Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAH

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

KONSEP CAIRAN DAN ELEKTROLIT

A. DEFINISI

Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena


metabolisme tubuh membutuhkan perubahan yang tetap untuk berespon
terhadap stressor fisiologi dan lingkungan. Cairan dan elektrolit saling
berhubungan, ketidakseimbangan yang berdiri sendiri jarang terjadi dalam
bentuk kelebihan dan kekurangan (Tarwoto & Wartonah, 2006). Kebutuhan
cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisiologis,
yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh, hampir 90% dari total
berat badan. Sementara itu, sisanya merupakan bagian padat dari tubuh.
Elektrolit terdapat pada seluruh cairan tubuh. Cairan tubuh mengandung
oksigen, nutrien, dan sisa metabolisme, seperti karbondioksida, yang
semuanya disebut dengan ion (Hidayat, 2006).

B. VOLUME CAIRAN TUBUH

Total jumlah volume cairan tubuh (total body water) kira-kira 60% dari
berat badan pria dan 50% dari berat badan wanita. Jumlah volume ini
tergantung pada kandungan lemak badan dan usia. Lemak jaringan sangat
sedikit menyimpan cairan, lemak pada wanita lebih banyak dari pria sehingga
jumlah volume cairan wanita lebih rendah dari pria. Usia juga berpengaruh
terhadap jumlah volume cairan, semakin tua usia semakin sedikit kandungan
airnya. Sebagai contoh, bayi baru lahir jumlah cairan tubuhnya 70-80% dari
BB, usia 1 tahun 60% dari BB, usia pubertas sampai dengan usia 39 tahun
untuk pria 60% dari BB dan wanita 52% dari BB, usia 40-60 tahun untuk pria
55% dari BB dan wanita 47% dari BB, sedangkan pada usia di atas 60 tahun
untuk pria 52% dari BB dan wanita 46% dari BB (Tarwoto &
Wartonah,2006).

2
C. DISTRIBUSI CAIRAN TUBUH

Cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen yaitu pada


intraseluler dan ekstraseluler. Cairan intraseluler kira-kira 2/3 atau 40% dari BB,
sedangkan cairan ekstraseluler 20% dari BB, cairan ini terdiri atas plasma
(cairan intravaskuler) 5%, cairan interstisial (cairan di sekitar tubuh seperti
limfe) 10-15%, dan transeluler (misalnya, cairan serebrospinalis, sinovia,
cairan dalam peritonium, cairan dalam rongga mata, dan lain-lain) 1- 3%
(Tarwoto & Wartonah, 2006).

D. FUNGSI CAIRAN TUBUH

Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), fungsi cairan bagi tubuh adalah sebagai
berikut :

1. Mempertahankan panas tubuh dan pengaturan temperatur tubuh


2. Transpor nutrien ke sel
3. Transpor hasil sisa metabolisme
4. Transpor hormon
5. Pelumas antar-organ
6. Mempertahankan tekanan hidrostatik dalam sistem kardiovaskuler.

E. KESEIMBANGAN CAIRAN

Keseimbangan cairan ditentukan oleh intake (masukan) cairan dan output


(pengeluaran) cairan. Pemasukan cairan berasal dari minuman dan makanan.
Kebutuhan cairan setiap hari antara 1.800-2.500 ml/hari. Sekitar 1.200 ml
berasal dari minuman dan 1.000 ml dari makanan. Sedangkan pengeluaran
cairan melalui ginjal dalam bentuk urine 1.200-1500 ml/hari, feses 100 ml,
paru-paru 300-500 ml, dan kulit 600-800 ml (Tarwoto & Wartonah, 2006).

3
F. PENGATURAN KESEIMBANGAN CAIRAN
Menurut Hidayat (2006), pengaturan keseimbangan cairan dapat dilakukan
melalui mekanisme tubuh. Mekanisme tubuh tersebut adalah sebagai berikut :
a. Rasa dahaga.
Mekanisme rasa dahaga yang dialami setiap individu adalah sebagai
berikut:
1. Penurunan fungsi ginjal merangsang pelepasan renin, yang pada
akhirnya menimbulkan produksi angiotensin II yang dapat merangsang
hipotalamus untuk melepaskan substrat neural yang bertanggung jawab
terhadap sensasi haus.
2. Osmoreseptor di hipotalamus mendeteksi peningkatan tekanan
osmotik dan mengaktivasi jaringan saraf yang dapat mengakibatkan
sensasi rasa dahaga.
b. Anti-diuretik hormon (ADH)
ADH dibentuk di hipotalamus dan disimpan dalam neurohipofisis dari
hipofisis posterior. Stimuli utama untuk sekresi ADH adalah peningkatan
osmolaritas dan penurunan cairan ekstrasel. Hormon ini meningkatkan
reabsorpsi air pada duktus koligentes, dengan demikian dapat menghemat
air.
c. Aldosteron
Hormon ini disekresi oleh kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus
ginjal untuk meningkatkan absorpsi natrium. Pelepasan aldosteron
dirangsang oleh perubahan konsentrasi kalium , natrium serum, dan sistem
angiotensin renin serta sangat efektif dalam mengendalikan hiperkalemia.

G. PENGATURAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT


Elektrolit tubuh mengandung komponen-komponen kimiawi. Elektrolit
tubuh ada yang bermuatan positif (kation) dan bermuatan negatif (anion).
Elektrolit sangat penting pada banyak fungsi tubuh, termasuk fungsi
neuromuskular dan keseimbangan asam basa. Pada fungsi neuromuskular,
elektrolit memegang peranan penting terkait dengan transmisi impuls saraf
(Asmadi, 2008).

