Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUHAN

A. DEFINISI
Traumatik brain injury (cedera otak traumatik/COT) didefinisikan sebagai
adanya kelainan non degeneratif dan non congenital yang terjadi pada otak, sebagai
akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan
temporer atau permanen dalam fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial, dengan
disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Dowodu, 2013 ).
Cedera kepala atau traumatic brain injury didefinisikan sebagai cedera kepala
secara umum diartikan sebagai cedera yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang
tengkorak, dan tulang-tulang yang membentuk wajah atau otak. Berdasarkan anatomi
kepala, lapisan terluar yaitu kulit kepala yang memiliki jaringan yang lunak tetapi
memiliki daya lindung yang besar. Bila tengkorak tidak terlindung oleh kulit kepala
maka hanya mampu menahan pukulan sebesar 40 pound/inch tetapi bila terlindung
dari kulit kepala dapat menahan pukulan 425-900 pound/inch. Setelah kulit kepala,
juga terdapat tulang tengkorak yang melindungi isi dalamnya yaitu otak. Bagian yang
paling penting dari kesemuanya ialah otak yang merupakan pusat dari semua bagian
tubuh (Awaloei, Nola & Djemi.,2016).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang dapat
menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Ristanto, Riki., dkk . 2016)
Penggunaan darah oleh otak sangat besar jika dibandingkan dengan organ lain
dalam tubuh. Tidak kurang dari 15-20% darah dari jantung menuju ke otak.
Konsumsi oksigen oleh otak ialah antara 20-25% sehingga menyebabkan otak sangat
peka jika mengalami kekurangan oksigen. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi
kematian akibat cedera kepala antara lain faktor usia, jenis kelamin, hipotensi, dan
hipoksia (Awaloei, Nola & Djemi.,2016).

