A. DEFINISI
Traumatik brain injury (cedera otak traumatik/COT) didefinisikan sebagai
adanya kelainan non degeneratif dan non congenital yang terjadi pada otak, sebagai
akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan
temporer atau permanen dalam fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial, dengan
disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Dowodu, 2013 ).
Cedera kepala atau traumatic brain injury didefinisikan sebagai cedera kepala
secara umum diartikan sebagai cedera yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang
tengkorak, dan tulang-tulang yang membentuk wajah atau otak. Berdasarkan anatomi
kepala, lapisan terluar yaitu kulit kepala yang memiliki jaringan yang lunak tetapi
memiliki daya lindung yang besar. Bila tengkorak tidak terlindung oleh kulit kepala
maka hanya mampu menahan pukulan sebesar 40 pound/inch tetapi bila terlindung
dari kulit kepala dapat menahan pukulan 425-900 pound/inch. Setelah kulit kepala,
juga terdapat tulang tengkorak yang melindungi isi dalamnya yaitu otak. Bagian yang
paling penting dari kesemuanya ialah otak yang merupakan pusat dari semua bagian
tubuh (Awaloei, Nola & Djemi.,2016).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang dapat
menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Ristanto, Riki., dkk . 2016)
Penggunaan darah oleh otak sangat besar jika dibandingkan dengan organ lain
dalam tubuh. Tidak kurang dari 15-20% darah dari jantung menuju ke otak.
Konsumsi oksigen oleh otak ialah antara 20-25% sehingga menyebabkan otak sangat
peka jika mengalami kekurangan oksigen. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi
kematian akibat cedera kepala antara lain faktor usia, jenis kelamin, hipotensi, dan
hipoksia (Awaloei, Nola & Djemi.,2016).
B. ANATOMI OTAK
Otak terdiri dari otak besar (serebrum), batang otak (brain stem), dan otak kecil
(serebelum) (Bahrudin, 2012)
1. Otak Besar (Serebrum)
Otak besar adalah bagian terbesar otak dan terdiri dari belahan (hemisfer)
kiri dan kanan yang dihubungkan oleh sekumpulan serabut besar yang disebut
korpus kalosum (Bahrudin, 2012).
Serebrum dibagai menjadi 2 yaitu telesefalon dan diencephalon.
a. Telesefalon
Pada bagian korteks serebri terdapat beberapa fisura dan sulkus
di permukaan otak yang memisahkan lobus yang satu dengan lobus
yang lain. Lobus-lobus tersebut adalah lobus frontalis, lobus parietalis,
lobus temporalis, dan lobus oksipitalis. Sedangkan pada bagian sub
korteks, substansia alba di bagian tengah hemisfer serebri (sentrum
semiovale) berisi serabut-serabut transversa (komisura), proyeksi, dan
asosiasi (Bahrudin, 2012).
Ganglia basalis adalah sepasang masa substansia abu-abu di
belahan otak. Dalam setiap hemisfer inferior menuju ventrikel lateral
terdapat nukleus yang tertanam di pusat substansia putih dan terdapat
proyeksi radiasi dan perjalanan serabut disekitar atau diantara nukleus.
Ganglia basalis terdiri dari nukleus kaudatus, putamen, globus
pallidus, dan area abu-abu lain di dasar otak (Bahrudin, 2012).
b. Diencephalon
Diencephalon menghubungkan belahan otak ke batang otak dan
terdiri dari epitalamus, talamus kiri dan kanan, serta hipotalamus.
Epitalamus merupakan atap ventrikel ketiga yang terdiri dari trigonum
habenulae, korpus pineale, dan komisura posterior. Sedangkan talamus
adalah masa abu-abu berbentuk oval yang terdapat pada tiap-tiap
hemisfer otak dan masing-masing memiliki 5 kelompok inti yaitu
kelompok inti anterior, median (midline), medial, lateral, dan
posterior. Pada bagian bawah dan depan talamus, terdapat hipotalamus
yang merupakan lantai dan dinding bawah dari ventrikel III. Beratnya
sekitar 4 gram atau 0,3% dari berat otak (Bahrudin, 2012).
