Anda di halaman 1dari 28

I.

Identitas Paien

Nama : Tn. Y
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Asmil Yonif 752, Kel. Klasaman Kec. Klasaman
Pangkat/Gol : Pratu NRP/NIP 31120329370692
No. CM : 312848
Agama : Kristen
Ruang : HCU
Tanggal masuk : 22 Desember 2015 pukul 02.32 WIB
II. Anamnesis (Autoanamnesis, Tanggal : 03 Januari 2016)

Keluhan Utama : Sakit Kepala Post Trauma Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten


Sorong, diantar oleh satu orang petugas kesehatan dan ayahnya. Pasien mengeluh
sakit kepala bagian depan sebelah kanan. Keluhan sakit kepala yang berat dialami
sejak dua minggu sebelum masuk Rumah Sakit TK II Pelamonia. Keluhan ini
disertai muntah yang menyemprot dan pusing yang memberat jika berdiri. Riwayat
kejang tiga kali kurang lebih dua minggu sebelum masuk Rumah Sakit TK II
Pelamonia. Sakit kepala ringan mulai dirasakan oleh pasien setelah mengalami
trauma kepala yaitu dipukul dengan skop pada daerah depan kepala sebelah kanan,
kurang lebih tiga bulan yang lalu. Sealain itu pasien juga sering merasa suhu
badannya terasa hangat setelah mengalami trauma tersebut.

Menurut pasien, akhir bulan Oktober pasien mendapat pukulan dengan skop
pada daerah kepala bagian depan sebelah kanan dan bagian belakan sebanyak 2 kali
sampai pasien pingsan. Pasien dibawa ke Rumah Sakit terdekat di Sorong untuk
mendapatkan perawatan karena terdapat luka terbuka yang mengeluarkan darah
pada daerah kepala bagian depan sebelah kanan, selain ditempat tersebut tidak ada
lagi lokasi perdarahan. Luka dikepala dijahit sebanyak 5 jahitan. Di rumah sakit
pasien diobservasi satu hari, karena keadaan umum pasien membaik pasien
dibolehkan rawat jalan. Awal bulan desember pasien kejang sebanyak tiga kali.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat Trauma kepala pada akhir bulan Oktober tahun 2015


 Riwayat kejang kurang lebih dua minggu sebelum dirawat di Rumah Sakit TK II
Pelamonia.
 Riwayat suhu badan sering terasa hangat setelah mengalami trauma tersebut

 Tidak pernah mengalami sakit sampai harus dioperasi

 Riwayat infeksi gigi dan telinga disangkal, pasien jarang menderita flu. Sebelum
keluhan muncul pasien tidak menderita flu

 Riwayat penyakit jantung, hipertensi, tonsilitis, dermatitis, kejang demam,


diabetes mellitus disangkal

 Riwayat keluhan hematuri, ascites, bengkak pada tungkai bawah atau atas,
anasarka, moon face syndrome, gangguan fungsi reproduksi disangkal.

 Pasien pernah menderita penyakit malaria waktu masih kecil

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, batuk darah, dan penyakit
jantung.

Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau makanan tertentu.

Riwayat pengobatan:
Menurut pasien, sebelum dirawat di RS TK II Pelamonia pasien mendapat terapi
antibiotik, analgetik, dan anti kejang (pasien tidak tau nama obat yang
diberikan).

Riwayat sosial dan kebiasaan:


Pasien seorang anggota TNI di daerah sorong, sebelum sakit pasien memiliki
kebiasaan merokok dan pernah minum alkohol.

III. Pemeriksaan Fisik


a. Status present :
Keadaan umum : Sakit Sedang
GCS: E4V5M6
Tanda vital :
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 78 x/menit, teratur, kuat angkat
- Pernafasan : 19 x/menit
- Suhu axilla : 36,6ᵒC
b. Pemeriksaan fisik umum :
1. Kepala – Leher
- Kepala :
o Pre Operasi : Tampak luka yang terjahit pada kepala bagian
depan sebelah kanan (+), nyeri tekan(+), ada sekitar dua jahitan
yang terbuka menyebabkan jaringan pada jahitan tersebut
menonjol keluar. Ukuran luka sekitar 5 cm

2
o Post operasi : Normochepal, tampak perban yang menutupi
bekas operasi pada kepala bagian depan sebelah kanan (+),
luka bekas operasi berbentuk cembung dengan panjang kurang
lebih 15 cm.
- Mata :
o Pre Operasi : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera
ikterus(-/-), pupil isokor (+/+), reflex pupil (+/+).
o Post Operasi : Tampak palpebra mata kiri bengkak (+) warnah
kebiru-biruan , konjungtiva palpebra anemis -/sulit dinilai,
sklera ikterus -/sulit dinilai, pupil isokor +/sulit dinilai, refleks
pupil (+/sulit dinilai)
- Telinga : tidak ditemukan penurunan pendengaran(+), keluar darah (-)
- Leher : massa (-), tidak terdapat pembesaran KGB.
2. Thoraks – Kardiovaskuler
- Inspeksi : luka venektasi (-), massa (-), scar (-), tampak pergerakan dinding
thoraks simetris, iktus kordis tidak tampak. Sela iga simetris.
- Palpasi : Teraba pergerakan dinding thorak simetris, fokal premitus +/+,
iktus kordis teraba pada ICS V midclavicular line.
- Perkusi :
Paru : sonor pada daerah dinding thorak sinistra dan dekstra
Jantung : pekak dengan batas kanan atas ICS II parasternalis dekstra, batas
kiri atas pada ICS II parasternalis sinistra, batas kiri bawah pada ICS V
midclavicular line.
- Auskultasi :
o Paru: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
o Jantung: Bunyi Jantun I/II murni regular, murmur (-)
3. Abdomen
- Inspeksi : kulit tampak normal, distensi (-), scar (-), tidak tampak massa.
- Auskultasi : bising usus (+) Normal
- Perkusi : timpani pada lapang abdomen, batas hepar pada ICS VI sampai
subcostalis dektra.
- Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, tidak teraba massa
pada ke empat kuadran abdomen
4. Pelvis-inguinal
Tidak tampak adanya massa, pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
5. Anal – perianal
Anus (+), massa (-), abses (-)
6. Ekstrimitas atas – Axilla
Edema -/-, deformitas -/-, Pembesaran KGB -/-
7. Ekstrimitas bawah
Edema -/-, deformitas -/-
c. Pemeriksaan neurologis
 GCS: E4V5M6
 N. kranialis:
o Nervus I (olfaktorius): dalam batas normal
o Nervus II (optikus): OD OS
Lapang pandang normal normal
o Nervus III - XII: dalam batas normal
 Sensorik: Normal
 Motorik:

