Anda di halaman 1dari 40

Melsya Halim Utami 1102016118

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Nyeri

Neuroanatomi Nyeri

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau potensial (Corwin J.E, 2007). Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan
mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin,
histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri.
Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada
reseptor nyeri.
Sistem saraf manusia mengandung lebih dari 1010 saraf atau neuron. Neuron merupakan unit structural
dan fungsional system saraf. Sel saraf terdiri dari badan sel yang di dalamnya mempunyai inti sel,
nukleus, mitokondria, retikulum endoplasma, dadan golgi, di luarnya banyak terdapat dendrit, kemudian
bagian yang menjulur yang menempel pada badan sel yang di sebut akson. Dendrit menyediakan daerah
yang luas untuk hubungan dengan neuron lainnya. Dendrit adalah serabut aferen karena menerima sinyal
dari neuron-neuron lain dan meneruskannya ke badan sel. Pada akson terdapat selubung mielin, nodus
ranvier, inti sel Schwan, butiran neurotransmiter
Akson dengan cabang-cabangnya (kolateral), adalah serabut eferen karena membawa sinyal ke saraf-
saraf otot dan sel-sel kelenjar. Akson akan berakhir pada terminal saraf yang berisi vesikel-vesikel yang
mengandung neurotransmitter. Terminal inilah yang berhubungan dengan badan sel, dendrit atau akson
neuron berikutya.

a. Neuroanatomi sentuhan ringan dan tekanan

Nama jalan: Tractus Spinothalamicus Anterior


Pada medulla spinalis:

 Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinalis) memasuki ujung cornu posterior medulla spinalis
dan bercabang dua : serabut yang naik dan serabut yang turun. Sesudah memasuki satu atau dua segmen
medulla spinalis membentuk Tractus posterolateral (Lissaueri). Lalu bersinaps dengan neuron orde kedua
yang terletak pada kelompok sel substantia gelatinosa cornu posterior substansia grissea.
 Axon dari neuron orde ke dua jalan menyilang pada comissura anterior substansia grissea dan
substansia alba, kemudian naik keatas pada sisi anterolateral substantia alba sebagai tractus
neurospinotalamicus anterior.

Pada medulla oblongata : pada medulla oblongata tractus tersebut jalan beriringan dengan tractus
spinotalamicus lateralis dan tractus spinotectalis, semuanya disebut Lesminicus Spinalis.
Pada pons, mesencephalon dan diencephalon : beriringan dengan Lemniscus medialis untuk akhirnya
bersinaps pada neuron orde ketiga yaitu nucleus posterolateral dari kelompok ventral thalamus (bagian
kelompok nuclei lateralis thalamus)  disini tekanan dan sentuhan mulai diinterpretasikan.
Pada cortex cerebri : axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior interna dan corona
radiata berakhir pada gyrus poscentralis (area brodmann 3,2,1)  menafsirkan sensasi sentuhan dan
tekanan sehingga timbul kesadaran akan sensasi tersebut.
(Stephen, 2007)
b. Neuroanatomi sensasi sakit dan suhu
Nama jalan: Tractus Spinothalamicus Lateralis
Pada medulla spinalis:
 Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinalis) memasuki ujung cornu posterior substansia grissea
medulla spinalis dan segera bercabang dua: serabut yang naik dan serabut yang turun. Sesudah memasuki

1
satu atau dua segmen medulla spinalis membentuk tractus posterolateral (Lissaueri). Lalu bersinaps
dengan neuron orde kedua yang terletak pada kelompok sel substantia gelatinosa pada cornu posterior.
(Jurnalis, 2009)
 Axon dari neuron orde ke dua jalan menyilang pada comissura anterior substansia grissea dan
substansia alba, kemudian naik keatas pada sisi kontralateral sebagai tractus neurospinotalamicus
lateralis.

Pada medulla oblongata : pada medulla oblongata tractus tersebut terletak pada dataran lateral antara
nucleus olivarius inferius dengan nucleus tractus spinalis N. Trigeminus. Disini bergabung dengan:
tractus spinotalamicus anterius, tractus spinotectalis. Ketiga tractus tersebut disebut Lemnicus Spinalis.
Pada pons : lemniscus spinalis naik keatas dibagian belakang pons.
Pada mesencephalon: lemniscus spinalis jalan pada tegmentum, lateralis dari lemniscus medialis.
Pada diencephalon : serabut saraf tractus spinotalamicus lateralis akan bersinaps dengan neuron orde
ketiga yaitu nucleus posterolateral dari kelompok ventral thalamus (bagian dari nucleus lateralis
thalamus)  disinilah terjadi penilaian kadar sensasi sakit dan suhu juga reaksi emosi mulai timbul.
Pada cortex cerebri : axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior interna dan corona
radiata berakhir pada gyrus poscentralis (area brodmann 3,2,1)  menafsirkan suhu dan sakit sehingga
timbul kesadaran akan sensasi tersebut. (Price, 2006)

Neurofisiologi Nyeri
Nociceptor diaktivasi oleh stimulus yang berpotensi untuk merusak sel jaringan. Kerusakan jaringan
tersebut dapat disebabkan oleh stimulasi mekanis yang kuat, temperatur yang ekstrim, kekurangan
oksigen, dan paparan oleh zat kimia. (Barry, 2007)
Sel-sel jaringan yang rusak tersebut dapat pula mengeluarkan substansi yang mampu membuka channel
ion pada membran nociceptor, seperti :

 Protease
Enzim pengurai protein ini dapat mengurai peptida kininogen yang berada di extra selular sehingga
terbentuklah bradikinin. Bradikinin ini kemudian akan terikat dengan molekul reseptor spesifik untuk
mengaktivasi konduksi ion pada nociceptor.
 ATP
ATP dapat berikatan langsung dengan ATP Gated Ion Channel sehingga terjadi depolarisasi pada
nociceptor.
 K+
Peningkatan K+ extraselular berperan langsung pada depolarisasi membran neuronal.

(Price, 2006)

Jenis Nociceptor
Transportasi stimulus nyeri terjadi pada ujung saraf bebas (FNE), yaitu serat C tanpa myelin
(unmyelinated C Fiber) dan serat Aδ myelin tipis Nociceptor terbagi menjadi empat jenis, yaitu :

a. Polymodal Nociceptor : merespon terhadap stimulus mekanis, suhu, dan kimia.


b. Mechanical Nociceptor : hanya merespon terhadap tekanan yang kuat.
c. Thermal Nociceptor : hanya merespon terhadap suhu panas atau dingin.
d. Chemical Nociceptor : merespon terhadap histamin dan zat kimia lainnya.

Serat C terkecil (kecepatan konduksi <0.5 m/s) merespon selektif terhadap histamin dan mempersepsikan
rasa gatal.

Hyperalgesia

2
Nociceptor biasanya hanya merespon saat terjadi stimulus yang cukup kuat untuk merusak jaringan.
Hiperalgesia adalah keadaan dimana kulit, sendi, atau otot yang sudah terluka menjadi sangat sensitif
terhadap stimulus. Sebagai contoh, pada kulit yang sehat, rasa sentuhan tidak terasa sakit, namun pada
kulit yang melepuh rangsang tersebut terasa sakit.
Hiperalgesia dapat berupa penurunan ambang nyeri, peningkatan intensitas stimulus nyeri, atau nyeri
spontan. Hiperalgesia juga dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Primer : hanya terjadi pada daerah jaringan yang terluka.


b. Sekunder : jaringan yang berada di sekitar jaringan yang terluka juga ikut menjadi sensitif.

Beberapa zat kimia yang berperan dalam hiperalgesia:

 Bradikinin
Selain menghasilkan rasa nyeri, bradikinin juga menstimulasi perubahan intracellular yang berlangsung
lama, sehingga channel ion nociceptor menjadi lebih sensitif.
 Prostaglandin
Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri, melainkan meningkatkan sensitivitas nociceptor lain.
 Substance P
Merupakan substansi yang dihasilkan oleh nociceptor sendiri. Aktivasi salah satu cabang axon nociceptor
dapat menyebabkan sekresi substance P di cabang axon lainnya. Substance P menyebabkan vasodilatasi
dan pelepasan histamin oleh sel mast, sehingga dapat juga menyebabkan hiperalgesia sekunder.

Aferen Primer dan Mekanisme Spinal


Terdapat dua jenis persepsi nyeri, yaitu :

a. First pain : cepat dan tajam, diaktivasi oleh serat Aδ


b. Secon pain : nyeri yang mengikuti first pain dan berlangsung lama, diaktivasi serat C

Perhubungan spinalis axon nociceptif

Neurotransmitter nyeri diduga adalah glutamat, namun neuron-neuron juga mengandung substance P
pada axon terminalis. Transmisi sinaps yang diperantarai oleh substance P dibutuhkan untuk
menghasilkan rasa nyeri. (Barry, 2007)

Nyeri Alih (Referred Pain)

3
Merupakan fenomena dimana aktivasi nociceptor organ dalam (viseral) dipersepsikan sebagai sensasi
luar (cutaneus). Disebabkan karena axon nociceptor dari organ dalam memiliki rute yang sama dengan
nociceptor kutan dalam memasuki corda spinalis, sehingga terjadilah pencampuran informasi dari kedua
input tersebut.

Jalur Nyeri Ascendens

1. Spinothalamic Pathway
Informasi suhu dan nyeri disampaikan dari corda spinalis ke orak melalui jalur spinothalamic.
 Axon dari neuron ordo II langsung menyeberang dan menyusuri tractus spinothalamicus.
 Serat spinothalamicus berjalan dari corda spinalis kemudian melewati medulla, pons, dan midbrain
tanpa bersinaps sampai mereka mencapai thalamus.
 Pada akhirnya, setelah melewati batang otak, axon spinothalamicus berada bersebelahan dengan
lemniscus medialis, namun kedua axon tersebut tetap terpisah satu sama lain. Informasi sentuhan
berjalan secara ipsilateral, sedangkan nyeri berjalan contralateral.

2. Trigeminal Pathway
Informasi suhu dan nyeri yang berasal dari muka dan kepala berjalan melalui jalur ini, yang mirip dengan
spinothalamic pathway.
 Serat nervus trigeminal bersinaps pada neuran orde kedua di nucleus trigeminal spinalis pada batang
otak.
 Axon tersebut kemudian naik ke thalamus di lemniscus trigeminal.

Sensasi nyeri dan sentuhan sama-sama berakhir di thalamus (Nucleus VP dan intralaminar) tetapi
menempati daerah yang berbeda. Kemudian informasi dari thalamus tersebut diteruskan ke berbagai
daerah pada cortex cerebral.

Regulasi Nyeri

a. Regulasi Aferen
Nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas nociceptor dapat dikurangi dengan aktivitas mechanoreceptor (Serat
Aβ) secara bersamaan. Inilah mengapa rasa nyeri pada memar akan berkurang apabila kita lakukan
gerakan memijat.

Gate Theory of Pain


*Tidak ada konflik stimulus

4
Dapat dilihat pada gambar ini, bahwa stimulus yang dibawa oleh serat C berjalan dengan lancar (tidak ada
hambatan apapun) dan akan sampai pada projection neuron, yang kemudian akan diteruskan ke otak,
menyebabkan sensasi nyeri maksimal.
*Terdapat konflik stimulus. Stimulus nyeri dibawa oleh serat C menuju projection neuron. Di saat yang
sama, stimulus sentuhan (stimulus tidak nyeri) dibawa oleh serat Aβ menuju projection neuron dan
interneuron inhibitorik.
Aktivasi interneuron inhibitorik tersebut akan menghambat projection neuron, sehingga tidak ada
stimulus yang diteruskan ke otak sehingga mengurangi sensasi nyeri yang ada. Namun tidak semua
interneuron inhibitorik dapat diaktifkan, sehingga masih terdapat sensasi nyeri yang diteruskan ke otak.
(Barry, 2007)

1. Regulasi Descendens
Emosi yang kuat atau stres pada seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Telah
diketahui bahwa terdapat bagian dari otak yang berperan dalam supresi nyeri. Salah satunya adalah zona-
zona neuron di midbrain, seperti periventricular dan periaqueductal gray matter (PAG).

Mekanismenya adalah sebagai berikut :


 PAG menerima input emosional dari struktur-struktur otak.
 Neuron-neuron di PAG mengirimkan axon menuju daerah pada medulla, yaitu raphe nuclei, yang
kemudian akan mengeluarkan neurotransmitter serotonin.
 Kemudian neuron medulla tersebut akan memproyeksikan axon ke cornu posterior corda spinalis,
dimana axon yang membawa serotonin tersebut akan menekan aktivitas nociceptor.