2. Batang Otak (brain stem)
Batang otak terdiri dari tiga bagian yaitu mesensefalon, pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon terdiri dari beberapa bagian yaitu basis, tegmentum,
dan tektum. Pada bagian inferiornya terdapat pons yang membentuk tonjolan
pada permukaan anterior batang otak. Pons melekat pada serebelum oleh 3
pedunkulus serebri. Bagian-bagiannya adalah basis dan tegmentum. Sedangkan
medula oblongata adalah struktur yang menghubungkan otak dengan medula
spinalis (Bahrudin, 2012).
3. Otak kecil (Serebelum)
Serebelum mempunyai 2 hemisfer otak. Terdiri dari 2 lobus (anterior dan
posterior) yang dipisahkan oleh fisura dan terdapat vermis disepanjang garis
tengah yang memisahkan hemisfer otak kecil (Bahrudin, 2012).
Anatomi serebelum
Serebelum merupakan bagian dari otak yang terletak di fosa posterior.
Permukaan superiornya diselubungi oleh tentorium serebeli yakni lapisan durameter
yang memisahkan serebelum dan serebrum. Serebrum hanya sekitar 10% dari berat
otak keseluruhan, tetapi serebrum mengandung lebih dari 50% seluruh neuron otak
(Baehr and Frotscher, 2012).
Serebelum terbagi menjadi 3 lobus antara lain lobus anterior, lobus medius, dan
lobus flokulonodularis (Guyton and Hall, 2014). Sedangkan secara fungsional,
serebelum terdiri dari bagian vestibuloserebelum (lobus flokulonodularis),
spinoserebelum (pars intermedialis), dan serebroserebelum (Baehr and Frotscher,
2010).
Histologi serebelum
Terdapat tiga lapisan utama korteks serebelum yaitu lapisan luar (lapisan
molekuler), lapisan tengah (lapisan sel purkinje), dan lapisan dalam (lapisan granuler)
(Guyton and Hall, 2014).
Pada lapisan molekuler dengan badan sel saraf yang relatif lebih sedikit dan
kecil serta banyak serat yang berjalan sejajar dengan panjang folium. Pada lapisan
purkinje terletak di bagian tengah atau sentral korteks. Sel purkinje (neuron purkinje)
memiliki bentuk priform atau piramid dengan dendrit bercabang-cabang yang masuk
ke dalam lapisan molekuler. Lapisan granulosum di sebelah dalam dengan banyak
neuron kecil menunjukkan nukleus yang terwarnai secara kuat. Pada substansi alba
terdiri akson atau serat saraf bermielin. Akson saraf merupakan serat aferen dan
eferen korteks serebelum (Guyton and Hall, 2014).
Fisiologi serebelum
Serebelum merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang memiliki tiga
fungsi utama yaitu sebagai koordinasi gerakan, keseimbangan tubuh dan mengontrol
tonus otot. Serebelum juga sebagai organ yang menerima informasi propioseptif,
menunjukkan posisi tubuh (rasa posisi) dari sumsum tulang belakang dan memantau
semua sensasi propioseptif, visual, sentuhan, keseimbangan, dan pendengaran yang
diterima oleh otak (Bahrudin, 2012).