4
Menurut Hidayat (2012), elektrolit tubuh dibagi menjadi:

a. Natrium

Natrium merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi sebagai


pengaturan osmolaritas serta volume cairan tubuh. Pengaturan konsentrasi
ekstrasel diatur oleh ADH dan aldosteron. Aldosteron dihasilkan oleh
korteks suprarenal dan berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan
konsentrasi natrium dalam plasma dan prosesnya dibantu oleh ADH. ADH
mengatur sejumlah air yang diserap ke dalam ginjal dari tubulus renalis.
Aldosteron juga mengatur keseimbangan jumlah natrium yang diserap
kembali oleh darah. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal
atau sebagian kecil melalui tinja, keringat, dan air mata. Normalnya sekitar
135-148 mEq/lt.

b. Kalium

Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang
berfungsi sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot.
Keseimbangan kalium diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion
natrium dalam tubulus ginjal dan sekresi aldosteron. Aldosteron juga
berfungsi mengatur keseimbangan kadar kalium dalam plasma (cairan
ekstrasel). Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.

c. Kalsium

Kalsium dalam tubuh berfungsi untuk pembentukan tulang dan gigi,


penghantar impuls kontraksi otot, koagulasi darah (pembekuan darah) dan
membantu beberapa enzim pankreas. Kalsium diekresi melalui urine,
keringat. Konsentrasi kalsium dalam tubuh diatur langsung oleh hormon
paratiroid pada reabsorbsi tulang. Jika kadar kalsium darah menurun,
kelenjar paratiroid akan merangsang pembentukan hormon paratiroid yang
langsung meningkatkan jumlah kalsium darah.

5
d. Magnesium

Magnesium merupakan kation terbanyak kedua pada cairan intrasel.


Keseimbangan magnesium diatur oleh kelenjar parathyroid, dan
magnesium diabsorbsi dari saluran pencernaan. Magnesium dalam tubuh
dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium. Jika magnesium dalam plasma
darah kadarnya menurun, maka ginjal akan mengeluarkan kalium lebih
banyak, dapat terjadi pada pasien alkoholisme kronis, muntah-muntah,
diare, gangguan ginjal. Nilai normalnya sekitar 1,5-2,5 mEq/lt.

e. Klorida

Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Fungsi klorida


biasanya bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan keseimbangan
tekanan osmotik dalam darah. Normalnya sekitar 95-105 mEq/lt.

f. Bikarbonat

Bikarbonat adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada
cairan ekstrasel dan intrasel. Bikarbonat diatur oleh ginjal.

g. Fosfat

Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Fosfat
berfungsi untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme
kabohidrat, pengaturan asam basa.

H. MEKANISME PERGERAKAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT


Cairan dan elektrolit dalam tubuh selalu bergerak di antara ketiga tempat
cairan tersebut, yaitu intraseluler, interstitial, dan intravaskuler (Asmadi,
2008). Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), mekanisme pergerakan cairan
tubuh melalui tiga proses, yaitu:

a. Difusi

Difusi merupakan proses perpindahan partikel cairan dari konsentrasi


tinggi ke konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan. Cairan dan

6
elektrolit didifusikan menembus membran sel. Kecepatan difusi
dipengaruhi oleh ukuran molekul, konsentrasi larutan, dan temperatur.

b. Osmosis

Osmosis merupakan bergeraknya pelarut bersih seperti air, melalui


membran semipermeabel dari larutan yang berkonsentrasi lebih rendah ke
konsentrasi yang lebih tinggi yang sifatnya menarik.

c. Transpor Aktif

Partikel bergerak dari konsentrasi rendah ke tinggi karena adanya daya


aktif dari tubuh seperti pompa jantung.

I. CARA PENGELUARAN CAIRAN

Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), pengeluaran cairan terjadi melalui


organ-organ seperti:

a. Ginjal

Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan cairan yang menerima


170 liter darah untuk disaring setiap hari. Hasil penyaringan ginjal tersebut
dikeluarkan dalam bentuk urine. Produksi urine untuk semua usia 1
ml/kg/jam. Pada orang dewasa produksi urine sekitar 1500 ml/hari. Jumlah
urine yang diproduksi oleh ginjal dipengaruhi oleh ADH dan aldosteron.

b. Kulit

Hilangnya cairan melalui kulit diatur oleh saraf simpatis yang merangsang
aktivitas kelenjar keringat. Rangsangan kelenjar keringat dapat dihasilkan
dari aktivitas otot, temperatur lingkungan yang meningkat, dan demam.
Hilangnya cairan melalui kulit disebut juga dengan Isensible Water Loss
(IWL), yaitu sekitar 15-20 ml/24 jam.

7
c. Paru-paru

Paru-paru menghasilkan IWL sekitar 400 ml/hari. Meningkatnya cairan


yang hilang sebagai respon terhadap perubahan kecepatan dan kedalaman
napas akibat pergerakan atau demam.

d. Gastrointestinal

Dalam kondisi normal cairan yang hilang dari gastrointestinal (melalui


feses) setiap hari sekitar 100-200 ml. Perhitungan IWL secara keseluruhan
adalah 10-15 cc/kg BB/24 jam, dengan kenaikan 10% dari IWL pada
setiap kenaikan suhu 1 derajat celsius.