3
o Reflex fisiologis:
- biseps +/+
- triseps +/+
- KPR +/+
- APR +/+
o Reflex patologis:
- Babinski: -/-
- Chadok: -/-
- Openheim: -/-
- Gordon: -/-
- Scaefer: -/-
 Kaku kuduk: (-)
 Kernig’s sign: (-)

Superior Inferior
Motorik
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan N N N N
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus otot N N N N
Bentuk otot N N N N

IV. Pemeriksaan Penunjang Pre Operasi


o Pemeriksaan Laboratorium :
23 Desember 2015

Darah Rutin Hasil

RBC 4.60 x 106/mm3

Hb 11.9 g/dL

HCT 36.1 %

MCV 79 um3

MCHC 33.0 g/Dl

PLT 197 x 103/mm3

WBC 8.9 x 103/mm3

EOS 0.97

LED 10 mm/jam

o Faal Hemostasis

Faal Hemostasis Hasil

PT 13.3 detik

4
APTT 39.8 detik

Glukosa Sewaktu 104 mg/dl

Ureum 29 mg/dl

Kreatinin 0.80 mg/dl

ELEKTROLIT HASIL

Natrium 137.0 mmol/L

Kalium 6.17 mmol/L

Chlorida 105.2 mmol/L

25 Desember 2015

ELEKTROLIT HASIL

Natrium 138.6 mmol/L

Kalium 3.23 mmol/L

Chlorida 105.5 mmol/L

01 Januari 2016 (Post Operasi)

Darah Rutin Hasil

RBG 4.26 x 106/mm3

Hb 11.3 g/dL

HCT 34.7 %

MCV 81 um3

MCHC 32.5 g/dL

PLT 175 x 103/mm3

WBC 17.5 x 10 3/mm3

NEU 13.39

EOS 1.66 5
P

o Pemeriksaan CT Scan

22 Desember 2015

Kesan : Massa intracranial suspek astrocytoma differensial diagnosis abses


cerebri disertai midline shift ke kiri.

28 Desember 2015

6
Kesan : Abses cerebri differensial diagnosis astrocytoma
o EKG (25 Desember 2015) : Dalam batas normal

V. Resume
a. Anamnesis :

Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten


Sorong, diantar oleh satu orang petugas kesehatan dan ayahnya. Pasien
mengeluh sakit kepala bagian depan sebelah kanan. Keluhan sakit kepala yang
berat dialami sejak dua minggu sebelum masuk Rumah Sakit TK II Pelamonia.
Keluhan ini disertai muntah yang menyemprot dan pusing yang memberat jika
berdiri. Riwayat kejang tiga kali kurang lebih satu minggu sebelum masuk
Rumah Sakit TK II Pelamonia. Sakit kepala ringan mulai dirasakan oleh pasien
setelah mengalami trauma kepala yaitu dipukul dengan skop pada daerah depan
kepala sebelah kanan, kurang lebih tiga bulan yang lalu.

Menurut pasien, akhir bulan Oktober pasien mendapat pukulan dengan


skop pada daerah kepala bagian depan sebelah kanan dan bagian belakan
sebanyak 2 kali sampai pasien pingsan. Pasien dibawa ke Rumah Sakit terdekat
di Sorong untuk mendapatkan perawatan karena terdapat luka terbuka yang
mengeluarkan darah pada daerah kepala bagian depan sebelah kanan, selain
ditempat tersebut tidak ada lagi lokasi perdarahan. Luka dikepala dijahit
sebanyak 5 jahitan. Di rumah sakit pasien diobservasi satu hari, karena keadaan
umum pasien membaik pasien dibolehkan rawat jalan. Awal bulan desember
pasien kejang sebanyak tiga kali.

7
b. Pemeriksaan fisik umum :
- Kepala :
o Pre Operasi : Tampak luka yang terjahit pada kepala bagian depan
sebelah kanan (+), nyeri tekan(+), ada sekitar dua jahitan yang
terbuka menyebabkan jaringan pada jahitan tersebut menonjol
keluar. Ukuran luka sekitar 5 cm
o Post operasi : Normochepal, tampak perban yang menutupi bekas
operasi pada kepala bagian depan sebelah kanan (+), luka bekas
operasi berbentuk cembung dengan panjang kurang lebih 15 cm.
- Mata :
o Pre Operasi : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterus(-/-),
pupil isokor (+/+), reflex pupil (+/+).
o Post Operasi : Tampak palpebra mata kiri bengkak (+) warnah
kebiru-biruan , konjungtiva palpebra anemis -/sulit dinilai, sklera
ikterus -/sulit dinilai, pupil isokor +/sulit dinilai, refleks pupil (+/+)
c. Pemeriksaan neurologis
o Nervus kranialis I-XII: dalam batas normal
o Motorik: pergerakan ekstremitas superior dan inferior dalam batas
normal.
VI. Diagnosis
- Diagnosis klinis : Cefalgia Kronik
- Diagnosis etiologi: Abses Cerebri
- Diagnosis topis: intracranial, lobus temporalis dextra

VII. Usulan pemeriksaan Post Operasi


 Pemeriksaan PA
 Tes Sensibility
o Pemeriksaan Histopatologi
Mikroskopis : Potongan jaringan menunjukkan sebaran diffuse limfosit
histiosit, dan leukosit polimorfonukleat diantaranya tampak sel nonatipik.
Kesimpulan : Mendukung diagnosa klinis Abses cerebri.
o Hasil Pemeriksaan Kultur dan Resistensi
I. Biakan/identifikasi : Staphylococcus spesies (+++)

II. Tes Resistensi :

Hasil Tes Resistensi

Jenis Antibiotik Hasil

1. Ceptazidime (25 mm) S

2. Ceftriaxone (27 mm) S

8
3. Clindamycin (6 mm) R

4. Amikacin (20 mm) S

5. Gentamycin (20 mm) S

6. Merophenem (25 mm) S

7. Ciprofloxacin (25 mm) S

8. Minocycline (17 mm) I

9. Kanamycin (20 mm) S

10. Ofloxacin (25 mm) S

11. Trimethoprin (20 mm) S

12. Erythrtomycin (6 mm) R

13. Amoxycilin (6 mm) R

14. Amphicilin (6 mm) R

15. Aztreonam (6 mm) R

16. Netilmicin (20 mm) S

VIII. Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP :

Tanggal Bagian Hasil Pemeriksaan Instruksi


22 Dec Bedah S : Nyeri kepala bagian depan sebelah kanan dan - IVFR RL 20 tpm
2015 Saraf daerah belakang, riwayat dipukul dengan skop
pada daerah tersebut pada akhir bulan Oktober, - Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
mual (+), muntah (-), riwayat kejang 3 kali kurang