Serebelum mempunyai sekitar tiga puluh juta unit fungsional yang hampir
identik. Pusat unit fungsional ini terletak pada sel purkinje yang banyak didapatkan di
korteks serebeli dan berhubungan dengan sel nuklear dalam. Selain dikarenakan
karena jumlahnya yang banyak, sel purkinje juga menjadi pusat penjalaran sinyal di
korteks serebelum sehingga berperan sebagai fungsional yang utama. Serebelum
membantu mengurutkan aktivitas motorik dan juga memonitor dan memperbaiki
penyesuaian aktivitas motorik tubuh ketika aktivitas tersebut sedang dijalankan
sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap sinyal-sinyal motorik yang dicetuskan
oleh korteks serebri dan bagian otak lainnya. Untuk melakukan hal itu, terjadi
perubahan eksitabilitas neuron-neuron serebelar yang sesuai sehingga selanjutnya
menghasilkan kontraksi otot yang lebih baik sehubungan dengan gerakan yang
diinginkan. Berdasarkan fungsinya, lobus anterior dan posterior tak tersusun sebagai
lobus-lobus melainkan tersusun sepanjang sumbu longitudinal. Di sebelah bawah
pusat serebelum terdapat pita sempit dinamakan vermis. Pada area ini terletak
sebagian fungsi pengatur serebelar untuk pergerakan-pergerakan otot menurut sumbu
tubuh, leher, bahu, serta pinggul. Pada setiap sisi vermis ada bagian yang besar dan
menonol ke lateral yang disebut hemisferium serebeli, dan setiap hemisferium ini
dibagi menjadi zona intermedia dan zona lateral. Zona intermedia hemisferium
berhubungan dengan pengaturan kontraksi otot yang terletak di bagian distal anggota
tubuh atas dan anggota tubuh bawah, khususnya tangan dan jari tangan serta kaki dan
jari kaki. Sedangkan zona lateral hemisferium bekerja pada tempat yang lebih jauh
karena tampaknya area ini ikut berperan dalam seluruh ragkaian gerakan motorik.
Tanpa adanya zona lateral ini, sebagian besar aktivitas gerakan tubuh yang khas akan
tidak tepat lagi sehingga menjadi sangat tak teratur. Korteks serebelum manusia
terdiri dari lipatan lembaran yang besar, panjang sekitar 120 cm, dan lebar sekitar 17
cm, dengan arah lipatan yang menyilang. Setiap lipatan disebut folium. Pada bagian
dalam massa korteks serebelum yang berlipat-lipat terdapat nuklei serebeli profunda
(Guyton dan Hall, 2012).
Serebelum terdiri atas tiga komponen anatomis utama yaitu lobus
flokulonodular (archi serebelum), lobus anterior (paleo serebelum) dan lobus
posterior (neo serebelum). Lobus flokulonoduler menerima proyeksi terutama dari
inti-inti vestibuler. Lobus anterior terutama pada bagian vermis menerima input dari
jaras spinocereberalis. Lobus posterior menerima proyeksi dari hemisfer serebri.
Korteks serebelum terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan molekuler, lapisan sel-sel
purkinje dan lapisan granuler. Pada hemisfer serebri terdapat empat pasang inti yaitu
fastigial, globosus, emboliformis, dan dentatus. Terdapat tiga pasang berkas proyeksi
utama yaitu pedunkulus serebeli superior (brachium conjuncyivum), pedunkulus
serebeli media (brachium pontis), dan pedunkulus serebeli inferior (corpus
restiforme). Fungsi serebelum adalah sebagai pusat koordinasi untuk
memepertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum diperlukan untuk
mempertahankan postur dan keseimbangan untuk berjalan dan berlari (Guyton and
Hall, 2014).
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), cidera kepala atau cidera otak dibagi
menjadi tiga gradasi, yaitu :
1. Cidera kepala atau cidera otak ringan, cidera ini ditentukan apabila GCS yang
ditunjukkan oleh pasien memiliki nilai 13 – 15.
2. Cidera kepala atau cidera otak sedang, cidera ini ditentukan apabila GCS yang
ditunjukkan oleh pasien memiliki nilai 9 – 12.
3. Cidera kepala atau cidera otak berat, cidera ini ditentukan apabila GCS yang
ditunjukkan oleh pasien memiliki nilai kurang atau sama dengan 8.
Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia,
maka reaksi verbal diberikan tanda atau nilai “X”, atau oleh karena kedua mata
edema berat sehingga tidak dapat dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi
membuka mata diberika nilai “X”, sedangkan jika pada klien yang dilakukan
tindakan trakeostomi atau dilakukan intubasi maka observasi verbal diberikan nilai
“T” (Muttaqin, 2011).
Klasifikasi atau jenis perdarahan yang biasanya terjadi pada trauma otak :
1. Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
2. Subdural Hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan
jaringan otak, dapat menjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena atau jembatan vena yang biasanya terdapat di antara
dura meter, perdarahan lambat atau sedikit.
3. Epidural Hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura meter dan
tulang. Biasanya sumber perdarahannya adalah dari sobekkan arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (oleh adanya fraktur kalvaria dan lain
lain.
4. Subarachnoid Hematoma (SAH)
Perdarahan subarachnoid (SAH) adalah perdarahan yang terjadi pada area
yang terletak di antara otak dan lapisan pembungkus otak, yang disebut ruang
subarachnoid. Pada ruang ini terdapat cairan serebospinal atau cerebospinal
fluid (CSF) yang melindungi otak dari cedera.
5. Intraventricular Hemorrage (IVH)
Perdarahan intraventrikel (intraventricular hemorrhage/IVH) merupakan
perdarahan spontan yang terjadi di dalam sistem ventrikel, 30-45% sering
berhubungan dengan perdarahan intraserebral (PIS).
D. ETIOLOGI
Etiologi cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu kekerasan
tumpul; kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena kecelakaan, pembunuhan,
atau dapat juga bunuh diri. Selain itu kekerasan tajam merupakan jenis kekerasan
yang cukup banyak terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi atu kayu
runcing, pecahan kaca, atau benda-benda lain yang tajam. Cedera akibat tembakan
juga dapat menyebabkan kematian dimana dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan,
kaliber peluru dan jenis peluru yang digunakan, jarak tembakan, deformitas yang
terjadi pada tulang dan peluru, jalannya peuru yang masuk pada otak. Cedera kepala
akibat gerakan mendadak juga dapat dimasukan kedalam etiologi yang dapat
meyebabkan kematian meskipun tidak terdapat kekerasan yang nampak langsung
pada kepala cedera dapat terjadi oleh karena gerakan yang mendadak misalnya suatu
percepatan, perlambatan, atau perputaran. Kerusakan yang terjadi terutama pada
pembuluh darah otak dan jaringan sekitarnya (Awaloei, Nola & Djemi.,2016).
E. PATOFISIOLOGI
Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas (Awaloei, Nola &
Djemi 2016) :
1. Cedera primer
Cedera primer merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat berupa benturan langsung ataupun proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala. Pada cedera primer dapat diakibatkan oleh adanya
peristiwa coup dan countrecoup (Awaloei, Nola & Djemi 2016).
Mekanisme cedera kepala adalah akibat kontak dan proses
akselerasi/deselerasi. Lesi karena kontak merupakan akibat dari obyek yang
mengenai kepala atau sebaliknya dan menyebabkan efek lokal seperti laserasi
skalp, fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, kontusio, dan perdarahan
intraserebral. Sedangkan, kerusakan akibat gaya akselerasi yang terjadi
bergantung pada tipe, kwantitas, dan lamanya akselerasi dan arah dari gerakan
kepala. Akselerasi ada 3 tipe yaitu (Krismanto, 2013) :
a. Akselerasi translasional, yang terjadi bila pusat gravitasi otak (sekitar
glandula pineal) bergerak sesuai garis lurus.
b. Akselerasi rotasional, terjadi bila ada gerakan disekitar pusat gravitasi, tanpa
pusat gravitasi itu sendiri bergerak.
c. Akselerasi angular, merupakan kombinasi akselerasi translasional dan
akselerasi rotasional.
