Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENYAMPAIAN BERITA BURUK

Kelompok 1 :

1. Alisa Delia Putri (920173001)

2. Anggik Prahesti (920173005)

3. Anggita Hendaya Muharyanti (920173006)

4. Devi Oktania (920173012)

5. Irfan Sahzuri (920173022)

6. Karina Purnama Savitri (920173026)

7. Mita Nur Faiqotunnisa (920173030)

8. Naimatul Farida (920173034)

9. Nawa Evalatul Hawa (920173036)

10. Tasya Alfionita (920173044)

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan

Universitas Muhammadiyah Kudus

Tahun 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Keperawatan menjelang
ajal dan Paliatif dengan judul “Teknik menyampaikan berita buruk”.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Kudus,25 September 2019

Penyusun
Daftar Isi

Judul Halaman .................................................................................................................


Kata Pengantar ................................................................................................................
Daftar isi ..........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................
1.3 Tujuan Makalah ...................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian .....................................................................................................….


2.2 Definisi Berita Buruk ....................................................................................................
2.3 Tujuan Penyampaian Berita Buruk ...............................................................................
2.4 Kesulitan Penyampain Berita Buruk .......................................................................
2.5 Jenis-Jenis Berita Buruk ................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung ............................................


3.2 Penyampaian Berita Secara Tidak Langsung ........................................................
3.3 Penyampaian Berita Secara Langsung ..................................................................
3.4 Penyampaian Brita Buruk Dengan Metode SPIKES ............................................

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………….....

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Komunikasi merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan maksud
dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan komunikasi yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien adalah untuk membantu pasien agar dapat mengurangi penderitaan
pasien serta membantunya untuk sembuh dari penyakitnya. Kesembuhan biasanya
didapatkan dari khasiat obat- obatan dan fungsi komunikasi atau wawancara hanya
sebagai pendukung untuk menegakkan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat.
Tetapi tidak jarang komunikasi itu sendiri juga merupakan terapi.
Karena komunikasi penting sekali artinya dalam hubungan dokter- pasien,
maka seyogyanya para dokter menguasai teknik dan seni berkomunikasi yang baik.
Untuk itu dokter perlu mengetahui jenis-jenis komunikasi atau wawancara yang
biasa terdapat antara dokter atau dokter gigi dan pasien, antara lain wawancara biasa
yang terdiri dari wawancara bebas dan terarah, percakapan bimbingan dan konseling,
dan penyampaian berita buruk.
Berita buruk dapat didefinisikan sebagai segala informasi yang secara serius
dapat memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Penyampaian
berita buruk adalah suatu hal yang sering harus dilakukan dokter maupun dokter
gigi, misalnya pada waktu dokter harus menyampaikan berita kematian,
menyampaikan diagnosis suatu penyakit dengan prognosis yang tidak baik, atau
menyampaikan rencana terapi yang mengandung resiko yang tinggi. Dalam
hubungan ini setiap dokter akan mengetahui bahwa penyampaian berita buruk selalu
akan menimbulkan frustasi pada pihak pasien.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi berita buruk?
2. Bagaimana menyampaikan berita buruk?

C. TUJUAN

1. Mengetahui apa yang di maksud dengan berita buruk


2. Mengetahui bagaimana teknik menyampaikan berita buruk
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI BERITA BURUK


Berita buruk secara medis didefinisikan sebagai informasi yang menciptakan
pandangan buruk bagi kesehatan seseorang. Berita buruk tersebut dapat
menimbulkan perasaan tanpa harapan pada pasien, ancaman terhadap kesehatan
mental dan fisik pasien, atau resiko mengganggu atau mengacaukan gaya hidup atau
keseharian pasien (Wright dkk, 2013). Menurut Baile dkk (2000), berita buruk dapat
didefinisikan sebagai segala informasi yang secara serius dapat memperburuk
pandangan seseorang tentang masa depannya. Sedangkan menurut Aitini & Aleotti
(2006) Kabar buruk adalah pengalaman tidak nyaman untuk pemberi dan penerima
berita.

B. TUJUAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK


1. Merupakan pekerjaan yang akan sering dilakukan namun membuat stress
Selama karirnya, seorang dokter akan mengalami keadaan dimana ia harus
menyampaikan informasi buruk kepada pasien atau keluarganya. Penyampaian
berita buruk akan menjadi sangat menegangkan ketika seorang dokter kurang
berpengalaman, sedang menghadapi pasien yang masih muda, dan ketika
prospek keberhasilan pengobatan minim (Baile dkk, 2000).
2. Pasien menginginkan kebenaran
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 96% orang berharap diberi tahu
ketika ia menderita kanker dan 85% berharap mendapat informasi mengenai
perkiraan umur mereka (Baile dkk, 2000).
3. Prinsip hukum dan etik
Di Amerika Utara, prinsip informed consent, otonomi pasien, dan hukum
telah menciptakan kewajiban etika dan hukum yang jelas untuk memberikan
informasi sebanyak yang pasien inginkan tentang penyakit mereka dan
pengobatannya. Dokter tidak mungkin menahan informasi medis bahkan jika
mereka tahu itu akan memiliki efek negatif pada pasien (Baile dkk, 2000).
4. Hasil pemeriksaan klinis
Bagaimana cara penyampaian kabar buruk dapat mengubah pemahaman
pasien akan informasi, kepuasan perawatan, tingkat harapan, dan psikologi
pasien. Banyak pasien mengharapkan informasi yang akurat untuk membantu
mereka menentukan pilihan (Baile dkk, 2000).
Masalah muncul bila dokter harus berhadapan dengan keadaan khusus atau
kepribadian pasien yang berbeda-beda. Contohnya, penyakit yang dipengaruhi
oleh faktor psikososial. Keadaan lainnya adalah pasien yang berpenyakit kronis,
menderita cacat, dan pada pasien kanker. Permasalahan yang sebenarnya muncul
ketika kita harus menyampaikan prognosis penyakit dan berapa lama pasien itu
dapat bertahan hidup (Sukardi dkk, 2007).
5. Penyampaian pada pasien mengenai kecacatan/penyakit kronis
Pada penyakit kronis atau penyakit yang disertai dengan kecacatan yang berat,
sebaiknya dokter memberitahukan kenyataan atau fakta yang ada. Terutama cara
adaptasi yang cepat dan tepat terhadap perubahan hidupnya. Pasien penyakit
kronis seharusnya menerima kenyataan agar mereka lebih cepat untuk
menyesuaikan diri dengan keadaannya. Kecemasan dan rasa takut yang
berlebihan tidak saja ditimbulkan dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari
tekanan masyarakat yang sering memberikan simbol tertentu pada penyakitnya
(Sukardi dkk, 2007).
Jika semua stress menumpuk, pasien akan banyak menghadapi masalah. Hal
ini dapat melampaui kemampuan dirinya dalam menangani stress. Dokter
seharusnya sadar akan segala kemungkinan dan siap membantu serta menolong
pasiennya. Khususnya bila informasi yang disampaikan dapat meningkatkan
kecemasan, menghilangkan harapan, menimbulkan keinginan untuk bunuh diri,
atau timbulya gejala psikopatologik lain. Dalam menentukan suatu penyakit yang
kronis dan kecacatan, informasi harus diberikan secara perlahan. Pemberian
informasi dapat dimulai dari awal dugaan penyakit sampai diagnosis akhir
ditegakkan. Adanya keinginan pasien untuk mengetahui penyakitnya merupakan
kesempatan baik bagi dokter untuk menyampaikan keadaan yang mungkin
terjadi dan risikonya di kemudian hari (Sukardi dkk, 2007).
6. Penyampaian pada pasien mengenai penyakit kanker/tumor ganas
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sering ditanggapi dengan cara
yang tidak realistis. Pasien sering dijauhi oleh masyarakat dan seolah-olah
kematiannya sudah dekat. Kanker sebagai suatu penyakit yang fatal membuat
dan mendorong keadaan kurangnya perhatian untuk mendapatkan pengobatan.
Ketakutan masyarakat terhadap penyakit kanker memberikan beban tersendiri
pada penderitaan pasien, disamping dari akibat proses kanker itu sendiri. Oleh
karena itu, sebelum diagnosis kanker disampaikan, tim dokter harus benar-benar
sudah yakin (Sukardi dkk, 2007).
Pengobatan kanker biasanya memerlukan waktu yang lama dan hasilnya
sering diragukan. Tercipta kesan bahwa penyakit ini lebih buruk dari penyakit
infark jantung yang prognosis kematiannya lebih jelek. Namun, karena
pengobatan infark jantung lebih jelas, seolah-olah penyakit itu lebih baik. Pada
penyakit kanker pemberian informasi kepada pasien semestinya meliputi dua hal,
yaitu dokter bersikap jujur dan hormat terhadap pasiennya. Dokter harus dapat
menumbuhkan rasa percaya kepada pasien/keluarganya dengan baik sehingga
memudahkan dalam memberikan terapi, baik itu radioterapi maupun sitostatika
(Sukardi dkk, 2007).
C. KESULITAN PENYAMPAIAN BERITA BURUK
Ada banyak faktor penyebab seorang dokter mengalami kesulitan dalam
menyampaikan berita buruk. Berdasarkan American Medical Association's first code
of medical ethics pada tahun 1847 dikatakan bahwa kehidupan orang sakit
dapat dipersingkat tidak hanya oleh tindakan, tetapi juga oleh kata-kata dan perilaku
seorang dokter.