B. ANATOMI OTAK
Otak terdiri dari otak besar (serebrum), batang otak (brain stem), dan otak kecil
(serebelum) (Bahrudin, 2012)
1. Otak Besar (Serebrum)
Otak besar adalah bagian terbesar otak dan terdiri dari belahan (hemisfer)
kiri dan kanan yang dihubungkan oleh sekumpulan serabut besar yang disebut
korpus kalosum (Bahrudin, 2012).
Serebrum dibagai menjadi 2 yaitu telesefalon dan diencephalon.
a. Telesefalon
Pada bagian korteks serebri terdapat beberapa fisura dan sulkus
di permukaan otak yang memisahkan lobus yang satu dengan lobus
yang lain. Lobus-lobus tersebut adalah lobus frontalis, lobus parietalis,
lobus temporalis, dan lobus oksipitalis. Sedangkan pada bagian sub
korteks, substansia alba di bagian tengah hemisfer serebri (sentrum
semiovale) berisi serabut-serabut transversa (komisura), proyeksi, dan
asosiasi (Bahrudin, 2012).
Ganglia basalis adalah sepasang masa substansia abu-abu di
belahan otak. Dalam setiap hemisfer inferior menuju ventrikel lateral
terdapat nukleus yang tertanam di pusat substansia putih dan terdapat
proyeksi radiasi dan perjalanan serabut disekitar atau diantara nukleus.
Ganglia basalis terdiri dari nukleus kaudatus, putamen, globus
pallidus, dan area abu-abu lain di dasar otak (Bahrudin, 2012).
b. Diencephalon
Diencephalon menghubungkan belahan otak ke batang otak dan
terdiri dari epitalamus, talamus kiri dan kanan, serta hipotalamus.
Epitalamus merupakan atap ventrikel ketiga yang terdiri dari trigonum
habenulae, korpus pineale, dan komisura posterior. Sedangkan talamus
adalah masa abu-abu berbentuk oval yang terdapat pada tiap-tiap
hemisfer otak dan masing-masing memiliki 5 kelompok inti yaitu
kelompok inti anterior, median (midline), medial, lateral, dan
posterior. Pada bagian bawah dan depan talamus, terdapat hipotalamus
yang merupakan lantai dan dinding bawah dari ventrikel III. Beratnya
sekitar 4 gram atau 0,3% dari berat otak (Bahrudin, 2012).
2. Batang Otak (brain stem)
Batang otak terdiri dari tiga bagian yaitu mesensefalon, pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon terdiri dari beberapa bagian yaitu basis, tegmentum,
dan tektum. Pada bagian inferiornya terdapat pons yang membentuk tonjolan
pada permukaan anterior batang otak. Pons melekat pada serebelum oleh 3
pedunkulus serebri. Bagian-bagiannya adalah basis dan tegmentum. Sedangkan
medula oblongata adalah struktur yang menghubungkan otak dengan medula
spinalis (Bahrudin, 2012).
3. Otak kecil (Serebelum)
Serebelum mempunyai 2 hemisfer otak. Terdiri dari 2 lobus (anterior dan
posterior) yang dipisahkan oleh fisura dan terdapat vermis disepanjang garis
tengah yang memisahkan hemisfer otak kecil (Bahrudin, 2012).
Anatomi serebelum
Serebelum merupakan bagian dari otak yang terletak di fosa posterior.
Permukaan superiornya diselubungi oleh tentorium serebeli yakni lapisan durameter
yang memisahkan serebelum dan serebrum. Serebrum hanya sekitar 10% dari berat
otak keseluruhan, tetapi serebrum mengandung lebih dari 50% seluruh neuron otak
(Baehr and Frotscher, 2012).
Serebelum terbagi menjadi 3 lobus antara lain lobus anterior, lobus medius, dan
lobus flokulonodularis (Guyton and Hall, 2014). Sedangkan secara fungsional,
serebelum terdiri dari bagian vestibuloserebelum (lobus flokulonodularis),
spinoserebelum (pars intermedialis), dan serebroserebelum (Baehr and Frotscher,
2010).
Histologi serebelum
Terdapat tiga lapisan utama korteks serebelum yaitu lapisan luar (lapisan
molekuler), lapisan tengah (lapisan sel purkinje), dan lapisan dalam (lapisan granuler)
(Guyton and Hall, 2014).
Pada lapisan molekuler dengan badan sel saraf yang relatif lebih sedikit dan
kecil serta banyak serat yang berjalan sejajar dengan panjang folium. Pada lapisan
purkinje terletak di bagian tengah atau sentral korteks. Sel purkinje (neuron purkinje)
memiliki bentuk priform atau piramid dengan dendrit bercabang-cabang yang masuk
ke dalam lapisan molekuler. Lapisan granulosum di sebelah dalam dengan banyak
neuron kecil menunjukkan nukleus yang terwarnai secara kuat. Pada substansi alba
terdiri akson atau serat saraf bermielin. Akson saraf merupakan serat aferen dan
eferen korteks serebelum (Guyton and Hall, 2014).
Fisiologi serebelum
Serebelum merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang memiliki tiga
fungsi utama yaitu sebagai koordinasi gerakan, keseimbangan tubuh dan mengontrol
tonus otot. Serebelum juga sebagai organ yang menerima informasi propioseptif,
menunjukkan posisi tubuh (rasa posisi) dari sumsum tulang belakang dan memantau
semua sensasi propioseptif, visual, sentuhan, keseimbangan, dan pendengaran yang
diterima oleh otak (Bahrudin, 2012).
Serebelum mempunyai sekitar tiga puluh juta unit fungsional yang hampir
identik. Pusat unit fungsional ini terletak pada sel purkinje yang banyak didapatkan di
korteks serebeli dan berhubungan dengan sel nuklear dalam. Selain dikarenakan
karena jumlahnya yang banyak, sel purkinje juga menjadi pusat penjalaran sinyal di
korteks serebelum sehingga berperan sebagai fungsional yang utama. Serebelum
membantu mengurutkan aktivitas motorik dan juga memonitor dan memperbaiki
penyesuaian aktivitas motorik tubuh ketika aktivitas tersebut sedang dijalankan
sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap sinyal-sinyal motorik yang dicetuskan
oleh korteks serebri dan bagian otak lainnya. Untuk melakukan hal itu, terjadi
perubahan eksitabilitas neuron-neuron serebelar yang sesuai sehingga selanjutnya
menghasilkan kontraksi otot yang lebih baik sehubungan dengan gerakan yang
diinginkan. Berdasarkan fungsinya, lobus anterior dan posterior tak tersusun sebagai
lobus-lobus melainkan tersusun sepanjang sumbu longitudinal. Di sebelah bawah
pusat serebelum terdapat pita sempit dinamakan vermis. Pada area ini terletak
sebagian fungsi pengatur serebelar untuk pergerakan-pergerakan otot menurut sumbu
tubuh, leher, bahu, serta pinggul. Pada setiap sisi vermis ada bagian yang besar dan
menonol ke lateral yang disebut hemisferium serebeli, dan setiap hemisferium ini
dibagi menjadi zona intermedia dan zona lateral. Zona intermedia hemisferium
berhubungan dengan pengaturan kontraksi otot yang terletak di bagian distal anggota
tubuh atas dan anggota tubuh bawah, khususnya tangan dan jari tangan serta kaki dan
jari kaki. Sedangkan zona lateral hemisferium bekerja pada tempat yang lebih jauh
karena tampaknya area ini ikut berperan dalam seluruh ragkaian gerakan motorik.
Tanpa adanya zona lateral ini, sebagian besar aktivitas gerakan tubuh yang khas akan
tidak tepat lagi sehingga menjadi sangat tak teratur. Korteks serebelum manusia
terdiri dari lipatan lembaran yang besar, panjang sekitar 120 cm, dan lebar sekitar 17
cm, dengan arah lipatan yang menyilang. Setiap lipatan disebut folium. Pada bagian
dalam massa korteks serebelum yang berlipat-lipat terdapat nuklei serebeli profunda
(Guyton dan Hall, 2012).
Serebelum terdiri atas tiga komponen anatomis utama yaitu lobus
flokulonodular (archi serebelum), lobus anterior (paleo serebelum) dan lobus
posterior (neo serebelum). Lobus flokulonoduler menerima proyeksi terutama dari
inti-inti vestibuler. Lobus anterior terutama pada bagian vermis menerima input dari
jaras spinocereberalis. Lobus posterior menerima proyeksi dari hemisfer serebri.
Korteks serebelum terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan molekuler, lapisan sel-sel
purkinje dan lapisan granuler. Pada hemisfer serebri terdapat empat pasang inti yaitu
fastigial, globosus, emboliformis, dan dentatus. Terdapat tiga pasang berkas proyeksi
utama yaitu pedunkulus serebeli superior (brachium conjuncyivum), pedunkulus
serebeli media (brachium pontis), dan pedunkulus serebeli inferior (corpus
restiforme). Fungsi serebelum adalah sebagai pusat koordinasi untuk
memepertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum diperlukan untuk
mempertahankan postur dan keseimbangan untuk berjalan dan berlari (Guyton and
Hall, 2014).