Studi eksperimental terhadap subhuman primate menunjukkan gaya
akselerasi tanpa benturan dapat menimbulkan kontusio ringan hingga hematoma
subdural tergantung lama dan besarnya gaya. Kontusio adalah tipe dari kerusakan
otak fokal yang terjadi oleh karena kontak antara permukaan dari otak dengan
tulang protuberansia pada dasar tengkorak. Berdasarkan adanya kerusakan otak
akibat cedera kepala, memiliki distribusi karateristik yang dapat mengenai lobus
frontal, girus orbital, korteks di atas dan di bawah fissura silvii, lobus temporal
dan aspek lateral dan inferior dari lobus temporal. Permukaan inferior dari
hemisfer serebelar juga dapat terkena tapi frekuensinya lebih jarang. Kontusio
yang berat dapat merusak girus dan dapat meluas sampai ke substansia putih
(Krismanto, 2013).
Kontusio memiliki beberapa variasi. Fraktur kontusio terjadi pada lokasi
fraktur dan paling berat jika terjadi pada lobus frontal yang berhubungan pada
fossa anterior; coup kontusio terjadi terjadi pada sisi benturan tanpa adanya
fraktur; countercoup kontusio terjadi pada sisi yang berlawanan dari benturan;
herniasi kontusio terjadi pada area medial dari lobus temporal yang berkontak
dengan ujung bebas dari tentorium atau tonsil serebelar yang berkontak dengan
foramen magnum pada saat terjadinya injury; intermediary coup kontusio adalah
lesi tunggal atau multipel pada struktur yang lebih dalam dari otak termasuk
korpus kalosum, basal ganglia, hipotalamus, dan batang otak (Krismanto,
2013).
Gliding kontusio adalah perdarahan fokal pada korteks dan struktur yang
berdekatan dengan substansia putih dan disebabkan oleh rotasi. Gliding kontusio
seringkali tidak simetris dan biasanya merupakan bagian dari cedera difus baik
pada cedera akut vaskuler maupun diffuse axonal injury (DAI). Perdarahan
intraserebral biasanya terjadi secara multipel dan lebih sering terjadi pada lobus
temporal dan frontal, walaupun mungkin dapat terjadi juga pada struktur yang
lebih dalam dari hemisfer,dan lebih jarang terjadi pada serebelum.
Patogenesisnya masih belum jelas, tetapi diduga akibat langsung dari pecahnya
pembuluh darah pada saat terjadi trauma Pada CT scan kepala, dapat dilihat
adanya perdarahan pada struktur yang lebih dalam dari otak. Pada CT scan
tampak lesi berdensitas tinggi dengan minimal atau tidak adanya edema
disekelilingnya pada fase akut.7 Pasien dengan tipe perdarahan seperti ini
memiliki insiden yang tinggi akibat gliding kontusio dan DAI. Perdarahan
intraserebral pada trauma kepala juga dapat terjadi akibat adanya gaya akselerasi
atau deselerasi, terutama jika perdarahan terjadi pada lobus frontal inferior atau
lobus temporal atau terjadi akibat adanya penetrasi langsung pada kepala dan
pada kasus ini lokasi perdarahan tergantung pada lokasi penetrasi yang
melibatkan pembuluh darah besar (Krismanto, 2013).
2. Cedera sekunder
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologik yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang berkelanjutan, iskemia. dan
perubahan neurokimiawi. Pada cedera sekunder terjadi gangguan proses
metabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak, hemodina-mika intracranial, dan
kompartemen cairan serebrospinalis (CSS) yang dimulai setelah terjadinya
trauma namun tidak tampak secara klinis segera setelah trauma (Awaloei, Nola
& Djemi 2016).