9
lebih dua minggu sebelum masuk rumah sakit TK
Sealain itu pasien juga sering - Inj. Ranitidin 1 ampl/8 jam/iv
II Pelamonia.
merasa suhu badannya terasa hangat
- Inj. Sotatic 1 ampl/8 jam/iv
setelah mengalami trauma tersebut.
- CT Scan Kepala
O : GCS : E4M6V5

- Hasil CT Scan terlampir


TD :110/70 mmHg P : 20 x/m

N : 50 x/m S : 36.5 ºC

A : Cidera Kepala
23 Dec Bedah S : Sakit kepala sudah berkurag (+), mual (-), - IVFD NaCl 1000 cc/24 jam
2015 Saraf muntah (-), pusing (-), kejang (-)
- Inj. Dexamethazon 3 x 1amp
O : GCS : E4M6V5
- Inj. Phenitoin 3 x 1amp
TD : 110/70 mmHg P : 20 x/m Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
-

N : 74 x/m S : 36.6 ºC - Inj. Antrain 3 x 1 amp

A : Massa Intrcranial, differenaial diagnosis abses - Periksa : Darah Rutin,


cerebri dan tumor cerebri. Elektrolit, GDS, Ureum,
Kreatinin

- CT Scan kontras hari senin

- Hasil Lab. Terlampir


24 Dec Bedah S : Sakit kepala sudah berkurang (+), mual (-), - IVFD NaCl 1000 cc/24 jam

2015 Saraf munta (-), pusing(-), kejang (-).


- Inj. Dexamethazon 3 x
O : GCS : E4M6V5 1amp

- Inj. Phenitoin 3 x 1amp


TD : 110/60 mmHg P : 26 x/m
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
N : 68 x/m S : 36.6 ºC
- Inj. Antrain 3 x 1 amp
A : Massa Intrcranial, differenaial diagnosis abses
cerebri dan tumor cerebri

25 Dec Bedah S : Sakit kepala sudah berkurang (+), mual (-), - EKG
2015 Saraf munta (-), pusing(-), kejang (-).
- Konsul interna dengan
O : GCS : E4M6V5 hiperkalemi

- CT SCan kontras hari senin


TD : 120/80 mmHg P : 18 x/m
- Rencana Op. Hari rabu (30-

10
12-2015)
N : 62 x/m S : 36.6 ºC
- Periksa ulang elektrolit
A : Hiperkalemi (instruksi dari dr. Harakati
Wangi, Sp. PD)

- Inj. Dextrose 40%

- Kayexalate 2 x 1

- Hasil pem. Elektrolit sdah


dilapor, instruksi dr.
Harakati Wangi, Sp. PD.
Instruksi :

- Kandisartan 1 x 1
26 Dec Bedah S : Sakit kepala sudah berkurag (+), mual (-),
2015 Saraf muntah (-), pusing (-), kejang (-)

O : GCS : E4M6V5

TD : 110/70 mmHg P : 18 x/m


- Terapi lanjut
N : 68 x/m S : 36.9 ºC

A:

15:20 dr. Harakati Wangi, Sp. PD visite

19:00 infus diaff karena flebitis

19:45 sudah pasang ulang infus.


27 Dec Bedah S : Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), pusing
2015 Saraf (-), kejang (-)

O : GCS : E4M6V5
- Terapi Lanjut
TD : 110/70 mmHg P : 18 x/m

N : 75 x/m S : 36.7 ºC

A:
28 Dec Bedah S : Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), pusing - Tunggu hasil CT Scan kontras
2015 saraf (-), kejang (-)
- Terapi lanjut
O : GCS : E4M6V5

TD : 120/80 mmHg P : 18 x/m

11
N : 64 x/m S : 36.6 ºC

A : Suspek abses cerebri


29 Dec Bedah S : Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), pusing - Kamis Rencana Operasi tanggal
2015 Saraf (-), kejang (-) 31 Desember 2015

O : GCS : E4M6V5 - Siapkan darah 3 bag

- Konsul anastesi
TD : 110/80 mmHg P : 18 x/m
- Inj. Antibiotik pre operasi
N : 72 x/m S : 36.7 ºC
- Persetujuan operasi
A : Susp. Abses Cerebri

Lapor hasil CT Scan kontras : Abses Cerebri


30 Dec Bedah S : Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), pusing
2015 Saraf (-), kejang (-)
- Terapi Lanjut
O : GCS : E4M6V5

TD : 100/70 mmHg P : 18 x/m

N : 80 x/m S : 36.6 ºC

A : Abses cerebri
31 Dec Bedah S : Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), pusing
2015 Saraf (-), kejang (-)

O : GCS : E4M6V5

TD : 120/80 mmHg P : 20 x/m

N : 74 x/m S : 36.6 ºC

A : Abses cerebri
Bedah S:- Instruksi Post Operasi :
Saraf
O: TD : 100/60 mmHg P : 20 x/m - IVFD NaCl 1000 cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2mg/12
N : 85 x/m S : 36.7 ºC jam/iv

A :Post operasi craniotomy - Inj. Metronidazole 500 mg/


8 jam/iv

- Inj. Phenitoin ampl/ 8 jam/iv

- Inj. Transamin ampl/ 8


jam/iv

12
- Inj. Mannito 4 x 100 cc

- Inj. Dexamethazone ampl/ 8


jam/ iv

- Inj. Ranitidin ampl/ 12 jam/


Anastesi S:-
iv

O : BP : 128/73 mmHg T : Afebris - Analgetik sesuaia dari


bagian anastesi
HR : 100 x/ m VAS : 1/10
Instrusi Anastesi :
A : Post operasi craniotomy
- O2 via simple mask 6 liter
- Terpasang Infus NaCl 0,9%, Transfusi PRC - IVFD RL 25 tpm
1 bag
- Fentanyl 30 mcg/jam/sp
- Terpasang kateter (+), drain(+), NGT (+).
- Cek Hb post transfusi
1 Januari Bedah S : Sakit kepala (-), nyeri bekas operasi (-), mual - Besok mannitol 5 x 100 cc
2016 Saraf (-), muntah (-), pusing (-), kejang (-)
- Besok aff drain
O : GCS : E4M6V5
- Besok pindah ruangan
TD : 150/84 mmHg P : 19 x/m

N : 87 x/m S : 36.8 ºC

Drain : 100 cc

A : Post operasi craniotomy

- Terpasang Infus NaCl 0,9%


- Terpasang kateter (+), drain(+), NGT (+), O 2
3 liter
2 Januari Bedah S : Bengkak pada sekitar mata kiri (+), Sakit
2016 Saraf kepala (-), nyeri bekas operasi (-), mual (-),
muntah (-), pusing (-), kejang (-)