J. MASALAH KESEIMBANGAN CAIRAN


Menurut Hidayat (2006), masalah keseimbangan cairan terdiri dari dua bagian
yaitu:
a. Hipovolemik
Hipovolemik adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan
ekstraseluler (CES), dan dapat terjadi karena kehilangan cairan melalui kulit,
ginjal, gastrointestinal, pendarahan sehingga menimbulkan syok hipovolemik.
Mekanisme kompensasi pada hipovolemik adalah peningkatan rangsangan
saraf simpatis (peningkatan frekuensi jantung, kontraksi jantung, dan tekanan
vaskuler), rasa haus, pelepasan hormon ADH dan aldosteron. Hipovolemik
yang berlangsung lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.
Gejala: pusing, lemah, letih, anoreksia, mual muntah, rasa haus, gangguan
mental, konstipasi dan oliguri, penurunan tekanan darah, HR meningkat, suhu
meningkat, turgor kulit menurun, lidah kering dan kasar, mukosa mulut
kering. Tanda-tanda penurunan berat badan akut, mata cekung, pengosongan
vena jugularis. Pada bayi dan anak-anak adanya penurunan jumlah air mata.
Pada pasien syok tampak pucat, HR cepat dan halus, hipotensi, dan oliguri.

b. Hipervolemik

Hipervolemik adalah penambahan/kelebihan volume CES, dapat terjadi


pada saat stimulasi kronis ginjal untuk menahan natrium dan air, fungsi ginjal

8
abnormal dengan penurunan ekskresi natrium dan air, kelebihan pemberian
cairan, dan perpindahan cairan dari interstisial ke plasma. Gejala yang
mungkin terjadi adalah sesak napas, peningkatan dan penurunan tekanan
darah, nadi kuat, asites, edema, adanya ronchi, kulit lembab, distensi vena
leher, dan irama gallop.

K. MASALAH KEBUTUHAN ELEKTROLIT

Menurut Hidayat (2012), masalah kebutuhan elektrolit terdiri dari :

a. Hiponatremia

Hiponatremia merupakan suatu keadaan kekurangan kadar natrium dalam


plasma darah ditandai dengan adanya rasa kehausan yang berlebihan, rasa
cemas, takut dan bingung, kejang perut, denyut nadi cepat dan lembab,
hipotensi, konvulsi, membran mukosa kering, kadar natrium dalam plasma
kurang dari 135 mEq/lt. Dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat
diuretik dalam jangka waktu yang lama tanpa terkontrol, diare jangka
panjang.

b. Hipernatremia

Hipernatremia merupakan suatu keadaan kadar natrium dalam plasma


tinggi yang ditandai dengan adanya mukosa kering, rasa haus, turgor kulit
buruk dan permukaan kulit membengkak, kulit kemerahan, konvulsi, suhu
badan naik, kadar natrium dalam plasma lebih dari 148 mEq/lt. Dapat
terjadi pasien dehidrasi, diare, pemasukan air yang berlebihan sedang
intake garam sedikit.

c. Hipokalemia

Hipokalemia merupakan suatu keadaan kekurangan kadar kalium dalam


darah ditandai dengan denyut nadi lemah, tekanan darah menurun, tidak
nafsu makan dan muntah-muntah, perut kembung, otot lemah dan lunak,
denyut jantung tidak beraturan (aritmia), penurunan bising usus, kadar
kalium plasma menurun kurang dari 3,5 mEq/lt.

9
d. Hiperkalemia

Hiperkalemia merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kadar kalium


dalam darah tinggi yang ditandai dengan adanya mual, hiperaktivitas
sistem pencernaan, aritmia, kelemahan, jumlah urine sedikit sekali, diare,
kecemasan, dan irritable, kadar kalium dalam plasma lebih dari 5,5
mEq/lt.

e. Hipokalsemia

Hipokalsemia merupakan kekurangan kadar kalsium dalam plasma darah


yang ditandai dengan adanya kram otot dan kram perut, kejang, bingung,
kadar kalsium dalam plasma kurang dari 4,3 mEq/lt dan kesemutan pada
jari dan sekitar mulut yang dapat disebabkan oleh pengaruh pengangkatan
kelenjar gondok, kehilangan sejumlah kalsium karena sekresi intestinal.

f. Hiperkalsemia

Hiperkalsemia merupakan suatu keadaan kelebihan kadar kalsium dalam


darah, yang ditandai dengan adanya nyeri pada tulang, relaksasi otot, batu
ginjal, mual-mual, koma dan kadar kalsium dalam plasma lebih dari 4,3
mEq/lt. Dapat dijumpai pada pasien yang mengalami pengangkatan
kelenjar gondok dan makan vitamin D yang berlebihan.

g. Hipomagnesia

Hipomagnesia merupakan kekurangan kadar magnesium dalam darah yang


ditandai dengan adanya iritabilitas, tremor, kram pada kaki tangan,
takikardi, hipertensi, disoriensi dan konvulsi. Kadar magnesium dalam
darah kurang dari 1,5 mEq/lt.

h. Hipermagnesia

Hipermagnesia merupakan kadar magnesium yang berlebihan dalam darah


yang ditandai dengan adanya, koma, gangguan pernapasan dan kadar
magnesium lebih dari 2,5 mEq/lt.

10
L. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEIMBANGAN
CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi
keseimbangan cairan dan elektrolit adalah sebagai berikut:
a. Usia
Variasi usia berkaitan dengan luas permukaan tubuh, metabolisme yang
diperlukan, dan berat badan.
b. Temperatur Lingkungan
Panas yang berlebihan menyebabkan berkeringat. Seseorang dapat
kehilangan NaCl melalui keringat sebanyak 15-30 g/hari
c. Diet
Pada saat tubuh kekurangan nutrisi, tubuh akan memecah cadangan energi,
proses ini menimbulkan pergerakan cairan dari interstisial ke intraseluler.
d. Stres.
Stres dapat menimbulkan peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah
dan glikolisis otot, mekanisme ini dapat menimbulkan retensi sodium dan
air. Proses ini dapat meningkatkan produksi ADH dan menurunkan
produksi urine.
e. Sakit
Keadaan pembedahan, trauma jaringan, kelainan ginjal dan jantung,
gangguan hormon akan mengganggu keseimbangan cairan.

M. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Untuk mengidentifikasi masalah gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit serta mengumpulkan data guna menyusun suatu rencana
keperawatan, perawat perlu melakukan pengkajian keperawatan. Menurut
Tarwoto & Wartonah (2006), hal-hal yang perlu dikaji adalah sebagai
berikut:
1) Riwayat Keperawatan
a. Pemasukan dan pengeluaran cairan dan makanan (oral, parenteral)
b. Tanda umum masalah elektrolit

11
c. Tanda kekurangan dan kelebihan cairan
d. Proses penyakit yang menyebabkan gangguan homeostatis cairan
dan elektrolit
e. Pengobatan tertentu yang sedang dijalani dapat mengganggu status
cairan
f. Status perkembangan seperti usia atau situasi sosial
g. Faktor psikologis seperti perilaku emosional yang mengganggu
pengobatan.
2) Pengukuran Klinik
a. Berat badan
Kehilangan/bertambahnya berat badan menunjukan adanya
masalah keseimbangan cairan. Masalah keseimbangan cairan
akibat kehilangan/bertambahnya berat badan dikategorikan ke
dalam tiga kelompok, yaitu:
1) ± 2% : ringan
2) ± 5% : sedang
3) ± 10% : berat
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari pada waktu yang
sama.
b. Keadaan umum
Pengukuran tanda vital seperti suhu, tekanan darah, nadi,
pernafasan dan suhu, pengukuran tingkat kesadaran.
c. Pengukuran pemasukan cairan
Pemasukan cairan yang perlu dihitung adalah cairan yang
diberikan melalui NGT dan oral, cairan parenteral termasuk obat-
obatan IV, makanan yang cenderung mengandung air yang
dikonsumsi oleh klien, dan cairan yang digunakan untuk irigasi
kateter atau NGT.
d. Pengukuran pengeluaran cairan
Pengeluaran yang perlu diukur meliputi volume dan
kejernihan/ kepekatan urine, jumlah dan konsistensi feses,
muntah, tube drainase, dan IWL (Insensible Water Loss)

12
e. Ukur keseimbangan cairan dengan akurat, normalnya sekitar ± 200
cc.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kebutuhan cairan dan elektrolit difokuskan
pada :
a. Integumen

Pada pemeriksaan integumen yang peru diperhatikan adalah keadaan


turgor kulit, edema, kelelahan, kelemahan otot, tetani, dan sensasi
rasa.
b. Kardiovaskuler

Pada pemeriksaan kardiovaskuler yang perlu diperhatikan adalah


distensi vena jugularis, tekanan darah, hemoglobin, dan bunyi jantung.

c. Mata

Pada pemeriksaan mata perlu diperhatikan mata cekung atau tidak, air
mata kering atau tidak.

d. Neurologi

Pada pemeriksaan neurologi yang perlu diperhatikan adalah refleks,


gangguan motorik dan sensorik, tingkat kesadaran.

e. Gastrointestinal

Pada pemeriksaan gastrointestinal yang perlu diperhatikan adalah


keadaan mukosa mulut dan lidah, muntah-muntah, dan bising usus.

4) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang bisa berupa pemeriksaan elektrolit, darah


lengkap, pH, berat jenis urine, dan analisis gas darah.

13
2. Diagnosis

Setelah melakukan pengkajian, Tarwoto & Wartonah (2006)


merumuskan diagnosa yang muncul dari masalah yang ditemukan pada
pasien. Diagnosa yang dapat ditemukan oleh perawat pada klien yang
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain:

1) Aktual/risiko defisit volume cairan

Defenisi: kondisi seorang pasien mengalami risiko kekurangan cairan


pada ekstraseluler dan vaskuler.

Kemungkinan berhubungan dengan: kehilangan cairan secara


berlebihan, berkeringat secara berlebihan, menurunnya intake oral,
penggunaan diuretik, atau pendarahan. Kemungkinan data yang
ditemukan: hipotensi, takhikardia, pucat, kelemahan, konsentrasi urine
pekat. Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada: penyakit Addison,
koma, ketoasidosis pada diabetik, anoreksia nervosa, perdarahan
gastrointestinal, muntah, diare, intake cairan tidak adekuat, AIDS,
pendarahan, ulcer kolon

2) Volume cairan berlebih


Definisi: suatu kondisi terjadinya peningkatan retensi dan edema.
Kemungkinan berhubungan dengan: retensi garam dan air, efek dari
pengobatan, dan malnutrisi. Kemungkinan data yang ditemukan:
orthopnea, oliguria, edema, distensi vena jugularis, hipertensi, distres
pernapasan, anasarka, edema paru. Kondisi klinis kemungkinan terjadi
pada: obesitas, hipothiroidism, pengobatan dengan kortikosteroid,
imobilisasi yang lama, cushings syndrome, gagal ginjal, sirosis hepatis,
kanker, dan toxemia.
3. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang diperoleh, Tarwoto &
Wartonah (2006) menyusun intervensi dan rasional dari masing-
masing diagnosa, yang terdapat dalam tabel di bawah ini:

14
Tabel 1.1 Intervensi keperawatan dengan diagnosa Aktual/risiko defisit
volume cairan
Intervensi Rasional

1. Ukur dan catat setiap 4 jam: 1. Menentukan kehilangan


dan kebutuhan cairan
a. Intake dan output cairan

b. Warna muntahan, urine, dan feses


c. Monitor turgor kulit

d. Tanda vital

e. Monitor IV infus

f. Elektrolit, BUN, hematokrit, dan


hemoglobin
g. Status mental

h. Berat badan

2. Berikan makanan dan cairan


2. Memenuhi kebutuhan
3. Berikan pengobatan seperti antidiare dan makan dan minum
antimuntah 3. Menurunkan pergerakan
4. Berikan dukungan verbal dalam usus dan muntah
pemberian cairan 4. Meningkatkan konsumsi
5. Lakukan kebersihan mulut sebelum makan yang lebih
6. Ubah posisi pasien setiap 4 jam
5. Meningkatkan nafsu
makan
7. Berikan pendidikan kesehatan tentang:
a. Tanda dan gejala dehidrasi 6. Meningkatkan sirkulasi

b. Intake dan output ciran

7. Meningkatkan informasi

15
c. Terapi dan kerja sam

Tabel 1.2 Intervensi keperawatan dengan diagnosa volume cairan berlebih


Intervensi Rasional

1 Ukur dan monitor 1. Dasar pengkajian kardiovaskuler


dan respons terhadap penyakit
Intake dan output cairan, berat
badan, tensi, CVP, distensi vena
jugularis, dan bunyi paru.