Cedera sekunder menyebabkan kematian sel neuron melalui mekanisme
secondary brain damage dan secondary brain insult. Secondary brain damage
terjadi sesudah aktivasi langsung dari proses imunologi dan biokimia yang
merusak dan berpropagasi secara otomatis. Mediator biokimia dan inflamasi
diantaranya adalah: asidosis laktat, influx kalsium, asam amino eksitatorik, asam
arakhidonat, oksida nitrit, radikal bebas, peroksida lipid, aktivitas komplemen,
sitokin, bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema. Sementra secondary
brain insult timbul sebagai akibat dari perburukan sistemik maupun patofisiologi
intrakranial dan memperberat kerusakan neuron. Hal ini merupakan jalur akhir
terjadinya proses iskemia otak. Beberapa gejala yang dapat timbul adalah
hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermia, hiperglikemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia, peningkatan tekanan intrakranial,
kejang, vasospasme dan infeksi (Krismanto, 2013).
F. Pathway/WOC
G. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala Umum cedera otak traumatik (BrainLine, 2018):
1. Kehilangan atau berubah kesadaran mulai dari beberapa detik hingga beberapa
jam
2. Penurunan tingkat kesadaran, mis., sulit dibangunkan
3. Kejang
4. Pelebaran yang tidak sama pada pupil mata atau penglihatan ganda
5. Cairan bening mengalir dari hidung atau telinga
6. Mual dan muntah
7. Defisit neurologis baru, yaitu bicara tidak jelas; kelemahan lengan, kaki, atau
wajah; kehilangan keseimbangan
Gejala umum lainnya yang harus dipantau termasuk:
1. Sakit kepala, pusing, vertigo, atau kehilangan keseimbangan atau koordinasi
2. Masalah sensorik:pandangan kabur, berkuang- kunang, atau mata mudah lelah
3. Telinga berdering
4. Rasa tidak enak di mulut
5. Kehilangan indera penciuman atau rasa
6. Sensitivitas terhadap cahaya, suara, atau gangguan;perubahan suasana hati.
7. Agitasi (merasa sedih atau marah tanpa alasan), mengamuk,, atau perilaku tidak
sama lainnya
8. Perasaan depresi atau kecemasan
9. Kelelahan atau kantuk; kurangnya energi atau motivasi
10. Perubahan pola tidur (lebih banyak tidur atau sulit jatuh atau tetap terjaga),
11. Ketidakmampuan untuk bangun dari tidur
12. Masalah mengingat, berkonsentrasi, atau membuat keputusan
13. Lambat dalam berpikir, berbicara, berakting, atau membaca
14. Sakit kepala, pusing, kebingungan, dan kelelahan cenderung dimulai segera
setelah cedera, tetapi sembuh seiring waktu.
15. Gejala emosional seperti frustrasi dan iritabilitas cenderung berkembang di
kemudian hari selama periode pemulihan.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1. CT Scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarakhnoid.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan.
13. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera otak traumatik yang komprehensif meliputi penanganan
prehospital, penanganan di UGD dan penanganan perioperatif serta durante operatif.
Penatalaksanaan tersebut sangat membantu terhadap hasil prediksi keluaran pasien
baik morbiditas maupun mortalitasnya. Pengelolaan cedera kepala harus dimulai
ditempat kejadian, diteruskan selama transportasi, di UGD dan sampai terapi definitif
(Bisri, 2012). Manajemen anestesi dengan menjaga hemodinamik yaitu menjaga
stabilitas fungsi kardiovaskuler, mencegah hipoksia, mencegah hiperkapnea,
mencegah kerusakan neurobiokimiawi dengan cara cerebral protection dan cerebral
resucitation (Kass dan Cottrel, 2010).
1. Penatalaksanaan awal
Fokus penatalaksanaan cedera kepala pada saat ini adalah mencegah cedera
primer serta menghindari dan mengelola cedera sekunder. Landasan dari
pengelolaan cedera kepala traumatik adalah resusitasi dan stabilisasi di tempat
kejadian, kecepatan dan ketepatan transportasi, resusitasi di unit gawat darurat,
evakuasi pembedahan, kontrol Tekanan Intra Kranial (TIK), menjaga tekanan
perfusi otak, monitoring multimodal, optimalisasi lingkungan fisiologis. Periode
perioperatif sangat penting pada pengelolaan cedera kepala traumatik.