Intensitas Nyeri
 gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat
subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda
oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif
yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan metode ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Sherwood, 2004). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

5
4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul).

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala
pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diurutkan dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Kinisi menunjukkan pasien
skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Klinisi juga
menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
(Price, 2006)
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis
lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.
Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada
rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Faktor yang mempengaruhi nyeri: usia, jenis kelamin, budaya, makna nyeri, perhatian, ansietas,
pengalaman masa lalu, pola adaptasi, support keluarga dan social.

2. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Kepala


Definisi Nyeri Kepala

Nyeri kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal dari
struktur sensitif terhadap rasa sakit (Kenneth, 2004). Struktur cranium yang peka nyeri kepala adalah
semua jaringan ekstrakranium, termasuk kulit kepala, otot, arteri, dan periosteum tengkorak; sinus
kranialis; sinus vena intrakranium dan vena-vena cabangnya; bagian dari dura di dasar otak dan arteri di

6
dalam dura; dan nervus kranialis trigeminus, fasialis, vagus, dan glosofaringeus serta nrvus cervicalis ( C2
dan C3).
Apabila nyeri kepala melibatkan struktur-struktur di daerah infratentorium, nyeri tersebut dari daerah
oksipitalis kepala dan leher oleh akar saraf cervical atas. Nyeri supratentorium dirasakan di bagian
anterior kepala (daerah oksipital, temporalis, dan parietalis) dan terutama diperantai oleh nervus
trigeminus. (Kowalak, 2011)

Epidemiologi Nyeri Kepala

Prevalensi migren adalah 18,2% diantaranya wanita dan 6,5% pria, dengan 23% rumah tangga
memiliki paling sedikit 1 anggotanya yang mengidap migren. Sebelum usia 12 tahun migren lebih sering
terjadi pada anak laki-laki, namun setelah pubertas migren sering dijumpai pada perempuan dengan rasio
2:1.
Pada nyeri kepala cluster lebih sering pada laki-laki (80% s/d 90%). Dalam sebuah studi, nyeri kepala
cluster memiliki insidensi 1/25 kali dibandingkan dengan nyeri migren. 90% keluhan nyeri kepala bersifat
vaskuler, timbul karena kontraksi otot atau kombinasi keduanya; 10% yang lain terjadi karena gangguan
intracranial, sistemik ataupun psikologis. Gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin, umur, pemberian
histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor genetik berpengaruh terjadinya nyeri kepala. (Kenneth,
2004)

Etiologi Nyeri Kepala

Nyeri kepala dapat ditimbulkan oleh karena :


1. Inflamasi pada struktur bangunan peka nyeri, ditandai dengan pelepasan kaskade zat
substansi dari berbagai neuron di sekitar daerah injury, dimana makrofag melepaskan sitokin
yaitu interleukin IL-1, IL-6, tumor necrosis factor alfa, dan nerve growth factor/NGF, neuron
yang rusak melepaskan ATP dan proton, sel mast melepaskan histamin, prostaglandin,
serotonin, dan asam arakidonat yang memiliki kemampuan melakukan sensitisasi terminal
neuron. Terjadi pula proses upregulasi beberapa reseptor.
Nyeri akibat inflamasi disebabkan sensitisasi sentral dan peningkatan input noxious perifer.
Sebagai penambah pencetus sensitisasi dari aferen primer, proses inflamasi menghasilkan
sinyal kimiawi yang memasuki darah dan memenuhi susunan saraf pusat untuk menghasilkan
IL-1a dan ekspresi cyclooxigenase/COX di ssp. Aktivitas COX merangsang produksi
prostaglandin (PGE2) di daerah injury dan setelah diinduksi di ssp. Hal ini berkontribusi
terhadap perkembangan nyeri inflamasi.
2. Informasi neurogenik steril selanjutnya akan mengakibatkan proses vasodilatasi dan
ekstravasasi plasma protein yang mengikuti pelepasan peptida vasoaktif CGRP, substansi P,
dan neurokin/NKA dari nerve ending.
3. Aktivasi mekanoreseptor pada ujung terminal saraf sensoris vaskuler untuk melepaskan L-
Glutamat dan aktivasi termoreseptor
4. Distensi atau dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ektrakranial
5. Traksi pada arteri sirkulus Willisi, sinus venosus, dan vena-vena yang mensuplai sinus
tersebut, dan arteri meningea media
6. Pergeseran bangunan peka nyeri karena suatu desakan
7. Peningkatan TIK yang terjadi melalui dua mekanisme dasar yaitu bertambahnya volume otak
dan adanya obstruksi CSS dan sistem vena

7
8. Kontraksi kronik otot kepala dan leher
9. Tekanan langsung pad asaraf-saraf yang mengandung serabut-serabut untuk rasa nyeri di
daerah kepala
Semua penyabab nyeri kepala ini menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral di nosiseptor
meningeal dan neuron ganglion trigeminal, sehingga muncul persepsi nyeri kepala.

Klasifikasi Nyeri Kepala

Klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache Society (HIS) membagi nyeri kepala menjadi
dua kategori utama.
 Nyeri kepala primer : migren, nyeri kepala tension, nyeri kepala cluster, nyeri kepala yang tidak
berhubungan lesi struktural.
 Nyeri kepala sekunder : nyeri kepala berhubungan dengan cedera kepala, gangguan vaskuler,
gangguan intrakranial non-vaskuler, infeksi non cephalic, gangguan metabolik, gangguan tengkorak,
leher, mata, hidung, gigi, mulut, atau struktur-struktur wajah kranium, neuralgia cranialis, nyeri batang
syaraf dan nyeri deafness.

Berdasarkan kausanya, digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder.
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas terdapat kelainan anatomi atau kelainan
struktur atau sejenisnya. Sedangkan nyeri kepala sekunder, yaitu nyeri kepala lebih dari tiga
bulan yang mengalami pertambahan dalam derajat berat, frekuensi dan durasinya serta dapat
disertai munculnya deficit neurologis yang lain selain nyeri kepala.
 Primer, tidak terdapat penyebab dasarnya. Diantaranya:
a. Migraine, adanya vasodilatasi arteri ekstrakranial dimana pada saat serangan terjadi
vasokonstriksi intra cranial
b. Nyeri kepala tipe tegang, karena kontraksi otot leher.
 Sekunder, disebabkan karena vasodilatasi akibat demam tinggi, peningkatan tekanan
darah, hipoksia, intoksikasi CO, dan keadaan patologis lainnya. Diantaranya:
a. Traction headache, karena trakdi atau kompresi dari struktur peka nyeri intracranial akibat
tumor, hematom, dsb.
b. Inflamasi, disebabkan stimulasi struktur peka nyeri intracranial akibat perdarahan
subarachnoid, meningitis, dural sinus phlebitis, juga ekstrakranial temporal arteritis.
c. Referred head pain, disebabkan sakit mata, hidung atau sinus, gigi, dsb
d. Psikogenik, akibat depresi, delusi.

Penjelesan khusus
A. Migren

Definisi Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri
yang berlansung 4 – 72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang
samapai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual muntah, fotofobia dan
fonofobia.

Etiologi dan Faktor Resiko Migren

8
Etiologi migren adalah sebagai berikut : (1) perubahan hormon (65,1%), penurunan konsentrasi
esterogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi, (2) makanan (26,9%), vasodilator
(histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor (tiramin seperti pada keju,
coklat, kafein), zat tambahan pada makanan (MSG), (3) stress (79,7%), (4) rangsangan sensorik
seperti sinar yang terang menyilaukan(38,1%) dan bau yang menyengat baik menyenangkan maupun
tidak menyenangkan, (5) faktor fisik seperti aktifitas fisik yang berlebihan (aktifitas seksual) dan
perubahan pola tidur, (6) perubahan lingkungan (53,2%), (7) alkohol (37,8%), (7) merokok (35,7%).
Faktor resiko migren adalah adanya riwayat migren dalam keluarga, wanita, dan usia muda.

Epidemiologi Migren
Migren terjadi hampir pada 30 juta penduduk Amerika Serikat dan 75 % diantaranya adalah wanita.
Migren dapat terjadi pada semua usia tetapi biasanya muncul pada usia 10 – 40 tahun dan angka
kejadiannya menurun setelah usia 50 tahun. Migren tanpa aura lebih sering diabndingkan migren
yang disertai aura dengan persentasi 9 : 1.

Klasifikasi Migren
Migren dapat diklasifikasikan menjadi migren dengan aura, tanpa aura, dan migren kronik
(transformed). Migren dengan aura adalah migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang
mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, paling tidak ada
satu aura yang terbentuk berangsur – angsur lebih dari 4 menit, aura tidak bertahan lebih dari 60
menit, dan sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit. Migren
tanpa aura adalah migren tanpa disertai aura klasik, biasanya bilateral dan terkena pada periorbital.
Migren kronik adalah migren episodik yang tampilan klinisnya dapat berubah berbulan- bulan
sampai bertahun- tahun dan berkembang menjadi sindrom nyeri kepala kronik dengan nyeri setiap
hari.

Patofisiologi Migren
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan terjadinya migren. Teori vaskular, adanya gangguan
vasospasme menyebabkan pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi hipoperfusi otak yang
dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan. Penyebaran frontal berlanjuta dan menyebabkan
fase nyeri kepala dimulai. Teori cortical spread depression, dimana pada orang migrain nilai ambang
saraf menurun sehingga mudah terjadi eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting wave depolarization
oleh pottasium-liberating depression (penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan
terjadinya periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi penyebaran depresi
yang akan menekan aktivitas neuron ketika melewati korteks serebri.

Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO
akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga melepaskan CGRP
(calcitonin gene related). CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan akan
merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga
bekerja pada arteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan aliran darah. Selain
itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site second order neuron yang bertindak sebagai
transmisi impuls nyeri.

Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan lokus sereleus sehingga terjadi
peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga
terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan
konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran darah di
otak akan merangsang serabut saraf trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang maka dapat
terjadi aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah intrakranial dan ekstrakranial yang akan menyebabkan nyeri kepala pada migren.

9
Diagnosa Migren
Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda – tanda khas migren. Kriteria
diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling tidak tiga dari
empat karakteristik berikut : (1) migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang mengindikasikan
disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang
terbentuk berangsur – angsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit, (4) sakit
kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak mencapai 60 menit

Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling sedikit
lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang memenuhi kriteria berikut : (a) berlangsung 4 –
72 jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari : (1) unilateral , (2) sensasi berdenyut, (3) intensitas
sedang berat, (4) diperburuk oleh aktifitas, (3) bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.

Pemeriksaan Penunjang Migren


Pemeriksaan untuk menyingkirkan penyakit lain ( jika ada indikasi) adalah pencitraan ( CT scan dan
MRI) dan punksi lumbal.

Diferensial diagnosa Migren


Diferensial diagnosa migren adalah malformasi arteriovenus, aneurisma serebri, glioblastoma,
ensefalitis, meningitis, meningioma, sindrom lupus eritematosus, poliarteritis nodosa, dan cluster
headache.

Terapi Migren
Tujuan terapi migren adalah membantu penyesuaian psikologis dan fisiologis, mencegah
berlanjutnya dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi media humoral ( misalnya serotonin dan
histamin), dan mencegah vasokonstriksi arteri intrakranial untuk memperbaiki aliran darah otak.

Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan sebanyak 0,25 – 0,5
mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secara oral atau sublingual dapat diberikan 2 mg segera
setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu. Dosis untuk pemberian nasal adalah
0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2 mg (4 semprotan). Kontraindikasi adalah
sepsis, penyakit pembuluh darah, trombofebilitis, wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil
anti hamil. Pada wanita hamil, haid atau sedang menggunakan pil anti hamil berikan pethidin 50 mg
IM. Pada penderita penyakit jantung iskemik gunakan pizotifen 3 sampai 5 kali 0,5 mg sehari. Selain
ergotamin juga bisa obat – obat lain (lihat tabel 6). Terapi profilaksis menggunakan metilgliserid
malead, siproheptidin hidroklorida, pizotifen, dan propanolol. Selain menggunakan obat – obatan,
migren dapat diatasi dengan menghindari aktor penyebab, manajemen lingkungan, memperkirakan
siklus menstruasi, yoga, meditasi, dan hipnotis.

Komplikasi Migren
Komplikasi Migren adalah rebound headache, nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan obat –
obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.
Pencegahan Migren
Pencegahan migren adalah dengan mencegah kelelahan fisik, tidur cukup, mengatasi hipertensi,
menggunakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya matahari, mengurangi makanan (seperti
keju, coklat, alkohol, dll.), makan teratur, dan menghindari stress.

B. Tension type headache

Definisi Tension Type Headache (TTH)

10
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot kepala dan
tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius,
M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).

Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)


Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja dalam
posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang berlebihan,
berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin,
noerpinefrin, dan enkephalin.

Epidemiologi Tension Type Headache (TTH)


TTH terjadi 78 % sepanjang hidup dimana Tension Type Headache episodik terjadi 63 % dan
Tension Type Headache kronik terjadi 3 %. Tension Type Headache episodik lebih banyak
mengenai pasien wanita yaitu sebesar 71% sedangkan pada pria sebanyak 56 %. Biasanya mengenai
umur 20 – 40 tahun.

Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)


Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type Headache kronik.
Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari setiap bulan.
Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit – 7 hari. Tension Type
Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung
lebih dari 6 bulan.

Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)


Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literatur dan hasil penelitian
disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH sebagai berikut : (1)
disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer dimana disfungsi
sistem saraf perifer lebih mengarah pada ETTH sedangkan disfungsi sistem saraf pusat mengarah
kepada CTTH, (2) disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan permanen tanpa
disertai iskemia otot, (3) transmisi nyeri TTH melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis yang
akan mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis ( aktivasi
molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan perikranial dan miofasial lalu
akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal ini
akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial, (4) hiperflesibilitas neuron
sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan korteks serebri yang diikuti hipesensitifitas
supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif. Nilai ambang deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal)
akan menurun di sefalik dan ekstrasefalik. Selain itu, terdapat juga penurunan supraspinal decending
pain inhibit activity, (5) kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan kesalahan
interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri, (6) terdapat hubungan jalur serotonergik dan
monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus dengan terjadinya TTH. Defisiensi kadar
serotonin dan noradrenalin di otak, dan juga abnormal serotonin platelet, penurunan beta endorfin di
CSF dan penekanan eksteroseptif pada otot temporal dan maseter, (7) faktor psikogenik ( stres
mental) dan keadaan non-physiological motor stress pada TTH sehingga melepaskan zat iritatif yang
akan menstimulasi perifer dan aktivasi struktur persepsi nyeri supraspinal lalu modulasi nyeri sentral.
Depresi dan ansietas akan meningkatkan frekuensi TTH dengan mempertahankan sensitisasi sentral
pada jalur transmisi nyeri, (8) aktifasi NOS ( Nitric Oxide Synthetase) dan NO pada kornu dorsalis.

Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang menjelaskan
hal tersebut yaitu (1) adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan pernafasan hiperventilasi
sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan mengganggu keseimbangan asam basa dalam
darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan mengakibatkan ion

11
kalsium masuk ke dalam sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan sehingga terjadilah
nyeri kepala. (2) stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak
selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma trigeminus yang akan
menghasilkan neuropeptida (substansi P). Neuropeptida ini akan merangsang ganglion trigeminus
(pons). (3) stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction, stage of resistance, dan stage of
exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan vasokontriksi perifer yang akan
mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu terjadilah metabolisme anaerob. Metabolisme
anaerob akan mengakibatkan penumpukan asam laktat sehingga merangsang pengeluaran bradikinin
dan enzim proteolitik yang selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana
sumber energi yang digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron,
dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana sumber energi
yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun sehingga terjadi deplesi K+.
Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi saraf.

Diagnosa Tension Type Headache (TTH)


Tension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang – kurangnya dua dari berikut ini : (1)
adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan – sedang, (3) lokasi bilateral, (4) tidak
diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan
fonofobia.

Gejala klinis dapat berupa nyeri ringan- sedang – berat, tumpul seperti ditekan atau diikat, tidak
berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada daerah kulit kepala, oksipital, dan belakang leher,
terjadi spontan, memburuk oleh stress, insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas, gangguan konsentrasi,
kadang vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian leher, rahang serta temporomandibular.

Pemeriksaan Penunjang Tension Type Headache (TTH): Tidak ada uji spesifik untuk mendiagnosis
TTH dan pada saat dilakukan pemeriksaa neurologik tidak ditemukan kelainan apapun. TTH
biasanya tidak memerlukan pemeriksaan darah, rontgen, CT scan kepala maupun MRI.

Diferensial Diagnosa Tension Type Headache (TTH)


Diferensial Diagnosa dari TTH adalah sakit kepala pada spondilo-artrosis deformans, sakit kepala
pasca trauma kapitis, sakit kepala pasca punksi lumbal, migren klasik, migren komplikata, cluster
headache, sakit kepala pada arteritis temporalis, sakit kepala pada desakan intrakranial, sakit kepala
pada penyakit kardiovasikular, dan sakit kepala pada anemia.

Terapi Tension Type Headache (TTH)


Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk mengetahui arti dari
relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan/ atau latihan biofeedback. Pengobatan
farmakologi adalah simpel analgesia dan/atau mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium
merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia
(asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein ( dalam
bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan.

Prognosis dan Komplikasi Tension Type Headache (TTH)


TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak membahayakan.Nyeri ini
dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan menyelesaikan masalah yang menjadi latar
belakangnya jika penyebab TTH berupa pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan
terapi obat berupa analgesia. TTh biasanya mudah diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan
dengan penatalaksanaan yang baik maka > 90 % pasien dapat disembuhkan.

12
Komplikasi TTH adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang disebabkan oleh penggunaan
obat – obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen, dll yang berlebihan.

Pencegahan Tension Type Headache (TTH)


Pencegahan TTH adalah dengan mencegah terjadinya stress dengan olahraga teratur, istirahat yang
cukup, relaksasi otot (massage, yoga, stretching), meditasi, dan biofeedback. Jika penyebabnya
adalah kecemasan atau depresi maka dapat dilakukan behavioral therapy. Selain itu, TTH dapat
dicegah dengan mengganti bantal atau mengubah posisi tidur dan mengkonsumsi makanan yang
sehat.

C. Cluster headache

Definisi
Cluster headache adalah suatu sindrom idiopatik yang terdiri dari serangan yang jelas dan berulang
dari suatu nyeri periorbital unilateral yang mendadak dan parah.

Patofisiologi
Patofisiologi dari cluster headache belum sepenuhnya dimengerti. Periodisitasnya dikaitkan dengan
pengaruh hormon pada hipotalamus (terutama nukleus suprachiasmatik). Baru-baru ini neuroimaging
fungsional dengan positron emision tomografi (PET) dan pencitraan anatomis dengan morfometri
voxel-base telah mengidentifikasikan bagian posterior dari substansia grisea dari hipotalamus
sebagai area kunci dasar kerusakan pada cluster headache.

Nyeri pada cluster headache diperkirakan dihasilkan pada tingkat kompleks perikarotid atau sinus
kavernosus. Daerah ini menerima impuls simpatis dan parasimpatis dari batang otak, mungkin
memperantarai terjadinya fenomena otonom pada saat serangan. Peranan pasti dari faktor-faktor
imunologis dan vasoregulator, sebagaimana pengaruh hipoksemia dan hipokapnia pada cluster
headache masih kontroversial.

Penyebab
Penyebab cluster headache masih belum diketahui. Cluster headache sepertinya tidak berkaitan
dengan penyakit lainnya pada otak.

Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi, international headache society telah
mengklasifikasikan cluster headache menjadi dua tipe :
1. Episodik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu sampai satu
tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun
sebelum berkembangnya periode cluster selanjutnya.
2. Kronik, dalam bentuk ini cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari satu tahun dengan
tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri berlangsung kurang dari dua minggu.

Sekitar 10 sampai 20 % orang dengan cluster headache mempunyai tipe kronik. Cluster headache
kronik dapat berkembang setelah suatu periode serangan episodik atau dapat berkembang secara
spontan tanpa di dahului oleh riwayat sakit kepala sebelumnya. Beberapa orang mengalami fase
episodik dan kronik secara bergantian.

Para peneliti memusatkan pada mekanisme yang berbeda untuk menjelaskan karakter utama dari
cluster headache. Mungkin terdapat riwayat keluarga dengan cluster headache pada penderita, yang
berarti ada kemungkinan faktor genetik yang terlibat. Beberapa faktor dapat bekerja sama
menyebabkan cluster headache.

13
Pemicu Cluster Headache : Tidak seperti migraine dan sakit kepala tipe tension, cluster headache
umumnya tidak berkaitan dengan pemicu seperti makanan, perubahan hormonal atau stress. Namun
pada beberapa orang dengan cluster headache adalah merupakan peminum berat dan perokok berat.
Setelah periode cluster dimulai, konsumsi alkohol dapat memicu sakit kepala yang sangat parah
dalam beberapa menit. Untuk alasan ini banyak orang dengan cluster headache menjauhkan diri dari
alkohol selama periode cluster. Pemicu lainnya adalah penggunaan obat-obatan seperti nitrogliserin,
yang digunakan pada pasien dengan penyakit jantung.

Permulaan periode cluster seringkali setelah terganggunya pola tidur yang normal, seperti pada saat
liburan atau ketika memulai pekerjaan baru atau jam kerja yang baru. Beberapa orang dengan cluster
headache juga mengalami apnea pada saat tidur, suatu kondisi dimana terjadinya kolaps sementara
pada dinding tenggorokan sehingga menyumbat jalan nafas berulang kali pada saat tidur.

 Peningkatan Sensitivitas dari Jalur Saraf


Nyeri yang sangat pada cluster headache berpusat di belakang atau di sekitar mata, di suatu
daerah yang dipersarafi oleh nervus trigeminus, suatu jalur nyeri utama. Rangsangan pada
saraf ini menghasilkan reaksi abnormal dari arteri yang menyuplai darah ke kepala.
Pembuluh darah itu akan berdilatasi dan menyebabkan nyeri.

Beberapa gejala dari cluster headache seperti mata berair, hidung tersumbat dan atau berair,
serta kelopak mata yang sulit diangkat melibatkan sistem saraf otonom. Saraf yang
merupakan bagian dari sistem ini membentuk suatu jalur pada dasar otak. Ketika saraf
trigeminus di aktivasi, menyebabkan nyeri pada mata, sistem saraf otonom juga diaktivasi
dengan apa yang disebut refleks trigeminal otonom. Para peneliti percaya bahwa masih ada
proses yang belum diketahui yang melibatkan peradangan atau aktivitas pembuluh darah
abnormal pada daerah ini yang mungkin terlibat menyebabkan sakit kepala.
 Fungsi Abnormal dari Hipotalamus
Serangan cluster biasanya terjadi dengan pengaturan seperti jam 24 jam sehari. Siklus
periode cluster seringkali mengikuti pola musim dalam satu tahun. Pola ini menunjukkan
bahwa jam biologis tubuh ikut terlibat. Pada manusia jam biologis terletak pada hipotalamus
yang berada jauh di dalam otak. Dari banyak fungsi hipotalamus, bagian ini mengontrol
siklus tidur bangun dan irama internal lainnya. Kelainan hipotalamus mungkin dapat
menjelaskan adanya pengaturan waktu dan siklus pada cluster headache. Penelitian telah
menemukan peningkatan aktivitas di dalam hipotalamus selama terjadinya cluster headache.
Peningkatan aktivitas ini tidak ditemukan pada orang-orang dengan sakit kepala lainnya
seperti migraine.

Penelitian juga menemukan bahwa orang-orang yang mempunyai tingkat hormon tertentu
yang abnormal, termasuk melatonin dan testoteron, kadar hormon tersebut meningkat pada
periode cluster. Perubahan hormon-hormon tersebut dipercayai karena ada masalah pada
hipotalamus. Peneliti lainnya menemukan bahwa orang-orang dengan cluster headache
mempunyai hipotalamus yang lebih besar daripada mereka yang tidak memiliki cluster
headache. Namun masih belum diketahui mengapa bisa terjadi kelainan-kelainan semacam
itu.

Tanda dan Gejala


Cluster headache menyerang dengan cepat, biasanya tanpa peringatan. Dalam hitungan menit nyeri
yang sangat menyiksa berkembang. Rasa nyeri tersebut biasanya berkembang pada sisi kepala yang
sama pada periode cluster, dan terkadang sakit kepala menetap pada sisi tersebut seumur hidup
pasien. Jarang sekali rasa nyeri berpindah ke sisi lain kepala pada periode cluster selanjutnya. Jauh
lebih jarang lagi rasa nyeri berpindah-pindah setiap kali terjadi serangan.

14
Rasa nyeri pada cluster headache seringkali digambarkan sebagai suatu nyeri yang tajam, menusuk,
atau seperti terbakar. Orang-orang dengan kondisi ini mengatakan bahwa rasa sakitnya seperti suatu
alat pengorek yang panas ditusukkan pada mata atau seperti mata di dorong keluar dari tempatnya.

