PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAH
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Total jumlah volume cairan tubuh (total body water) kira-kira 60% dari
berat badan pria dan 50% dari berat badan wanita. Jumlah volume ini
tergantung pada kandungan lemak badan dan usia. Lemak jaringan sangat
sedikit menyimpan cairan, lemak pada wanita lebih banyak dari pria sehingga
jumlah volume cairan wanita lebih rendah dari pria. Usia juga berpengaruh
terhadap jumlah volume cairan, semakin tua usia semakin sedikit kandungan
airnya. Sebagai contoh, bayi baru lahir jumlah cairan tubuhnya 70-80% dari
BB, usia 1 tahun 60% dari BB, usia pubertas sampai dengan usia 39 tahun
untuk pria 60% dari BB dan wanita 52% dari BB, usia 40-60 tahun untuk pria
55% dari BB dan wanita 47% dari BB, sedangkan pada usia di atas 60 tahun
untuk pria 52% dari BB dan wanita 46% dari BB (Tarwoto &
Wartonah,2006).
2
C. DISTRIBUSI CAIRAN TUBUH
Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), fungsi cairan bagi tubuh adalah sebagai
berikut :
E. KESEIMBANGAN CAIRAN
3
F. PENGATURAN KESEIMBANGAN CAIRAN
Menurut Hidayat (2006), pengaturan keseimbangan cairan dapat dilakukan
melalui mekanisme tubuh. Mekanisme tubuh tersebut adalah sebagai berikut :
a. Rasa dahaga.
Mekanisme rasa dahaga yang dialami setiap individu adalah sebagai
berikut:
1. Penurunan fungsi ginjal merangsang pelepasan renin, yang pada
akhirnya menimbulkan produksi angiotensin II yang dapat merangsang
hipotalamus untuk melepaskan substrat neural yang bertanggung jawab
terhadap sensasi haus.
2. Osmoreseptor di hipotalamus mendeteksi peningkatan tekanan
osmotik dan mengaktivasi jaringan saraf yang dapat mengakibatkan
sensasi rasa dahaga.
b. Anti-diuretik hormon (ADH)
ADH dibentuk di hipotalamus dan disimpan dalam neurohipofisis dari
hipofisis posterior. Stimuli utama untuk sekresi ADH adalah peningkatan
osmolaritas dan penurunan cairan ekstrasel. Hormon ini meningkatkan
reabsorpsi air pada duktus koligentes, dengan demikian dapat menghemat
air.
c. Aldosteron
Hormon ini disekresi oleh kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus
ginjal untuk meningkatkan absorpsi natrium. Pelepasan aldosteron
dirangsang oleh perubahan konsentrasi kalium , natrium serum, dan sistem
angiotensin renin serta sangat efektif dalam mengendalikan hiperkalemia.
4
Menurut Hidayat (2012), elektrolit tubuh dibagi menjadi:
a. Natrium
b. Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang
berfungsi sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot.
Keseimbangan kalium diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion
natrium dalam tubulus ginjal dan sekresi aldosteron. Aldosteron juga
berfungsi mengatur keseimbangan kadar kalium dalam plasma (cairan
ekstrasel). Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
c. Kalsium
5
d. Magnesium
e. Klorida
f. Bikarbonat
Bikarbonat adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada
cairan ekstrasel dan intrasel. Bikarbonat diatur oleh ginjal.
g. Fosfat
Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Fosfat
berfungsi untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme
kabohidrat, pengaturan asam basa.
a. Difusi
6
elektrolit didifusikan menembus membran sel. Kecepatan difusi
dipengaruhi oleh ukuran molekul, konsentrasi larutan, dan temperatur.
b. Osmosis
c. Transpor Aktif
a. Ginjal
b. Kulit
Hilangnya cairan melalui kulit diatur oleh saraf simpatis yang merangsang
aktivitas kelenjar keringat. Rangsangan kelenjar keringat dapat dihasilkan
dari aktivitas otot, temperatur lingkungan yang meningkat, dan demam.