Penatalaksanaan pada periode pra rumah sakit merupakan titik kritis untuk
mencegah terjadinya cedera sekunder, tetapi ini jarang dilakukan karena pasien
dikelola oleh tenaga kesehatan setelah tiba di rumah sakit.
Penatalaksanaan di rumah sakit pertama adalah resusitasi dan stabilisasi,
pembebasan jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi cairan dan pemberantasan
kejang telah dilakukan. Pada waktu dalam perjalanan transportasi ke rumah sakit
kedua resusitasi dan stabilisasi untuk mencegah cedera sekunder tetap dilakukan.
Datang di UGD rumah sakit kedua dilakukan survei primer menyeluruh serta
dilakukan resusitasi terhadap cedera yang mengancam jiwa. Diberikan oksigen 8–
10 l/menit, ventilasi dengan Jackson Reese, pemberian Ringer Fundin 100 cc/jam.
Dari rumah sakit pertama sudah diberi cairan RL 1000 cc, terpasang collar neck.
Pasien disiapkan intubasi, head up 15o –30o diberikan manitol 200 ml karena juga
terdapat tanda Cushing. Intubasi sering dilakukan untukm enghilangkan obstruksi
jalan nafas, kontrol ventilasi, proteksi terhadap resiko aspirasi.
Intubasi dilakukan dengan indikasi yaitu: GCS 40x/menit, volume tidal < 3,5
ml/Kg berat badan, kapasitas vital < 70 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg. Disamping
mencegah dan mengelola hipoksi dan hiperkarbi, penting juga menjaga stabilitas
kardiovaskular karena hipotensi dan hipertensi dapat memperburuk luaran.
Hipotensi yang terjadi pada cedera kepala membahayakan hemodinamik otak dan
menyebabkan iskemiaotak, oleh karena itu penting untuk menjaga tekanan darah
optimal termasuk juga pemilihan cairan untuk resusitasi dan penggunaan
vasopresor bila dianggap penting.
Brain Trauma Foundation Guidelines telah merekomendasikan menghindari
hipotensi (sistolik <90 mmHg) dan mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP)
50–70 mmHg. Cairan isotonis kristaloid non glukosa merupakan pilihan utama,
kecuali apabila terjadi hipoglikemi maka kristaloid yang mengandung glukosa
dipertimbangkan. Yang ingin dicapai adalah kondisi normotensi, normovolemi,
normoglikemi. Hipertensi sering terjadi karena pelepasan katekolamin oleh proses
trauma serta usaha dalam mempertahankan perfusi otak akibat peningkatan TIK
dapat mengurangi respon tekanan darah. Penggunaan adrenergik blocking agent
dipertimbangkan bila usaha pengendalian TIK tidak dapat menurunkan tekanan
darah. Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol dapat merugikan karena
meningkatkan pembentukan edema dan TIK.
Pada cedera kepala traumatik apabila didapatkan hipertensi yang dipikirkan
pertama adalah tanda cushing lebih dahulu. Tujuan resusitasi pada cedera kepala
selanjutnya adalah pengendalian Tekanan Intrakranial. Bila pasien head up 15o –
30o perlu diwaspadai efek samping penurunan tekanan darah yang akan
memperberat iskemia. Penilaian neurologik meliputi fungsi kesadaran dengan
menggunakan skor GCS serta penilaian pupil meliputi ukuran, respon terhadap
cahaya, simetris kanan kiri. Pemeriksaan radiologi seperti CT-Scan tanpa kontras
adalah pilihan, serta pemeriksaan x-ray untuk daerah lainnya seperti cervical,
pelvis, femur. CT-Scan kepala dapat menunjukkan adanya tanda-tanda
peningkatan TIK seperti adanya pergeseran garis tengah, adanya massa
intrakranial seperti hematom.