O : GCS : E4M6V5

TD : 110/70 mmHg P : 20 x/m

N : 85 x/m S : 36.5 ºC

Drain : 80 cc - aff drain

A : Post operasi craniotomy


Terapi :
Pasien pindah ke ruangan HCU terpasang infus

13
13:30 - IVFD NaCl 0.9% 20 tete
NaCl 0.9% 20 tetes - Inj. Cefriaxone 2 gr/12 jam/ iv

- Terpasang Infus NaCl 0,9% - Inj. Ranitidin ampl/ 12 jam/ iv

- Inj. Metronidazole 500 mg/ 8


- Terpasang kateter (+), NGT (+).
jam/ iv

- Inj. Dexamethazone ampl/ 12


jam/ iv
3 Januari Bedah S : Bengkak pada sekitar mata kiri (+), nyeri pada - Aff NGT
2016 Saraf tenggorokan (+), Sakit kepala (-), nyeri bekas
operasi (-), mual (-), muntah (-), pusing (-), kejang - Terapi lain lanjut
(-)

O : GCS : E4M6V5

TD : 110/70 mmHg P : 20 x/m

N : 85 x/m S : 36.5 ºC

- Terpasang Infus NaCl 0,9%


- Terpasang kateter (+), NGT (+).

A : Post operasi craniotomy


4 Januari Bedah S : Bengkak pada sekitar mata kiri (+), nyeri pada - Mannitol Tapring of :
2016 Saraf tenggorokan (+), Sakit kepala (-), nyeri bekas besok 4 x 100, lusa 3 x
operasi (-), mual (-), muntah (-), pusing (-), kejang 100, selanjutnya 2 x 100,
(-) selanjutnya stop

O : GCS : E4M6V5 - Inj. Dexamethazone besok


stop
TD : 100/70 mmHg P : 20 x/m
- Oral : Vip Albumin 2 x 1,
N : 80 x/m S : 36.8 ºC phenitoin tab 3 x 1.

- Terpasang Infus NaCl 0,9%


- Terpasang kateter (+).

A : Post operasi craniotomy


5 Januari Bedah S : Bengkak pada sekitar mata kiri sudah - Terapi Lanjut
2016 Saraf berkurang, Sakit kepala (-), nyeri bekas operasi (-),
mual (-), muntah (-), pusing (-), kejang (-)

O : GCS : E4M6V5

TD : 110/70 mmHg P : 20 x/m

N : 78 x/m S : 36 ºC

14
- Terpasang Infus NaCl 0,9%
- Terpasang kateter (+)

A : Post operasi craniotomy


6 Januari Bedah S : Bengkak pada sekitar mata kiri berkurang (+), - Tunggu hasil kultur
2016 Saraf Sakit kepala (-), nyeri bekas operasi (-), mual (-),
muntah (-), pusing (-), kejang (-) - Besok bladder training

- Mannitol besok stop


O : GCS : E4M6V5

TD : 120/70 mmHg P : 20 x/m - Neurobion ampl/drips/hari

N : 84 x/m S : 36.5 ºC

- Terpasang Infus NaCl 0,9%


- Terpasang kateter (+)

A : Post operasi craniotomy


7 Januari Bedah S : Bengkak pada sekitar mata kiri (-), Sakit kepala - Aff kateter
2016 Saraf (-), nyeri bekas operasi (-), mual (-), muntah (-),
pusing (-), kejang (-) - Terapi lain lanjut

O : GCS : E4M6V5

TD : 110/70 mmHg P : 18 x/m

N : 80 x/m S : 36 ºC

- Terpasang Infus NaCl 0,9%


- Terpasang kateter (+)

A : Post operasi craniotomy


8 Januari Bedah S : Sakit kepala (-), nyeri bekas operasi (-), mual - Aff Infus
2016 Saraf (-), muntah (-), pusing (-), kejang (-)
- Terapi Oral :
O : GCS : E4M6V5
Cefixim 2 x 1
TD : 110/70 mmHg P : 20 x/m
Metronidazole 3 x 1
N : 78 x/m S : 36.6 ºC
Ranitidin 2 x 1
- Terpasang Infus NaCl 0,9%
Boleh Rawat Jalan
A : Post operasi craniotomy

17:00 Pasaien Keluar Rumah Sakit

15
PEMBAHASAN

EPIDEMIOLOGI

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang


terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi
bakteri, fungus, dan protozoa. Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan
perkembangan antibiotika saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate
kematian penyakit abses otak tetap masih tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-
rata 40%.1 penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju,
namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan
penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat.2

Menurut Britt, Richard et al, penderita abses otak lebih banyak dijumpai
pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3 : 1 yang umumnya
masih usia produktif yaitu sekitar 20 – 50 tahun.3

Yang SY menyatakan bahwa kondidi pasien sewaktu masuk rumah sakit


merupakan faktor yang sangat mempengaruhi rate kematian. Jika kondisi pasien
buruk, rate kematian akan tinggi.4

Hasil penelitian Hakim AA, terhadap 20 pasien abses otak yang


terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
menunjukkan hasil dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki lebih
besar dari perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan – 50
tahun dengan angka kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal). 5

Pada laporan kasus yang saya bawakan, sesuai dengan referensi yang
ada. Mengatakan bahwa prefalensi penderita abses otak lebih banyak dijumpai
pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3 : 1 yang umumnya
masih usia produktif yaitu sekitar 20 – 50 tahun.

MEKANISME PATOGENESIS

Sekitar 40-60% dari semua abses serebri berkembang sebagai perjalanan


dari otitis, mastoiditis, sinusitis paranasalis, dan fraktur tengkorak. Lebih jarang
abses serebri berasal dari osteomielitis tulang tengkorak, atau infeksi gigi geligi.

16
Pada umumnya abses otak terjadi akibat masuknya organisme ke dalam susunan
saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi, melalui proses penyebaran
langsung, atau metastasis dari fokus-fokus infeksi.6

Trauma yang meninggalkan benda asing, atau riwayat kraniotomi


sebelumnya merupakan faktor-faktor predisposis yang bermakna dalam
kejadian timbulnya abses serebri (10-20%). Di samping itu ada juga kejadian
abses sebagai akibat komplikasi penggunaan alat medis seperti Halo Orthosis
yang biasanya dipasang untuk fraktur servikal dan juga paska tindakan lain
seperti dilatasi striktur esofagus, tindakan pemasangan shunt untuk
hidrosefalus, terutama yang dilakukan berulang-ulang. Kurang lebih sepertiga
dari seluruh abses serebri merupakan infeksi metastasis melalui penyebaran
bakteri melalui hematogen, terutama sistem vertebrobasiler dari fokus-fokus
infeksi yang letaknya jauh dari kepala, dan biasanya abses ini merupakan jenis
yang multipel dengan lokasi yang khas, yaitu diantara perbatasan antara
substansia putih dan kelabu, lokasi dimana aliran darah kapiler adalah yang
paling lambat. Fokus sistemik sering menjadi sumber infeksi antara lain fokus
septik di paru-paru atau pleura(empiema, abses paru, bronkiektasis ),
abnormalitas jantung berupa infeksi atau defek kongenital ( seperti Tetralogi
Fallot) yang memungkinkan emboli yang terinfeksi masuk kedalam lintas
pendek sirkulasi paru dan mencapai otak, pustula-pustula kulit, abses gigi dan
tonsil, bakterialis, divertikulitis, ostiomielitis tulang-tulang nonkranial.
Sejumlah 10-37% dari kasus abses otak tidak diketahui sumber infeksinya.
Dalam hal ini tidak dapat dipastikan apakah infeksi sebelumnya sangat minimal
sehingga tidak menunjukkan bukti-bukti klinis atau telah sembuh jauh sebelum
abses di otak menjadi manifes.7

