% adalah
perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa prevalensi
Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%. Neurogenic bladder akan
meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika
neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis,
37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke.
3.3 Etiologi
Setiap kondisi yang menyebabkan kerusakan atau mengganggu saraf yang
mengendalikan kandung kemih atau saluran keluarnya bisa menyebabkan neurogenic
baldder. Beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius
yang akut seperti mielitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit
Parkinson, multiple sklerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti
SLE, keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma
15
pada medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Neurogenic bladder akan meningkat
jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic
bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72%
pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke.
3.5 Patofisiologi
Gangguan kandung kencing / bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf
atau lesi yang terjadi pada sistem saraf manusia. Apabila sistem saraf pusat atau system
saraf tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami gangguan
16
maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla spinalis dan saraf perifer
merupakan beberapa bagian dari system saraf yang memungkinkan untuk terlibat. Gejala
yang dapat terjadi apabila terjadi disfungsi kandung kemih / bladder adalah retensi
inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya sedikit, atau kombinasi dari
keduanya. Berdasarkan lokasinya penyebabsecara garis besar,Neurogenic Bladder dibagi
menjadi tiga, antara lain :
a. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial,
ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya
inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor,
demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus
atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang
hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan
dalam memulai proses miksi secara volunteer.
b. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral
medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain
adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan
suatu keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan
tekanan pada penambahan yang kecil dari volume vesica urinaria.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada
keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan
sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi
tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran
kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari vesica urinaria hanya bila kontraksi detrusor
berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus- putus.15
17
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan vesica
urinaria yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia
akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi
menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi vesica
urinaria. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.5
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun ekstradural
akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas
vesica urinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme
untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik atau
hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance vesica urinaria juga
hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persyarafan. Sensibilitas dari peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri
masih didapatkan karena informasi aferen
yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal.
Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari
leher vesica urinaria memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk
mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang,
bagaimana pola buang air kecilnya atau ada tidak gangguan saat berkemih serta
18
mengetahui adanya faktor-faktor resiko. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan fisis
untuk mengecek ada tidaknya pembesaran pada bladder ataupun kelainan lainnya.Selain
itu, pemeriksaan neurologis juga dilakukan untuk menentukan kelainan neurologis yang
menjadi dasar terjadinya neurologic bladder, uji neurologis harus mencakup status
1. Pemeriksaan urodinamika
pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih
mengukur tekanan ke dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut
informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan rektum, refleks kandungan kemih dan
19
Gambar 1. Cystometrography
-Postvoid residual urine
Adalah sebuah tes diagnostik yang mengukur berapa banyak urin di kandung kemih
yang tersisa setelah buang air kecil. Pemeriksaan residu urine setelah berkemih
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara
detik(mL / detik).12,13
Gambar 2. Uroflometri
20
-Elektromielografi
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis.12,13,14
2. Cystoscopy
terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda
kanker dan batu pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa dengan
mudah.12,13,14
Gambar 3. Cystoscopy
21
Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan serta MRI. Untuk
3.7 Tatalaksana
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan secara reguler,
mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi ginjal. Kateterisasi atau
teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah urin dari sisa terlalu lama di
kandung kemih. Sebagai contoh, beberapa orang dengan kandung kemih spastik dapat
memicu buang air kecil dengan menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha
mereka . Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada
risiko infeksi saluran kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala
biasanya lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus. Jika penyebabnya
adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra untuk mengosongkan kandung
kemih, baik secara berkesinambungan maupun untuk sementara waktu. Kateter dipasang
sesegera mungkin agar otot kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan
yang berlebihan dan untuk mencegah infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara
permanen lebih sedikit menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada
pria, kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya.
22
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk
berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan
mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi
diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem
kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan
kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih. Terapi ini
bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari
atau 3-4 jam sekali.
23
membuat jalan lain untuk mengeluarkan urin, memasang alat untuk menstimulasi otot
kandung kemih.
3.7 Komplikasi
Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk meningkatkan resiko
terkena infeksi saluran kemih (ISK) dan gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder
outlet obstruction). Pada pasien dengan neurogenic bladder, jika mereka tidak diobati secara
3.8 Prognosis
Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsipermanen dan kerusakan
ginjal.16
24
BAB IV
KESIMPULAN
Neurogenic bladder adalah gangguan pada saluran kemih bagian bawah yang
disebabkan oleh kerusakan sistem saraf. Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di
bawah 3 pusat utama, yaitu pusat berkemih sakral (the sacral micturition center), pusat
berkemih pons (the pontine micturition center), dan korteks serebral. Pada lower motor
neuron neurogenic bladder, kerusakan terjadi pada pusat mikturisi maupun saraf tepi
sedangkan sistem saraf simpatetik pada sistem urin masih intak.
25
DAFTAR PUSTAKA
bladder.html
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/kidney_and_urinary
_system_disorders/neurogenic_bladder
26
Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/voiding_
disorders/neurogenic_bladder.html
27
28
29
30
31
32
33