Hilangnya cairan melalui kulit disebut juga dengan Isensible Water Loss
(IWL), yaitu sekitar 15-20 ml/24 jam.
7
c. Paru-paru
d. Gastrointestinal
b. Hipervolemik
8
abnormal dengan penurunan ekskresi natrium dan air, kelebihan pemberian
cairan, dan perpindahan cairan dari interstisial ke plasma. Gejala yang
mungkin terjadi adalah sesak napas, peningkatan dan penurunan tekanan
darah, nadi kuat, asites, edema, adanya ronchi, kulit lembab, distensi vena
leher, dan irama gallop.
a. Hiponatremia
b. Hipernatremia
c. Hipokalemia
9
d. Hiperkalemia
e. Hipokalsemia
f. Hiperkalsemia
g. Hipomagnesia
h. Hipermagnesia
10
L. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEIMBANGAN
CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi
keseimbangan cairan dan elektrolit adalah sebagai berikut:
a. Usia
Variasi usia berkaitan dengan luas permukaan tubuh, metabolisme yang
diperlukan, dan berat badan.
b. Temperatur Lingkungan
Panas yang berlebihan menyebabkan berkeringat. Seseorang dapat
kehilangan NaCl melalui keringat sebanyak 15-30 g/hari
c. Diet
Pada saat tubuh kekurangan nutrisi, tubuh akan memecah cadangan energi,
proses ini menimbulkan pergerakan cairan dari interstisial ke intraseluler.
d. Stres.
Stres dapat menimbulkan peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah
dan glikolisis otot, mekanisme ini dapat menimbulkan retensi sodium dan
air. Proses ini dapat meningkatkan produksi ADH dan menurunkan
produksi urine.
e. Sakit
Keadaan pembedahan, trauma jaringan, kelainan ginjal dan jantung,
gangguan hormon akan mengganggu keseimbangan cairan.
11
c. Tanda kekurangan dan kelebihan cairan
d. Proses penyakit yang menyebabkan gangguan homeostatis cairan
dan elektrolit
e. Pengobatan tertentu yang sedang dijalani dapat mengganggu status
cairan
f. Status perkembangan seperti usia atau situasi sosial
g. Faktor psikologis seperti perilaku emosional yang mengganggu
pengobatan.
2) Pengukuran Klinik
a. Berat badan
Kehilangan/bertambahnya berat badan menunjukan adanya
masalah keseimbangan cairan. Masalah keseimbangan cairan
akibat kehilangan/bertambahnya berat badan dikategorikan ke
dalam tiga kelompok, yaitu:
1) ± 2% : ringan
2) ± 5% : sedang
3) ± 10% : berat
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari pada waktu yang
sama.
b. Keadaan umum
Pengukuran tanda vital seperti suhu, tekanan darah, nadi,
pernafasan dan suhu, pengukuran tingkat kesadaran.
c. Pengukuran pemasukan cairan
Pemasukan cairan yang perlu dihitung adalah cairan yang
diberikan melalui NGT dan oral, cairan parenteral termasuk obat-
obatan IV, makanan yang cenderung mengandung air yang
dikonsumsi oleh klien, dan cairan yang digunakan untuk irigasi
kateter atau NGT.
d. Pengukuran pengeluaran cairan
Pengeluaran yang perlu diukur meliputi volume dan
kejernihan/ kepekatan urine, jumlah dan konsistensi feses,
muntah, tube drainase, dan IWL (Insensible Water Loss)
12
e. Ukur keseimbangan cairan dengan akurat, normalnya sekitar ± 200
cc.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kebutuhan cairan dan elektrolit difokuskan
pada :
a. Integumen
c. Mata
Pada pemeriksaan mata perlu diperhatikan mata cekung atau tidak, air
mata kering atau tidak.