Cedera otak traumatik merupakan cedera yang terjadi karena adanya


tekanan mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial,
sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak,
gangguan fungsional, atau gangguan psikososial.1 Berdasarkan akibat yang
ditimbulkan pada kepala, cedera diklasifikasikan menjadi dua mekanisme atau
tahapan, yaitu cedera primer (primary insult) dan cedera sekunder (secondary
insult). Cedera primer merupakan akibat langsung trauma yang menimbulkan
kerusakan primer atau kerusakan mekanis. Sedangkan cedera sekunder
merupakan proses patologis yang dimulai pada saat cedera dengan presentasi
klinis tertunda. Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi
gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak
yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cedera awal (cedera otak
primer).8

17
Klasifikasi etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab
ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia,
hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab
intrakranial meliputi perdarahan ekstradural, subdural, intraserebral,
intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu cedera sekunder juga dapat
disebabkan karena pembengkakan dan infeksi. Pembengkakan intrakranial
meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik, edema sitotoksik, dan
edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cedera otak sekunder antara lain
meningitis dan abses otak.8

Dari hasil anamnesis yang saya lakukan pada pasien, saya dapatkan
pasien mempunyai riwayat trauma kepala kurang lebih tiga bulan yang lalu
dimana pasien dipukul dengan skop pada daerah kepala sebanyak 2 kali yang
menyebabkan terdapat luka terbuka pada kepala bagian temporal sebelah kanan.
Luka tersebut dijahit sebanyak lima jahitan. Menurut pasien, pasien tidak pernah
menderita atau mengeluh kelainan pada telinga, gigi, ataupun tenggorokan.
Pasien tidak mempunyai penyakit kelainan bawaan, sangat jarang menderita flu.
Oleh sebab itu, kemungkinan penyebab kelainan atau keluhan yang diderita oleh
pasien disebabkan oleh riwayat trauma kepala yang menyebabkan luka terbuka
yang bisa menjadi tempat berkembangnya infeksi.

BAKTERI PENYEBAB
Abses otak dapat disebabkan oleh beraneka ragam bakteri. Organisme
penyebab yang sering dijumpai adalah golongan streptokokus aerobik (S.
viridans, S. beta hemolythik), staphylococcus (S. aureus, S. epidermidis),
hemofilus (H. influenza, H. parainfluenza) dan golongan enterobakteria (E. coli,
spesies klebsiela, spesies enterobakteria, sitrobakteria, proteus) dan
pneumokokus. Sering kali kita menjumpai hasil biakan yang steril. Organisme
anaerob juga menunjukkan perannya dalam kejadian infeksi manusia dan yang
sering menjadi penyebab abses otak adalah antara lain : spesies bakteroides (B.
fragylis, B. melaninogenicus), strep. Anaerobic (peptostreptokokus),
peptokokus, fusobakteria, veillomella, eikenella, propioni bakteria, klostridia,
dan spesies aktinomises (A. israelii)9

Dari hasil pemeriksaan kultur pada jaringan yang dikeluarkan pada saat
operasi didapatkan bahwa penyebab infeksinya adalah bakteri Staphylococcus
spesies (+++), hal ini sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa salah satu
bakteri yang dapat menyebabkan abses serebri adalah infeksi bakteri
staphylococcus.

STADIUM ABSES
Dinamika perkembangan suatu abses otak dipelajari oleh Britt dan
Enzmann untuk pertama kali. Berdasar penelitian eksperimental klasik dan studi
18
klinisnya mereka mengidentifikasi empat stadium proses patologi abses otak
yaitu:9,10
1. Stadium serebritis dini / Early cerebritis (1-3 hari)
 Respon inflamasi perivaskuler mengelilingi pusat nekrotik pada hari ke
tiga
 Terdapat edema pada substansia alba
 Munculnya pusat nekrotik dan respon inflamasi lokal di sekeliling
pembuluh darah (mencapai puncak pada hari ke-3 dengan adanya
edema)
 Pada saat ini lesi tidak dapat dibedakan dari jaringan otak sehat.
2. Stadium serebritis lanjut / Late cerebritis (4-9 hari)
 Pusat nekrotik mencapai bentuk maksimum
 Muncul fibroblas (membentuk kapsul dan menambah neovaskularisasi
perifer dari pusat nekrotik)
 Terdapat respon reaktif astrosit di sekitar edema substansia alba
 Pus membentuk pembesaran dari pusat nekrotik yang dikelilingi oleh
zona sel inflamasi dan makrofag.
 Fibroblas membentuk jaringan retikulin yang perupakan prekursor dari
kapsul kolage
3. Stadium formasi kapsul dini / Early capsule formation (10-13 hari)
 Penurunan bentuk pusat nekrotik
 Terdapat fibroblas dengan deposisi retikulin pada bagian korteks
 Di luar kapsul terdapat serebritis dan neovaskularisasi dengan
peningkatan astrosit reaktif.
 Kapsul semakin menebal di sekitar pusat nekrotik.
 Formasi kapsul tersebut membatasi penyebaran infeksi dan perusakan
parenkim otak.
 Formasi kapsul berkembang lebih lambat pada daerah medial / ventrikel
karena vaskularisasi yang lebih sedikit pada substansia alba yang lebih
dalam.
4. Stadium formasi kapsul lanjut / Late capsule formation (> 14 hari)
 Kapsul menebal dengan reaktif kolagen pada minggu ketiga
 Ditandai dengan 5 zona histologi :
a. Adanya pusat nekrotik
b. Zona perifer dari sel inflamasi dan fibroblas
c. Kapsul kolagen
d. Lapisan neovaskularisasi di luar kapsul dengan cerebritis sisa
(residual cerebritis)
e. Zona edema dan gliosis reaktif di luar kapsul.