Tanda dan gejala lainnya yang mungkin bersamaan dengan cluster headache antara lain :
a. Lubang hidung tersumbat atau berair pada sisi kepala yang terserang.
b. Kemerahan pada muka.
c. Bengkak di sekitar mata pada sisi wajah yang terkena.
d. Ukuran pupil mengecil.
e. Kelopak mata sulit untuk dibuka.

Tanda dan gejala tersebut hanya terjadi selama masa serangan. Namun demikina pada beberapa
orang kelopak mata yang sulit ditutup dan mengecilnya ukuran pupil tetap ada lama setelah periode
serangan. Beberapa gejala-gejala seperti migraine termasuk mual, fotofobia dan fonofobia, serta aura
dapat terjadi pada cluster headache.

Karakteristik Periode Cluster


Suatu periode cluster umumnya berlangsung antara 2 sampai 12 minggu. Periode cluster kronik
dapat berlanjut lebih dari satu tahun. Tanggal permulaan dan jangka waktu dari tiap-tiap periode
cluster seringkali dengan sangat mengagumkan konsisten dari waktu ke waktu. Untuk kebanyakan
orang, periode cluster dapat terjadi musiman, sperti tiap kali musim semi atau tiap kali musim gugur.
Adalah biasa untuk cluster bermula segera setelah salah satu titik balik matahari. Seiring dengan
waktu periode cluster dapat menjadi lebih sering, lebih sulit untuk diramalkan, dan lebih lama.

Selama periode cluster, sakit kepala biasanya terjadi tiap hari, terkadang beberapa kali sehari. Suatu
serangan tunggal rata-rata berlangsung 45 sampai 90 menit. Serangan terjadi pada waktu yang sama
dalam tiap 24 jam. Serangan pada malam hari lebih sering daripada siang hari, seringkali
berlangsung 90 menit sampai 3 jam setelah tertidur. Waktu tersering terjadinya serangan adalah
antara jam satu sampai jam dua pagi, antara jam satu sampai jam tiga siang dan sekitar jam sembilan
malam.

Cluster headache dapat menakutkan penderita serta orang-orang di sekitarnya. Serangan yang sangat
membuat lemah sepertinya tak tertahankan. Namun nyerinya seringkali hilang mendadak
sebagaimana ia di mulai, dengan intensitas yang menurun secara cepat. Setelah serangan,
kebanyakan orang bebas sepenuhnya dari rasa sakit namun mengalami kelelahan. Kesembuhan
sementara selama periode cluster dapat berlangsung beberapa jam sampai sehari penuh sebelum
serangan selanjutnya.

Diagnosis
Cluster headache mempunyai ciri khas tipe nyeri dan pola serangan. Suatu diagnosis tergantung
kepada gambaran dari serangan, termasuk nyeri, lokasi dan keparahan sakit kepala, dan gejala-gejala
lainnya yang terkait. Frekuensi dan lama waktu terjadinya sakit kepala juga merupakan faktor yang
penting.

Keterlibatan fenomena otonom yang jelas adalah sangat penting pada cluster headache. Tanda-tanda
tersebut diantaranya adalah rinorea dan hidung tersumbat ipsilateral, lakrimasi, hiperemi pada
konjungtiva, diaforesis pada wajah, edema pada palpebra dan sindrom Horner parsial atau komplit,
takikardia juga sering ditemukan.

15
Pemeriksaan neurologis dapat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda dari cluster headache.
Terkadang pupil terlihat lebih kecil atau palpebra terjatuh bahkan diantara serangan.

Cluster headache adalah suatu diagnosis klinis, pada kasus-kasus yang jarang lesi struktural dapat
menyerupai gejala-gejala dari cluster headache, menegaskan perlunya pemeriksaan neuroimaging.
Uji yang dilakukan adalah CT- Scan dan MRI.

Diagnosis Banding
 Anisocoria
 Atypical Facial Pain
 Basilar Artery Thrombosis
 Brainstem Gliomas
 Cavernous Sinus Syndromes
 Chronic Paroxysmal Hemicrania
 Craniopharyngioma
 Headache: Pediatric Perspective
 Intracranial Hemorrhage
 Migraine Headache
 Migraine Variants
 Pituitary Tumors
 Postherpetic Neuralgia
 Subarachnoid Hemorrhage
 Temporomandibular Joint Syndrome
 Tolosa-Hunt Syndrome
 Trigeminal Neuralgia

Terapi
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan cluster headache. Tujuan dari pengobatan adalah menolong
menurunkan keparahan nyeri dan memperpendek jangka waktu serangan. Obat-obat yang digunakan
untuk cluster headache dapat dibagi menjadi obat-obat simtomatik dan profilaktik. Obta-obat
simtomatik bertujuan untuk menghentikan atau mengurangi rasa nyeri setelah terjadi serangan
cluster headache, sedangkan obat-obat profilaktik digunakan untuk mengurangi frekuensi dan
intensitas eksaserbasi sakit kepala.

Karena sakit kepala tipe ini meningkat dengan cepat pengobatan simtomatik harus mempunyai sifat
bekerja dengan cepat dan dapat diberikan segera, biasanya menggunakan injeksi atau inhaler
daripada tablet per oral.
Pengobatan simtomatik termasuk :
1. Oksigen. Menghirup oksigen 100 % melalui sungkup wajah dengan kapasitas 7 liter/menit
memberikan kesembuhan yang baik pada 50 sampai 90 % orang-orang yang
menggunakannya. Terkadang jumlah yang lebih besar dapat lebih efektif. Efek dari
penggunaannya relatif aman, tidak mahal, dan efeknya dapat dirasakan setelah sekitar 15
menit. Kerugian utama dari penggunaan oksdigen ini adalah pasien harus membawa-bawa
tabung oksigen dan pengaturnya, membuat pengobatan dengan cara ini menjadi tidak nyaman
dan tidak dapat di akses setiap waktu. Terkadang oksigen mungkin hanya menunda daripada
menghentikan serangan dan rasa sakit tersebut akan kembali.
2. Sumatriptan. Obat injeksi sumatriptan yang biasa digunakan untuk mengobati migraine, juga
efektif digunakan pada cluster headache. Beberapa orang diuntungkan dengan penggunaan

16
sumatriptan dalam bentuk nasal spray namun penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan
untuk menentukan keefektifannya.
3. Ergotamin. Alkaloid ergot ini menyebabkan vasokontriksi pada otot-otot polos di pembuluh
darah otak. Tersedia dalam bentuk injeksi dan inhaler, penggunaan intra vena bekerja lebih
cepat daripada inhaler dosis harus dibatasi untuk mencegah terjadinya efek samping terutama
mual, serta hati-hati pada penderita dengan riwayat hipertensi.
4. Obat-obat anestesi lokal. Anestesi lokal menstabilkan membran saraf sehingga sel saraf
menjadi kurang permeabel terhadap ion-ion. Hal ini mencegah pembentukan dan penghantaran
impuls saraf, sehingga menyebabkan efek anestesi lokal. Lidokain intra nasal dapat digunakan
secara efektif pada serangan cluster headache. Namun harus berhati-hati jika digunakan pada
pasien-pasien dengan hipoksia, depresi pernafasan, atau bradikardi.
Obat-obat profilaksis :
1. Anti konvulsan. Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis pada cluster headache telah
dibuktikan pada beberapa penelitian yang terbatas. Mekanisme kerja obat-obat ini untuk
mencegah cluster headache masih belum jelas, mungkin bekerja dengan mengatur sensitisasi
di pusat nyeri.
2. Kortikosteroid. Obat-obat kortikosteroid sangat efektif menghilangkan siklus cluster headache
dan mencegah rekurensi segera. Prednison dosis tinggi diberikan selam beberapa hari
selanjutnya diturunkan perlahan. Mekanisme kerja kortikosteroid pada cluster headache masih
belum diketahui.
Pembedahan
Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster headache kronik yang tidak
merespon dengan baik dengan pengobatan atau pada orang-orang yang memiliki kontraindikasi pada
obat-obatan yang digunakan. Seseorang yang akan mengalami pembedahan hanyalah yang
mengalami serangan pada satu sisi kepal saja karena operasi ini hanya bisa dilakukan satu kali.
Orang-orang yang mengalami serangan berpindah-pindah dari satu sisi ke sisi yang lain mempunyai
resiko kegagalan operasi.

Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster headache. Prosedur
yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang bertanggungjawab terhadap nyeri.

Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif (contohnya radio frekuensi pericutaneus,
gangliorhizolisis trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil mengobati cluster headache. Namun
demikian terjadi efek samping berupa diastesia pada wajah, kehilangan sensoris pada kornea dan
anestesia dolorosa.

Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang lebih sering digunakan karena kurang
invasif. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman elektroda perangsang dengan
menggunakan penunjuk jalan stereostatik di bagian inferior hipotalamus. Penelitian menunjukkan
bahwa perangsangan hipotalamus pada pasien dengan cluster headache yang parah memberikan
kesembuhan yang komplit dan tidak ada efek samping yang signifikan.

Pencegahan
Karena penyebab dari cluster headache masih belum diketahui dengan pasti kita belum bisa
mencegah terjadinya serangan pertama. Namun kita dapat mencegah sakit kepala ulangan yang lebih
berat. Penggunaan obat-obat preventif jangka panjang lebih menguntungkan dari yang jangka
pendek. Obat-obat preventif jangka panjang antara lain adalah penghambat kanal kalsium dan kanal
karbonat. Sedangakan yang jangka pendek termasuk diantaranya adalah kortikosteroid, ergotamin
dan obat-obat anestesi lokal.
Menghindari alkohol dan nikotin dan faktor resiko lainnya dapat membantu mengurangi terjadinya
serangan.

17
Prognosis
 80 % pasien dengan cluster headache berulang cenderung untuk mengalami serangan
berulang.
 Cluster headache tipe episodik dapat berubah menjadi tipe kronik pada 4 sampai13 %
penderita.
 Remisi spontan dan bertahan lama terjadi pada 12 % penderita, terutama pada cluster
headache tipe episodik.
 Umumnya cluster headache adalah masalah seumur hidup.
 Onset lanjut dari gangguan ini teruama pada pria dengan riwayat cluster headache tipe
episodik mempunyai prognosa lebih buruk.

Etiologi Nyeri Kepala

Sebagian besar nyeri kepala terjadi karena tegangan (kontraksi otot) dapat disebabkan oleh:
 Stres emosional, kelelahan, menstruasi, rangsangan dari lingkungan (bunyi berisik, kerumunan banyak
orang, cahaya yang terang).
 Keadaan lain yang dapat menjadi penyebab: glaukoma, inflamasi pada mata atau mukosa nasal atau
sinus paranasal, penyakit pada kulit kepala, gigi, arteri ekstrakranial, pemakaian obat-obat vasodilator
(nitrat, alkohol dan histamin), penyakit sistemik, hipertensi, peningkatan tekanan intracranial,
trauma/tumor kepala, perdarahan, abses atau aneurisma intrakranial.
(Price, 2006)

Patofisiologi Nyeri Kepala

Beberapa mekanisme umum yang berpengaruh memicu nyeri kepala:

 Peregangan atau pergeseran pembuluh darah: intrakranium atau ekstrakranium.


 Traksi pembuluh darah.
 Peregangan periosteum (nyeri local).
 Degenerasi spina cervicalis atas disertai kompresi pada akar nervus cervicalis (misalnya, arthritis
vertebra cervicalis).
 Defisiensi enkefalin (peptide otak mirip opiate, bahan aktif endorphin).
Sistem saraf simpatis pada dasarnya bertanggung jawab atas pengendalian neural pembuluh darah
cranium dan ekstrakranium. Nyeri kepala dapat memancar dari struktur yang peka terhadap rasa nyeri
seperti kulit, kulit kepala, otot, arteri dan vena; nervus kranialis V. VII, IX dan X; atau nervus kranialis 1,
2, dan 3.

Empat fase nyeri kepala:

1. Normal. Arteri serebri dan arteri temporalis dipersarafi secara ekstrakranial; arteri dalam parenkim
otak tidak dipersarafi.
2. Vasokontriksi (aura). Vasokontriksi lokal neurogenik yang berkaitan dengan stres pada arteri serebri
yang dipersarafi akan mengurangi aliran darah ke dalam otak (iskemia lokal). Secara sistematis,
prostaglandin tromboksan akan meningkatkan agregasi trombosit dan pelepasan serotonin, suatu
vasokontriktor yang poten, serta mungkin pula zat adiktif lain.
3. Dilatasi arteri parenkim. Pembuluh darah parenkim otak yang tidak dipersarafi akan berdilatasi sebagai
reaksi terhadap keadaan asidosis dan anoksia (iskemia). Peningkatan aliran darah, kenaikan tekanan
internal dan peningkatan pulsasi pembuluh darah menyebabkan aliran darah melintas pembuluh darah
yang pada keadaan normal untuk memberikan nutrisi.

