Anda di halaman 1dari 16

A.

Anatomi dan Fisiologi


Kelenjar tiroid merupakan organ kecil pada anterior leher bagian bawah, diantara
muskulus sternokleidomastoideus, yang terdiri dari dua buah lobus lateral yang
dihubungkan oleh sebuah istmus. Kelenjar tiroid terletak di leher, dibawah kartilago
krikoid dan berbentuk seperti huruf H (Black & Hawks, 2009). Kelenjar tiroid terletak di
pangkal leher di kedua sisi bagian bawah laring dan bagian atas trakea (Newton, Hickey,
& Marrs, 2009). Panjang kelenjar tiroid kurang lebih 5 cm dengan lebar 3 cm dan berat
sekitar 30 gram. Kelenjar tiroid yang dimiliki wanita lebih besar dibanding laki-laki
(Seeley et al, 2007). Kegiatan metabolik pada kelenjar tiroid cukup tinggi, ditandai
dengan aliran darah yang menuju kelenjar tiroid sekitar 5 kali lebih besar dari aliran darah
ke dalam hati (Skandalakis, 2004).

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang berbeda, yaitu tiroksin (T4),
triiodotironin (T3) yang keduanya disebut dengan satu nama, hormon tiroid dan
kalsitonin. Triiodotironin (T3) memiliki efek yang cepat dalam jaringan. Dibutuhkan
waktu 3 hari untuk T3 dan 11 hari bagi T4 dalam mencapai titik puncak efek pada
jaringan. Sehingga T3 merupakan bentuk aktif dari hormon tiroid (Black & Hawks,
2009). Pelepasan hormon tiroid T3 dan T4 distimulasi oleh tirotropin atau TSH (Thyroid
Stimulating Hormon) yang disekresi oleh kelenjar hipofisis (Braverman et al, 2010).
Pengeluaran TSH diatur oleh TRH (Thyrotropin Releasing Hormon) yang disekresikan
oleh hipotalamus. Penurunan suhu tubuh dapat meningkatkan sekresi TRH.
Pengeluaran TSH begantung pada kadar T3 dan T4 yang biasa disebut sebagai
pengendalian umpan balik atau feedback control. Kalsitonin merupakan hormon
penting lain yang disekresi kelenjar tiroid yang tidak dikendalikan oleh TSH. Fungsi
kalsitonin adalah menjaga keseimbangan kadar kalsium plasma dengan meningkatkan
jumlah penumpukan kalsium pada tulang dan menurunkan reabsorpsi kalsium pada
ginjal, dengan demikian kadar kalsium plasma tidak menjadi tinggi (Black & Hawks,
2009).

Yodium berperan penting dalam pembentukan hormon tiroid (Brunner & Suddarth,
2016). Yodium yang telah terserap dalam darah dari GI track akan diambil oleh
kelenjar tiroid dan akan dipekatkan dalam sel kelenjar tiroid. Molekul yodium yang
telah diambil akan bereaksi dengan tirosin (asam amino) untuk membentuk hormon
tiroid. Kelenjar tiroid mengatur fungsi metabolism tubuh, dimana tubuh menghasilkan
energi yang berasal dari nutrisi dan oksigen yang mempengaruhi fungsi tubuh penting,
seperti tingkat kebutuhan energi dan detak jantung (ATA, 2013). Selain itu kelenjar
tiroid juga berfungsi meningkatkan kadar karbohidrat, meningkatkan ukuran dan
kepadatan mitokondria, meningkatkan sintesis protein dan meningkatkan pertumbuhan
pada anak-anak. Sel-sel sasaran untuk hormon tiroid adalah hampir semua sel di dalam
tubuh. Fungsi hormon tiroid antara lain (Black & Hawks, 2009):
- Merangsang laju metabolik sel-sel sasaran dengan meningkatkan metabolisme
protein, lemak, dan karbohidrat,
- Merangsang kecepatan pompa natrium-kalium di sel sasaran,
- Meningkatkan responsivitas sel-sel sasaran terhadap katekolamin sehingga
meningkatkan frekuensi jantung,
- Meningkatkan responsivitas emosi,
- Meningkatkan kecepatan depolarisasi otot rangka, yang meningkatkan kecepatan
kontraksi otot rangka,
- Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel
tubuh dan dibutuhkan untuk fungsi hormon pertumbuhan.