19
Pada pasien, keluhan muncul sudah lebih dari dua minggu. Pada hasil
pemeriksaan CT Scan kepala didapatka adanya massa pada lobus temporal
sebelah kiri dan berbatas tegas yang memberikan kesan adanya tumor otak
dengan diagnosis banding abses serebri. Dari hasil pemeriksaan akhir dengan
dilakukannya pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan yang dikeluarkan
pada saat operasi memberikan gambaran mikroskopis menunjukkan sebaran
diffuse limfosit, histiosit, dan leukosit polimorfonuklear diantaranya tampak sel
nonatipik serta tidak terdapat sel ganas pada jaringan tersebut. Sehingga
kesimpulan dari pemeriksaan patologi anatomi mendukung diagnosis abses
serebri. Berdasrkan lama perjalanan penyakit, adanya pusat nekrotik, dan zona
perifer dari sel inflamasi dan fibroblast menunjukkan abses serebri stadium
formasi kapsul lanjut.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium rutin dan likuor biasanya tidak memberikan
hasil yang nonspesifik, malah dilaporkan bahwa sepertiga pasien mengalami
herniasi transtentorial akibat tindakan punksi lumbal. Pada fase awal tekanan
intrakranial akan meninggi, hitung sel berkisar antara 20-300 per milimeter
kubik (10—80% neutrofil) dan protein meninggi sedikit (jarang lebih dari 100
mg/dL).
Pada pemeriksaan darah tepi kadang-kadang terdapat leukositosis. Cairan
serebrospinal biasanya bersifat jernih dan steril, kecuali bila abses pecah yang
akan menyebabkan terjadinya meningitis. Tekanan cairan serebrospinal sering
kali meningkat, dengan kadar protein yang sedikit meninggi. Jumlah sel normal
atau sedikit meninggi. Pada stadium awal jumlah sel polimorfonuklear lebih
banyak, namun bila sudah terbentuk kapsul, maka jumlah limfosit akan lebih
banyak.
Pengukuran kadar C-reaktif Protein (CRP) diterapkan untuk
membedakan abses otak piogenik dengan tumor otak atau lesi massa lainnya
berkaitan dengan peningkatan kadarnya di dalam plasma sewaktu ada proses
infeksi akut dan kronis. Pengukuran kadar CRP ini bermakna dan sangat
membantu pada kasus-kasus dalam stadium dini.
Pemeriksaan foto rontgen kepala merupakan metode investigasi yang
noninvasif. Pemeriksaan penunjang ini ditujukan untuk mengungkapkan
penyebab infeksi intrakranial, khususnya mengenai penyakitpenyakit inflamasi
daerah sinus-sinus paranasal, piramid, osteomielitis tulang tengkorak, cedera
kepala terbuka, serta deteksi benda asing atau fragmen tulang di dalam kepala,
serta peninggian tekanan intrakranial atau gas dalam kavitas abses. Namun
kepentingannya hanya sedikit untuk upaya mendeteksi absesnya sendiri.
Pemeriksaan EEG pada abses otak mirip dengan kasus-kasus tumor otak
yang tumbuh cepat. EEG (Electroencephalogram) dapat menunjukkan lokasi
abses, dengan memperlihatkan gelombang delta voltase tinggi pada tempat lesi

20
supuratif. Pemeriksaan EEG diperlukan untuk melihat adanya pembentukan dan
penambahan gelombang delta setempat.

Gambar : CT scan sebelum operasi

Gambar : CT scan paska operasi

CT (Computerised Tomography) scan merupakan prosedur yang sangat


bermanfaat untuk memastikan diagnosis abses otak. CT Scan mampu melihat
daerah dengan densitas yang kurang. Apabila sudah terbentuk kapsul daerah
tersebut akan dilingkari oleh daerah dengan densitas yang lebih tinggi.

21
Pemeriksaan angiografi serebral hanya dilakukan sebagai tambahan dari
pemeriksaan CT scan otak. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi suatu
massa avaskuler (yang terdiri dari abses dan edema sekelilingnya), dan dalam
fase arteri kadang-kadang ditampilkan area neovaskularisasi yang mengelilingi
zone nekrosis sentral. Deteksi abses yang lebih akurat dibanding pemeriksaan
tersebut di atas adalah dengan pemeriksaan sidik otak (brain scintigraphy). Hasil
pemeriksaan dikatakan positif bila terdapat gambaran berupa kue donat
(doughnut sign). Pemeriksaan CT Scan otak amat bermakna dalam
meningkatkan kemampuan investigasi diagnosa dan melokalisir abses-abses
otak piogenik. Pemeriksaan tersebut menampilkan stadium evolusi
perkembangan abses. Gambaran scanogram tanpa zat kontras abses ditampilkan
sebagai bagian yang isodens atau bahkan mempunyai densitas yang lebih padat
daripada jaringan otak normal, sedangkan pada scanogram dengan
menggunakan zat kontras, abses tampak sebagai suatu lesi dengan dinding yang
rata, tipis dan reguler. Edema tampak sebagai penurunan densitas gambar di
tengah lesi (materi-materi piogenik) dan substansia putih di sekitarnya.
Penampilan tambahan lain yang memberikan kesan lebih meyakinkan akan
diagnosa abses otak adalah adanya gas dalam lesi (fistula dura) dan juga
enhancement ventrikuler atau meningeal terutama bila dihubungkan dengan
gejala-gejala meningitis.
Pemeriksaan MRI cenderung unggul dalam menegakkan diagnosa lebih
dini dan akurat serta lebih definitif untuk menentukan penyebaran dan tampilan
kompleks proses inflamasi, khususnya dengan penggunaan zat kontras. Di
samping itu pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang
bermanfaat untuk investigasi diagnostik lesi-lesi intraserebral lainnya. MRI
dapat membedakan antara bekuan darah dan free flowing blood seperti
malformasi arterio-venosus, tumor, atau lesi-lesi nonvaskuler. Pemeriksaan CT
scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) hanya sebatas sebagai alat bantu.
Diagnosis abses otak terutama didasarkan atas gambaran klinis. Pada abses otak
yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan sianotik harus ada gambaran
tentang penyakit jantung tersebut.
Gambaran CT scan dan MRI pada abses otak menunjukkan daerah
dengan densitas rendah yang dikelilingi oleh kapsul. Pada tumor otak gambaran
CT Scan menunjukkan massa dengan densitas yang tinggi tanpa kapsul. MRI
berguna untuk menentukan kepastian lokasi abses pada otak. Untuk mengetahui
adanya penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan foto toraks, EKG
(Electrocardiography), dan ekokardiografi.9