2. Penatalaksanaan Perioperative
Prosedur penatalaksanaan perioperative pada operasi kraniotomi dengan
cedera otak traumatik (COT) ialah dengan menjaga hemodinamik pasien dalam
kondisi stabil dengan harapan tercapainya keadaan yang optimal (Kass dan
Cottrel, 2010). Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan pengendalian
tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan saraf dari iskemia
(brain protection) serta mengurangi perdarahan Tindakan perioperatif pada cedera
otak traumatik yang dilakukan pada operasi kraniotomi salah satu tujuannya
adalah menjaga hemodinamik pre, durante dan post operasi dengan terdapatnya
tiga target yaitu mengendalikan tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi
jaringan saraf dari iskemia dan cedera serta mengurangi perdarahan Salah satu
tindakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan membuat komponen
durameter, parenkhim otak relaks/ slack brain atau “kempis” selama operasi
dengan salah satu cara dengan memberikan osmotik diuretik (mannitol) maupun
cairan Na hipertonik (Hisam, Sudadi & Sri 2015).
Dengan dasar-dasar cerebral protection, cerebral resuscitation,
hemodinamik stabil, dan relaksasi otak yang baik secara objektif akan menjaga
adekuatnya perfusi ke otak sehingga hasil yang diharapkan menjadi baik (Kass dan
Cottrel, 2010). Sebenarnya upaya terapi sesungguhnya untuk mencegah,
menghambat kaskade cedera otak sekunder dengan tidak memperberat tekanan
intrakranial. Tatalaksana dengan penggunaan hyperosmolar therapy untuk
menurunkan TIK, dengan menggunakan cairan mannitol dan Na laktat Hipertonik
telah direkomendasikan Intervensi dari mannitol maupun Natrium hipertonik
terbukti menjadi salah satu terapi untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
diakibatkan edema serebri akibat trauma kepala. Pada cedera otak traumatik yang
akan dilakukan operasi kraniotomi, penanganan edema dimaksudkan untuk
mengurangi edema yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial yang tinggi
yang secara langsung mempengaruhi relaksasi otak (Hisam, Sudadi & Sri 2015).
Post Operasi
Awaloei, A,C., Nola, T,S & Djemi, T. 2016. Gambaran Cedera Kepala Yang
Menyebabkan Kematian Di Bagian Forensik Dan Medikolegal Rsup Prof Dr. R.
D. Kandou Periode Juni 2015 - Juli 2016. Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 4,
Nomor 2, Juli-Desember 2016
Baehr Mathias., Michael Frotscher. 2012. Diagnosis topic neurologi duus: anatomi,
fisiologi, tanda, gejala. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp 411.
Bahrudin, M. 2012. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. 1st edn.
Edited by J. Triwanto. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Available at: http://ummpress.umm.ac.id.
Bisri. T. 2012. Penanganan Neuroanstesia dan critical care cedera otak Traumatik,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung
Brainline. 2018. Traumatic Brain Injury Signs and Symptoms. posted on BrainLine
December 1, 2017. Reviewed July 6, 2018.https://www.brainline.org
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 1022.
Hisam, MY., Sudadi & Sri R. 2015. Perbandingan Pemberian Mannitol 20 % Dosis
0.5g/Kgbb dengan Natrium Laktat Hipertonik Dosis 1.5 Ml/Kgbb Terhadap Efek
Relaksasi Otak pada Pasien Cedera Otak Traumatik yang Dilakukan Kraniotomi.
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 3 Nomor 1, November 2015
Kass IS, Cottrell JE, 2010, Pathophsology of Brain Injury, in Cottrell JE, Smith DS,
eds, Anesthesia and neurosurgery, 4 th ed. St Lois, Mosby
Ristanto, Riki., Dkk . 2016 Akurasi Revised Trauma Score Sebagai Prediktor
Mortality Pasien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 4,
Nomor 2, Oktober 2016. Hlm. 76-90