B. Definisi, Faktor Resiko, dan Etiologi Penyakit


1. Definisi
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau struma.
Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut struma nodosa
(Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid
lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang normal
(eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan
produksi hormon (hipertiroidisme) (Black and Hawks, 2009). Kebutuhan hormon tiroid
meningkat pada masa pertumbuhan, masa kehamilan dan menyusui. Pada umumnya
struma nodosa banyak terjadi pada remaja, wanita hamil dan ibu menyusui. Struma
nodosa terdapat dua jenis, toxic dan non toxic. Struma nodusa non toxic merupakan
struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme (Hermus & Huysmans, 2004).
Pada penyakit struma nodusa non toxic tiroid membesar dengan lambat. Struma nodosa
toxic ialah keadaan dimana kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang
mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid.
Dampak struma nodosa terhadap tubuh dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ
di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan
esophagus. Struma nodosa dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Rehman et
al, 2006). Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi
serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher
yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Penderita Struma Nodosa

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy, 2011):
a. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
b. Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk nodul tiroid
yaitu nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila penangkapan yodium
tidak ada atau kurang dibandingkan dengan bagian tiroid sekitarnya. Hal ini
menunjukkan aktivitas yang rendah. Nodul hangat apabila penangkapan yodium
sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid lainnya.
Dan nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan
ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c. Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :


a. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
b. Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
c. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
d. Derajat III : terlihat pada jarak jauh.
Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Rehman et al, 2006) :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau struma
semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang
jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam
darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat
berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat
gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi (Tonacchera,
et al, 2009):
a. Struma nodosa toxic
Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa toxic dan
struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas
ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma
nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang
berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari
oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk
reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
b. Struma nodosa non toxic
Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi
menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic.
Struma nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma
nodosa ini disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau
struma nodosa koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh
zat kimia.

2. Etiologi
Penyebab utama struma nodosa adalah karena kekurangan yodium (Black and Hawks,
2009). Defisiensi yodium dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh
kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin
dalam jumlah yang besar ke dalam folikel, dan kelenjar menjadi bertambah besar.
Penyebab lainnya karena adanya cacat genetik yang merusak metabolisme yodium,
konsumsi goitrogen yang tinggi (yang terdapat pada obat, agen lingkungan, makanan,
sayuran), kerusakan hormon kelenjar tiroid, gangguan hormonal dan riwayat radiasi
pada kepala dan leher (Rehman et al, 2006).

Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa non toxic adalah
respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid pada tiap
individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel dalam folikel yang
sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain (IGF dan EGF) sangat
bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan
sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat bereplikasi. Sel- sel akan bereplikasi
menghasilkan sel dengan sifat yang sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang
tinggi ini tidak tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga akan tumbuh
nodul-nodul.

C. Manifestasi Klinis
Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak memiliki gejala sama sekali. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi
dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Peningkatan seperti ini
jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan
kelelahan. Beberapa diantaranya mengeluh adanya gangguan menelan, gangguan
pernapasan, rasa tidak nyaman di area leher, dan suara yang serak. Pemeriksaan fisik struma
nodosa non toxic berfokus pada inspeksi dan palpasi leher untuk menentukan ukuran dan
bentuk nodular. Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika
terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi,
ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta
untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode
palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di
belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita. Struma nodosa tidak termasuk kanker tiroid, tapi tujuan utama dari evaluasi
klinis adalah untuk meminimalkan risiko terhadap kanker tiroid.

D. Patofisiologi (WOC/mindmap)
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tiroid.
Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi darah dan
ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH) kemudian
disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang
terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin
(T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik negatif dari seksesi TSH dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik
yang tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan
T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat
sekitar 300-500 gram. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan
dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan
umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda
dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya
berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol
kebagian depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral.

Defisiensi iodium Kelainan metab. Penghambat sintesa hormon


kongenital oleh zat kimia oleh obat

Struma nodusa non


toksik

Pembedahan Luka insisi (diskontinuitas Tumbuh di jaringan


jaringan tyroid

disfagia
Terapat General Pintu masuk
Mediator kimia
luka jahitan anastesi kuman
bradikulin, histamine Sulit menelan

Kuman mudah
Depresi masuk Perangsangan ujung Intake nutrisi
estetika sistem syaraf perifer berkurang
pernafasan
Risiko infeksi
Gangguan Subtansia gelatinosa Ketidakseimbangan
konsep diri Penekanan nutrisi kurang dari
medula oblogata Thalamus korte kebutuhan tubuh
serebri

Penurunan reflek
Nyeri di
batuk
persepsiakan

Akumulasi
sputum
Gangguan rasa
nyaman (nyeri)
Bersihan jalan nafas
tidak efektif
E. Komplikasi
Komplikasi dari struma nodosa sebagai berikut (Black and Hawks, 2009)
1. Gangguan menelan atau bernafas.
2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif
(jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh).
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi
rapuh, keropos dan mudah patah.