Berikut adalah beberapa faktor penyebab sulitnya penyampaian berita buruk:

1. Khawatir bahwa berita itu akan menyebabkan efek buruk


2. Merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
3. Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
4. Tidak memiliki pengalaman pribadi
5. Khawatir bahwa akan sulit untuk menangani reaksi pasien atau keluarga
6. Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
7. Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
8. Tantangan tiap individu
9. Ketidak pastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan tidak
memiliki jawaban atas beberapa pertanyaan
10. Kurangnya kejelasan peran seorang pelayan kesehatan.

D. JENIS-JENIS BERITA BURUK


Di dunia kedokteran, terdapat berbagai jenis berita buruk yang hendak
disampaikan kepada pasien. Berikut contoh-contohnya:
1. Kegagalan operasi.
2. Vonis kanker.
3. Penyakit kronik seperti gagal ginjal kronik.
4. Terminal Ilness.
5. Tidak bisa mempunyai anak.
6. Kematian, dan lain-lain.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Penyampaian Berita Buruk Secara Tidak Langsung


Penyampaian berita buruk adalah suatu hal yang sering harus dilakukan
dokter maupun dokter gigi, misalnya pada waktu dokter harus menyampaikan berita
kematian, menyampaikan diagnosis suatu penyakit dengan prognosis yang tidak
baik, atau menyampaikan rencana terapi yang mengandung resiko yang tinggi.
Dalam hubungan ini setiap dokter akan mengetahui bahwa penyampaian berita buruk
selalu akan menimbulkan frustasi pada pihak pasien (Sarwono, 1982).
Hampir setiap dokter akan berusaha mengurangi reaksi frustasi pasien. Usaha
ini wajar sepanjang dokter tidak memalsukan informasi (berbohong kepada pasien)
tetapi sesungguhnya kurang baik, karena dokter justru memberi peluang bagi
bertambah besarnya frustasi pasien (Sarwono, 1982).
Usaha mengurangi frustasi pasien dalam penyampaian barita buruk ini biasa
dilakukan dengan beberapa cara yang kurang benar. Untuk jelasnya, berikut
diberikan contoh seorang dokter gigi yang harus menyampaikan berita bahwa
pasiennya menderita penyakit kanker mulut. Pada pasien didapatkan bisul yang
menyakitkan di mulut, dimana sudah tak sembuh-sembuh dalam waktu 14 hari, suara
jadi serak berkepanjangan, dan mengalami kesulitan untuk mengunyah, menelan,
dan bahkan berbicara, serta terdapat bercak putih pada mulut (Nawawi, 2013).