18
4. Vasodilatasi. Mekanisme kompensasi menimbulkan vasodilatasi pada arteri yang dipersarafi sehingga
terjadi nyeri kepala. Agregasi trombosit dalam peredaran darah sistemik berkurang dan penurunan
kadar serotonin menyebabkan vasodilatasi.
(Kowalak, 2011)

Patofisiologi Migrain Tanpa Aura


Migren tanpa aura dimula di neuron-neuron nosiseptif di pembuluh darah. Sinyal nyeri berjalan dari
pembuluh ke aferem primer dan kemudian ke ganglion trigeminus, dan akhirnya mencapai nucleus
kaudalis trigeminus, suatu daerah pengolah nyeri di batang otak. Neuron-neuron aktif di SSP kemudian
mengekspresikan gen c-fos, yang ditekan oleh butabarbital di nucleus caudatus. (Kenneth, 2004)

Patofisiologi Migrain dengan Aura


Penyebaran gejala neurologic fokal “ spreading depression” korteks yang terjadi saat depolarisasi listrik
melintasi korteks dan merangsang neuron-neuron sehingga fungsi neuron terganggu dan terjadi
pengaktifan trigeminus. Spreading depression memerlukan aktivitas reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA)
glutamate. Gejala aura yang khas adalah perubahan penglihatan dan sensorik abnormal. Aura bersifat
somatosensorik seperti rasa baal di tangan atau satu sisi wajah.

Manifestasi Klinis Nyeri Kepala

Fase I : Prodromal
Sebanyak 50% pasien mengalami fase
prodromal ini yang berkembang pelan-pelan
selama 24 jam sebelum serangan. Gejala:
kepala terasa ringan , tidak enak, iritabel,
memburuk bila makan makanan tertentu
seperti makanan manis, mengunyah terlalu
kuat, sulit/malas berbicara.

Fase II : Aura
• Gangguan penglihatan yang paling sering
dikeluhkan pasien. Khas pasien melihat seperti
melihat kilatan lampu blits (photopsia) atau
melihat garis zig zag disekitar mata dan hilangnya
sebagian penglihatan pada satu atau kedua mata
(scintillating scotoma).
• Gejala sensoris yang timbul berupa rasa kesemutan
atau tusukan jarum pada lengan, dysphasia.
• Fase ini berlangsung antara 5 – 60 menit. Sebanyak
80% serangan migraine tidak disertai aura.

Fase III : Headache


• Nyeri kepala yang timbul terasa berdenyut dan
berat. Biasanya hanya pada salah satu sisi kepal
tetapi dapat juga pada kedua sisi. Sering disertai
mual muntah tidak tahan cahaya (photofobia) atau
suara (phonofobia). Nyeri kepala sering memburuk

19
saat bergerak dan pasien lebih senang istrahat
ditempat yang gelap dan ini sering berakhir antara
2 – 72 jam.

Fase IV : Postdromal
• Saat ini nyeri kepala mulai mereda dan akan
berakhir dalam waktu 24 jam, pada fase ini
pasien akan merasakan lelah, nyeri pada
ototnya kadang kadang euphoria. Setelah
nyeri kepala hilang

20
Selama serangan migrain, fungsi fisiologik terganggu:
1. Gangguan pemprosesan sensorik menyebabkan disfungsi penglihatan dan pendengaran (fotofobia dan
fonofobia).
2. Gangguan motilitas GI dapat menyebabkan mual dan muntah serta kesulitan mengkonsumsi obat
antimigren oral.
3. Gangguan autonom dapat menimbulkan berbagai gejala seperti diare.
4. Gangguan serebrum dapat menyebabkan perubahan kognitif dan suasana hati.

Tipe Tanda dan Gejala


Migrain tanpa aura ( migrain biasa)
Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak diobati  Gejala prodromal yang meliputi rasa lelah,
nausea, vomitus, dan ketidakseimbangan cairan
yang mendahului serangan sakit kepala.
 Sensitive terhadap cahaya dan bunyi berisik.
 Nyeri tipe sakit kepala (rasa pegal atau nyeri
berdenyut yang bias unilateral atau bilateral).
Migrain dengan aura (klasik)
Biasanya terjadi pada kepribadian kompulsif.  Gejala prodromal yang meliputi gangguan
penglihatan seperti penampakan garis zig zag
dan cahaya yang terang, gangguan sensorik
(kesemutan pada wajah, bibir serta tangan),
gangguan motorik.
 Sakit kepala yang periodik dan rekuren.
Migrain hemiplegik dan oftalmoplegik
Biasanya terjadi pada dewasa muda  Nyeri unilateral
 Kelumpuhan otot ekstraokuler (N. cranial III)
dan psitosis.
 Migrain hemiplegic terdapat gangguan neurologi
(hemiparesis, hemiplagia) yang dapat bertahan
meskipun sakit kepala sudah mereda.
Migrain arteri basilaris
Terjadi pada wanita muda periode haid  Gejala prodromal yang meliputi gangguan
penglihatan parsial dengan keluhan vertigo,
ataksia, tinnitus, kesemutan jari-jari tangan serta
kaki.
 Nyeri kepala yang berupa nyeri berdenyut di
daerah oksipital dn vomitus.

(Kowalak, 2011)

21
Membedakan Nyeri Kepala
Jenis atau Penyebab Ciri Khas Pemeriksaan Diagnostik
Sakit kepala sering terjadi, nyeri hilang Pemeriksaan untuk
Ketegangan otot timbul, tidak terlalu berat dan dirasakan di menyingkirkan penyakit fisik
kepala bagian depan dan belakang atau serta penilaian faktor psikis &
dirasakan kekakuan menyeluruh. kepribadian.
Nyeri dimulai di dalam dan di sekitar mata Jika diagnosisnya masih
atau pelipis, menyebar ke satu atau kedua meragukan dan sakit kepala
Migren sisi kepala, biasanya mengenai seluruh baru terjadi, dilakukan CT scan
kepala, berdenyut dan disertai dengan atau MRI/diberikan obat migren
hilangnya nafsu makan, mual dan muntah. untuk melihat efeknya.
Serangannya singkat (sekitar 1 jam), Obat migren diberikan untuk
dirasakan di satu sisi kepala, serangan melihat efeknya (sumatriptan,
Nyeri Kepala Cluster terjadi secara periodik, menyerang pria yang metisergid/obat vasokonstriktor,
disertai dengan pembengkakan mata, kortikosteroid, indometasin)
hidung meler & mata berair pada sisi yang atau menghirup O2.
sama dengan nyeri.
Hipertensi Nyerinya berdenyut dan dirasakan di kepala Analisa kimia darah dan
bagian belakang atau di puncak kepala. pemeriksaan ginjal.
Nyeri dirasakan di kepala bagian depan atau
Kelainan mata di dalam dan di seluruh mata, bersifat Pemeriksaan mata.
(iritis, glaukoma). sedang sampai berat dan seringkali
memburuk jika mata dalam keadaan lelah.
Nyeri bersifat akut atau subakut, dirasakan
di kepala bagian depan, bersifat tumpul atau
Kelainan sinus berat, biasanya memburuk di pagi hari, Rontgen sinus
membaik di siang hari dan memburuk
dalam keadaan dingin atau lembab.
Nyeri hilang-timbul, bersifat ringan sampai
berat, dirasakan di satu titik atau di seluruh
Tumor otak kepala. Kelemahan di salah satu sisi tubuh MRI atau CT scan
semakin meningkat, kejang, gangguan
penglihatan, kemampuan berbicara hilang,
muntah dan perubahan mental.
Nyeri hilang-timbul, bersifat ringan sampai
berat, dirasakan di satu titik atau di seluruh
Infeksi otak kepala. Sebelumnya penderita pernah MRI atau CT scan
mengalami infeksi telinga, sinus atau paru-
paru, penyakit jantung rematik atau
penyakit jantung bawaan.
Nyeri baru dirasakan, menetap, berat dan
dirasakan di seluruh kepala serta menjalar
Meningitis ke leher. Sakit disertai demam, muntah dan Pemeriksaan darah, pungsi
sebelumnya mengalami nyeri tenggorokan lumbal.
atau infeksi pernafasan dan leher sulit
ditekuk.
Nyeri hilang-timbul atau terus menerus,
Hematoma subdural bersifat ringan sampai berat, bisa dirasakan
di satu titik atau di seluruh kepala, menjalar MRI atau CT scan.
ke leher. Biasanya sebelumnya telah terjadi

22
cedera pada penderita yang disertai
penurunan kesadaran.
Nyeri baru dirasakan, menyebar, hebat dan MRI atau CT scan, jika hasilnya
Perdarahan menetap, kadang dirasakan di dalam dan di negatif maka dilakukan pungsi
subaracnoid sekitar mata, kelopak mata turun. lumbal.
Nyeri bersifat tumpul sampai berat dan
Sifilis, tuberculosis, dirasakan di seluruh kepala atau di puncak
kriptococcus, kepala, menderita demam meski tidak Pungsi lumbal.
kanker. terlalu tinggi dan terdapat riwayat sifilis,
tuberkulosis, kriptokokosis, sarkoidosis atau
kanker pada pasien.

(The International Classification of Headache Disorders, 2004)

Diagnosis Nyeri Kepala

Amanmesis

Pertanyaan umum pada anamnesa keluhan nyeri kepala:


1. Apakah nyeri kepala itu merupakan nyeri kepala “biasa”?
Istilah “biasa” disini berarti nyeri kepala yang terjadi kadang-kadang tanpa sebab yang jelas dan lazim
diderita banyak orang. Namun kemungkinan adanya gangguan biokimiawi dibalik nyeri tersebut juga
tidak dapat disingkirkan.
2. Apakah pasien pernah mengalami gangguan cedera kepala yang terjadi segera, beberapa minggu
bahkan beberapa bulan sebelum timbulnya nyeri kepala untuk pertama kali?
Nyeri kepala semacam ini bisa merupakan suatu gejala sisa setelah seseorang mengalami kontusio cerebri
atau perdarahan subdural.
3. Apakah disertai gejala demam?
Jika ya, penyebabnya harus dipikirkan. Pada penyakit-penyakit infeksi tertentu, terutama demam tifoid
dan infeksi yang disebabkan oleh arbovirus, nyeri kepala dapat dirasakan sangat hebat sehingga menutupi
keluhan demamnya.
4. Bagaimana pasien menjelaskan nyeri kepala (lokasi, frekuensi, waktu, durasi, kualitas, faktor pemicu,
faktor pereda)?
5. Apakah nyeri kepala timbul tersendiri atau disertai kelainan lain (mual, muntah, pusing, fotofobia,
penglihatan kabur)?
(Price, 2006)
Pertanyaan diagnostik spesifik:
1. Apakah nyeri kepala menggangu kehidupan anda?
2. Apakah ada perubahan pola nyeri kepala selama 6 bulan terakhir?
3. Seberapa sering anda mengalami nyeri kepala tipe apapun?
4. Seberapa sering anda menggunakan obat untuk mengatasi nyeri kepala?

Kriteria diagnostik Migrain Tanpa Aura


 Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan.
 Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak berhasil diobati).
 Nyeri kepala mempunyai sedikitnya 2 diantara karakteristik berikut:
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat

23
4. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau pasien menghindari aktivitas fisik rutin (seperti
berjalan atau naik tangga).
 Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1. Nausea dan atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia.
 Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.

Kriteria diagnostik Migrain dengan Aura


 Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan.
 Minimal memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut ini :
1. Satu atau lebih gejala aura yang reversibel yang mengindikasikan gejala fokal kortikal atau
disfungsi batang otak.
2. Minimal gejala aura muncul secara gradual dalam waktu > 4 menit.
3. Gejala aura tidak berlangsung dalam waktu > 60 menit.
4. Sakit kepala yang diikuti dengan aura disertai interval 60 menit.
 Tidak dijumpai adanya kelainan organik.

Kriteria diagnostik Tension type headache


 Minimal ada 10 serangan nyeri kepala dengan frekuensi < 15 x/bulan atau < 180 x/tahun.
 Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit – 7 hari.
 Minimal ada 2 kriteria nyeri sebagai berikut :
1. Rasa seperti ditekan/berat di kepala (non pulsating, tidak berdenyut).
2. Intensitas nyeri ringan – sedang.
3. Lokasi bilateral.
4. Tidak teragregasi oleh aktifitas fisik.
 Tidak dijumpai nausea, vomitus, photophobia, phonophobia jarang dijumpai.