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), cidera kepala atau cidera otak dibagi
menjadi tiga gradasi, yaitu :
1. Cidera kepala atau cidera otak ringan, cidera ini ditentukan apabila GCS yang
ditunjukkan oleh pasien memiliki nilai 13 – 15.
2. Cidera kepala atau cidera otak sedang, cidera ini ditentukan apabila GCS yang
ditunjukkan oleh pasien memiliki nilai 9 – 12.
3. Cidera kepala atau cidera otak berat, cidera ini ditentukan apabila GCS yang
ditunjukkan oleh pasien memiliki nilai kurang atau sama dengan 8.
Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia,
maka reaksi verbal diberikan tanda atau nilai “X”, atau oleh karena kedua mata
edema berat sehingga tidak dapat dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi
membuka mata diberika nilai “X”, sedangkan jika pada klien yang dilakukan
tindakan trakeostomi atau dilakukan intubasi maka observasi verbal diberikan nilai
“T” (Muttaqin, 2011).
Klasifikasi atau jenis perdarahan yang biasanya terjadi pada trauma otak :
1. Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
2. Subdural Hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan
jaringan otak, dapat menjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena atau jembatan vena yang biasanya terdapat di antara
dura meter, perdarahan lambat atau sedikit.
3. Epidural Hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura meter dan
tulang. Biasanya sumber perdarahannya adalah dari sobekkan arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (oleh adanya fraktur kalvaria dan lain
lain.
4. Subarachnoid Hematoma (SAH)
Perdarahan subarachnoid (SAH) adalah perdarahan yang terjadi pada area
yang terletak di antara otak dan lapisan pembungkus otak, yang disebut ruang
subarachnoid. Pada ruang ini terdapat cairan serebospinal atau cerebospinal
fluid (CSF) yang melindungi otak dari cedera.
5. Intraventricular Hemorrage (IVH)
Perdarahan intraventrikel (intraventricular hemorrhage/IVH) merupakan
perdarahan spontan yang terjadi di dalam sistem ventrikel, 30-45% sering
berhubungan dengan perdarahan intraserebral (PIS).