F. Pengkajian
1. Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan
tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
2. Kepala dan leher
Pada klien dengan pre operasi terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Pada post operasi
thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah ditutup dengan
kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain. Drain perlu
diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
3. Sistem pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi,
atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
4. Sistem Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi
wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
5. Sistem Gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat
anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang
hilang.
6. Aktivitas/istirahat
Insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
7. Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
8. Integritas ego
Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
9. Makanan/cairan
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak,
makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.
10. Rasa nyeri/kenyamanan
Nyeri orbital, fotofobia.
11. Keamanan
Tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis,
kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus :
retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada
pretibial) yang menjadi sangat parah.
12. Seksualitas
Libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera et al, 2009):
1. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH.
2. Pemeriksaan radiologi.
a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran
struma yang pada umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada
leher lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam pemeriksaan tiroid :
‒ Untuk menentukan jumlah nodul.
‒ Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik.
‒ Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.
‒ Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid.
‒ Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan
biopsi terarah.
‒ Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah
tentang ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian
tiroid.
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy).
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan
laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
3. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan
pada sistem saraf pusat.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap
jaringan/otot dan edema pasca operasi.
5. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai
dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
6. Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah
sekunder terhadap pembedahan.

I. Rencana asuhan keperawatan (NCP)


Perencanaan keperawatan
Diagnosa
No Keperawatan
Tujuan
Intervensi Rasional
1. Risiko tinggi Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Mengetahui
terjadi perawatan selama 1x24 pernafasan dan perkembangan
ketidakefektivan jamdiharapkan jalan kedalaman dan dari gangguan
bersihan jalan nafas klien dapat kecepatan pernafasan.
nafas efektif dengan kriteria nafas.
berhubungan hasil: 2. Dengarkan 2. Ronchi bisa
dengan obstruksi Tidak ada sumbatan suara nafas, sebagai
trakea, pada trakhea barangkali ada indikasi adanya
pembengkakan, ronchi. sumbatan jalan
perdarahan dan nafas.
spasme 3. Observasi 3. Indikasi
laryngeal. kemungkinan adanya
adanya stridor, sumbatan pada
sianosis. trakhea atau
laring.
4. Atur posisi 4. Memberikan
semifowler suasana yang
lebih nyaman.
5. Bantu klien 5. Memudahkan
dengan teknik pengeluaran
nafas dan batuk sekret,
efektif. memelihara
bersihan jalan
nafas.dan
ventilasi
6. Melakukan 6. Sekresi yang
suction pada menumpuk
trakhea dan mengurangi
mulut. lancarnya jalan
nafas.
7. Perhatikan klien 7. Mungkin ada
dalam hal indikasi
menelan apakah perdarahan
ada kesulitan. sebagai efek
samping
operasi.

2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji 1. Suara parau


komunikasi perawatan selama 1x24 pembicaraan dan sakit pada
verbal jamdiharapkan rasa klien secara tenggorokan
berhubungan nyeri berkurang periodik merupakan
dengan cedera dg kriteria hasil: faktor kedua
pita Dapat menyatakan nyeri dari odema
suara/kerusakan berkurang, tidak adanya jaringan /
laring, edema perilaku uyg sebagai efek
jaringan, nyeri, menunjukkan adanya pembedahan.
ketidaknyamana nyeri. 2. Lakukan 2. Mengurangi
n. komunikasi respon bicara
dengan singkat yang terlalu
dengan banyak.
jawaban
ya/tidak.
3. Kunjungi klien 3. Mengurangi
sesering kecemasan
mungkin. klien.
4. Ciptakan 4. Klien dapat
lingkungan mendengar
yang tenang. dengan jelas
komunikasi
antara perawat
dan klien.
3 Risiko tinggi Setelah dilakukan 1. Pantau tanda- 1. Hypolkasemia
terhadap cedera perawatan selama 1x24 tanda vital dan dengan tetani
berhubungan jamdiharapkan klien catat adanya (biasanya
dengan proses menunjukkan tidak ada peningkatan sementara)
pembedahan, cedera dengan suhu tubuh, dapat terjadi 1
rangsangan pada komplikasi takikardi (140 – – 7 hari pasca
sistem saraf terpenuhi/terkontrol dg 200/menit), operasi dan
pusat. kriteria hasil: disrtrimia, merupakan
Tidak terdapat cedera syanosis, sakit indikasi
waktu bernafas hypoparatiroid
(pembengkakan yang dapat
paru). terjadi sebagai
akibat dari
trauma yang
tidak disengaja
pada
pengangkatan
parsial atau
total kelenjar
paratiroid
selama
pembedahan.
2. Pertahankan 2. Menurunkan
penghalang kemungkinan
tempat adanya trauma
tidur/diberi jika terjadi
bantalan, tmpat kejang.
tidur pada posisi
yang rendah.
3. Memantau 3. Kalsium
kadar kalsium kurang dari
dalam serum. 7,5/100 ml
secara umum
membutuhkan
terapi
pengganti.
4. Kolaborasi 4. Memperbaiki
Berikan kekurangan
pengobatan kalsium yang
sesuai indikasi biasanya
(kalsium/gluko sementara
nat, laktat). tetapi mungkin
juga menjadi
permanen.