Pemeriksaan penunjang

1. Foto Rontgen kepala.


2. Elektroenchelpalograph/Elektro Enselo Grafi (EEG).
3. CT-SCAN.
4. Arteriografi, Brain Scan Nuklir.
5. Pemeriksaan laboratorium (tidak rutin atas indikasi).
6. Pemeriksaaan psikologi (jarang dilakukan).

Diagnosis Banding

Cedera serebrovaskular, arteritis temporalis, sinusitis, meningitis, perdarahan subarachnoid, sakit kepala
pasca trauma, sakit kepala karena rangsangan dingin, sakit kepala yang diinduksi nitrat/nitrit, sakit kepala
karena monosodium glutamat (MSG), penyakit sendi temporo mandibular, athritis servikalis.

Penatalaksanaan Nyeri Kepala

Sasaran penatalaksanaan tergantung lama dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat disabilitas serta
respon awal dari pengobatan dan mungkin pula ditemukan penyakit lain seperti epilepsi, ansietas, stroke,
infark miokard. Karena itu harus hati-hati memberikan obat. Bila ada gejala mual/muntah, obat diberikan
rektal, nasal, subkutan atau intra vena.

Tatalaksana pengobatan migren dapat dibagi kepada 4 kategori

24
a. Langkah umum
b. Terapi abortif
c. Langkah menghilangkan rasa nyeri
d. Terapi preventif

A. Langkah Umum
Perlu menghindari pencetus nyeri, seperti perubahan pola tidur, makanan, stres dan rutinitas sehari-hari,
cahaya terang, kelap kelip, perubahan cuaca, berada ditempat yang tinggi seperti gunung atau di pesawat
udara.

B. Terapi Abortif
Pada serangan ringan sampai sedang atau serangan berat. Analgesik ringan aspirin (drug of choice). Bila
tidak respon terhadap NSAIDs, dipakai obat spesifik. seperti: Triptans (naratriptans, rizatriptan,
sumatriptan, zolmitriptan), Dihydro ergotamin (DHE), obat kombinasi (aspirin dengan asetaminophen
dan kafein), obat golongan ergotamin.

Tabel obat spesifik


Jenis obat
1. Ergotamin Dosis : 1-2 mg oral/jam, maksimal 3 dosis sehari, gunakan dosis
efektif terkecil.
Suppos : 1 mg, dosis maks, 2-3/ hr dan 12/bulan
Kontra indikasi : pengguna triptans, hamil, menyusui, hipertensi,
sepsis, coronary, cerebral, peripheral vascular disease.
Adverse react: Increased incidence of migraines, daily headaches,
tachycardia,arterial spasm, numbness and tingling, vomiting,
diarrhea, dizziness, abdominal cramps.
2. Caffeine plus Ergotamine Dosis: 2 tablet (100 mg caffeine/1mg ergot) pada saat onset,
kemudian 1 tab tiap 30 menit, dapat naik sampai 6 tab.(jangan lebih
10 tab/minggu nya).
Suppos (2 mg ergot/100 mg caff).

3. Dihydroergotamine Dosis: 1 mg IM, SC Max initial dose: 0.5 to 1.0 mg; dapat diulang
(DHE) tiap jam sampai dosis max 3 mg IM atau 2 mg IV per hari, dan 6 mg
per minggu.
Intranasal: 0.5-mg spray pada tiap nostril, dosis maksimal 4 spray (2
mg) per hari.
Triptans
1. Sumatriptan Dosis: 6 mg SC, dapat diulang dalam 1 jam, dosis maksimal 12
mg/hr. 25 -100 mg oral /2 jam, dosis maks: 200 mg/hari
Max initial dose: 100 mg.
Intranasal: 5 -10 mg (1-2 spray) pada satu nostril; dapat diulang
sesudah 2 jam, dosis maksimal 40 mg/hari.
Kontraindikasi : Ergotamine, hemiplegic atau basilar migraine,
hamil, gangguan fungsi hepar, CAD, MAOI
Adverse react : vomiting, vertigo, headache, chest pressure and
heaviness.
2. Naratriptan Dosis: 1.0 - 2.5 mg ooral/4 jam, dosis max 5 mg per hari.
Kontra indikasi : Ergot-type medications, kontrasepsi oral, merokok,
CAD.

25
Adverse react : Dizziness, nausea, fatigue.
3. Rizatriptan Dosis: 5 - 20 mg oral/2jam, dosis maks 30 mg per hari.
Kontra indikasi : Ergot-type medications, other triptans,
propranolol, cimetidine, CAD
Adverse react : Tachycardia, throat tightness.
4. Zolmitriptan Dosis: 2.5-5.0 mg oral/2 jam, dosis maks 10 mg per hari.
Kontra indikasi: Ergot-type medications, other triptans, CAD.
(Gunawan, 2007)

A. Langkah Menghilangkan Rasa Nyeri


Terapi abortif mungkin belum mengatasi nyeri secara komplit, dibutuhkan analgesik NSAIDs. Obat
OTCs yang direkomendasikan FDA ialah kombinasi aspirin 250 mg, acetaminophen 250 mg dan caffein
65 mg. Ketoralac tromethamin “non narcotic, non habituating” dapat dipakai, efek sampingnya minim,
dosis 60 mg i.m.
Analgesik narkotik, antiemetik, pheno-tyhiazines, dan kompres dingin bisa mengurangi nyeri.
Analgesik narkotik (codein, meperidine HCL , methadone HCL) diberikan parenteral, efektif
menghilangkan nyeri. Anti emetik diberikan parenteral atau suppositoria (phenergan, chlopromazine dan
prochlorperazine) mempunyai efek sedatif dan anti mual. Transnasal butorphanol tartrate diberikan
parenteral. Pemberian nasal efektif karena sifat mukosa hidung lebih cepat mengabsorbsi. (Price, 2006)

B. Terapi preventif
Prinsip umum terapi preventif :
*Mengurangi frekuensi berat dan lamanya serangan.
*Meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan.
*Meningkatkan aktivitas sehari-hari, serta pengurangan disabilitas.

Formula Prevensi Migren.


*Pemakaian obat: dosis rendah yang efektif dinaikkan pelan-pelan sampai dosis efektif. Efek klinik
tercapai setelah 2-3 bulan.
*Pendidikan terhadap penderita: teratur memakai obat, perlu diskusi rasional tentang pengobatan, efek
samping.
*Evaluasi : “Headache diary” merupakan suatu gold standart evaluasi serangan, frekuensi, lama, beratnya
serangan, disabilitas dan respon obat.
*Kondisi penyakit lain : pedulikan kelainan yang sedang diderita seperti stroke, infark myocard, epilepsi
dan ansietas, penderita hamil (efek teratogenik), hati-hati interaksi obat-obat.

Tabel Obat profilaksis Migren


Jenis Obat Dosis Efek Samping Kontraindikasi
β-blokers
Atenolol 50-150mg/hr Fatigue, bronchospasm, Pasien asma, DM, peny.
Metaprolol 100-200 mg/hr bradikardi, hipotensi, depresi, vaskuler perifer, heart
Nadolol 20-160 mg/hr congestive heart failure, block, ibu hamil.
Propanolol 40-240 mg/hr impotensi,
gangguan tidur.
Calcium channel
blockers
Flunarizine 5-10 mg/hr Fatigue, depresi, bradikardi, ibu hamil, hipertensi,
Verapamil 240-320 mg/hr hipotensi, konstipasi, nausea, aritmia.
edema.
Serotonin receptor
antagonists

26
Methysergide
2 mg (max 8mg/hr)
Retroperitoneal,cardiac and hipertensi, kehamilan,
pulmonary fibrosis tromboflebitis.
Pizotyline (pizotifen) 0.5 mg (max 3-6 Weight gain, Fatigue.
mg/hr)
Tricyclic analgesics
Amitriptiline 10-150 mg Mulut kering, konstipasi, kelainan liver, ginjal,
Nortriptiline 10-150 mg weight gain, drowsiness, paru, jantung,
reduced seizure threshold, glaukoma, hipertensi.
cardiovascular effects.
Anti-epileptik
Divalproex 500-1500 mg/d Nausea, tremor, weight gain,
Sodium 500-1500 mg/d alopecia, increased liver
valproate 500-1500 mg/d enzyme levels.
Valproic acid
Gabapentin 900-1800 mg/hr Dizzines, fatique, ataxia,
(max 2400) nausea, tremor.
(Kenneth, 2004)

Tatalaksana Nyeri Kepala Tension

Terapi Non-farmakologi
*Melakukan latihan peregangan leher atau otot bahu sedikitnya 20 sampai 30 menit.
*Perubahan posisi tidur.
*Pernafasan dengan diafragma atau metode relaksasi otot yang lain.
*Penyesuaian lingkungan kerja maupun rumah.
*Pencahayaan yang tepat untuk membaca, bekerja, menggunakan komputer, atau saat menonton televisi.
*Hindari eksposur terus-menerus pada suara keras dan bising.
*Hindari suhu rendah pada saat tidur pada malam hari.

(Price, 2006)

Terapi farmakologi
*Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat nyeri. Seperti obat-obat OTC: aspirin,
acetaminophen, ibuprofen atau naproxen sodium. Produk kombinasi dengan kafein dapat meningkatkan
efek analgesik.
*Untuk sakit kepala kronis, perlu assesment yang lebih teliti mengenai penyebabnya, misalnya karena
anxietas atau depresi.
*Pilihan obatnya adalah antidepresan, seperti amitriptilin atau antidepresan lainnya. Hindari penggunaan
analgesik secara kronis  memicu rebound headache.
(Kowalak, 2011)

Tatalaksana Cluster headache


Sasaran terapi : menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah serangan (profilaksis).
Strategi terapi : menggunakan obat NSAID, vasokonstriktor cerebral.

*Obat terapi abortif: oksigen, ergotamin, sumatriptan (dosis sama dengan dosis migren).
*Obat terapi profilaksis: verapamil, litium, ergotamin, metisergid, kortikosteroid, topiramat.

27
Komplikasi Nyeri Kepala
Komplikasi dapat meliputi: kesalahan diagnosis, status migren, ketergantungan obat dan perubahan gaya
hidup.

Prognosis Nyeri Kepala


Prognosis nyeri kepala bergantung pada jenis sakit kepalanya sedangkan indikasi merujuk pada keadaan :
(1) sakit kepala yang tiba-tiba dan timbul kekakuan di leher, (2) sakit kepala dengan demam dan
kehilangan kesadaran, (3) sakit kepala setelah terkena trauma mekanik pada kepala, (4) sakit kepala
disertai sakit pada bagian mata dan telinga, (5) sakit kepala yang menetap pada pasien yang sebelumnya
tidak pernah mengalami serangan, (6) sakit kepala yang rekuren pada anak.

Pencegahan Nyeri Kepala


Pencegahan nyeri kepala adalah dengan mengubah pola hidup dengan cara mengatur pola tidur yang sama
setiap hari, berolahraga secara rutin, makan makanan sehat dan teratur, kurangi stress, menghindari
pemicu nyeri kepala yang telah diketahui. (Price, 2006)

3 Memahami dan Menjelaskan Nyeri Somatoform


Definisi Gangguan Somatoform

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat.
Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang
bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial
atau pekerjaan. (Kaplan, 1997)
Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa factor psikologis adalah
suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak
disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:
 Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ.
 Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
 Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien bahwa ia
menderita penyakit tertentu.
 Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-lebihan bahwa
suatu bagian tubuh mengalami cacat.
 Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis
atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.