D. ETIOLOGI
Etiologi cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu kekerasan
tumpul; kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena kecelakaan, pembunuhan,
atau dapat juga bunuh diri. Selain itu kekerasan tajam merupakan jenis kekerasan
yang cukup banyak terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi atu kayu
runcing, pecahan kaca, atau benda-benda lain yang tajam. Cedera akibat tembakan
juga dapat menyebabkan kematian dimana dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan,
kaliber peluru dan jenis peluru yang digunakan, jarak tembakan, deformitas yang
terjadi pada tulang dan peluru, jalannya peuru yang masuk pada otak. Cedera kepala
akibat gerakan mendadak juga dapat dimasukan kedalam etiologi yang dapat
meyebabkan kematian meskipun tidak terdapat kekerasan yang nampak langsung
pada kepala cedera dapat terjadi oleh karena gerakan yang mendadak misalnya suatu
percepatan, perlambatan, atau perputaran. Kerusakan yang terjadi terutama pada
pembuluh darah otak dan jaringan sekitarnya (Awaloei, Nola & Djemi.,2016).
E. PATOFISIOLOGI
Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas (Awaloei, Nola &
Djemi 2016) :
1. Cedera primer
Cedera primer merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat berupa benturan langsung ataupun proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala. Pada cedera primer dapat diakibatkan oleh adanya
peristiwa coup dan countrecoup (Awaloei, Nola & Djemi 2016).
Mekanisme cedera kepala adalah akibat kontak dan proses
akselerasi/deselerasi. Lesi karena kontak merupakan akibat dari obyek yang
mengenai kepala atau sebaliknya dan menyebabkan efek lokal seperti laserasi
skalp, fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, kontusio, dan perdarahan
intraserebral. Sedangkan, kerusakan akibat gaya akselerasi yang terjadi
bergantung pada tipe, kwantitas, dan lamanya akselerasi dan arah dari gerakan
kepala. Akselerasi ada 3 tipe yaitu (Krismanto, 2013) :
a. Akselerasi translasional, yang terjadi bila pusat gravitasi otak (sekitar
glandula pineal) bergerak sesuai garis lurus.
b. Akselerasi rotasional, terjadi bila ada gerakan disekitar pusat gravitasi, tanpa
pusat gravitasi itu sendiri bergerak.
c. Akselerasi angular, merupakan kombinasi akselerasi translasional dan
akselerasi rotasional.
Studi eksperimental terhadap subhuman primate menunjukkan gaya
akselerasi tanpa benturan dapat menimbulkan kontusio ringan hingga hematoma
subdural tergantung lama dan besarnya gaya. Kontusio adalah tipe dari kerusakan
otak fokal yang terjadi oleh karena kontak antara permukaan dari otak dengan
tulang protuberansia pada dasar tengkorak. Berdasarkan adanya kerusakan otak
akibat cedera kepala, memiliki distribusi karateristik yang dapat mengenai lobus
frontal, girus orbital, korteks di atas dan di bawah fissura silvii, lobus temporal
dan aspek lateral dan inferior dari lobus temporal. Permukaan inferior dari
hemisfer serebelar juga dapat terkena tapi frekuensinya lebih jarang. Kontusio
yang berat dapat merusak girus dan dapat meluas sampai ke substansia putih
(Krismanto, 2013).
Kontusio memiliki beberapa variasi. Fraktur kontusio terjadi pada lokasi
fraktur dan paling berat jika terjadi pada lobus frontal yang berhubungan pada
fossa anterior; coup kontusio terjadi terjadi pada sisi benturan tanpa adanya
fraktur; countercoup kontusio terjadi pada sisi yang berlawanan dari benturan;
herniasi kontusio terjadi pada area medial dari lobus temporal yang berkontak
dengan ujung bebas dari tentorium atau tonsil serebelar yang berkontak dengan
foramen magnum pada saat terjadinya injury; intermediary coup kontusio adalah
lesi tunggal atau multipel pada struktur yang lebih dalam dari otak termasuk
korpus kalosum, basal ganglia, hipotalamus, dan batang otak (Krismanto,
2013).
Gliding kontusio adalah perdarahan fokal pada korteks dan struktur yang
berdekatan dengan substansia putih dan disebabkan oleh rotasi. Gliding kontusio
seringkali tidak simetris dan biasanya merupakan bagian dari cedera difus baik
pada cedera akut vaskuler maupun diffuse axonal injury (DAI). Perdarahan
intraserebral biasanya terjadi secara multipel dan lebih sering terjadi pada lobus
temporal dan frontal, walaupun mungkin dapat terjadi juga pada struktur yang
lebih dalam dari hemisfer,dan lebih jarang terjadi pada serebelum.
Patogenesisnya masih belum jelas, tetapi diduga akibat langsung dari pecahnya
pembuluh darah pada saat terjadi trauma Pada CT scan kepala, dapat dilihat
adanya perdarahan pada struktur yang lebih dalam dari otak. Pada CT scan
tampak lesi berdensitas tinggi dengan minimal atau tidak adanya edema
disekelilingnya pada fase akut.7 Pasien dengan tipe perdarahan seperti ini
memiliki insiden yang tinggi akibat gliding kontusio dan DAI. Perdarahan
intraserebral pada trauma kepala juga dapat terjadi akibat adanya gaya akselerasi
atau deselerasi, terutama jika perdarahan terjadi pada lobus frontal inferior atau
lobus temporal atau terjadi akibat adanya penetrasi langsung pada kepala dan