22
Tabel : Histopatologi & Pencitraan dengan CT Scan dan MRI

Pada pasien ini, tidak semua pemeriksaan yang dibahas diatas dilakukan.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah rutin, gula darah sewaktu, ureum,
kreatinin,elektrolit, CT Scan kepala potongan axial, dan CT Scan kepala
potongan axial dengan kontras, serta pemeriksaan patologi anatomi. Dari hasil
pemeriksaan darah rutin didapatkan jumlah leukosit 17.500 mm 3 (Neutrofil =
13.39%, Monosit = 1.66%) hal ini mendukung referensi yang menyataakan 10-
80% sel terdiri dari neutrofil, hasil pemeriksaan gula darah sewaktu, ureum, dan
kreatinin dalam batas normal, pada pemeriksaan elektrolit didapatkan natrium
dan chlorida dalam batas normal sedangkan kalium sedikit menurun yaitu 3.23
mmol/L. pada pemeriksaan CT Scan kepala potongan axial tampa kontras
didapatkan kesan massa intracranial suspek astrocytoma dengan differensial
diagnosis abses serebri disertai midline shift ke kiri, sedangkan pada
pemeriksaan CT Scan kepala potongan axial dengan kontras didapatkan kesan
abses serebri dengan differensial diagnosis astrocytoma. Pemeriksaan akhir,
yaitu pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan yang dikeluarkan pada saat
operasi memberikan gambaran mikroskopik berupa sebaran diffuse limfosit,
histiosit, dan leukosit polimorfonuklear diantaranya tampak sel nonatipik serta
tidak terdapat sel ganas pada jaringan tersebut.

23
PREDISPOSISI ABSES SEREBRI
1. Penyebaran lokal (sebagai contoh infeksi sinus frontalis menyebabkan
abses lobus frontalis, infeksi sinus sphenoid menyebabkan ekstensi sinus
kavernosus, infeksi telinga tengah menyebabkan abses serebelum dan
lobus temporalis.
2. Penyebaran hematogen (sebagai contoh infeksi paru, shunt arteri vena,
penyakit jantung kongenital dan endokarditis, infeksi gigi, infeksi
gastrointestinal
3. Trauma kepala
4. Prosedur operasi bedah saraf
5. Imunosupresi10

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik abses otak bervariasi tergantung pada virulensi
organisme, status imun penderita, lokasi abses, jumlah lesi, adanya meningitis,
atau rupture ventrikel. Yang sering dirasakan penderita adalah demam, nyeri
kepala, dan deficit neurologis fokal. Nyeri kepala biasanya general,
kemungkinan karena peningkatan tekanan intrakranial, demikan juga dengan
mual dan muntah. Kejang biasanya general dan lebih sering pada lesi lobus
frontalis. Papil edema tidak berkorelasi dengan ukuran dari abses tapi lebih
kepada munculnya nyeri kepala dan muntah. Defisit neurologis fokal tergantung
pada lokasi, ukuran lesi dan edema sekitarnya. Hemianopsia biasanya
merupakan manifestasi lesi pada supratentorial.
Trias yang terdiri dari tanda infeksi, tanda peninggian tekanan
intrakranial dan gejala neurologis fokal. Stadium serebritis terdapat sakit kepala,
demam, letargi, dan kejang. Tapi sering pula tidak terlihat manifestasi klinis
sehingga proses penyakitnya terlihat akibat adanya lesi desak ruang. Gejala
dapat menjadi progresif, terlihat dengan adanya kelainan saraf lokal dan tekanan
intrakranial yang meningkat. Sakit kepala, muntah, dan kesadaran mulai
menurun dan disertai dengan hemiparesis, hemianopia atau kelainan neurologi
lainnya. Gejala klinis sering terlihat tetapi adakalanya tidak terdapat gejala
selama beberapa waktu. Keluhan hanya berupa demam yang hilang timbul dan
serangan sakit kepala. Dalam perkembangannya, abses otak dapat melalui tiga
fase walaupun secara klinis sulit dibedakan. Tiga fase tersebut, yaitu: fase
pertama adalah fase ensefalitis atau serebritis, dengan gejala demam,
mengantuk, sakit kepala, kaku dan kejang. Fase kedua adalah fase pembentukan
kapsul, di mana terjadi pada saat fase pertama mulai menurun atau bertambah,
yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu, namun abses tetap
bertambah secara perlahan-lahan. Fase yang ketiga adalah fase dekompresi
serebral, dengan tekanan intrakranial yang meninggi, kelainan fokal dan herniasi

24
unkus dengan penekanan batang otak, edema papil, hemiparesis, hemianopia,
yang lama-kelamaan masuk dalam keadaan stupor dan gangguan vital
Manifestasi abses serebelum adalah nistagmus, ataksia, muntah, dan
dismetria. Abses lobus frontalis menunjukkan gejala nyeri kepala, mengantuk,
kurang perhatian, dan penurunan fungsi mental. Hemiparesis dengan motorik
unilateral dan gangguan motorik bicara merupakan kelainan yang paling sering
muncul. Abses lobus temporalis seringkali muncul dengan nyeri kepala
ipsilateral. Bila abses muncul pada hemisfer dominan afasia/disfasia akan
tampak. Hemianopsia homonim superior muncul pada abses lobus temporalis
(merupakan satu-satunya tanda). Abses intrasella menyerupai tumor pituitari,
menunjukkan nyeri kepala, defek lapangan pandang, dan gangguan endokrin.
Abses batang otak menunjukkan kelemahan wajah, demam, nyeri kepala,
hemiparesis, disfagia, dan muntah.
Gejala dan tanda yang paling sering adalah nyeri kepala, kejang, dan
deficit neurologis fokal. Gejala-gejala gangguan neurologis tergantung dari
daerah korteks dan subkortikal otak yang terlibat seperti hemiparesis, disfasia,
dan defisit visual, serta perubahan mental. Nausea dan muntah yang mungkin
dikarenakan oleh adanya tekanan tinggi intrakranial. Pasien mengalami keluhan
demam. Hal ini dikaitkan dengan fase invasi abses, mempunyai temperatur yang
tidak terlalu tinggi (<38°C), serta khas tidak dibarengi dengan kaku kuduk
(kecuali bila ada meningitis).9,10
Pada pasien, mengeluh nyeri kepala yang terlokalisir di sebelah kanan
sekitar lobus temporalis. Selain nyeri kepala pasien juga mengalami muntah-
muntah, mual, dan kejang sebanyak tiga kali sebelum pasien dirawat di RS TK
II Pelamonia. Pasien menyangkal pernah demam tinggi, selain itu untuk
pemeriksaan indera penciuman saat pasien baru dirawat di RS TK II Pelamonia
tidak dilakukan, tetapi setelah dioperasi dilakukan pemeriksaan indera
penciuman dengan menggunakan kapas alkohol didapatkan hasil dalam batas
normal.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan abses otak adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan
kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah
dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik
aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik.4
Pemantauan ketat harus dilakukan terhadap keadaan umum dan tanda
vital penderita. Semua penderita dengan abses otak diberikan antibiotik
berspektrum luas, seperti juga pada meningitis bakterialis. Kita sering menemui
kesulitan pada pemberian antibiotik karena antibiotik tersebut harus dapat
menembus sawar otak, mampu menembus kapsul bila abses telah berkapsul, dan
mempunyai spektrum yang luas karena adanya berbagai macam mikroorganisme