Klasifikasi Gangguan Somatoform

a. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya
keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara
adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan
somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple
(gastrointestinal dan neurologis).

b. Gangguan hipokondriasis

28
Adalah keterpakuan (preokupasi) pada ketakutan menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki
penyakit medis yang serius, meski tidak ada dasar medis untuk keluhan yang dapat ditemukan. Ciri utama
dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simptom fisik yang dialami seseorang merupakan
akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung.

c. Gangguan nyeri menetap


Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis
atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis. Pasien sering wanita yang merasa mengalami
nyeri yang penyebabnya tidak dapat ditemukan. Munculnya secara tiba-tiba, biasanya setelah suatu stres
dan dapat hilang dalam beberapa hari atau berlangsung bertahun tahun. Biasanya disertai penyakit
organik yang walaupun demikian tidak dapat menerangkan secara adekuat keparahan nyerinya.

d. Gangguan konversi
Adalah suatu tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan atau kendala dalam fungsi
fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Simptom fisik biasanya muncul tiba-tiba dalam
situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang
hebat, misalnya.

e. Gangguan dismorfik tubuh


Gangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder) ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi
yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. Orang dengan gangguan ini terpaku pada
kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat
menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan
yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, seperti menjalani operasi
plastik yang tidak dibutuhkan, menarik diri secara sosial atau bahkan diam di rumah saja, sampai pada
pikiran-pikiran untuk bunuh diri.
(Maslim, 2001)

Epidemiologi Gangguan Somatoform

Faktor risiko gangguan somatoform: riwayat orangtua, pola asuh dalam keluarga yang salah, wanita
lebih banyak menderita, memiliki kepribadian yang mudah cemas, orang yang tertutup, alkoholism, serta
pada penyalahgunaan obat.
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 sampai 0,2 %. Prevalensi
gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1 – 2 %. Rasio penderita wanita dibanding
laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30
tahun). Gangguan somatisasi seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian
atau gangguan kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran,
paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif konpulsif.
Hipokondriasis. Satu penelitian terakhir melaporkan pravalensi enam bulan sebesar 4-6% pada
populasi klinik medis umum. Laki-laki dan wanita memiliki perbandingan yang sama. Onset gejala dapat
terjadi pada setiap usia, onset paling sering antara usia 20 dan 30 tahun. Beberapa bukti menyatakan
bahwa diagnosis adalah lebih sering diantara kelompok kulit hitam dibandingkan kulit putih, tetapi posisi
sosial, tingkat pendidikan, dan status perkawinan tampaknya tidak mempengaruhi diagnosis. (Yutzy,
2006)
Pada gangguan konversi, rasio wanita terhadap laki-laki 2 berbanding 1. Laki-laki dengan gangguan
konversi seringkali terlibat di dalam kecelakaan ataupun militer. Paling sering terjadi pada daerah
pedesaan, orang dengan pendidikan rendah, mereka dengan intelegensi rendah, dan anggota militer.
Gangguan dismorfik tubuh paling sering antara 15-20 tahun dan wanita lebih sering dibanding laki-
laki. Satu penelitian membuktikan 90% pasien dengan gangguan dismorfik tubuh pernah mengalami
episode defresif berat dalam hidupnya.

29
Gangguan nyeri didiagnosis 2x lebih sering pada wanita daripada pria. Gangguan nyeri paling
mungkin pada pekerja buruh. (Kaplan, 1997)

Etiologi Gangguan Somatoform

Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu.
Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan
pula dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan
hemisfer non dominan.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut:
a. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan somatisasi).
b. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit” yang dapat
diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
c. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
 Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman
atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
 Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”.
 Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik tubuh dapat
secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran
akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
d. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda yang terlibat adalah
sebagai berikut:
 Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simptom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit serius
(hipokondriasis).
 Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-impuls yang tidak dapat
diterima dikonversikan ke dalam simptom fisik (gangguan konversi).
 Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi self-
handicaping (hipokondriasis).
(Khan, 2003)
Pada gangguan Somatisasi berhubungan dengan:
*Faktor Psikososial
Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai sutu tipe
komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau untuk
mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan. Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal
dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga etnik
mungkin juga terlibat dalam perkembangan gangguan somatisasi.
*Faktor Biologis
Faktor genetik dalam transmisi gangguan somatisasi dan adanya penurunan metabolisme
(hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non-dominan. Selain itu diduga
terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan
pada gangguan somatisasi.

Pada gangguan hipokondriasis berhubungan dengan:


*Model belajar sosial. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai keinginan untuk mendapatkan peranan
sakit oleh seseorang untuk menghadapi masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan.

30
*Varian dari gangguan mental lain. Gangguan yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan
hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan kecemasan.
*Psikodinamika. Menyatakan bahwa harapan agresif dan permusuhan terhadap orang lain dipindahkan
(melalui represi dan pengalihan) kepada keluhan fisik. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan
dan rasa bersalah, rasa keburukan yang melekat, suatu ekspresi harga diri yang rendah, dan tanda
perhatian terhadap diri sendiri (self-concern) yang berlebihan.
(Kaplan, 2003)

factor resiko somatoform

 Riwayat orangtua
 Pola asuh dalam keluarga yang salah
 Wanita lebih banyak menderita
 Memiliki kepribadian yang mudah cemas
 Orang yang tertutup
 Alkoholism
 Penyalahgunaan obat

Manifestasi klinis Gangguan Somatoform

Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang disertai
permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah
dijelaskan dokter bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya (Kapita Selekta, 2001). Beberapa
orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang “menekan di dalam
tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari
cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala,
sejumlah simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada tangan atau
kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan
manifestasi di mana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius,
namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan (Nevid, 2005).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada
pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya
memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut (PPDGJ III, 2003).

Gambaran keluhan gejala somatoform


Neuropsikiatri: “kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik” ; “ saya tidak dapat
menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya”
Kardiopulmonal: “ jantung saya terasa berdebar debar…. Saya kira saya akan mati”
Gastrointestinal: “saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter
yang dapat menyembuhkannya”
Genitourinaria:“saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan namun
tidak di temukan apa-apa”
Musculoskeletal: “saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu”
Sensoris: “ pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata tidak akan
membantu”

Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan
gangguan somatisasi. (PPDGJ, 2003)

Gangguan somatisasi

31
Adanya beberapa keluhan fisik (multiple symptom) yang berulang, dimana ketika diperiksasecara
fisik/medis, tidak ditemukan adanya kelainan tetapi ia tetap kontinyu memeriksakan diri.

Gangguan tidak muncul karena penggunaan obat. Keluhan yang umumnya, misalnya sakitkepala, sakit
perut, sakit dada, mestruasi tidak teratur.

1. Pasien menunjukkan keluhan dengan cara histrionik, berlebihan, seakan tersiksa/merana.


2. Berulang kali memeriksa diri ke dokter, kadang menggunakan berbagai obat, dirawat di RSbahkan dilakukan
operasi.
3. Sering ditemukan masalah perilaku atau hubungan personal seperti kesulitan dalampernikahan.

Gangguan konversi

1. Kondisi dimana panca indera atau otot-otot tidak berfungsi walaupun secara fisiologis, padasistem saraf atau organ-organ
tubuh tersebut tidak terdapat gangguan/kelainan.
2. Secara fisiologis, orang normal dapat mengalami sebagian atau kelumpuhan total pada tangan,lengan, atau gangguan
koordinasi, kulit rasanya gatal atau seperti ditusuk-tusuk, ketidakpekaan terhadap nyeri atau hilangnya kemampuan untuk
merasakan sensasi (anastesi), kelumpuhan,kebutaan, tidak dapat mendengar, tidak dapat membau, suara hanya berbisik,
dll.
3. Biasanya muncul tiba-tiba dalam keadaan stres, adanya usaha individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau
tanggungjawab.
4. Konsep Freud: energi dari insting yang di refleks berbalik menyerang dan menghambat fungsi saluran sensorimotor.
5. Kecemasan dan konflik psikologik diyakini diubah dalam bentuk simptom fisik.

Hipokondriasis

1. Meyakini/ketakutan atau pikiran yang berlebihan dan menetap bahwa dirinya memiliki suatupenyakit fisik yang
serius.
2. Adanya reaksi fisik yang berlebihan terhadap sensasi fisik/tubuh (salah interpretasi terhadap gejala fisik yang
dialaminya), misalnya otot kaku, pusing/sakit kepala, berdebar-debar, kelelahan.
3. Melakukan banyak tes lab, menggunakan banyak obat, memeriksakan diri ke banyak dokteratau RS.
4. Keyakinan ini terus berlanjut, tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dokter, walaupunhasil pemeriksaan
medis tidak menunjukkan adanya penyakit dan sudah diyakinkan.
5. Keyakinan ini menyebabkan adanya distress atau hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau aspek penting
lainnya.

Gangguan dimorfik tubuh

1. Keyakinan akan adanya masalah dengan penampilan atau melebih-lebihkan kekurangan dalam hal penampilan
(misalnya : keriput di wajah, bentuk atau ukuran tubuh).
2. Keyakinan/perhatian berlebihan ini meyebabkan stres, menghabiskan banyak waktu, menjadi mal-adaptive atau
menimbulkan hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau aspek penting lainnya (menghindar/tidak mau bertemu
orang lain, keluar sekolah atau pekerjaan), juga menyebabkan dirinya sering harus konsultasi untuk operasi plastic.
3. Bagian tubuh yang diperhatikan sering bervariasi, kadang dipengaruhi budaya.

Gangguan nyeri

1. Gangguan dimana individu mengeluhkan adanya rasa nyeri yang sangat dan berkepanjangan, namun tidak dapat
dijelaskan secara medis (bahkan setelah pemeriksaan yang intensif).

32
2. Rasa nyeri ini bersifat subyektif, tidak dapat dijelaskan, bersifat kronis, muncul di satu atau beberapa bagian tubuh.
3. Rasa nyeri ini menyebabkan stress atau hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan aspek penting lainnya.
4. Faktor-faktor psikologis sering memainkan peranan penting dalam memunculkan, memperburuk rasa nyeri.

Diagnosis Gangguan Somatoform

Kriteria diagnosis menurut DSM-IV


Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode
beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang
waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau
fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum,
selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi).
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri
(misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri
(misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang;gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
C. Salah satu (1) atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yangdikenal atau efek langsung dan suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol).
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang
ditimbulkannya adalah melebihi apa yangdiperkirakan dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-pura).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi


A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang
mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau
eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain.
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan
atau berpura-pura).
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang
diterima secara kultural.
E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.

33
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-mata selama
perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan
mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:
Dengan gejata atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik
Dengan kejang atau konvulsi
Dengan gambaran campuran

Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis


A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius
didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.
B. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman.
C. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional, tipe
somatik) dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik
tubuh).
D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-
kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform
lain.

Sebutkan jika:
Dengan tilikan buruk: jika untuk sebagian besar waktu selama episode berakhir, orang tidak menyadari
bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan atau tidak beralasan.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh


A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh,
kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.
B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan
dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri


A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah untuk
memerlukan perhatian klinis.
B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau
bertahannnya nyeri.
D. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan
atau berpura-pura).
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik
dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Tuliskan seperti berikut:
Gangguan nyeri berhubungan dengan faktor psikologis: faktor psikologis dianggap memiliki peranan
besar dalam onset, keparahan, eksaserbasi, dan bertahannya nyeri. Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih

34
Gangguan nyeri berhubungan baik dengan faktor psikologls maupun kondisi medis umum
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih
Catatan: yang berikut ini tidak dianggap merupakan gangguan mental dan dimasukkan untuk
mempermudah diagnosis banding.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan


A. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal
atau saluran kemih).
B. Salah satu (1) atau (2)
1. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis
umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat,
atau alkohol).
2. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.
C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
E. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan
somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan
psikotik).
F. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-
pura).

Kriteria Diagnostik Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi Medis


C. Adanya suatu kondisi medis umum (dikodekan dalam Aksis III).
D. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis umum dengan salah satu cara berikut:
1.Faktor yang mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum ditunjukkan oleh hubungan erat antara
faktor psikologis dan perkembangan atau eksaserbasi dan, atau keterlambatan penyembuhandan,
kondisi medis umum.
2. Faktor yang mengganggu pengobatan kondisi medis umum.
3. Faktor yang membuat risiko kesehatan tambahan bagi individu.
4.Respons fisiologis yang berhubungan dengan stres menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala-
gejala kondisi medis umum.
Pilihlah nama bendasarkan sifat faktor psikologis (bila terdapat lebih dan satu faktor, nyatakan yang
paling menonjol).

Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (seperti gangguan depresif berat memperlambat
pemulihan dan infark miokardium). Gejala psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala
depresif memperlambat pemulihan dan pembedahan; kecemasan mengeksaserbasi asma). Sifat
kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis (misalnya penyangkalan
psikologis terhadap pembedahan pada seorang pasien kanker, perilaku bermusuhan dan tertekan
menyebabkan penyakit kandiovaskular).
Perilaku kesehatan mal-adaptif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak olahraga, seks yang
tidak aman, makan berlebihan). Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi
medis umum (misalnya eksaserbasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau tension headache yang berhubungan
dengan stres).