2 Monitor rontgen paru 2. Mengetahui adanya edema paru

3 Kolaborasi dengan 3. Kerja sama disiplin ilmu dalam


dokter dalam pemberian cairan perawatan
4 Hati-hati dalam pemberian 4. Mengurangi kelebihan cairan
Mengurangi edema
cairan
5. Mencegah kerusakan kulit
5 Pada pasien yang bedrest

a. Ubah posisi setiap 2 jam

b. Latihan pasif dan aktif


6. Pasien dan keluarga mengetahui
6 Pada kulit yang edema berikan dan kooperatif
losion, hindari penekanan yang
terus menerus
Berikan pengetahuan kesehatan
tentang: Intake dan output cairan,
edema, berat badan, dan pengobatan

16
TEKNIS PEMBERIAN NUTRISI PADA PASIEN KRITIS

A. TATALAKSANA NUTRISI PADA SEPSIS/PENYAKIT KRITIS

Penatalaksanaan nutrisi pasien dengan penyakit kritis pada umumnya dan


sepsis. pada khususnya diawali dengan penilaian status nutrisi, yang kemudian
dilanjutkan dengan menentukan kebutuhan/jumlah, jenis, dan jalur pemberian
nutrisi. Pasien yang dirawat di ICU mempunyai risiko terjadi malnutrisi,
sehingga perlu dilakukan skrining gizi (nutrition screening). Skrining gizi
adalah suatu proses untuk menentukan apakah seorang pasien termasuk dalam
kondisi malnutrisi atau berisiko terjadinya malnutrisi, sehingga perlu
dilakukan asseessment gizi, yaitu pendekatan secara menyeluruh untuk
mengetahui masalah nutrisi, meliputi kegiatan anamnesis serta pemeriksaan
fisik, antropometri dan laboratorium. Terdapat beberapa instrumen yang
digunakan untuk skrining dan assessment gizi. Instrumen yang banyak
digunakan untuk skrining adalah malnutrition screening tools (MST),
malnutrition universal screening tools (MUST), nutrition risk screening-2002
(NRS-2002), short nutritional assessment questionnaire (SNAQ), dan lain-
lain.

Instrumen untuk nutrition assessment adalah subjective global assessment


(SGA) dan mini nutritional assessment (MNA). Ferguson dkk mengemukakan
bahwa MST merupakan alat yang sederhana, cepat, valid dan reliable untuk
mengidentifikasi pasien berisiko malnutrisi. Hal serupa juga dikemukakan
oleh Neelemaat dkk, yang membandingkan lima alat skrining gizi pada pasien
rawat inap di satu RS. Neelemat dkk menunjukkan bahwa MST dan SNAQ
cocok untuk digunakan pada pasien rawat inap di RS, dan validitasnya sama
seperti MUST dan NRS-2002.Nutritional assessment yang umum digunakan
adalah SGA, dan parameter yang dinilai adalah keluhan subyektif berupa
perubahan berat badan (BB), penurunan asupan makan, gejala gastrointestinal
serta kapasitas fungsional. Hasil pemeriksaan obyektif yang digunakan
sebagai parameter penilaian dalam SGA adalah hilangnya massa lemak
subkutan, muscle wasting, dan edema.

17
Sungurtekin dkk menunjukkan bahwa hasil assessment gizi menggunakan
SGA berkorelasi positif dengan nilai acute physiology and chronic health
evaluation II (APACHE II) dan simplified acute physiology score II (SAPS
II), serta angka mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU. Tujuan
penatalaksanaan nutrisi pada pasien penyakit kritis adalah untuk
mempertahankan massa otot, menurunkan komplikasi infeksi, mempercepat
penyembuhan luka, mempertahankan fungsi barier mukosa usus,
meningkatkan fungsi imun, dan mempersingkat masa rawat di ICU.

a. Kebutuhan nutrisi pada sepsis


Secara baku emas penentuan kebutuhan energi basal (KEB) adalah
menggunakan kalorimetri indirek, yaitu dengan menghitung konsumsi
oksigen (O2) dan produksi
karbondioksida (CO2):
KEB = Cardiac ouput x VO2 + (1,11) xVCO2
Konsumsi oksigen (VO2) dapat pula dihitung menggunakan persamaan
Fick dan produksi CO2 dapat diperoleh dari nilai respiratory quotient
(RQ), yaitu 0,85. Dengan demikian dapat diperoleh KEB.

Persamaan Fick :
1) Konsumsi oksigen (VO2) = CO (L/menit) x (CaO2-CvO2) x 10

2) CaO2 (mL/dL) = Hb g/dL x 1,37 x SaO2 + 0,003* x PaO2

3) CvO2 (mL/dL) = Hb g/dL x SvO2 + 0,003* x PvO2


*Koefisien solubilitas oksigen darah

Perhitungan KEB menggunakan kalorimetri indirek dan persamaan


Fick tidak praktis, tidak banyak tersedia di sarana kesehatan, oleh karena
itu lebih banyak digunakan cara lain yaitu menggunakan rumus-rumus
persamaan.22, 23 Persamaan Harris-Benedict (HB) merupakan salah satu
persamaan yang sering digunakan untuk menghitung KEB. Parameter
yang digunakan untuk perhitungan ini adalah BB, TB dan usia. Persamaan
ini diciptakan melalui penelitian yang dilakukan pada individu sehat dan
non obes. Oleh karena itu, penggunaan persamaan ini pada pasien di RS

18
memerlukan penambahan faktor stres untuk mendapatkan kebutuhan
energi total (KET).

