OLEH
THALIA HANA SEPTIARA MULYANA
201820461011091
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN THALASEMIA
( ) ( )
I. KONSEP DASAR TEORI
A. Definisi
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120
hari). Penyebab kerusakan tersebut adalah Hb yang tidak normal sebagai akibat dari
gangguan dalam pembentukan jumlah rantai globin atau struktur Hb (Suriadi, 2001 dalam
Rosita, 2017).
Thalasemia merupakan keadaan yang diwarisi, yaitu diwariskan dari keluarga kepada
anak. Kecacatan gen menyebabkan haemoglobin dalam sel darah merah menjadi tidak
normal. Mereka yang mempunyai penyakit Thalasemia tidak dapat menghasilkan
haemoglobin yang mencukupi dalam darah mereka. Haemoglobin adalah bahagian sel
darah merah yang mengangkut oksigen daripada paru-paru keseluruh tubuh. Semua tisu
tubuh manusia memerlukan oksigen. Akibat kekurangan sel darah merah yang normal akan
menyebabkan pesakit kelihatan pucat kerana paras hemoglobin (Hb) yang rendah (anemia)
(Rosita, 2017).
B. Klasifikasi
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia terjadi
gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu gen β pada setiap
kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada
setiap kromosom (total empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua
subunit α dan dua subunit β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya
separuh dari kuantitas protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi
subunit protein yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi
protein globin subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan
defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat
menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Rosita, 2017).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang mengalami defek,
yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek secara delesi dan nondelesi dapat
menyebabkan Thalassemia (Rosita, 2017).
1. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16, maka akan
terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi gen sering terjadi pada Thalassemia α maka
terminologi untuk Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi, apakah pada
satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat lokai kedua gen
yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis) atau berbeda (trans). Delesi pada
satu gen α dilabel α+ sedangkan pada dua gen dilabel αo (Rosita, 2017).
a. Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α sehingga secara
umum kondisinya kelihatan normal dan perlu pemeriksaan laboratorium khusus
untuk mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa
menurunkan kepada anaknya (Rosita, 2017).
b. Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik mikrositik dan anemia
ringan. Individu dengan tipe ini biasanya kelihatan dan merasa normal dan mereka
merupakan karier yang bisa menurunkan gen kepada anak (Rosita, 2017).
c. Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering memerlukan
transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai α
dan β menyebabkan akumulasi rantai β di dalam eritrosit menghasilkan generasi
Hb yang abnormal yaitu Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Rosita, 2017).
d. Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan biasanya meninggal
di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan, yang biasanya
diakibatkan oleh hydrop fetalis. Kekurangan empat rantai α menyebabkan
kelebihan rantai γ (diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai β menghasilkan
masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart,
afiniti terhadap oksigen sangat tinggi) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Rosita, 2017).
2. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada kromosom 11.
Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β disebabkan point mutation dibandingkan
akibat delesi gen. Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya terdapat di
daerah tropis dan subtropis serta di daerah dengan prevalensi malaria yang endemic
(Rosita, 2017).
a. Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan. Satu pertiga penderita
Thalassemia mengalami tipe ini (Rosita, 2017).
b. Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β terjadi. Sebanyak
10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal dihasilkan pada keadaan ini
(Rosita, 2017).
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu (Rosita, 2017):
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin
serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar
10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari
subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5
hari berturut setiap selesai transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan
efek kelasi besi.
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur
sel darah merah
2. Bedah
a. Splenektomi, dengan indikasi:
1) limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture
2) hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
b. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan
dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali.
Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak
yang memiliki HLA-spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan
untuk melakukan transplantasi ini.
3. Suportif
a. Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dl.
H. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang
berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi,
sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan
lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan
oleh infeksi dan gagal jantung (Rosita, 2017).
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa
terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes
melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena
peningkatan deposisi melanin (Rosita, 2017).
I. Pathway
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania). Seperti
turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup banyak dijumpai
pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat sejak
anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia minor yang gejalanya
lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi lainnya. Hal
ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbuh
kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang
bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik
anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan dalam kematangan seksual,
seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat
mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat
pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat badan
anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur / istirahat,
karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
7. Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua yang
menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka anaknya
berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah sebenarnya
perlu dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang mungkin
disebabkan karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor risiko
thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila diduga faktor resiko,
maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin dialami oleh anaknya
nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah aanak
seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu
kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek
tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar. Mata
dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan. Mulut dan bibir terlihat pucat
kehitaman
c. Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya pembesaran
jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
d. Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan hati (
hepatosplemagali). Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya
kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan
anak-anak lain seusianya.
e. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan
rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai
tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
f. Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi
darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan zat
besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan
kebutuhan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan
Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
NOC :
a. Tidak terjadi palpitasi
b. Kulit tidak pucat
c. Membran mukosa lembab
d. Keluaran urine adekuat
e. Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f. Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g. Orientasi klien baik.
NIC :
a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa,
dasar kuku.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
c. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
d. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
e. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
h. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan
kebutuhan.
NOC :
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan dan
Tb masih dalam rentang normal pasien.
NIC :
a. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan
dalam beraktivitas.
b. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
c. Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
d. Berikan lingkungan yang tenang.
e. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
f. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
g. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
h. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
i. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
j. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
k. Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
NOC :
a. Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
b. Tidak ada malnutrisi.
NIC :
a. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
b. Observasi dan catat masukan makanan pasien.
c. Timbang BB tiap hari.
d. Beri makanan sedikit tapi sering.
e. Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang
berhubungan.
f. Pertahankan higiene mulut yang baik.
g. Kolaborasi dengan ahli gizi.
h. Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
i. Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak
dianjurkan.
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan
novrologis.
NOC :
Kulit utuh.
NIC :
a. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan
ekskoriasi.
b. Ubah posisi secara periodik.
c. Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan
Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
NOC :
a. Tidak ada demam
b. Tidak ada drainage purulen atau eritema
c. Ada peningkatan penyembuhan luka
NIC :
a. Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b. Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c. Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d. Pantau dan batasi pengunjung.
e. Pantau tanda-tanda vital.
f. Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing Interventions
Classification (NIC), edisi ke-6. Singapore: Elsevier.
Herdman, H. T., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Inc. diagnosis keperawatan: definisi dan
klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC),
5th edition. Singapore: Elsevier.