J. Treatment/ Pengobatan
Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
a. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil
(PTU) dan metimasol/karbimasol.
b. Terapi Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid
sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium
radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil
penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko
kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk
kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan
empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
2. Penatalaksanaan operatif
a. Tiroidektomi
Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid adalah
tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan
menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi
total, yaitu pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk.,
2009). Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan
morbiditas kurang dari 5 %.

Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi.


Komplikasi pasca operasi utama yang berhubungan dengan cedera berulang pada
saraf laring superior dan kelenjar paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi
sengaja dari satu atau lebih kelenjar paratiroid dapat menyebabkan
hipoparatiroidisme dan hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau permanen.
Pemeriksaan yang teliti tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar paratiroid yang
adekuat sangat penting untuk menghindari komplikasi ini. Namun, prosedur ini
umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal
(Bliss et al, 2000). Komplikasi lain yang dapat timbul pasca tiroidektomi adalah
perdarahan, thyrotoxic strom, edema pada laring, pneumothoraks, hipokalsemia,
hematoma, kelumpuhan syaraf laringeus reccurens, dan hipotiroidisme (Grace &
Borley, 2007).

Tindakan tiroidektomi dapat menyebabkan keadaan hipotiroidisme, yaitu suatu


keadaan terjadinya kegagalan kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon dalam
jumlah adekuat, keadaan ini ditandai dengan adanya lesu, cepat lelah, kulit kering
dan kasar, produksi keringat berkurang, serta kulit terlihat pucat. Tanda-tanda yang
harus diobservasi pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang ditandai dengan
adanya rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari tangan dan kaki, dan kedutan otot
pada area wajah (Urbano, 2000). Keadaan hipolakalsemia menunjukkan perlunya
penggantian kalsium dalam tubuh. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah
kelumpuhan nervus laringeus reccurens yang menyebabkan suara serak. Jika
dilakukan tiroidektomi total, pasien perlu diberikan informasi mengenai obat
pengganti hormon tiroid, seperti natrium levotiroksin (Synthroid), natrium
liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini harus diminum selamanya.

Daftar Referensi
American Thyroid Association. (2013). http://thyroid.org/
Black & Hawks. (2009). Medical-surgical nursing : clinical management for positive
outcomes.8th Edition. Saunders Elsevier
Bliss, R. D., Gauger, P. G., & Delbridge, L. W. (2000). Surgeons approach to the thyroid
gland : surgical anatomy and the importance of technique. World Journal of
Surgery. 24, 8, 891 – 897
Beldi, G., Kinsbergen, T., & Schlumpf, R. (2004). Evaluationof intraoperative recurrent
nervemonitoring in thyroid surgery.World Journal of Surgery. 28, 6,589-591.
Braverman,, L.E., Pearce, E.N., & Leung, A. (2010). Role of iodine in thyroid physiology.
Expert Reviews Endocrinol Metabolism. 5(4), 593-602. USA
: Boston University Medical Center.
Grace., P. A, & Borley., N. R. (2007). Surgery at a glance. Edisi 3. Alih bahasa dr.
Vidhia Umami. Jakarta : Erlangga Medical Series.
Hermus, A.R.M.M & Huysmans, D.A.K.C. (2004). Encylopedia of endocrine
disease. Elsevier
Newton, S., Hickey, M., Marrs, J. (2009). Mosby’s oncology nursing advisor : a
comprehensive guide to clinical practice. Canada : Elsevier.
Rehman, SU., Hutchison, FN., Basile, JN. (2006). Goitre in Older Adults. Journal
of Aging Health. 2 (5). 823 – 831. USA : Medical Center and Medical
University of South Carolina.
Roy, H. (2011). Short textbook of surgery : with focus on clinical skills. New Delhi : Jaypee
Brothers Medical Publishers
Skandalakis, J. E. (2004). Surgical anatomy. McGraw-Hill, New York NY
Seeley, R. R., Stephens, T. D., & Tate, P. (2007). Essentials of anatomy and physiology. 6th
Edition. McGraw-Hill, Dubuque
Sudoyo, dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P., (2009). Assesment of nodular goiter. Journal of best
practice & research clinical endocrinology and metabolism. Pisa : Elsevier.
Urbano, F. L. (2000). Signs of hypocalcemia : chvostek’s and trousseau’s signs. Style Sheet
http://www.turner-white.com/pdf/hp_mar00_hypocal.pdf
Vaxevanidou et al. (2010). Risk factors and consequences of incidental parathyroidectomy
during thyroidectomy. Atlanta : Southeastern Surgical Congress.

Anda mungkin juga menyukai