pada kasus ini lokasi perdarahan tergantung pada lokasi penetrasi yang
melibatkan pembuluh darah besar (Krismanto, 2013).
2. Cedera sekunder
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologik yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang berkelanjutan, iskemia. dan
perubahan neurokimiawi. Pada cedera sekunder terjadi gangguan proses
metabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak, hemodina-mika intracranial, dan
kompartemen cairan serebrospinalis (CSS) yang dimulai setelah terjadinya
trauma namun tidak tampak secara klinis segera setelah trauma (Awaloei, Nola
& Djemi 2016).
Cedera sekunder menyebabkan kematian sel neuron melalui mekanisme
secondary brain damage dan secondary brain insult. Secondary brain damage
terjadi sesudah aktivasi langsung dari proses imunologi dan biokimia yang
merusak dan berpropagasi secara otomatis. Mediator biokimia dan inflamasi
diantaranya adalah: asidosis laktat, influx kalsium, asam amino eksitatorik, asam
arakhidonat, oksida nitrit, radikal bebas, peroksida lipid, aktivitas komplemen,
sitokin, bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema. Sementra secondary
brain insult timbul sebagai akibat dari perburukan sistemik maupun patofisiologi
intrakranial dan memperberat kerusakan neuron. Hal ini merupakan jalur akhir
terjadinya proses iskemia otak. Beberapa gejala yang dapat timbul adalah
hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermia, hiperglikemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia, peningkatan tekanan intrakranial,
kejang, vasospasme dan infeksi (Krismanto, 2013).
F. Pathway/WOC
G. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala Umum cedera otak traumatik (BrainLine, 2018):
1. Kehilangan atau berubah kesadaran mulai dari beberapa detik hingga beberapa
jam
2. Penurunan tingkat kesadaran, mis., sulit dibangunkan
3. Kejang
4. Pelebaran yang tidak sama pada pupil mata atau penglihatan ganda
5. Cairan bening mengalir dari hidung atau telinga
6. Mual dan muntah
7. Defisit neurologis baru, yaitu bicara tidak jelas; kelemahan lengan, kaki, atau
wajah; kehilangan keseimbangan
Gejala umum lainnya yang harus dipantau termasuk:
1. Sakit kepala, pusing, vertigo, atau kehilangan keseimbangan atau koordinasi
2. Masalah sensorik:pandangan kabur, berkuang- kunang, atau mata mudah lelah
3. Telinga berdering
4. Rasa tidak enak di mulut
5. Kehilangan indera penciuman atau rasa
6. Sensitivitas terhadap cahaya, suara, atau gangguan;perubahan suasana hati.
7. Agitasi (merasa sedih atau marah tanpa alasan), mengamuk,, atau perilaku tidak
sama lainnya
8. Perasaan depresi atau kecemasan
9. Kelelahan atau kantuk; kurangnya energi atau motivasi
10. Perubahan pola tidur (lebih banyak tidur atau sulit jatuh atau tetap terjaga),
11. Ketidakmampuan untuk bangun dari tidur
12. Masalah mengingat, berkonsentrasi, atau membuat keputusan
13. Lambat dalam berpikir, berbicara, berakting, atau membaca
14. Sakit kepala, pusing, kebingungan, dan kelelahan cenderung dimulai segera
setelah cedera, tetapi sembuh seiring waktu.
15. Gejala emosional seperti frustrasi dan iritabilitas cenderung berkembang di
kemudian hari selama periode pemulihan.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1. CT Scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarakhnoid.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan.
13. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera otak traumatik yang komprehensif meliputi penanganan
prehospital, penanganan di UGD dan penanganan perioperatif serta durante operatif.
Penatalaksanaan tersebut sangat membantu terhadap hasil prediksi keluaran pasien
baik morbiditas maupun mortalitasnya. Pengelolaan cedera kepala harus dimulai
ditempat kejadian, diteruskan selama transportasi, di UGD dan sampai terapi definitif
(Bisri, 2012). Manajemen anestesi dengan menjaga hemodinamik yaitu menjaga
stabilitas fungsi kardiovaskuler, mencegah hipoksia, mencegah hiperkapnea,
mencegah kerusakan neurobiokimiawi dengan cara cerebral protection dan cerebral
resucitation (Kass dan Cottrel, 2010).
1. Penatalaksanaan awal
Fokus penatalaksanaan cedera kepala pada saat ini adalah mencegah cedera
primer serta menghindari dan mengelola cedera sekunder. Landasan dari
pengelolaan cedera kepala traumatik adalah resusitasi dan stabilisasi di tempat
kejadian, kecepatan dan ketepatan transportasi, resusitasi di unit gawat darurat,
evakuasi pembedahan, kontrol Tekanan Intra Kranial (TIK), menjaga tekanan
perfusi otak, monitoring multimodal, optimalisasi lingkungan fisiologis. Periode
perioperatif sangat penting pada pengelolaan cedera kepala traumatik.
Penatalaksanaan pada periode pra rumah sakit merupakan titik kritis untuk
mencegah terjadinya cedera sekunder, tetapi ini jarang dilakukan karena pasien
dikelola oleh tenaga kesehatan setelah tiba di rumah sakit.
Penatalaksanaan di rumah sakit pertama adalah resusitasi dan stabilisasi,
pembebasan jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi cairan dan pemberantasan