Faktor stres yang dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kritis
adalah 1,2, sedangkan untuk pasien sepsis sebesar 1,4−1,8.22, 23 Pada
tahun 2007 dilakukan evaluasi persamaan ini, dilakukan pada pasien
dewasa yang dirawat di ICU dan didapatkan perbedaan 250-900 kkal/hari
pada pasien yang diperhitungkan menggunakan persamaan HB tanpa
penambahan faktor stres. Sedangkan apabila diperhitungkan dengan
penambahan faktor stres, hasil yang didapat menjadi underestimated dan
overestimated. Oleh karena itu persamaan HB tidak direkomendasikan
penggunaannya pada pasien dengan penyakit kritis.Selain persamaan HB,
terdapat beberapa persamaan lain yang dapat digunakan untuk menghitung
kebutuhan energi pada pasien dengan penyakit kritis, di antaranya
persamaan menurut American College of Chest Physicians Calories-
PerKilogram, Ireton-Jones, Penn State dan Swinamer.

American College of Chest Physicians Calories – PerKilogram


merekomendasikan 25 kkal/kg BB aktual/hari untuk pasien penyakit kritis
secara umum, namun pada pasien obes (IMT >25 kg/m2) digunakan BB
ideal, dan pada pasien malnutrisi (IMT <16 kg/m2) digunakan BB aktual
selama 7-10 hari selanjutnya menggunakan BB ideal. Berdasarkan studi-
studi yang dilakukan sesudahnya, persamaan ini mempunyai tingkat
akurasi yang rendah, sehingga tidak direkomendasikan penggunaannya
pada pasien dengan penyakit kritis. Persamaan berikutnya adalah Ireton-
Jones, yang menggunakan parameter usia, BB, jenis kelamin, ada-tidaknya
trauma dan luka bakar untuk menentukan KET. Perhitungan menggunakan
persamaan ini mempunyai akurasi yang tinggi pada pasien muda dan obes,
sedangkan pada pasien yang menggunakan ventilator dan malnutrisi berat
terlihat overestimated dan underestimated. Persamaan Penn State pertama
kali digunakan pada tahun 1998 pada 169 pasien kritis yang menggunakan
ventilator. Persamaan ini mempunyai akurasi yang tinggi (72%) dalam

19
menghitung KET pada pasien lanjut usia obes dan non obes, serta dewasa
muda non obes.

Namun demikian persamaan ini baru digunakan dalam penelitian


dengan jumlah subyek yang sedikit, sehingga penggunaannya secara
umum belum direkomendasikan. Berikutnya adalah persamaan Swinamer
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990, dilakukan pada 112 pasien
penyakit kritis yang menggunakan ventilator. Parameter yang digunakan
dalam persamaan ini adalah luas permukaan tubuh, usia, frekuensi napas,
volume tidal dan suhu tubuh. Dua studi sesudahnya menunjukkan tingkat
akurasi persamaan ini 45% dan 55%. Namun persamaan ini masih jarang
digunakan karena sulitnya memperoleh data untuk perhitungan persamaan
tersebut. Selain itu baru terdapat dua studi yang menilai validasi
persamaan ini, sehingga masih diperlukan penelitian-penelitian
selanjutnya. European Society of Parenteral and Enteral Nutrition
(ESPEN) merekomendasikan 20-25 kkal/kg BB/hari pada fase akut dan
25-30 kkal/kg BB/hari pada fase anabolik. Namun demikian pada pasien
dengan keadaan malnutrisi dapat diberikan mulai dari 25-30 kkal/kg
BB/hari.

b. Kebutuhan makronutrien

Pemberian protein dalam jumlah cukup sangat penting dalam


mencegah terjadinya imbang nitrogen negatif. Pemberian protein untuk
pasien dengan penyakit kritis adalah sebesar 1,2−2 gram/kg BB
aktual/hari. Slone dkkmenunjukkan bahwa jumlah protein yang
dibutuhkan oleh pasien dengan penyakit kritis adalah 1,5−2 gram/kg BB
ideal/hari. Perbandingan nitrogen dan non-protein calorie (NPC) pada
pasien penyakit kritis untuk mempertahankan status nutrisi adalah sebesar
1:100.25 Asam amino rantai cabang (AARC) dapat dianjurkan
pemberiannya pada pasien sepsis. Asam amino ini merupakan asam amino
esensial, terutama tersimpan dan mengalami katabolisme di otot,
diperlukan sebagai prekursor untuk sintesis glutamin dan alanin dalam otot
rangka, serta bermanfaat untuk mencegah muscle wasting. Kannan

20
mengemukakan bahwa 20%-50% dari KET dapat diberikan dalam bentuk
lipid. ESPEN merekomendasikan pemberian lipid (parenteral) sebesar
0,7−1,5 gram/kg BB/hari. Beberapa studi mengatakan bahwa pada pasien
dengan penyakit kritis, pemberian lipid sebaiknya tidak melebihi 1
gram/kg BB/hari. Sediaan lipid parenteral yang dipilih untuk pasien
dengan penyakit kritis adalah kombinasi antara long-chain triglyceride
(LCT) dengan medium-chain triglyceride (MCT). Beberapa studi
menunjukkan bahwa kombinasi LCT-MCT lebih baik daripada LCT
karena terbukti dapat meningkatkan status nutrisi, mempertahankan
imbang nitrogen dan meningkatkan kadar pre-albumin plasma.