35
Diagnosis Banding Gangguan Somatofom

a. Gangguan Somatisasi
Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis non-psikiatrik yang dapat menjelaskan gejala pasien.
Gangguan medis tersebut adalah sklerosis multiple, miastenia gravis, lupus eritematosus sistemik kronis.
Selain itu juga harus dibedakan dari gangguan depresi berat, gangguan kecemasan (anxietas), gangguan
hipokondrik dan skizofrenia dengan gangguan waham somatik.
b. Hipokondriasis
Kondisi medis nonpsikiatrik: khususnya gangguan yang tampak dengan gejala yang tidak mudah
didiagnosis. Penyakit-penyakit tersebut adalah AIDS, endokrinopati, miastenia gravis, skerosis multiple,
penyakit degeneratif pada sistem saraf, lupus eritematosus sistemik, dan gangguan neoplastik yang tidak
jelas.
c. Gangguan Konversi
Gangguan neurologis (seperti demensia, penyakit degeneratif), tumor otak, penyakit ganglia basalis
harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
d. Gangguan Dismorfik Tubuh
Pada distorsi citra tubuh terjadi pada anoreksia nervosa, gangguan identitas jenis kelamin, gangguan
depresif, gangguan kepribadian narsistik, skizofrenia dan gangguan obsesif-kumpulsif.
e. Gangguan Nyeri
Gangguan nyeri harus dibedakan dari gangguan somatoform lain, seperti nyeri pada hipokondrial,
nyeri pada konversi.
(Kaplan, 1997)

Penatalaksanaan Gangguan Somatoform

Konsep penggabungan psikoterapetik dan pengobatan medis, yaitu pendekatan yang menekankan
hubungan pikiran dan tubuh dalam penbentukan gejala dan gangguan, memerlukan tanggung jawab
bersama di antara berbagai profesi. Permusuhan, depresi, dan kecemasan dalam berbagai proporsi adalah
akar dan sebagian besar gangguan psikomatik.
Terapi kombinasi merupakan pendekatan di mana dokter psikiatrik menangani aspek psikiatrik,
sedangkan dokter ahli penyakit dalam atau dokter spesialis lain menangani aspek somatik.
Tujuan terapi medis adalah membangun keadaan fisik pasien sehingga pasien dapat berperan dengan
berhasil, serta psikoterapi untuk kesembuhan totalnya. Tujuan akhirnya adalah kesembuhan, yang berarti
resolusi gangguan struktural dan reorganisasi kepribadian. Psikoterapi kelompok dan terapi keluarga.
Terapi keluarga menawarkan harapan suatu perubahan dalam hubungan keluarga dan anak, mengingat
kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan gangguan psikosomatik.
keluarga dan anak, mengingat kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan
gangguan psikosomatik.


Gangguan somatisasi ditatalaksana dengan ikatan terapeutik, perjanjian teratur, dan intervensi krisis.
Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan gangguan penyerta
(misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor
karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak
dapat dipercaya.

Penatalaksanaan untuk gangguan konversi adalah sugesti dan persuasi dengan berbagai teknik. Strategi
penatalaksanaan pada hipokondriasis meliputi pencatatan gejala, tinjauan psikososial, dan psikoterapi.

Gangguan dismorfik tubuh diterapi dengan ikatan terapeutik, penatalaksanaan stres, psikoterapi, dan
pemberian antidepresan.

Terapi pada gangguan nyeri mencakup ikatan terapeutik, menentukan kembali tujuan terapi, dan
pemberian antidepresan.

36
Pendekatan terapi
a. Berhubungan dengan primary care practitioner → memonitoring gejala yang dialami pasien, apakah
ada gejala baru, dan pengobatan yang diberikan. Diperlukan juga untuk berkonsultasi dengan psikiatri.
b. Medikamentosa
c. Pasien dengan somatoform disorder terkadang diperlukan obat anti-anxietas atau obat antidepresan
jika ada mood atai anxietas disorder. Tricyclic antidepresant dan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRI) mungkin bisa membantu.
d. Psikoterapi.

Cognitif-behavioural therapy
Terapis behavioral dapat mengajarkan anggota keluarga untuk menghargai usaha memenuhi tanggung
jawab dan mengabaikan tuntutan dan keluhan. Teknik kognitif behavioral, paling sering pemaparan
terhadap pencegahan respons dan restrukturisasi kognitif, juga mencapai hasil yang memberikan harapan
dalam menangani gangguan dismorfik tubuh (BDD). Pencegahan respons berfokus pada pemutusan ritual
kompulsif seperti memeriksa di depan cermin (dengan menutup semua cermin) dan berdandan berlebihan.
Dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan pasien dengan cara menyemangati mereka
untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. (Yutzy, 2006)
Perhatian akhir-akhir ini beralih pada penggunaan anti depressan terutama fluoxetine (Prozac) dalam
menangani beberapa tipe gangguan somatoform. Meski kita kekurangan terapi obat yang spesifik untuk
gangguan konversi, sebuah penelitian terhadap 16 pasien hipokondriasis menunjukkan penurunan yang
berarti terhadap keluhan-keluhan hipokondrial setelah percobaan selama 12 minggu dengan Prozac.

Hipnosis
Tujuan terapi medis adalah membangun keadaan fisik pasien sehingga pasien dapat berperan dengan
berhasil, serta psikoterapi untuk kesembuhan totalnya. Tujuan akhirnya adalah kesembuhan, yang berarti
resolusi gangguan struktural dan reorganisasi kepribadian. Psikoterapi kelompok dan terapi keluarga.
Terapi keluarga menawarkan harapan suatu perubahan dalam hubungan keluarga dan anak, mengingat
kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan gangguan psikosomatik.
Keluarga dan anak, mengingat kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan
gangguan psikosomatik.
*motivasi: perlu motivasi dari orang lain, karena pasien sering kali berpikir bahwa mereka tidak
memerlukan terapi.
*konfrontasi: merespon dengan cara mendukung melalui konfrontasi terhadap akibat dari pemikiran dan
pola perilaku. Lebih efektif bila dilakukan oleh teman sebaya, psikoterapis.
*peran keluarga dan kelompok.
*dorongan dan partisipasi sangat efektif bagi pasien.
*bila terdapat cemas dan depresi maka berikan anti-depresan namun terkadang tidak efektif.

Terapi jangka panjang


Terapi wicara: psikoterapi yang dimaksudkan untuk membantu pasien mengerti apa penyebab kecemasan
dan mengenal perilakunya yang tidak pantas, sebagai landasan untuk pengobatan lainnya. Psikoanalisis:
bila ditemukan gangguan kepribadian seperti, narsis/obsesif kompulsif. (Khan, 2003)

Medikamentosa

Golongan Mekanisme Kerja Contoh


Anti depresan trisiklik Menghambat reuptake Amitriptilin, imipramin,
5-HT/NE secara tidak desipramin, nortriptilin,
selektif klomipramin

37
SSRIs (selective serotonin Menghambat secara Fluoksetin, paroksetin,
reuptake inhibitors) selektif reuptake 5-HT sertralin, fluvoksamin
Mixed DA/NE reuptake Menghambat reuptake Trazodon, nefazodon,
Inhibitor DA/NE secara tidak selektif mirtazapin, bupropion,
maprotilin, venlafaksin
MAO inhibitors Menghambat aktivitas Phenelzine, tranylcypromine
enzim MAO

Dosis
*Depresi ringan sampai dengan sedang 25 mg 1-3 x sehari atau 25-75 mg 1 x sehari tergantung dari
beratnya gejala.
*Depresi berat 25 mg 3 x sehari atau 75 mg 1 x sehari. Maksimal: 150 mg/hari dalam dosis tunggal atau
terbagi.
*Lansia Awal 10 mg 3 x sehari atau 25 mg 1 x sehari. Bila perlu tingkatkan bertahap sampai 25 mg 3 x
sehari atau 75 mg 1 x sehari.
Efek Samping
Reaksi SSP, antikolinergik ringan, sinus takikardi, hipotensi pustural, reaksi alergi pada kulit, kejang,
aritmia, gangguan hantaran jantung, alveolitis alergi, hepatitis.

Kontraindikasi
*epilepsi atau ambang rangsang lebih rendah, intoksikasi akut oleh alkohol, gangguan hantaran jantung,
glaukoma sudut sempit, retensi urin, hepatitis berat, gangguan ginjal.
*pengguanaan bersama obat analgesik, hipnotik, atau psikotropik.

Perhatian pada pasien dengan:


*Insufisiensi hati & ginjal, retensi urin, riwayat peningkatan tekanan intra okular, hamil, laktasi,
skizofrenia, gangguan afektik siklik, dapat mengganggu kemampuan mengemudi/menjalankan mesin.
Rujukan: penanganan pada kasus ini juga membutuhkan dukungan dari berbagai bidang ilmu misalnya
psikiatri, ahli penyakit dalam, keluarga, serta para ulama (bila perlu).
(Gunawan, 2007)
Komplikasi Nyeri Somatoform

*komplikasi iatrogenik akibat prosedur diagnostik invasif / prosedur – prosedur operasi.


*ketergantungan pada substansi- substansi pengontrol yang diresepkan.
*kehidupan yang bergantung pada orang lain.
*suicide.

Prognosis Nyeri Somatoform

Prognosis pada gangguan somatoform sangat bervariasi, tergantung umur pasien dan sifat gangguannya
(kronik atau episodik). Umumnya, gangguan somatoform prognosisnya baik, dapat ditangani secara
sempurna. Sangat sedikit sekali yang mengalami eksarsebasi, dapat bervariasi dari mild-severe dan
kronis. Pengobatan yang lebih awal dan menjadikan prognosis menjadi lebih baik. Secara independen
tidak meningkatkan risiko kematian. Kematian lebih disebabkan karena upaya bunuh diri. (Kaplan, 1999)

4. Memahami dan menjelaskan membina keluarga sakkinah,mawaddah,warrahmah

Sakinah mawaddah warahmah.

38
Kata “Sakinah”. Sakinah merupakan pondasi dari bangunan rumah tangga yang sangat penting.
Tanpanya, tiada mawaddah dan warahmah. Sakinah itu meliputi kejujuran, pondasi iman dan
taqwa kepada Allah SWT.
Dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa suatu saat, akan banyak orang yang saling berkasih
sayang di dunia, tetapi di akhirat kelak mereka akan bermusuhan, menyalahkan dan saling
melempar tanggung jawab. Kecuali orang-orang yang berkasih sayang dilandasi dengan cinta
kepada Allah SWT. Kata adalah mawaddah. Mawaddah itu berupa kasih sayang. Setiap mahluk
Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai manusia. Dalam konteks pernikahan,
contoh mawaddah itu berupa “kejutan” suami untuk istrinya, begitu pun sebaliknya. Misalnya
suatu waktu si suami bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah, menyiapkan sarapan untuk
anak-anaknya. Dan ketika si istri bangun, hal tersebut merupakan kejutan yang luar biasa.
Kata terakhir adalah warahmah. Warahmah ini hubungannya dengan kewajiban. Kewajiban
seorang suami menafkahi istri dan anak-anaknya, mendidik, dan memberikan contoh yang baik.
Kewajiban seorang istri untuk mena’ati suaminya. Intinya warahmah ini kaitannya dengan segala
kewajiban.

Kewajiban Suami Istri dalam Islam


HAK BERSAMA SUAMI ISTRI
1. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum:
21)
2. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-
Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
3. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
4. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

SUAMI KEPADA ISTRI

1. Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama.
(At-aubah: 24)
2. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (At-
Taghabun: 14)
3. Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan:
74)
4. Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah
(makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri
lebih dari satu. (AI-Ghazali)
5. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang
tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami
dalam hal ketaatan kepada Allah.
6. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

39
7. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-
Thalaq: 7)
8. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
9. Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi,
Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
10. Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
11. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
12. Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud).

Daftar Pustaka

 Kaplan, H.I., Sadock B.J. (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid II Edisi ke-7. Jakarta. Binarupa Aksara.
 Mansjoer, A.A.,etc. (2004). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
 Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. (2003). Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta.
 Maslim, R. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta.
 Kowalak, Jennifer P., William Welsh. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
 Uddin, Jurnalis. (2009). Anatomi Susunan Saraf Manusia. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Yarsi.
 Price.Sylvia A.,Wilson.Lorraine M, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.,
Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
 Sherwood, Lauralee. (2004). Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 2. Jakarta. EGC.
 Gunawan , Sulistis Gan et all. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta. FKUI.
 Maramis, W.F. (1997). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi VI. Surabaya. Airlangga University
Press.
 F. Bear, Barry W. Connors, Michael A. (2007). Paradiso Neuroscience Exploring the Brain third
edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.

 McPhee, Stephen J, Maxine A. Papadakis. (2009). Nervous System disorders. Current Medical
Diagnosis and Treatment . San Fransisco. McGraw-Hill Companies.

 Lindsay, Kenneth W. (2004). Headache. Neurology and Neurosurgery. London. Churchill


Livingstone.

 Yutzy SH. (2006). Somatization. In: Blumenfield M, Strain JJ, penyunting. Psychosomatic Medicine.
1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

 Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. (2003). Somatic symptoms in primary care:
Etiology and outcome. Psychosomatics.

 ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache Disorders) available at


http://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc

40

Anda mungkin juga menyukai