Penyampaian berita buruk yang kurang tepat itu antara lain sebagai berikut:

1. Menunda penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat

Dokter bercerita tentang hal-hal lain terlebih dahulu sebelum ia


menyampaikan berita tentang kanker mulut, tentang keluhan- keluhan dan gejala-
gejala yang diderita pasien dan seterusnya sampai kira-kira pasien dianggap “siap
mental” untuk mendengarkan berita buruk itu, barulah berita tentang kanker
mulut itu disampaikan. Tanda-tanda bahwa pasien sudah “siap mental” diterka
oleh dokter dari kata-kata (verbal) atau mimik (ekspresi wajah) atau gerak
(gesture) pasien. Dalam bentuk kata-kata kesiapan mental untuk mendengar
berita buruk misalnya dapat dilihat dalam percakapan berikut :

Dokter : (Setelah menceritakan berbagai penyakit yang memiliki gejala seperti


yang diderita pasien) … Jadi, pak Jusuf begitulah kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi pada orang-orang yang memiliki gejala seperti bapak.
Pasien : Kalau begitu, apakah yang akan terjadi pada saya, dok? (pasien siap
mental) Dokter : Begini, pak. Penyakit pada mulut bapak saat ini sedang
mengalami proses kemunduran … (dokter melanjutkan dengan menyampaikan
berita buruk tersebut).
Dalam bentuk mimik atau gerak kesiapan mental lebih sulit diterka, yaitu
misalnya dalam bentuk :

a. Wajah pasien yang tegang berubah jadi tenang.


b. Pasien menarik nafas panjang.
c. Pasien mengubah posisi duduknya dari posisi tegak ke posisi menyandar
dan sebagainya. (Sarwono, 1982)

Kerugian dari cara ini adalah bahwa seringkali pasien dapat menerka
maksud dokter dan reaksi-reaksi emosionalnya muncul justru waktu dokter
belum siap mental. Akibatnya dokter bertambah sulit mengendalikan emosi
pasien (Sarwono, 1982).

2. Membiarkan pasien menyimpulkan sendiri

Dalam cara ini dokter tidak secara terbuka menyampaikan berita buruk
itu, akan tetapi pasien diharapkan menyimpulkan nasibnya sendiri. Dokter dalam
cara ini hanya memberikan pertanyaan sambil “mengiringi” pasien ke arah
kesimpulan yang akan dibuatnya (Sarwono, 1982).

Berikut diberikan contoh :

D: sejak kapan awal sariawan ini muncul pak?

P: sejak dua minggu lalu, dok.

D: apakah sudah bapak beri pengobatan?

P: sudah, dok.

D: bagaimana efek dari obat tersebut pak?

P: tidak ada, dok. Sampai saat ini sariawan itu tidak hilang dok. Justru saat ini
pada waktu mengunyah dan menelah sedikit sulit dok.

D: pak, setelah kami lakukan pemeriksaan kembali, ternyata terjadi perbesaran


ulkus dan bercak putih di dalam rongga mulut bapak. Dan warna mukosa
rongga mulut bapak juga pucat.

P: jadi apakah saya ini kena kanker mulut dok ?

Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien-pasien yang mempunyai


pendidikan atau kecerdasan yang cukup untuk membuat kesimpulan sendiri.
Akan tetapi biasanya pasien tidak sabar dan malahan bertambah jengkel karena
ditanya-tanya terus padahal ia sudah dalam keadaan sangat khawatir terhadap
kesehatannya. Pasien bisa sampai kepada kesimpulan bahwa dokter mau
melepaskan diri dari tangung jawabnya memberi tahu pasien tentang berita buruk
itu (Sarwono, 1982).

3. Membungkus berita buruk

Dalam cara ini dokter “membungkus” berita buruk itu dengan kata-kata,
sedemikian rupa sehingga kedengarannya berita buruk itu lebih baik dari keadaan
yang sebenarnya (Sarwono, 1982).

Berikut diberikan contoh :

Dokter : Saya khawatir bahwa bapak akan kehilangan sebagian dari lidah bapak
saat operasi nanti. Akan tetapi, bapak jangan khawatir, kita akan bekerjasama
dengan pihak bedah plastik rumah sakit untuk membuat lidah buatan untuk
bapak.

Paisen : Lalu apakah saya tetap dapat berbicara dok?

Dosen : Kemungkinan akan ada kesulitan dalam berbicara, tapi dengan bantuan
speech terapy, bapak masih ada harapan untuk dapat berbicara lagi.

Pasien : Kira-kira berapa lama sampai saya bisa bicara lagi dok?

Dokter : Waktunya bervariasi untuk setiap orang. Tapi ada pasien yang dapat
berbicara kembali dengan jelas dalam waktu 8 minggu saja.

Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pasien bisa menerima
kenyataan-kenyataan yang dibungkus seperti itu.Beberapa pasien malah akan
bertambah frustasi karena ia tahu bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah
sebaik yang disampaikan dokter. Pasien bisa beranggapan bahwa dokter
membohonginya (Sarwono, 1982).

4. Banyak memberi alasan

Dengan cara ini, dokter memberikan berbagai alasan ke pasien untuk


membenarkan ‘berita buruk’ tersebut.Sebagai contoh, dokter akan
mengemukakan alasannya setelah penyampaian berita buruk ke pasien:

“.... Walaupun demikian, bapak tidak perlu menyesal. Segala yang bapak lakukan
telah dilakukan, demikian pula dengan kami sudah mengerjakan yang bisa kami
lakukan. Memang, ilmu kedokteran sampai sekarang pun masih memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Ilmu kedokteranbelum bisa berbuat banyak untuk
menyembuhkan penyakit bapak. Sekalipun bapak berobat ke luar negeri pun,
hasilnya tidak akan jauh berbeda...”
Pada penggunaan teknik ini justru membuat pasien putus asa. Dalam
keadaan sudah sangat khawatir, biasanya pasien masih mengharapkan petunjuk
tentang cara lain yang masih dapat diupayakan untuk mengatasi penyakitnya.
Dengan adanya alasan- alasan pembenaran yang dilakukan dokter terhadap
pasien justru akan menyebabkan putusnya harapan pasien dan membuat pasien
sangat frustrasi (Sarwono, 1982).

Keempat cara yang telah dikemukakan diatas untuk mengurangi frustrasi


pasien, dapat dilakukan secara terpisah atau dikombinasikan menurut selera
dokternya sendiri. Cara-cara tersebut tidak mungkin meniadakan seluruh frustrasi.
Frustrasi yang masih ada dapat dirasakan berat atau ringan, tergantung dari
kondisi kejiwaan pasien itu sendiri (Sarwono, 1982).

Jenis-jenis Reaksi Pasien Terhadap Frustasi :

Berikut penggolongan jenis-jenis reaksi pasien terhadap frustasi.

1. Menerima kenyataan itu dengan sabar


Misalnya:
Pasien : Baiklah, dok. Barangkali memang sudah demikian nasib saya. Sekarang,
apa yang perlu saya lakukan selanjutnya untuk mencegah keparahan penyakit
saya? (Sarwono, 1982)
2. Bereaksi agresif
Misalnya:
Pasien : Rahang saya akan diangkat dok? Oh ini adalah kesalahan dokter. Dulu
saya sudah minya agar pengobatan saya dilakukan di luar negeri saja. Tapi
dokter mengatakan bahwa di sini pun dokter dapat melakukannya. Sekarang
kalau sudah begini, apa yang dapat dokter lakukan? (Sarwono, 1982)
3. Penolakan terhadap kenyataan
Misalnya:
Pasien : Tidak mungkin. Tidak mungkin saya akan kehilangan rahang saya.
Setelah diterapi yang terakhir itu mulut saya rasanya sudah lebih enak tidak sakit
lagi untuk menelan, bagaimana bisa jadi seperti ini? Paman saya ada yang lebih
parah tumornya daripada saya, tetapi dia tidak sampai diangkat rahangnya. Para
dokter bisa menolongnya. (Sarwono, 1982)
4. Regresi
Regresi yaitu memberi reaksi dengan mundur kepada tingkat yang
kekanak-kanakan. Misalnya, menangis keras-keras, menjerit- jerit sambil
menarik-narik rambutnya atau memukul-mukul meja, pingsan, atau
mengeluarkan kata-kata sebagai berikut:
Pasien : …(diam untuk waktu yang lama)… kalau begitu lebih baik saya berhenti
bekerja saja. Tinggal di rumah dan biarlah ibu saya tinggal di rumah saya untuk
merawat saya. Isteri saya dengan begitu bisa tetap bekerja mencari nafkah.
(Sarwono, 1982)
5. Stereotipi
Stereotipi merupakan reaksi berulang-ulang terus.
Misalnya:
Pasien : Sungguh saya tidak kira . . . rahang saya akan diangkat? . . . sungguh-
sungguh di luar dugaan saya . . . Kehilangan rahang! . . . Bagaimana mungkin?
Sungguh tidak saya kira . . . dan seterusnya. (Sarwono, 1982)

Bagaimanapun juga reaksi pasien terhadap frustasi, dokter tidak boleh


menanggapinya dengan kontra reaksi yang sama emosionalnya. Dokter harus
tetap tenang, tetap menggunakan akal sehat, waaupun tetap harus dapat
menunjukkan simpati pada pasien. Untuk itu dokter sebaiknya menggunakan
cara yang lebih langsung dalam menyampaikan berita buruk (Sarwono, 1982).