25
penyebab abses. Penyuntikan antibiotik langsung ke dalam abses otak tidak
dianjurkan, karena hal ini dapat menyebabkan fokus epileptogenesis.
Black (1973) melaporkan bahwa nafsilin tidak dapat masuk ke dalam
abses, sedang kloramfenikol, penisilin, dan metisilin dapat masuk ke dalam
abses. Sefalosporin dan aminoglikosida tidak dapat menembus kapsul,
sedangkan linkomisin dan asam fusidat dapat menembus kapsul. Harus diingat
bahwa kuman dapat tetap ada dalam abses walaupun tercapai konsentrasi
antibiotik adekuat dalam abses dan kuman tersebut sensitif terhadap antibiotik
yang diberikan. Ukuran abses penting dalam pengobatan dengan antibiotik.
Abses dengan diameter antara 0,8-2,5 cm dilaporkan bisa sembuh dengan
pemberian antibiotik. Abses yang lebih besar memerlukan tindakan
pembedahan. Tindakan tanpa operasi biasanya dilakukan pada penderita dengan
abses multipel atau bila lesinya kecil dan sulit dicapai dengan operasi. Bila
terdapat abses multipel, aspirasi abses yang besar tetap dilakukan untuk
menentukan jenis mikroorganisme dan uji resistensi. Kuman anaerob
memerlukan metronidasol sebagai pengobatannya.
Rosenblum (1980) mengajukan kriteria penderita yang merupakan
kandidat untuk pengobatan dengan antibiotika saja, yaitu bila diperkirakan
operasi akan memperburuk keadaan, terdapat abses multipel terutama yang
jaraknya berjauhan satu sama lain, abses disertai dengan meningitis, abses yang
lokasinya sulit dicapai dengan operasi atau operasi diperkirakan akan merusak
fungsi vital, serta abses yang disertai dengan hidrosefalus yang mungkin akan
terinfeksi bila dioperasi. Konsultasi kepada ahli bedah saraf dilakukan untuk
mengetahui kemungkinan dilakukannya pengeluaran abses dari jaringan otak
dengan pembedahan.
Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat anak
mungkin juga menderita kelainan jantung, serta terdapatnya kemungkinan
tekanan intracranial yang meninggi. Pada penderita yang diduga atau terbukti
mengalami peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan kortikosteroid atau
cairan hiperosmoler, misalnya manitol. Pengobatan penunjang serta perawatan
yang baik perlu dilakukan dengan seksama termasuk pengobatan simtomatik
terhadap edema dan kejang.9
Pada pasien ini, dilakukan tindakan pembedahan untuk mengeluarkan
abses beserta kapsul dari abses tersebut. Setelah tindakan pembedahan
dilakukan, diberikan antibiotic ceftriaxone dan metrinidazole secara injeksi
selama tujuh hari dan diganti oral cefixim dan metronidazole, injeksi
dexamethazone tujuh hari sebelum operasi dan empat hari setelah operasi. Selain
itu diberikan cairan infus NaCl dan pemberian mannitol. Hari nol post operasi
diberi mannitol sebanyak 4 x 100 cc, hari pertama post operasi diberi mannitol
sebanyak 5 x 100 cc, hari kedua post operasi diberi mannitol sebanyak 5 x 100
cc, hari ketiga diberi mannitol sebanyak 5 x 100 cc, hari kelima diberi mannitol
sebanyak 5 x 100 cc  tappring off, hari keenam diberi mannitol sebanyak 4 x

26
100 cc dan pada hari keenam ini injeksi dexamethazone distop, hari ketujuh
diberi mannitol sebanyak 3 x 100 cc, hari kedelapan diberi mannitol sebanyak 2
x 100 cc, dan hari kesembilan pemberian mannitol distop dan pada hari ini juga
dilakukan blader treaning.

PROGNOSIS
Mortalitas lebih tinggi pada penderita yang menunjukkan perjalanan
penyakit yang cepat. Penderita mempunyai gejala lebih dari 2 minggu dan
memperlihatkan abses berkapsul mempunyai prognosis yang lebih baik.
Keadaan umum penderita juga menentukan prognosis. Penderita dalam keadaan
koma preoperatif mempunyai prognosis yang buruk. Penderita dengan gangguan
kekebalan mempunyai prognosis buruk. Keterlambatan operasi dapat pula
menyebabkan kematian.
Kematian disebabkan oleh karena ruptur abses ke dalam ventrikel atau
ruang subaraknoid, herniasi atau sepsis. Kejang dapat terjadi selama atau
setelah pembentukan abses. Paska operasi terdapat serangan kejang pada 30-
50% penderita. Bila kejang telah terjadi sebelum dilakukan operasi umumnya
selalu terjadi kejang paska operasi. Kejang dapat terjadi setelah 4 tahun
pengobatan. Penderita mengalami kejang paska operasi, 50% berupa kejang
umum dan 30% menunjukkan epilepsi parsial kompleks atau epilepsi fokal.5,9

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Ingham HR, Selkon JB & Roxby CM : “Bacteriological study of otogenic
cerebral absces,” Chemotherapeutic role of metronidazole, British Med J,1977.
2. Xiaang Y.Han et al :”Fusobacterial brain absces” A review of five cases and
analysis of possible pathogenesis; Journal of Neurosurgery,: Vol.99
3. Britt, Richard H : “Brain Absces”, J. Neurosurg,: Vol. 3
4. Yang SY:”Brain Abscec”, A review of 400 cases, J. Neurosurg
5. Hakim AA.”Pengamatan pengelolaan abses otak di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya”:1984-1986.
6. Hardiono DP. Abses otak. Naskah Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu
Kesehatan Anak ke XVIII. Kedaruratan Saraf Anak, Jakarta
7. Bell W, Chun WM, Jabbour JT, et al. Brain abscess, bacterial infectious of the
nervous system. In: Sweiman, Wright, editor. The Practica of Pediatric
Neurology. 1st ed., 1988.p.678-86
8. Basmatika Ayu Ida.”Cedera otak sekunder”.Dempasar,Bali.
9. Sp. BS dr. Wijanarko Ferry, Sp. BS. Turchan Agus.”Brain abscess with
congenital heart desease”. Bedah saraf solo.
10. Hakim Arsyad Adril.”Abses otak”.Bedah saraf RSUP H. Adam Malik, Medan.

28

Anda mungkin juga menyukai