Salah satu tujuan pemberian nutrisi yang mengandung lipid pada


pasien penyakit kritis adalah untuk mencegah defisiensi asam lemak
esensial. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian nutrisi secara
parenteral total tanpa sediaan lipid selama tiga minggu akan
mengakibatkan defisiensi asam lemak esensial. Jumlah karbohidrat
minimum yang dibutuhkan bagi pasien kritis adalah 100−150 gram per
hari. Pemberian karbohidrat dalam jumlah yang cukup diperlukan untuk
mencegah protein sparing effect. Ziegler mengemukakan bahwa
pemberian NPC parenteral pada pasien dengan penyakit kritis sebaiknya
60-70% berasal dari karbohidrat serta 30-40% berasal dari lipid.
Pemberian karbohidrat parenteral seharusnya tidak melebihi 4−5 mg/kg
BB/menit. Demikian pula pada pasien penderita diabetes mellitus, pasien
yang mendapatkan terapi steroid, dan pada keadaan hiperglikemia yang
disebabkan stres metabolik, pemberian karbohidrat parenteral sebaiknya
berkisar antara 2,5−4 mg/kg BB/menit. Pemberian karbohidrat parenteral
harus diikuti dengan monitoring kadar glukosa darah. Apabila terdapat
peningkatan kadar glukosa darah, maka dapat dipertimbangkan pemberian
insulin disertai penurunan pemberian nutrisi parenteral yang mengandung
karbohidrat. Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan overload
glukosa di dalam sel, yang akan menghasilkan stres oksidatif, terutama
pada sel yang ambilan glukosanya tidak tergantung insulin (hepatosit,
neuron, mukosa usus, tubulus renalis, sel imun dan sel endotel). Ambilan

21
glukosa oleh sel-sel ini adalah melalui GLUT-1, GLUT-2 dan GLUT-3,
sedangkan pada sel-sel yang tergantung insulin (jaringan otot, jantung, dan
adiposa) ambilan glukosa akan melalui GLUT-4. Pengendalian kadar
glukosa darah yang baik pada pasien penyakit kritis akan memberikan
hasil akhir yang lebih baik pula. Kadar glukosa darah sebaiknya
dipertahankan kurang dari 180 mg/dL.

c. Kebutuhan mikronutrien

Pemberian mikronutrien merupakan salah satu bagian dari


dukungan nutrisi, termasuk nutrisi pada pasien dengan penyakit kritis.
Secara umum terdapat peningkatan metabolisme (hipermetabolisme) pada
pasien dengan penyakit kritis, sehingga terdapat pula peningkatan
kebutuhan mikronutrien. Beberapa vitamin dan mineral dapat berperan
sebagai antioksidan dan diperlukan untuk metabolisme makronutrien.
Selain itu pada pasien penyakit kritis sering dijumpai penurunan kadar
beberapa vitamin dan mineral dalam serum ESPEN merekomendasikan
terutama pada pasien penyakit kritis yang mendapat nutrisi parenteral
untuk mendapatkan sedikitnya multivitamin dan mineral sebesar satu kali
Angka Kecukupan Gizi (AKG).

d. Kebutuhan nutrisi pada pasien sepsis yang menggunakan ventilator

Pasien yang dirawat di ICU seringkali membutuhkan dukungan


ventilasi mekanik oleh karena berbagai sebab. Beberapa studi
menunjukkan bahwa pemberian nutrisi yang adekuat akan mempercepat
pasien untuk weaning dari ventilasi mekanik serta menurunkan masa rawat
di ICU. Keadaan undernutrition akan menurunkan regenerasi epitel saluran
pernapasan dan menyebabkan kelemahan pada otot-otot pernapasan, yang
dapat menyebabkan seorang pasien akan sulit weaning dari ventilasi
mekanik. Sebaliknya pemberian nutrisi yang berlebihan akan
meningkatkan produksi CO2, yang akan meningkatkan ventilasi untuk
mempertahankan keseimbangan gas darah. Kan.31 menunjukkan bahwa
kelompok yang mendapat nutrisi adekuat, mempunyai status nutrisi yang

22
lebih baik daripada kelompok yang mendapat nutrisi underfeeding dan
overfeeding. Status nutrisi pasien dinilai berdasarkan imbang nitrogen.
Selain itu didapatkan pula bahwa pemberian nutrisi sebesar 120% resting
energy expenditure (REE) memenuhi kecukupan nutrisi yang adekuat pada
pasien penyakit kritis yang menggunakan ventilator. Parameter yang
dinilai adalah stabilitas hemodinamik.

B. IMUNONUTRISI

Imunonutrisi adalah nutrisi yang diberikan dengan tujuan untuk


meningkatkan respon sistem imun. Senyawa yang termaksuk dalam
imunonutrisi adalah glutamin, arginin, asam lemak omega-3 dan nukleotida.32
ESPEN merekomendasikan pasien dengan sepsis ringan (skor APACHE II <
15) diberikan imunonutrisi, namun pada pasien dengan sepsis berat tidak
direkomendasikan pemberian imunonutrisi. Asam amino glutamin dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada pasien sepsis. Hal ini disebabkan dalam
keadaan stres metabolik terdapat penurunan kadar glutamin. Glutamin
merupakan asam amino semi esensial dan merupakan prekursor dari glutation.
Sintesis glutamin dimulai dari glutamat, dengan bantuan enzim glutamin
sintetase.

Pada keadaan stres, misalnya pada keadaan sepsis, terdapat peningkatan


sitokin inflamasi dan hormon glukokortikoid yang mempengaruhi ekspresi
enzim glutamin sintetase. Pada pasien dengan penyakit kritis, kadar glutamin
di sirkulasi dipertahankan oleh jaringan otot dan paru-paru. Glutamin
diperlukan sebagai donor nitrogen untuk sintesis amonia oleh ginjal. Glutamin
juga diketahui meningkatkan fungsi sel imun dan produksi sitokin. Peran ini
dimediasi melalui beberapa mekanisme diantaranya adalah nuclear factor-κB
(NF-κB) (Gambar 2.6), protein kinase dan inhibisi peningkatan ekspresi
iNOS, memperbaiki interaksi antara limfosit polimorfonuklear dengan
endotel, dan menurunkan infiltrasi neutrofil.Suplementasi glutamin menjaga
keseimbangan antara Th1 dengan Th2, menurunkan sekresi IL-6 pada organ
non hepatik, menurunkan IL-4, dan meningkatkan ekspresi IFN-α. Selain itu

23
glutamin juga merupakan bahan bakar utama bagi limfosit, makrofag, dan
enterosit. Glutamin diperlukan untuk mempertahankan integritas mukosa usus,
sehingga mencegah terjadinya translokasi bakteri.