d. Neurologi
e. Gastrointestinal
4) Pemeriksaan penunjang
13
2. Diagnosis
14
Tabel 1.1 Intervensi keperawatan dengan diagnosa Aktual/risiko defisit
volume cairan
Intervensi Rasional
d. Tanda vital
e. Monitor IV infus
h. Berat badan
7. Meningkatkan informasi
15
c. Terapi dan kerja sam
16
TEKNIS PEMBERIAN NUTRISI PADA PASIEN KRITIS
17
Sungurtekin dkk menunjukkan bahwa hasil assessment gizi menggunakan
SGA berkorelasi positif dengan nilai acute physiology and chronic health
evaluation II (APACHE II) dan simplified acute physiology score II (SAPS
II), serta angka mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU. Tujuan
penatalaksanaan nutrisi pada pasien penyakit kritis adalah untuk
mempertahankan massa otot, menurunkan komplikasi infeksi, mempercepat
penyembuhan luka, mempertahankan fungsi barier mukosa usus,
meningkatkan fungsi imun, dan mempersingkat masa rawat di ICU.
Persamaan Fick :
1) Konsumsi oksigen (VO2) = CO (L/menit) x (CaO2-CvO2) x 10
18
memerlukan penambahan faktor stres untuk mendapatkan kebutuhan
energi total (KET).
Faktor stres yang dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kritis
adalah 1,2, sedangkan untuk pasien sepsis sebesar 1,4−1,8.22, 23 Pada
tahun 2007 dilakukan evaluasi persamaan ini, dilakukan pada pasien
dewasa yang dirawat di ICU dan didapatkan perbedaan 250-900 kkal/hari
pada pasien yang diperhitungkan menggunakan persamaan HB tanpa
penambahan faktor stres. Sedangkan apabila diperhitungkan dengan
penambahan faktor stres, hasil yang didapat menjadi underestimated dan
overestimated. Oleh karena itu persamaan HB tidak direkomendasikan
penggunaannya pada pasien dengan penyakit kritis.Selain persamaan HB,
terdapat beberapa persamaan lain yang dapat digunakan untuk menghitung
kebutuhan energi pada pasien dengan penyakit kritis, di antaranya
persamaan menurut American College of Chest Physicians Calories-
PerKilogram, Ireton-Jones, Penn State dan Swinamer.
19
menghitung KET pada pasien lanjut usia obes dan non obes, serta dewasa
muda non obes.
b. Kebutuhan makronutrien
20
mengemukakan bahwa 20%-50% dari KET dapat diberikan dalam bentuk
lipid. ESPEN merekomendasikan pemberian lipid (parenteral) sebesar
0,7−1,5 gram/kg BB/hari. Beberapa studi mengatakan bahwa pada pasien
dengan penyakit kritis, pemberian lipid sebaiknya tidak melebihi 1
gram/kg BB/hari. Sediaan lipid parenteral yang dipilih untuk pasien
dengan penyakit kritis adalah kombinasi antara long-chain triglyceride
(LCT) dengan medium-chain triglyceride (MCT). Beberapa studi
menunjukkan bahwa kombinasi LCT-MCT lebih baik daripada LCT
karena terbukti dapat meningkatkan status nutrisi, mempertahankan
imbang nitrogen dan meningkatkan kadar pre-albumin plasma.
21
glukosa oleh sel-sel ini adalah melalui GLUT-1, GLUT-2 dan GLUT-3,
sedangkan pada sel-sel yang tergantung insulin (jaringan otot, jantung, dan
adiposa) ambilan glukosa akan melalui GLUT-4. Pengendalian kadar
glukosa darah yang baik pada pasien penyakit kritis akan memberikan
hasil akhir yang lebih baik pula. Kadar glukosa darah sebaiknya
dipertahankan kurang dari 180 mg/dL.
c. Kebutuhan mikronutrien
22
lebih baik daripada kelompok yang mendapat nutrisi underfeeding dan
overfeeding. Status nutrisi pasien dinilai berdasarkan imbang nitrogen.
Selain itu didapatkan pula bahwa pemberian nutrisi sebesar 120% resting
energy expenditure (REE) memenuhi kecukupan nutrisi yang adekuat pada
pasien penyakit kritis yang menggunakan ventilator. Parameter yang
dinilai adalah stabilitas hemodinamik.