kejang telah dilakukan. Pada waktu dalam perjalanan transportasi ke rumah sakit
kedua resusitasi dan stabilisasi untuk mencegah cedera sekunder tetap dilakukan.
Datang di UGD rumah sakit kedua dilakukan survei primer menyeluruh serta
dilakukan resusitasi terhadap cedera yang mengancam jiwa. Diberikan oksigen 8–
10 l/menit, ventilasi dengan Jackson Reese, pemberian Ringer Fundin 100 cc/jam.
Dari rumah sakit pertama sudah diberi cairan RL 1000 cc, terpasang collar neck.
Pasien disiapkan intubasi, head up 15o –30o diberikan manitol 200 ml karena juga
terdapat tanda Cushing. Intubasi sering dilakukan untukm enghilangkan obstruksi
jalan nafas, kontrol ventilasi, proteksi terhadap resiko aspirasi.
Intubasi dilakukan dengan indikasi yaitu: GCS 40x/menit, volume tidal < 3,5
ml/Kg berat badan, kapasitas vital < 70 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg. Disamping
mencegah dan mengelola hipoksi dan hiperkarbi, penting juga menjaga stabilitas
kardiovaskular karena hipotensi dan hipertensi dapat memperburuk luaran.
Hipotensi yang terjadi pada cedera kepala membahayakan hemodinamik otak dan
menyebabkan iskemiaotak, oleh karena itu penting untuk menjaga tekanan darah
optimal termasuk juga pemilihan cairan untuk resusitasi dan penggunaan
vasopresor bila dianggap penting.
Brain Trauma Foundation Guidelines telah merekomendasikan menghindari
hipotensi (sistolik <90 mmHg) dan mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP)
50–70 mmHg. Cairan isotonis kristaloid non glukosa merupakan pilihan utama,
kecuali apabila terjadi hipoglikemi maka kristaloid yang mengandung glukosa
dipertimbangkan. Yang ingin dicapai adalah kondisi normotensi, normovolemi,
normoglikemi. Hipertensi sering terjadi karena pelepasan katekolamin oleh proses
trauma serta usaha dalam mempertahankan perfusi otak akibat peningkatan TIK
dapat mengurangi respon tekanan darah. Penggunaan adrenergik blocking agent
dipertimbangkan bila usaha pengendalian TIK tidak dapat menurunkan tekanan
darah. Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol dapat merugikan karena
meningkatkan pembentukan edema dan TIK.
Pada cedera kepala traumatik apabila didapatkan hipertensi yang dipikirkan
pertama adalah tanda cushing lebih dahulu. Tujuan resusitasi pada cedera kepala
selanjutnya adalah pengendalian Tekanan Intrakranial. Bila pasien head up 15o –
30o perlu diwaspadai efek samping penurunan tekanan darah yang akan
memperberat iskemia. Penilaian neurologik meliputi fungsi kesadaran dengan
menggunakan skor GCS serta penilaian pupil meliputi ukuran, respon terhadap
cahaya, simetris kanan kiri. Pemeriksaan radiologi seperti CT-Scan tanpa kontras
adalah pilihan, serta pemeriksaan x-ray untuk daerah lainnya seperti cervical,
pelvis, femur. CT-Scan kepala dapat menunjukkan adanya tanda-tanda
peningkatan TIK seperti adanya pergeseran garis tengah, adanya massa
intrakranial seperti hematom.
2. Penatalaksanaan Perioperative
Prosedur penatalaksanaan perioperative pada operasi kraniotomi dengan
cedera otak traumatik (COT) ialah dengan menjaga hemodinamik pasien dalam
kondisi stabil dengan harapan tercapainya keadaan yang optimal (Kass dan
Cottrel, 2010). Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan pengendalian
tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan saraf dari iskemia
(brain protection) serta mengurangi perdarahan Tindakan perioperatif pada cedera
otak traumatik yang dilakukan pada operasi kraniotomi salah satu tujuannya
adalah menjaga hemodinamik pre, durante dan post operasi dengan terdapatnya
tiga target yaitu mengendalikan tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi
jaringan saraf dari iskemia dan cedera serta mengurangi perdarahan Salah satu
tindakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan membuat komponen
durameter, parenkhim otak relaks/ slack brain atau “kempis” selama operasi
dengan salah satu cara dengan memberikan osmotik diuretik (mannitol) maupun
cairan Na hipertonik (Hisam, Sudadi & Sri 2015).
Dengan dasar-dasar cerebral protection, cerebral resuscitation,
hemodinamik stabil, dan relaksasi otak yang baik secara objektif akan menjaga
adekuatnya perfusi ke otak sehingga hasil yang diharapkan menjadi baik (Kass dan
Cottrel, 2010). Sebenarnya upaya terapi sesungguhnya untuk mencegah,
menghambat kaskade cedera otak sekunder dengan tidak memperberat tekanan
intrakranial. Tatalaksana dengan penggunaan hyperosmolar therapy untuk
menurunkan TIK, dengan menggunakan cairan mannitol dan Na laktat Hipertonik
telah direkomendasikan Intervensi dari mannitol maupun Natrium hipertonik
terbukti menjadi salah satu terapi untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
diakibatkan edema serebri akibat trauma kepala. Pada cedera otak traumatik yang
akan dilakukan operasi kraniotomi, penanganan edema dimaksudkan untuk
mengurangi edema yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial yang tinggi
yang secara langsung mempengaruhi relaksasi otak (Hisam, Sudadi & Sri 2015).