Glutamin bersifat relatif tidak larut, tidak tahan terhadap panas, dan tidak
stabil dalam larutan. Oleh karena itu glutamin jarang merupakan bagian dari
larutan nutrisi parenteral. Namun, terdapat sediaan nutrisi parenteral yang
mengandung glutamin, dan biasanya dalam bentuk dipeptida, seperti
glycylglutamin dan alanylglutamin. Dosis glutamin yang dianjurkan pada
pasien dengan penyakit kritis adalah 0,3-0,5 gram/kg BB/hari.Palmese dkk
menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di ICU yang mendapat nutrisi
enteral yang diperkaya dengan fruktooligosakarida (FOS) dan glutamin
intravena mempunyai tingkat infeksi yang lebih rendah.

Arginin merupakan prekursor bagi poliamin, serta diperlukan bagi sintesis


asam nukleat dan stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan, prolaktin, insulin
dan glukagon. Arginin dimetabolisme di hepatosit menjadi ornitin dan urea
dengan bantuan enzim arginase, serta menjadi sitrulin dengan bantuan enzim
arginin deaminase. Arginin merupakan substrat bagi sintesis NO, sehingga
berperan dalam mempertahankan integritas mukosa usus. Pada keadaan stres
metabolik arginin menjadi asam amino semi esensial karena kebutuhannya
yang meningkat bila dibandingkan produksinya di dalam tubuh. Arginin
diperlukan untuk perbaikan jaringan, namun penggunaannya pada pasien kritis
atau sepsis masih kontroversial karena pengaruhnya terhadap produksi NO
yang bersifat vasodilator.13Asam lemak omega-3 juga merupakan salah satu
nutrien spesifik yang sering ditambahkan pada formula enteral bagi pasien
dengan penyakit kritis. Eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic
acid (DHA) merupakan asam lemak omega-3 yang sering digunakan. Asam
lemak omega-3 berperan dalam menghambat metabolisme asam arakhidonat
(AA).35 Pontes-Arruda dkk.36menunjukkan bahwa pemberian EPA dan
gamma-linolenic acid (GLA) memperlambat progresivitas sepsis menjadi
disfungsi organ. Selain itu Prabha dkk mengemukakan bahwa pada pasien

24
sepsis terdapat kadar GLA, EPA dan AA yang rendah. Asam lemak EPA dan
DHA dapat menekan produksi TNF-α, yang berperan pada kejadian sepsis.

C. JALUR PEMBERIAN NUTRISI

Jalur pemberian nutrisi secara umum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
secara oral, enteral dan parenteral. Jalur oral/enteral diindikasikan bagi pasien
tanpa gangguan gastrointestinal. Pemberian makanan secara oral/enteral akan
menyebabkan makanan berhubungan langsung dengan lumen saluran cerna.
Hal ini akan menyebabkan aliran darah meningkat ke daerah saluran cerna,
terangsangnya sistem saraf otonom, keluarnya hormon dan enzim pencernaan,
yang kesemuanya ini akan menjaga integritas mukosa dan fungsi saluran
cerna, sekaligus mencegah terjadinya translokasi bakteri. Pada fase akut,
nutrisi enteral diberikan untuk menjaga integritas mukosa, melalui cara gut
feeding. Namun pada fase selanjutnya nutrisi enteral diberikan untuk
menjamin kecukupan kalori. Pemberian nutrisi enteral dapat beberapa cara di
antaranya adalah dengan metode nonoperatif yaitu menggunakan pipa
nasogastrik, orogastrik, atau nasoduodenal.

Cara yang lain adalah dengan metode operatif yaitu gastrostomi dan
jejunostomi. Apabila terdapat kontraindikasi atau gangguan saluran cerna,
maka pemberian melalui parenteral dapat dipertimbangkan. ESPEN juga
merekomendasikan pemberian nutrisi secara parenteral apabila pemberian
secara enteral tidak dapat mencapai kebutuhan energi. Pasien dengan
malnutrisi berat, sebaiknya mendapat nutrisi sebanyak 25-30 kkal/kgBB/hari,
dan apabila kebutuhan ini tidak dapat dicapai melalui nutrisi enteral, maka
nutrisi parenteral dapat diberikan. Beberapa hal harus diperhatikan dalam
pemantauan pemberian nutrisi secara enteral, salah satunya adalah gastric
residual volume (GRV).

Perlambatan pengosongan lambung dapat disebabkan oleh beberapa hal, di


antaranya adalah faktor nutrisi (densitas, osmolaritas, kandungan makanan),
keadaan klinis tertentu (diabetes mellitus, kelainan neurologi, reumatologi,
pasca bedah) dan akibat penggunaan obat-obatan tertentu (opiat, dopamin).

25
ESPEN merekomendasikan pemberian metoklopramid atau eritromisin pada
pasien dengan GRV yang tinggi. Terdapat dua jalur parenteral yaitu melalui
vena sentral dan perifer. Pertimbangan menggunakan jalur vena sentral adalah
pemberian nutrisi parenteral dengan osmolaritas >850 mosml/L.28 Pemberian
nutrisi parenteral melalui vena sentral berkaitan dengan komplikasi mekanik,
metabolik dan infeksi. Salah satu bentuk komplikasi metabolik akibat
pemberian nutrisi parenteral adalah overfeeding dan sindroma refeeding
Komplikasi metabolik lainnya berupa hiperkapnia, steatosis hati, disfungsi
neuromuskular, dan defek imunologi.

26

Anda mungkin juga menyukai