B. Penyampaian Berita Buruk Secara Langsung

Penyampaian berita buruk secara langsung merupakan cara yang lebih efektif
dalam penyampaian berita buruk kepada pasien. Dengan penyampaian langsung ini,
maka jelas dokter berada dalam keadaan ‘siap mental’ untuk menghadapi frustasi
pasien dan selanjutnya dapat menampung dan meredakan frustasi itu (Sarwono,
1982).

Dalam penyampaian berita buruk secara langsung, ada 3 tahap yang harus
dilalui dokter, yaitu:

1) Tahap 1: penyampaian berita buruk itu sendiri

2) Tahap 2: memperendah tingkat frustasi

3) Tahap 3: mencari pemecahan persoalan (Sarwono, 1982)

Setiap berita buruk tentu akan menimbulkan frustasi, tetapi yang terpenting
adalah mencari jalan keluar dari keadaan yang buruk itu. Untuk bisa mencari jalan
keluar, tingkat frustasi harus direndahkan dulu agar pasien tidak terlalu
emosional.Tugas mencari pemecahan persoalan dan merendahkan tingkat
frustasitermasuk dalam kewajiban dokter juga (Sarwono, 1982).

1) Tahap 1. Penyampaian berita buruk

Seringkali pasien sudah mempunyai dugaan tentang keadaan yang buruk


itu, hanya saja ia belum merasa pasti. Pasien mempunyai hak untuk segera bebas
dari ketidakpastian ini. Dalam menyampaikan berita buruk dokter harus
memperhatikan hal-hal berikut:
a) Berita buruk langsung disampaikan pada awal percakapan. Dokter jangan
melakukan berbagai aksi menghindar.

b) Dokter harus meyampaikan berita dalam kalimat yang sesingkat mungkin,


tetapi dalam kalimatnya itu dokter juga harus menunjukkan bahwa ia
memperhatikan perasaan pasien.

c) Nada suara dokter harus menunjukkan bahwa dokter ikut menghayati apa yang
diarasakan pasien. (Sarwono, 1982)

Contoh :

Dokter : hasil pemeriksaan kami menunjukkan bahwa terdapat tumor pada mulut
bapak. Tumor ini sudah menggerogoti hampir seluruh rahang bawah bapak,
sehingga terpaksa kami harus mengambil rahang bawah bapak. Saya mengerti
bahwa bapak tentunya sangat sedih.

2) Tahap 2. Penurunan Tingkat Frustasi

Setelah berita buruk disampaikan, dokter harus berusaha menurunkan


frustasi pasien. Untuk itu ada 2 macam cara :

a) Mengucapkan kata-kata simpati.

b) Memberikan informasi kepada pasien bahwa ada hal-hal yang membuatnya


tidak usah terlalu kecewa, misalnya bahwa dokter dapat menghilangkan
tumornya dengan segera dengan cara yang baik dan tidak sakit, bahwa tumornya
belum sampai tingkatan yang parah, dan sebagainya. Bedanya dari cara
penyampaian berita buruk yang menghindari frustasi adalah bahwa informasi ini
disampaikan sesudah berita buruk, tidak sebelumnya. (Sarwono, 1982)

Mengurangi frustasi sampai tingkat yang paling rendah adalah sangat


penting karena bila tingkat frustasi masih tinggi dokter tidak akan sampai pada
pemecahan persoalan. Kalau frustasi tidak dapat diturunkan sekaligus, usaha ini
sebaiknya ditunda dan dilanjutkan lain kali (Sarwono, 1982).