J. ASUHAN KEPERAWATAN (TEORI)


1. Pengkajian
Pengumpulan data klien pada gangguan system persyarafan sehubungan dengan
cidera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya konplikasi
pada organ vital lainnya.
a. Anamnesa
1) Identitas pasien
meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal jam masuk RS, nomor register dan
diagnosa medis.
2) Keluhan utama
yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan
tingkat kesadaran.
3) Riwayat penyakit saat ini
adanya trauma yang mengenai kepala akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian riwayat
penyakit sekarang dapat meliputi tingkat kesadaran pasien yang
menurun, konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, luka kepala,
paralisis, akumulasi secret pada pernafasan, adanya liquor dari hidung
dan telinga, serta kejang. Keluhan penurunan kesadaran akibat
perubahan dari intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi.
4) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang pernah di derita klien.
5) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderitapenyakit
yang bersifat menurun.
b. Pemeriksaan fisik.
Setelah dilakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan ber system (B1-B6)
dengan focus pemeriksaaan fisik pada B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungakan dengan keluhan-keluhan klien.
1) Keadaan umum pada keadaan cidera kepala umumnya mengalami
penurunana kesadaran (cidera kepala/otak ringan, GCS 13-15, cidera
kepala/otak sedang, GCS 9-12, cidera kepala/otak berat, GCS kurang
atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
2) B1 (Breathing) perubahan pada system pernafasan bergantung pada
gradasi dari perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada
beberapa keadaan hasil dari pemeriksaaan fisik dari system ini akan
didapatkan :
a) Inspeksi : klien batuk, peningkatan peoduksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru-paru tidak
simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan
kesimetrisannya, retraksi dari otot intercosta, substernal, pernafasan
abdomen dan respirasi paradoks. Pola nafas dapat terjadi jika otot
intercosta tidak mampu menggerakkan dinding dada.
b) Palpasi : fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melinatkan trauma pada rongga thoraks.
c) Perkusi : adanya sura redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks atau hematithoraksis
d) Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekretdan
kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien
dengan cidera kepala dengan penurunan tingkat kesadaraan atau
koma.
e) Pada klien dengan cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi
pusat pernafasan, klien biasanya terpasang ETT dengan vertilator
dan biasanya klien dirawat di ruang perawatan instensif sampai
kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien cidera otak berat
dengan pemasangan ventilator secara komperhensif merupakan
jalur keperawatan kritis.
3) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering tejadi pada klien cidera kepata/otak sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi
merupakan tanda dari perubahan fungsi jaringan otak. Kulit kelihatan
pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-
tanda awal dari syok. Pada beberapa keadaan lain akibat trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormone (ADH) yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
penegluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga memberikan
resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan san elektrolit pada
system kardovaskular.
4) B3 (Brain)
Cidera kepalaatau otak menyebabkan berbagai faktor defisit neurologis
terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma dan epidural hematoma. Pengkajian B3 merupakan
pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien dengan cidera kepala atau
otak biasanya berkisar pada tingkat letasgi, stupor, semikomatosa, dan
sampai koma.
Pemeriksaan fungsi serebral
a. Status mental : kaji penampilan klien dan tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah dan aktifitas motorik pada klien cidera kepala tahap
lanjut biasnya status mental mengalami perubahan.
b. Fungsi intelaktual : pada beberapa keadaan klien cidera kepala
didapatkan penurunan daya ingat dan memori baik jangka pendek
maupun jangaka panjang.
c. Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan apabila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontalis.
d. Hemisfer : pada pasien cidera kepala , hemisfer kanan didapatkan
hemiprese sebelah kiri dan sebaliknya.
Pemeriksaan saraf cranial
berhubungan dengan pemeiksaan saraf II – XII.
Sistem motorik
a. inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
b. tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang
c. kekuatan otot , pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade 0.
d. keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparese dan hemiplegia.
Pemeriksaan refleks
a. pemeriksaan refleks dalam, mengetuk pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajad refleks pada respons normal.
b. pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi
yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
Sistem sensori
Kehilangan sensori karena cidera kepala atau otak dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat , dengan
kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerak
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual,
taktil, dan auditorius.
5) B4 - Bladder
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Setelah cidera kepala klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
6) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan rongga mulut
dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.
Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas
bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising
usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama +- 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
7) B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kepembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada
klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice ( warna kuning) pada klien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan *packed red cells* (PRC) dalam jangka waktu lama. Pada
klien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas
terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2. Diagnosa keperawatan
Pre Operasi
1) Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera
kepala).
2) Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri dan
atau vena.
3) Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan cedera kepala.
4) Resiko Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan cerna makanan.
Post Operasi
5) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya jalan napas
buatan (Endotracheal Tube)
3. Intervensi
Pre Operasi
Diagnosa
No. SLKI SIKI
Keperawatan
1. Resiko Perfusi Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan
Serebral Tidak tindakan keperawatan Tekanan Intrakranial
Efektif diharapkan perfusi serebral Observasi
efektif. 1. Identifikasi penyebab
Kriteria hasil : peningkatan TIK
- Kogniif meningkat 2. Monitor tanda/gejala
- Tekanan Intra Kranial peningkatan TIK
menurun 3. Monitor MAP, CVP,
- Sakit Kepala menurun PAWP, PAP, ICP, CPP.
- Gelisah menurun 4. Monitor gelombang ICP
- Kecemasan menurun 5. Monitor status
- TTV membaik pernapasan
- Kesadaran membaik 6. Monitor intake dan
- Refleks saraf output cairan
membaik 7. Monitor cairan serebro -
spinalis
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi
fowler
3. Hindari manuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan
PEEP
6. Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
7. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
8. Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti konvulsan
2. Kolaborasi pemberian
diuretik osmosis
3. Kolaborasi pemberian
pelunak tinja
2. Pola Napas Tidak Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
Efektif tindakan keperawatan Observasi
diharapkan pola napas efektif 1. Monitor pola napas
Kriteria hasil : 2. Monitor bunyi napas
- Dispnea menurun tambahan
- Penggunaan otot 3. Monitor sputum
bantu napas menurun Terapeutik
- Pernapasan cuping 1. Pertahankan kepatenan
hidung menurun jalan napas dengan head
- Frekuensi napas – tilt dan chin – lift, jika
membaik curiga trauma servikal
gunakan jaw – thrust
2. Posisikan semi fowler
atau fowler
3. Berikan minuman hangat
4. Lakukan fisioterapi dada
5. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
6. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
8. Berikan oksigen
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
ada kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspetoran, mukolitik
3. Perfusi Perifer Tidak Tujuan : Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi
Efektif tindakan keperawatan Observasi
diharapkan perfusi perifer 1. Periksa sirkulasi perifer
efektif 2. Identifikasi faktor resiko
Kriteria hasil : gangguan sirkulasi
- Warna kulit pucat 3. Monitor anas,
menurun kemerahan,nyeri, atau
- Edema perifer bengkak pada ekstremitas
menurun Terapeutik
- Nyeri ekstremitas 1. Hindari pemasangan
menurun infus atau pengambilan
- Kelemahan otot darah di area keterbatasan
menurun perfusi
- Pengisian kapiler 2. Hindari pengukuran
membaik tekanan darah pada
- Akral membaik ekstremitas dengan
- Turgor kulit membaik keterbatasan perfusi
- TTV membaik 3. Hindari penekanan dan
pemasangan torniquet
pada area yang cedera
4. Lakukan pencegahan
infeksi
5. Lakukan perawatan kaki
dan kuku
6. Lakukan hidrasi
Edukasi
1. Anjurkan berhenti
merokok
2. Anjurkan berolahraga
rutin
3. Anjurkan mengecek air
mandi untuk menghindari
kulit terbakar
4. Anjurkan menggunakan
obat penurun tekanan
darah, antikoagulan, dan
penurun kolesterol
5. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah
secara teratur
6. Anjukan menghindari
penggunaan obat
penyekat beta
7. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat
8. Anjurkan program
rehabilitasi vaskuler
9. Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi
10. Informasikan tanda
dan gejala darurat yang
harus dilaporkan
4. Defisit Nutrisi Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
tindakan keperawatan nutrisi Observasi :
dapat terpenuhi 1. Identifikasi status nutrisi
Kriteria hasil : 2. Identifikasi alergi dan
- Porsi makanan yang intoleransi makanan
dihabiskan meningkat 3. Identifikasi makanan
- Serum albumin yang disukai
meningkat 4. Identifikasi kebutuhan
- Nyeri abdomen kalori dan jenis nutrien
menurun 5. Identifikasi perlunya
- Berat badan membaik enggunaan selang
- IMT membaik nasogastrik
- Frekuensi makan 6. Monitorasupan makanan
membaik 7. Monitor berat badan
- Nafsu makan 8. Monitor hasil
membaik pemeriksaan
- Bising usus membaik laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene
sebelum makan
2. Fasilitasi menentukan
pedoman diet
3. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
4. Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
5. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen
makanan
7. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan

Post Operasi

No. Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

1. Bersihan jalan nafas Tujuan : Setelah dilakukan Observasi


tidak efektif tindakan keperawatan 1. Monitor pola nafas
berhubungan dengan diharapkan masalah bersihan (frekuensi, kedalaman,
prosedur intubasi (post jalan nafas dapat teratasi dan usaha nafas)
trepanasi) Kriteria hasil : 2. Monitor bunyi nafas
- Pasien dapat batuk tambahan (mis.
efetif Gurgling, mengi,
- Produksi sputum wheezing, ronchi)
menurun 3. Monitor sputum
- Tidak ada suara nafas Terapeutik
tambahan 1. Pertahankan kepatenan
- Pola nafas membaik jalan nafas (posisi jaw
- Frekuensi nafas trust/head till chin lift)
membaik 2. Posisikan semi fowler
3. Lakukan fisioterapi dada
4. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
5. Berikan oksigen
tambahan
Edukasi
1. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektor,
mukolitik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Awaloei, A,C., Nola, T,S & Djemi, T. 2016. Gambaran Cedera Kepala Yang
Menyebabkan Kematian Di Bagian Forensik Dan Medikolegal Rsup Prof Dr. R.
D. Kandou Periode Juni 2015 - Juli 2016. Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 4,
Nomor 2, Juli-Desember 2016

Baehr Mathias., Michael Frotscher. 2012. Diagnosis topic neurologi duus: anatomi,
fisiologi, tanda, gejala. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp 411.

Bahrudin, M. 2012. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. 1st edn.
Edited by J. Triwanto. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Available at: http://ummpress.umm.ac.id.

Bisri. T. 2012. Penanganan Neuroanstesia dan critical care cedera otak Traumatik,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung

Brainline. 2018. Traumatic Brain Injury Signs and Symptoms. posted on BrainLine
December 1, 2017. Reviewed July 6, 2018.https://www.brainline.org

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 1022.

Hisam, MY., Sudadi & Sri R. 2015. Perbandingan Pemberian Mannitol 20 % Dosis
0.5g/Kgbb dengan Natrium Laktat Hipertonik Dosis 1.5 Ml/Kgbb Terhadap Efek
Relaksasi Otak pada Pasien Cedera Otak Traumatik yang Dilakukan Kraniotomi.
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 3 Nomor 1, November 2015

Kass IS, Cottrell JE, 2010, Pathophsology of Brain Injury, in Cottrell JE, Smith DS,
eds, Anesthesia and neurosurgery, 4 th ed. St Lois, Mosby

Krismanto, M. 2013. Hubungan Antara Kadar Protein S100b Dengan Keluaran


Pasien Cedera Kepala Ringan Dan Sedang. Tesis Fakultas Kedokteran UI.
Diakses dari : http://lib.ui.ac.id

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan System


Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika. ISBN : 978-979-3027-60-9.

PPNI. 2018. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
__________. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

__________. Standart Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Ristanto, Riki., Dkk . 2016 Akurasi Revised Trauma Score Sebagai Prediktor
Mortality Pasien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 4,
Nomor 2, Oktober 2016. Hlm. 76-90

Anda mungkin juga menyukai