B. IMUNONUTRISI
23
glutamin juga merupakan bahan bakar utama bagi limfosit, makrofag, dan
enterosit. Glutamin diperlukan untuk mempertahankan integritas mukosa usus,
sehingga mencegah terjadinya translokasi bakteri.
Glutamin bersifat relatif tidak larut, tidak tahan terhadap panas, dan tidak
stabil dalam larutan. Oleh karena itu glutamin jarang merupakan bagian dari
larutan nutrisi parenteral. Namun, terdapat sediaan nutrisi parenteral yang
mengandung glutamin, dan biasanya dalam bentuk dipeptida, seperti
glycylglutamin dan alanylglutamin. Dosis glutamin yang dianjurkan pada
pasien dengan penyakit kritis adalah 0,3-0,5 gram/kg BB/hari.Palmese dkk
menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di ICU yang mendapat nutrisi
enteral yang diperkaya dengan fruktooligosakarida (FOS) dan glutamin
intravena mempunyai tingkat infeksi yang lebih rendah.
24
sepsis terdapat kadar GLA, EPA dan AA yang rendah. Asam lemak EPA dan
DHA dapat menekan produksi TNF-α, yang berperan pada kejadian sepsis.
Jalur pemberian nutrisi secara umum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
secara oral, enteral dan parenteral. Jalur oral/enteral diindikasikan bagi pasien
tanpa gangguan gastrointestinal. Pemberian makanan secara oral/enteral akan
menyebabkan makanan berhubungan langsung dengan lumen saluran cerna.
Hal ini akan menyebabkan aliran darah meningkat ke daerah saluran cerna,
terangsangnya sistem saraf otonom, keluarnya hormon dan enzim pencernaan,
yang kesemuanya ini akan menjaga integritas mukosa dan fungsi saluran
cerna, sekaligus mencegah terjadinya translokasi bakteri. Pada fase akut,
nutrisi enteral diberikan untuk menjaga integritas mukosa, melalui cara gut
feeding. Namun pada fase selanjutnya nutrisi enteral diberikan untuk
menjamin kecukupan kalori. Pemberian nutrisi enteral dapat beberapa cara di
antaranya adalah dengan metode nonoperatif yaitu menggunakan pipa
nasogastrik, orogastrik, atau nasoduodenal.
Cara yang lain adalah dengan metode operatif yaitu gastrostomi dan
jejunostomi. Apabila terdapat kontraindikasi atau gangguan saluran cerna,
maka pemberian melalui parenteral dapat dipertimbangkan. ESPEN juga
merekomendasikan pemberian nutrisi secara parenteral apabila pemberian
secara enteral tidak dapat mencapai kebutuhan energi. Pasien dengan
malnutrisi berat, sebaiknya mendapat nutrisi sebanyak 25-30 kkal/kgBB/hari,
dan apabila kebutuhan ini tidak dapat dicapai melalui nutrisi enteral, maka
nutrisi parenteral dapat diberikan. Beberapa hal harus diperhatikan dalam
pemantauan pemberian nutrisi secara enteral, salah satunya adalah gastric
residual volume (GRV).
25
ESPEN merekomendasikan pemberian metoklopramid atau eritromisin pada
pasien dengan GRV yang tinggi. Terdapat dua jalur parenteral yaitu melalui
vena sentral dan perifer. Pertimbangan menggunakan jalur vena sentral adalah
pemberian nutrisi parenteral dengan osmolaritas >850 mosml/L.28 Pemberian
nutrisi parenteral melalui vena sentral berkaitan dengan komplikasi mekanik,
metabolik dan infeksi. Salah satu bentuk komplikasi metabolik akibat
pemberian nutrisi parenteral adalah overfeeding dan sindroma refeeding
Komplikasi metabolik lainnya berupa hiperkapnia, steatosis hati, disfungsi
neuromuskular, dan defek imunologi.
26