3) Tahap 3. Pemecahan Persoalan

Di sini dokter memberikan nasihat-nasihat berupa pilihan- pilihan yang


dapat ditempuh oleh pasien untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapinya
sebagai akibat dari keadaannya yang tidak diharapkan tersebut (Sarwono, 1982).

Contoh :
Pasien : Jadi bagaimana pekerjaan saya kalau saya sampai harus rawat inap ya
Dokter?

Dokter : Saya bisa membuatkan surat untuk atasan Bapak agar Bapak beroleh
izin sekaligus tunjangan sesuai dengan kesehatan Bapak.

Pasien : Bagaimana dengan penampilan saya nanti apabila tumornya diangkat?

Dokter : Tidak apa-apa. Seiring waktu nanti akan tampak normal lagi. Saya bisa
menutupi tampilan yang bengkak dengan perban.

Pasien : Bagaimana dengan rasa sakitnya nanti?

Dokter : Tidak apa-apa, saya bisa mengusahakan dengan pemberian obat anti
rasa sakit yang tidak mahal.

Dan seterusnya.

C. Penyampaian Berita Buruk Dengan Metode SPIKES


Metode SPIKES mengacu pada enam tahap dalam penyampaian berita buruk.
1. SETTING UP the interview
a. Aturlah privasi.
Idealnya, disiapkan ruangan khusus. Penyampaian berita buruk harus
dilakukan pada tempat yang nyaman yangmenyediakan privasi bagi pasien
dan relatif tenang. Ruangan harus cukup luas untuk menampung para staf
atau perawat serta seluruh anggota keluarga pasien yang mendampingi pasien
saat penyampaian berita buruk (Buckman, 1996; Maynard, 1991). Siapkan
tissue untuk berjaga-jaga apabila pasien menangis (Baile dkk, 2000).
b. Libatkan orang lain.
Kebanyakan pasien biasanya ingin ditemani oleh orang lain. Namun, orang
tersebut haruslah pilihan pasien. Ketika ada anggota keluarga pasien,
mintalah pasien memilih satu atau dua perwakilan keluarga (Baile dkk, 2000).
c. Duduk.
Posisi duduk akan membuat pasien lebih relaks dan menandakan bahwa
dokter tidak terburu buru. Pemilihan waktu dalam penyampaian berita buruk
sangat penting. Penjadwalan ulang atau pemilihan waktu lain perlu dilakukan
agar dapat menyampaikan berita buruk kepada pasien pada saat yang tepat.
Jika terburu-buru, dokter dapat dianggap tidak peduli dengan pasien dan
proses. Bukti menunjukkan bahwa dokter mungkin menunda pencairan berita
buruk meskipun pada kenyataannya sebagian besar pasien ingin
mendengarnya (Blanchard dkk, 1988; Hopper dan Fischbach, 1989) dan
beberapa dokter menghindari situasi untuk membicarakan prognosis (Seale,
1991). Ketika duduk, usahakan tidak ada batas antara dokter dan pasien.
Mengatur koneksi dengan pasien. Melakukan kontak mata mungkin saja
terasa kurang nyaman, namun ini merupakan cara penting untuk membangun
sebuah hubungan. Memegang lengan atau tangan pasien apabila pasien
bersedia juga merupakan cara mencapainya. Mengelola waktu dan interupsi.
Ketika menyampaikan kabar buruk pada pasien usahakan jangan ada
interupsi. Sebaiknya seorang dokter mengatur telepon genggamnya dalam
keadaan diam (Baile dkk, 2000).
2. Assesing the Patient’s PERCEPTION
Langkah kedua dan ketiga dari SPIKES merupakan interview yang
menerapkan “sebelum berkata, tanyalah”. Sebelum mendiskusikan hasil medis,
dokter menggunakan pertanyaan
terbuka untuk menilai persepsi pasien akan keadaannya. Contohnya, “Sejauh
mana anda tahu mengenai penyakit anda” atau “Apakah anda tahu kenapa
kami melakukan MRI?”. Berdasarkan informasi yang diperoleh, dokter dapat
mengoreksi informasi yang salah dan menyesuaikan kabar buruk dengan
pemahaman pasien. Dari sini juga dapat dilihat apakah pasien menyangkal
suatu penyakit: angan angan ataupun harapan pengobatan yang tidak realistis
(Baile dkk, 2000).
3. Obtaining the patient’s INVITATION
Kebanyakan pasien menginginkan informasi penuh akan diagnosis,
prognosis, hingga detail penyakit yang pasien derita. Namun beberapa pasien
tidak. Penting untuk menanyakan kepada pasien sedetail apa informasi yang
mereka inginkan. Pertanyaan yang bisa dokter tanyakan misalnya, “Bagaimana
anda ingin saya menyampaikan hasil tes anda? Apakah anda ingin saya
menyampaikan semuanya atau hanya gambaran besar dan kita akan berdiskusi
mengenai perawatannya?” (Baile dkk, 2000).
4. Giving KNOWLEDGE and information to the patient
Memulai percakapan dengan kalimat seperti, “Saya khawatir bahwa
kabar yang saya sampaikan adalah kabar yang kurang baik” atau “Dengan berat
hati saya sampaikan bahwa...” dapat mengurangi syok pada pasien saat
mendengarkan berita buruk. Dalam menyampaikan hasil medis, terjemahkan
istilah medis kedalam Bahasa Indonesia, misalnya gunakan kata “menyebar”
untuk menggantikan kata “metastasis”. Dokter juga harus menghindari
pernyataan yang berlebihan seperti “Kanker yang anda derita sangat buruk.
Meskipun anda diobati secepatnya, anda akan tetap tidak dapat bertahan”.
Berikan informasi dalam potongan kecil, dan pastikan untuk berhenti
menjelaskan untuk memastikan bahwa pasien paham dengan apa yang dijelaskan
(Baile dkk, 2000).
5. Adressing the patient’s EMOTIONS with emphatic responses
Merespons emosi pasien merupakan salah satu hal sulit dalam
menyampaikan berita buruk. Pasien dapat bereaksi dengan diam, menangis,
menyangkal, hingga marah, Pada situasi seperti ini, seorang dokter dapat
memberi dukungan dan solidaritas dengan memberi respons empati. Diskusi
tidak akan dapat berlanjut selama emosi pasien masih ada (Baile dkk, 2000).
6. STRATEGY and SUMMARY
Sebelum menentukan rencana perawatan, prnting untuk menanyakan
apakah pasien sudah siap untuk berdiskusi. Buatlah rencana langkah demi
langkah dan berikan penjelasan yang lengkap kepada pasien mengenai rencana
perawatannya. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan sebagai antisipasi
jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan selama perawatan (Baile dkk, 2000).
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berita buruk merupakan segala informasi yang secara serius dapat
memperburuk pandangan seseorang tentang masa depannya. Komunikasi dokter
gigi-pasien dalam penyampaian berita buruk sangat penting untuk dipelajari. Berita
buruk dapat disampaikan melalui dua metode yaitu metode tidak langsung dan
metode langsung. Beberapa contoh metode tidak langsung antara lain menunda
penyampaian berita buruk sampai saat yang dianggap tepat, membiarkan pasien
menyimpulkan sendiri, membungkus berita buruk, dan banyak memberi alasan.
Metode langsung memiliki keunggulan dibandingkan metode tidak langsung yaitu
lebih efektif dan dokter siap mental. Penyampaian berita buruk juga dapat dilakukan
dengan metode SPIKES. Komunikasi atau penyampaian berita buruk yang tepat
akan menghasilkan pemahaman yang baik pada pasien sehingga akan menentukan
keberlanjutan terapi dan kesembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

“teknik penyampaian berita buruk” di akses pada 27 Maret 2018 dari


http://menyampaikanberitaburuk.blogspot.co.id/2012/12/menyampaikan- berita-buruk.html.
2. “penyampaian berita buruk yang efektif” di akses pada 27 Maret 2018 dari
http://amirmukhlis06.blogspot.co.id/2014/11/penyampaian-berita-buruk- yang-efektif.html.
3. “tahap-tahap menyampaiakn berita buruk” di akses pada 28 Maret 2018 dari
http://leksbook.blogspot.co.id/2014/03/tahap-tahap-saat-meyampaikan- berita_12.html. 4.
“menyampaikan berita buruk” di akses pada 28 Maret 2018 dari
https://www.scribd.com/document/111664613/Menyampaikan-berita-buruk.

Anda mungkin juga menyukai